Anda di halaman 1dari 50

PERBANDINGAN STATUS REFRAKSI DUA MINGGU DAN

EMPAT MINGGU PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI

Oleh :

Novira Sulfianti
NPM 131221130502

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2018

1
2

PERBANDINGAN STATUS REFRAKSI DUA MINGGU DAN


EMPAT MINGGU PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI

Oleh :

Novira Sulfianti
NPM 131221130502

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2018
3

PERBANDINGAN STATUS REFRAKSI DUA MINGGU DAN


EMPAT MINGGU PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI

Oleh :

Novira Sulfianti
NPM 131221130502

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal
Seperti tertera dibawah ini

Bandung, 8 Januari 2018

Andrew Knoch,dr., SpM(K).,M.Kes. Susanti Natalya Sirait,dr., SpM(K).,M.Kes


Pembimbing I Pembimbing II

PERNYATAAN
4

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik dari

Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah dan

dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar

pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian

hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar

yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan

norma yang berlaku di perguruan tinggi.

Bandung, Januari 2018

Yang membuat pernyataan

Novira Sulfianti
NPM : 131221130502
ABSTRAK
5

Bedah katarak merupakan bagian dari bedah refraktif dengan hasil akhir
perbaikan penglihatan dan mencapai kondisi emetropia. Penglihatan terbaik
pascaoperasi dapat dicapai dengan penggunaan kacamata. Peresepan kacamata
berdasarkan status refraksi subjektif dapat diberikan saat sudah terjadi stabilitas
refraksi.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan status refraksi objektif dan
subjektif pada minggu kedua dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik. Subjek
penelitian adalah pasien katarak senilis yang telah dilakukan tindakan operasi
fakoemulsifikasi di poli Katarak dan Bedah Refraktif (KBR) Rumah Sakit Mata
Cicendo Bandung (RSMC), yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi
kriteria ekslusi. Status refraksi dinilai dengan pengukuran objektif menggunakan
autorefraktometri (TOPCON RM 8900) dan pengukuran subjektif menggunakan
metode trial and error pada dua minggu dan empat minggu pascaoperasi.
Penelitian ini terdiri dari tiga puluh mata dari tiga puluh pasien dengan
usia rerata 60,12 tahun ± 9,22 ( rentang usia 47 – 76 tahun). Enam belas pasien
(53,3%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 pasien (46,7%) perempuan.
Berdasarkan uji Wilcoxon, nilai refraksi sferis dan silindris pada pemeriksaan
objektif dan subjektif serta nilai Spherical Equivalent (SE) objektif tidak terdapat
perbedaan p > 0,05. Berdasarkan uji t berpasangan, nilai SE subjektif tidak
terdapat perbedaan p > 0,05.
Tidak terdapat perbedaan status refraksi objektif dan subjektif pada
minggu kedua dan minggu keempat pasca fakoemulsifikasi. Resep kacamata
dapat diberikan dua minggu pascaoperasi fakoemulsifikasi tanpa komplikasi.

Kata Kunci : status refraksi, operasi katarak, fakoemulsifikasi, peresepan


kacamata
6

ABSTRACT

Cataract surgery is also considered a refractive surgery, outcome of


cataract surgery are restoration of vision and emmetropia. Best vision post
surgery can be achieved with eye glasses. When refractive status is stabilized,
prescription of glasses can be given based on subjective refraction.
This study was conducted to compare objective and subjective refraction
between the second week and the fourth week after phacoemulsification.
This was an analytic observasional study. Subjects were patients surgery
at Cataract and Refractive Surgery Polyclinic in Bandung Cicendo Eye Hospita
with senile cataract whom underwent uncomplicated phacoemulsification.
Refractive status measured with autorefractometer (TOPCON RM 8900) for
objective measurement and with trial and error method for subjective
measurement on the second week and the fourth week after surgery.
This study was composed of 30 eyes of 30 patients with a mean age of
60,12 ± 9,22 ( range 47 – 76 years). Sixteen (53,3%) men and 14 women (46,7%).
Test results revealed no difference in spherical error and cylindrical error with
objective and subjective measurement, and SE with objective measurement
between between the second week and the fourth week after phacoemulsification
(p > 0,05, Wilcoxon test). No difference in SE between between the second week
and the fourth week after phacoemulsification with subjective measurement ( p >
0,05, T-paired test).
There was no difference for objective and subjective refraction between
the second week and the fourth week after phacoemulsification. Glasses can be
prescribed during the second postsurgical weeks in an uncomplicated
phacoemulsification surgery.

Keywords: refractive status, cataract surgery, phacoemulsification, prescription


of glasses
7

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah

SWT, atas karunia dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang

disusun untuk memenuhi persyaratan akhir dalam mengikuti pendidikan keahlian

di bidang Ilmu Kesehatan Mata pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Pusat Mata Nasional Rumah Sakit

Mata Cicendo Bandung.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih, rasa hormat dan penghargaan

kepada semua pihak yang telah membimbing, mendidik dan membantu penulis

dalam menyelesaikan pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima

kasih kepada Rektor universitas Padjadjaran Prof. Dr. med. Tri Hanggono

Achmad, dr., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Yoni Fuadah

Syukriani,dr., MSI., SpF., DFM serta kepada DR. Dwi Prasetyo, dr.SpA., MKes

selaku Koordinator Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter Spesialis I, yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran.

Penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada Prof. H. Sugana

Tjakrasudjatma, dr, SpM (Alm), Prof. Dr. H. Gantira Natadisastra, dr.,SpM(K),

dan Prof. Dr. Farida Sirlan, dr.,SpM(K) (Almh), selaku guru besar Ilmu

Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, bimbingan dan suri tauladan


8

yang tidak ternilai bagi penulis selama mengikuti pendidikan dokter spesialis mata

hingga selesainya tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada jajaran direksi Pusat Mata Nasional Rumah

Sakit Mata Cicendo Bandung, DR. Irayanti, dr. SpM(K)., MARS selaku Direktur

utama, Direktur terdahulu PMN RS Mata Cicendo, Kautsar Boesoirie dr.SpM(K).,

Mkes., MM dan Hikmat Wangsaatmadja, dr.SpM(K)., MKes., MM. DR. Feti

Karfiati Memed, dr.SpM(K)., MKes., MM selaku direktur medik dan

keperawatan, Ayi Wagiati Sari, SE, MM. selaku Direktur Keuangan, Drs Edison

Ziliwu, MM, MSi selaku Direktur Umum, SDM, dan Pendidikan, yang telah

memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk dapat menggunakan sarana dan

prasarana Rumah Sakit sebagai tempat belajar, bekerja dan melakukan penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Andika Prahasta, dr,

SpM(K)., MKes selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran dan Dr.Budiman, dr, SpM(K),MKes selaku Ketua

Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

atas kesempatan yang telah diberikan untuk menempuh Program Pendidikan

Dokter Spesialis Mata, dan juga atas bimbingan, motivasi serta dukungannya

sehingga penulis dapat mengikuti dan menjalankan kegiatan pendidikan dengan

baik.

Rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga juga penulis

sampaikan kepada Andrew Knoch dr.,SpM(K)., Mkes selaku pembimbing I dan

Susanti Natalya Sirait dr.,SpM(K)., Mkes selaku pembimbing II, DR. Elsa

Gustianty dr.,SpM(K)., MKes, Syumarti dr.,SpM(K)., MSc dan Ine Renata Musa
9

dr.,SpM(K) yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,

pengarahan dan masukan selama penelitian berlangsung sehingga penelitian ini

berjalan dengan lancar sampai tahap akhir penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas ilmu dan bimbingan yang

telah diberikan oleh seluruh staf pengajar dan mentor di Rumah Sakit Mata

Cicendo yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, yang dengan ikhlas

membagikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.

Kepada kedua orang tua yang penulis banggakan dan hormati, ayahanda

Suhelmi dr.,SpB dan ibunda Rizafatmi dr.,SpM atas cinta, kasih sayang yang telah

diberikan dalam membesarkan, mendidik, membimbing, memberikan teladan

dalam menghadapi kehidupan, memberikan semangat serta doa yang tiada henti

bagi penulis selama ini. Dengan setulus hati penulis sampaikan ucapan terima

kasih kepada suami tercinta dr. Afrianda Wira Sasmita atas cinta kasih, doa,

pengertian, kesabaran, serta keikhlasannya mendampingi penulis selama

mengikuti pendidikan.

Kepada seluruh sahabat, teman sejawat peserta Program Pendidikan

Spesialis Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, terima kasih atas

kebersamaan, pengertian dan kerjasamanya selama masa pendidikan. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada seluruh perawat dan staf di PMN RSM

Cicendo atas bantuan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah

diberikan dan semoga tesis ini bermanfaat untuk Departemen Ilmu Kesehatan
10

Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Pusat Mata Nasional

Rumah Sakit Mata Cicendo.

Bandung, Januari 2018

Penulis

Novira Sulfianti
11

DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................................. 4
1.4.1 Kegunaan Ilmiah ........................................................................... 4
1.4.2 Kegunaan Praktis .......................................................................... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS


5
2.1 Kajian Pustaka .......................................................................................... 5
2.1.1 Penyembuhan Luka Kornea Pascaoperasi Katarak ...................... 5
2.1.2 Stabilitas Refraksi Pascaoperasi Katarak ...................................... 6
2.1.3 Peresepan Kacamata Pascaoperasi Katarak .................................. 10
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................. 12
2.3 Hipotesis ................................................................................................... 14
2.4 Alur Kerangka Pemikiran ......................................................................... 15

BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ....................................... 16


12

3.1 Subjek Penelitian ...................................................................................... 16


3.1.1 Kriteria Inklusi .............................................................................. 16
3.1.2 Kriteria Eksklusi ........................................................................... 16
3.1.3 Kriteria Drop Out .......................................................................... 16
3.1.4 Sampel........................................................................................... 17
3.1.4.1 Pemilihan Sampel ........................................................... 17
3.1.4.2 Penentuan Ukuran Sampel Sampel ................................. 17
3.2 Metode Penelitian ..................................................................................... 18
3.2.1 Rancangan Penelitian .................................................................... 18
3.2.2 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional............................. 18
3.2.2.1 Variabel Tergantung dan Bebas...................................... 18
3.2.2.2 Definisi Operational........................................................ 19
3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data .................................. 20
3.2.4 Analisis Statistik ........................................................................... 20
3.2.5 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 20
3.2.6 Aspek Etik Penelitian .................................................................... 21
3.3 Alur Penelitian ........................................................................................ 22

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 23


4.1 Hasil Penelitian ........................................................................................ 23
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian..................................................... 23
4.1.2 Hasil Uji Normalitas Data Status Refraksi ................................... 24
4.1.3 Perbandingan Status Refraksi Objektif Dua Minggu dan Empat
Minggu ........................................................................................ 24
4.1.4 Perbandingan Status Refraksi Subjektif Dua Minggu dan Empat
Minggu ........................................................................................ 26
4.2 Pengujian Hipotesis .................................................................................. 27
4.3 Pembahasan …. ........................................................................................ 28

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 33


5.1 Simpulan …… ........................................................................................ 33
13

5.2 Saran ………… ........................................................................................ 33


DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34
LAMPIRAN ........................................................................................ 36
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ 56
14

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian .................................................... 23


Tabel 4.2 Perbandingan Status Refraksi Objektif Dua Minggu dan Empat
Minggu ........................................................................................ 25
Tabel 4.3 Perbandingan Status Refraksi Subjektif Dua Minggu dan Empat
Minggu ........................................................................................ 26
15

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik ............................................................................ 36


Lampiran 2 Informasi Penelitian ...................................................................... 37
Lampiran 3 Surat Pernyataan Persetujuan Keikutsertaan dalam Penelitian ..... 40
Lampiran 4 Data Subjek Penelitian .................................................................. 41
Lampiran 5 Data Hasil Penelitian..................................................................... 44
Lampiran 6 Daftar Riwayat Hidup ................................................................... 57
16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Katarak adalah kekeruhan pada lensa mata yang terjadi akibat penambahan

cairan lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya. Katarak

merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia dan

di dunia. Dari semua kebutaan pada masyarakat, lebih dari 50% disebabkan oleh

katarak. Hasil survei kebutaan di Indonesia dengan menggunakan metode Rapid

Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) yang dilakukan di lima belas provinsi

yaitu Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatra Barat,

Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Sumatra Utara, Maluku, dan Papua Barat

tahun 2014-2016 didapatkan penyebab utama kebutaan adalah dikarenakan

katarak yang tidak tertangani.1,2

Bedah katarak merupakan satu-satunya pengobatan yang dapat dilakukan

pada keadaan ditemukannya kekeruhan lensa yang telah mengganggu penglihatan.

Tujuan operasi katarak tidak lagi terbatas untuk perbaikan penglihatan saja tetapi

sebagai bedah refraktif yang bertujuan untuk mencapai kondisi emetropia.

Perubahan tren ini menyebabkan revolusi teknik operasi katarak yaitu ekstraksi

katarak intra kapsular menjadi ekstra kapsular, ekstraksi katarak dengan jahitan

menjadi tanpa jahitan, hingga yang lebih lanjut yaitu teknik fakoemulsifikasi.3
17

Teknik bedah katarak modern menggunakan insisi kecil untuk mengurangi

atau menghilangkan astigmatisma. Prosedur yang dilakukan menggunakan

fakoemulsifikasi dan implantasi lensa intraokular (LIO) melalui insisi self-sealing

untuk mengurangi besar luka operasi, meningkatkan efisiensi pembedahan, dan

mempercepat penyembuhan. Kelainan refraksi minimal dan stabilitas refraksi

yang cepat dapat meningkatkan kepuasan dan kualitas hidup pasien. Kepuasan

pasien merupakan komponen penting sebagai indikator kualitas pelayanan

kesehatan. 3–5

Penglihatan terbaik pasca operasi katarak tergantung pada refraksi target

dan terkadang dibutuhkan pemakaian kacamata atau lensa kontak. Stabilitas status

refraksi merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam peresepan kacamata.

Ionides dkk menilai perubahan spherical equivalent (SE) antara pemeriksaan dua

minggu dan enam minggu pasca fakoemulsifikasi dengan tunnel sklera adalah

0,34 D. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kacamata dapat diberikan dua

minggu pasca operasi. 3,6,7

Caglar dkk meneliti stabilitas refraksi otomatis, parameter biometri okular,

keratometri, dan ketebalan kornea sentral pasca fakoemulsifikasi didapatkan nilai

otorefraktometri menjadi stabil satu minggu pasca fakoemulsifikasi dan terdapat

perubahan minimal setelah satu bulan. Edema kornea, parameter biometri okular,

dan astigmatisme kornea menjadi stabil dua minggu pasca fakoemulsifikasi. De

Juan dkk meneliti mengenai stabilitas refraksi otomatis dan edema kornea pasca

fakoemulsifikasi tanpa komplikasi didapatkan hasil refraksi otomatis menjadi


18

stabil setelah satu minggu dan edema kornea menjadi stabil setelah dua minggu

pasca fakoemulsifikasi.3,6

Sugar dkk melakukan penelitian stabilitas refraksi pascaoperasi

fakoemulsifikasi dengan hasil perbandingan koreksi satu minggu dan satu bulan

pasca fakoemulsifikasi didapatkan perbedaan lebih dari 0,50 D hanya pada 20%

mata. Lake dkk mengatakan terdapat perubahan minimal refraksi subjektif antara

8 hari dan 15 hari pasca fakoemulsifikasi, pemberian resep kacamata dapat

diberikan satu minggu pascaoperasi tanpa komplikasi. 4,8,9

Di poli Katarak dan Bedah Refraktif (KBR) Rumah Sakit Mata Cicendo

(RSMC) pemberian resep kacamata berdasarkan pemeriksaan subjektif refraksi

yaitu setelah empat minggu pascaoperasi. Peresepan kacamata yang lebih awal

berpotensi menurunkan biaya dan jumlah kunjungan pasien pascaoperasi dan

meningkatkan kepuasan pasien terhadap hasil operasi. Penelitian ini bertujuan

untuk membandingkan status refraksi dua minggu dan empat minggu

pascaoperasi fakoemulsifikasi dengan melakukan pemeriksaan refraksi secara

objektif dan subjektif.

Berdasarkan uraian di atas, disusun tema sentral penelitian sebagai berikut:

Katarak merupakan penyebab utama gangguan penglihatan di Indonesia dan di


dunia. Katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan ditatalaksana dengan
operasi katarak. Teknik bedah katarak modern yang dilakukan adalah
fakoemulsifikasi dengan implantasi lensa intraokular. Hasil operasi katarak adalah
perbaikan tajam penglihatan dan mencapai kondisi emetropia. Penggunaan
kacamata dibutuhkan untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik pascaoperasi.
Pemberian kacamata dilakukan berdasarkan status refraksi. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan data nilai refraksi objektif dan subjektif pada
minggu kedua dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi. Data status
refraksi dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam
19

menentukan koreksi refraksi pascaoperasi. Pemberian kacamata yang lebih cepat


akan meningkatkan kepuasan pasien terhadap hasil operasi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah tidak terdapat perbedaan status refraksi objektif pada minggu

kedua dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi ?

2. Apakah tidak terdapat perbedaan status refraksi subjektif pada minggu

kedua dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Membandingkan status refraksi objektif dan status refraksi subjektif pada

minggu kedua dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan mengenai

data pemeriksaan refraksi objektif dan subjektif pada minggu kedua dan minggu

keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam

menentukan waktu koreksi refraksi pascaoperasi fakoemulsifikasi. Pasien

pascaoperasi dapat diberikan resep kacamata setelah didapatkan kestabilan status

refraksi. Hasil dari penelitian ini diharapkan juga sebagai dasar informasi yang

diberikan preoperatif sehingga pasien memahami prosedur pemeriksaan

pascaoperasi.
20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Penyembuhan Luka Kornea Pascaoperasi Katarak

Kornea merupakan struktur transparan pada bagian anterior bola mata

yang berperan meneruskan cahaya masuk ke retina. Kornea merupakan elemen

pertama sistem optik pada mata, kerjenihan kornea harus dipertahanakan untuk

mendapatkan penglihatan yang optimal. Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu

epitel, membran basalis, stroma, membran descemet, dan endotel.10,11

Penyembuhan luka kornea merupakan proses kompleks melibatkan

kematian sel, migrasi, proliferasi, diferensiasi, dan remodeling matriks

ekstraseluler. Penyembuhan epitel korena bergantung pada sel stem limbal dan

remodeling membran basement. Penyembuhan luka stroma melibatkan

transformasi keratosit, produksi materi fibrosa dan remodeling jaringan.

Penyembuhan sel-sel endotel yaitu dengan migrasi sel endotel di sekitar luka. 10,12

Penyembuhan luka epitel kornea diawali dengan migrasi sel epitel

menutupi defek. Penutupan defek secara lengkap terjadi dalam kurun waktu 24-48

jam. Regenerasi epitel terjadi tetapi perlekatan yang erat dengan jaringan di

bawahnya tidak terjadi sampai timbulnya perlekatan membran basalis dengan

hemidesmosom, pemulihan seluruh ketebalan epitel memerlukan waktu 4-6

minggu.11,13
21

Kerusakan endotel kornea dapat terjadi akibat luka penetrasi atau insisi

kornea. Kerusakan endotel mengganggu proses keluarnya cairan dari stroma

sehingga terjadi pembengkakan dan hilangnya transparansi kornea di daerah luka.

Endotel kornea manusia tidak dapat bermitosis, ketika terjadi kerusakan sel

endotel maka terjadi migrasi sel-sel disekitarnya dan terjadi perubahan ukuran sel

yang tersisa untuk mengisi area yang kosong. Sel endotel bermigrasi pada enam

jam pertama. Sel endotel membentuk stroma posterior dalam satu minggu yang

menyebabkan fungsinya kembali normal sehingga edema menghilang.10,11

Insisi kornea pada prosedur fakoemulsifikasi menyebabkan perubahan tren

operasi katarak. Waktu pemulihan pasien pasca operasi katarak menjadi lebih

singkat. Kershne menganalisis 690 prosedur operasi katarak dengan insisi kornea,

fakoemulsifikasi, dan implantasi LIO single-piece pada kantong kapsul. Seluruh

pasien dapat kembali beraktivitas normal dalam kurun waktu 24 jam setelah

operasi.12,14

2.1.2 Stabilitas Refraksi Pascaoperasi Katarak

Operasi katarak merupakan prosedur refraksi yang paling sering dilakukan

di bidang oftalmologi. Nilai refraksi sferis dapat dieliminasi dengan perhitungan

LIO yang tepat. Katarak dapat menginduksi astigmatisme refraksi oleh karena itu

operator bedah penting membandingkan hasil keratometri dengan nilai refraksi

silindris pre-operatif. Apabila nilai refraksi silindris sesuai dengan besarnya

kekuatan dan aksis dari bacaan keratometri maka astigmatisme yang timbul
22

karena katarak dapat diabaikan dan nilai refraksi silindris dapat dipertimbangkan

untuk dikurangi melalui operasi.15

Perubahan teknik operasi katarak menjadi insisi yang lebih kecil bertujuan

untuk mengurangi atau mengeliminasi astigmatisme yang diinduksi operasi dan

mendapatkan rehabilitasi visual pasca operasi yang lebih cepat dan stabil.

Penelitian-penelitian sudah dilakukan untuk melihat efek ukuran dan lokasi insisi

terhadap astigmatisme pasca operasi. Penyembuhan luka yang lebih cepat dan

astigmatisme yang lebih minimal terjadi pada luka insisi yang lebih kecil. Banyak

penelitian yang menyatakan luka insisi yang lebih kecil akan menyebabkan

stabilitas luka yang lebih baik..8,16,17

Target operasi bedah katarak modern adalah memperbaiki tajam

penglihatan secara maksimal dan cepat dengan komplikasi minimal. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi hasil akhir refraksi pascaoperasi katarak diantaranya

adalah kedalaman bilik mata depan, keratometri, dan ketebalan kornea sentral.3

Penelitian menunjukkan bahwa kedalaman bilik mata depan akan

bertambah dalam jumlah kecil pasca operasi katarak dengan implantasi LIO pada

bilik mata belakang. Penelitian Caglar dkk didapatkan pertambahan kedalaman

bilik mata depan dengan rerata 0,82 mm pasca operasi. Penyebab perubahan ini

karena pelebaran sudut bilik mata depan dan pengkerutan capsulorhexis sehingga

diafragma iris bergeser ke arah belakang menjauhi permukaan dalam kornea.

Penelitian De Juan dkk menyatakan salah satu penyebab myopic shift pasca

operasi disebabkan perubahan kedalaman bilik mata depan.3,6


23

Insisi kornea dapat menyebabkan perubahan kekuatan optik kornea.

Ukuran insisi yang kecil berhubungan dengan hasil akhir operasi katarak yaitu

astigmatisme kornea yang lebih kecil. Penelitian Oshika dkk menilai stabilisasi

astigamatisme dan refraksi pasca prosedur operasi katarak yang berbeda dan

implantasi LIO pada 229 mata. Subjek penelitian dibagi dalam 6 grup dengan luas

insisi dan metode penutupan luka yang berbeda. Hasil penelitian ini menyatakan

waktu koreksi kacamata pascaoperasi berbeda tergantung prosedur yang

dilakukan, insisi yang lebih kecil dan metode penutupan luka yang tidak

berlawanan dengan gaya vertikal menyebabkan perubahan refraksi pasca operasi

lebih minimal.3,18

Edema kornea merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca

fakoemulsifikasi, namun biasanya akan menyembuh satu minggu pasca operasi.

Penelitian menyatakan hubungan peningkatan hilangnya sel endotel kornea dan

edema kornea pada pasien diabetes sehingga diabetes merupakan faktor yang

menyebabkan keterlambatan pemulihan tajam penglihatan pasca operasi. Teknik

fakoemulsifikasi yang digunakan juga berhubungan dengan kerusakan endotel

kornea. Fakoemulsifikasi mode torsional lebih sedikit menyebabkan kerusakan

endotel kornea dibandingkan mode longitudinal. Teknik phaco chop

membutuhkan energi yang lebih sedikit dibandingkan teknik divide and conquer,

sehingga terdapat hubungan antara teknik yang digunakan dengan edema kornea.5

Penelitian Ionides dkk menilai potensi untuk mengurangi jumlah

kunjungan pasca operasi katarak. Penelitian dilakukan pada 34 pasien yang

dilakukan ekstraksi katarak dengan tunnel sklera, lebar insisi 5 mm tanpa jahitan,
24

fakoemulsifikasi, dan implantasi lensa intraokular polymethylmethacrylate.

Peneliti mengevaluasi model pemeriksaan yang terdiri dari pemeriksaan pre-

operatif, tindakan operasi, pemeriksaan satu hari pasca operasi, dan dua minggu

pasca operasi. Tiga puluh pasien (88%) dari 34 pasien didapatkan hasil yang baik

menggunakan model pemeriksaan tersebut, namun terdapat empat pasien yang

membutuhkan kunjungan tambahan untuk tatalaksana peradangan intraokular.

Perbedaan rerata SE antara pemeriksaan dua minggu pasca operasi dan 6 minggu

pasca operasi adalah 0,34 dioptri. Peneliti menyimpulkan kebanyakan pasien

pasca operasi katarak dapat dievaluasi dengan ‘three-episode model’ dan

kacamata dapat diresepkan dua minggu pascaoperasi.7

Lake dkk melakukan penelitian prospektif terhadap pasien yang dilakukan

fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal dan menilai refraksi subjektif

untuk mendapatkan waktu tercepat pemberian kacamata. Tiga puluh pasien

dilakukan tindakan fakoemulsifikasi dan implantasi LIO akrilik dengan lebar

insisi 3,1 mm. Hasil penelitian ini didapatkan perubahan minimal antara nilai

refraksi subjektif 8 hari dan 15 hari pasca operasi dan resep kacamata dapat

diberikan pada saat satu minggu pasca operasi.9

Sugar dkk menilai kecepatan stabilisasi kelainan refraksi pasca operasi

fakoemulsifikasi dengan insisi temporal 3,5 mm tanpa jahitan dan implantasi LIO

akrilik. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan melihat rekam

medis 100 pasien dan membandingkan data refraksi pada satu hari, satu minggu

,satu bulan, dan empat bulan pasca operasi. Penelitian ini menyatakan perbedaan
25

koreksi refraksi satu minggu dan satu bulan pasca operasi yang lebih dari 0,50 D

hanya pada 20% mata.4

De Juan dkk melakukan penelitian untuk menilai waktu stabilisasi edema

kornea dan refraksi otomatis pasca fakoemulsifikasi dengan insisi kornea 2,75

mm pada jam 11 dan implantasi LIO. Kesimpulan penelitian ini adalah nilai

refraksi otomatis menjadi stabil satu minggu pasca operasi katarak tanpa

komplikasi dan edema kornea menjadi stabil setelah dua minggu pasca operasi.6

Penelitian Caglar dkk menilai waktu stabilitas refraksi otomatis,

keratometri, dan ketebalan kornea sentral. Penelitian dilakukan pada 62 mata

pasca fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal 2,8 mm dan implantasi LIO

akrilik. Hasil penelitian ini didapatkan stabilitas refraksi otomatis satu minggu

pasca operasi dan terdapat perubahan minimal nilai refraksi dibandingkan satu

bulan pasca operasi. Stabilitas rerata keratometri, kedalaman bilik mata depan,

dan ketebalan kornea sentral yaitu dua minggu pasca operasi. Peneliti

menyimpulkan resep kacamata dapat diberikan dua minggu pasca operasi

fakoemulsifikasi.3

2.1.3 Peresepan Kacamata Pascaoperasi Katarak

Beberapa merekomendasikan peresepan kacamata yaitu setelah

pemeriksaan refraksi serial menunjukkan tidak terdapat perubahan yang

signifikan. Apabila prosedur ini diikuti maka dibutuhkan beberapa kali kunjungan

untuk dilakukan pemeriksaan. Peresepan kacamata yang terlalu awal sebelum

terjadinya stabilitas refraksi dapat menyebabkan pengeluaran biaya yang tidak


26

seharusnya dan pasien menjadi kecewa, sedangkan apabila terlalu lama maka

pasien akan mengalami disabilitas penglihatan yang lama dan pasien menjadi

frustasi.19

Jumlah kunjungan pasca operasi bergantung hasil operasi dan komplikasi

yang terjadi. Pemeriksaan ukuran refraksi dilakukan pada kunjungan terakhir

sehingga didapatkan ukuran kacamata yang akurat dan pasien mendapatkan tajam

penglihatan yang optimal. Waktu dilakukannya pemeriksaan refraksi bergantung

pada kebutuhan pasien dan stabilitas pengukuran status refraksi. Apabila operasi

menggunakan jahitan maka jahitan harus diangkat terlebih dahulu untuk

mengurangi astigmatisme sebelum dilakukan koreksi refraksi. Pengukuran koreksi

refraksi dapat diresepkan 1–4 minggu pasca operasi katarak dengan insisi kecil

dan 6-12 minggu setelah operasi katarak dengan jahitan dan insisi besar.20

Status refraksi dengan pemeriksaan subjektif merupakan cara penentuan

ukuran kacamata yang sudah disepakati oleh kalangan klinisi saat ini, akan tetapi

pemeriksaan ini bergantung sepenuhnya pada respon pasien. Pemeriksaan refraksi

subjektif memiliki variabilitas apabila dilakukan pemeriksaan ulang oleh

pemeriksa yang sama maupun pemeriksa yang berbeda, namun bila dilakukan

terhadap pasien yang kooperatif akan menghasilkan hasil refraksi yang lebih baik

dibandingkan hanya menggunakan otorefraktometri.21,22

Hasil akhir pemeriksaan refraksi subjektif dimaksimalkan dengan

memberikan instruksi dan mengarahkan pasien dengan baik saat proses

pemeriksaan. Pemeriksaan ini bergantung kepada kondisi pasien sehingga pasien

dapat memberikan respon yang tidak konsisten dan tidak realistis.23


27

2.2 Kerangka Pemikiran

Saat ini bedah katarak dipertimbangkan sebagai bagian dari bedah

refraktif. Status refraksi pasca operasi dengan kelainan refraksi minimal dan

stabilisasi refraksi yang cepat menjadi penilaian keberhasilan operasi katarak. Hal

ini akan mempengaruhi kepuasan pasien dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Bedah katarak mengalami evolusi dan sekarang dengan teknik fakoemulsifikasi

menawarkan rehabilitasi visual yang lebih cepat dan astigmatisma pasca operasi

lebih minimal. 3,4,6

Perubahan teknik operasi katarak dengan fakoemulsifikasi melalui insisi

kornea menjadi populer saat ini. Dahulu operasi katarak merupakan prosedur yang

kompleks dan pasien harus dirawat sebelum tindakan operasi, namun setelah

dikenalnya insisi kornea maka operasi katarak menjadi day-case dimana pasien

dapat beraktivitas normal segera setelah operasi.12

Faktor utama yang mempengaruhi waktu penyembuhan luka insisi adalah

struktur dan lokasi insisi dibandingkan teknik operasi katarak. Zheng dkk

menyatakan tajam penglihatan terbaik didapatkan rerata enam minggu pasca

ECCE, dua minggu pasca insisi sklera superior 6 mm, dan antara satu hari dan

satu minggu pasca insisi sklera 3 mm. Gogate dkk menyatakan tidak terdapat

perbedaan tingkat keamanan dan rehabilitasi visual antara teknik fakoemulsifikasi

dan SICS. 12,24,25

Kacamata atau lensa kontak terkadang dibutuhkan untuk mendapatkan

tajam penglihatan terbaik pasca operasi. Peresepan kacamata pasca operasi

katarak harus mempertimbangkan kondisi okular untuk mendapatkan nilai koreksi


28

yang tepat. Stabilitas kondisi okular seperti nilai keratometri, kedalaman bilik

mata depan, ketebalan kornea sentral pasca operasi dapat mempengaruhi status

refraksi. 3,4

Penelitian sebelumnya oleh Caglar dkk dan De Juan dkk meneliti stabilitas

refraksi dengan melihat nilai otorefraktometri pasca fakoemulsifikasi dan

didapatkan stabilitas nilai refraksi satu minggu pasca tindakan. Penelitian lain

oleh Ionides dkk menyatakan peresepan kacamata dapat dilakukan dua minggu

pasca tindakan fakoemulsifikasi dengan tunnel sklera. Sugar dkk melalukan

penelitian retrospektif dengan melihat nilai refraksi satu minggu dan satu bulan

pasca fakoemulsifikasi tidak didapatkan perebedaan lebih dari 0,50 D hanya pada

20% mata. Lake dkk melihat perbandingan refraksi subjektif antara 8 hari dan 15

hari pasca fakoemulsifikasi hanya terdapat perubahan minimal.3,4,6,9

Pemberian resep kacamata berdasarkan penilaian status refraksi subjektif

pasca operasi katarak di poli KBR RSMC dilakukan minimal empat minggu pasca

operasi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat waktu stabilitasi refraksi objektif

dan subjektif pasca fakoemulsifikasi sehingga apabila stabilisasi refraksi lebih

awal terjadi maka peresepan kacamata dapat diberikan lebih awal.

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, dapat

disusun premis sebagai berikut:

Premis 1:

Bedah katarak modern merupakan bagian bedah refraktif bertujuan untuk

pengembalian tajam penglihatan dan rehabilitasi visual yang cepat.6,9


29

Premis 2:

Waktu perbaikan tajam penglihatan pascaooperasi katarak bergantung pada

penyembuhan luka insisi yang dipengaruhi oleh lokasi dan struktur luka insisi.12,24

Premis 3:

Stabilitas status refraksi objektif pascaoperasi dipengaruhi oleh parameter

biometri okular seperti kedalaman bilik mata depan, keratometri, dan ketebalan

kornea sentral yang menjadi stabil setelah dua minggu pasca fakoemulsifikasi.3

Premis 4:

Pengukuran koreksi refraksi dapat dilakukan 1–4 minggu pascaoperasi katarak

dengan insisi kecil.3,4,7,8,20,26

Premis 5:

Pengukuran koreksi kacamata yang sudah disepakati oleh kalangan klinisi saat ini

adalah dengan pemeriksaan refraksi subjektif, akan tetapi pemeriksaan ini

bergantung sepenuhnya pada respon pasien.21,22

2.3 Hipotesis

1. Tidak terdapat perbedaan status refraksi objektif pada minggu kedua

dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.

2. Tidak terdapat perbedaan status refraksi subjektif pada minggu kedua

dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.


30

2.4 Alur Kerangka Pemikiran

Bedah katarak
(fakoemulsifikasi)

Insisi kecil

Struktur dan lokasi Penyembuhan luka insisi

Nilai keratometri,
Nilai refraksi objektif ketebalan kornea sentral,
dan kedalaman bilik
(otorefraktometri) stabil
Stabilitas Refraksi mata depan menjadi
1 minggu pasca
stabil 2 minggu pasca
fakoemulsifikasi
fakoemulsifikasi

Pengukuran koreksi refraksi dapat


dilakukan 1-4 minggu pascaoperasi
katarak dengan insisi kecil

Nilai refraksi objektif Nilai refraksi objektif


dan subjektif 2 minggu dan subjektif 4 minggu
pasca fakoemulsifikasi pasca fakoemulsifikasi

Peresepan kacamata lebih awal

Menurunkan biaya dan jumlah kunjungan pasien


pascaoperasi dan meningkatkan kepuasan pasien
terhadap hasil operasi
31

BAB III

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien katarak senilis yang telah dilakukan

tindakan operasi fakoemulsifikasi di RSMC.

Populasi target adalah penderita katarak senilis yang dilakukan tindakan

operasi fakoemulsifikasi. Populasi terjangkau adalah penderita katarak senilis

yang datang ke unit Katarak dan Bedah Refraktif (KBR) RSMC yang telah

dilakukan operasi katarak.

3.1.1 Kriteria Inklusi

1) Kornea jernih pada pemeriksaan dua minggu pasca fakoemulsifikasi

2) Pasien yang dapat dilakukan pemeriksaan otorefraktometri

3.1.2 Kriteria Eksklusi

1) Komplikasi intraoperatif

2) Kelainan okular yang dapat mempengaruhi koreksi refraksi subjektif,

seperti sikatrik makula, degenerasi makula, atropi papil, dan lainnya.

3.1.3 Kriteria Drop Out

1) Pasien tidak hadir pada follow up 2 minggu dan/atau 4 minggu

2) Komplikasi dini pascaoperasi, seperti endoftalmitis, uveitis, hifema,

glaukoma, wound leak, dan lainnya.


32

3.1.4 Sampel

3.1.4.1 Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling terhadap

individu yang telah memenuhi kriteria inklusi serta bersedia mengkuti penelitian

sampai terpenuhi jumlah sampel.

3.1.4.2 Penentuan Ukuran Sampel

Ukuran sampel ditentukan berdasarkan rumus untuk menguji perbedaan

dua rata-rata data berpasangan sebagai berikut :


!
  𝑧! +   𝑧! 𝑆𝑑
𝑛=
𝑑

diketahui:

n : ukuran sampel

zα, 𝑧! : nilai deviat Z yang diperoleh dari tabel distribusi normal standar untuk

taraf signifikansi α dan power test 1 – 𝛽 yang dipilih

Sd : standar deviasi beda

d : rata-rata antar pengukuran pertama dan kedua

Pada penelitian ini dipilih α = 5% (zα = 1,96); 1 – 𝛽 = 80% (𝑧! = 0,84).

Besarnya Sd dipilih dari hasil penelitian Cagatay Caglar (Sd untuk spherical error

pada satu bulan = 0,70; Sd untuk cylindrical error pada satu bulan = 0,87) dan

nilai d ditentukan sebesar 0,50. Berdasarkan perhitungan ukuran sampel

diperoleh:
33

  !,!"!  !,!" !,! !


a) Untuk spherical error =
!,!
= 16

  !,!"!  !,!" !,!" !


b) Untuk cylindrical error = = 24
!,!

dengan tingkat drop-out 20% maka ukuran sampel minimal adalah sebesar n/(1-

d.o) = 24 /(1-0.20) ≈ 30. Ukuran sampel penelitian menjadi sebanyak 30 mata.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik.

3.2.2 Identifikasi Variabel dan Defenisi Operasional

3.2.2.1 Variabel Tergantung dan Bebas

• Variabel tergantung pada penelitian ini adalah status refraksi objektif dan

subjektif.

• Variabel bebas pada penelitian ini adalah waktu dilakukannya

pemeriksaan refraksi objektif dan subjektif yaitu minggu kedua dan

minggu keempat pasca fakoemulsifikasi.

3.2.2.2 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:
34

1) Status refraksi adalah nilai refraksi yang didapatkan dari pemeriksaan

objektif dan subjektif.

2) Nilai refraksi objektif adalah nilai spherical error, cylindrical error, dan

spherical equivalen (SE) yang didapatkan dengan menggunakan alat

otorefraktometri yang dilakukan oleh satu orang refraksionis terlatih.

3) Nilai refraksi subjektif adalah nilai spherical error, cylindrical error dan

SE yang didapatkan dari pemeriksaan refraksi menggunakan metode trial

and error yang dilakukan oleh satu orang refraksionis terlatih.

4) Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi katarak yang dilakukan sesuai

dengan standar prosedur operasi fakoemulsifikasi dengan pemasangan

lensa intraokular di RSMC.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Lampu celah biomikroskop

2. Tonometri non kontak

3. Autorefraktometri (TOPCON RM 8900)

4. Trial Lens

5. Trial frame

6. Chart projector

3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

Subjek dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan, tekanan intraokular

(TIO), dan segmen anterior pascaoperasi satu hari dan satu minggu. Pemeriksaan

segmen anterior dan refraksi objektif dilakukan menggunakan autorefraktometer


35

pada follow up dua minggu pascaoperasi. Pasien yang termasuk kriteria inklusi

diberikan penjelasan mengenai pemeriksaan dan follow up pasca operasi,

kemudian pasien diminta menandatangani lembar surat persetujuan penelitian dan

dimasukkan dalam penelitian.

Pemeriksaan tajam penglihatan, TIO, segmen anterior, pemeriksaan

refraksi subjektif, dan pemeriksaan refraktif objektif dilakukan pasca operasi dua

minggu dan empat minggu. Pemeriksaan refraksi subjektif dilakukan dengan

metode trial and error oleh satu orang refraksionis terlatih.

3.2.4 Analisis Statistik

Perbandingan status refraksi dua minggu dan empat minggu pasca

fakoemulsifikasi dianalisis menggunakan uji T berpasangan (distribusi data

normal) atau Wilcoxon (distribusi data tidak normal). Analisis data dilakukan

dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS).

3.2.5 Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Unit KBR Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata

Cicendo. Penelitian dilakukan sejak tanggal 2 Oktober 2017 hingga 17 November

2017.
36

3.2.6 Aspek Etik Penelitian

Penelitian ini berpedoman pada prinsip dasar penelitian

dengmemperhatikan hal-hal, diantaranya sebagai berikut:

A. Prinsip respect for person (menghormati harkat dan martabat manusia)

1. Pemeriksa dan subjek penelitian memiliki hak untuk bertanya dan

berkonsultasi dengan peneliti mengenai berbagai hal yang berkaitan

dengan penelitian secara jelas.

2. Keikutsertaan subjek dalam penelitian dilakukan secara sukarela,

sadar, dan sewaktu-waktu subjek penelitian memiliki hak untuk

menghentikan keikutsertaannya dalam penelitian karena suatu sebab

tanpa adanya paksaan.

B. Prinsip beneficiency (bermanfaat) non maleficience (tidak merugikan)

1. Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat berupa

memberikan pemahaman dan pengetahuan terhadap subyek penelitian

mengenai waktu pemberian kacamata pascaoperasi katarak.

2. Penelitian ini mungkin akan menimbulkan ketidaknyamanan fisik yang

sangat minimal pada subjek karena hanya menjalani pemeriksaan

penglihatan dasar tanpa diberikan suatu perlakuan.

C. Prinsip justice (keadilan)

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap seluruh subjek penelitian adalah

sama.

Pemeriksaan terhadap sampel pada penelitian akan dilakukan dan

merupakan tanggung jawab peneliti dengan supervisi dokter spesialis mata.


37

3.3 Alur Penelitian

Seleksi pasien pasca fakoemulsifikasi dan implantasi LIO di unit KBR

Pemeriksaan segmen anterior dan pemeriksaan refraksi objektif


dua minggu pascaoperasi

Informed consent dan pencatatan data umum pasien

Pemeriksaan 2 minggu pascaoperasi:


• Refraksi objektif
• Refraksi subjektif

Pemeriksaan 4 minggu pascaoperasi:


• Refraksi objektif
• Refraksi subjektif

Uji statistik

Analisis data dan kesimpulan


38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian telah dilakukan di Unit KBR Pusat Mata Nasional Rumah Sakit

Mata Cicendo Bandung. Penelitian dilakukan sejak tanggal 2 Oktober 2017

hingga 17 November 2017, dengan subjek penelitian 30 pasien ( 30 mata) katarak

senilis yang telah dilakukan tindakan fakoemulsifikasi dan memenuhi kriteria

inklusi serta tidak memenuhi kriteria eksklusi. Terdapat enam pasien yang masuk

dalam kriteria drop out, sehingga total sampel pada akhir penelitian ini adalah 30

pasien (30 mata).

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang disajikan meliputi karakteristik subjek penelitian, uji

normalitas, dan perbandingan nilai refraksi objektif dan subjektif dua minggu dan

empat minggu pascaoperasi fakoemulsifikasi.

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian meliputi usia dan jenis kelamin pasien

ditampilkan pada tabel 4.1


39

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Karakteristik Rerata n %
Usia 60,12 (±  9,22)
Jenis Kelamin
Laki-laki 16 53,3
Perempuan 14 46,7

Subjek penelitian berjumlah 30 orang dengan usia rerata adalah 60,12

tahun ± 9,22 ( rentang usia 47–76 tahun). Enam belas pasien (53,3%) berjenis

kelamin laki-laki dan 14 pasien (46,7%) perempuan.

4.1.2 Hasil Uji Normalitas Data Status Refraksi

Hasil uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk Test menunjukkan data

nilai Spherical Equivalent (SE) dengan pemeriksaan subjektif pada minggu kedua

dan minggu keempat diuji dengan Shapiro-Wilk Test didapatkan berdistribusi

normal (p>0,05) sehingga data dianalisis dengan uji parametrik yaitu uji T

berpasangan.

Data nilai refraksi lainnya didapatkan tidak berdistribusi normal (p<0,05)

sehingga untuk menguji perbedaan nilai refraksi pada minggu kedua dan minggu

keempat digunakan uji non parametrik yaitu Wilcoxon Test.


40

4.1.3 Perbandingan Status Refraksi Objektif Dua Minggu dan Empat

Minggu

Berdasarkan nilai refraksi objektif didapatkan perbandingan status refraksi

dua minggu dan empat minggu pascaoperasi fakoemulsifikasi dapat dijelaskan

pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Perbandingan Status Refraksi Objektif Dua minggu dan Empat Minggu

Variabel Pengukuran (n = 30) Beda Nilai p*)


Mean
(95%CI)
2 minggu 4 minggu
1. Sferis objektif : -0,125 0,836
Median -0,875 -0,75 (-0,1033 –
Rentang -2 sd 2 -2 sd 2,5 0,1366)

2. Silindris objektif : 0 0,250


Median -0,75 -0,75 (-0,1493 –
Rentang -2,50 - 0 -2,75 – 0 0,0493)

3. SE Objektif : -0,125 0,877


Median -1,25 -1,125 (-0,1116 –
Rentang -2,625 sd 1,5 -2,75 sd 1,875 0,0949)

Keterangan : *) dengan uji Wilcoxon

Median nilai refraksi sferis dua minggu dan empat minggu dengan

pengukuran objektif adalah -0,875 D dan -0,75 D. Tidak terdapat perbedaan nilai

refraksi sferis pada minggu kedua dan minggu keempat (p=0,836).

Median nilai refraksi silindris dengan pengukuran objektif dua minggu dan

empat minggu adalah -0,75 D. Tidak terdapat perbedaan nilai refraksi silindris

pada minggu kedua dan minggu keempat (p=0,250).


41

Median nilai SE objektif dua minggu dan empat minggu pascaoperasi

adalah adalah -1,25 D dan -1,125 D. Tidak terdapat perbedaan nilai SE pada

minggu kedua dan minggu keempat (p=0,877).

Berdasarkan data status refraksi objektif yang didapatkan pada penelitian

ini didapatkan satu pasien dengan perbedaan nilai sferis >0,50 D, yaitu sebesar

0,75 D. Tidak didapatkan perbedaan nilai silindris dan SE objektif >0,5 D pada

data penelitian ini. Rerata selisih nilai SE dengan pengukuran objektif adalah

0,008 ± 0,276 D.

4.1.4 Perbandingan Status Refraksi Subjektif Dua Minggu dan Empat

Minggu

Berdasarkan nilai refraksi didapatkan perbandingan status refraksi dua

minggu dan empat minggu pascaoperasi fakoemulsifikasi dapat dijelaskan pada

tabel 4.3

Tabel 4.3 Perbandingan Status Refraksi Subjektif Dua minggu dan Empat Minggu

Variabel Pengukuran (n = 30) Beda Nilai p


Mean
(95%CI)
2 minggu 4 minggu
1. Sferis subjektif: -0,125 0,948*)
Median -0,75 -0,625 (-0,0881 –
Rentang -2 sd 2 -2 sd 2 0,1048)

2. Silindris subjektif : 0 0,560*)


Median -0,50 -0,50 (-0,1069 –
Rentang -2 – 0 -2,25 – 0 0,1736)

3. SE subjektif : -0,025 0,477**)


Rerata (SD) -0,887 (0,844) -0,862 (0,913) (-0,0585 –
- 0,1085)
Keterangan : *) dengan uji Wilcoxon, **) Uji t berpasangan
42

Median nilai refraksi sferis subjektif dua minggu dan empat minggu

adalah -0,75 D dan -0,625 D. Tidak terdapat perbedaan nilai refraksi sferis pada

minggu kedua dan minggu keempat (p=0,948).

Median nilai refraksi silindris dengan pengukuran subjektif dua minggu

dan empat minggu adalah -0,50. Tidak terdapat perbedaan nilai refraksi silindris

pada minggu kedua dan minggu keempat (p=0,560).

Rerata nilai SE subjektif dua minggu dan empat minggu pascaoperasi

adalah adalah -0,887 ± 0,844 D dan -0,862 ± 0,913 D. Tidak terdapat perbedaan

nilai SE pada minggu kedua dan minggu keempat (p=0,477).

Data status refraksi subjektif pada penelitian ini menunjukkan satu pasien

dengan perbedaan nilai sferis >0,5 D yaitu sebesar 0,75 D dan satu pasien dengan

perbedaan nilai silindris >0,5 D sebesar 0,75 D. Tidak terdapat perbedaan nilai SE

>0,5 D. Rerata selisih nilai SE dengan pengukuran subjektif adalah -0,025 ±

0,224 D.

4.2 Pengujian Hipotesis

Hipotesis:

1. Tidak terdapat perbedaan status refraksi objektif pada minggu kedua

dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.

Hasil uji statistik nilai refraksi sferis dan silindris objektif dengan

Wilcoxon Test pada derajat kepercayaan 95% membuktikan bahwa

tidak terdapat perbedaan nilai refraksi sferis, silindris, dan SE objektif


43

pada minggu kedua dan minggu keempat pasca fakoemulsifikasi

dengan nilai p=0,836, p=0,250, dan p=0,877 (p>0,05).

2. Tidak terdapat perbedaan status refraksi subjektif pada minggu kedua

dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.

Hasil uji statistik nilai refraksi sferis dan silindris subjektif dengan

Wilcoxon Test pada derajat kepercayaan 95% membuktikan bahwa

tidak terdapat perbedaan nilai refraksi sferis dan silindris subjektif

pada minggu kedua dan minggu keempat pasca fakoemulsifikasi

dengan nilai p=0,948 dan p=0.560 (p>0,05), dan nilai SE subjektif

diuji dengan uji T berpasangan pada derajat kepercayaan 95%

membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai SE subjektif pada

minggu kedua dan minggu keempat pasca fakoemulsifikasi dengan

nilai p=0,477 (p>0,05).

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis diterima.

4.3 Pembahasan

Keberhasilan operasi katarak dahulu dinilai dari tajam penglihatan

pascaoperasi saja, namun pada era sekarang juga menekankan pada rehabilitasi

penglihatan yang cepat dan efisien. Nilai kelainan refraksi yang kecil dan

stabilitas status refraksi yang cepat dapat meningkatkan kepuasan pasien.

Peresepan kacamata yang lebih awal dapat meningkatkan penglihatan dan

kenyamanan pasien. Keterlambatan untuk kembali ke aktivitas sehari-hari seperti

mengendarai kendaraan, bekerja, dan aktivitas lainnya dapat diminimalisir.4


44

Di poli Katarak dan Bedah Refraktif Pusat Mata Nasional RS Mata

Cicendo Bandung pemeriksaan mata pasca fakoemulsifikasi tanpa komplikasi

dilakukan pada satu hari, satu minggu, dan empat minggu pascaoperasi. Peresepan

kacamata rutin diberikan empat minggu pascaoperasi tanpa komplikasi. Peresepan

kacamata diperlukan agar pasien mendapatkan tajam penglihatan yang optimal.

Berdasarkan Preferred Practice Pattern American Academy of Ophthalmology

waktu pemeriksaan refraksi dapat dilakukan antara 1–4 minggu pascaoperasi

katarak dengan insisi kecil.20

Caglar dkk melakukan penelitian waktu stabilitas parameter okular

pascaoperasi fakoemulsifikasi. Parameter okular yang dinilai terdiri dari status

refraksi objektif, nilai keratometri, ketebalan kornea sentral, dan kedalaman bilik

mata depan. Hasil penelitian Caglar dkk menunjukkan nilai sferis dan silindris

menjadi stabil satu minggu pascaoperasi sedangkan parameter okular lain yaitu

nilai keratometri, ketebalan kornea sentral, dan kedalaman bilik mata depan

menjadi stabil dua minggu pascaoperasi.3 Pada penelitian ini hanya menilai status

refraksi dua minggu dan empat minggu pascaoperasi sedangkan parameter okular

lainnya tidak dinilai.

De Juan dkk menilai waktu edema kornea dan status refraksi objektif

menjadi stabil pascaoperasi fakoemulsifikasi dengan hasil nilai refraksi objektif

menjadi stabil satu minggu pascaoperasi dan edema kornea setelah dua minggu.

Penelitian De Juan dkk juga menilai adanya kesesuaian antara status refraksi

dengan pengukuran objektif dan subjektif.6 Penelitian ini tidak menilai kesesuaian

status refraksi antara pengukuran objektif dengan subjektif.


45

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan status refraksi dengan dua

pengukuran yaitu objektif dan subjektif. Penggunaan autorefraktometri

(pengukuran objektif) untuk menilai status refraksi lebih menghemat waktu

dibandingkan metode trial end error (pengukuran subjektif), namun status

refraksi subjektif merupakan standar yang dipakai untuk ukuran peresepan

kacamata. Kelemahan dari status refraksi subjektif adalah hasil refraksi

bergantung sepenuhnya pada respon pasien dan bila dilakukan pemeriksaan ulang

oleh pemeriksa yang sama maupun pemeriksa yang berbeda didapatkan hasil yang

tidak konsisten.21

Lake dkk mengatakan hanya terdapat perbedaan minimal antara status

refraksi subjektif hari kedelapan dan kelima belas pascaoperasi fakoemulsifikasi,

oleh karena itu peresepan kacamata dapat diberikan satu minggu pascaoperasi

tanpa komplikasi.9 Penelitian Lake dkk hanya menilai status refraksi subjektif dan

pemeriksaan pasien diikuti hanya sampai hari kelima belas pascaoperasi,

sedangkan pada penelitian ini seluruh pasien diikuti hingga empat minggu

pascaoperasi.

Sugar dkk melakukan penelitian retrospektif menggunakan data rekam

medis 100 pasien pasca fakoemulsifikasi. Nilai refraksi satu hari, satu minggu,

dan satu bulan dibandingkan dengan nilai refraksi empat bulan, didapatkan

kesimpulan penelitian bahwa perbedaan koreksi refraksi satu minggu dan satu

bulan dengan nilai >0,50 D hanya terdapat pada 20% mata.4 Berdasarkan data

yang didapatkan pada penelitian ini didapatkan perbedaan koreksi refraksi dua

minggu dan empat minggu dengan nilai >0,5 D hanya terdapat pada 6,67% mata.
46

Pada penelitian ini didapatkan nilai refaksi sferis, silindris, dan SE objektif

tidak berbeda secara statistik pada minggu kedua dan minggu keempat

pascaoperasi dan hanya terdapat perbedaan status refraksi minimal antara dua

waktu pengukuran tersebut. Penelitian ini dilakukan pada subjek yang telah

dilakukan operasi fakoemulsifikasi tanpa komplikasi, oleh karena itu hasil

penelitian ini hanya dapat diterapkan untuk pasien dengan kondisi tersebut.

Perkembangan teknik dan alat bedah yang baru menyebabkan reformasi

operasi katarak yang awalnya bertujuan mendapatkan kembali penglihatan

menjadi bedah refraksi yang menawarkan pemulihan fungsi penglihatan yang

lebih cepat. Surgical induced astigmatism (SIA) merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi status refraksi pascaoperasi. SIA dipengaruhi oleh ukuran, tipe,

lokasi dan struktur dari insisi namun faktor yang paling berperan yaitu ukuran

insisi. Oleh karena itu operasi katarak dengan insisi kecil menjadi populer pada

era sekarang. Ukuran insisi yang lebih kecil menghasilkan astigmatisme

pascaoperasi lebih kecil. Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti mengenai

kestabilan astigmatisme pascaoperasi katarak.4 Penelitian ini tidak dirancang

untuk menilai SIA secara spesifik tetapi menilai status refraksi untuk peresepan

kacamata.

Berdasarkan data penelitian ini terdapat dua pasien dengan perbedaan

status refraksi >0,5 D. Status refraksi dapat dipengaruhi oleh parameter okular

lainnya pascaoperasi yang belum kembali ke nilai preoperatif. Keterbatasan

penelitian ini adalah tidak dinilai parameter okular lain yang dapat mempengaruhi

status refraksi pascaoperasi seperti nilai keratometri, ketebalan kornea sentral, dan
47

kedalaman bilik mata depan. Kestabilan parameter okular tersebut pacaoperasi

dapat mempengaruhi ketepatan koreksi status refraksi.

Kondisi sistemik seperti diabetes melitus dapat mempengaruhi struktur

dan fungsi dari endotel kornea. Penelitian-penelitian sebelumnya mengindikasikan

adanya peningkatan kerentanan kornea pasien dengan diabetes terhadap tindakan

operasi intraokular. Hal ini dikarenakan adanya perubahan metabolik yang kronis

pada level seluler yang mempengaruhi sel-sel endotel kornea. Perubahan ini

menyebabkan gangguan pada hemostasis kornea sehingga mempengaruhi

fungsinya yaitu mempertahankan kerjernihan kornea.27,28

Penelitian Chen dkk menyatakan pasien diabetes memiliki fungsi sel

endotel yang lebih buruk yang dibuktikan dengan pemeriksaan ketebalan kornea

sentral pada bulan keenam pascaoperasi katarak dibandingkan dengan pasien

tanpa diabetes.28 Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas refraksi pascaoperasi.

Kelemahan penelitian ini faktor sistemik seperti diabetes melitus tidak dieksklusi

dan pengukuran ketebalan kornea sentral tidak dilakukan.

Hasil penelitian ini belum dapat dijadikan dasar untuk merubah prosedur

tetap dalam pemberian kacamata pascaoperasi fakoemulsifikasi di Poli KBR

Rumah Sakit Mata Cicendo karena keterbatasan-keterbatasan yang sudah

disebutkan sebelumnya.
48

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Tidak terdapat perbedaan status refraksi objektif pada minggu kedua

dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.

2. Tidak terdapat perbedaan status refraksi sujektif pada minggu kedua

dan minggu keempat pascaoperasi fakoemulsifikasi.

5.2 Saran

1. Dapat dipertimbangkan untuk koreksi kacamata pada dua minggu

pascaoperasi fakoemulsifikasi tanpa komplikasi.

2. Penelitian lain dapat dilakukan untuk menilai parameter objektif

seperti nilai keratometri, ketebalan kornea sentral, dan kedalaman bilik

mata depan pascaoperasi fakoemulsifikasi.


49

Daftar Pustaka

1. Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia. Katarak sebabkan


50% kebutaan. 2017;1–2. Tersedia dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/160111000003/katarak-sebabkan-50-
kebutaan.html
2. Laporan Nasional Rapid Assesment of Avoidable Blindness. 2014-2016
3. Caglar C, Batur M, Eser E, Demir H, Yaşar T. The Stabilization Time of
Ocular Measurements after Cataract Surgery. Semin Ophthalmol [Internet].
2016;1–6. Tersedia dari:
http://www.tandfonline.com/doi/full/10.3109/08820538.2015.1115089
4. Sugar A, Sadri E, Dawson DG, Musch DC. Refractive stabilization after
temporal phacoemulsification with foldable acrylic intraocular lens
implantation. J Cataract Refract Surg. 2001;27(11):1741–5.
5. Kausar A, Farooq S, Akhter W, Akhtar N. Transient Corneal Edema After
Phacoemulsification. J Coll Physicians Surg Pak [Internet].
2015;25(7):505–9. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26208554
6. Juan V De. Refractive Stabilization and Corneal Swelling. 2013;90(1):31–
6.
7. Ionides A, Claoue C. Resource management of cataract patioents: Can
visual rehabilitation be achieved in three visits? J Cataract Refract.
1996;22(November):760–1.
8. Andrew Lyle W, Jin GJC. Prospective evaluation of early visual and
refractive effects with small clear corneal incision for cataract surgery. J
Cataract Refract Surg [Internet]. 1996;22(10):1456–60. Tersedia dari:
http://dx.doi.org/10.1016/S0886-3350(96)80147-7
9. Lake D, Fong K, Wilson R. Early refractive stabilization after temporal
phacoemulsification: What is the optimum time for spectacle prescription?
2005;31(September):1417–8.
10. Ashby BD, Garrett Q, Willcox MD. Corneal Injuries and Wound Healing –
Review of Processes and Therapies. Austin J Clin Ophthalmol.
2014;1(4):1–25.
11. Ljubimov A V, Saghizadeh M. Progress in corneal wound healing HHS
Public Access. Prog Retin Eye Res. 2015;49(310):17–45.
12. Al Mahmood AM, Al-Swailem S a, Behrens A. Clear corneal incision in
cataract surgery. Middle East Afr J Ophthalmol [Internet]. 2014;21(1):25–
31. Tersedia dari :
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3959037&tool=
pmcentrez&rendertype=abstract
13. Rosa Jr. R. 2015-2016 Basic and Clinical Science Course (Bcsc)  :
Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors ... Section 4. 2015;
14. Kershner RM. Clear Corneal Cataract Surgery and the Correction of
Myopia, Hyperopia, and Astigmatism. Ophthalmology [Internet].
1997;104(3):381–9. Tersedia dari:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0161642097303042%5Cnpaper
50

s3://publication/doi/10.1016/S0161-6420(97)30304-2
15. Rosenfeld SI. Lens and Cataract [Internet]. 2014. Available from:
https://books.google.com.tr/books?id=-bpRGQAACAAJ
16. Drews RC. Five year study of astigmatic stability after cataract surgery
with intraocular lens implantation: Comparison of wound sizes. J Cataract
Refract Surg. 2000;26(2):250–3.
17. Fine H, Hoffman RS. Refractive Aspects of Cataract Surgery [Internet].
Ophthalmology. 2009. p. 451–7. Tersedia dari:
http://www.crossref.org/deleted_DOI.html
18. Oshika T, Tsuboi S. Astigmatic and refractive stabilization after cataract
surgery. Ophthalmic Surg. 1995;26(4):309–15.
19. Baranyovits, Peter. Stabilisation of refraction following cataract surggery.
1988;(December 2003):543–7.
20. American Academy of Ophthalmology. Preferred Practice Pattern: Cataract
in the Adult Eye - Surgery. 2011; Tersedia dari:
http://one.aao.org/CE/PracticeGuidelines/PPP_Content.aspx?cid=a80a87ce
-9042-4677-85d7-4b876deed276
21. Bennett JR, Stalboerger GM, Hodge DO, Schornack MM. Comparison of
refractive assessment by wavefront aberrometry , autorefraction , and
subjective refraction ଝ. J Optom [Internet]. 2015;8(2):109–15. Tersedia
dari: http://dx.doi.org/10.1016/j.optom.2014.11.001
22. Skočić T. Subjective and objective refraction methods comparison.
MASARYK UNIVERSITY; 2017.
23. Kolker R. Subjective Refraction and Prescribing Glasses. 2015;1–82.
Tersedia dari :
https://mail.google.com/mail/u/0/%0Apapers3://publication/uuid/DAB78A
C8-779A-42B5-ADEB-869CDF3C198E
24. Zheng L, Merriam J, Zaide M. Astigmatism and visual recovery after large
incision extracapsular cataract surgery and small incisions for
phacoemulsification. Trans Am Ophthalmol Soc. 1997;125(3):387–410.
25. Gogate PM, Kulkarni SR, Krishnaiah S, Deshpande RD, Joshi SA,
Palimkar A, et al. Safety and efficacy of phacoemulsification compared
with manual small-incision cataract surgery by a randomized controlled
clinical trial: Six-week results. Ophthalmology. 2005;112(5):869–74.
26. Herreras JM, De-juan V, Fernandez I, Martin R, Perez I. Prediction Of
Refractive Stabilization After Cataract Surgery. 2011;(April):7–8.
27. Hugod M, Storr-Paulsen A, Norregaard JC, Nicolini J, Larsen AB,
Thulesen J. Corneal Endothelial Cell Changes Associated With Cataract
Surgery in Patients With Type 2 Diabetes Mellitus. 2011; 30(7):749-53
28. Chen Z, Song F, Sun L, Zhao C, Gao N, Liu P. Corneal integrity and
thickness of central fovea after phacoemulsification surgery in diabetic and
nondiabetic cataract patients. 2016; Arch Med Sci.

Anda mungkin juga menyukai