Anda di halaman 1dari 23

Tugas

PUPILLARY EXAMINATION

Disusun oleh:

Kang Yee Yung, S.Ked 04084881921007

Pembimbing: Dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, SpM(K)

STASE MATA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020

I
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas
Pupillary Examination
Oleh:
Kang Yee Yung, S.Ked 04084881921007

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Mata Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohd. Hoesin Palembang Periode
23 Juli-10 Agustus 2020.

Palembang, Juli 2020

Dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, SpM(K)

II
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. atas berkah dan rahmat-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas saya dengan judul “Pupillary Examination” sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Stase Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hj. Devi
Azri Wahyuni, SpM(K) selaku pembimbing yang telah menyempatkan waktu untuk
memberikan ilmu kepada saya pada saat melakukan tugas ini. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada kakak-kakak residen, rekan-rekan dokter muda dan
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Saya menyadari bahwa dalam pelaksanaan tugas ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat saya harapkan. Demikianlah penulisan tugas ini, semoga
bermanfaat.
Palembang,

Juli 2020

III
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.................................................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................................................iv
LANGKAH-LANGKAH PEMERIKSAAN PUPIL BERDASARKAN VIDEO.......................5
PEMERIKSAAN PUPIL BERDASARKAN AAO....................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................23

IV
Langkah-Langkah Pemeriksaan Pupil

1. Sebelom memperkenalkan diri kepada pasien, cuci tangan terlebih dahulu.

2. Mengidentifikasi identitas pasien(nama, tanggal lahir, usia dan lain-lain).

3. Memberitahukan tujuan dari pemeriksaan tersebut(pemeriksaan pupil).

4. Mendapatkan inform consent dari pasien.

5. Pemeriksaan dimulai dengan inspeksi secara umum pada pupil, yang dinilai adalah
ukuran, simetri, bentuk dari pupil, dan iris dengan cara pasien disuruh melakukan
fiksasi penglihatan pada objek tertentu di dalam kamar pemeriksaan untuk
mempermudah proses pemeriksaan dan meminimalisir proses akomodasi dan
miosis. Pemeriksaan dilakukan pada posisi duduk.
6. Penilaian ukuran pupil dilakukan dengan pengunnaan senter dan untuk
pemeriksaan diameter pupil itu diukur dengan penggaris, setelah itu hasil
pemeriksaanya dicatat. Jika terdapat anisocoria, pemeriksaan ukuran pupil harus
dilakukan dalam kondisi gelap dan terang, dan harus diperiksa ukuran milimeter
palpebra fissure, diperiksa juga apakah ada ptosis yang menandakan adanya
paresis N.III dan sindroma Horner.
7. Setelah pemeriksaan inspeksi umum pada pupil, baru dilakukan pemeriksaan
reflex pupil.
Abnormalitas pada pupil
A) Ukuran/simetri
Miosis: proses senile, sindroma Horner, pendarahan pons, afakia, cluster headache,
fatal family insomnia, iridocyclitis, obat-obatan seperti(opioids, anti-psikotik, Acth
inhibitors, organofosfat, pilocarpine dan lain lain).
Midriasis: peningkatan TIK, obat-obatan, tumor otak, herniasi otak, paresis N.III,
trauma, BEUM.

5
Anisokoria: fisiologi, sindroma Horner, adie tonic pupil, kerusakan N.III, trauma,
glaukoma, uveitis, migraine, obat-obatan yang mempunyai sifat anti-kolinergik dan
simpathomimetic.
B)Bentuk

6
C) Iris: yang diperhatikan: iritis, neovaskularisasi, synechiae, coloboma, aniridia,
polikoria, abnormalitas pada iris sebaiknya dilakukan dengan pemeriksaan slit-lamp.
Pemeriksaan reflex pupil
1) Direct consensual pupillary reflex: Dengan menyinarkan senter/cahaya pada salah
satu pupil akan menyebabkan miosis pada pupil, akibat dari hemidecussation dari
pupillomotor fibres di kiasma optikum dan midbrain tectum. Pada pemeriksaan
consensual, penyinaran pada salah satu pupil akan menyebabkan miosis pada pupil
kontralateral.
2) Swinging light test(RAPD): Dilakukan setelah pemeriksaan direct dan consensual
pupillary reflex, untuk membandingkan hasil dari pemeriksaan direct/consensual pupil
pada masing-masing pupil. Tes ini dilakukan untuk menilai apakah ada RAPD, disebut
juga dengan marcus gunn pupil. Pada pemeriksaan swinging light test, pemeriksa secara
bergantian menyinarkan cahaya pada satu mata ke mata yang lain beberapa kali untuk
menilai pupillary response.
Respon yang normal pada pupil adalah pupil akan berkonstriksi dan kekal konstriksi
saat sinaran cahaya dari satu mata ke mata yang lain. Namun, jika salah satu pupil
dilatasi dan konstriksi pada saat bergantian penyinaran cahaya dari satu mata ke mata
yang lain, itu berarti RAPD(+). RAPD itu bisa dideteksi walaupun salah satu pupil itu
bound down akibat dari adanya adhesi, paralisis dan dilatasi secara farmakologi, yang
penting pupil yang kontralateral tidak terjadi hal yang sama. Penyinaran cahaya pada
pupil pada pasien dengan optic nerve disease itu tidak bakal terdapat perubahan pupil
pada mata tersebut jika pupil tersebut adalah immobile. Pada kondisi seperti ini, derajat
consensual response pada mata yang normal itu menandakan aktivitas dari nervus
optikus pada mata yang terkena, penyinaran cahaya pada mata yang intak bakal
menyebabkan konstriksi yang lebih lanjut.
3) Acomodation reflex: Pemeriksaan dilakukan dengan perintahkan pasien untuk
memfokuskan penglihatan ke tangan kita dan dinding belakang kita secara bergantian
untuk menilai konstriksi dan konvergensi dari pupil.

7
Pemeriksaan Sindroma Horner:
1) Iopidine test: Diperiksa ukuran dari pupil, setelah itu mata pasien ditetes dengan
iopidine 5%, diperiksa ulang setelah 1 jam, dikatakan(+) sindroma Horner jika terdapat
reversal of anisocoria. Pada pupil yang normal, iopidine tidak mempunyai efek pada
pupil, tapi pada sindroma Horner, akibat dari pengaruh simpatetik akan menyebabkan
adrenergic supersensitivity pada m. iris dilator, sehingga menyebabkan dilatasi pupil.
2) Cocaine test: Ditetes cocaine 4% pada mata, diperiksa ulang setelah 1 jam, pada
pasien dengan sindroma Horner, mata yang normal akan dilatasi, tapi mata yang terkena
akan bersifat normal.
3) Hydroxyamphetamine test: Untuk membedakan lesi sindroma Horner, sentral,
preganglion dan postganglion. 1 tetes paredine diteteskan pada mata, karena
hydroxyamphetamine menyebakan pelepasan norepinephrine post-ganglionic, lesi yang
terdapat pada level tersebut tidak menyebabkan dilatasi pupil, sedangkan pada lesi
central dan pre-ganglionic itu akan menyebabkan dilatasi pupil.
Pemeriksaan light near dissociation:
Pemeriksaan dilakukan dengan penyinaran cahaya pada pupil dan tidak menyebabkan
kosntriksi pupil, setelah itu, pasien disuruh untuk melihat jari tangan kita(look at the
finger as it approaches the nose), itu akan menyebabkan konstriksi pupil.

8
Pemeriksaan Holmes Adie pupil:
Dilakukan penetesan pilocarpine 1% pada mata, akan menyebabkan konstriksi pupil.
Pemeriksaan near reflex test:
Dengan cara menyuruh pasien melihat sesuatu objek dekat, akan menyebabkan
akomodasi, konvergensi dan miosis yang disebut juga dengan near synkinesis.
Synkinesis merupakan indikator dari gerakan secara simultaneous. Jika hasil dari
pemeriksaan light reflex adalah normal, maka pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan.
1. Pemeriksaan dilakukan pada kamar pemeriksaan dengan keterangan yang normal,
pasien disuruh untuk melihat/fiksasi pada objek atau target yang jauh.
2. Dengan duduk bersebelahan dengan pasien, mengerakkan sesuatu objek ke arah
penglihatan pasien secara dekat, biasanya digunakan ibu jari, penggunaan senter adalah
tidak digalakkan.
3. Instruksikan pasien untuk melihat objek yang digerakan tadi, jika yang digunakan
adalah tangan atau ibu jari pasien, digerakkan sehingga ibu jarinya keliatan.
4. Melakukan observasi pupillary reflex pada saat pasien melakukan fikasi pada target
tersebut, pupil yang normal akan konstriksi pada saat melihat objek yang dekat.
5. Diulangi langkah 1-4 beberapa kali.

9
6. Dicatat hasil pemeriksaannya, dengan menilai kecepatan respon pupil, dengan nilai
0=tidak ada resp4 respon yang cepat.

10
Pemeriksaan Pupil Berdasarkan AAO
Pupil merupakan atau seperti jendela kepada mata bagian dalam, dimana cahaya
melewati supaya bisa sampai fotoreceptor retina. Pemeriksaan pupil penting untuk
dilakukan karena beberapa penyakit seperti penyakit saraf dapat mengakibatkan
kelainan pupil. Abnormalitas yang bisa didapatkan pada pupil adalah dari segi ukuran,
bentuk, lokasi, reflex pupil kepada cahaya dan near-focus stimulation. Pasien biasanya
datang dengan keluhan anisokoria dan pengurangan dari reflex pupil.
Pada chapter ini bakal membahas mengenai anatomi dari jaras pupil serta pedoman
untuk mengevaluasi respon pupil. Pada chapter ini juga dibahas mengenai abnormalitas
pupil yang paling sering ditemukan pada saat evaluasi dan pemeriksaan pupil.
Anatomi jaras pupil
Penyakit pupil biasanya timbul akibat dari disfungsi aferen dan eferen jaras pupil. Jaras
aferen terdiri dari axon saraf optik berasal dari retina dan diskus optikus, melewati
kiasma optikum, dan keluar dari traktus optik sebelom lateral geniculate body sinaps
dengan dorsal midbrain. Jaras eferen termasuk input parasimpatetik dan simpatetik ke
otot iris. Ukuran dari pupil dikontrol sistem parasimpatetik dan simpatetik yang
mengontrol otot dilator pupillary dan otot sfingter pupillary. Otot pupillary sfingter
dikontrol oleh serat kolinergik oleh sistem parasimpatetik dari N.III, otot pupillary
dilator disuplai oleh serat adrenergik dari sistem simpatetik. Secara umum, ukuran pupil
adalah kecil pada bayi, lebih besar pada anak dan orang dewasa dan mengecil lagi pada
proses penuaan.
Jaras Parasimpatetik(Light reflex pathway)
Sistem ini membantu dalam proses terjadinya light reflex. Aferen dimulai dari retina
dan berakhir pada midbran tectum. Pada saat cahaya menstimulasi fotoreceptor retina,
impulse elektrik ditransmisikan melewati retina dengan cara dan dibantu oleh sel
ganglion axon, yang termasuk serat pupillomotor. Serat dari pupillary melewati saraf
optik ke kiasma optikum dimana proses hemidecussation terjadi, dan terus ke traktus

11
optikum dan lateral geniculate body, dan masuk ke midbrain. Sinaps pertama terjadi di
pretectal nuclei, dekat dengan superior canniculus. Serat visual tersebut kemudian
deccusate buat kedua kali dengan posterior commisure dan melakukan sinaps dengan
edinger westphal nuclei. Eferen dari nuclei tersebut meninggakan batang otak dan
memasuki orbita antara cabang inferior dari N.III untuk bersinaps dengan ganglion
ciliary. Serat postganglionic kemudian melewati short posterior ciliary nerves dan ruang
subaraknoid untuk menginverasi otot pupillary sphincter muscle dan otot ciliary.
Near reflex pathway
Ini membantu dalam konstriksi pupil saat melihat objek atau target dekat. Komponen
aferen mengirimkan serat ke korteks serebral secara bilateral. Serat tersebut terletak
lebih ventral dalam midbrain dibanding jaras light reflex. Jaras terakhir dimediasikan
melalui N.III dengan sinaps di ganglion ciliary.
Sympathetic pathway
Nyeri, ketakutan dan stimulus yang lain menyebabkan dilatasi pupil akibat dari inervasi
simpatetik muskulus pupillary dilator. Jaras okulosimpatetik terdiri dari 3 arc. First
order neuron jaras simpatetik berasal dari hipotalamus, menurun ke intermediolateral
gray column spinal cord, dan sinaps dengan ciliospinal centre of buldge pada level C8-
T2. Preganglionic second order neuron timbul dari intermediolateral column,
meninggalkan spinal cord melewati ventral spinal roots, dan masuk rami communicans.
Mereka melewati apeks paru dan ikut paravertebral cervical paraympathetic chain dan
naik untuk sinaps dengan ganglion servikal superior. Postganglionic third order neuron
berasal dari ganglio servikal superior masuk ke kranium bersamaan dengan artery
carotis interna. Serat tersebut menyambung cabang dari oftalmikus N.V antara sinus
kavernosus, mencapai muskuslus ciliary dan pupillary dilator dengan cara dari n.
nasociliary dan n. long posterior ciliary. Beberapa serat simpatetik bergabung dengan
N.VI di antara sinus kavernosus.

12
Examination of the pupils:
Pemeriksaan dimulai dengan inspeksi secara umum pada pupil, setelah itu reflex pupil
diperiksa(light reflex test, swinging light test dan near reflex test).
General pupillary observation:
Pemeriksaan dimulai dalam kamar(standardized ambient light), yang dinilai adalah
ukuran, simetri, bentuk dari pupil, dan iris dengan cara pasien disuruh melakukan
fiksasi penglihatan pada objek tertentu di dalam kamar pemeriksaan untuk
mempermudah proses pemeriksaan dan meminimalisir proses akomodasi dan miosis.
Pemeriksaan dilakukan pada posisi duduk dan menyinari pupil pasien dari posisi
inferior hidung dengan senter menggunakan cahaya minimal untuk melihat ukuran
pupil. Penilaian ukuran pupil dilakukan dengan pengunnaan senter dan untuk
pemeriksaan diameter pupil itu diukur dengan penggaris, setelah itu hasil
pemeriksaanyadicatat. Jika terdapat anisocoria, bisa akibat dari anisocoria fisiologi,
pada anisocoria fisiologi, ketidaksetaraan ukuran pada pupil meneteap sama pada semua
kondisi cahaya dan light reflex dari pupil adalah cepat. Jika terdapat anisocoria
patologik, pemeriksaan ukuran pupil harus dilakukan dalam kondisi gelap dan terang,
dan harus diperiksa ukuran milimeter palpebra fissure, diperiksa juga apakah ada ptosis
yang menandakan adanya paresis N.III dan sindroma Horner.

13
Direct consensual pupillary reflex: Dengan menyinarkan senter/cahaya pada salah
satu pupil akan menyebabkan miosis pada pupil, akibat dari hemidecussation dari
pupillomotor fibres di kiasma optikum dan midbrain tectum. Pada pemeriksaan
consensual, penyinaran pada salah satu pupil akan menyebabkan miosis pada pupil
kontralateral.
Swinging light test(RAPD): Dilakukan setelah pemeriksaan direct dan consensual
pupillary reflex, untuk membandingkan hasil dari pemeriksaan direct/consensual pupil
pada masing-masing pupil. Tes ini dilakukan untuk menilai apakah ada RAPD, disebut
juga dengan marcus gunn pupil. Pada pemeriksaan swinging light test, pemeriksa secara
bergantian menyinarkan cahaya pada satu mata ke mata yang lain beberapa kali untuk
menilai pupillary response.
Respon yang normal pada pupil adalah pupil akan berkonstriksi dan kekal konstriksi
saat sinaran cahaya dari satu mata ke mata yang lain. Namun, jika salah satu pupil
dilatasi dan konstriksi pada saat bergantian penyinaran cahaya dari satu mata ke mata
yang lain, itu berarti RAPD(+). RAPD itu bisa dideteksi walaupun salah satu pupil itu
bound down akibat dari adanya adhesi, paralisis dan dilatasi secara farmakologi, yang
penting pupil yang kontralateral tidak terjadi hal yang sama. Penyinaran cahaya pada
pupil pada pasien dengan optic nerve disease itu tidak bakal terdapat perubahan pupil
pada mata tersebut jika pupil tersebut adalah immobile. Pada kondisi seperti ini, derajat
consensual response pada mata yang normal itu menandakan aktivitas dari nervus
optikus pada mata yang terkena, penyinaran cahaya pada mata yang intak bakal
menyebabkan konstriksi yang lebih lanjut.
Pemeriksaan near reflex test:
Dengan cara menyuruh pasien melihat sesuatu objek dekat, akan menyebabkan
akomodasi, konvergensi dan miosis yang disebut juga dengan near synkinesis.
Synkinesis merupakan indikator dari gerakan secara simultaneous. Jika hasil dari
pemeriksaan light reflex adalah normal, maka pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan.

14
Abnormal pupils
Evaluasi pupil dapat menunjukkan berbagai abnormalitas saraf dan mata, termasuk
kerusakan otot iris, lesi simpatetik dan parasimpatetik, patologi pada saraf optik dan
retina, dan lesi pada dorsal midbrain.
Iris abnormalities:
Trauma, Operasi, inflamasi, atau iskemia bisa menyebabkan kerusakan iris, dan
penampakannya. Pupil bisa dilatasi, lambat respon dan iregular akibat dari ruptur
sfingter. Notches bisa ditemukan pada tepi pupil. Sequelae dari trauma yang bisa
ditemukan adalah iritis dan reactive miosis. Inflamasi bisa menyebakan anterior dan
posterior synechiae, yang mempengaruhi penampilan dan respon dari pupil. Berbagai
penyakit bisa menyebabkan neovaskularisasi pada iris dengan penutupan sudut dari
chamber. Anomali akibat dari gangguan perkembangan dan penyakit genetic
mempunyai hubungan dengan abnormalitas iris, contohnya coloboma, aniridia, dan
polycoria. Abnormalitas dari iris paling baik dilakukan dengan pemeriksaan slit-lamp.
Relative Afferent Pupillary Defect:
Disebut juga dengan Marcus Gunn pupil, dideteksi dengan swinging flashlight test.
RAPD mengindikasikan adanya kerusakan pada jaras visual anterior, oleh karena itu,
ketidakadanya defek tersebut menandakan bahwa kerusakan secara simetris atau tidak
adanya kerusakan tersebut. Defek ini tidak ditemukan pada pasien katarak, kelainan
refraksi, lesi kortikal dan gangguan penglihatan fungsional. RAPD adalah proporsional
kepada derajat kehilangan penglihatan. RAPD dinilai dari skor +1-+4 yang menandakan
amaurotic pupil, salah satu contohnya adalah tidak adanya respon pupil kepada cahaya
akibat dari kerusakan saraf optik. RAPD bisa terkuantifikasi dengan menggunakan
neutral-density fibres pada mata yang sehat sehingga defek tersebut tidak dapat
dideteksi lagi.

15
Light near dissociation:
Terjadi hasil dari pupillary near reflex adalah lebih baik dari light reflex yang bisa
merupakan akibat dari kerusakan bilateral pada struktur yang merupakan bagian dari
aferen limb of the pupillary light reaction atau kerusakan dari serat yang mediasi
pupillary light reflex di dorsal midbrain. Serat mesencephalic untuk near reflex terletak
lebih ventral dari serat light reflex, akibat dari ini, serat near reflex terhindar dari efek
lesi kompresif atau inflamasi dorsal midbrain. Light near dissociation terlihat jelas pada
sindroma parinaud, yang biasanya terjadi akibat dari adanya tumor pada regio pineal
yang menyebabkan kompresi dorsal midbrain, kondisi ini juga bisa diakibatkan oleh
MS, stroke dan hydrosefalus. Pada pasien bisa ditemukan dilatasi pupil sederhana
dengan light near dissociation, upgaze palsy, retraksi kelopak mata, dan convergence-
retraction nystagmus. Light near dissociation timbul dari kompresi serat yang terletak
superfisial yang berfungsi untuk light reflex, serat yang terletak ventral adalah terhindar.
Sindroma yang lain yang bisa menyebabkan kondisi ini adalah Argyll Robertson Pupil
yang merupakan tanda klasik neurosifilis. Tidak seperti kompresi pada dorsal mid brain,
pupil pada kedua sisi mata adalah miotik. Penyebab lain light near dissociation adalah
adie tonic pupil, kerusakan aferen, enselopati wernicke, DM dan sarkoidosis.
Sindroma Horner:
Merupakan kondisi di mana terjadi kerusakan serat simpatetik okular pada level apa saja
sepanjang jaras simpatetik(sentral, pre dan post-ganglionic): Karakteristik dari sindroma
ini adalah:
1) Ptosis ringan(paresis otot muller)
2) Miosis(paralisis otot dilator pupil)
3) Anhidrosis
4) Enopthalmos
5) Heterochromia iridis

16
Karakteristik lain yang bisa ditemukan adalah reverse ptosis kelopak mata bawah dan
penurunan TIO. Anisocoria biasanya lebih khas di iluminasi yang redup. Dilation lag
bisa ditemukan saat pergantian dari iluminasi terang ke gelap.
Test farmakologi bisa dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis sindroma horner
dengan cara penetesan 4% atau 10% cocaine drop pada kedua sisi mata. Mekanismenya
adalah dengan blok reuptake dari norepinephrine from ujung saraf simpatetik, yang
memungkinkan norepineprine untuk tetap berhubungan dengan otot effector lebih lama.
Cocaine akan menyebabkan dilatasi mata pada inervasi simpatetik yang masih intak.
Jika jaras simpatetik pada salah 1 sisi diganggu pada level apa saja, norepinephrine
tidak akan dilepaskan. dimana cocaine tidak akan mempunyai efek sehingga pupil tetap
dalam kondisi miosis. Tes cocaine merupakan gold standard konfirmasi sindroma
horner secara farmakologi, tapi cocaine sulit didapatkan. Apraclonidine juga telah
digunakan dalam penegakan diagnosis sindroma horner, yang merupakan alfa
adrenergik agonis yang lemah dimana pada kondisi mata yang normal, tidak
mempunyai efek yang signifikan pada pupil. Tapi, pada kondisi mata yang denervasi
secara simpatetik, otot dilator iris menyebabkan adrenergik supersensitivity sehingga
menyebabkan diltasi pupil, dan pembalikan anisocoria yang merupakan diagnostik dari
sindroma horner.
Setela diagnosa sindroma horner ditegakkan dengan tes cocaine, tes
hydroxyamphetamine bisa dilakukan untuk menentukan level dari lesi sindroma horner.
Tes hidroxyamphetamine tidak bisa dilakukan bersamaan dengan tes cocaine pada hari
yang sama, karena akan mempengaruhi mekanisme kerja hydroxyamphetamine. 1 tetes
hydroxyamphetamine 1% menyebabkan pelepasan norepinephrine dari terminal dari
saraf postganglionic simpatetik, pada lesi postganglionic, pupil tidak akan dilatasi, tapi
pada lesi sentral dan preganglionic, pupil akan dilatasi. Membedakan level dari lesi
tersebut adalah penting karena lesi sentral dan preganglionic adalah lebih bahaya dari
lesi postganglionic. Lesi sentral bisa akibat dari proses vaskuler dan tumor. Lesi pre-
ganglionic bisa akibat dari tumor paru, operasi dada dan aneurisma artery thoracic.
Penyebab dari sindroma horner post-ganglionic adalah cluster headache, diseksi arteri
carotis dan trauma leher.

17
Test yang bisa iritasi kornea sebaiknya tidak dilakukan seperti tes sensasi kornea
sebelom tes farmakologi dilakukan karena defek dari epitel bisa menyebabkan absorpsi
yang kurang dan hasil yang bias.
Pupil dilatasi yang menetap:
DD dari pupil dilatasi yang menetap bisa ditemukan pada kondisi berikut:
1. Adie tonic pupil:
Biasanya bersifat midriasis unilateral, disertai kehilangan fungsi akomodasi ipsilateral,
pada wanita yang sehat. Pupil pada kondisi ini biasanya besar, tapi ukuran bisa
mengecil dan miosis pada bulan dan tahun yang akan datang. Pupil tidak bereaksi atau
lambat bereaksi terhadap cahaya, dan mempunyai respon yang lebih baik terhadap
akomodasi. Redilasi setelah near response adalah lambat. Kontraksi vermiform pada
iris yang lambat bisa membantu dalam penegakan diagnosis. Denervasi parasimpatetik
post-ganglionic biasanya ada, dan lesi tersebut biasanya melokalisir ganglion ciliary
atau short posterior ciliary nerve. Sindroma Holmes Adies biasanya disertai gejala lain
seperti hypotensi orthostatik dan hilangnya deep tendon reflex. Kondisi ini ditegakkan
diagnosis dengan hypersensivitas terhadap weak miotic drops atau disebut juga dengan
denervation supersensitivity, pupil adie tonic konstriksi terhadap pilocarpine 1% yang
biasanya tidak mempengaruhi pupil.
Paresis N.III
Kompresi dari N.III menyebabkan paresis N.III, ptosis berat, defisit melakukan elevasi,
depresi dan aduksi, dan pupil yang dilatasi dan tidak bereaksi. Akibat dari lokasi serat
parasimpatetik yang terletak di perifer dari N.III, saat keluar dari batang otak, sehingga
bisa mengakibatkan kompresi pada daerah tersebut(tumor,aneurisma) tapi tidak
dipengaruhi oleh lesi vaskulopatik seperti DM. Pada kondisi paresis N.III disertai
midriasis terjadi secara akut, aneurisma pada junction internal carotid dan posterior
communicating arteries harus dilakukan investigasi. Penyebab lain paresis N.III adalah
tumor otak, meningitis basal, herniasi unkal.
Blok farmakologi
Merupakan penyebab tersering dari dilatasi pupil, pada pasien sehat, akibat dari
pemberian atropine secara sengaja atau tidak sengaja. Ini dibedakan dengan paresis

18
N.III dan adie tonic pupil dengan ketidakadanya ptosis dan abnormalitas pergerakan dan
kegagalan pupil untuk berkonstriksi setelah pemberian pilocarpine 1%. Pemberian
menyebabkan konstriksi pupil yang sifatnya midriasis yang menyertai paresis N.III.
Penyebab yang lain
Penyebab lain midriasis dari pupil adalah akibat trauma dari rupture sfingter iris.
Pemeriksaan slit-lamp akan memperlihatkan batas yang iregular dari pupil pada lokasi
ruptur sfingter. Glaukoma sudut tertutup biasanya menyebabkan midriasis yang
sederhana dan pupil yang tidak bereaktif dengan baik, cari tanda-tanda glaukoma seperti
mata merah dan peningkatan TIO.
Pitfall and Pointers
 Buta unilateral, atau RAPD yang unilateral, tidak menyebabkan anisokoria. Pada
sisi pupil yg defek, pupil tersebut akan bereaksi lambat pada cahaya dan konstriksi
secara consensual pada saat pupil kontralateral yang sehat distimulasi akibat dari
decussation of pupillomotor fibre.
 RAPD mengindikasikan pada jaras aferen itu mempunyai defek pada 1 sisi
dibandingkan dengan sisi kontralateral. Tidak ada RAPD yang bilateral.
 Pada saat melakukan swinging flashlight test, pastikan waktu pada saat cahaya yang
disinarkan pada mata adalah setara pada kedua sisi mata untuk mencegah terjadinya
bleaching fotoreceptor dan hasil bias dari RAPD. Prolonged occlusion dan marked
anisocoria bisa menyebabkan bleaching fotoreceptor sehingga pemeriksaan pupil
jadi kacau.
 Paresis dari N.III itu bisa akibat dari aneurisma cerebral, pemeriksaan harus
dilakukan dengan cepat, dan konsultasi dengan bedah-syaraf harus dilakukan secara
segera, diagnosis yang terlambat itu menyebabkan konsekuensi yang mengancam
jiwa.
 Pada saat melakukan pemeriksaan pupil secara farmakologi, kedua mata harus
ditetes untuk fungsi pembandingan.
 Katarak dan pendarahan vitreous hampir tidak menyebabkan RAPD.
 Jangan memberikan hydroxyamphetamine pada hari yang bersamaan dengan
pemberian cocaine karena cocaine bisa mempengaruhi mekanisme dari

19
hydroxyamphetamine.

Refleks Cahaya
1. Dilakukan dalam ruangan dengn pencahayaan redup, pasien diminta untuk
fiksasi pada jarak jauh, contohnya bisa fiksasi pada huruf paling besar pada
Snellen chart
2. Dengan menggunakan penlight sinar terang, sinari mata lansung pada mata
kanan dari arah samping atau bawah. Jangan berdiri didepan pasien atau pasien
melihat langsung kea rah cahaya, karena akan menstimulasi reflex dekat dan
memberikan hail yang tidak akurat.
3. Catat respon langsung pupil terhadap cahaya pada mata kanan dan dinilai
kecepatan pupil dalam merespon cahaya, dari grading 0 (tidak ada respon)
sampai 4+ (respon cepat)
4. Ulangi langkah 1-3 pada mata kiri
5. Ulangi langkah 1 dan 2 pada mata kanan, untuk menilai reflex konsensual
(reflex tidak langsung) dengan melihat respon cahaya pada pupil mata
sebelahnya. Kecepatan respon dan perubahan diameter pupil yang normal harus
sama dengan kecepatan pada saat pemeriksaan reflex langsung dan degrading
dengan angka yang sama.
6. Ulangi langkah 1,2,5 pada mata kiri

20
Pemeriksaan RAPD (swinging flashlight test)
1. Dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan redup, mata pasien diminta
fiksasi pada jarak jauh, sinari secara langsung mata kanan pasien dengan
penlight sinar terang, dengan posisi sama seperti pemeriksaan reflex cahaya.
Nilai kontriksi pupil pada kedua mata.
2. Pindahkan sinar penlight melalui jembatan hidung pasien ke mata kiri pasien,
lihat respon pupil pada mata kiri pasien. Penyinaran pupil harus dari sudut yang
sama.
a. Normal  pupil sedikit miosis atau tidak berubah
b. RAPD(+)  pupil dilatasi saat disinari cahaya (reflex cahaya langsung
lebih lemah disbanding reflex tidak langsung). Hal ini menandakan
adanya gangguan ada nervus optikus atau kerusakan retina yang berat
3. Ayunkan cahaya dengan cepat ke mata kanan dan nilai reflex cahayanya. Nilai
normal samaa dengan langkah 3.
4. Ulangi langkah 1-3 dengan irama dan kecepatan yang sama, dengan interval
yang sama untuk menyinari setiap pupil samapi jelas dinilai respon pupil
tersebut normal atau pupil tersebut dilatasi terus menerus.
5. Nilai RAPD dengan grading 1+ sampai 4+, yaitu +1 menandakan defek aferen
yang rinnan dan 4+ menandakan pupilamaurosis, defek yang berat dimana mata
yang terkena tidak terdapat respon cahaya langsung.

21
Pemeriksaan near reflex test
1. Pemeriksaan dilakukan pada kamar pemeriksaan dengan keterangan yang normal,
pasien disuruh untuk melihat/fiksasi pada objek atau target yang jauh.
2. Dengan duduk bersebelahan dengan pasien, mengerakkan sesuatu objek ke arah
penglihatan pasien secara dekat, biasanya digunakan ibu jari, penggunaan senter adalah
tidak digalakkan.
3. Instruksikan pasien untuk melihat objek yang digerakan tadi, jika yang digunakan
adalah tangan atau ibu jari pasien, digerakkan sehingga ibu jarinya keliatan.
4.Melakukan observasi pupillary reflex pada saat pasien melakukan fikasi pada target
tersebut, pupil yang normal akan konstriksi pada saat melihat objek yang dekat.
5. Diulangi langkah 1-4 beberapa kali.
6. Dicatat hasil pemeriksaannya, dengan menilai kecepatan respon pupil, dengan nilai
0=tidak ada resp 4=respon yang cepat.

22
Daftar Pustaka
1. Preston H. Blomquist, MD. 2015, Practical Opthalmology, San Francisco, AAO,
P120-131
2. Elaine K.Luo, MD, What is anisocoria, https://www.healthline.com/health/anisocoria
(28 Juli 2020)
3. Ann Marie Griff, O.D., What is miosis, https://www.healthline.com/health/miosis,
(28 Juli 2020)
4. Judith Marcin, MD What is midriasis, https://www.healthline.com/health/mydriasis,
(28 Juli 2020)

23

Anda mungkin juga menyukai