Anda di halaman 1dari 11

Kelainan Refraksi pada Mata dan Tatalaksananya

Sonia Dwi Reina Tumanggor


Mahasiswa Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara no. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat – 11510

Abstrak

Salah satu hal yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi
pada mata. Kelainan refraksi pada mata ini dapat terjadi karena bentuk bola mata yang lebih
panjang atau lebih pendek dari ukuran normal ataupun karena ada gangguan pada media refraksi.
Kelainan refraksi dapat berupa miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Pada kelainan refraksi
ini dapat terjadi anisometropia yang nantinya dapat menyebabkan ambliopia. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan koreksi dengan ukuran lensa yang tepat sehingga penderita dapat melihat dengan
jelas.

Kata kunci : Kelainan refraksi, Anisometropia, Ambliopia

Abstract

One of the things that can cause vision problems is a refractive abnormalities in the eyes.
Refractive abnormalities in the eyes can occur because of the shape of the eyeball that is longer
or shorter than normal size or because there is interference with the refraction media. Refractive
abnormalities can include myopia, hypermetropia, and astigmatism. In this refractive
abnormalities, anisometropia can occur which later can cause amblyopia. Therefore, correction
is needed with the right size of the lens so that patients can see clearly.

Keywords: Refraction abnormalities, Anisometropia, Amblyopia

1
Pendahuluan

Kelainan refraksi pada mata merupakan hal yang cukup umum untuk dijumpai. Sebagian
dari masyarakat dunia mengalaminya. Hal tersebut disebabkan karena adanya kelainan pada bola
mata penderita ataupun karena kelainan pada media refraksi. Namun tidak menutup
kemungkinan juga karena bawaan atau kongenital, lingkungan, dan gizi. Kelainan refraksi
sendiri terbagi mejadi miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Kelainan tersebut tentu akan
terasa mengganggu dan juga dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang
nantinya dapat menyebabkan ambliopia. Masing-masing memiliki tatalaksananya sendiri untuk
mengembalikan penglihatan penderita agak dapat melihat objek dengan jelas. Pada tinjauan
pustaka kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kelainan refraksi pada mata dan
tatalaksananya.

Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu komunikasi antara dokter dengan pasien atau orang yang
terdekat dengan kehidupan pasien tersebut sehari-hari. Tujuan dari anamnesis ini adalah untuk
mengetahui keluhan utama dari pasien serta informasi mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis yang baik dapat mengarahkan pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis
dapat dilakukan secara langsung dengan pasiennya sendiri atau yang dikenal dengan
autoanamnesis atau secara tidak langsung yang dikenal dengan alloanamnesis. Autoanamnesis
dapat dilakukan jika pasien berada dalam keadaan sadar sedangkan bila pasien dalam keadaan
tidak sadar atau masih anak-anak, maka dapat dilakukan alloanamnesis dengan bertanya pada
orang tuanya atau kerabat terdekat.1,2

Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Identitas pasien
meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, umur, status perkawinan, suku bangsa, agama,
alamat, pendidikan dan pekerjaan. Setelah itu dapat ditanyakan pada pasien atau orang tua dan
walinya apa keluhan utama dia datang, keluhan penyerta lain, faktor predisposisi dan faktor
resiko, kemungkinan penyebab penyakit, dan faktor-faktor yang dapat memperburuk atau
memperbaiki keluhan, misalnya upaya pengobatan yang sudah dilakukan. 1,2

2
Hasil anamnesis yang didapatkan dari kasus ini adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun
datang dengan keluhan melihat tulisan di layar proyektor dan televisi tidak jelas sejak usia 15
tahu dan perlahan-lahan bertambah parah. Untuk dapat melihat dengan jelas, laki-laki tersebut
perlu memicingkan dan mengucek mata. Tidak ditemukan adanya riwayat keluar air mata dan
juga mata merah.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien untuk mengetahui
adanya perubahan patologis dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Inspeksi
adalah pemeriksaan dengan cara mengamati bagian tubuh yang akan diperiksa. Palpasi adalah
pemeriksaan dengan meraba serta menekan bagian tubuh yang mengalami kelainan. Perkusi
adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk bagian tubuh dengan tangan atau alat. Sedangkan
auskultasi adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui pendengaran.2,3

Pemeriksaan mata yang perlu dilakukan berdasarkan kasus tersebut adalah pemeriksaan
refraksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat dan mengukur gangguan refraksi mata
seseorang. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan apakah kelainan pada mata yang
terjadi itu akibat gangguan media refraksi atau kelainan organ, serta terapi yang dibutuhkan.
Pemeriksaan refraksi ini dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan objektif dan subjektif.
Pemeriksaan objektif dilakukan hanya menggunakan alat untuk menentukan keadaan refraksi
pada mata pasien. Sedangkan pada pemeriksaan subjektif dibutuhkan kerja sama yang baik
antara pemeriksa dan pasien untuk menilai keadaan refraksi mata pasien tersebut. Oleh sebab itu,
pemeriksaan subjektif dianggap dapat memberikan hasil yang lebih baik dan akurat
dibandingkan dengan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan subjektif dimulai dari pemeriksaan
visus, lalu dilanjutkan dengan penyempurnaan fraksi pembiasan dan menentukan ukuran lensa
untuk koreksi kelainan refraksi.4,5

Pemeriksaan pertama yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan visus mata. Pemeriksaan
visus mata adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur ketajaman penglihatan
seseorang. Tajam penglihatan adalah kemampuan seseorang untuk melihat pada jarak tertentu
sebelum dan sesudah dikoreksi. Pemeriksaan visus ini dilakukan pada kedua mata pasien dengan
cara melihat pada objek yang berada di kartu Snellen. Hasil dari pengukuran ini dinyatakan

3
dalam bentuk rasio pembilang dan penyebut, dimana pembilang melambangkan jarak mata
pasien dengan kartu Snellen, sedangkan penyebut melambangkan jarak mata normal bisa melihat
objek di kartu Snellen. 4,5

Normalnya, untuk melihat kartu Snellen dibutuhkan jarak 5-6 meter. Apabila pasien tidak
dapat melihat kartu Snellen dari jarak 1 meter, maka akan digunakan metode finger counting.
Pada metode ini pasien akan diminta untuk melihat dan menghitung jari pemeriksa pada jarak 1
hingga 6 meter dengan ukuran visus 1/60 sampai 60/60. Kalau pasien tidak dapat melihat jari
pemeriksa dari jarak 1 meter, maka akan digunakan metode hand movement dengan visus 1/300
dimana pemeriksa akan menggerakan tangannya dan pasien akan menentukan arah gerakan
tangan pemeriksa. Jika hand movement tidak berhasil, maka akan dilakukan penyinaran dengan
pen light yang disebut juga dengan light perception. Pemeriksaan ini dinyatakan dengan visus
1/∞ proyeksi baik apabila pasien dapat menentukan arah datangnya sinar, namun jika tidak dapat
menentukan arah sinar maka hasil pemeriksaan visusnya 1/∞ proyeksi buruk. Jika tidak dapat
menentukan ada atau tidaknya sinar, maka pasien dinyatakan buta total dengan visus 0. 4,5

Setelah diperiksa menggunakan kartu Snellen, gangguan penglihatan pasien harus


dipastikan lagi apakah itu merupakan kelainan refraksi atau bukan dengan menggunakan tes Pin
Hole. Pada tes ini pasien diminta untuk duduk dengan jarak yang sudah ditentukan, biasanya 6
meter, dari kartu pemeriksaan. Tes ini juga dilakukan pada kedua mata satu per satu. Bila pasien
berkacamata, dipasang juga koreksi kacamatanya. Kemudian dicatat hasil pemeriksaannya
sebagai tajam penglihatan pin hole. 4,5

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan trial and error. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menentukan ukuran lensa koreksi yang nyaman untuk pasien. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memasangkan trial frame pada pasien dengan salah satu mata ditutup dengan
okluder. Dimulai dari jarak pasien tidak dapat membaca kartu Snellen hingga huruf pada jarak
5/5 dapa dibaca dengan jelas. Untuk koreksi dengan lensa negatif, pilihlah ukuran lensa terkecil
yang dapat digunakan untuk melihat dengan jelas. Sedangkan untuk koreksi dengan lensa positif,
pilihlah ukuran lensa terbesar yang dapat digunakan untuk melihat dengan jelas. Selain itu juga
perlu dilakukan pemeriksaan untuk koreksi astigmatisma dengan menggunakan Jackson cross
cylinder dan Astigmat Dial. Jackson cross cylinder adalah alat yang paling sering digunakan
untuk menentukan lensa koreksi astigmatisma. Pada alat ini terdapat 2 lensa silindris dengan

4
kekuatan negatif dan positif. Astigmat dial merupakan tes dengan garis-garis yang tersusun
secara radial yang digunakan untuk menentukan aksis dari astigmatisma. Untuk melakukan
pemeriksaan menggunakan astigmat dial, perlu dilakukan fogging atau pengaburan pada mata
dengan menambah sferis positif kemudian meminta pasien untuk memperhatikan garis mana
yang dilihat paling tajam dan hitam. Setelah itu tambahkan silinder minus ataupun mengurangi
sferis positif hingga didapatkan ketajaman yang terbaik saat melihat garis pada astigmat dial.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan duokrom dengan menggunakan warna merah dan hijau
yang bertujuan untuk menentukan refraksi monokuler untuk penglihatan terbaik. 4,5

Pemeriksaan objektif yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan retinoskopi dan


keratometer. Retinoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan kesalahan
objektif bias mata dan kebutuhan untuk menentukan ukuran lensa kacamata. Pemeriksaan ini
membutuhkan kerja sama yang minimal dari pasien, namun biasanya dilakukan oleh dokter
spesialis mata ataupun optometris. Keratometer adalah alat otomatis yang dengan cepat dapat
menentukan refraksi objektif mata. Biasanya bisa ditemukan di optik untuk menentukan ukuran
lensa koreksi dengan cepat. 4,5

Hasil pemeriksaan pada pasien didapatkan bahwa mata kanan memiliki visus 6/60 PH
6/40 dengan koreksi S -2.00 silindris -0,75 dengan axis 180 derajat. Sedangkan mata kiri
memiliki visus 6/60 PH 6/50 dengan koreksi S +0,75 : 6/40. Selain itu, segmen anterior kedua
bola masih dalam batas normal. Pada segmen posterior, kedua bola mata memiliki saraf optikus
bulat, berbatas tegas, CDR 0,3, serta A : V yaitu 2 : 3. Ditemukan juga reflek makula positif di
mana tidak ada perdarahan dan eksudat pada bagian perifer.4,5

Diagnosis kerja

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, maka dapat ditegakkan
bahwa laki-laki tersebut menderita kelainan refraksi mata, antara lain: astigma myopia
compositus OD, hipermetropi simpleks OS, ambliopia OS, dan anisometropia.

Refraksi mata adalah hasil pembiasan cahaya pada mata oleh media refraksi, yaitu
kornea, cairan mata, lensa, dan badan kaca. Selain itu, refraksi juga dipengaruhi oleh panjangnya
bola mata. Pada keadaan normal, cahaya itu akan dibiaskan dan difokuskan tepat di daerah

5
makula lutea tanpa perlu berakomodasi. Mata pada keadaan normal disebut juga dengan
emetropia. Namun, apabila terjadi kelainan refraksi pada mata, cahaya yang dibiaskan tersebut
tidak dapat fokus dan tepat jatuh di daerah makula lutea, atau lebih tepatnya pada retina. Hal
tersebut terjadi karena adanya gangguan pada media refraksi ataupun panjang bola mata.
Keadaan mata yang tidak normal atau mengalami gangguan dapat juga disebut dengan keadaan
ametropia.5,6

Pada keadaan tanpa akomodasi, ametropia menghasilkan bayangan benda atau sinar pada
fokus yang tidak sejajar atau tidak berada tepat pada retina sehingga bayangan benda tidak dapat
dibentuk dengan jelas. Ada dua bentuk ametropia, yaitu ametropia aksial dan refraktif.
Ametropia aksial terjadi karena sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga
bayangan yang terbentuk berada di depan ataupun di belakang dari retina. Sedangkan ametropia
refraktif merupakan kelainan dari media refraksi yang ada di dalam bola mata. Bila daya biasnya
kuat maka bayangan benda akan terbentuk di depan retina, namun sebaliknya jika daya biasnya
lemah, maka bayangan benda akan terbentuk di belakang retina. Tidak hanya itu, ametropia juga
dapat terjadi pada bola mata dengan ukuran panjang yang normal. Ametropia yang terjadi
merupakan akibat dari abnormalitas lengkungan kornea atau lensa yang disebut dengan
ametropia kurvatura dan juga abnormalitas indeks bias di dalam mata yang disebut dengan
ametropia indeks. Ametropia ini dapat ditemukan pada kelainan berupa miopia, hipermetropia,
dan astigmatisma. 5,6

Miopia atau yang lebih akrab dikenal dengan rabun jauh merupakan keadaan dimana saat
mata dalam keadaan istirahat dan tidak berakomodasi, mata memfokuskan cahaya sejajar dari
benda yang ada di depannya pada satu titik yang berada di depan retina. Hal tersebut dapat
terjadi karena panjang bola mata yang melebih rata-rata (miopia aksial) ataupun karena adanya
kelainan kekuatan refraksi mata yang terlalu besar (miopia refraktif). Kelainan ini tentu saja
memerlukan koreksi agar mata dapat melihat benda dengan jelas, oleh sebab itu miopia dapat
dibagi menjadi miopia ringan dengan ukuran sampai -3,00 dioptri, miopia sedang dengan ukuran
mulai dari -3,00 hingga -6,00 dioptri, dan miopia tinggi dengan ukuran lebih dari -6,00 dioptri. 5-7

Hipermetropia atau yang biasa dikenal dengan rabun dekat merupakan keadaan di mana
mata memfokuskan cahaya sejajar yang datang dari benda yang ada di depannya pada satu titik
di belakang retina tanpa berakomodasi. Hal tersebut dapat terjadi akibat bola mata yang lebih

6
pendek daripada umumnya atau disebut juga hipermetropia aksial. Bisa juga terjadi akibat
kelainan pada lengkungan kornea atau lensa yang lemah yang dikenal dengan hipermetropia
kurvatura, ataupun akibat indeks bias yang kurang pada mata yang disebut juga dengan
hipermetropia refraktif. Hipermetropia juga dapat terjadi karena kelainan kongenital, didapat,
ataupun kelanjutan dari hipermetropia kongenital. Untuk tingkatannya, hipermetropia dibagi
menjadi 3, yaitu ringan dengan ukuran +0,25 hingga +3,00 dioptri, sedang dengan ukuran +3,25
hingga +6,00 dioptri, dan tinggi dengan ukuran lebih dari +6,25 dioptri. Hipermetropia juga
dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu manifest baik itu absolut ataupun fakultatif, laten, dan
total. Nilai dari hipermetropia manifest didapat tanpa menggunakan sikloplegik yang dikoreksi
dengan kaca mata positif maksimal sehingga memberikan tajam penglihatan normal. Seperti
yang sudah dijelaskan, hipermetropia manifest terbagi menjadi absolut dan fakultatif dimana
hipermetropia absolut berarti kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan penderita
membutuhkan kacamata positif. Sedangkan hipermetropia fakultatif berarti kelainan
hipermetropia dapat diimbangi dengan kacamata positif. Selain itu, manifest laten merupakan
kelainan hipermetropia tanpa sikloplegik namun diimbangi dengan akomodasi keseluruhan, dan
hipermetropia total adalah keadaan dimana laten dan manifest sudah didapatkan ukurannya
setelah diberikan sikloplegik. 5-7

Kelainan refraksi mata yang lainnya adalah astigmatisma. Astigmatisma merupakan


keadaan mata yang tidak dapat memfokuskan pembiasan cahaya yang datang pada satu titik
tunggal. Hal ini dapat terjadi karena kelengkungan dan kekuatan refraksi permukaan kornea
ataupun lensa berbeda beda sehingga terbentuk lebih dari satu fokus. Astigmatisma sendiri dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu regular dan iregular. Astigmatisma regular merupakan astigmatisma
yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang secara perlahan secara
teratur, sedangkan astigmatisma iregular adalah keadaan dimana bayangan yang terjadi tidak
memiliki 2 garis yang saling tegak lurus. Hal ini dapat terjadi akibat kelengkungan kornea yang
menyebabkan bayangan benda menjadi iregular. Berdasarkan orientasi meridian utamanya,
astigmatisma dapat dikelompokan menjadi astigmatisma with the rules, against the rules, dan
oblik. Astigmatisma with the rules merupakan keadaan dimana pembiasan terbesar mata adalah
pada bidang vertikal. Astigmatisma against the rules merupakan keadaan dimana pembiasan
terbesar mata terletak pada garis horizontal. Sedangkan pada astigmatisma oblik, pembiasan
terbesar terletak pada bidang miring di sekitar sudut 45 dan 135 derajat. 5-7

7
Astigmatisma berdasarkan orientasi dan posisi relatif garis fokusnya dapat
diklasifikasikan menjadi lima tipe, yaitu: astigmatisma miop simpleks, miop kompositus,
hipermetrop simpleks, hipermetrop kompositus, dan mikstus. Astigmatisma miop simpleks
merupakan keadaan astigmatisma yang memiliki satu garis fokus pada retina dan garis lainnya
berada di depan retina, sedangkan pada astigmatisma miop kompositus, kedua garis berada di
depan retina. Hampir serupa dengan astigmatisma hipermetrop simpleks dan kompositus. Pada
astigmatisma hipermetrop simpleks, satu garis fokus terletak di retina dan garis lainnya di
belakang retina, sedangkan pada astigmatisma hipermetrop kompositus, kedua garis terletak di
belakang retina. Berbeda halnya dengan astigmatisma mikstus di mana satu garis fokus terletak
di depan retina dan garis lainnya terletak di belakang retina. 5-7

Ambliopia atau yang lebih awam dikenal dengan sebutan mata malas merupakan
gangguan mata kongenital yang berupa adanya penurunan ketajaman penglihatan atau visus serta
gangguan pada perkembangan penglihatan selama masa kanak-kanak. Penurunan ketajaman
mata ini tidak dapat dikoreksi dengan lensa. Biasanya gangguan ini hanya mengenai satu mata
saja, tetapi kadang bisa mengenai kedua mata juga.8

Anisometropia adalah adanya perbedaan ukuran total refraksi pada kedua mata.
Umumnya, retina mata dapat menerima perbedaan bayangan di kedua retina hingga 5%. Oleh
sebab itu perbedaan 1D pada kedua mata tidak menyebabkan anisometropia karena
perbedaannya hanya 2%. Perbedaan maksimal yang dapat ditoleransi oleh retina mata kita adalah
2,5D. Perbedaan antara 2,5D hingga 4D dapat ditoleransi berdasarkan individu masing-masing.
Namun, perbedaan yang lebih dari 4D tidak dapat ditoleransi lagi oleh retina.5-7

Etiologi

Kelainan pada refraksi mata dapat terjadi karena panjang bola mata yang terlalu panjang
ataupun terlalu pendek dibandingkan dengan ukuran bola mata normal. Selain itu juga dapat
terjadi karena adanya gangguan pada media refraksi mata, seperti gangguan pada kornea dan
lensa. Tidak hanya itu, kelainan refraksi juga dapat terjadi akibat faktor keturunan dan
kongenital, lingkungan dan gizi. 5-7

8
Ambliopia umumnya terjadi karena adanya kelainan refraksi pada mata, perbedaan
kekuatan refraksi yang besar antara kedua bola mata, mata juling, ataupun karena hambatan
masuknya cahaya ke dalam mata akibat ptosis, katarak, kekeruhan kornea, atau sebab lain. 8

Anisometropia bisa terjadi karena kongenital ataupun didapat. Anisometropia kongenital


disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan kedua bola mata, sedangkan anisometropia didapat
mungkin terjadi karena adanya pengangkatan lensa pada katarak atau implantasi lensa
intraokuler dengan kekuatan lensa yang salah. 5-7

Epidemiologi

Diperkirakan 2,3 milyar orang di dunia mengalami kelainan refraksi. Di Indonesia sendiri
penduduk yang mengalami kelainan refraksi pada mata sekitar 25% dari populasi. Prevalensi
terjadinya ambliopia di Amerika Serikat berada pada kisaran 1-3,5% pada anak yang sehat dan
4-5,3% pada anak dengan problema mata. Disebutkan juga bahwa sekitar 2-3% dari keseluruhan
populasi menderita ambliopia. Hampir sama dengan hasil yang didapatkan berdasarkan
penelitian dengan sampel anak SD di Bandung, prevalensinya sekitar 1,56%. Tidak ada
perbedaan angka insidensi berdasarkan jenis kelamin ataupun ras, namun resiko terjadinya akan
meningkat pada anak yang perkembangannya terlambat, lahir prematur, atau ada riwayat
keluarga dengan ambliopia. Gambaran kejadian anisometropia secara global menunjukkan
adanya peningkatan prevalensi secara sistematik sebanyak 1% setiap 7 tahun. Selain itu, data
penelitian juga menunjukkan bahwa angka kejadian anisometropia lebih tinggi pada beberapa
negara di Asia dibandingkan dengan Amerika Serikat. 9,10

Gejala klinis

Gejala klinis yang dapat ditemukan pada penderita adalah adanya gangguan penglihatan
dimana pandangan menjadi kabur, sakit kepala akibat kelelahan otot mata, asthenopia seperti
mual dan melihat lantai bergelombang, sering menyipitkan mata. 6,7

Penatalaksanaan

9
Tujuan utama dari tatalaksana gangguan refraksi adalah untuk memperbaiki ketajaman
penglihatan dan kenyamanan penglihatan penderita. Penatalaksanaan tersebut dilakukan dengan
memberikan kacamata ataupun lensa kontak dengan ukuran yang sesuai dengan kondisi mata
penderita. Tidak hanya itu, penatalaksanaan bedah juga dapat diberikan pada situasi tertentu.
Namun penatalaksanaan bedah harus dilakukan oleh dokter spesialis mata. 6,7

Lensa kacamata yang perlu digunakan untuk koreksi pada kasus di skenario adalah
menggunakan lensa negatif pada mata kanan untuk astigmatisma miopia kompositus dan lensa
positif pada mata kiri untuk hipermetropia simpleks. 5-7

Untuk ambliopia, tatalaksana yang dapat dilakukan oklusi atau patching, yaitu menutup
mata yang penglihatannya baik. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan kesempatan pada
mata yang ambliopia untuk mengembangkan daya penglihatannya. Namun tidak dapat dipastikan
jangka waktu penggunaan patching.8

Resep Kacamata

Vitrum Vitrum Axis Prisma Vitrum Vitrum Axis Prisma Distant


Spher Cylndr Basis Spher Cylndr Basis Vitror
Pro -2,00 -0,75 180 +0,75
Login
Quitat
Pro
Domo
Pro
Propin
Quitata

Kesimpulan

Gangguan penglihatan yang paling sering terjadi adalah kelainan refraksi mata. Kelainan
refraksi ini berupa miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Kelainan refraksi yang berbeda
pada kedua mata disebut anisometropia. Keadaan ini dapat menyebabkan mata malas atau yang
disebut dengan amblioplia, meskipun ambliopia juga dapat terjadi karena kongenital. Kelainan

10
refraksi tersebut perlu dikoreksi dengan kacamata yang ukurannya sesuai agar penderita dapat
melihat dengan jelas dan nyaman.

Daftar Pustaka

1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis dalam: at a glance anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2009. h. 1-17.
2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009.h.2-7.
3. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004.h.1-4,6,13-5,20,98.
4. PMN RS Mata Cicendo. Pemeriksaan refraksi subjektif: duochrome test dan binocular
balancing. Bandung: Kementrian Kesehatan RI; 2018.
5. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata edisi kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2018. h. 73,76-84.
6. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. Buku ajar oftalmologi edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. h. 185-92.
7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 7th ed. Windsor: Elsevier
Saunders;2011.
8. Cibis G, Gulani AC. Amblyopia. [Updated 2018 Dec 15]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019.
9. Fauzi L, Anggorowati L, Heriana C, Skrining gangguan refraksi mata pada siswa sekolah dasar
menurut tanda dan gejala.. Journal of Health Education. 2016;1(1):1-7.
10. Hashemi H, Fotouhi A, Yekta A, Pakzad R, Ostadimoghaddam H, Khabazkhoob M. Global and
regional estimates of prevalence of refractive errors: Systematic Review and meta-analysis.
Journal of Current Ophthalmology. 2017;1:1-20.

11

Anda mungkin juga menyukai