Anda di halaman 1dari 11

Proses Pemberantasan Penyakit DHF pada Puskesmas

Chrysilla Dita

102016202

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk-Jakarta Barat 11510

No. Telp (021) 5694-2061

Email address: chrysilla.2016fk202@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Pemukiman, kepadatan penduduk, kemunduran sistem air, saluran pembuangan, dan


pengelolaan limbah yang dibawah standar terkait urbanisasi tak terencana, menciptakan
kondisi yang ideal untuk meningkatnya penularan penyakit yang ditularkan nyamuk di pusat
perkotaan tropis. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit demam berdarah
dengue menyebabkan angka kematian akibat penyakit ini meningkat. Sebagai bagian dari
pelayan kesehatan perlu melakukan program-program kesehatan untuk mencegah hal itu
terjadi.

Kata kunci: Demam berdarah, tropis, kematian

Abstract

Housing, population density, setbacks of water systems, sewers, and appropriate


management of waste related to unplanned urbanization, create ideal conditions for linking
transmission of mosquito-borne diseases in tropical areas. Lack of knowledge about dengue
fever increase the posibility of death because of this disease. As part of health care workers,
we need to do health programs to prevent this from happening.

Keywords: Dengue Hemmoragic Fever, tropical, death


Skenario

Pada akhir tahun berdasarkan evaluasi program pemberantasan DHF masih


didapatkan prevalensi DHF berkisar 18% dengan tingkat CFR 4%, rata rata penderita datang
terlambat sehingga terlambat juga dirujuk ke rumah sakit. Berdasarkan pemantauan jentik,
didapatkan dari Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah 60%. Kepala Puskesmas akan melakukan
revitalisasi program pemberantasan penyakit DHF dan ingin didapatkan insiden serendah
rendahnya dan CFR 0%. Di daerah tersebut banyak dilakukan pembangunan gedung gedung
kantor baru dan banyak sampah sampah di sungai di sekitar pemukiman warga. Masyarakat
daerah tersebut masih menggunakan sarana penyimpan air minum dalam gentong. Pihak
Puskesmas mendapatkan data 60% rumah terdapat jentik nyamuk. Program penyuluhan akan
dilakukan oleh petugas puskesmas dalam rangka pemberantasan sarang nyamuk.

Rumusan Masalah

Tingginya prevalensi DHF dan CFR.

Identifikasi Masalah

• DHF : Dengue Hemmoragic Fever (Demam berdarah, disingkat menjadi DBD)

DBD saat ini didefinisikan oleh WHO memiliki empat kriteria sebagai berikut:

1. Demam atau riwayat demam baru-baru ini yang berlangsung 2-7 hari.
2. Manifestasi hemoragik.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 / mm3).
4. Bukti peningkatan permeabilitas pembuluh darah.1

• CFR : Case Fatality Rate (Angka Fatalitas Kasus)

Angka fatalitas kasus dihitung dengan membagi jumlah kematian dari penyakit
tertentu selama periode waktu tertentu dengan jumlah orang yang didiagnosis dengan
penyakit selama waktu itu; rasio yang dihasilkan kemudian dikalikan dengan 100
untuk menghasilkan persentase.2

• ABJ : Angka Bebas Jentik


• Jentik : Jentik (atau jentik-jentik) adalah tahap larva dari nyamuk. Jentik hidup di air
dan memiliki perilaku mendekat atau “menggantung” pada permukaan air untuk
bernafas. (DINAS KESEHATAN KLATEN 2013)

Mind Map

Kebijakan Kesehatan

Geografis

Kebersihan Lingkungan
Analisis Faktor yang
Pengaruhi
Cuaca

Promotif

RM Program Kesehatan Preventif

K u r a ti f

Evaluasi Program

Hipotesis

Tingginya prevalensi DHF dan CFR karena PSP rendah serta lingkungan yang mendukung
penularan infeksi Dengue.

Analisis Faktor yang Mempengaruhi

Wilayah Geografis

Faktor yang menyebabkan peningkatan dramatis dan munculnya epidemi


dengue dan DBD, masing-masing, sebagai masalah kesehatan global pada 17 tahun
terakhir adalah kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Peningkatan tampaknya
terkait erat dengan perubahan demografis dan social selama 50 tahun terakhir. Dua
faktor utama adalah pertumbuhan popilasi global yang sebelumnya belum pernah
terjadi dan urbanisasi yang tidak direncanakan dan tidak terkontrol, apalagi di negara
tropis.
Pemukiman, kepadatan penduduk, kemunduran sistem air, saluran
pembuangan, dan pengelolaan limbah yang dibawah standar terkait urbanisasi tak
terencana, menciptakan kondisi yang ideal untuk meningkatnya penularan penyakit
yang ditularkan nyamuk di pusat perkotaan tropis.3

Kebersihan Lingkungan

Faktor lainnya adalah kurangnya kontrol yang efektif terhadap nyamuk di


daerah endemic dengue. Kesulitan selama 25 tahun terakhir adalah penyemprotan
dengan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa, ini tidak berlangsung efektif,
dan malah menjadi pencegahan yang merugikan dengan memberikan masyarakat rasa
aman yang salah. Selain itu, distribusi geogradi dan kepadatan populasi dari Aedes
aegypti telah meningkat, apalagi pada area urban dari daerah tropis, karena
meningkatnya jumlah dari habitat larva nyamuk pada daerah domestic. Sampah yang
menjadi sarang nyamuk adalah plastic yang tidak bisa di daur ulang, ban yang sudah
tidak terpakai, dua-duanya meningkatkan prevalensi nyamuk.3

Cuaca

Meningkatnya wisata juga menjadi mekanisme ideal untuk transportasi dari


dengue dan penyakit urban lainnya antara populasi dunia. Banyak turis menjadi
terinfeksi saat mengunjungo area trpois dan beberapa saat setelah kembali ke
daerahnya menjadi sakit, menimbulkan pergerakan yang konstan dari virus dengue
pada pengidap ke seluruh area di dunia dan menyebabkan virus-virus dengue dengan
strain dan serotipe baru ke daerah dimana banyak nyamuk.3

Kebijakan Kesehatan Masyarakat

Kerusakan infrastruktur kesehatan masyarakat juga merupakan faktor yang


berkontribusi pada kebangkitan epidemi dengue di sebagian besar negara dalam 30
tahun terakhir. Kurangnya sumber daya telah menyebabkan kekurangan kritis
spesialis terlatih yang memahami dan dapat mengembangkan program pencegahan
dan pengendalian yang efektif untuk penyakit yang ditularkan melalui vektor.
Bersamaan dengan ini telah terjadi perubahan dalam kebijakan kesehatan masyarakat
yang menekankan pada tanggap darurat terhadap epidemi dengan menggunakan
metode pengendalian nyamuk berteknologi tinggi daripada mencegah epidemi
tersebut dengan menggunakan pengurangan sumber larva melalui kebersihan
lingkungan, satu-satunya metode yang telah terbukti menunjukkan menjadi efektif.3

Program Kesehatan

Promotif

Sebagai kegiatan promotif akan dilakukan penyuluhan yang dumana


menjelaskan bahwa Demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue,
yang dapat masuk ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
Gejala yang timbul adalah demam tinggi, disertai dengan bitnik merah di tubuh, bisa juga
terjadi nyeri otot, pembesaran hati, kulit teraba dingin, gelisah, dan dari hasil pemeriksaan
penunjang didapatkan trombositopeni dan peningkatan hematokrit. Harus ditegaskan bahwa
jika masyarakat mengalami hal seperti itu atau kerabatnya, harus segera dibawa ke pelayanan
kesehatan terdekat dan ditindak lanjuti segera.

Dalam penyuluhan juga perlu dilakukan penjelasan cara-cara mencegah


penyakit DBD yang akan dilampirkan pada bagian preventif.

Preventif:

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Pemberantasan demam berdarah dengue dengan melakukan pembasmian


nyamuk aedes aegypti yang berperan sebagai pembawa virus dengue. Ada banyak metode
yang bisa dilakukan untuk mengendalikan jumlah nyamuk, yang dianggap tepat dan efektif.
Pengendalian nyamuk ini bisa dilakukan baik dengan pengendalian lingkungan, pengendalian
secara biologis dan kimiawi.

 Pengendalian secara lingkungan

Salah satu langkah pertama yang bisa dilakukan untuk mengendalikan nyamuk
penyebab DBD adalah dengan mengendalikan lingkungan terlebih dahulu. Pengendalian
secara lingkungan ini dilakukan dengan tujuan membatasi ruang nyamuk untuk berkembang
biak, sehingga diharapkan nyamuk penyebab DBD dapat musnah. Program 3M yang dusah
kita kenal, menjadi salah satu cara pengendalian kembang biak nyamuk secara lingkungan.

1. Program 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur)


a. Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air sekurang-
kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan atas dasar pertimbangan
bahwa perkembangan telur sampai tumbuh menjadi nyamuk adalah 7 –
10 hari.
b. Menutup rapat tempat penampungan aur, ini juga dilakukan agar
tempat-tempat tersebut tidak bisa dijadikan nyamuk sebagai tempat
bertelur dan berkembang biak.
c. Mengubur dan menyingkirkan barang – barang bekas yang dapat
menampung air.
2. Mengganti air yang ada pada vas bunga atau tempat minum di sarang burung,
setidaknya dilakukan 1 minggu sekali.
3. Membersihkan saluran air yang tergenang, baik di atap rumah maupun di
selokan jika tersumbat oleh sampah ataupun dedaunan, karena setiap genangan
air bisa bermanfaat oleh nyamuk untuk berkembang biak,4

Atau dengan cara 3M-Plus, Plus yang dimaksud yaitu:

1. Memelihara ikan cupang, pemakan jentik nyamuk


2. Menaburkan bubuk abate pada kolam atau bak tempat penampungan air, setidaknya 2
bulan sekali. Takaran pemberian bubuk abate yaitu 1 gram/ 10 L air. Tidak hanya
abate, kita juga dapat menambahkan zat lain seperti Altosoid pada tempat
penampungan air dengan takaran 2,5 gram/ 100 L air. Abate dan altosoid bisa
didapatkan di puskesmas, apotik atau took bahan kimia.
3. Menggunakan obat nyamuk, baik obat nyamuk bakar, semprot atauelektrik.
4. Menggunakan krim pencegah gigitan nyamuk.
5. Melakukan pemasangan kawat kasa di lubang jendela/ventilasi untuk mengurangi
akses masuk nyamuk ke dalam rumah.
6. Tidak membiasakan atau menghindari menggantung pakaian baik pakaian baru atau
bekas di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk.
7. Sangat dianjurkan untuk memasang kelambu di tempat tidur.4

 Pengendalian Secara biologis


Upaya biologis dilakukan dengan memanfaatkan hewan atau tumbuhan. Cara yang
dianggap paling efektif adalah dengan memilihara ikan cupang yang dimasukan dalam
kolam. Ikan cupang ini bisa memakan jentik – jentik nyamuk yang ada dalam tempat
penampungan air atau kolam atau dengan menambahkannya dengan bakteri Bacillus
thuringiensis (Bt H-14)

 Pengendalian Secara Kimiawi

Upaya kimiawi adalah salah satunya menaburkan bubuk abate ke tempat


penampungan air, hal ini merupakan satu cara mengendalikan dan memberantas jentik –
jentik nyamuk secara kimiawi. Tidak hanya penaburan bubuk abate, pengendalian secara
kimiawi yang biasa dilakukan di masyarakat adalah dengan melakukan Fogging atau
pengapasan dengan menggunakan Malathion dan Fenthion yang berguna untuk mengurangi
kemungkinan penularan Aedes aegypti sampai batas tertentu.4

Manajemen DBD Berbasis Wilayah

Berdasarkan Achmadi (2005, Achmadi, 2008) manajemen DBD berbasis


wilayah adalah upaya paripurna terintegrasi antara manajemen kasus Demam Dengue
sebagai sumber penularan, serta pengendalian faktor risiko penularan DBD pada satu
wilayah RT, RW ataupun Kelurahan.

Komponen Manajemen DD berbasis wilayah atau Getas DBD, terdiri dari 3


kegiatan yang dilaksanakan secara simultan dan paripurna:

1. Pencarian dan pengobatan kasus secara pro aktif.


2. Gerakan Lingkungan Bersih (Pembersihan perindukan nyamuk)
3. Penggalangan masyarakat untuk melakukan Getas DBD.

Manajemen DBD berbasis wilayah, adalah konsep yang mengutamakan,


menggarap /berfokus pada pengendalian sumber penyakit (yaitu penderita Demam
Berdarah dengan atau tanpa gejala) yang dilakukan secara dini untuk mencegah
eskalasi atau terjadinya Kejadian Luar Biasa, dan secara bersamaan dilakukan
pencarian dan pembasmian tempat per indukan nyamuk.

Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara
dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non- structural protein 1) untuk
mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum
penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke 9. Setelah diketahui ada
nya virus: penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD.

Deteksi dini akan dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan
mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui
alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD
disetiap RW, atau Kelurahan. Setiap kelurahan atau Puskesmas dilengkapi alat
antigen capture NS1 yang Rapid (yang hanya hitungan 20 menit sudah diketahui,
dengan ketepatan harus diatas 95%). Deteksi dini kasus pertama harus di lakukan
sedini mungkin.

Cara ini terdiri dari front liners atau disebut juga unit pelayanan garis depan.
Yaitu Puskesmas dan atau dokter praktek umum/klinik yang melakukan networking
untuk berpartisipasi yang diharapkan merupakan unit pelayanan yang dimintai
pertolongan pengobatan akan mencatat alamat penderita positif DBD. Penderita yang
berobat akan dicatat alamatnya, lalu dilaporkan ke Puskesmas, yang kemudian akan
dilakukan Penyelidikan Epidemiologi oleh petugas survailans yang ditunjuk dan
segera menyisir sekitar rumah menanyakan secara proaktif apakah ada yang
menderita demam tambahan atau tidak (ada tidak penderita tambahan). Diagnostik
dilakukan dengan antigen captured yang Rapid (test). Bagi yang memberikan
gambaran positif akan langsung diberi pengobatan dengan antiviral DBD. Setiap
penderita akan memerlukan dukungan laboratorium untuk memeriksa tanda awal
seperti, hematokrit, trombosit, leucocyte dan gejala klinik lain. Oleh sebab itu
dianjurkan ada Puskesmas rujukan laboratorium atau kepesertaan Laboratorium
Klinik dalam wilayah bersangkutan.

Jikalau kasus kasus secara awal atau secara dini di ketahui dan dikendalikan
dengan anti viral (misalnya MAC) maka fokus Kejadian Luar Biasa dapat ditekan.
Kegiatan ini dilakukan dengan kegiatan lainnya, yakni pengendalian perindukan
(sarang) nyamuk (breeding places), jentik dan lain-lain. Apabila konsep ini benar
diterapkan hampir dipastikan Fogging Focus tidak diperlukan atau hanya dilakukan
kalau sangat perlu.
Pendekatan ini bisa menekan biaya APBD yang menggratiskan pasien DBD di
Rumah Sakit. Pasien Demam Berdarah tidak perlu ke Rumah Sakit namun cukup
hanya dikelola oleh Puskesmas. Biaya opportunity cost bisa ditekan. Biaya transport
keluarga penderita yang dirawat bisa ditekan, yang dikeluarkan sebagai extra cost
selama masa perawatan tidak diperlukan lagi.

Mengingat bahwa kejadian DBD berakar pada ekosistem, maka dalam


menentukan batasan wilayah administratif harus hati hati. Penularan DBD bounded
kepada wilayah ekosistem. Di wilayah kelurahan perbatasan, diperlukan kerjasama
yang dimediasi oleh Puskesmas atau Kecamatan Kota.5

Kuratif

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok


Berikan laurtan oralit atau jus buah, air tajin, atau susu untuk menggantikan
cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare. Berikan juga
paracetamol bila didapatkan adanya demam, jangan berikan asetosal atau ibuprofen
karena dapat merangsang terjadinya perdarahan.

Jika terdapat dehidrasi sedang maka dapat diberikan infus, berikan hanya
larutan isotonic seperti Ringer laktat atau ringer asetat. Berikan sesuai kebutuhan
cairan parenteral (Berat badan < 15 kg: 7 ml/kgBB/jam, Berat badan 15-40 kg: 5
ml/kgBB/jam, Berat badan > 40 kg: 3 ml/kgBB/jam). Setelah diberikannya cairan
yang sesuai maka lakukan juga pemantauan tanda – tanda vital dan diuresis setiap
jam, serta periksa juga laboratorium (hematocrit, trombosit, leukosit, dan hemoglobin)
setiap 6 jam.

Apabila terjadi penurunan pada kadar hematocrit dan keadaaan klinis


membaik, turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan
intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24 – 48 jam sejak kebocaran pembuluh
kapiler spontan setelah pemberian cairan. Jika terjadi pemburukan keadaan klinis
maka berikan tatalaksana sesuai tatalaksana syok terkompensasi

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok


Jika terjadi demam berdarah dengue dengan syok, maka kita harus
menganggap hal ini sebagai gawat darurat, berikan dengan segera oksigen 2 – 4
L/menit, berikan juga 20 ml/kg BB larutan kristaloid seperti Ringer Laktat atau
Ringer asetat. Lalu, jika tidak adanya perubahan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya, jika keadaan masih belum membaik maka berikan lagi
kristaloid 20 ml/kgBB (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10
– 20 ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
Jika tidak ada perbaikan pada keadaan klinis tapi kadar hematocrit dan
hemoglobin menurun, maka harus dipertimbangkan adanya perdarahan yang
tersembunyi, yang harus dilakukan adalah berika tranfusi darah atau tranfusi
komponen – komponen darah. Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan
perfusi perifer menunjukan peningkatan, dan tekanan nadi meningkat), jumlah cairan
dapat dikurangi 10 ml/kgBB/jam dalam waktu 2 – 4 jam dan secara bertahab dikurang
atau diturunkan tiap 4 – 6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium. Dalam beberapa
kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36 – 48 jam.6

Evaluasi Program Puskesmas

Penting diakukan evaluasi dari program-program puskesmas yang selama ini


dilaksanakan untuk mengetahui apakah efektif atau tidak. Sekiranya program dianggap tidak
efektif penting dilakukan perubahan program dilihat dari faktor efektivitas program, faktor
ekonomi, faktor visibilitas program, dan apakah program tersebut menghasilkan output yang
diharapkan.

Kesimpulan

Faktor yang paling menyebabkan terjadinya peningkatan CFR adalah kurangnya


pengetahuan masyarakat akan Demam Berdarah Dengue. Sangat penting dilakukan
penyuluhan kepada masyarakat untuk mengetahui apa saja yang harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya DBD dan juga petunjuk akan apa yang harus dilakukan jika terkena atau
melihat kerabat yang mengalami gejala DBD. Dengan dilakukannya program-program
puskesmas yang disusun diatas diharapkan kejadian DBD berkurang dan dapat mencapai
CFR 0%.
Daftar pustaka

1. U.S. Department of health and human services. Dengue and Dengue Hemmorhagic
Fever. Accessed from: https://www.cdc.gov/dengue/resources/denguedhf-
information-for-health-care-practitioners_2009.pdf on July, 15th 2019.
2. Harrington RA. Case Fatality Rate. Accessed from:
https://www.britannica.com/science/case-fatality-rate on July 15th 2019.
3. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemmorhagic Fever. Accessed from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC88892/ on July, 15th 2019.
4. Departemen Kesehatan Indonesia. Infodatin. Diakses dan diunduh dari:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/InfoDatin-
Situasi-Demam-Berdarah-Dengue.pdf pada 15 Juli 2019.
5. Achmadi UF. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Buletin Jendela Epidemiologi:
Vol.2, 2 Agustus 2010.
6. Hospital Care for Children. Demam Berdarah Dengue: diagnosis dan tatalaksana. Diakses
dari: http://www.ichrc.org/622-demam-berdarah-dengue-diagnosis-dan-tatalaksana pada 15
Juli 2019.

Anda mungkin juga menyukai