Anda di halaman 1dari 9

aayyooee bandicoot

Jumat, 26 November 2010

SURVEILANS PENYAKIT DBD

SURVEILANS PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

Melakukan evaluasi sistem surveilans sebagai pendukung keputusan


dalampenanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif dengan rancangan studi kasus, yaitu bertujuan
untuk memahami lebih mendalam terhadap suatu kasus spesifik di mana peneliti ingin
mengetahui bagaimana sistem surveilans digunakan sebagai pendukung keputusan dalam
penanggulangan demam berdarah dengue.

1. SURVEILANS PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya sebagai
kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian seperti itu menyembunyikan
makna analisis dan penyebaran informasi epidemiologi sebagai bagian yang sangat penting
dari proses kegiatan surveilans epidemiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus
serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk mengambil tindakan. Oleh
karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih
mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi,
tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Dalam sistem ini
yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau
masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sistem
surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi
yang terintehrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-
sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata
hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat. tidak
terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD.

2. DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) TELAH MENJADI MOMOK DALAM


MASYARAKAT INDONESIA DALAM KURUN WAKTU YANG SANGAT LAMA.
Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi,
merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakan kawasan yang
berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru.Salah satu penyakit infeksi yang ditakuti
karena dapat denan cepat menyebabkan kematian adalah demam berdarah. Demam Berdarah
Dengue itu sendiri merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa
oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus betina yang umumnya menyerang pada
pada musim hujan dan musim panas. Virus itu menyebabkan gangguan pada pembuluh darah
kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
Manifestasi klinis dari infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan DBD dengue.
Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan
penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas
penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus
dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah kasus terus meningkat
baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi
KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi
dengan IR=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam
sebesar 10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya
peningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturutturut pada tahun
2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus diwaspadai kemungkinan
adanya KLB lima tahunan. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang
sehat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD,
yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya
persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia
antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes
aegypti. Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan
kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, (3)
Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD. Upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik
lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan
tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat
kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi
pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan
teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat.
3. APA KENDALA PENCEGAHAN DBD?
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa. Pemberantasan
nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga (insektisida) yang
disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila dilakukan pada wilayah yang luas.
Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka nyamuk dewasa yang beterbangan atau
yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Semua
insektisida adalah bahan beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu
kesehatan manusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan. Gagalnya atau tidak
efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi pengasapan (yang diasapi adalah got-
got atau saluran kota yang kotor dan mampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu,
penggunaan insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan
fogging tidak memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida
yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapat menimbulkan
dampak serius di kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap
insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada di dalam
lingkungan rumah tinggal, penggunaan insektisida menjadi rawan keracunan bagi penghuni
dan lingkungan hidup sekitar rumah.Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam
rumah memerlukan tindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk
yang terdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukup efektif
mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air bersih dan
mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangi bkesempatan nyamuk untuk
bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk yang hidup di dalam air (tandon air),
termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh
nyamuk dewasa. Karena itu, sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus
segera dimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun, baik di
musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air masih dijumpai. PSN harus
dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu rumah saja tidak melakukan PSN, ia menjadi
sumber terbentuknya populasi nyamuk Aedes aegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi
nyamuk Aedes aegypti mampu terbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya. Fogging
ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena hanya nyamuk betina yang
mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar tempat tinggal penderita, nyamuk
dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah
penderita akan mati. Dengan demikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera.
Karena itu, pada waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan
fogging terhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya.
Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas. Selain itu, sebelum
seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam darahnya sudah beredar virus dengue yang
dapat ditularkan kepada orang lain. Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan
terus-menerus karena insektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia
maupun lingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-sarang nyamuk merupakan
sumber produksi nyamuk dewasa. Sosialisasi dalam pelaksanaan PSN dan cara hidup gotong
royong harus kembali digalakkan, misalnya, melalui GGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan
Sarang Nyamuk), sehingga setiap warga dapat saling melindungi diri, keluarga, dan
lingkungannya dari penularan DBD. Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang
tahun di Indonesia menyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun,
baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat laporan adanya
kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan yang pertamatama harus
dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di lingkungan tempat tinggal penderita dan
sekitarnya dengan melakukan fogging, tanpa menunggu terjadinya KLB. Fogging akan sangat
efisien jika dilakukan pada waktu populasi nyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan
fogging, harus dicari penyebabnya, apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida
yang digunakan, ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan.
4. PENANGGULANGAN DBD
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan kagiatan Penyelidikan
Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus, sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD
dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan
pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat, baik untuk membantu
kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk
penularnya.
Penyelidikan Epidemiolegis (PE)
adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik
nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk
tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk
mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang
perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui
adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular
DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.
Penanggulangan Fokus
adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan
pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan
dan penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria. Tujuannya adalah
membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita
DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi
sumber penularan DBD lebih lanjut.
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang meliputi
: pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada
masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang
terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu
wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan KLB meliputi penilaian
operasional dan penilaian epidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui
persentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini
dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk
pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi ditujukan untuk
mengetahui dampak upaya penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD
dengan cara membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan
KLB.
Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD)
adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes
aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi
nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD
diukur dengan Angka Penderita/tersangka DBD Penyelidikan Epidemiologi (PE) Ada
penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita panas 3 orang dan ditemukamn jentik
( 25%).
Pemeriksaan Jentik Berkala
adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegyptiyang
dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik
(jumantik). Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah
dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD. Bebas
Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat
dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan dengan 3M, yaitu (1) menguras dan
menyikat tempat-trempat penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air,
dan (3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Program 3m Plus
Sebenarnya pelaksanaan 3M Plus merupakan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk yang
sederhana dan efektif. Melalui program ini, masyarakat dapat memutus rantai perkembang
biakan nyamuk Aedes Aegypti. Sebagai gambaran, beberapa hal pembersihan yang dilakukan
dalam 3M Plus merupakan upaya untuk mempersempit penyediaan sarang reproduksi bagi
hewan vektor penyakit ini dan hal ini merupakan bagian yang sangat penting sebagai langkah
awal untuk menghindari peningkatan prevalensi penderita PBD serta menghindari terjadinya
KLB pada penyakit ini. Sedangkan untuk membasmi jumlah nyamuk dewasa yang telah dapat
berkembang biak, dapat dilakukan dengan pengasapan (fogging) digunakan untuk mengurangi
jumlah nyamuk dewasa yang dapat bertelur sebanyak 200 400 per hari. Jika dibandingkan
dari kedua langkah diatas, tentu saja program 3M Plus memiliki peranan yang sangat penting
untuk membatasi penyebaran virus penyakit ini asalkan masyarakat melakukannya secara
kontinyu dan teratur. Permasalahan mengenai efektifitas pelaksanaan program Pemberantasan
Sarang Nyamuk melalui 3M Plus adalah kurangnya minat masyarakat untuk melakukan semua
hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat untuk terbiasa memiliki pola
hidup bersih dan sehat sehingga merasa bahwa bukan hal yang kondusif untuk hidup
berdampingan dengan nyamuk Aedes Aygepti. Efektifitas pelaksanaan kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk ini melalui 3M Plus ini dapat terlaksana dengan baik jika
semua jajaran masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukannya secara serempak dan
kontinyu di seluruh bagian negara Indonesia in. Atupun dapat ditambah dengan adanya
kebijakan dari pemerintah pusat ataupun daerah mengenai pentingnya melakukan 3M Plus
yang disertai dengan pemberlakuan punishment bagi tiap masyarakat yang tidak melakukan
ataupn terlibat di dalam program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ini. Sebagai contoh,
mungkin kita dapat mengikuti pemberlakuan kebijakan di negara Singapura dan Malaysia yang
memberikan denda bagi warganya yang kedapatan terdapat jentik nyamuk Aedes Aegypti di
rumahnya. Atupun seperti Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk
tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat
kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aeds Aegypti dan menempelkan
stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik
rumah dengan stiker hitam akan dberikan peringatan sebanyak 3 kali dan jka tidak dilakukan
akan dikenai denda. Sedangkan untuk para pejabat pemerintahan Indonesia, mungkin dapat
meniru semangat Jendral Grogas dalam membasmi penyakit ini dari Kuba pada 100 tahun yang
lalu yaitu dengan menggunakan metode pelaksanaan progam program PSN secara serentak
dan besar besaran di seluruh negeri. Semua contoh diatas seharusnya dapat dijadikan contoh
oleh tiap daerah yang berpotensi menjadi daerah endemi DBD ketika musim penghujan datang
apalagi saat ini telah adanya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada tiap
derah untuk menyusun program ataupun kegiatan yang bertujuan untuk membasmi sarang
nyamuk secara benar tanpa terlupakan adanya pengawasan dari pihak pemerintahan pusat.

Peraturan Mengenai Psn Dan 3m Pelaksanaan Psn


sebenarnya merupakan sebuah program pencegahan penyebaran penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) yang bersifat wajib. Hal tersebut dikarenakan adanya peraturan
tertulis yang dibuat oleh pejabat pemerintahan provinsi.
Abatisasi (Larvasiding)
Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia dengan menaburkan bubuk
larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan bahan kimia terbatas untuk wadah
(peralatan) rumah tangga yang tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi atau diatur.
Dalam jangka panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal. Kegiatan ini
tepat digunakan apabila survelans penyakit dan vector menunjukkan adanya periode berisiko
tinggi dan di lokasi dimana wabah mungkin timbul. Menentukan waktu dan tempat yang tepat
untuk pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk memaksimalkan efektifitasnya.
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk
menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect growth regulators
(pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG.
Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat penampungan
air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan.
Kegiatan larvasiding meliputi:
a. Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik
didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis
dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan
dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas
Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil
penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.
b. Abatisasi missal
Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak diseluruh
wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh
rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD.
Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan
pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing. Tenaga di beri latihan dahulu
sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan.
Fogging
Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta
penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus
dengan interval 7 hari oleh petugas.[28] Biasanya Fogging diadakan 2 kali di suatu tempat
menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion
96%technical grade/ha). Sasaran adalah rumah serta bangunan di pinggir jalan yang dapat
dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan
mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan
kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas
Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar.[29] Penanggulangan fogging fokus ini
dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi penularan penyakit. Cara ini dapat
dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan
dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (colg Fogging = Ultra low
volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada
dinding (resisual spraying) karena nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding,
melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung.
Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan
yang disemprotkan kedalan kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau
pyrethroid synthetic.
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu:
1. Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.
2. Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.
3. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya jentik-jentik
nyamuk Aedes Aegypti. Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu
daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu akan
langsung diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging focus.

Contoh :
PROVINSI JAWA BARAT
Kebijakan penannggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada kebijakan dan
program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat), yaitu mencakup 1)
Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan
3M, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi
(PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5)
penanggulangan KLB, (6) peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta
Masyarakat dann PSN DBD, (8) Penelitian. Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan
DBD di Propinsi Jawa Barat dilakukan melalui (1) pendekatan gerak cepat dan putus rantai,
yaitu pada setiap Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular kasus petugas siap
melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan dan sumber penyebabnya untuk
kemudian dilakukan tindakan agar tidak menyebar ke tempat lain, (2) upaya preventif yang
dilakukan melalui managing vector and
environment malalui ger kan 3M yang dilakukan secara linta sektor dalam wadah Pokjanal
DBD, (3) Upaya peningkatan kemamampuan tenaga kesehatan dalam penanggulangan DBD
secara kuratif dilakukan melalui workshop tata laksana dengan melibatkan dokter spesialis
dan urusan dalam, (4) Pelibatan partisipasi masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat
pagi, foggig focus massal, dan melakukan CLEAN-UP lingkungan yang dipimpin oleh wali
kota selama 1-2 jam, pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5)
Pelibatan lintas
sektor, (6) Sosialissi Pola Hidup Bersih (PHBS). Hasil pelaksanaan program ditunjukkan
antara lain (1) pemantauan jentik belum optimal dilakukan oleh kader dengan alasan
terbatasnya dana operasional, kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan
cakupan daerah yang harus diselediki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan
menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan peruntukan untuk
larvasidasi dan abatesisasi.
PRAKTEK PENANGGULANGAN DI LAPANGAN
PUSKESMAS
Surveilans di Puskesmas belum Optimal
Koordinasi lintas sektor belum terintegrasi
Keterbatasan tenaga yang kompeten
Kontribusi utama Puskesmas dalam penanggulangan wabah PP dalam jejaring pelayanan,
tenaga, sarana, sistem pencatatan.
RUMAH SAKIT
Pelayanan gawat darurat masih di bawah standar
Sistem monev periodik antar pusat dan daerah belum terbangun
Insentif petugas perlu menjadi perhatian
Kelengkapan sarana, sesuai dengan kasus penyakit

Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit yang dilakukan


dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan serta surveilans
vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah yang terjangkit
DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini biasanya dilakukan
penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan lingkungan perumahan;
dan limbah industri, RS serta kegiatan lain. Kegiatan di atas dilakukan oleh petugas kesehatan,
juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan masyarakat. Sebagai
indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka Bebas Jentik (ABJ). Surveilans
epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting dalam upaya memutus mata rantai
penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan dengan baik disebabkan karena
faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas tidak menjalankan tugas dengan
sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik Berkala (PJB).
Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan dan
penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada kaitannya dengan beberapa hal berikut:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali

3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis

4. Peningkatan sarana transportasi

AYU DIANA FUANASARI


E2A009204 / REGULER 2
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

Diposting oleh ayu diana fuanasari S,KM di 00.56


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting LamaBeranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
2010 (3)
o November (1)
SURVEILANS PENYAKIT DBD
o Oktober (2)
Mengenai Saya

ayu diana fuanasari S,KM


AYU DIANA FUANASARI ANAK DARI BAPAK H.MUKHLISIN DAN HJ.NANI ANDRI PUJIATI
LAHIR DI PEMALANG PADA TANGGAL 7 OKTOBER 1991 PENGEN TAHU LEBIH TENTANG
SAYA , KENALI SAYA LEBIH DEKAT DAN DALAM LAGI :)
Lihat profil lengkapku

Tema Perjalanan. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai