Anda di halaman 1dari 20

BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah yang sangat
pelikdi negara beriklim tropis dan subtropis. Penyebarannya di seluruh dunia
susah dibatasi sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Dari buletin
tentang DBD yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2010 [3]
diketahui
bahwa di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun
1968 dan hanya dalam kurun waktu 12 tahun penyakit DBD sudah menyebar
di seluruh provinsi di Indonesia. Setiap tahunnya jumlah kematian akibat
DBD terus meningkat dari sebanyak 24 orang pada tahun 1968 menjadi 1420
orang pada tahun 2009. Sedangkan kasusnya ditemukan berkembang dari
hanya 58 kasus di tahun 1968 menjadi 158.912 kasus di tahun 2009.
Penanganan DBD dapat dilakukan melalui penanganan primer dan
penanganan sekunder. Penanganan primer berupa pencegahan epidemi DBD
dilakukan dengan mereduksi perkembangbiakan nyamuk pembawa virus.
Sedangkan penanganan sekunder berupa pengobatan, rawat inap, dll,
diberikan
kepada penderita DBD. Menurut Prof. Supratman Sukowati dari Puslitbang
Ekologi dan Status Kesehatan, Kemenkes RI [3], terdapat beberapa metode
untuk mengurangi nyamuk pembawa virus, diantaranya dengan manajemen
lingkungan, pengendalian secara biologis menggunakan predator, dan
pengendalian secara kimiawi. Secara empiris, menanggulangi penyebaran
DBD akan ekuivalen dengan upaya mengurangi tingkat pertumbuhan nyamuk
pembawa virus dari waktu ke waktu yang merupakan representasi dari
persoalan matematik.
Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi dan menganalisa perilaku
perkembangbiakan nyamuk dapat dilakukan dengan menggunakan model
matematika. Kontribusi pemodelan matematika terhadap penanggulangan
wabah DBD adalah sebagai alat yang dapat dipakai untuk memahami dan
memprediksi dinamika penyebaranDBD, yang dalam hal ini diantaranya:
menghitung laju perkembangbiakan nyamuk pembawa virus, menghitung
angka kejadian terinfeksi, angka kematian akibat penyakit, ambang batas
epidemik atau angka reproduksi dasar yang digunakan untuk menentukan
berapa jumlah orang yang harus divaksin, vektor yang harus dimusnahkan, dll,
untuk mencegah pandemik.
Beberapa peneliti telah mengembangkan model matematika untuk DBD.
Asep Supriatna, dkk., mengembangkan model matematika SIR untuk penyakit
DBD dengan mempertimbangkan ambang batas epidemik atau angka
reproduksi dasar sebagai fungsi dari pertumbuhan nyamuk aedes aegypty.
Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa pengontrolan yang efektif
untuk DBD adalah dengan mengontrol pertumbuhan nyamuk secara periodik
BAB 2 : PEMBAHASAN

2.1 Demam Berdarah Dengue


2.1.1 Defenisi Demam Berdarah
World Health Organization Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti
yang terinfeksi dengan salah satu dari tempat virus dengue. Virus tersebut
dapat menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa (WHO, 2015).
Sedangkan menurut (Depkes RI, 2016) DBD adalah penyakit akut yang
disebabkan oleh Virus DBD dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus yang terinfeksi virus DBD.
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari, manifestasi pendarahan (petekie, purpura, pendarahan
konjungtiva, epistaksis, pendarahan mukosa, pendarahan gusi,
hematermesis, melena, hematuri) termasuk uji torniquet (Rumple Leede)
posistif, trombositopenia (jumlah trombosit ≤100.000) hemakonsentrasi
(peningkatan hematokrit ≥20%) disertai atau tanpa pembesaran hati
(Rerung, 2015).
Nyamuk Aedes (Stegomyia) betina biasanya akan terinfeksi virus
dengue saat mengisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam
(viremik) akut pentakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai
10 hari, kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan
ketika nyamuk yang infektif menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka
gigitan pada orang lain. Masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari
(rata-rata 4-6 hari), sering kali terjadi awitan mendadak. Penyakit tersebut
ditandai dengan demam. Sakit kepala, mialgia, hilang nafsu makan, dan
berbagai tanda serta gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah dan
ruam kulit.

2.1.2 Pemberantasan Vektor DBD


1. Pemberantasan nyamuk dewasa
Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan cara
penyemprotan dengan insektisida. Mengingat kebiasaan nyamuk
senang
hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan tidak
dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk
menular malaria.
Alat yang digunakan adalah mesin fog (pengasapan) dan
penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek
risedu.untuk membeasmi penularan virus dengue penyemprotan
dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan
siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue dan
nyamuk-nyamuk lainnya akan amti. Tetapi akan segera muncul
nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya akan menghisap darah pada
penderita viremia (pasien yang positif terinfeksi DBD) yang masih ada
yang dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena
itu perlu dilakukan penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru
yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada
orang lain.
Tindakan penyemprotan dapar membasmi penularan, akan tetapi
tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya
agar
populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya.
2. Pemberantasan Jentik
Menurut (Depkes RI, 2016) dalam pemberantasan jentik nyamuk
Aedes Aegypti yang dikenal dengan PSN DBD dilakukan dengan cara:
a. Fisik
Pemberantasan dengan cara ini dikenal sebagai kegiatan 3M
yaitu menguras dan menyikat bak mandi, bak WC, menutup
tempat penampungan air, mengubur, menyingkirkan atau
memusnahkan barang- barang bekas. Pengurasan tempat-
tempat penampungan air perlu dilakukan secara eratur
sekurang-kurangnya satu mingggu sekali agar nyamuk tidak
dapat berkembang biak di tempat itu. Bila PSN-DBD
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk
Aedes
Aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga DBD
tidak menular lagi. Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi
kepada masyarakat harus dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambunga, oleh kaena keberadaan jentik nyamuk
berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
b. Kimia
Pemberantasan jentik nyamuk Aedes Aegypti dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan
istilah larvasida.
c. Biologi
Pemberantasan cara ini menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan
kepala timah, ikan gupi, ikan cupang). Dapat juga
menggunakan Bacillus thuringiensis (Bti).
2.1.3 Penularan Penyakit DBD
Damam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue, anggota dari genus Flavivirus dalam famili
Flaviviridae. Terdapat 3 faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus ini, yaitu manusia, virus, dan faktor perantara (Yekti, 2015).

2.1.4 Epidemiologi DBD


Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep
segitiga epidemiologi, yaitu adanya agent host dan lingkungan.
1. Agent (Virus Dengue)
Agent penyebab penyakit Demama Berdarah Dengue (DBD)
berupa virus atau suatu substansi elemen tertentu yang kurang
kehadirannya atau tidak hadirnya dapat menimbulkan atau
mempengaruhi perjalanan suatu penyakit atau di kenal ada empat virus
Dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Virus Dengue Ini
memiliki masa inkubasi yang tidak terlalu lama yaitu antara 3-7 hari,
virus akan terdapat di dalam tubuh manusia. Dalam masa tersebut
penderita merupakan sumber penularan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD).
2. Host (Pejamu)
Faktor utama adalah semua faktor yang tedapat pada diri manusia
yang terdapat mempengaruhi timbulnya serta pelayanan suatu penyakit.
Faktor-faktor yang mempengruhi manusia dalam penyakit Demama
Berdarah Dengue (DBD).
a. Umur
Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan
terhadap infeksi virus Dengue. Semua golongan umur dapat
terserang virus Dengue, meskipun baru berumur beberapa hari
setelah lahir.
b. Jenis kelamin
Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap
serangan Demam Berdarah Dengue (DBD) dikaitkan dengan
perbedaan jenis kelamin (gender).
c. Nutrisi
Teori nutrisi mempenharuhi derajat ringan penyakit dan ada
hubungannya dengan teori imunologi, bahwa pada gizi yang baik
yang mempengaruhi peningkatan antibodi yang cukup biak, maka
terjadi infeksi virus Dengue yang berat.
d. Populasi
Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya
infeksi virus Dengue, karena daerah yang berpenduduk
padat akan meningkatkan jumlah insiden kasus Demam Berdarah
Dengue (DBD) tersebut.
e. Mobilitas penduduk Mobilitas penduduk memegang peranan
penting pada transmisi penularan infeksi virus Dengue.

3. Lingkungan (Environment)
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit Dengue atau
di renal dengan kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang
mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan sesuatu organisasi.
a. Letak geografis
Penyakit akibat infeksi virus Dengue ditemukan tersebar luas
di berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik
yang
terletak antara 30°C Lintang Utara dan 40°C Lintang Selatan
seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat dengan tingkat kejadian
sekitar 50-100 juta setiap tahunnya.
b. Musim
Periode epidemi yang terutama berlangsung selama musim
hujan dan erat kaitannya dengan kelembaban pada musim
hujan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas vektor
dalam menggigit karena didukung oleh lingkungan yang baik
untuk masa inkubasi (Hermayudi, 2017)
c. Suhu udara
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi
metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya
turun sampai di bawah 10°C. Pada suhu yang lebih tinggi
35°C, nyamuk juga akan mengalami perubahan, dalam arti
lebih lambatnya proses- proses fisiologi. Rata-rata ideal untuk
pertumbuhan nyamuk adalah 25°C-27°C. Pertumbuhan
nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang 10°C atau
lebih dari 40°C

2.2 Model Susceptible Infected Recovered (SIR)


Model SIR (Susceptible Infected Recovered) Permasalahan di dunia
nyata dapat diselesaikan dengan salah satu alat yaitu dengan menggunakan
model matematika sehingga mempermudah penyelesaianya.Permasalahan
tersebut dapat diterjemahkan ke dalam bentuk matematika dengan
mengunakan asumsi-asumsi tertentu. Dari banyaknya masalah di dunia
nyata penyebaran penyakit merupakan salah satu dari masalah
tersebut.Ilmuan W. O. Kermack dan A. G. Mckendrick menemukan sebuah
model matematika penyebaran penyakit yaitu model epidemik SIR
(Susceptible Infected
Recovered) pada tahun 1927 (Li dan Ma, 2009). Model matematika yang
mereka temukan adalah model epidemik SIR (Susceptible Infected
Recovered). Model epidemik SIR (Susceptible Infected Recovered)
ditampilkan dalam bentuksistem persamaan diferensial (Puspitasari, 2018).
Namun, dewasa ini perkembangan model epidemik SIR (Susceptible
Infected Recovered) telah banyak dikembangkan oleh beberapa ilmuan
seperti Picollo dan Billingsdan K. J. Vareen, model tersebut didesain untuk
penyebaran penyakit dalam kasus tertentu (Sari, 2014).
Menurut Sari, 2014 Model epidemik SIR (Susceptible Infected
Recovered) membagi pupulasi menjadi tiga kondisi. Adapun model SIR
(Susceptible Infected Recovered) yaitu :
1. Susceptible (S) adalah kondisi individu yang sehat tetapi dapat
terinfeksi penyakit,
2. Infected (I) adalah kondisi individu yang terinfeksi serta dapat
menularkan penyakit
3. Recovered (R) adalah kondisi individu yang telah sembuh dan kebal
dari penyakit.
Dalam model epidemic SIR (Susceptible Infected Recovered) dapat
dilihat alur penyebaran penyakit dari kondsi individu yang sehat
sehingga dapat terinfeksi melalui kontaklangsung atau perantara lain.
Kemudian, kondisi individu yang terinfeksi akan bertahan untuk tidak
meniggal dan akan memasuki tahap kondisi individu yang sembuh
(Sari, 2014). Model yang telah disusun akan berbentuk siste persamaan
diferensial dengan tiga variabel yang menyatakan ketiga kondisi
individu. Selanjutnya dilakukan analisis parameter yang digunakan
untuk simulasi numerik (Fredlina, 2012).
Dengan populasi yang tertutup, dinamika penyebaran penyakit
menular yang menyebabkan perubahan jumlah setiap kelompok pada
masing-masing sub populasi.Penyakit ini menyebar di lingkungan
tertutup. Artinya, tidak ada proses perpindahan individu, dan bukan
termasuk kelahiran atau kematian dalam populasi,sehingga total
populasi tetap menjadi K konstan untuk semua t . Model yang
ditemukan oleh Kermack dan Mckendrick,populasi dibagi menjadi tiga
kondisi yaitu sebagai berikut (Li dan Ma, 2009) :
1. Jumlah individu rentan (Susceptible). Jumlah individu rentan
mengalami penambahan karena adanya kelahiran individu rentan
dengan tingkat kelahiran sebesar K dan mengalami penurunan
karena adanya individu rentan yang terinfeksi dengan tingkat
penularan sebesar β . Selain itu, pengurangan jumlah individu
rentan juga disebabkan oleh adanya kematian individu rentan
dengan
tingkat kematian alami sebesar µ.
2. Jumlah individu terinfeksi (Infective). Jumlah individu terinfeksi
mengalami penambahan karena adanya individu rentan yang
terinfeksi dengan tingkat penularan sebesar β . Pengobatan pada
individu yang terinfeksi diberikan untuk mengurangi jumlah
kematian atau memperbesar kesembuhan dengan tingkat
kesembuhan sebesar Y dan jumlah individu terinfeksi akan
berkurang karena adanya kematian alami dengan tingkat kematian
sebesar µ.
3. Jumlah individu sembuh (Recovered). Jumlah individu sembuh
mengalami penambahan karena adanya kesembuhan individu
terinfeksi dengan tingkat kesembuhan sebesar Y. Akan tetapi
jumlah individu sembuh mengalami penurunan karena adanya
kematian indivu sembuh dengan tingkat kematian alami sebesar µ.
Adapun gambar model SIR (Susceptible-Infected-Recovered)
menurut Li,
2009 yaitu :

Dengan demikian, Model SIR dapat dituliskan sebagai berikut:

Diketahui I adalah jumlah individu yang pulih yang pindah dari


kompartemen I yang terinfeksi per unit waktu pada waktu t. Karena itu
setelah periode waktu 1/ , semua infeksi I (t) pulih. Karena itu, 1/

sebenarnya durasi rata-rata infeksi, dan Rо= adalah jumlah yang baru
y
yang terinfeksi oleh individu yang terinfeksi selama infeksi keseluruhan
periode ketika semua individu dalam populasi pada awalnya rentan.
Kuantitas Ro (Bilangan reproduksi dasar) menentukan ambang batas untuk
penularan penyakit (Li dan Ma, 2009). Bilangan reproduksi dasar (Ro)
( merupakan nilai eigen dominan yang didefinisikan dengan MD-1
(Susanti, 2016). Jumlah infeksi menurun jika Ro < 1 dan meningkat jika Ro
> 1. Oleh karena itu, untuk mengendalikan penyebaran epidemik, salah
satu faktor utama adalah memperkirakan nilai Ro dan kemudian
menguranginya menjadi <1 (Li dan Ma, 2009).
Menurut Puspitasari (2018) titik kesetimbangan Model SIR
(Susceptible Infected Recovered) terbagi dua, yaitu :
1. Titik kesetimbangan bebas penyakit yaitu keadaan tidak terdapat
individu yang terinfeksi penyakitdalam populasi. Titik kesetimbangan

epidemik ada jika Ro < 1 dimana


2. Titik kesetimbangan epidemik yaitu keadaan terdapat individu yang
terinfeksi penyakit dalam populasi. Titik kesetimbangan epidemik ada
jika dimana Ro > 1.

2.3 Contoh Model SIR Penyebaran Demam Berdarah di Pekan Baru


Dalam penelitian Soleh Mohammad (2018) Model SIR merupakan
salah satu model epidemik yang membagi populasi menjadi tiga kelas
populasi yaitu kelas rentan (suspectible), kelas terinfeksi (infectible), dan
kelas sembuh (recovery). Jurnal ini membahas tentang Model SIR penyebaran
demam berdarah dengue (DBD) dengan populasi manusia dan nyamuk di
wilayah Kota Pekanbaru. Pada model ini diadopsi fungsi perlakuan pada
nyamuk untuk menentukan angka reproduksi dasar.
1. Metode Penelitian
Target dari penelitian ini adalah mencari solusi model SIR
penyebaran DBD dengan mempertimbangkan laju pengontrolan populasi
nyamuk dengan treatment (secara kimiawi dan manajemen lingkungan).
Hasil yang diinginkan adalah diperolehnya suatu angka reproduksi dasar
dari DBD sebagai fungsi dari kontrol populasi nyamuk aedes aegypty.
Secara terinci, langkah-langkah untuk menyelesaikan penelitian ini
adalah:
a. Mendefinisikan parameter-parameter dan variabel-variabel:

Dengan masing-masing parametertersebut berharga positif dan S (t),


I(t), R(t), N(t) berharga non negatif baik host ataupun vektor. Untuk
selanjutnya S (t), I(t), R(t), N(t) di tulis sebagai S,I,R,N.
b. Diberikan model SIR pada Esteva-vargas

c. Memodifikasi fungsi kontrol/treatment:


dengan kangka efektifitas pengontrolan (pemusnahan) nyamuk dan
jumlah psikologis minimum vektor (nyamuk) dalam populasi yang tidak
menyebabkan wabah DBD.
d. Mengestimasi parameter-parameter pada model yang diusulkan pada
langkah (c) sesuai dengan langkah (a). Data yang diperlukan seperti
jumlah orang yang sakit DBD, jumlah yang sembuh dari DBD, jumlah
orang meninggal karena DBD, dll, pada langkah (a) akan diambil dari
Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. Untuk situasi yang tidak ideal atau
tidak memungkinkan maka data akan diambil secara proporsional
berdasarkan luas dan jumlah penduduk di Pekanbaru.
e. Nilai parameter-parameter yang diperoleh pada langkah (d) akan
disubtitusikan pada model di langkah (c). Model yang terbentuk
merupakan representasi dari penyebaran DBD di Pekanbaru.
f. Mengkonfirmasi keberadaan 2 titik kesetimbangan yaitu titik
kesetimbangan bebas penyakit dan endemik dari model yang diusulkan
pada langkah (e). Solusi diperoleh dengan menyelesaikan persamaan
diferensial model pada langkah (e)
g. Menghitung angka reproduksi dasar Ro yang merupakan ambang batas
epidemi di wilayah Pekanbaru. Nilai Ro akan dikaitkan dengan fungsi
control penanganan nyamuk aedes aegypty di Pekanbaru.

2. Hasil dan Pembahasan


1) Pembentukan Model
Pada jurnal ini diadopsi model dari Esteva-Vargas untuk
mempelajari penyebaran penyakit DBD di Pekanbaru menggunakan
model SIR. Ide dari Wang mengenai banyaknya orang yang
mendapatkan pengobatan ketika terjadi wabah berdasarkan daya
tampung rumah sakit, menginspirasi peneliti untuk memasukan
parameter treatment pada model ini. Asumsinya adalah penanganan
DBD pada vektor (nyamuk) biasanya didasari oleh pengaruh psikologis.
Di Indonesia pada umumnya pemusnahan sarang nyamuk, penyemprotan
nyamuk dewasa,
pemusnahan larva, dll hanya dilakukan ketika ada insiden DBD.
Kebiasan lainnya perlakuan tersebut hanya dilakukan di musim hujan.
Padahal untuk memusnahkan nyamuk diperlukan suatu penanganan yang
menyebabkan rantai perkembangbiakan nyamuk terputus. Menurut
peneliti, ada suatu nilai tertentu yang selanjutnya disebut ambang
psikologis penanganan nyamuk, yaitu angka yang menyatakan batas
kenaikan jumlah nyamuk yang menyebabkan pemerintah atau
masyarakat tergerak untuk melakukan pemusnahan.

Dengan k = rI0 , I adalah jumlah manusia terinfeksi, dan I0 adalah


jumlah manusia terinfeksi mula-mula. Fungsi T (I) digunakan sebagai
banyaknya individu yang harus ditangani di rumah sakit berdasarkan
kemampuan rumah sakit tersebut menampung pasien. Untuk kasus DBD,
penanganan nyamuk biasanya dilakukan manakala terdapat penderita DBD
atau dijumpai jumlah nyamuk yang meningkat secara signifikan. Oleh
karena itu peneliti mengusulkan bentuk treatment nyamuk sebagai fungsi:

Munculnya dapat diterangkan: Biasanya kecenderungan


masyarakat terutama pemerintah akan melakukan upaya mereduksi atau
mengeliminasi nyamuk jika didapati kenaikan jumlah nyamuk di suatu
tempat. Ketika tidak terjadi perubahan jumlah nyamuk yang cukup
signifikan, masyarakat cenderung abai terhadap DBD. Parameter dapat
dipandang sebagai ambang psikologis masyarakat atau pemerintah untuk
tergerak melakukan treatment atau penanganan nyamuk. Disamping karena
upaya treatment terhadap nyamuk, laju recruitment A oleh Esteva-Vargas
dapat dinyatakan sebagai fungsi dari banyaknya nyamuk saat itu atau tidak
konstan. Secara umum, jika α menyatakan laju pertumbuhan nyamuk, maka
banyaknya pertambahan nyamuk setiap satuan waktu adalah
Dengan demikian, populasi nyamuk dengan memperhatikan
treatment dan jumlahnya saat ini, dapat dinyatakan sebagai:

Pada populasi nyamuk terdapat dua subkelas yaitu kelas Sv dan kelas
Iv. Penambahan jumlah nyamuk pada kelas Sv terjadi karena recruitment
nyamuk sebesar . Pengurangan jumlah nyamuk pada kelas Sv
disebabkan diantaranya oleh nyamuk rentan yang terinfeksi karena
menggigit manusia sakit, karena kematian alami nyamuk, dan karena
pemberian treatment. Besarnya masing-masing pengurangan tersebut

beturut-turut sebesar dengan βv menyatakan


efektifitas gigitan nyamuk sehat terhadap manusia terinfeksi, menyatakan
efektifitas treatment pada kelas Sv. Hubungan ini dapat ditulis sebagai:

Pada Iv kelas terjadinya penambahan disebabkan karena adanya


nyamuk sehat yang menggigit manusia yang sakit. Sedangkan terjadinya
pengurangan disebabkan oleh adanya kematian alami dari nyamuk
terinfeksi dan karena faktor treatment. Hubungan ini dapat dinyatakan
sebagai:

Oleh karena itu, dapat diperoleh hubungan antar kelas pada populasi
nyamuk yaitu:

Dapat disimpulkan, jika kedua sistem matematika pada (2) dan (5)
digabungkan diperoleh:

Model atau sistem (5) merupakan Model SIR penyebaran DBD dengan
memperhatikan populasi nyamuk dan treatment terhadap nyamuk. Model
tersebut yang akan digunakan untuk menganalisa perkembangan DBD di
Pekanbaru secara teoritis atau numerik berdasarkan data kesehatan di Kota
Pekanbaru.
2) Analisa Model
Selanjutnya sebelum analisa secara teoritis terlebih dahulu sistem (5)
dapat disederhanakan dengan cara parametrisasi, dimisalkan:
Beberapa analisa dasar pada model ini adalah mendapatkan titik
ekuilibrium, analisa kestabilan dan menentukan angka reproduksi dasar.
a. Titik Ekuilibrium sistem (6)
Dengan menggunakan prinsif “zero growth rate” pada masing-masing
kelas maka:

b. Basic Reproduction Number (Ro )


Dengan mempertimbangkan faktor treatmen pada model SIR ini, maka

penyebaran DBD di Kota Pekanbaru dipengaruhi oleh banyaknya nyamuk


rentan sebagai fungsi dari t.
DAFTAR PUSTAKA

1. Asep K. Supriatna dan Edi Suwono, Model Matematika Penyebaran


Penyakit Demam Berdarah”, Jurnal Bionatura, vol. 2, No. 3, pp: 104-116.
Desember 2000
2. Buletin Jendela Epidemiologi, ISSN 2087-1546, vol 2, “Demam Berdarah
Dengeu”, Pusat Data danSurveilans Epidemiologi Kemenkes RI. Agustus
2010
3. M. Sajid, Z. Abbas, N. Ali dan T. Javed, A Note on Solution of the SIR
Models of Epidemics using HAM, ISRN Applied Mathematics, 1 – 4,
2013.
4. Nuraini, dkk., Mathematical Model of Dengeu of Disease Transmission
with Severe DHF Compartment, Bull. Malays. Sci. Soc. (2) 30 (2) 2007,
143-157, 2007.
5. World Health Organization (WHO). 2015. Penyakit Demam Berdarah
Dengue dbd Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
6. Departemen Kesehatan RI. 2016. Pemberantasan Demam Berdraah
Dengue.Jakarta
7. Rerung AK. 2015. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue Pada
Dewasa Di Rumah Sakit Universitas Hasanudin Periode 1 Januari-31
Desember 2014. Skripsi. Makasar: Universitas Hasanudin.
8. Hermayudi, Ariani, A.P. 2017. PENYAKIT DAERAH TROPIS.
Yoyakarta: Nuha Medika.
9. Sari, Ilmiyati dan Hengki Tasman.2014.Model Epidemik SIR untuk
Penyakit yang Menular Secara Horizontal dan Vertikal. Prosiding ini
disajikan pada Konferensi Nasional Matematika XVII, ITS, Surabaya, 11-
14 Juni 2014.
10. Fredlina, K. Queena , Tjokorda Bagus Oka, dan I Made Eka Dwipayana.
2012. Model SIR (Susceptible, Infectious, Recovered) untuk Penyebaran
Penyakit Tuberkulosis. E-Jurnal Matematika 1(1): 52-58.
11. Li, J dan Z. Ma. 2009. Dynamical Modeling and Analysis of Epidemics.
World
Scientific Publishing, Singapore.Diakses pada tanggal 05 November 2019
12. Puspitasari, Nurmaini., Yuri Ari Adit, dan Rara Sandhy Winanda. 2018.
Analisis Kestabilan Lokal pada Model Matematika Kanker Serviks Akibat
Human Papiloma Virus (HPV).
13. Susanti, Novita Dwi. 2016.Analisis Perhitungan bilangan Reproduksi
Dasar pada Model Matematika Dinamika Malaria Host-Vector. Skripsi
tidak
diterbitkan. Malang: Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Maliki.
14. Soleh, Mohammad., Wartono 2018.Model SIR Penyebaran Demam
Berdarah di Pekan Baru Jurnal Sains Matematika dan Statistika, Vol. 4,
No. 2, Juli 2018 ISSN 1693-2390 print/ISSN 2407-0939

Anda mungkin juga menyukai