Anda di halaman 1dari 22

Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2

Aqmarina Borisman
A6 / 102015137
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Alamat Korespondensi : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510

Pendahuluan

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan
dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. 1 DM
merupakan salah satu penyakit yang jumlah penderitanya terus meningkat dari tahun ke
tahun.2 Meningkatnya prevalensi DM di beberapa negara berkembang akibat peningkatan
kemakmuran di negara bersangkutan akhir-akhir ini banyak disoroti.3

World Health Organization (WHO) mencatat bahwa pada tahun 2006 sekitar 150 juta
orang berusia diatas 20 tahun mengidap Diabetes Mellitus, dan jumlah ini akan bertambah
menjadi 300 juta orang pada tahun 2025. Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(KEMENKES RI) tahun 2014 Estimasi terakhir International Diabetes Federation (IDF),
terdapat 382 juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013. Diperkirakan
dari 382 juta orang tersebut, 175 juta orang diantaranya belum terdiagnosis, sehingga
terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan.4
Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama
masyarakat di kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi
penyakit degeneratif dan disinyalir menjadi penyebab utama kematian di Indonesia.5

Pada skenario 9 diketahui bahwa Dokter A berkerja disebuah Puskesmas Wamasari,


Penyakit tidak menular khususnya DM Tipe 2 terus meninggkat tiap tahunnya. Penyakit DM
menjadi penyebab atau komormoditas penyakit lain seperti stroke dan PJK. Dokter A ingin
mengadakan skrining DM Tipe 2 pada penduduk usia > 15 tahun. Selama setahun terakhir
dari 850 orang yang diperiksa kadar glukosa sewaktu, didapatkan 100 orang yang dinyatakan
menderita DM Tipe 2 dan diobati.

1
Working Diagnosis

Diagnosis kerja atau working diagnosis untuk kasus ini ialah diabetes mellitus tipe 2
merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam
sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi
pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi insulin,
resistensi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor
hormon resisten yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka
terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutase gen tersebut sering terjadi pada kromosom
19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.6
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin, yang ditandai dengan meningkatkan kadar insulin di dalam darah. hiperglisemia dapat
diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun
semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang
menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam
kaitan dengan pengularan dari adipokines suatu kelompok hormone itu merusak toleransi
glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis
dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun
di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan
anak-anak.6

Etiologi

Sesuai dengan klasifikasi yang telah disebutkan sebelumnya setiap jenis dari diabetes
juga berbeda. Berikut ini merupakan beberapa penyebab dari penyakit diabetes mellitus:7

1. Diabetes Melitus tipe 1 ( IDDM )


 Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan
genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.

 Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah
pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

2
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel
pulau Langerhans dan insulin endogen.

 Faktor lingkungan
 Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi
selbeta.
2. Diabetes Melitus tipe 2 ( NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin. Faktor resiko:

 Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th) Sekitar 90% dari
kasus diabetes yangdidapati adalah diabetes tipe 2. Pada awlanya, tipe 2 muncul
seiring dengan bertambahnya usia dimana keadaan fisik mulai menurun.
 Obesitas berkaitan dengan resistensi kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan
diabetes tipe 2. Hala ini jelas dikarenakan persediaan cadangan glukosa dalam tubuh
mencapai level yang tinggi. Selain itu kadar kolesterol dalam darah serta kerja jantung
yang harus ekstra keras memompa darah keseluruh tubuh menjadi pemicu obesitas.
Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensivitas
insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
 Riwayat keluarga, Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hamper
100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 3 pada sausara kandubg mendekati 40%
dan 33% untuk anak cucunya. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes
dan nondiabetes pada anak adalah 1:1 dan sekitar 90% pasti membawa carer diabetes
tipe 2.
3. Diabetes gestasional (GDM )
Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh si Ibu:

 Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil


 ibu mengalami/menderita DM saat hamil

4. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya


• Kelainan genetic dalam sel beta. Pada tipe ini memiliki prevalensi familial yang
tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan
resisten terhadap insulin.

3
• Kelainan genetic pada kerja insulin. Sindrom resistensi insulin berat dan
akantosis negrikans
• Penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali
• Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta
• Infeksi

Epidemiologi

Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus
diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes
merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama
kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita
diabetes paling sedikit 2 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan
mereka yang tidak menderita diabetes.7
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu
di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. Di Pekajangan
prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat.
Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi
itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif.
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah depok didapatkan prevalensi DM tipe 2
sebesar 14,7% suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makassar prevalensi
diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan
diabetes secara global, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu
populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam
kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat
dengan drastis. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan
menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta
orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.8
Insidens diabetes melitus terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun
2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM
terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang.
Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi
dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Ada juga
perkiraan bahwa dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40%

4
dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang
disebabkan oleh karena:9
1. Faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2). Penduduk usia lanjut bertambah
banyak; 3). Urbanisasi makin tak terkendali
2. Gaya hidup yang ke barat-baratan: 1) Penghasilan per kapita tinggi; 2). Restoran siap
santap; 3). Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan
3. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
4. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.9

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu
(kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram).
Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami
Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan
pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat pendidikan
dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan
Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak
adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM
adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah
kurang dari 5 porsi perhari.10
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit
vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling
utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak
terkontrol juga meningkat.7
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihatber-akibat pada biaya pengobatan dan
hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti
kebutaan dan penyakit vaskular.7

Patofisiologis

Diabetes mellitus tipe 2 tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetic yang masing-
masing menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor
lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada diabetes tipe 2 tidak ada bukti yang menunjukkan

5
dasar autoimun. Dua defek metabolic utama yang menandai diabetes tipe 2 adalah resistensi
inslin dan disfungsi sel ß.

Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer


untuk berespons terhadap hormone insulin. Sejumlah penelitian fungsional pada orang-orang
dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada
lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin,
penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar
zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui
sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetic serta
lingkungan. Sebagian besar faktor genetic yang berkaitan dengan resistensi insulin masih
menjadi misteri karena mutasi pada resptor insulin itu sendiri sangat sedikit menyebabkan
seseorang mengidap diabetes tipe 2. Diantara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki
korelasi yang paling kuat. Korelasi obesitas dengan DM tipe 2 telah dikenali selama beberapa
decade dan resistensi insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes
meningkat seiring indeks massa tubuh yang meningkat, dan keadaan ini mennunjukkan
korelasi dosis-respons antara lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang
mempengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi kadar asam lemak bebas yang tinggi
di dalam darah yang beredar dan intrasel. Kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam
darah dan sel ini dapat mempengaruhi fungsi insulin (lipotoksisitas) dan sejumlah sitokin
yang dilepaskan oleh jaringan adipose (adipokin); sitokin ini meliputi leptin, adiponektin dan
resistin, PPAR-ɣ (suatu reseptor nukleusadiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat
antidiabetik baru yang dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam
adiposity dan hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin.11

Disfungsi sel ß

Disfungsi sel ß bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam
menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Disfungsi sel ß bersifat kualitatif (hilangnya
pola sekresi insulin normal yang berayun/osilasi dan pulsatil serta pelemaan fase pertama
sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif
(berkurangnya massa sel ß, degenerasi pulau Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam
pulau Langerhans).11

Faktor Risiko

6
Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:7
 Aktivitas fisik kurang.
 Umur lebih dari 45 tahun.
 Bobot yang lebih besar dari 120% dari berat badan ideal.
 Riwayat keluarga diabetes tipe 2 pada seorang saudara tingkat pertama (misalnya,
orang tua atau saudara).
 Masuk dalam kelompok etnik resiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander).
 Sejarah toleransi glukosa terganggu sebelumnya (IGT) atau glukosa puasa terganggu
(IFG).
 Hipertensi (>140/90 mm Hg) atau dislipidemia (high-density lipoprotein [HDL]
tingkat kolesterol <40 mg / dL atau tingkat trigliserid >150 mg / dL).
 Riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir ≥ 4000
gram.
 Sindrom ovarium polikistik (yang mengakibatkan resistensi insulin).
 Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans)
 Riwayat penyakit kardiovaskular

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisisensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
kadar glukosa plasma puasa yang normal; atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat.
Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul
glikosuria. Glikosuria akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran
urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk.10
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi diagnosis DM menjadi
2 bagian besar berdasarkan ada dan tidaknya tanda / gejala khas DM.

Gejala khas DM terdiri dari :

1. Poliuria

7
2. Polidipsia Trias DM (3P)
3. Polifagia
4. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.

Gejala penyerta:12
1. Lemas, cepat lelah, dan mengantuk.
2. Kesemutan.
3. Hiperpigmentasi (pria: penis, selangkangan, axilla; wanita: vulva) tidak hilang dengan
dicuci atau obat kulit.
4. Penglihatan kabur.
5. Disfungsi ereksi atau impoten (pada pria).
6. Frigiditas (pada wanita): tidak ada hasrat seks pada wanita atau sakit saat koitus
akibat mukosa vaginal kering.
7. Pruritus ( didaerah vulva pada wanita).
8. Penyembuhan luka yang lambat.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian DM. Bahan
pemeriksaan yang dianjurkan untuk menentukan kadar glukosa darah adalah plasma darah
vena.

Bahan Kadar Glukosa Sewaktu Kadar Glukosa Puasa


Pemeriksaan (GDS) (GDP)
Plasma vena <110 mg/dL <110 mg/dL

Tabel 1. Nilai rujukan kadar glukosa darah

2. Tes Toleransi Glukosa Oral


Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM
bila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM
masih belum dapat dipastikan. Dengan demikian, pemeriksaan ini tidak diperlukan bagi

8
penderita dengan gejala klinis khas DM dan kadar glukosa darah puasa dan atau sewaktu
yang telah memenuhi kriteria diagnostik DM.

Kadar Glukosa Darah


Penilaian
(mg/dL)
< 140 TTGO Normal
140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
>200 Diabetes Melitus

Tabel 2. Penilaian hasil pemeriksaan TTGO jam kedua

3. Hemoglobin A1C (HbA1C)


HbA1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai
glikohemoglobin yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat stabil dan
terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa.
Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira
120 hari). Proses glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa
darah. Karena eritrosit bersifat permeabel dilalui glukosa maka pengukuran kadar A1C
mencerminkan keadaan glikemik selama masa 120 hari.3
Pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan glikemik untuk kurun
waktu 2-3 bulan yang lampau. Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah
protein yang terglikosilasi (A1C) akan meningkat.3

Tabel 3 . Penilaian kadar HbA1c

Penatalaksanaan

Tata laksana DM secara adekuat bertujuan

 Menghilangkan keluhan dan tanda DM


 Mempertahankan rasa nyaman dan mencapai target glukosa darah (jangka pendek)

9
 Mencegah serta menghambat progresivitas penyulit mikroagiopati, makroangiopati,
dan neuropati (jangka panjang)

Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian menyeluruh


terhadap glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid. Agar tujuan tersebut
dapat tercapai, perlu dilakukan pengelolaan secara holistic dengan mengajarkan perubahan
gaya hidup dan perawatan mandiri.12

Berikut ringkasan tata laksana holistic DM

a. Evaluasi medis terarah, meliputi riwayat penyakit, pemerikssaan fisis, evaluasi


laboratoris/penunjang lain (GDP dan GD 2PP, HbA1c, profil lipid pada keadaan
puasa, kreatinin serum, albuminuria, keton, sedimen, dan protein urin, EKG, rontgen
dada serta rujukan apabila diperlukan (mata, gizi, perawatan khusus kaki, psikolog)
b. Evaluasi medis berkala/pemantauan, meliputi pemeriksaan GDP, GD 2PP, HbA1c
setiap 3-6 bulan, dan pemeriksaan fisis serta penunjang lainnya

c. Pilar penatalaksaan DM

1. Edukasi
Edukasi mengenai pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat, pemantauan glukosa
darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia beserta cara mengatasinya perlu
dipahami oleh pasien

2. Terapi nutrisi medis


Terapi nutrisi medis merupakan aspek penting dari penatalaksanaan DM secara
menyerluruh, yang membutuhkan keterlibatan multidisiplin (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan, pasien, serta keluarga pasien).Prinsip pengaturan diet pada penyandang DM
adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing pasien, serta
perlu ditekankan pentingnya keteraturan jadwal, jenis dan jumlah makanan.
Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal. Kebutuhan kalori ini
besarnya 25 (perempuan) dan 30 kalori (laki-laki)/KgBB ideal, ditambah atau dikurangi
tergantung dari beberapa faktorseperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal dilakukan dengan rumus Broca yang dimodifikasi yaitu :
- BBI =90% x (tinggi badan dalam cm – 100) x 1 kg

10
- Bagi pria dengan tinggi badan <160 cm dan perempuan <150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi : BBI= (tinggi badan dalam cm – 100) x 1 kg
- BB normal : BBI ± 10%, kurus: <BBI-10%, gemuk >BBI+10%
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
- Karbohidrat : 45-65%total asupan eneergi (karbohidrat non olahan berserat
tinggi, dibagi dalam 3x makan/hari)
- Lemak : 20-25% kebutuhan kalori (batasi asupan lemak jenuh dan lemak trans,
seperti daging berlemak dan whole milk, konsumsi kolesterol <200mg/hari)
- Protein : 10-20% total asupan energy (seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe)
- Natrium : <3 g atau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi, natrium dibatasi 2,4 g)
- Serat : ±25 g/hari (kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta karbohidrat tinggi
serat)
- Pemanis alternative tetap perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.

3. Aktivitas fisik
Kegiatan jasmani yang dianjurkan adalah intensitas sedang (50-70% denyut nadi
maksimal) minimal 150 menit/minggu atau aerobic 75 menit/minggu.Aktivitas dibagi
dalam tiga hari per minggu dan tidak ada dua hari berturutan tanpa aktivitas fisik.Jika
tidak ada kontraindikasi, pasien DMT2 dieudukasi melakukan latihan resistensi
sekurangnya 2x/minggu.Untuk penyandang DM dengan penyakit kardiovaskular, altihan
jasmani dimulai dengan intensitas rendah dan durasi singkat lalu secara perlahan
ditingkatkan.aktivitas fisik sehari-hari juga dapat dilakukan, misalnya berjalan kaki ke
tempat kerja, menggunakan tangga.

4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diterapkan bersama-sama dengan pengaturan diet dan latihan
jasmani.Terapi farmakologis dapat berupa ADO atau insulin. Berdasarkan cara kerjanya,
ADO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin: sulfonylurea (dikonsumsi 15-30 menit sebelum makan) dan glinid
(sesaat sebelum makan).

11
Golongan obat ini merangsang sel beta pancreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi
insulin.Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.

Sulfonilurea Generik Nama Mg/tab Dosis Lama Frek/hari


Dagang arian kerja
Glibenklamid Daonil 2,5-5 2,5-15 12-24 1-2
Euglakon
Glipizid Minidiab 5-10 5-20 10-16 1-2
Gliklazid Diamicron 80 80-240 10-20 1-2
Glimepirid Amaryl 1,2,3,4 0,5-6 24 1

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin(dikonsumsi sebelum/saat/sesudah


makan) dan tiazolidindion (tidak bergantung jadwal makan)
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga
diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makanan.
Thiazolidinediones merupakan agonist peroxisome proliferator activated receptor gamma
(PPARƴ) yang sangat selektif dan poten. Reseptor gamma PPARƴ terdapat di jaringan target
kerja insulin seperti jaringan adipose, otot skelet, dan hati.Thiozolidinediones merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.Thiozolidinediones dapat
merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan
memperbaiki glikemia seperti glucose transporter (GLUT 1, GLUT 4).

Biguanid Generik Nama Mg/tab Dosis Lama Frek/hari


Dagang arian kerja
Metformin Glucophag 500-850 250- 6-8 1-3
e 3000
Glumin 500 500- 6-8 2-3
3000
Thiazolidinedione Rosglitazon Avandia 4 4-8 24 1
Pioglitazon Actos 15,30 15-30 24 1
s

c. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat alfa glukosidase (bersama makanan suapan


pertama)

12
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam
saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial.Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah
postprandial. Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat
menyebabkan hipoglikemia.

Penghamba Generik Nama Mg/tab Dosis arian Frek/hari


d. DPP-IV
t inhibitor
alfa (bersama makanan atau sebelum makan)
Dagang
Acarbose Glucobay 50-100 100-300 3
glukosidase

GLP-1 endogen memiliki waktu paruh yang sangat pendek (<1 menit) akibat proses
inaktivasi oleh enzim DPP-IV. Penghambatan enzim DPP-IV diharapkan dapat
memperpanjang masa kerja GLP-1 sehingga membantu menurunkan
hiperglikemia.Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitaglipin
dan vildaglipin.
Penggunaan ADO dilakukan secara bertahap dapat dilihat pada gambar 2. Terapi
farmakologi bertahap juga dapat dikelompokkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c,
antara lain :
- Tahap I : HbAc1 7-8%
- Tahap II : HbA1c 8-9%
- Tahap III : HbA1c >9%

Selain OHO, terapi farmakologi lainnya adalah insulin. Terapi insulin diindikasikan pada:

- DM Tipe I
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat disertai ketosis
- Ketosidosis diabetic
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan ADO dosis optimal
 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/DM gestasional yang tidak terkendali dengan
pengaturan diet
 Kontraindikasi ADO

13
Selain pengaturan diet dan latihan jasmani, jika perlu dapat diberikan ADO tunggal atau
kombinasi sejak dini.Terapi dengan ADO kombinasi harus dipilih dua atau lebih macam obat
dengan mekanisme kerja berbeda. Untuk kombinasi ADO dengan insulin, banyak digunakan
kombinasi ADO dan insulin basal yang diberikan malam hari menjelang tidur.12

Komplikasi

1. Komplikasi
 Ketoasidosis diabetik: hiperglikemik, asidosis, ketosis.

Ketoasidosis diabetik ditandai dengan gejala DM tidak terkontrol, rasa lemah,


anoreksia, mual, muntah, sakit perut, hipotermia, hiperpneu (pernapasan kussmaul), napas
berbau aseton, dehidrasi, hiporefleks, inkoordinasi otot mata, serta dilatasi pupil. Pada
pemeriksaan lab, didapatkan hiperglikemia, ketonemia, kadar bikarbonat menurun, pH
darah menurun, kadar BUN dan ureum darah meningkat, jumlah sel darah dan Ht
meningkat.10

 Hiperosmolar non-ketosis
Hiperglikemik berat, dehidrasi berat, tanpa ketosis, dan asidosis, yang ditandai dengan
gejala klinis poliuria, polidipsi, dan letargi. Pada pemeriksaan lab, didapatkan kadar
glukosa darah sangat tinggi, kadar bikarbonat plasma normal, dan pH darah normal.5
 Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dl. Biasanya
hipoglikemia ditandai dengan penurunan kesadaran pada penderita DM. Hipoglikemik
biasa ditandai pada penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonylurea
dapat berlangsung lama sehingga harus diawasi secara terus-menerus hingga waktu kerja
obat habis (sekitar 24-72 jam). Gejala hipoglikemik seperti adanya gejala adrenergic
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Hipoglikemik harus segera mendapat
pengelolaan memadai dengan diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
glukosa 15-20 gram intravena.10
 Mata
Gejala katarak, pengelihatan kabur, retinopati, buta
 Ginjal
Neuropati-renal failure  mual, edema, anemia, BAK sedikit.10

14
 Saraf
Neuropati perifer  baal, pegal, kesemutan, nyeri
Neuropati visceral  diare, gangguan BAK, impoten
Dimensia  gangguan memori.

Pencegahan

Pencegahan primer memiliki sasaran yaitu masyarakat yang masih sehat. Semua pihak di
dalam masyarakat harus mengembangkan dan membudayakan pola hidup sehat dan
menghindari pola hidup yang meningkatkan risiko DM. Mengkampanyekan makanan sehat
yang mengandung lemak dengan kadar yang rendah atau pola makan seimbang harus
ditanamkan sejak usia dini. Juga menganjurkan olahraga agar tetap dapat menjaga berat
badan agak tidak berlebihan. Pencegahan sekunder adalah ditujukan kepada para penderita
Dm untuk mencegah terjadinya komplikasi dengan mengingatkan pentingnya kepatuhan
minum obat dan latihan fisik secara teratur serta menjaga pola makan. Penyuluhan tentang
diabetes dan cara mencegah komplikasinya perlu diberikan bagi para penderita DM dan
keluarga ataupun kerabat dekatnya. Terakhir pencegahan tersier dengan sasaran pada
penderita DM yang sudha maupun belum mengalami komplikasi dengan tujuan mencegah
terjadinya komplikasi ataupun kecacatan yang diakibatkannya. Upaya ini terdiri dari 3
tahap.13

1. Pencegahan komplikasi diabetes yang pada consensus dimasukkan sebagai


pencegahan sekunder
2. Mencegah berlanjutnya progresi komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit
organ
3. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ tubuh atau
jaringan.13

Prognosis

Prognosis pasien bervariasi tergantung pada keadaan dan kepatuhan pasien. Umumnya
apabila pasien terkontrol baik memiliki prognosis yang baik sehingga kualitas dan kuantitas
hidup dapat lebih membaik.

Program pengendalian penyakit Diabetes Mellitus difokuskan kepada


penanggulangan faktor risiko dan peningkatan kualitas hidup penyandang diabetes, hal ini

15
dikarenakan Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronis. Program pengendalian penyakit
Diabetes Mellitus dirancang dengan membagi menjadi beberapa tujuan, antara lain:
a. Jangka pendek : Hilangnya keluhan dan tanda gejala DM, Mempertahankan rasa
nyamana dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka Panjang : Tercegah dan terhambatnya progesivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara holistic dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Beberapa kegiatan pokok pengendalian penyakit Diabetes Meilitus antara lain :
a. Pencegahan dan penangulangan faktor resiko
b. Penemuan dan tatalaksana kasus
c. Surveilans Epidemiologi
d. KIE
e. Jejaring kerja dan advokasi

Kerangka konsep yang telah disusun pemerintah untuk pelaksanaan program


pengendalian penyakit Diabetes Mellitus berdasarkan Pedoman Pengendalian Diabetes
Mellitus dan Penyakit Metabolik antara lain:
1. Pengendalian DM berdasarkan fakta (evidence based) dan skala prioritas
2. Melaksanakan sosialisasi dan advokasi pada pemerintah, pihak legislatif dan
stakeholder serta pemda
3. Melakukan pembinaan dan monitoring serta evaluasi prog pengendalian DM
4. Intensifikasi upaya pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilans
epidemiologi, penemuan dan tatalaksana kasus serta KIE DM
5. Meningkatkan kemitraan melalui jejaring kerja baik nasional, regional, internasional
6. Memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasil penelitian atau kajian
yang mendukung dalam upaya peningkatan program pengendalian DM
7. Pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan berbagai kelompok masyarakat
didesa atau kelufrahan seperti posyandu atau pos lansia
8. Meningkatkan peran dan fungsi sesuai kewenangan daerah serta memanfaatkan
sumber daya pusat melalui sistem penganggaran (dana dekonsentrasi dan perbantuan).

16
Surveilans Epidemiologi
Menurut WHO surveilans epidemiologi adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data secara sistematik, dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Definisi surveilans
menurut Kepmenkes RI No 1116/Menkes/SK/VIII/2008 adalah kegiatan analisis secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit/ masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularannya, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.

Mekanisme Kerja Surveilans


Kegiatan surveilans merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terus
menerus dengan mekanisme kerja tertentu yang harus dilaksanakan agar surveilans dapat
dilakukan sesuai tujuan. Adapun mekanisme kerja surveilans telah diatur dalam Kepmenkes
RI No 1116/Menkes/SK/VIII/2008 yaitu:
1. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait laninnya.
2. Perekaman, pelaporan dan pengolahan data.
3. Analasis dan interpretasi data.
4. Studi epidemiologi.
5. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan.
6. Membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut.
7. Umpan balik.
Penyelenggaraan surveilans Diabetes Mellitus memakai siklus manajemen sistem
surveilans yang terdiri dari :
• Input : meliputi segala komponen yang dapat dijadikan bahan atau sumber daya
terkait pelaksanaan surveilans seperti: SDM, fasilitas, pembiayaan, kebijakan dan
mitrs dan output
• Proses : tahapan proses mulai dari pengumpulan data, pengolahan data serta analisis
dan interpretasi data
• output : laporan yang dihasilkan dalam penyelenggaraan surveilans tersebut, biasanya
berupa laporan tahunan surveilans yang diterbitkan

17
Tujuan Surveilans Epidemiologi
Surveilans epidemiologi memiliki tujuan umum dan tujuan khusus dalam
penyelenggaraannya. Tujuan umum surveilans epidemiologi ialah mendapatkan informasi
epidemiologi tentang masalah kesehatan meliputi gambaran masalah kesehatan menurut
waktu, tempat dan orang, diketahuinya determinan, faktor risiko dan penyebab langsung
terjadinya masalah kesehatan. Sedangkan tujuan khusus surveilans epidemiologi menurut
Stephen B. Tachker (2004) antara lain:
1. Menghitung estimasi besar masalah kesehatan.
2. Menggambarkan riwayat alamiah penyakit.
3. Deteksi KLB.
4. Dokumentasi distribusi dan sebaran kejadian kesehatan.
5. Mengfasilitasi riset epidemiologi atau laboratorium.
6. Menguji hipotesis.
7. Evaluasi program penanggulangan masalah kesehatan.
8. Memantau perubahan agent penyakit.
9. Memantau kegiatan isolasi.
10. Deteksi perubahan mutu pelayanan.
11. Perencanaan.

Surveilans Diabetes Mellitus


Diabetes Melitus merupakan penyakit tidak menular. Peningkatan penyakit tidak
menular dapat berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas apabila PTM terjadi pada
kelompok usia produktif. Pengendalian penyakit tidak menular diprioritaskan pada penyakit –
pebyakit dengan prevalensi yang tinggi seperti diabetes melitus, PJK dan lain lain. Penyakit
yidak menular memiliki faktor resiko bersama, faktor resiko tersebut dapat berkontribusi baik
secara sendiri ataupun saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga dapat menyebabkan
seseorang menderita satu atau lebih banyak penyakit tidak menular. Adapun Upaya
pengendalian PTM dibagi menjadi upaya pencegahan primer, upaya pencegahan sekunder,
dan upaya pencegahan sekunder namun adapun kegiatan lainnya dalam mendukung upaya
pengendalian PTM adalah surveilans.
Pada dasarnya pelaksanaan surveilans Diabetes Mellitus dilakukan agar diperolehnya
informasi epidemiologi penyakit tidak menular khususnya diabetes melitus dan
terdistribusinya informasi kepada program terkait, pusat – pusat kajian, dan pusat penelitian

18
serta unit surveilans lain. Berikut adalah tujuan khusus pelaksanaan program survelans,
khususnya surveilans PTM:
1. Terkumpulnya data kesakitan di Puskesmas sebagai sumber data surveilans terpadu
penyakit.
2. Terdistribusikannya data kesakitan kepada unit surveilans dinas kesehatan kabupaten
kota, unit surveilans dinas kesehatan provinsi, unit surveilans dirjen P2PL.
3. Terlaksananya pengolahan dan penyajian data penyakit khususnya diabetes melitus
dalam bentuk tabel, grafik, peta dan analisis lebih lanjut oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi dan unit surveilans dirjen P2PL.
4. Terdistribusinya hasil pengolahan dan penyajian data penyakit khususnya diabetes
melitus beserta hasil analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi kepada program
terkait di Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional,
pusat-pusat riset, pusat-pusat kajian dan perguruan tinggi serta sektor terkait lainnya.

Upaya Promotif.

Adalah upaya promosi kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan status/ derajat
kesehatan yang optimal. Sasarannya adalah kelompok orang sehat. Tujuan upaya promotif
adalah agar masyarakat mampu meningkatkan kesehatannya, kelompok orang sehat
meningkat dan kelompok orang sakit menurun. Bentuk kegiatannya adalah pendidikan
kesehatan tentang cara memelihara kesehatan. Contoh :
1. Memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat tentang :
- Penyakit diabetes mellitus dan jantung
- Faktor risiko
- Cara pencegahan yaitu menjalankan pola hidup yang sehat dengan membatasi
konsumsi gula, garam, makanan berlemak dan rajin berolahraga.

2. Melakukan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus memberikan


pemahaman bahwa kesehatan adalah juga tanggung jawab masyarakat. Misalnya
pengadaan transportasi, donor darah dan lain – lain. 6

19
Upaya Preventif
Adalah upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit. Sasarannya
adalah kelompok orang resiko tinggi. Tujuannya untuk mencegah kelompok resiko tinggi
agar tidak jatuh/ menjadi sakit (primary prevention). Bentuk kegiatannya adalah Prorgam
penegendalian Diabetes Melitus secara integrase dengan PTM Terpadu Contoh :
1.Pendekatan faktor resiko PTM di faskes primer (Konseling berhenti merokok,hipertensi,
obesitas)
2. Tatalaksana terintegrasi hipertensi dan diabetes melalui pendekatan faktor resiko

Upaya Kuratif
Adalah upaya promosi kesehatan untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah melalui
pengobatan. Sasarannya adalah kelompok orang sakit (pasien) terutama penyakit kronis.
Tujuannya kelompok ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak lebih parah (secondary
prevention). Bentuk kegiatannya adalah pengobatan. Contoh :Memberikan pengobatan pada
masyarakat atas instruksi dokter. 6

Kegiatan Surveilans Diabetes Meilitus


A. Di tingkat puskesmas.7
1. Penemuan Kasus
- Setiap penderita dengan gejala 3P atau dengan resiko terjadi DM yang
datang ke puskesmas harus dicari gejala tambahan dan ditentukan
apakah memenuhi kriteria klinis DM.
- Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu
diupayakan untuk dimonitor perjalanan penyakitnya
- Bila kasus memenuhi kriteria DM, catat dalam format laporan dan
lakukan penyelidikan epidemiologi untuk mencari kasus tambahan.
2. Pengambilan Spesimen
Kasus DM dapat juga didiagnosa secara laboratoris atau tidak dengan
mengambil sampel berupa darah vena.
3. Pencatatan dan Pelaporan
Puskesmas mencatat setiap kasus DM ke dalam laporan dan dilaporkan
ke dinas kesehatan kab/kota setiap bulan.
4. Pengolahan dan analisis data
Puskesmas melakukan analisis data DM yang meliputi antara lain :

20
- Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur
- Status Ekonomi
- Angka CFR total dan menurut kelompok umur
- Angka insidensi menurut kelompok umur dan jenis kelamin
berdasarkan bulan dan tahun
-
B. Di Rumah Sakit (Surveilans Aktif). 7
1. Penemuan Kasus
Surveilans aktif RS bertujuan untuk menemukan kasus DM yang
berobat ke rumah sakit baik langsung maupun rujukan dari fasilitas
kesehatan lain. Surveilans DM di RS dilakukan secara aktif oleh
petugas surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan petugas
surveilans rumah sakit/contact person RS, yang diintegrasikan dengan
surveilans AFP dan PD3I lainnya.
2. Pengambilan Spesimen
Kasus DM dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil
sampel darah vena.
3. Pencatatan dan Pelaporan
Kasus yang terjadi di Rumah Sakit dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
melakukan kunjungan surveilans aktif RS.

Kesimpulan

Diabetes mellitus sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.Diabetes mellitus tipe 2 biasanya terjadi pada pertengahan umur atau lebih.
Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya poliuri,
polidipsi, dan polifagi serta hasil laboratorium glukosa darah, baik glukosa darah sewaktu,
glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam post prandial, dan test toleransi glukosa oral yang
menunjukkan peningkatan dari kadar normal. Terdapat empat pilar utama dalam tata laksana
diabetes mellitus yaitu pengaturan menu diet, aktivitas fisik, obat hipoglikemik oral dan
pemberian insulin. Semua terapi bertujuan untuk menjaga kadar gula darah agar tetap normal
sehingga tidak menimbulkan komplikasi seperti hipoglikemi, ketoasidosis diabetic dan koma
hiperosmolar diabetic non ketotic yang dapat membahayakan jiwa.

21
Daftar Pustaka

1. Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung:


Journal Majority Vol.4 No.5; 2015.
2. Subekti I. Tetap sehat dengan diabete melitus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
3. Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah penyandang diabetes, dalam
penatalaksanaan diabetes terpadu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2005.
4. Kementrian Kesehatas Republik Indonesia. Pusat data dan informasi. 2014.
5. Sustrani, dkk. Diabetes. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama; 2006.
6. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17
ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006.h.1260-72.
8. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2005.h.155,191.
9. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik.
Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h.60.
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1874-921.
11. Qu HQ, Li Q, Rentfro AQR, Fisher-Hoch SP, McCormick JB. The
definition of insulin resistance using HOMA-IR for Americans of Mexican descent using
machine learning. PloS ONE 2011 Jun; 6(6):1-4.
12. Sidartawan S, Ahmad R, Asman M, Imam S, Agung P, Putu M.A,dkk.
Konsensus pengelolaan dan pecegahan diabetes mellitus tipe II. Jakarta: Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia; 2008.h.1-41.
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins dan Cotran dasar patologis
penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010.h.717-31.

22

Anda mungkin juga menyukai