Anda di halaman 1dari 8

Gejala Klinis dan Tatalaksana Kelainan Refraksi pada Mata

Livia Theda
102016034
Mahasiswa Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara no. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat – 11510

Abstrak

Kata kunci :

Abstract

Keywords:

Pendahuluan

Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu komunikasi antara dokter dengan pasien atau orang yang
terdekat dengan kehidupan pasien tersebut sehari-hari. Tujuan dari anamnesis ini adalah untuk
mengetahui keluhan utama dari pasien serta informasi mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis yang baik dapat mengarahkan pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis
dapat dilakukan secara langsung dengan pasiennya sendiri atau yang dikenal dengan
autoanamnesis atau secara tidak langsung yang dikenal dengan alloanamnesis. Autoanamnesis
dapat dilakukan jika pasien berada dalam keadaan sadar sedangkan bila pasien dalam keadaan
tidak sadar atau masih anak-anak, maka dapat dilakukan alloanamnesis dengan bertanya pada
orang tuanya atau kerabat terdekat.1,2

1
Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Identitas pasien
meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, umur, status perkawinan, suku bangsa, agama,
alamat, pendidikan dan pekerjaan. Setelah itu dapat ditanyakan pada pasien atau orang tua dan
walinya apa keluhan utama dia datang, keluhan penyerta lain, faktor predisposisi dan faktor
resiko, kemungkinan penyebab penyakit, dan faktor-faktor yang dapat memperburuk atau
memperbaiki keluhan, misalnya upaya pengobatan yang sudah dilakukan. 1,2

Hasil anamnesis yang didapatkan dari kasus ini adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun
datang dengan keluhan melihat tulisan di layar proyektor dan televisi tidak jelas sejak usia 15
tahu dan perlahan-lahan bertambah parah. Untuk dapat melihat dengan jelas, laki-laki tersebut
perlu memicingkan dan mengucek mata. Tidak ditemukan adanya riwayat keluar air mata dan
juga mata merah.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien untuk mengetahui
adanya perubahan patologis dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Inspeksi
adalah pemeriksaan dengan cara mengamati bagian tubuh yang akan diperiksa. Palpasi adalah
pemeriksaan dengan meraba serta menekan bagian tubuh yang mengalami kelainan. Perkusi
adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk bagian tubuh dengan tangan atau alat. Sedangkan
auskultasi adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui pendengaran.2,3

Pemeriksaan mata yang perlu dilakukan berdasarkan kasus tersebut adalah pemeriksaan
refraksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat dan mengukur gangguan refraksi mata
seseorang. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan apakah kelainan pada mata yang
terjadi itu akibat gangguan media refraksi atau kelainan organ, serta terapi yang dibutuhkan.
Pemeriksaan refraksi ini dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan objektif dan subjektif.
Pemeriksaan objektif dilakukan hanya menggunakan alat untuk menentukan keadaan refraksi
pada mata pasien. Sedangkan pada pemeriksaan subjektif dibutuhkan kerja sama yang baik
antara pemeriksa dan pasien untuk menilai keadaan refraksi mata pasien tersebut. Oleh sebab itu,
pemeriksaan subjektif dianggap dapat memberikan hasil yang lebih baik dan akurat
dibandingkan dengan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan subjektif dimulai dari pemeriksaan

2
visus, lalu dilanjutkan dengan penyempurnaan fraksi pembiasan dan menentukan ukuran lensa
untuk koreksi kelainan refraksi.

Pemeriksaan pertama yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan visus mata. Pemeriksaan
visus mata adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur ketajaman penglihatan
seseorang. Tajam penglihatan adalah kemampuan seseorang untuk melihat pada jarak tertentu
sebelum dan sesudah dikoreksi. Pemeriksaan visus ini dilakukan pada kedua mata pasien dengan
cara melihat pada objek yang berada di kartu Snellen. Hasil dari pengukuran ini dinyatakan
dalam bentuk rasio pembilang dan penyebut, dimana pembilang melambangkan jarak mata
pasien dengan kartu Snellen, sedangkan penyebut melambangkan jarak mata normal bisa melihat
objek di kartu Snellen.

Normalnya, untuk melihat kartu Snellen dibutuhkan jarak 5-6 meter. Apabila pasien tidak
dapat melihat kartu Snellen dari jarak 1 meter, maka akan digunakan metode finger counting.
Pada metode ini pasien akan diminta untuk melihat dan menghitung jari pemeriksa pada jarak 1
hingga 6 meter dengan ukuran visus 1/60 sampai 60/60. Kalau pasien tidak dapat melihat jari
pemeriksa dari jarak 1 meter, maka akan digunakan metode hand movement dengan visus 1/300
dimana pemeriksa akan menggerakan tangannya dan pasien akan menentukan arah gerakan
tangan pemeriksa. Jika hand movement tidak berhasil, maka akan dilakukan penyinaran dengan
pen light yang disebut juga dengan light perception. Pemeriksaan ini dinyatakan dengan visus
1/∞ proyeksi baik apabila pasien dapat menentukan arah datangnya sinar, namun jika tidak dapat
menentukan arah sinar maka hasil pemeriksaan visusnya 1/∞ proyeksi buruk. Jika tidak dapat
menentukan ada atau tidaknya sinar, maka pasien dinyatakan buta total dengan visus 0.

Setelah diperiksa menggunakan kartu Snellen, gangguan penglihatan pasien harus


dipastikan lagi apakah itu merupakan kelainan refraksi atau bukan dengan menggunakan tes Pin
Hole. Pada tes ini pasien diminta untuk duduk dengan jarak yang sudah ditentukan, biasanya 6
meter, dari kartu pemeriksaan. Tes ini juga dilakukan pada kedua mata satu per satu. Bila pasien
berkacamata, dipasang juga koreksi kacamatanya. Kemudian dicatat hasil pemeriksaannya
sebagai tajam penglihatan pin hole.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan trial and error. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menentukan ukuran lensa koreksi yang nyaman untuk pasien. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memasangkan trial frame pada pasien dengan salah satu mata ditutup dengan

3
okluder. Dimulai dari jarak pasien tidak dapat membaca kartu Snellen hingga huruf pada jarak
5/5 dapa dibaca dengan jelas. Untuk koreksi dengan lensa negatif, pilihlah ukuran lensa terkecil
yang dapat digunakan untuk melihat dengan jelas. Sedangkan untuk koreksi dengan lensa positif,
pilihlah ukuran lensa terbesar yang dapat digunakan untuk melihat dengan jelas. Selain itu juga
perlu dilakukan pemeriksaan untuk koreksi astigmatisma dengan menggunakan Jackson cross
cylinder dan Astigmat Dial. Jackson cross cylinder adalah alat yang paling sering digunakan
untuk menentukan lensa koreksi astigmatisma. Pada alat ini terdapat 2 lensa silindris dengan
kekuatan negatif dan positif. Astigmat dial merupakan tes dengan garis-garis yang tersusun
secara radial yang digunakan untuk menentukan aksis dari astigmatisma. Untuk melakukan
pemeriksaan menggunakan astigmat dial, perlu dilakukan fogging atau pengaburan pada mata
dengan menambah sferis positif kemudian meminta pasien untuk memperhatikan garis mana
yang dilihat paling tajam dan hitam. Setelah itu tambahkan silinder minus ataupun mengurangi
sferis positif hingga didapatkan ketajaman yang terbaik saat melihat garis pada astigmat dial.

Pemeriksaan objektif yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan retino

Hasil pemeriksaan pada pasien didapatkan bahwa mata kanan memiliki visus 6/60 PH
6/40 dengan koreksi S -2.00 silindris -0,75 dengan axis 180 derajat. Sedangkan mata kiri
memiliki visus 6/60 PH 6/50 dengan koreksi S +0,75 : 6/40. Selain itu, segmen anterior kedua
bola masih dalam batas normal. Pada segmen posterior, kedua bola mata memiliki saraf optikus
bulat, berbatas tegas, CDR 0,3, serta A : V yaitu 2 : 3. Ditemukan juga reflek makula positif di
mana tidak ada perdarahan dan eksudat pada bagian perifer.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang atau yang dikenal juga dengan sebutan pemeriksaan laboratorium
merupakan pemeriksaan yang dilakukan dan bertujuan untuk menegakkan diagnosis,
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, serta timbulnya
penyulit. Pemeriksaan penunjang dianggap perlu dilakukan untuk membantu mengevaluasi
pasien dan menegakkan diagnosis.3

4
Diagnosis kerja

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, maka dapat ditegakkan
bahwa laki-laki tersebut menderita kelainan refraksi mata, antara lain: astigma myopia
compositus OD, hipermetropi simpleks OS, ambliopia OS, dan anisometropia.

Refraksi mata adalah hasil pembiasan cahaya pada mata oleh media refraksi, yaitu
kornea, cairan mata, lensa, dan badan kaca. Selain itu, refraksi juga dipengaruhi oleh panjangnya
bola mata. Pada keadaan normal, cahaya itu akan dibiaskan dan difokuskan tepat di daerah
makula lutea tanpa perlu berakomodasi. Mata pada keadaan normal disebut juga dengan
emetropia. Namun, apabila terjadi kelainan refraksi pada mata, cahaya yang dibiaskan tersebut
tidak dapat fokus dan tepat jatuh di daerah makula lutea, atau lebih tepatnya pada retina. Hal
tersebut terjadi karena adanya gangguan pada media refraksi ataupun panjang bola mata.
Keadaan mata yang tidak normal atau mengalami gangguan dapat juga disebut dengan keadaan
ametropia.

Pada keadaan tanpa akomodasi, ametropia menghasilkan bayangan benda atau sinar pada
fokus yang tidak sejajar atau tidak berada tepat pada retina sehingga bayangan benda tidak dapat
dibentuk dengan jelas. Ada dua bentuk ametropia, yaitu ametropia aksial dan refraktif.
Ametropia aksial terjadi karena sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga
bayangan yang terbentuk berada di depan ataupun di belakang dari retina. Sedangkan ametropia
refraktif merupakan kelainan dari media refraksi yang ada di dalam bola mata. Bila daya biasnya
kuat maka bayangan benda akan terbentuk di depan retina, namun sebaliknya jika daya biasnya
lemah, maka bayangan benda akan terbentuk di belakang retina. Tidak hanya itu, ametropia juga
dapat terjadi pada bola mata dengan ukuran panjang yang normal. Ametropia yang terjadi
merupakan akibat dari abnormalitas lengkungan kornea atau lensa yang disebut dengan
ametropia kurvatura dan juga abnormalitas indeks bias di dalam mata yang disebut dengan
ametropia indeks. Ametropia ini dapat ditemukan pada kelainan berupa miopia, hipermetropia,
dan astigmatisma.

Miopia atau yang lebih akrab dikenal dengan rabun jauh merupakan keadaan dimana saat
mata dalam keadaan istirahat dan tidak berakomodasi, mata memfokuskan cahaya sejajar dari

5
benda yang ada di depannya pada satu titik yang berada di depan retina. Hal tersebut dapat
terjadi karena panjang bola mata yang melebih rata-rata (miopia aksial) ataupun karena adanya
kelainan kekuatan refraksi mata yang terlalu besar (miopia refraktif). Kelainan ini tentu saja
memerlukan koreksi agar mata dapat melihat benda dengan jelas, oleh sebab itu miopia dapat
dibagi menjadi miopia ringan dengan ukuran sampai -3,00 dioptri, miopia sedang dengan ukuran
mulai dari -3,00 hingga -6,00 dioptri, dan miopia tinggi dengan ukuran lebih dari -6,00 dioptri.

Hipermetropia atau yang biasa dikenal dengan rabun dekat merupakan keadaan di mana
mata memfokuskan cahaya sejajar yang datang dari benda yang ada di depannya pada satu titik
di belakang retina tanpa berakomodasi. Hal tersebut dapat terjadi akibat bola mata yang lebih
pendek daripada umumnya atau disebut juga hipermetropia aksial. Bisa juga terjadi akibat
kelainan pada lengkungan kornea atau lensa yang lemah yang dikenal dengan hipermetropia
kurvatura, ataupun akibat indeks bias yang kurang pada mata yang disebut juga dengan
hipermetropia refraktif. Hipermetropia juga dapat terjadi karena kelainan kongenital, didapat,
ataupun kelanjutan dari hipermetropia kongenital. Untuk tingkatannya, hipermetropia dibagi
menjadi 3, yaitu ringan dengan ukuran +0,25 hingga +3,00 dioptri, sedang dengan ukuran +3,25
hingga +6,00 dioptri, dan tinggi dengan ukuran lebih dari +6,25 dioptri. Hipermetropia juga
dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu manifest baik itu absolut ataupun fakultatif, laten, dan
total. Nilai dari hipermetropia manifest didapat tanpa menggunakan sikloplegik yang dikoreksi
dengan kaca mata positif maksimal sehingga memberikan tajam penglihatan normal. Seperti
yang sudah dijelaskan, hipermetropia manifest terbagi menjadi absolut dan fakultatif dimana
hipermetropia absolut berarti kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan penderita
membutuhkan kacamata positif. Sedangkan hipermetropia fakultatif berarti kelainan
hipermetropia dapat diimbangi dengan kacamata positif. Selain itu, manifest laten merupakan
kelainan hipermetropia tanpa sikloplegik namun diimbangi dengan akomodasi keseluruhan, dan
hipermetropia total adalah keadaan dimana laten dan manifest sudah didapatkan ukurannya
setelah diberikan sikloplegik.

Kelainan refraksi mata yang lainnya adalah astigmatisma. Astigmatisma merupakan


keadaan mata yang tidak dapat memfokuskan pembiasan cahaya yang datang pada satu titik
tunggal. Hal ini dapat terjadi karena kelengkungan dan kekuatan refraksi permukaan kornea
ataupun lensa berbeda beda sehingga terbentuk lebih dari satu fokus. Astigmatisma sendiri dapat

6
dibedakan menjadi 2, yaitu regular dan iregular. Astigmatisma regular merupakan astigmatisma
yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang secara perlahan secara
teratur, sedangkan astigmatisma iregular adalah keadaan dimana bayangan yang terjadi tidak
memiliki 2 garis yang saling tegak lurus. Hal ini dapat terjadi akibat kelengkungan kornea yang
menyebabkan bayangan benda menjadi iregular. Berdasarkan orientasi meridian utamanya,
astigmatisma dapat dikelompokan menjadi astigmatisma with the rules, against the rules, dan
oblik. Astigmatisma with the rules merupakan keadaan dimana pembiasan terbesar mata adalah
pada bidang vertikal. Astigmatisma against the rules merupakan keadaan dimana pembiasan
terbesar mata terletak pada garis horizontal. Sedangkan pada astigmatisma oblik, pembiasan
terbesar terletak pada bidang miring di sekitar sudut 45 dan 135 derajat.

Astigmatisma berdasarkan orientasi dan posisi relatif garis fokusnya dapat


diklasifikasikan menjadi lima tipe, yaitu: astigmatisma miop simpleks, miop kompositus,
hipermetrop simpleks, hipermetrop kompositus, dan mikstus. Astigmatisma miop simpleks
merupakan keadaan astigmatisma yang memiliki satu garis fokus pada retina dan garis lainnya
berada di depan retina, sedangkan pada astigmatisma miop kompositus, kedua garis berada di
depan retina. Hampir serupa dengan astigmatisma hipermetrop simpleks dan kompositus. Pada
astigmatisma hipermetrop simpleks, satu garis fokus terletak di retina dan garis lainnya di
belakang retina, sedangkan pada astigmatisma hipermetrop kompositus, kedua garis terletak di
belakang retina. Berbeda halnya dengan astigmatisma mikstus di mana satu garis fokus terletak
di depan retina dan garis lainnya terletak di belakang retina.

Etiologi

Epidemiologi

Patofisiologi

Gejala klinis

7
Komplikasi

Penatalaksanaan

Prognosis

Pencegahan

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai