Pemeriksaan visus atau ketajaman penglihatan adalah pemeriksaan yang umum dilakukan
untuk menilai adanya gangguan refraksi pada pasien. Pemeriksaan ini bertujuan melihat
kemampuan resolusi spasial mata dalam membedakan 2 titik, serta kemampuan membedakan
bentuk dan detail suatu obyek pada jarak tertentu.
Visus mata atau tes ketajaman penglihatan dilakukan untuk mengetahui kemampuan mata
melihat objek dengan jelas dalam jarak tertentu. Tes ini biasa digunakan sebagai cara
mengetahui kelainan refraksi mata seperti mata minus (rabun jauh), rabun dekat, dan mata
silinder.
Pemeriksaan visus dilakukan pada pasien yang datang dengan gangguan penglihatan yang
memerlukan evaluasi ketajaman penglihatan, seperti nyeri pada mata, cedera mata,
pandangan kabur atau mata merah. Pemeriksaan ini juga dilakukan pada kondisi berikut ini :
Catatan awal ketajaman penglihatan pada mata yang sehat
Penilaian visus pada gangguan refraksi atau bukan refraksi (misalnya ablasio retina
atau retinopati)
Pengukuran luaran dari tindakan pembedahan pada daerah mata, misalnya akibat
katarak atau glaukoma
Indikasi Diagnostik
Untuk kepentingan diagnostik, pemeriksaan visus dilakukan untuk indikasi sebagai berikut :
1. Sebagai pemeriksaan bagi pasien yang mengalami keluhan gangguan pada ketajaman
penglihatan
2. Sebagai penentu diagnosis pasien terkait dengan gangguan refraksi
3. Sebagai pemeriksaan penunjang untuk pasien dengan gangguan mata selain gangguan
refraksi, misalnya endoftalmitis atau mata merah
4. Sebagai pemeriksaan penunjang untuk pasien dengan gangguan neurologi yang
berhubungan dengan penglihatan, misalnya retinopati atau stroke
Kontra Indikasi
Pada dasarnya pemeriksaan visus tidak memiliki kontra indikasi absolut maupun relatif.
Namun, pemeriksaan ini membutuhkan koordinasi yang baik antara pemeriksa dengan
pasien. Pemeriksaan ketajaman penglihatan tidak dapat dilakukan pada pasien dengan :
1. penurunan kesadaran
2. gangguan mental atau kejiwaan
3. gangguan kognitif atau retardasi mental
4. kurang konsentrasi
Persiapan Pasien
Menjelaskan pada pasien secara singkat dan jelas mengenai pemeriksaan yang akan
dilakukan serta tindakan dan koordinasi yang perlu dilakukan oleh pasien, serta
meminta informed consent pasien.
Tes visus umumnya dilakukan dengan bantuan Snellen chart atau bagan Snellen. Bagan ini
dikembangkan oleh seorang dokter spesialis mata dari Belanda, Herman Snellen, pada tahun
1860-an. Ada banyak variasi dari Snellen chart yang digunakan dalam tes ketajaman mata.
Secara umum Snellen chart yang digunakan untuk tes mata terdiri dari 11 baris huruf kapital
dengan ukuran yang bervariasi. Semakin ke bawah ukuran huruf akan semakin kecil.
Arti angka pada Snellen chart
Setiap baris bagan Snellen dilengkapi dengan angka yang merupakan jarak (dalam satuan
kaki). Angka ini menunjukkan jarak normal seseorang dapat membaca dengan jelas huruf
pada baris tersebut ketika melakukan tes.
Misalnya, terdapat angka 20/200 di samping baris huruf pertama. Angka pertama, yaitu 20,
mewakili jarak antara Anda dengan Snellen chart tersebut, yaitu 20 kaki atau 6 meter
jauhnya. Tes visus mata dengan membaca huruf di bagan Snellen biasanya memang
dilakukan dalam jarak 6 meter.
Sedangkan angka kedua, yaitu 200 mewakili jarak maksimal di mana mata Anda masih
mampu membaca huruf pada barisan tersebut dengan jelas. Angka 200 berarti, 200 kaki atau
60 meter. Begitu seterusnya untuk angka-angka yang tertera di bawahnya.
2. Tes garpu tala
Dalam tes ini, pemeriksa menggunakan garpu tala dengan frekuensi 256–512Hz untuk
mengetahui respons pasien terhadap suara dan getaran di dekat kedua telinga. Tes garpu
tala ini dilakukan pada tes Weber dan tes Rinne
a. Tes Weber
Cara pemeriksaan :
1) Pemeriksa akan menggetarkan garpu tala, lalu meletakkannya di bagian tengah
dahi/kepala pasien sampai suara tidak terdengar
2) Pemeriksa mencatat di bagian telinga mana getaran yang terasa, apakah pada
telinga kiri, telinga kanan, atau keduanya
Hasil pemeriksaan :
1) Pendengaran normal menghasilkan getaran yang sama di kedua telinga
2) Gangguan pendengaran konduktif menyebabkan getaran terasa di telinga yang
tidak normal.
3) Gangguan pendengaran sensorineural menyebabkan getaran terasa di telinga
normal.
b. Tes Rinne
Tes Rinne merupakan tes pendengaran yang dilakukan untuk mengevaluasi suara
pendengaran dengan membandingkan persepsi suara yang dihantarkan oleh konduksi
udara dengan konduksi tulang melalui mastoid
Tes Rinne sering kali direkomendasikan untuk pasien yang diduga mengalami
gangguan pendengaran konduktif.
Cara pemeriksaan :
1) Pemeriksa meletakkan garpu tala di tulang mastoid (di belakang salah satu telinga)
2) Bila pasien sudah tidak bisa mendengar suara, pasien diminta memberi isyarat
kepada pemeriksa
3) Selanjutnya pemeriksa akan menggerakkan garputala di samping telinga lainnya
4) Bila pasien sudah tidak bisa mendengar suara itu lagi, pasien diminta memberi
isyarat kepada pemriksa
5) Pemeriksa mencatat berapa lama pasien dapat mendengar setiap suara
Hasil pemeriksaan :
1) Pendengaran normal
Menunjukkan waktu konduksi udara yang dua kali lebih lama dari waktu konduksi
tulang. Pasien akan mendengar suara di samping telinga, dua kali selama pasien akan
mendengar suara di belakang telinga pasien
2) Gangguan pendengaran konduktif
Suara konduksi tulang terdengar lebih lama dari konduksi udara
3) Gangguan pendengaran sensorineural
Suara konduksi udara terdengar lebih lama dari konduksi tulang, tapi mungkin tidak dua
kali lebih lama
3. Tes audiometri tutur
Tes audiometri tutur bertujuan untuk mengetahui seberapa keras suara yang harus
diperdengarkan sampai pasien bisa mendengarnya. Tes ini juga bertujuan untuk
mengetahui apakah pasien dapat memahami dan membedakan berbagai kata yang
diucapkan oleh pemeriksa
Dalam tes ini, pasien akan diminta untuk mengenakan headphone. Setelah itu, pemeriksa
akan memperdengarkan kata-kata melalui headphone dalam volume yang bervariasi dan
meminta pasien mengulang kata-kata yang diperdengarkan
4. Tes audiometri nada murni
Dalam tes ini, pemeriksa menggunakan audiometer, yaitu alat yang menghasilkan nada
murni. Alat ini diperdengarkan pada pasien melalui headphone dalam nada-nada yang
frekuensi dan intensitas suaranya bervariasi, mulai dari 250Hz hingga 8.000Hz.
Tes ini dimulai dengan intensitas suara yang masih terdengar, lalu dikurangi secara
bertahap hingga tidak lagi terdengar oleh pasien. Selanjutnya, intensitas suara akan
ditingkatkan kembali sampai pasien bisa mendengarnya. Pasien akan diminta untuk
memberi tanda jika masih bisa mendengar suara
8. Timpanometri
Sebelum tes dimulai, dilakukan pemeriksaan liang telinga pasien untuk memastikan tidak
ada kotoran atau benda lain yang menyumbat. Selanjutnya pada liang telinga dipasang alat
kecil seperti earphone di masing-masing telinga pasien
Setelah terpasang, alat tersebut akan mengembuskan udara dalam tekanan yang bervariasi
ke dalam telinga untuk membuat gendang telinga bergerak. Gerakan gendang telinga
tersebut kemudian akan ditampilkan dalam grafik pada perangkat khusus yang disebut
timpanogram. Grafik pada timpanogram akan menunjukkan apakah gendang telinga
pasien bergerak normal, terlalu kaku, atau terlalu banyak bergerak. Melalui timpanogram,
pemeriksa juga bisa mengetahui apakah ada robekan pada gendang telinga pasien atau
cairan pada telinga tengah.
Selama tes berlangsung, pasien tidak dibolehkan berbicara, bergerak, atau melakukan
gerakan menelan karena akan mempengaruhi hasil tes.
Pendengaran pasien dinilai tidak ada masalah jika tekanan udara di telinga tengah berkisar
antara +50 hingga -150 decapascal, tidak terdapat cairan di bagian tengah telinga, dan
pergerakan gendang telinga masih normal.
Bila hasilnya abnormal dapat menunjukkan adanya:
a. Cairan atau tumor di bagian tengah telinga
b. Kotoran yang menutupi gendang telinga
c. Lubang atau luka pada gendang telinga
Timpanometri hanya dilakukan untuk memeriksa bagian tengah telinga. Pemeriksa akan
menyarankan pasien untuk menjalani tes lain jika tes timpanometri menunjukkan hasil
abnormal