Anda di halaman 1dari 25

LKK 1.

ANAMNESIS KELAINAN MATA (INFEKSI MATA, KELAINAN REFRAKSI DAN


KEGANASAN)

1. ANAMNESIS KELAINAN MATA


A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
Melakukan anamnesis kelainan mata:
a. Menanyakan keluhan utama
b. Menanyakan keluhan tambahan
c. Menanyakan faktor risiko
d. Menanyakan riwayat penyakit dahulu
e. Menanyakan riwayat penyakit keluarga

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR ANAMNESIS KELAINAN MATA
1.1 Landasan Teori
Anamnesis adalah kesimpulan hasil wawancara mengenai penyakitnya dengan pasien dan atau orang
lain yang mengetahui tentang sakitnya (autoanamnesa dan alloanamnesa). Berikut ini adalah langkah-
langkah anamnesis mengenai beberapa kelainan mata yang sering dijumpai di masyarakat.
Pada dasarnya pola pertumbuhan sel yang abnormal terbagi atas dua macam,yaitu non neoplastik
dan neoplastik. Non neoplastik adalah pertumbuhan sel yangabnormal yang tidak dapat berubah menjadi sel
yang baru atau orang biasanyamenyebutnya tumor, sedangkan neoplastik adalah pertumbuhan sel abnormal
yangdapat berubah menjadi sel baru yang biasanya disebut kanker.

1.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 1 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi (sesama mahasiswa)
3. Ruang periksa dokter

1.3 Langkah Kerja


Lakukan role play dokter dan pasien dengan langkah sebagai berikut:
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan melakukan anamnesis
3. Menanyakan identitas pasien
4. Memohon izin untuk melakukan anamnesis mata
5. Menggali keluhan utama:
- keluhan utama
- durasi serangan
- kronisitas
6. Menanyakan keluhan tambahan:
- Penurunan tajam penglihatan
- nyeri
- silau
- sakit
- mata merah
- kotoran mata/mata berair
- gatal
- penglihatan kembar
- lebih nyaman melihat ditempat yang teduh
- mata menonjol
- kelopak mata tidak dapat menutup
7. Menanyakan gejala lain untuk menyingkirkan diagnosis banding, misalnya:
- tunnel vision
- retinopati
- kelainan refraksi
8. Menanyakan faktor-faktor risiko.
- Faktor usia
- konsumsi obat-obatan (steroid, rematik)
- riwayat kontak dengan sekitar
- riwayat trauma
9. Menanyakan riwayat penyakit yang sama sebelumnya
10. Menanyakan riwayat penyakit dahulu
- DM: sering makan, sering kencing, badan tambah kurus,
- hipertensi: sakit belakang kepala terutama pagi hari, pernah mendapat obat anti hipertensi,
- Asma Bronkial: sesak napas pada saat cuaca dingin.
11. Menanyakan riwayat penyakit keluarga

1.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, apakah pasien menderita keluhan yang mengarah kepada Infeksi, Glukoma,
katarak, ganguan refraksi atau Keganasan pada mata.

Skenario:
1. Ny. T, 60 tahun, datang dengan keluhan mata kabur sejak 1 tahun yang lalu.
2. Imam, 24 tahun datang dengan mata merah sejak 2 hari yang lalu
3. Ny. R, 58 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada mata sejak 2 hari yang lalu
4. Reno, 15 tahun, datang dengan mata kabur sejak 6 bulan yang lalu
5. An. A, 6 bulan, datang dengan keluhan bintik mata berwarna putih
6. Tn.I, 40 tahun, datang dengan koreng pada kelopak mata
LKK 2: PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN DASAR DAN PEMERIKSAAN FISIK MATA
(LAPANG PANDANG, TEKANAN BOLA MATA, DAN FUNDUSKOPI)

I. PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN DASAR


A. SASARAN PEMBELAJARAN:
Setelah melakukan kegiatan ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan visus dengan menggunakan snellen chart

A. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN VISUS


1. Landasan Teori
Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan sasaran dengan berbagai ukuran yang terpisah
pada jarak standar dari mata. Setiap baris pada Snellen chart ditandai sebuah angka yang disesuaikan dengan jaraknya,
dalam satuan kaki atau meter, dan semua huruf dalam baris itu dapat dibaca oleh mata normal. Setelah didapatkan
visus kedua mata, dapat dilakukan koreksi apabila visus tidak normal. Menentukan koreksi visus dilakukan dengan
pemeriksaan refraksi menggunakan trial lens hingga didapatkan visus normal.

2. Media Pembelajaran
1) Penuntun LKK 1 Blok XV FK UMP
2) Ruang periksa dokter
3) Pasien simulasi
4) Kursi
5) Snellen Chart
6) Senter
7) Mistar pengukur

3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam kepada pasien.
2. Memperkenalkan diri sebagai dokter yang bertugas.
3. Menanyakan identitas pasien.
4. Menjelaskan tujuan dan meminta izin pasien.
5. Ruang pemeriksaan harus dengan penerangan cukup.
6. Pasien duduk pada jarak 6 m atau jarak 5 m(20 kaki) menghadap lurus Snellen chart dengan pandangan mata
setinggi bagian tengah dari Snellen chart.
7. Jika pasien memakai kacamata/lensa kontak, maka minta pasien untuk melepasnya.
8. Biasakan untuk memeriksa mata kanan terlebih dahulu dan minta pasien untuk menutup mata yang satu
dengan menggunakan telapak tangan atau dengan alat (trial frame + occluder).
9. Pasien diminta untuk melihat lurus ke depan dengan santai.
10. Pasien dipersilahkan untuk membaca huruf/gambar yang terdapat pada Snellen chart, dari yang paling besar
(dari atas) sampai pada huruf/gambar terkecil yang masih dapat terlihat oleh mata pasien.
11. Jika pasien hanya dapat melihat huruf pada Snellen chart dibaris 5/20, artinya pasien hanya dapat melihat
pada jarak 5 m yang pada orang normal dapat dibaca dari jarak 20m (visus 5/20)
12. Apabila penderita tak dapat melihat huruf/gambar terbesar yang terdapat pada Snellen chart, maka kita
mempergunakan hitung jari.
13. Penderita diminta untuk menghitung jari pemeriksa (satu jari atau dua jari) yang diletakkan secara horizontal
di depan tubuh pemeriksa. Pemeriksa mulai pada jarak 1 m, lalu mundur sampai posisi 2 m di depan pasien,
dan seterusnya sampai posisi 6 m. Jika penderita dapat melihat pada jarak 1m, maka visus dinyatakan dalam
1/60 (dapat melihat jari pada jarak 1 meter, yang pada orang normal dapat dilakukan pada jarak 60 m).
14. Apabila penderita tak dapat menghitung jari, maka dipergunakan lambaian tangan pemeriksa pada jarak 1 m.
Jika penderita dapat mengidentifikasi arah gerak lambaian tangan pemeriksa, maka visus dinyatakan 1/300.
15. Apabila lambaian tangan tak terlihat oleh penderita, maka kita periksa visusnya dengan cahaya (sinar baterai).
Apabila pasien dapat melihat sinar tersebut maka visus dinyatakan dalam 1/~ (satu per tak terhingga).
Kemudian sinar diarahkan ke empat kuadran penglihatan (atas, bawah, kiri, kanan) dan minta pasien
menyebutkan arah datangnya sinar tersebut. Apabila pasien dapat menjawab dengan benar, maka visusnya
dinyatakan dalam 1/~ , proyeksi sinar benar. Bila pasien menjawab salah, maka visus dinyatakan dalam 1/~ ,
proyeksi sinar salah.

Interpretasi Hasil
a. Visus mata kiri (VOS): normal (6/6), tidak normal (sebutkan nilai visusnya).
b. Visus mata kanan (VOD) : normal (6/6), tidak normal (sebutkan nilai visusnya).
Lampiran:

Gambar 1. Cara pemeriksaan visus dengan Snellen Chart


Sumber: www.health.allrefer.com

II. PEMERIKSAAN FISIK MATA (LAPANG PANDANG, TEKANAN BOLA MATA, DAN
FUNDUSKOPI)
A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan lapang pandang mata dengan metode konfrontasi.
2. Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata dengan metode digital (palpasi).
3. Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata dengan menggunakan tonometer Schiotz.
4. Melakukan pemeriksaan funduskopi.
a. Mempersiapkan pasien dan alat.
b. Melakukan pemeriksaan funduskopi pada posisi yang benar.
c. Melakukan interpretasi terhadap hasil yang didapatkan pada funduskopi.

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG MATA
1.1 Landasan Teori
Perimetri adalah suatu teknik untuk memeriksa lapangan pandang perifer dan sentral. Teknik ini dilakukan
terpisah untuk masing-masing mata, bertujuan untuk mengukur fungsi retina, nervus optikus (N. II), dan jalur
visual intrakranial secara bersama. Sensitivitas penglihatan paling besar di pusat lapangan bersangkutan dan
paling kecil di perifer. Perimetri tergantung pada respons pasien secara subyektif dan hasilnya akan tergantung
pada status psikomotor dan status penglihatan pasien. Perimetri harus selalu dilakukan dan ditafsirkan dengan
mengingat hal tersebut.
Ada 2 metode dasar penyajian sasaran dalam perimetri, yaitu:
1. Perimetri statik
Sebuah objek yang sulit, misalnya cahaya lemah, disajikan pertama kali di lokasi tertentu. Jika tidak terlihat,
ukuran atau intensitas cahaya secara bertahap dinaikkan sampai dapat dideteksi oleh pasien. Hal serupa
dilakukan di lokasi-lokasi lain sehingga sensitivitas cahaya berbagai titik dalam lapangan dapat dinilai dan
digabungkan membentuk profil dari lapangan visual.
2. Perimetri kinetik
Mula-mula diuji sensitivitas seluruh lapangan terhadap satu objek uji, dengan ukuran dan kecerahan yang
tetap, yang digerakkan perlahan-lahan dari perifer ke sentral. Batas daerah terlihatnya objek uji tersebut oleh
pasien disebut isopter. Makin besar isopter, makin baik lapangan pandang mata itu.
Dalam latihan keterampilan klinik kali ini yang akan dilakukan adalah perimetri kinetik.
1.2 Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 2 Blok XV FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Kursi
5. Objek (stik hitam dengan ujung berwarna putih berukuran 3mm)

1.3 Langkah Kerja


1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan.
5. Pemeriksa dan pasien duduk berhadap-hadapan dengan jarak 60 cm.
6. Bila pemeriksa atau pasien memakai kacamata, harus dilepaskan. Pemeriksa dianggap memiliki lapang
pandang normal.
7. Meminta pasien untuk menutup mata kanannya dengan telapak tangan kanan dan pemeriksa menutup mata
kiri dengan telapak tangan kiri.
8. Pandangan mata masing-masing terfiksasi ke pangkal hidung lawannya.
9. Pemeriksa menggerakkan objek (Spidol white board) secara perlahan, dari perifer ke sentral pasien.
10. Pemeriksa menggerakkan objek (Spidol white board) secara perlahan, dari atas ke sentral pasien.
11. Pemeriksa menggerakkan objek (Spidol white board) secara perlahan, dari bawah ke sentral pasien.
12. Dalam setiap pemeriksaan no. 4, 5, 6, pasien diminta mengatakan atau memberi tanda bila sudah dapat
melihat objek tersebut.
13. Bandingkan lapang pandang pasien dengan pemeriksa.
14. Lakukan penilaian pada mata sebelahnya dengan langkah yang sama.

1.4 Interpretasi Hasil


Lapang pandang pasien: normal, melebar, atau menyempit bila dibandingkan dengan pemeriksa.

2. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA


2.1 Landasan Teori
Tonometri adalah cara pengukuran tekanan cairan intraokuler dengan memakai alat terkalibrasi yang
melekukkan atau meratakan apeks kornea. Makin tegang mata, makin besar gaya yang diperlukan untuk
mengakibatkan lekukan. Ada tiga jenis tonometri, yaitu:
1. Palpasi
Metode ini praktis karena tidak membutuhkan alat apapun namun bersifat subjektif sehingga tidak bisa
diandalkan untuk hasil yang akurat.
2. Schiotz
Tonometer Schiotz mengukur besarnya indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban atau gaya yang telah
disiapkan. Makin lunak mata, makin besar lekukan yang diakibatkan pada kornea. Makin kencang mata,
makin kurang lekukan kornea. Metode ini praktis karena alatnya kecil sehingga mudah dibawa kemana-
mana.
3. Applanasi
Dengan tonometer ini tekanan mata ditentukan oleh beban yang diberikan untuk meratakan kornea. Pada
tekanan intraokuler yang lebih rendah, lebih sedikit beban tonometer yang dibutuhkan untuk mencapai
derajat standar perataan kornea dibandingkan dengan tekanan intraokuler yang lebih tinggi. Metode ini
kurang praktis karena alatnya menempel pada slitlamp, namun hasilnya lebih akurat.

2.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 2 Blok XV FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Tempat tidur pemeriksaan
5. Anestesi lokal (pantokain tetes mata)
6. Tonometer Schiotz
7. Beban tonometer Schiotz 7,5 gram dan 10 gram
8. Kapas alkohol
9. Alat tera tonometer Schiotz
10. Tabel tekanan bola mata

2.3 Langkah Kerja


2.3.1 Pemeriksaan Secara Palpasi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan.
5. Penderita dan pemeriksa dalam posisi duduk berhadap-hadapan.
6. Meminta pasien untuk melirik ke bawah.
7. Kedua jari telunjuk pemeriksa melakukan palpasi pada palpebra superior mata kanan penderita. Setelah
itu periksa mata kiri penderita.
8. Pemeriksa menentukan apakah terjadi kenaikan tekanan pada bola mata penderita dengan
menginterpretasikan ketegangan pada sklera dengan menggunakan kedua ujung jari telunjuk pemeriksa.

Gambar 2. Cara pemeriksaan tonometri dengan palpasi


Sumber: www.betterplace.org

2.3.2 Tonometri Schiotz.


1. Melakukan persiapan yaitu kedua mata penderita terlebih dulu ditetesi dengan larutan anestesi lokal
(pantokain 1 tetes). Bila rasa sakit pada mata telah hilang, baru boleh dilakukan pemeriksaan.
2. Dilakukan peneraan tonometer pada alat tera.
3. Tonometer dipasangi beban 7,5 gram.
4. Tonometer didesinfeksi dengan alkohol.
5. Penderita diminta tidur telentang.
6. Mata penderita yang akan diperiksa diminta melihat lurus ke atas tanpa berkedip.
7. Tonometer diletakkan dengan perlahan-lahan dan hati-hati tepat di atas kornea penderita.

Gambar 3. Cara melakukan pemeriksaan tonometri Schiotz


Sumber: www.medindia.net
8. Pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh jarum tonometer.
9. Pemeriksa mencocokkan angka yang ditunjukan oleh tonometer dengan tabel tekanan bola mata.

2.4 Interpretasi Hasil


Pemeriksaan tekanan bola mata:
a. Penilaian metode palpasi (subjektif):
N = tekanan bola mata normal
N+1, N+2, N+3 = tekanan bola mata tinggi (teraba lebih keras)
N-1, N-2, N-3 = tekanan bola mata rendah (teraba lebih lunak)
b. Penilaian metode Schiotz: tekanan bola mata normal 10 – 21 mmHg

3. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI


3.1 Landasan Teori
Tujuan dari pemeriksaan funduskopi adalah untuk melihat dan menilai keadaan dan kelainan fundus okuli.
Fundus okuli adalah bagian sebelah dalam bola mata di bagian posterior (dasar bola mata). Prinsip pemeriksaan
ini adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan memberikan reflek fundus sehingga gambaran pada
fundus dapat dilihat yaitu macula lutea, papilla Nervus II, dan pembuluh darah retina. Bila kita akan memeriksa
fundus secara ideal maka sebaiknva pupil dilebarkan dulu dengan tetes mata midriatikum.
Retina dapat diperiksa dengan oftalmoskop langsung atau tidak langsung. Dengan alat-alat tersebut,
pemeriksa yang ahli mampu memisahkan lapisan-lapisan retina untuk menentukan jenis, tingkat dan luas penyakit
retina. Manfaat oftalmoskop langsung adalah untuk pemeriksaan fundus. Oftalmoskop langsung yang dipegang
tangan menghasilkan pembesaran bayangan monokuler dari media dan fundus mata. Karena mudah dibawa dan
menghasilkan rincian pandangan diskus dan vaskulatur retina, oftalmoskopi langsung merupakan bagian standar
pemeriksaan medis umum selain pemeriksaan oftalmologi.

3.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 3 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi, yang telah dipastikan tidak menderita glaukoma.
3. Tetes mata midriatikum
4. Oftalmoskop

Gambar 4. Oftalmoskop (Sumber: www.halmapr.com)


5. Kursi
6. Ruang periksa dokter dalam keadaan gelap

3.3 Langkah Kerja


1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan).
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan pada pemeriksaan ini.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan.
5. Apabila pasien mengizinkan, maka persiapkanlah alat dan bahan yang akan digunakan.
6. Pasien duduk dalam kamar gelap.
7. Mata pasien ditetesi dengan tetes mata midriatikum sebanyk 1-2 tetes.
8. Pemeriksa keadaan refraksinya harus emetrop. Bila pemeriksa memakai kacamata maka harus dilepaskan
terlebih dahulu. Kemudian pemeriksa memutar roda lensa pada oftalmoskop sesuai dengan keadaan
refraksinya. Contoh koreksi refraksi pada oftalmoskop:

Pemeriksa Pasien Keterangan


Emetrop Miopia -2 D Roda lensa diputar ke arah S - 2
Emetrop Hipermetropia + 3 D Roda lensa diputar ke arah S +3
Miopia -2 D Hipermetropia +4 D Roda lensa diputar ke arah S +2

9. Pemeriksa duduk/berdiri di samping pasien.


10. Meminta pasien untuk melihat ke arah telinga pemeriksa.
11. Bila mata kanan pasien yang akan diperiksa, maka pemeriksa memegang oftalmoskop dengan tangan
kanan dan melihat fundus mata dengan mata kanan pula.

Gambar 5. Cara melakukan funduskopi


Sumber: www.article.wn.com
12. Pemeriksa mengamati :
a. Papila Nervus II
b. Macula lutea
c. Pembuluh darah retina

Gambar 6. Gambaran yang tampak dengan funduskopi


Sumber: www.drugline.org

13. Lakukan pemeriksaan funduskopi pada mata kiri pasien dengan oftalmoskop di tangan kiri pemeriksa dan
dilihat dengan mata kiri pemeriksa.

3.4 Interpretasi Hasil


1. Papila Nervus II: adakah edema papil, atrofi papil, ekskavasi fisiologis
Gambar 7. Edema papil Gambar 8. Atrofi papil
Sumber: www.eye-web.org Sumber: www.lookfordiagnosis.com

2. Makula lutea: - Reflek fovea (+) bila terlihat cahaya.


- Reflek fovea (-) bila terlihat suram (kemungkinan terjadi edema atau inflamasi).
3. Pembuluh darah retina:
a. Arteri : lurus, berwarna merah terang, ukuran lebih kecil.
b. Vena : lebih berkelok-kelok, warna lebih tua dibanding arteri, ukuran lebih besar.
c. Kelainan pembuluh darah : adakah eksudat, crossing phenomenon.
LKK 3: ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN GANGGUAN TELINGA DAN TES PENDENGARAN:
RINNE, WEBER, SCHWABACH

A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan anamnesis kelainan telinga.
2. Melakukan pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop dan corong telinga.
3. Melakukan tes pendengaran dan menginterpretasikannya

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR ANAMNESIS KELAINAN TELINGA
1.1 Landasan Teori
Anamnesis adalah kesimpulan hasil wawancara mengenai penyakitnya dengan pasien dan atau orang
lain yang mengetahui tentang sakitnya (autoanamnesa dan alloanamnesa). Berikut ini adalah langkah-
langkah anamnesis mengenai beberapa kelainan telinga yang sering dijumpai di masyarakat.

1.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 4 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Ruang periksa dokter

1.3 Langkah Kerja


Lakukan role play dokter dan pasien dengan contoh kasus yang telah disediakan berikut ini:
1. Gangguan pendengaran
a. Mendadak/tidak
b. Unilateral/bilateral
c. Terus menerus/hilang timbul
d. Bertambah/berkurang.
e. Adakah hubungan dengan penyakit lain
f. Riwayat penyakit telinga sebelumnya
g. Riwayat penyakit sistemik/penggunaan obat
2. Tinitus
a. Mendengung nada tinggi, mendesis, pulsatif
b. Terus-menerus/hilang timbul
c. Setelah mendengar suara keras
3. Vertigo
a. Rasa berputar
b. Mual, muntah, tinitus, gangguan pendengaran
c. Lama dan frekuensi serangan
d. Terus-menerus/hilang timbul
e. Riwayat penyakit telinga
f. Adanya penyakit umum: DM, hipertensi, dll
4. Sekret telinga
a. Sifat sekret
b. Ada rasa sakit
c. Lama terjadinya
d. Periodik atau terus-menerus
e. Infeksi lain dari saluran nafas atas
f. Ada bau atau tidak
5. Nyeri telinga
a. Sifat nyeri
b. Berulang atau tidak
c. Nyeri menetap di telinga atau ada penyebaran
d. Adakah gejala pada kepala, leher, dan lainnya
1.4 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil anamnesis menjadi kemungkinan-kemungkinan diagnosis, apakah mengarah ke
kelainan telinga atau tidak.

Skenario:
1. Seorang anak, usia 7 tahun, datang bersama ibunya ke IGD RSMP karena keluar cairan di
telinga kanan sejak 3 hari yang lalu
2. Tn. S, 30 tahun, datang dengan penurunan pendengaran sejak 1 minggu terakhir.
3. Ny.Umi, 46 tahun datang dengan nyeri telinga yang semakin hebat sejak 1 hari yang lalu.

2. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN TELINGA


2.1 Landasan Teori
Untuk pemeriksaan telinga ada dua cara, yaitu dengan mata telanjang untuk melihat keadaan dan
bentuk daun telinga, daerah belakang daun telinga (retro-aurikuler), tanda radang atau bekas operasi. Cara
selanjutnya dengan menggunakan otoskop untuk melihat liang telinga dan membrana timpani.

1.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 4 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Ruang periksa dokter
2. Otoskop
3. Lampu kepala
4. Corong telinga
5. Aplikator untuk kapas
6. Pengait serumen
7. Pinset bayonet

2.3 Langkah Kerja


1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan telinga.

a. Persiapan Pasien:
a. Meminta pasien untuk duduk tegak lurus dengan kepala condong ke depan.
b. Untuk melihat telinga kiri, kepala pasien diputar ke kanan dan sebaliknya
b. Teknik Pemeriksaan Telinga dengan menggunakan lampu kepala dan corong
telinga:
a. Lampu ditaruh di kepala.
b. Sinar lampu di fokuskan ke arah telinga yang akan diperiksa.
c. Jari I dan II tangan kiri memegang daun telinga yang akan diperiksa.
d. Pasang corong telinga di liang telinga kanan dan telinga kiri, secara bergantian.
e. Melakukan penilaian terhadap liang telinga dan membrana timpani.
c. Teknik Pemeriksaan Telinga dengan menggunakan Otoskopi:
a. Jari I dan II tangan kiri memegang daun telinga yang akan diperiksa.
b. Melakukan pemeriksaan telinga kanan dan kiri secara bergantian dengan
menggunakan Otoskopi menggunakan tangan kanan untuk melihat membrana
timpani.
c. Melakukan penilaian.

www.treathb.com
Gambar Cara melakukan pemeriksaan otoskopi
2.4 Interpretasi Hasil
Melakukan penilaian terhadap membran timpani:
a. warna : pink pucat (normal), merah (radang), putih (sklerosis)
b. refleks cahaya: (+) atau (-)
c. kontur: normal, bulging, perforasi, retraksi

3. PANDUAN BELAJAR TES PENDENGARAN (TES RINNE, WEBER, SCHWABACH)


2.1 Landasan Teori
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui
tulang dan memakaigarpu tala atau audiometer nada murni. Kelainan hantaran melalui udara
mengakibatkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar dan telinga tengah. Kelainan
telinga dalam mengakibatkan tuli sensorineural.
Secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20 sampai 18.000 Hz. Untuk pendengaran
sehari-hariyang paling efektif adalah 500-2000 Hz. Oleh karena itu, untuk memeriksa pendengaran
dipakai garpu tala 512, 1024, dan 2018 HZ
Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala, yaitu
test Rinne, tes Webwe, tes Schwabach, tes Bing, dan tes Stenger

1.3 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 4 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Ruang periksa dokter
4. Garpu tala

2.3 Langkah Kerja


1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan pendengaran.

2.4 Cara Pemeriksaan


1. Tes Rinne: tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulangpada telinga yang diperiksa.
Penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak
terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2.5 cm. bila masih
terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif.
2. Tes Weber: tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dengan telinga kanan.
Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di
vertex, dahi, pangkal hidung, di tengah gigi seri atau di dagu).
Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan kea rah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.

3. Tes Schawabach: membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan


pemeriksa yang pendengarannya normal.
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkanpada prosesus mastoideus sampai
tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada
prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabah memendek, bila pemeriksa
tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala
diletakkan prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa
kira-kira sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan
pemeriksa.

Interpretasi:
Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal


pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke telinga Memanjang Tuli konduktif
yang sakit
Positif Lateralisasi ke telinga Memendek Tuli Sensorineural
yang sehat

LKK 4: PEMERIKSAAN KULIT (Tes Sensibilitas, Tes Gunawan dan Kekuatan Otot pada
Penderita Lepra)
A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada kasus lepra
a. Fungsi sensorik raba
b. Fungsi sensorik nyeri
c. Fungsi sensorik suhu
2. Melakukan pemeriksaan fungsi saraf motorik pada kasus lepra
a. Pemeriksaan nervus medianus
b. Pemeriksaan nervus radialis
c. Pemeriksaan nervus ulnaris
d. Pemeriksaan nervus peroneus
3. Melakukan pemeriksaan fungsi saraf otonom pada kasus lepra
a. Tes Gunawan
4. Melakukan tes perabaan (palpasi) saraf

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR
1.1 Landasan Teori
Lepra atau kusta atau morbus hansen adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, menyerang saraf perifer, kulit, dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Gangguan yang paling sering terjadi pada lepra adalah adanya lesi kulit. Kalau secara inspeksi
lesi tersebut mirip dengan penyakit lain, maka ada tidaknya anestesia akan sangat membantu
diagnosis lepra. Gangguan lain yang paling ditakutkan adalah timbulnya deformitas sekunder akibat
gangguan saraf, biasanya nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis, dan nervus peroneus.
Untuk itu perlu kiranya mempelajari cara pemeriksaan kekuatan dari nervi tersebut.

1.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Kapas yang telah dilancipkan
5. Jarum pentul
6. Air hangat
7. Air dingin
8. Kertas
9. Tabung reaksi

1.3 Langkah Kerja Dan Interpretasi Hasil


1.3.1 Teknik Pemeriksaan Fungsi Saraf Sensorik Pada Lepra
1. Fungsi sensorik raba
- Pasien diminta untuk duduk pada saat dilakukan pemeriksaan.
- Terlebih dahulu dijelaskan kepada pasien, bahwa jika ia merasakan sentuhan kapas, ia
harus menunjuk daerah kulit yang disentuh tersebut dengan jari telunjuknya.
- Pemeriksaan menggunakan kapas yang telah dilancipkan ujungnya.
- Awalnya pasien diperiksa dengan mata terbuka, setelah pasien jelas memahami
prosedurnya, pasien diminta menutup mata.
- Pemeriksaan sensibilitas dilakukan terhadap bercak yang diduga sebagai lesi/ruam
kusta, juga pada kulit yang normal (tanpa ruam).

2. Fungsi sensorik nyeri


- Diperiksa menggunakan jarum
- Kulit pasien ditusuk dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal jarum yang
tumpul.
- Pasien harus membedakan rasa tajam dan rasa tumpul.

3. Fungsi sensorik suhu


- Digunakan dua tabung reaksi, satu berisi air panas (kisaran 40 oC) yang lainnya berisi air
dingin (kisaran 20oC).
- Pemeriksaan pertama dilakukan pada kulit normal, untuk memastikan bahwa pasien
mampu membedakan sensasi panas dan sensasi dingin.
- Pemeriksaan selanjutnya mata pasien ditutup, kedua tabung ditempelkan pada kulit yang
dicurigai merupakan ruam kusta.
- Jika pasien beberapa kali salah menyebutkan rasa dari tabung yang ditempel pada
daerah yang dicurigai, berarti sensasi suhu telah terganggu.
- Pemeriksaan tersebut diatas harus diperiksa pada bagian tengah lesi, bukan dipinggir lesi

1.3.2 Teknik Pemeriksaan Fungsi Saraf Motorik (Voluntary Muscle Test) Pada Lepra
1. Nervus medianus
- Pemeriksa memegang tangan penderita dalam posisi keempat jari (jari II sampai jari V)
rapat.
- Penderita diminta mengangkat ibu jari ke atas.
- Perhatikan pangkal ibu jari, apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.
- Jika penderita melakukannya, kemudian dorong ibu jari pada bagian pangkal, bukan
pada kukunya.
- Interpretasi: jika penderita mampu mengangkat ibu jari ke atas dan ada tahanan sewaktu
didorong berarti nervus medianus baik (belum ada kelemahan).

Gambar Cara pemeriksaan nervus medianus


Sumber: www.kuspito.wordpress.com

2. Nervus radialis
- Pemeriksa memegang pergelangan tangan penderita kemudian minta supaya ia
mengangkat pergelangan tangannya ke belakang sepenuhnya.
- Pemeriksa mendorong punggung tangan penderita perlahan untuk menguji ketahanan
otot.
- Interpretasi: jika ada tahanan berarti nervus radialis baik.
Gambar Cara melakukan pemeriksaan nervus radialis
Sumber: www.physicalexamination.org

3. Nervus ulnaris
- Pemeriksa memegang ketiga jari penderita (jari ke II sampai ke IV) dalam posisi
supinasi dengan lurus
- Penderita diminta untuk merapatkan jari kelingking.
- Jika penderita dapat merapatkan kelingking, taruhlah kertas diantara kelingking dan jari
manis. Penderita diminta menahan kertas.
- Kemudian kertas ditarik perlahan untuk mengetahui ketahanan otot.
- Interpretasi: jika kertas tidak mudah ditarik berarti nervus ulnaris baik.

4. Nervus peroneus
- Penderita dalam posisi duduk dengan telapak kaki menapak lantai.
- Pemeriksa memegang kedua pergelangan kaki penderita.
- Penderita, diminta mengangkat kaki sepenuhnya (dalam posisi dorso fleksi).
- Kemudian pemeriksa menekan punggung kaki menggunakan kedua tangan untuk
memeriksa ketahanan otot.
- Interpretasi: jika ada tahanan kuat berarti nervus peroneus baik.

Gambar Cara melakukan pemeriksaan nervus peroneus


Sumber: www.aan.com

1.3.3 Teknik Pemeriksaan Fungsi Saraf saraf otonom pada kasus lepra (Tes Gunawan)
Tes Gunawan adalah suatu tes yang digunakan untuk menguji fungsi saraf otonom pada lesi yang diduga
mengalami gangguan saraf (misalnya lesi pada lepra). Prinsip tes Gunawan adalah tinta yang digoreskan pada
lesi akan melebar apabila terkena keringat. Keringat sendiri merupakan tanda bahwa saraf otonom masih
berfungsi baik.
- Pensil tinta digoreskan membentuk garis mulai dari bagian tengah lesi yang
dicurigai terus sampai ke kulit normal.
- Pasien diminta untuk melakukan aktivitas agar berkeringat.
- Perhatikan: apakah tinta tersebut melebar atau tidak.
- Interpretasi: Tinta melebar : fungsi saraf otonom normal. Tinta tidak melebar : fungsi saraf
otonom tidak normal.
1.3.4 Teknik Pemeriksaan Perabaan (palpasi) saraf kasus lepra
Berikut adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan (palpasi) saraf:
1. Pemeriksa berhadapan dengan penderita
2. Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti penderita
3. Pada saat meraba saraf, perhatikan:
a. Apakah ada penebalan/pembesaran
b. Apakah saraf kiri dan kanan sama besar atau berbeda
c. Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf
Sewaktu melakukan palpasi saraf lihat juga mimik penderita, apakah ada kesan kesakitan tanpa menanyakan
sakit atau tidak. Dari beberapa saraf yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris,
peroneus communis dan tibialis posterior.

1. Saraf Ulnaris
a. Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk
sehingga lengan penderita relaks
b. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf Ulnaris di
dalam sulcus nervi ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolan tualng siku dan tonjoloan kecil di bagian
medial (epicondilus medial)
c. Dengan memberikan tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri ke atas
dengan halus sambil melihat mimik/reaksi penderita apakah tampak kesakitan atau tidak
Kemudian dengan prosedur yang sama untuk memeriksa saraf ulnaris kiri (tangan kiri pemeriksa
memegang lengan kiri penderita dan tangan pemeriksa meraba saraf ulnaris kiri penderita tersebut)

Gambar Pemeriksaan palpasi saraf ulnaris

2. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis)


a. Penederita diminta duduk di suatu tempat (kursi, tangga, dll) dengan kaki dalam keadaan relaks.
b. Pemeriksa duduk di depan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri
memeriksa kaki kanan.
c. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil
pelan-pelan meraba ke atas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula), setelah menemukan
tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang.
d. Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut dihulirkan bergantian ke kanan dan ke kiri sambil melihat
mimik/reaksi penderita.
Gambar Pemeriksaan Palpasi saraf peroneus Communis

3. Saraf Tibialis Posterior


a. Penderita masih dalam duduk relaks
b. Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa meraba saraf tibialis posterior di bagian belakang bawah dari
mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang (tangan kiri pemeriksa
memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan
penderita)
c. Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik/reaksi dari penderita

Gambar Pemeriksaan Palpasi saraf Tibialis Posterior

TES KULIT
A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah latihan keterampilan klinik ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan tes Auspitz
2. Melakukan tes Koebner
3. Melakukan tes goresan lilin
4. Melakukan tes diaskopi
5. Melakukan tes Nikolsky
6. Melakukan tes Asboe Hansen
7. Melakukan tes dermografisme
8. Melakukan tes dermografisme putih

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR TES AUSPITZ
1.1 Landasan Teori
Tes ini dilakukan dengan mengerok permukaan plak psoriasis dengan tujuan untuk
membuang lapisan-lapisan plak sehingga tampaklah permukaan licin dengan titik-titik perdarahan.
Titik-titik perdarahan tersebut menunjukkan pembuluh-pembuluh darah kapiler yang berdilatasi
dan berkelok-kelok pada papilla dermis (papilomatosis). Fenomena tersebut dinamakan fenomena
Auspitz, yang merupakan tanda diagnostik penyakit psoriasis.
1.2 Media Pembelajaran
1. Panduan LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pisau bisturi
4. Alkohol 70%
5. Pasien simulasi

1.3 Langkah Kerja


1. Skuama berlapis pada kulit dikerok dengan pinggir pisau bisturi.
2. Setelah skuamanya habis, maka pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan. Jika terlalu dalam
tidak akan tampak perdarahan yang berbintik-bintik, melainkan perdarahan yang merata.
3. Amati perubahan pada lesi.

1.4 Interpretasi Hasil


Hasil positif apabila tampak titik-titik perdarahan pada kulit yang sudah dikerok.

Gambar Titik-titik perdarahan pada kulit yang dikerok


Sumber: www.globale-dermatologie.com

2. PANDUAN BELAJAR TES KOEBNER


2.1 Landasan Teori
Tes Koebner ditemukan oleh Heinrich Koebner pada tahun 1872. Tujuan dari tes ini adalah
untuk melihat reaksi isomorfik patologis pada kulit yang sehat dari seorang pasien penyakit kulit
(terutama psoriasis). Prinsipnya, kulit sehat yang diberi trauma akan timbul lesi baru di tempat
bekas trauma diberikan. Lesi baru tersebut identik dengan lesi lama, secara klinis maupun histologi.

2.2 Media Pembelajaran


1. Panduan LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Pisau bisturi
4. Alkohol 70%
5. Kapas
6. Ruang periksa dokter

2.3 Langkah Kerja


1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lesi yang akan diperiksa dengan alkohol 70%.
2. Lakukan penggoresan pada lesi khas psoriasis menggunakan pisau bisturi secara legeartis,
dimulai dari bagian tengah lesi sampai area kulit yang sehat dengan kedalaman mencapai
dermis. Penggoresan yang terlalu dangkal tidak akan menghasilkan lesi psoriasis yang baru.
2.4 Interpretasi Hasil
Fenomena Koebner positif apabila terjadi lesi baru yang sama dengan lesi induk dalam waktu 7 –
14 hari setelah tes dilakukan.

3. PANDUAN BELAJAR TES GORESAN LILIN


3.1 Landasan Teori
Tes goresan lilin (The candle-grease sign atau Tache de bouge) adalah suatu tes kulit pada
kasus psoriasis. Prinsip tes kulit ini adalah pada lesi psoriasis yang digores dengan benda tumpul,
akan timbul skuama berwarna putih seperti warna goresan lilin. Hal ini disebabkan oleh berubahnya
indeks bias.

3.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Kaca objek
4. Alkohol 70%
5. Ruang periksa dokter

3.3 Langkah Kerja


1. Lakukan penggoresan pada lesi berskuama psoriasis menggunakan tepi kaca objek/ujung pisau
bisturi secara perlahan.
2. Perhatikanlah perubahan yang terjadi akibat goresan tersebut.

3.4 Interpretasi Hasil


Hasil positif jika terjadi perubahan warna pada lesi menjadi lebih putih, seperti bekas goresan lilin.

4. PANDUAN BELAJAR TES DIASKOPI


4.1 Landasan Teori
Diaskopi adalah tes untuk menilai blanchability kulit, untuk membedakan eritema sekunder
akibat vasodilatasi dengan ekstravasasi eritrosit (purputra). Tekanan langsung pada lesi
menyebabkan darah mengalir keluar dari pembuluh darah di area tersebut. Pada purpura atau
ekimosis, eritrosit berada di dermis atau bahkan membeku di dalam pembuluh darah maka darah
tidak dapat bergerak, sehingga warnanya akan tetap merah pada saat ditekan.

4.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Kaca objek
4. Ruang periksa dokter

4.3 Langkah Kerja


1. Letakkan kaca objek pada lesi.
2. Tekan kaca objek tersebut.
3. Amati warna lesi di balik kaca objek tersebut.
Gambar Tes Diaskopi
Sumber: www.studyblue.com

4.4 Interpretasi Hasil


Eritema : lesi akan memucat pada saat ditekan.
Purpura : lesi tetap berwarna merah pada saat ditekan.

5. PANDUAN BELAJAR TES NIKOLSKY


5.1 Landasan Teori
Tujuan dari tes ini adalah untuk membuktikan adanya proses akantolisis, yaitu hilangnya
kohesi antarsel keratinosit epidermis. Hilangnya kohesi tersebut menyebabkan lapisan atas
epidermis mudah bergerak ke lateral dengan sentuhan atau tekanan ringan. Biasanya tes ini
dilakukan pada penyakit dengan lesi berupa bula, misalnya Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.

5.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Sarung tangan
4. Ruang periksa dokter

5.2 Langkah Kerja


1. Gunakan sarung tangan.
2. Sentuh atau tekan dengan ringan lesi kulit yang akan diperiksa.
3. Perhatikan lapisan atas epidermis dari lesi tersebut, apakah tetap atau tergeser akibat sentuhan
tersebut.

5.3 Interpretasi Hasil


Tanda Nikolsky positif apabila lapisan bagian atas epidermis bergeser dari tempatnya.

Gambar Tanda Nikolsky (+)


Sumber: www.meddic.jp

6. PANDUAN BELAJAR TES ASBOE HANSEN


6.1 Landasan Teori
Berkurangnya kohesi pada kulit juga dapat didemonstrasikan dengan tes Asboe Hansen.
Apabila bula yang intak diberi tekanan ringan, maka cairan di dalam bula tersebut akan menyebar
di bawah kulit, menjauhi pusat tekanan. Fenomena penyebaran bula ini dinamakan tanda Asboe
Hansen atau tanda Nikolsky II atau Nikolsky indirek.
6.2 Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Sarung tangan
4. Ruang periksa dokter

6.3 Langkah Kerja


1. Gunakan sarung tangan.
2. Tekanlah dengan perlahan bula di kulit yang masih intak.
3. Amati perubahan yang terjadi, apakah cairan di dalam bula tidak bergerak atau menyebar
menjauhi pusat tekanan.

6.4 Interpretasi Hasil


Tanda Asboe Hansen positif apabila cairan di dalam bula menyebar menjauhi pusat tekanan.

7. PANDUAN BELAJAR TES DERMOGRAFISME


7.1 Landasan Teori
Reaksi dermografisme menunjukkan pembentukan urtika sebagai respon terhadap
penggarukan kulit. Tes kulit ini berguna pada diagnosa fisik urtikaria. Tampak pada 5% populasi
dan biasanya asimtomatik.

7.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Kaca objek
4. Ruang periksa dokter

7.3 Langkah Kerja


1. Pasien simulasi yang dipilih sebaiknya seseorang yang punya riwayat urtikaria (bila
memungkinkan).
2. Goreskan tepi kaca objek secara perlahan pada kulit probandus, membentuk kata atau huruf
secara legeartis.
3. Amati perubahan yang timbul pada kulit.

Gambar 1. Hasil tes dermografisme

7.4 Interpretasi Hasil


Hasil tes dermografisme dianggap positif apabila muncul urtika yang membentuk huruf atau kata
yang sesuai dengan bekas gorekan kaca objek.

8. PANDUAN BELAJAR TES DERMOGRAFISME PUTIH


8.1 Landasan Teori
Reaksi dermografisme putih tampak pada kasus dermatitis atopi. Bila kulit seseorang dengan
dermatitis atopi diberi trauma berupa goresan, maka yang timbul bukanlah respon yang biasa terjadi
pada kulit dermatitis atopi (garis warna merah, bengkak, lalu muncul urtika) tetapi yang timbul
adalah garis warna putih tanpa urtika yang menggantikan garis warna merah setelah kira-kira 10
detik.

8.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XV FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Kaca objek
4. Ruang periksa dokter

8.3 Langkah Kerja


1. Pasien simulasi yang dipilih sebaiknya seseorang yang mempunyai riwayat dermatitis atopi (bila
memungkinkan).
2. Goreskan ujung kaca objek pada kulit probandus membentuk garis-garis bersilang.
3. Amati perubahan yang terjadi pada kulit probandus.

8.4 Interpretasi Hasil


Tes dermografisme putih dinyatakan positif apabila muncul garis-garis putih sesuai bekas goresan
pada kulit.

Gambar 2. Hasil tes dermografisme putih


LKK 5: INSISI DAN DRAINASE ABSES
A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan tindakan insisi dan drainase
abses.

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR
1.1 Landasan Teori
Abses adalah  pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam jaringan yang kemudian
membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada dengan jaringan fibrotik disekitarnya
sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi.
Abses bermula dari terbentuknya indurasi disertai reaksi inflamasi disekitarnya yang lama-kelamaan
terbentuk masa kistik dengan temperatur yang lebih hangat dibandingkan jaringan sehat. Pada palpasi
akan didapatkan adanya fluktuasi sebagai akibat banyaknya eksudat yang terbetuk.
Insisi abses dalam arti umum berarti melakukan irisan pada kulit. Sedangkan dalam khusus, insisi abses
berarti mengiris abses untuk mengeluarkan pus yang ada didalamnya.
Syarat melakukan tindakan insisi abses :
- Irisan harus langsung, tidak terputus-putus langsung sampai ke jaringan subkutis
- Insisi harus sesuai garis Langer / Rest Skin Tension Lines (RSTL).
- Irisan yang dekat garis persendian harus sejajar dengan aksis  / sumbu sendi
- Insisi sedapat mungkin disembunyikan, misal pada abses mammae
- Sterilitas harus dijaga
- Arah insisi tidak boleh tegak lurus dengan alat penting yang ada didaerah itu, missal arteri,
vena, syaraf. 

1.3 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 6 Blok XVI FK UMP
2. Ruang periksa dokter pasien
3. Informed consent
4. Alat peraga
5. Minor set (pin set anatomis dan pinset chirurgis, bisturi no 11, gunting jaringan, needle holder,
klem bengkok, klem lurus, scalpel)
6. Benang cutting 3.0
7. Lidokain/chlor ethyl topical
8. Spuit 1 cc
9. Alat Kuret dermatologi 3,5 inchi
10. Alat drainase (potongan handschoen)
11. Sufratule
12. Kasa steril
13. Povidone iodine 10%
14. Cairan NaCl 0,9%

1.3 Langkah Kerja

1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.


2. Identifikasi pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan. (informed consent)
5. Dokumentasi sebelum dan sesudah tindakan insisi.
6. Mempersiapkan alat (memasang bisturi pada scalpel)
7. Melakukan palpasi untuk menentukan lokasi insisi (di daerah yang paling
fluktuatif).
8. Mencuci tangan dan menggunakan handschoen steril.
9. Melakukan tindakan aseptik dan antiseptik dengan betadine dan NaCl.
10. Melakukan anestesi dengan chlor ethyl topical(disemprot)
11. Melakukan sayatan linier sesuai garis Rest Skin Tension Lines (RSTL).
12. Melakukan under mining pada sekitar sayatan.
13. Menekan pinggir lesi untuk mengeluarkan bungkus abses.
14. Untuk abses besar, pus diambil untuk dikirim pemeriksaan kultur dan
resistensi.
15. Bila bungkus abses sudah rusak dilanjutkan dengan kuretase.
16. Irigasi dengan NaCl 0,9 % sampai jernih
17. Cuci dengan antisetik povidon iodine (betadin), chlorhexidin (savlon) dll
18. Rawat sebagai luka terbuka (tidak dijahit), namun
 jika kemungkinan eksudat masih ada atau diperkirakan masih produktif sebaiknya
dipasang drain dan ditutup dengan kasa yang mengandung Povidone iodine 10%.
 Bila insisi besar perlu dilakukan jahitan sekunder dengan jahitan single interrupted
dan ditutup dengan sufratule dan kasa steril.
19. Perawatan luka.

Anda mungkin juga menyukai