Anda di halaman 1dari 11

Skrining pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Sonia Dwi Reina Tumanggor


102016118
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510, Indonesia

Pendahuluan

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia diakibatkan


oleh defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes yang tidak terkontrol akan
menyebabkan kebutaan, amputasi ekstremitas, gagal ginjal, neuropati diabetic, dan penyakit
cardiovascular.1

Prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia menurut data International Diabetes Federation
(IDF) tercatat pada tahun 2015 sebanyak 415 juta atau 8,5%. Hampir 80% orang diabetes ada
di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut Riskesdas tahun 2016 prevalensi
diabetes mellitus di Indonesia sebanyak 6,9%.2,3

Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia dan ketiga di
Indonesia. Hal ini bisa diakibatkan karena masih banyak masyarakat yang tidak mengenal
diabetes mellitus, dan tidak melakukan deteksi dini melalui skrining sebagai salah satu
pencegahan dari diabetes mellitus. IDF mengestimasi secara global sebanyak 193 juta
manusia, atau setengah dari penyandang diabetes dewasa pada tahun 2015, tidak mengetahui
mereka menderita diabetes. Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah penyandang diabetes
tipe 2 yang dapat dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu, ditekankan pentingnya skrining
terhadap adanya penyakit dan komplikasi diabetes yang menjadi faktor esensial dalam
keberhasilan penatalaksanaan penyandang diabetes.4

Berdasarkan data WHO, pada tahun 2015, total 415 juta penyandang diabetes meningkat
empat kali dari 108 juta pada tahun 1980an. Lebih lanjut, IDF memprediksi angka tersebut
akan bertambah menjadi 642 juta pada tahun 2040.4

Penyakit ini juga mengurangi produktivitas kerja dan tingkat pendapatan, mengurangi
kualitas hidup penyandang yang kemudian mengarah pada komplikasi selanjutnya. Di
Indonesia, diabetes perkotaan merupakan salah satu tantangan yang mengurangi produktivitas
kerja dan tingkat pendapatan – bahwa 7 dari setiap 10 penyandang diabetes mengalami
komplikasi yang mengurangi kualitas hidup mereka hingga mengarah pada kematian. Bahkan
pada tahun 2018, pemerintah Indonesia memproyeksikan biaya rawat inap yang diakibatkan
oleh penyakit tidak menular adalah sekitar 2,2 triliun rupiah. Karena itu apabila seseorang
terdiagnosa dari awal, maka pengobatan dapat dilakukan sedini mungkin sehingga dapat
mengurangi resiko komplikasi yang membahayakan dan mahal.4
Pentingnya bagi penyandang diabetes untuk melakukan skrining, diagnosa awal, dan
pendapatkan pengobatan yang dibutuhkan melalui tatalaksana yang terintegrasi secara
menyeluruh. Cepat atau lambat diabetes akan mengalami komplikasi, karena itu skrining
terhadap adanya diabetes maupun komplikasi diabetes merupakan faktor penting dalam
keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Skrining diabetes tipe 2 sangat penting untuk dapat
memodifikasi dan mengurangi faktor risiko terjadinya komplikasi dan kematian dini
(premature).4

Skrining diartikan sebagai identifikasi dugaan dari suatu penyakit yang tidak terlihat dari
populasi yang kelihatannya sehat dan tidak bergejala, dengan melakukan tes-tes, pemeriksaan
atau prosedur lainnya yang dapat dilakukan secara cepat dan mudah pada populasi target.5

Program skrining harus meliputi semua komponen inti dari proses skrining mulai dari
mengundang target populasi sampai ke mengakses terapi yang efektif bagi individual yang
terdiagnosis dengan suatu penyakit.5
Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia diakibatkan


oleh defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes yang tidak terkontrol akan
menyebabkan kebutaan, amputasi ekstremitas, gagal ginjal, neuropati diabetic, dan penyakit
cardiovascular. Dampak yang paling umum ditimbulkan oleh penyakit arteri perifer adalah
ulkus, gangren, dan penyembuhan luka yang lama.1,6

Prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia menurut data International Diabetes Federation
(IDF) tercatat pada tahun 2015 sebanyak 415 juta atau 8,5%. Hampir 80% orang diabetes ada
di Negara berpenghasilan rendah dan menengah Menurut RISKESDAS tahun 2016
prevalensi diabetes mellitus di Indonesia adalah 6,9%. Diabetes dengan komplikasi
merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Hal ini bisa diakibatkan karena
masih banyak masyarakat yang tidak mengenal diabetes mellitus, dan tidak melakukan
deteksi dini melalui skrining sebagai salah satu pencegahan dari diabetes mellitus.2,3

Faktor Risiko

Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko
yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM, umur ≥45 tahun, etnik,
riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5kg). Faktor
risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25 kg/m2 atau lingkar perut
≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,
dislipidemi dan diet tidak sehat.1,2,7

Gejala Klinis

Gejala klinis DM adalah polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria
(banyak kencing/sering kencing dimalam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan
turun dengan cepat, mudah lelah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, kulit terasa
panas atau seperti tertusuk jarum, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, luka sulit
sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur dibawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi besar dengan berat badan ≥4 kg. didefinisikan sebagai DM apabila pernah
didiagnosa kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing
manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala seperti sering lapar, sering
haus, dan sering buang air kecil dan banyak, serta berat badan turun.8

Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil kadar glukosa plasma. Gejala
yang paling sering yaitu poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak
jelas penyebabnya. Diabetes mellitus dapat ditegakkan bila terdapat gejala khas dan Glukosa
Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl atau Glukosa Darah Puasa ≥ 126 mg/dl.2,9
Jika tidak ada gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang abnormal sekali saja
belum cukup untuk menegakkan diagnosis.1

Diagnosis DM ditegakkan bila terdapat salah satu kriteria berikut:1


(1) Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
(2) Glukosa plasma post-pradial ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
(3) Gejala klinis diabetes melitus disertai kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl
(11.1 mmol/L)
(4) HbA1c >6,5%

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan skrining. Uji diagnostik dilakukan
pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45
tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan skrining dapat
dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).1

The US Preventive Services Task Force merekomendasikan skrining glukosa darah abnormal
dan DM tipe 2 pada orang dewasa usia 40-70 tahun yang overweight atau obesitas, dan tes
ulangan tiap 3 tahun jika hasilnya normal. Individu dengan risiko tinggi perlu skrining lebih
dini dan lebih sering. 1

The American Diabetes Association merekomendasikan skrining pada orang dewasa yang
asimtomatik dengan IMT ≥ 25 kg/m2 dan dengan satu atau lebih dari factor risiko berikut:1,6
 HbA1C >5.7%, gangguan pada uji TTGO , hasil GDP abnormal
 Penyakit kardiovaskular
 Keturunan langsung dari penyandang DM tipe 2
 Kolesterol HDL <35 mg/dL dan/atau trigliserida >250 mg/dL
 Aktivitas fisik rendah
 Wanita dengan riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir
>4,5kg
Pada individu tanpa factor risiko, skrining dimulai pada usia 45 tahun. Jika hasil skrining
normal, tes ulangan perlu dilakukan setidaknya setiap 3 tahun.1

Skrining direkomendasikan untuk DM tipe 2 oleh karena tes-tes yang reliabel tersedia, dan
perubahan pola hidup dan pengobatan dapat mengurangi perkembangan dan komplikasi
penyakit, bahkan pada orang-orang yang awalnya asimtomatik. Walaupun skrining DM tipe 2
tidak menurunkan mortalitas setelah 10 tahun follow-up, penelitian menunjukkan bahwa
intervensi pola hidup dan farmakologikal pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan
glukosa puasa dapat menunda perkembangan DM tipe 2.1,6
Tatalaksana

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,


penatalaksanaan dan pengelolaan DM terutama pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: 2,7
a. Edukasi
Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien
untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya,
mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes
meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi
lemak.
b. Terapi Gizi
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan
yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,
Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari. Untuk menetukan status gizi
maka dapat dihitung dengan menggunakan IMT.
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Latihan
jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, dan bersepeda.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin.
d. Intervensi Farmakologis
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil
mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik dan
insulin.

Pencegahan

Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu :2


a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah bertujuan untuk mengetahui pola budaya, ekonomi, social, dan
sebagainya yang mempunyai peranan dalam meningkatkan kejadian penyakit. Seperti
larangan pemerintah untuk larangan merokok. Pencegahan premodial pada penyakit DM
adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-
baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas,
dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok
risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM
diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg) >120% BB idaman atau IMT>27)
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disilipidemia (Trigliserida>250mg/dl).
g. Ada riwayat TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT).
Maka harus dilakukan pencegahan sejak dini, sebagai contoh hendaknya telah ditanamkan
pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat
menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.

c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan
pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun. Pasien harus diedukasi dan diberi tatalaksana sesuai empat pilar
utama pengelolaan DM.

d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya
adalah melakukan skrining pada orang-orang untuk mendeteksi riwayat retinopati agar
mendapat pengobatan laser untuk mengendalikan perdarahan retina dan mencegah kebutaan.

Skrining

Test skrining adalah sebuah cara untuk mengetahui atau mengidentifikasi apakah seseorang
yang masih asimtomatik menderita suatu penyakit atau tidak. Tanpa skrining, diagnosis suatu
penyakit hanya bisa ditegakkan setelah muncul tanda dan gejala, padahal sebuah penyakit
telah ada jauh sebelum tanda dan gejala muncul yang sebenarnya dapat diketahui kalau kita
melakukan skrining. Waktu antara kemungkinan terdeteksi secara awal lewat skrining dan
deteksi kemudian setelah munculnya tanda dan gejala disebut “detectable pre-clinical phase”
atau DPCP. Jika sebuah penyakit dapat diketahui pada masa DPCP maka treatment bisa
dilakukan lebih awal dan outcome nya pun lebih baik.10

Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukan gejala dengan
tujuan untuk mengelompokkan mereka kedalam kelompok yang mungkin menderita penyakit
tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik. Bila
pada hasil skrining positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan
adanya penyakit.10-12
Beberapa contoh test skrining adalah:10
a. Pap’s smear dan IVA untuk kanker serviks.
b. Pemeriksaan gula darah puasa untuk diabetes.
c. Tekanan okular untuk glaukoma.
d. Darah dalam feses untuk kanker kolon.
e. Mamografi untuk kanker payudara.

Program skrining dibutuhkan karena adanya isu yang mendasari:11


1. Penemuan gejala penyakit secara dini lebih baik dibandingkan dengan dalam waktu
yang lama (deteksi dini vs. lead time)
2. Pencegahan sebelum terjadinya penyakit akan lebih baik dibandingkan dengan sudah
terjadinya penyakit (keuntungan vs. risiko)
3. Pencegahan membutuhkan biaya yang lebih ringan (efisiensi vs. biaya)

Tujuan skrining adalah untuk mencegah penyakit atau akibat penyakit dengan
mengidentifikasi individu-individu pada suatu titik dalam riwayat alamiah ketika proses
penyakit dapat diubah melalui intervensi. Terdapat tiga tingkatan pencegahan yang pada
umumnya ditargetkan di dalam program-program skrining:13
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan menekan insidensi penyakit dengan melakukan kontrol
terhadap penyakit dan faktor risikonya. Ditujukan kepada orang-orang yang tidak memiliki
gejala untuk mengidentifikasi faktor risiko dini guna menahan proses patologi sebelum
timbul gejala. Seperti contoh mengidentitikasi orang-orang dalam tahap awal gangguan
toleransi glukosa dan mengendalikan berat badan serta pola makan mereka untuk mencegah
kemunculan diabetes.
b. Pencegahan sekunder
Ditujukan kepada orang-orang dalam proses awal penyakit untuk memperbaiki prognosisnya.
Bertujuan untuk merawat pasien yang sakit dan menurunkan komplikasi yang serius dengan
melakukan diagnosis dan terapi. Contohnya, mengidentifikasi orang-orang pengindap
diabetes yang tidak terdeteksi untuk meningkatkan toleransi glukosa guna mencegah
komplikasi penyakit lainnya, seperti penyakit mikrovaskular yang dapat mengakibatkan
kerusakan renal.
c. Pencegahan tersier
Ditujukan kepada orang yang mengalami komplikasi untuk mencegah dampak lanjutan
komplikasi tersebut. Contoh, melakukan skrining pada orang untuk mendeteksi riwayat
retinopati diabetic agar mendapat pengobatan laser untuk mengendalikan perdarahan retina
dan mencegah kebutaan.

Jenis penyakit yang tepat untuk di skrining:11


1. Penyakit serius, dalam arti dapat menyelamatkan hidup oleh karena deteksi dini dan
tatalaksana dini, biaya skrining harus sesuai dengan hilangnya konsekuensi kesehatan,
cost-effective
2. Pengobatan sebelum gejala muncul (fase preklinik) harus lebih menguntungkan dalam
pengertian mortalitas dan morbiditas dibandingkan setelah gejala muncul.
3. Prevalens penyakit preklinik (DPCP) harus tinggi pada populasi yang di skrining.

Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi sutu penanda awal perkembangan penyakit
sehingga intervensi dapat diterapkan untuk menghambat proses penyakit. Syarat-syarat
dilakukannya skrining apabila terpenuhi hal berikut ini:13
a. Penyakit tersebut adalah penyebab utama kematian dan/atau kesakitan
b. Terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima untuk mendeteksi
individu-idividu pada suatu tahap awal penyakit yang dapat dimodifikasi
c. Terdapat pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit atau akibat
penyakit.

Syarat sebuah test skrining yang baik, yaitu hendaknya:11


• Harus tersedia
• Murah
• Mudah dilakukan
• Hanya sedikit memberi rasa tidak nyaman
• Valid. Bisa membedakan sakit (sensitivitas) dengan tidak sakit (spesifisitas)
• Reliable (konsisten)
• Aman

Sensitifitas dan Spesifisitas Uji Skrining

Sebuah tes skrining yang ideal adalah yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi
yang berarti validitasnya juga tinggi. Validitas sebuah tes skrining didasarkan atas akurasinya
dalam mengidentifikasi individu ke dalam sakit dan tidak sakit. Untuk tujuan ini sebuah tes
skrining harus dibandingkan dengan sebuah atau beberapa tes patokan atau baku emas (gold
standard test) yang menyatakan bahwa seseorang adalah benar-benar sakit atau tidak sakit. 10-
13

Gold standard test adalah tes terbaik yang tersedia, diterima secara luas yang umumnya
kurang nyaman, mahal dan invasif.10

Validitas adalah kemampuan tes untuk menunjukkan dengan benar (akurat) individu mana
yang menderita sakit dan mana yang tidak. Validitas tes dicerminkan dengan sensitivitas dan
spesifisitas.10-14

Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk menunjukkan individu mana yang menderita sakit
dari seluruh populasi yang benar-benar sakit. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes
skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit tertentu
sehingga dapat memperoleh penanganan dini. Sensitivitas ditampilkan sebagai suatu
presentase:10-14
Orang sakit yang terdeteksi oleh uji skrining
100
Jumlah seluruh orang sakit yang mengikuti uji skrining

Spesifisitas adalah kemampuan tes untuk menunjukkan individu mana yang tidak menderita
sakit dari mereka yang benar-benar tidak sakit. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes
skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang tidak menderita penyakit
tertentu. Spesifisitas juga ditampilkan sebagai suatu presentase: 10-14

Orang sehat yang hasil uji skriningnya negative


100
Jumlah seluruh orang sehat yang mengikuti uji skrining

Sensitivitas dan spesifisitas dapat dihitung menggunakan tabel 2X2.11,13

Tes diagnostik Gold standard test Total


Sakit Tidak sakit
Positif a b a+b
Negative c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Sensitivitas: a/(a+c)
Spesifisitas: d/(b+d)

Positive predictive value (PPV) atau nilai ramal positif (NRP) adalah proporsi pasien yang tes
nya positif dan betul menderita sakit. Dengan kata lain “Jika tes seseorang positif, berapa
probabilitas dia betul-betul menderita penyakit?” Rumus: PPV = a/(a+b).10,11,13,14

Negative predictive value (NPV) atau nilai ramal negatif (NRN) adalah proporsi pasien yang
tes nya negatif dan betul-betul tidak menderita sakit. Bisa juga dikatakan “Jika tes seseorang
negatif, berapa probabilitas dia betul-betul tidak menderita penyakit?” Rumus: NPV =
d/(c+d).10,11,13,14

Perencanaan Skrining15
Contoh perencanaan skrining untuk Diabetes Mellitus tipe 2:
(1) Identifikasi calon peserta sasaran skrining
(2) Mengadakan formulir skrining dan sarana pendukung lainnya sesuai jumlah peserta
skrining
(3) Melakukan sosialisasi dan informasi kepada peserta dan mendistribusi formulir
skrining
(4) Entri data skrining dan Analisa hasil
(5) Melakukan tindak lanjut skrining dengan melakukan pemeriksaan GDP dan GDPP
bagi peserta yang hasil Analisa skriningnya berisiko tinggi DM tipe 2
(6) Melakukan atau mengedukasi peserta yang hasil skriningnya positif untuk melakukan
uji diagnostik
(7) Tatalaksana sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan factor risiko, juga edukasi
kepada peserta yang dengan hasil skrining negatif.

Kegiatan pemeriksaan gula darah bagi individu dilakukan juga di Posbindu PTM (Pos
Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular) di setiap kelurahan/desa. Bagi individu yang
sehat, pemeriksaan gula darah paling sedikit diselenggarakan 3 tahun sekali, bagi yang telah
mempunyai faktor risiko PTM paling sedikit 1 tahun sekali dan penderita diabetes melitus
paling sedikit 1 bulan sekali. Untuk pemeriksaan glukosa darah dilakukan oleh tenaga
kesehatan (dokter, perawat/bidan/analis laboratorium dan lainnya).16

Kesimpulan

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolic kronis dengan karakteristik hiperglikemia


diakibatkan oleh defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes yang tidak
terkontrol akan menyebabkan terjadinya banyak komplikasi yang akan menurunkan
produktivitas pasien, atau bahkan berujung pada kematian dini. Skrining perlu dilakukan
pada orang-orang yang berisiko karena tes-tes yang reliabel tersedia, dan perubahan pola
hidup dan pengobatan dapat mengurangi perkembangan dan komplikasi penyakit, bahkan
pada orang-orang yang awalnya asimtomatik. Walaupun skrining DM tipe 2 tidak
menurunkan mortalitas setelah 10 tahun follow-up, penelitian menunjukkan bahwa intervensi
pola hidup dan farmakologikal pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan glukosa
puasa dapat menunda perkembangan DM tipe 2 (memodifikasi dan mengurangi faktor risiko
terjadinya komplikasi dan kematian dini).
Daftar Pustaka

1. Pippit K, Li M. Diabetes mellitus: screening and diagnosis. 2016. Available at link:


https://www.aafp.org/afp/2016/0115/p103.html
2. Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J MAJORITY. 2015; 4(5):93-101 1
3. WHO. Diabetes fakta dan angka. Available at link:
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/8-whd2016-diabetes-facts-and-numbers-
indonesian.pdf 2
4. Kemenkes. Pentingnya skrining untuk diabetes tipe 2 guna mengurangi risiko
terjadinya komplikasi. 19 November 2016. Available at link:
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-diabetes-melitus-
dan-gangguan-metabolik/pentingnya-skrining-untuk-diabetes-tipe-2-guna-
mengurangi-risiko-terjadinya-komplikasi
5. WHO. Screening. Available at link:
https://www.who.int/cancer/prevention/diagnosis-screening/screening/en/
6. Gilmer TP, O’Connor PJ. The growing impotance of diabetes screening. 2010.
Available at link: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2890385/
7. Ndraha S. Diabetes mellitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. Medicines. 2014; 27(2): 8-
16 5
8. Trihono. Diabetes melitus. Jakarta: riskesdas;2013: 87-8 6
9. UKK endokrin anak dan remaja IDAI. Konsensus nasional pengelolaan dm tipe 2
pada anak dan remaja. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015. H 1-30 7

10. Akobeng AK. Understanding diagnostic tests 1: sensitivity, specificity and predictive
values. Acta Paediatr. 2007;96(3):338–41. UGMMMM
11. Rajab W. Buku ajar epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.H.
156-60 3,ijo
12. Wahab. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.H. 28-9
9
13. Morton RF, Hebel JR, McCarter RJ. Panduan studi epidemiologi & biostatistika.
Jakarta: EGC; 2001. 53-5
14. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan komunitas. Jakarta: EGC; 2006. H 157
15. BPJS Kesehatan. Panduan praktis skrining kesehatan. H 3-7
16. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Posbindu PTM, dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat. 22 Februari 2017. Available at link:
https://dinkes.jakarta.go.id/berita/posbindu-ptm-dari-masyarakat-oleh-masyarakat-
dan-untuk-masyarakat/

Anda mungkin juga menyukai