Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

JOURNAL READING

“Management of Bell’s palsy’’

Disusun Oleh :

Mahayu Dian Suryandaru


G4A020020

Pembimbing:

dr. Setyo Dirahayu, Sp.S, CIPS

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD DR. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

“Management of Bell’s palsy”

Disusun
oleh:

Mahayu Dian Suryandaru G4A020020

Journal reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Purbalingga, Agustus 2021

Pembimbing
dr. Setyo Dirahayu, Sp.S, CIPS

i
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan..........................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................ii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Tujuan.....................................................................................................1
C. Manfaat...................................................................................................1
II. ARTIKEL
A. Identitas Artikel......................................................................................2
B. Pendahuluan............................................................................................2
C. Etiologi....................................................................................................2
D. Manifestasi Klinis...................................................................................2
E. Komplikasi..............................................................................................3
F. Prognosis.................................................................................................4
G. Tata Laksana...........................................................................................4
H. Terapi Farmakologi.................................................................................5
I. Terapi Non Farmakologi.........................................................................7
J. Kesimpulan.............................................................................................8
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi....................................................................................................9
B. Epidemiologi...........................................................................................9
C. Etiologi..................................................................................................10
D. Anatomi dan Topografi N. VII.............................................................10
E. Patofisiologi..........................................................................................12
F. Gejala klinis..........................................................................................13
G. Penegakan Diagnosis............................................................................15
H. Diagnosis Banding................................................................................17
I. Komplikasi............................................................................................18
J. Prognosis...............................................................................................22

ii
IV. KESIMPULAN...........................................................................................23

V. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................24

iii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bell palsy (BP) adalah kelumpuhan perifer yang paling umum dari saraf
kranial ketujuh dengan onset yang cepat dan unilateral (Warner et al., 2020).
Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang masih belum
diketahui penyebabnya dengan jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik pertama
kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell (Monnel,
2009).
Insidensi tahunan Bell’s Palsy berkisar antara 15-30 per 100.000 penduduk
(Mustafa & Sulaiman, 2018). Insidensi Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada
orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin
pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Umur pasien yang terkena Bell’s palsy
umumnya berkisar antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang
yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun (Munilson,
2013). Bell’s palsy lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan
pada wanita hamil (Warner et al., 2020).
Sebagian besar pasien Bell’s palsy sembuh total, tetapi sekitar 15-30%
bertahan dengan gejala sisa (Peitersen, 2002). Permasalahan kapasitas fisik
(impairment) dapat berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah,
penurunan kekuatan otot wajah, kontraktur dan perlengketan jaringan, serta iritasi
pada mata. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) gangguan
makan dan minum, berkumur, menutup mata, g bicara dan gangguan ekspresi
wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan diri
individu dengan Bell’s palsy (Munilson, 2013).
B. Tujuan
Memberikan panduan klinis singkat yang dapat membantu dalam
mengidentifikasi Bell’s palsy, sehingga mengarahkan dokter ke diagnosis dan
pendekatan terapeutik yang tepat.
C. Manfaat

1
Memberikan update pengetahuan kepada para klinisi mengenai Bell’s palsy
dalam mendiagnosis dan pendekatan terapetik yang tepat.

2
II. ARTIKEL ILMIAH

A. Identitas Artikel
Nama Jurnal Australian Presciber
Judul Artikel “Management of Bell’s palsy”

Edisi Volume 40 (3)


Publikasi Juni 2017
Nama Penulis Dhruvashree Somasundara1, Frank Sullivan2
Lembaga 1. General practitioner NHS Tayside Dundee, Scotland
2. Gordon F Cheesbrough research chair, Director of UTOPIAN
FMTU North York General Hospital, Professor Department of
Family and Community Medicine and Dalla Lana School of
Public Health University of Toronto, Adjunct scientist Institute
for Clinical Evaluative Sciences Toronto

B. Pendahuluan
Bell's palsy, kelumpuhan wajah idiopatik, didefinisikan sebagai kelemahan
lower motor neuron motorik wajah beronset akut, terisolasi, dan unilateral.
Laporan insidensi tahunan dari Bell’s palsy bervariasi di berbagai bagian negara
dunia dengan perkiraan antara 11-40 per 100.000 penduduk. Bell’s palsy sering
dialami oleh individu yang menderita penyakit diabetes melitus.

C. Etiologi
Dasar patofisiologi yang diamati pada kasus post-mortem Bell's palsy adalah
distensi vaskuler, peradangan dan edema dengan iskemia dari N. Facialis.
Etiologinya masih belum jelas. Berbagai penyebab yang mungkin termasuk virus,
inflamasi, autoimun dan vaskular. Namun, reaktivasi virus herpes simpleks atau
herpes zoster virus dari ganglion geniculatum dicurigai menjadi penyebab yang
paling mungkin. Meskipun ada kemajuan dalam neuroimaging, diagnosis Bell's
palsy terutama didasarkan pada temuan klinis.

D. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda Bell's palsy (lihat Gambar 1) dapat bervariasi dari ringan
3
hingga berat. Ada beberapa kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diferensial
diagnosa:
1) Lesi neuron motorik atas – berdasarkan persarafan, tidak adanya kerutan
dahi adalah cara yang dapat diandalkan untuk membedakan Bell's palsy
dari lesi neuron motorik atas.
2) Herpes zoster oticus (sindrom Ramsay Hunt)
3) Penyebab yang lebih jarang termasuk otitis media, infeksi HIV,sarkoidosis,
gangguan autoimun atau tumor kelenjar parotis.

Gambar 1. Tanda dan gejala Bell’s palsy

E. Komplikasi
Selain masalah mata, komplikasi Bell's palsy meliputi:
1) Sinkinesis motorik (gerakan involunter dari otot yang terjadi bersamaan
dengan gerakan lain yang disengaja, contoh : gerakan mulut yang tidak
disengaja selama penutupan mata volunter).
2) “Crocodile tears” (keluarnya air mata saat makan karena kesalahan arah
regenerasi serat gustatory untuk kelenjar ludah, sehingga mereka menjadi
serat sekretori ke kelenjar lakrimal).
3) Partial recovery (tidak sembuh sepenuhnya)
4) Kontraktur otot wajah

4
5) Menurun atau hilangnya sensasi rasa
6) Disartria karena kelemahan otot wajah

F. Prognosis
Tingkat keparahan gejala Bell's palsy bervariasi dari kelemahan ringan
hingga kelumpuhan berat, tetapi prognosisnya umumnya baik. Copenhagen Facial
Nerve study menemukan sekitar 71% pasien sembuh total tanpa pengobatan.
Sekitar 13% menyisakan sedikit kelemahan dan sekitar 4% tetap ada kelemahan
parah terutama pada wajah. Kontraktur dari otot wajah di sisi yang terkena
ditemukan pada 17% kasus dan adanya gerakan penyerta ditemukan pada 16%
kasus. Sistem penilaian seperti skala House–Brackmann digunakan dalam
randomized control trial (RCT) dan systematic review mungkin bermanfaat untuk
memantau progres.
Meskipun penelitian kurang bisa mendeteksi perbedaan yang signifikan
dalam pemulihan antara pasien dengan tingkat keparahan yang berbeda, tingkat
pemulihan dalam satu RCT secara signifikan lebih tinggi untuk mereka dengan
tingkat keparahan sedang saat onset dibandingkan dengan mereka yang menderita
Bell's palsy parah. Presentase sembuh sempurna adalah 90% untuk mereka yang
terkena dampak sedang dan 78% pada mereka yang terkena dampak parah.

Frekuensi kontrol tergantung pada individu pasien dan tingkat keparahan


gejalanya. Jika tidak ada perbaikan setelah sebulan pasien harus dirujuk. Rujukan
juga diindikasikan untuk mereka yang hanya mengalami pemulihan parsial setelah
6-9 bulan. Kekambuhan terjadi pada 7% pasien, dengan insidensi setara antara
kekambuhan ipsilateral dan kontralateral. Tidak ada data yang cukup tentang
apakah pengobatan mempengaruhi tingkat kekambuhan.

G. Tata Laksana

Perawatan Bell's palsy bertujuan untuk mempercepat pemulihan dan


mengurangi komplikasi jangka panjang. Ketidakmampuan untuk menutup mata
pada sisi yang terkena meningkatkan risiko komplikasi kornea. Pelindung mata
sangat penting jadi penutup mata dan pelumas digunakan untuk mencegah kornea
kering. Tetes mata, seperti tetes hypromellose, seharusnya digunakan untuk
5
lubrikasi di siang hari dan salep di malam hari. Dalam kasus yang parah, mata
mungkin harus direkatkan atau dijahit sebagian

H. Terapi Farmakologis
Pengobatan untuk Bell's palsy dapat berupa kortikosteroid oral (prednisolon)
dan obat antivirus. Meskipun etiologi Bell's palsy belum diketahui secara pasti,
peradangan dan edema saraf wajah diketahui bertanggung jawab atas gejalanya.
Oleh karena itu, kortikosteroid telah digunakan untuk efek anti-inflamasi.
1) Kortikosteroid
Efek maksimal dari kortikosteroid dimulai dalam waktu 72 jam setelah
onset gejala. Tidak ada rejimen yang optimal, tetapi untuk dewasa dapat
diberikan 50-60 mg prednisolon setiap hari selama 10 hari. Prednisolon dalam
beberapa studi dapat digunakan dengan dosis 1 mg/kg/hari hingga maksimum
80 mg. Dosis lebih dari 120 mg/hari telah dilaporkan digunakan dengan aman
pada pasien diabetes.
Dalam suatu RCT, tingkat pemulihan pada sembilan bulan dengan
prednisolon adalah 94% dan 81,6% pada pasien yang tidak menerima
prednisolon. Dalam sebuah penelitian Systematic Review menunjukkan
setelah enam bulan penggunaan prednisolone terdapat 17% pasien yang
mengalami pemulihan parsial, sedangkan pada pasien tanpa pengobatan yang
mengalami pemulihan parsial adalah 28%. Terdapat pula juga penurunan
yang signifikan dalam synkinesis motorik pada mereka yang menerima
prednisolon. Tidak ada yang penurunan yang signifikan pada sequel
disabilitas kosmetik.
2) Obat Antivirus
Obat antivirus yang digunakan dalam uji coba adalah asiklovir (400 mg
lima kali sehari selama lima hari) atau valasiklovir (1000 mg/hari selama lima
hari). Saat ini belum ada bukti untuk mendukung penggunaan obat antivirus
sebagai terapi tunggal, sedangkan peran antiviral untuk terapi kombinasi
dengan kortikosteroid juga belum jelas.
3) Obat Kombinasi
Sebuah RCT menemukan bahwa pada sembilan bulan pemantauan, fungsi
6
wajah telah pulih sempurna pada 94,4% pasien yang menggunakan
prednisolon saja, 85,4% pada mereka yang memakai asiklovir saja, dan
92,7% pada mereka yang menerima keduanya. Tidak ada efek samping serius
yang ditemukan pada kelompok manapun. Studi menyimpulkan bahwa
pengobatan dini dengan prednisolon tunggal meningkatkan kemungkinan
pemulihan total dan tidak ada manfaat pengobatan dengan asiklovir saja atau
dengan menggabungkan keduanya. Namun, sebuah systematic review juga
menunjukan bahwa pengobatan dengan prednisolon mengurangi
kemungkinan pemulihan parsial dan terapi menggunakan obat antivirus
dinilai lebih bernanfaat.
Ada beberapa penelitian yang mengkaji manfaat obat antivirus dengan atau
tanpa prednisolon. Sebuah studi prospektif acak menemukan bahwa
kombinasi antivirus dan steroid lebih efektif dalam mengobati Bell's palsy
parah daripada steroid saja. Sebuah kelompok pengembang pedoman
(guidline development group) menemukan bahwa ada bukti berkualitas
rendah tentang manfaat pemberian antivirus. Pasien yang ditawarkan terapi
tambahan antivirus selain terapi utama kortikosteroid harus diberitahukan
informasi bahwa peningkatan pemulihan adalah kurang dari 7%.
Review cochrane pada tahun 2015 menemukan bahwa terapi kombinasi
antivirus dengan kortikosteroid meningkatkan tingkat pemulihan yang tidak
lengkap (parsial recovery) dibandingkan dengan kortikosteroid saja, tapi ini
tidak signifikan dan bukti yang ada berkualitas rendah. Ada bukti berkualitas
sedang bahwa terapi kombinasi tersebut mengurangi gejala sisa jangka
panjang seperti produksi air mata yang berlebihan dan synkinesis. Hasil terapi
pada pasien yang menerima kortikosteroid saja secara signifikan lebih baik
daripada mereka yang menerima antivirus saja. Obat antivirus saja sudah
tidak ada perbedaan manfaat dengan plasebo. Tak satu pun dari tipe terapi
memiliki perbedaan yang signifikan dalam efek samping, tetapi bukti lagi-lagi
berkualitas rendah. Manajemen optimal anak-anak dengan Bell's palsy juga
tidak diketahui. Uji coba berskala besar (BellPIC) di Australia menjawab
pertanyaan ini.
7
4) Efek Samping Pengobatan
Prednisolon harus digunakan dengan hati-hati pada pasien imunosupresi
dan sepsis karena dapat menyebabkan:
 induksi atau perburukan penyakit ulkus peptikum
• hiperglikemia terutama pada penderita diabetes, bagaimanapun dosis yang
lebih tinggi mungkin diperlukan pada diabetes
• hipertensi maligna
• disfungsi hati dan ginjal.
Obat antivirus dapat menyebabkan:
• mual dan muntah
• sakit perut
• diare
• reaksi neurologis – pusing, kejang (lebih umum pada dosis yang lebih tinggi)

• hepatitis dan jaundice, sangat jarang.

I. Terapi Non Farmakologis

Terapi fisik termasuk latihan otot wajah, akupunktur pada otot yang terkena,
pijat, termoterapi, dan stimulasi listrik digunakan untuk mempercepat pemulihan.
Namun, tidak ada bukti manfaat yang signifikan. Sebuah ulasan dari Cochrane
menyimpulkan dari bukti berkualitas rendah bahwa latihan wajah dapat membantu
meningkatkan fungsi wajah, terutama untuk derajat kelumpuhan sedang dan kasus
kronis. Latihan wajah dini dapat mengurangi waktu pemulihan, kelumpuhan
jangka panjang, dan jumlah kasus kronis. Perawatan bedah untuk membebaskan
saraf wajah telah dipertimbangkan. Namun bukti untuk prosedur ini kualitasnya
sangat rendah.

J. Kesimpulan
Gejala Bell's palsy bervariasi dari yang ringan hingga parah. Etiologinya
masih belum jelas, tetapi diketahui bahwa gejala tersebut disebabkan oleh
pembengkakan dan peradangan pada N. Fasialis. Perlindungan mata penting dalam
mencegah jangka panjang komplikasi mata.
Terapi farmakologis masih kontroversial, karena lebih dari 70% pasien fungsi
8
wajahnya kembali norma tanpa pengobatan. Pengobatan dini dengan prednisolon
dapat mempercepat pemulihan dan mengurangi gejala sisa jangka panjang.
Meskipun bukti yang menunjang berkualitas rendah hingga sedang, mungkin ada
beberapa manfaat dalam mengkombinasikan obat antivirus dan prednisolon.
Namun, penting untuk mengedukasi bahaya dan manfaatnya dengan pasien,
mengingat potensi efek samping dari prednisolon dan obat antivirus.

9
10
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bell’s palsy adallah paralisis N. Fasialis yang bersifat akut, unilateral, perifer
dan mempengaruhi lower Motor Neuron. Dikenal juga dengan nama paralisis
fasialis idiopatik atau idiopathic facial paralysis (Tanto et al.,2014). Kelumpuhan
saraf wajah telah dikenal sejak zaman kuno oleh orang Mesir, Yunani, Romawi,
Inca dan lain sebagainya. Representasi artistik tertua dari kelumpuhan saraf wajah
adalah temuan tanah liat yang dibentuk kepala dari Mesir (4.000 tahun),
menunjukkan kelumpuhan saraf wajah perifer kanan. Pada Abad Pertengahan dan
Renaisans, banyak seniman menggambarkan sosok dengan wajah asimetris dan
terdistorsi. Potret Mona Lisa adalah yang paling terkenal dan senyum
misteriusnya telah dibahas selama bertahun-tahun di dunia dan di beberapa
simposium saraf wajah. Studi medis pertama penyakit ini dikaitkan harus
dikaitkan dengan Avicenna . Dia adalah orang pertama yang merekam perbedaan
antara kelumpuhan wajah sentral dan perifer. Meskipun nama Sir Charles Bell,
yang mempublikasikan temuannya pada tahun 1821, lebih umum dikaitkan
dengan kondisi ini, ada dua ulasan yang diterbitkan oleh Niclaus A. Friedrich
pada tahun 1798, dan yang lainnya oleh Richard Powell pada tahun 1813, tentang
pengamatan onset, temuan fisik, riwayat alam dan pemulihan pada kondisi
tersebutmendahului orang-orang dari Charles (Mustafa & Sulaiman, 2018).
B. Epidemiologi
Bell's palsy merupakan penyebab 60 sampai 75% dari total kasus paralisis
fasial unilateral akut (Tanto et al.,2014). Insidensi Bell’s palsy setiap tahun di
Amerika Serikat, sekitar 23 kasus per 100.000 penduduk, 63% mengenai wajah
sisi kanan. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding
non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan
yang sama. Namun, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan

11
trisemester ke-3 dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali
lipat (Sajadi, 2011).

C. Etiologi
Ada banyak kemungkinan penyebab Bell's palsy, tetapi etiologinya masih
belum jelas (Mustafa & Sulaiman, 2018). Beberapa identifikasi post mortem
terhadap penderita Bell’s palsy didapatkan adanya HSV pada ganglion
geniculata.. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain
Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini
diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel
ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan
menyebabkan kerusakan local pada myelin (Mardjono, 2014).

D. Anatomi dan Topografi N. VII


Nervus fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari serabut saraf
eferen (motorik dan otonom) dan aferen (sensorik). Serabut eferen motorik murni
diurus nervus fasialis sedangkan serabut aferen somatik dan viseral serta serabut
eferen otonom diurus oleh nervus intermedius yang merupakan bagian nervus
fasialis. (Gambar 2) (Toulgoat et al., 2013).

Gambar 2. ( A ) Persarafan motorik nervus fasialis. ( B ) Persarafan


parasimpatis nervus fasialis (Zandian et al., 2014).

12
Komponen motorik nervus fasialis dibentuk oleh inti motorik nervus fasialis
yang terletak di ventrolateral tegmentum pontis. Di dalam batang otak, serabut
saraf inti motorik berjalan mengelilingi nervus abdusen sehingga membentuk
tonjolan kecil yang disebut kolikulus fasialis. Serabut saraf kemudian berjalan
ventromedial menuju bagian kaudal pons dan keluar dari batang otak melintasi
ruang subaraknoid di dalam sudut serebelopontin dan masuk ke meatus akustikus
internus bersama dengan nervus intermedius dan nervus vestibulokokhlearis. Di
dalam meatus tersebut, nervus fasialis dan nervus intermedius berpisah dengan
nervus vestibulo-kokhlearis dan berjalan lateral di kanalis fasialis menuju
ganglion genikulatum. Saat setinggi ganglion, kanalis fasialis berubah mengarah
ke bawah. Pada bagian akhir kanalis fasialis, nervus fasialis keluar dari rongga
tengkorak melalui foramen stilomastoideus. Serabut motorik ini kemudian
mempersarafi seluruh otot ekspresi wajah seperti orbikularis okuli dan orbikularis
oris, oksipitalis, buccinator dan frontalis; serta otot kecil stapedius, platisma,
stilohioid dan otot digastrikus bagian posterior (Baehr & Frotscher, 2016).
Inti nervus fasialis bagian atas menerima persarafan bilateral dari kedua
korteks hemisfer serebri melalui traktus kortikobulbar. Untuk bagian bawah
wajah, inti nervus fasialis bagian bawah hanya menerima persarafan kontralateral
dari satu korteks hemisfer serebri melalui traktus kortikobulbar (Toulgoatet al.,
2013)
Nervus intermedius terdiri dari komponen aferen viseral, somatik dan eferen
otonom. Komponen aferen viseral yaitu serabut aferen gustatorik terdiri dari
badan sel serabut aferen pengecapan terletak di dalam ganglion genikulatum, yang
terdiri dari neuron pseudounipolar. Serabut aferen ini mempersarafi pengecapan
2/3 lidah bagian depan. Serabut aferen ini berjalan bersama dengan nervus
lingualis (cabang dari nervus mandibularis) dan berjalan melalui korda timpani ke
ganglion genikulatum kemudian nervus intermedius menuju nukleus solitarius.
Nukleus solitarius juga menerima serabut pengecapan dari nervus glossofaringeus
untuk mempersarafi 1/3 belakang lidah dan dari nervus vagus untuk pengecapan
epiglotis. Komponen somatik yaitu beberapa serabut somatik yang mewakili
13
persarafan di daerah telinga luar, meatus akustikus eksterna dan permukaan luar
dari membran timpani yang berjalan bersama nervus fasialis menuju ganglion
genikulatum dan kemudian menuju nukleus sensorik nervus trigeminus. Lesi kulit
oleh herpes zoster otikus berhubungan dengan serabut aferen somatik ini (Baehr
& Frotscher, 2016).
Komponen eferen otonom /sekretorik terdiri atas serabut eferen parasimpatis
yang berasal dari nukleus salivatorius superior yang terletak medial dan kaudal
dari inti motorik nervus fasialis. Sebagian serabut berasal dari nukleus salivatorius
superior meninggalkan badan utama nervus fasialis setinggi ganglion genikulatum
dan berlanjut sebagai ganglion pterigopalatina dan seterusnya ke kelenjar
lakrimalis dan kelenjar mukosa nasal. Bagian lain serabut nukleus salivatorius
superior berjalan kaudal melalui korda timpani dan nervus lingualis menuju
ganglion submandibula. Serabut postganglion mempersarafi kelenjar
submandibularis dan sublingualis untuk sekresi saliva (Baehr & Frotscher, 2016)
Refleks yang berperan dalam nervus fasialis meliputi refleks kornea, blink
(kedip) dan stapedius. Pada refleks kornea, impuls sensorik dari membran mukosa
kornea berjalan menuju nervus oftalmika ke inti sensorik nervus trigeminal.
Setelah bersinaps ditempat tersebut, impuls berjalan menuju inti nervus fasialis
dan kemudian melalui nervus fasialis menuju muskulus orbikularis okuli kedua
sisi dan menyebabkan tertutupnya kedua mata. Refleks blink (kedip) dirangsang
oleh stimulus visual yang kuat dan merangsang kolikulus superior untuk
mengirimkan impuls menuju inti nervus fasialis di pons melalui traktus
tectobulbar sehingga menyebabkan kedua mata menutup. Refleks stapedius
dirangsang oleh impuls suara yang dihantarkan melalui inti korpus trapezoid
bagian dorsal menuju inti nervus fasialis yang menyebabkan kontraksi maupun
relaksasi muskulus stapedius yang tergantung dari kuatnya stimulus suara (Baehr
& Frotscher, 2016).

E. Patofisiologi
Nervus fasialis melewati suatu bagian tulang temporalis yang sering disebut
kanalis fasialis teori umum yang diterima adalah edema dan iskemia
14
menyebabkan kompresi nervus fasialis di dalam kanal ini. Penyebab edema dan
iskemia itu sendiri belum dipastikan. Labyrinthine segment bagian pertama dari
kanalis fasialis merupakan bagian tersempit. Lokasi ini merupakan lokasi
tersering kompresi nervus fasialis. Pada Bell's palsy jejas pada nervus fasialis
terletak perifer dari nukleus nervus tersebut. Jejas diduga terjadi dekat atau pada
ganglion genikulata. Jika Lesi terletak proksimal dari ganglion tersebut paralisis
motorik disertai kelainan gustatorik (gangguan pengecapan 2/3 anterior lidah dan
produksi air liur ) dan gangguan lakrimasi akan timbul. Jika lesi terletak di antara
ganglion genikulatum dan proksimal korda timpani, keluhan sama akan timbul
tetapi tanpa gangguan lakrimasi. jika Lesi terletak pada foramen stylomastoideum
maka hanya akan menyebabkan paralisis otot motorik wajah saja (Tanto et
al.,2014).
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik
ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan
hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen
stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut
yang mensyarafi muskulus stapedius (Moore, 2013).

F. Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang
sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan (Lowis, 2012).
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus. Gejala : kelumpuhan otot-
otot wajah pada sebelah lesi.
-Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
15
-Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
-Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air
liur masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis
fasialis). Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3
depan lidah dan gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum. Gejala:
seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum. Gejala: seperti (c) ditambah dengan
gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan kelenjar air mata
(lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus. Gangguan: seperti (d) ditambah dengan
gangguan pada N.VIII.
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang
sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media
perforata dan mastoiditis (Ropper, 2005).

16
Gambar 3. Letak lesi dari perjalanan nervus fasialis (Baehr & Frotscher, 2016)

G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya
parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat
memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia
juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s
palsy lesinya bersifat LMN.
a. Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.

17
 Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
 Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
 Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
 Mata kering.
 Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang
nervus facialis tidak mengalami gangguan.
 Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron
dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat.
Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang
menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena
perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral.
 Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
 Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
18
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
 Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
 Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami
komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut
menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa
dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus
tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiolog.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnose Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi,
karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami
perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun
mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI
mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma,
hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka
pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan (Munilson, 2013 ; Lumbantobing,
2012).

H. Diagnosa Banding
Dalam mendiagnosis suatu kelemahan atau kelumpuhan pada wajah yang
disebabkan oleh lesi nervus fasialis maka perlu dibedakan antara lesi sentral dan
perifer.(Gambar 4). Diagnosis banding terhadap kelemahan/ kelumpuhan nervus
fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Penyebab yang
terletak di lokasi perifer misalnya otitis media supuratif dan mastoiditis, sindrom
19
Ramsay-Hunt, sindrom Guillain-Barre, tumor sudut serebelopontin dan tumor
kelenjar parotis, gangguan metabolik seperti diabetes melitus, serta penyakit
Lyme. Penyebab yang lokasinya sentral antara lain stroke, sklerosis multipel,
tumor otak primer atau metastasis, infeksi HIV, fraktur basis kranii atau fraktur
pada tulang temporal pars petrosus karena trauma (Zandian et al., 2016)

Gambar 4. Perbedaan lesi perifer ( A ) dengan lesi sentral ( B ) (Tiemstra &


Khatkhate, 2007).
Dalam menilai derajat keparahan dan memprediksi kemungkinan kesembuhan
kelemahan nervus fasialis, dapat digunakan skala modifikasi House-Brackmann
yang telah dipakai secara luas. Derajat yang dipakai dalam skala ini dari 1 sampai
6, dengan derajat 6 yang paling berat yaitu terdapat kelumpuhan total (Gambar 5)

20
Gambar 5. Skala House Brackman (Baugh et al., 2013).

I. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena
itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis
dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus
(Prentice, 2012).
Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas
hambatan langsung melawan HSV-1 dan HSV-2,
dan sel yang terinfeksi secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis < 2 tahun : tidak dianjurkan.
pediatrik > 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10
hari.
Kontraindikas Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
i
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau

21
zidovudine dapat memperpanjang waktu paruh
dan meningkatkan toksisitas acyclovir terhadap
SSP.
Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum
pernah dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan
obat yang bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid
Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan
suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai
keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti
lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang
lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus
segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral
atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset
penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien (Lowis,
2012).
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) –
efek farmakologis yang berguna adalah efek
antiinflamasinya, yang menurunkan
kompresi nervus facialis di canalis facialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.
Dosis Pemberian sama dengan dosis dewasa.
pediatrik
Kontraindikas Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas;
i infeksi virus, jamur, jaringan konektif, dan
infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak
lambung; disfungsi hepatik; penyakit
gastrointestinal.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat
menurunkan klirens prednisone; penggunaan
22
dengan digoksin dapat menyebabkan
toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat
meningkatkan metabolisme glukokortikoid
(tingkatkan dosis pemeliharaan); monitor
hipokalemia bila pemberian bersama dengan
obat diuretik.
Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini
dapat memperberat resiko.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara
tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal;
hiperglikemia, edema, osteonekrosis,
miopati, penyakit tukak lambung,
hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis,
myasthenia gravis, penurunan pertumbuhan,
dan infeksi dapat muncul dengan
penggunaan bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar
benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan
pelindung mata (Lowis, 2012).
 Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti
air mata yang kurang atau tidak ada.
 Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu
kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
 Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang
mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
23
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan
yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan
penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan
ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut:
 Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan
fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
 Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk
untuk pemeriksaan lanjutan.
 Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya
dirujuk.
 Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang
buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup
baik untuk dilakukan pembedahan.

J. Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang
tidak dapat diterima oleh pasien (Sajadi, 2011).
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
 Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami
regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau
beberapa otot wajah tersebut.
 Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air
mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
 Dysgeusia (gangguan rasa).
 Ageusia (hilang rasa).
24
 Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan
stimulus normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
 Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan
regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil
jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya.
Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak
normal.
 Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan
gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai
gerakan volunter ini disebut synkinesis.
K. Prognosis
Dalam waktu kurang lebih 3 minggu kebanyakan pasien dengan Bell’s palsy
mengalami perbaikan fungsi dengan atau tanpa terapi. Pada beberapa kasus,
membutuhkan waktu sembilan bulan tetapi sekitar 30% tidak mengalami
pemulihan sempurna atau mendapatkan komplikasi. Keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan maupun beratnya reaksi inflamasi dan kompresi pada
nervus fasialis mempengaruhi prognosis. Faktor yang mendukung ke arah
prognosis buruk adalah kelumpuhan fasialis komplit, riwayat rekurensi, diabetes,
nyeri hebat post-auricula, gangguan pengecapan dan penderita perempuan. Faktor
yang mendukung ke arah prognosis baik adalah kelumpuhan fasialis yang
inkomplit, pengobatan dini dan perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu
pertama. (Yuwono & Yudawijaya, 2016).

IV. KESIMPULAN

Bell’s palsy merupakan paralisis perifer dari n. Fasialis / N. VII. Sampai

saat ini etiologi dari penyakit tersebut belum diketahui dengan pasti tetapi

seringkali dikaitkan dengan inveksi virus. Mekanisme dari Bell’s palsy diyakinin
25
karena adanya inflamasi dan edema dari N. VII sehingga saraf tersebut menjadi

terjepit. Diagnosis Bell’s palsy didasarkan pada temuan klinis. Tata laksana

farmakologis dari peenyakit ini masih kontroversial, karena > 70 % pasien

sembuh tanpa pengobatan.

26
Daftar Pustaka

Baehr, M., Frotscher, M. 2016.  Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi Fisiologi
Tanda Gejala edisi 4. Jakarta : EGC.
Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R, et al.
Clinical practice guideline bell’s palsy. Otolaryngol Head Neck Surg. 2013; 149(S3):
S1-S27; 34-42.
Lowis, H., Gaharu, M. N. 2012. Bell’s Palsy Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan
Primer; Universitas Pelita Harapan Tangerang; Departemen Saraf Rumah Sakit
Jakarta Medical Center, Jakarta. Vol 62, hal 1.
Lumbantobing, S.M. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. .
Mardjono, M., Sidharta, P., 2014. NEUROLOGI KLINIS DASAR, Dian Rakyat, Jakarta, hal
160.
Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. Vol.
01: 1204.
Moore, K. L.,Dalley, A. F, 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Edisi ke - 5, Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia, hal : 259 – 261.
Munilson, J., Edward, Y., Triana, W., 2013. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAN
BELL’S PALSY. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr M Djamil, Padang.
Mustafa, A.H.K., Sulaiman, A.M. 2018. The Epidemiology and Management of Bell’s
Palsy in the Sudan. The Open Dentistry Journal. Vol 12 : 827-836
Prentice, William E. 2012. Therapiutic Modalities in Rehabilitation. Mc Graw Hill
Medical : New York
Ropper AH, Brown RH. 2005. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and
Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill. 1181-1184.
Sajadi MM, Sajadi MR, Tabatabaie SM. 2011. The history of facial palsy and spasm:
Hippocrates to Razi. Neurology. 77(2):174-178.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A. 2014. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi ke-4. Jakarta : media Aesculapius.
Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam Phys. 2007;
76(7): 997-1004.
Toulgoat F, Sarrazin J, Benoudiba F, Pereon Y, Auffray-Calvier E, Daumas-Duport B, et
al. Facial nerve: from anatomy to pathology. Diagnostic and interventional imaging.
J Radiol. 2013; 94(10): 1033-42.
Warner, M.J., Hutchison, J., Varacallo, M. 2020. Bell Palsy. Treasure Island (FL):
StatPearls
Yuwono, E., Yudawijaya, A. 2016. Bell’s palsy: Anatomi hingga Tatalaksana. Majalah
Kedokteran UKI. 32 (1) : 49-57.

27
Zandian A, Osiro S, Hudson R, Ali IM, Matusz P, Tubbs SR, et al. The neurologist’s
dilemma: A comprehensive clinical review of Bell’s palsy, with emphasis on current
management trends. Intl Med J Exp Clin Res. 2014; 20: 83-90

28

Anda mungkin juga menyukai