Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA Jurnal

FAKULTAS KEDOKTERAN Juli 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

The prevalence of refractive errors in 6- to 15-year-old schoolchildren in


Dezful, Iran

Oleh:
Willy Maun
NIM. 2013-83-038

Pembimbing:
dr. Elna Anakotta, Sp. M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2018
Prevalensi kesalahan refraksi pada anak sekolah usia 6 hingga 15 tahun di

Dezful, Iran

ABSTRAK

Tujuan: untuk menentukan prevalensi kesalahan refraksi pada anak sekolah usia

6-15 tahun di Kota Dezful, Iran Barat.

Metode: menggunakan desain cross-sectional, 1375 anak sekolah di Dezful

diseleksi melalui multistage cluster sampling. Setelah diperoleh persetujuan

tertulis, partisipan dikoreksi tajam penglihatan dan refraksi sikloplegik di sekolah.

Kesalahan refraksi diartikan sebagai miopi bila spherical equivalent (SE) -0,5

dioptri (D), hipermetropia bila SE ≥ 2,0D, dan astigmatisma bila silinder > 0,5D.

Hasil: 1151 (83,7%) anak sekolah berpartisipasi dalam penelitian ini. Sebanyak

1130 anak dari total partisipan menyelesaikan seluruh pemeriksaan, sedangkan 21

anak dieksklusi karena tidak kooperatif dan kontraindikasi untuk refraksi

sikloplegik. Prevalensi miopi, hipermetropi, dan astigmatisma secara berurutan

ialah 14,9% (Interval kepercayaan (IK) 95%: 10,1-19,6), 12,9% (IK 95%: 7,2-

18,6), dan 45,3% (IK 95%: 40,3-50,3). Analisis regresi logistik multipel

menunjukkan hubungan usia dengan peningkatan prevalensi miopi (p < < 0,001)

dan menurunnya prevalensi hipermetropia (p < < 0,001). Selain itu, tingginya

prevalensi miopi pada anak laki-laki (p < < 0,001) dan hipermetropia pada anak

perempuan (p = 0,007).

Kesimpulan: hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besar atau tingginya

prevalensi kesalahan refraksi pada populasi Iran khususnya anak sekolah di


Dezful, Iran Barat. Prevalensi miopi yang sangat besar dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya di Iran dan meningkat seiring bertambahnya usia.

Kata kunci: kesalahan refraksi; anak; epidemiologi; Timur tengah

PENDAHULUAN

Adanya lebih dari 280 juta gangguan penglihatan dan 39 juta kebutaan, kerusakan

penglihatan merupakan masalah kesehatan utama yang berdampak besar bagi

semua bangsa di dunia. Penyebab terjadinya kerusakan penglihatan ialah

kesalahan refraksi dan katarak, yang menjadi fokus banyak penelitian sejak 1990.

Meskipun demikian, berbagai penelitian sebelumnya masih menekankan besarnya

masalah pada dua kelainan penglihatan tersebut (kesalahan refraksi dan katarak)

karena terjadi pada orang tua dan muda serta anak-anak. Penelitian di seluruh

dunia mengindikasikan kesalahan refraksi biasanya terjadi pada semua usia. Salah

satu penelitian menunjukkan bahwa >40% anak dan anak usia sekolah di negara-

negara Asia timur lebih banyak mengalami kesalahan refraksi. Kesalahan refraksi

mendapat banyak perhatian lebih dari global dalam dekade terakhir, dan penelitian

ini mampu menjawab banyak pertanyaan terkait hal tersebut. Iran merupakan

negara dengan populasi kedua terbesar di Timur tengah. Banyak penelitian telah

mendiskusikan masalah ini di Iran dalam dekade terakhir. Berdasarkan penelitian

tersebut, hipermetropi merupakan kelainan refraksi yang paling banyak

didapatkan pada anak-anak penduduk Iran.


Walaupun banyak penelitian mendapatkan prevalensi kelainan refraksi pada anak

sekolah berkewarganegaraan Iran, hasilnya tidak konsisten. Untuk meningkatkan

hasil penelitian tentang prevalensi hipermetropi dan miopi pada siswa Iran,

penelitian mendatang harus menggunakan protokol penelitian kesalahan refraksi

pada anak (RESC/refractive error study in children). Oleh karena itu, dalam

penelitian tentang prevalensi kesalahan refraksi ini digunkana protokol RESC

pada populasi anak sekolah di Iran.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan berlangsung antara

November 2013 hingga Januari 2014. Populasi target ialah anak sekolah Kota

Dezful yang diseleksi melalui multistage cluster sampling. Terdapat 271 sekolah

dengan 50177 murid di Dezful. Dua puluh empat sekolah diseleksi dalam

beberapa kelompok. Pada setiap sekolah, menggunakan metode simple random

yang mana jumlah dari murid yang diseleksi dari tiap kelas harus sebanding atau

dapat mewakili jumlah murid di sekolah itu. Setelah sampel diseleksi, dijelaskan

pada orang tua murid mengenai undangan untuk partisipasi anak mereka dan

menyetujui undangan untuk terlibat dalam penelitian ini. Tempat yang layak

untuk dijadikan lokasi penelitian diseleksi pada salah satu bagian di sekolah satu

hari sebelum penelitian berlangsung. Pada setiap sekolah, pemeriksaan diawali di

kelas 1, dan murid pada setiap kelas diperiksa menggunakan urutan alfabet.
Pemeriksaan

Setelah diwawancarai, murid diarahkan masuk ke ruang pemeriksaan untuk

melakukan autorefraksi non-sikloplegik dengan autorefraktor Topcon RM8800

(Topcon Corporation, Jepang) oleh seorang teknisi terlatih. Selanjutnya, murid

diperiksa tajam penglihatan menggunakan kacamata mereka dan menggunakan

diagram Snellen E terbalik pada jarak 6 meter dari pemeriksa. Pengukuran lensa

(lensometri) menggunakan lensometer Topcon LM 800 (Topcon Corporation,

Jepang), yang hasilnya diukur sesuai tanggal mereka menerima resep kacamata.

Selanjutnya, tajam penglihatan yang belum dikoreksi (UCVA/uncorrected visual

acuity) diperiksa pada semua partisipan, dan hasil autorefraktor diperhalus melalui

retinoskopi (HEINE BETA, Heine Optotechnik, Jerman) dan trial lenses (MSD,

Italia). Yang terakhir, dua tetes Cyclopentolate 1% (Alcon Cusi El Masnou-

Barcelona, Spanyol) dimasukkan 35 dan 40 menit sebelum refraksi.

Definisi

Definisi – untuk memperoleh hasil yang akurat dan valid bila dibandingkan

dengan penelitian lain yang menggunakan protokol RESC, kami menetapkan

spherical equivalent berdasarkan ambang batas refraksi sikloplegik -0,50 dioptri

(D) untuk miopi dan +2,0 D untuk hipermetropi. Astigmatisma ditetapkan ukuran

silinder >0,5 D. Kami mengelompokkan miopi dalam tiga kelompok, yaitu ringan

(-0,5 D hingga -3,0 D), sedang (-3,1 D hingga -6,0 D), dan berat (> -6,0 D).

Hipermetropi dikategorikan ringan (+2,0 D hingga +3,0 D), sedang (+2,1 D

hingga +4,0 D), dan berat (> +4,0 D).


Aksis astigmatisma diklasifikasikan menjadi astigmatisma lazim (WTR/with-the-

rule) jika aksis antara 1500 dan 1800 atau antara 00 dan 300, dan astigmatisma tidak

lazim (ATR/against-the-rule) apabila aksis antara 600 dan 1020, dan yang lain

apabila terdapat astigmatisma oblik.

Sikloplegia tidak diberikan pada anak dengan riwayat epilepsi, penyakit

kardiovaskular atau serebrovaskular; kasus-kasus tersebut menyebabkan

partisipan dieksklusi dari penelitian. Kriteria eksklusi lain yaitu orang tua tidak

memberikan persetujuan anaknya ikut serta dalam penelitian.

Analisis statistik

Prevalensi kesalahan refraksi disajikan dalam persentase dan interval kepercayaan

95%. Pengaruh dari cluster sampling dimasukkan ke laporan untuk menghitung

kesalahan standar. Regresi logistik digunakan untuk menguji hubungan kesalahan

refraksi dengan faktor lain, dan dihitung odds ratio. Untuk mengontrol faktor bias,

digunakan regresi logistik multipel. Level kemaknaan 95% digunakan, dan setiap

nilai P <5% dilaporkan memiliki signifikansi.

Persetujuan etik

Komite Etik Universitas Dezful Sains Kedokteran menyetujui protokol penelitian,

yang mana disesuaikan dengan prinsip Deklarasi Helsinki.

HASIL

Dalam penelitian ini, 1375 anak sekolah diseleksi melalui cluster sampling, dan

diperoleh 1151 (83,7%) anak sekolah sebagai partisipan.


Sebanyak 21 anak dieksklusi karena tidak kooperatif dan kontraindikasi dengan

refraksi sikloplegik.

Pemeriksaan kesalahan refraksi diselesaikan oleh 1130 anak, sehingga datanya

dianalisis. Rata-rata usia partisipan yaitu 11,05 ± 2,93 (rentang: 6-15 tahun), dan

520 (46,0%) ialah perempuan. Rata-rata spherical equivalent berdasarkan refraksi

sikloplegik yaitu 0,47 ± 1,08 (rentang: -5,56 hingga 13,39) D. Prevalensi

pemakaian kacamata 6,02% [Interval kepercayaan (IK) 95%: 4,63-7,41].

Tabel 1 menunjukkan prevalensi perbedaan jenis kesalahan refraksi berdasarkan

usia dan jenis kelamin. Secara keseluruhan, prevalensi miopi 14,9% (IK 95%:

10,1-19,6); 17,0% dan 12,3% secara berurutan pada anak laki-laki dan

perempuan. Regresi logistik menunjukkan tingginya odds miopi pada anak laki-

laki (p < 0,001). Pada tabel 1 juga diperlihatkan prevalensi miopi yang meningkat

sejalan dengan bertambahnya usia yang mana 7,1% pada kelompok usia 6-7 tahun

meningkat menjadi 22,6% pada kelompok usia 14-15 tahun (p < 0,001).

Berdasarkan hasil model regresi logistik multipel (Tabel 2), prevalensi miopi

secara langsung berkorelasi dengan penambahan usia (p < 0,001) dan jenis

kelamin laki-laki (p < 0,001). Hipermetropi ditemukan pada 12,9% (IK 95%: 7,2-

18,6) murid yang berpartisipasi dalam penelitian, dan sebagaimana ditampilkan

dalam Tabel 1, prevalensinya tinggi pada anak perempuan (p < 0,001) dan

signifikan menurun seiring bertambahnya usia (p < 0,001). Regresi logistik

multipel mengidentifikasi jenis kelamin perempuan (p = 0,007) dan usia muda (p

< 0,001) sebagai faktor risiko berkaitan dengan hipermetropi. Dilihat dari

partisipan dengan miopi, 74,3% mengalami miopi ringan, 16,7% mengalami


miopi sedang, dan 9% mengalami miopi berat. Di lain pihak, dari total partisipan

yang mengalami hipermetropi, jumlah partisipan dengan hipermetropi ringan,

sedang, dan berat secara berurutan yaitu 84,4%, 10,5%, dan 5,1%. Sebagaimana

yang ditampilkan dalam Tabel 1, prevalensi astigmatisma signifikan terjadi pada

anak laki-laki (p = 0,033), akan tetapi berkaitan dengan usia perubahan

astigmatisma tidak signifikan secara statistik (p = 0,861). Hasil dari model

multipel menunjukkan bahwa hanya jenis kelamin laki-laki (p = 0,032) yang

secara statistik signifikan dikorelasikan dengan prevalensi astigmatisma. Sampel

dalam penelitian ini, 24,2% termasuk dalam with-the-rule dan 17,5% against-the-

rule, sedangkan prevalensi astigmatisma oblik yaitu 3,5%.

Tabel 1. Prevalensi miopi, hipermetropi, dan astigmatisma pada anak sekolah di Dezful menurut
usia dan jenis kelamin

Tabel 2. Hubungan antara miopi, hipermetropi, dan astigmatisma dengan usia dan jenis kelamin
dalam regresi logistik multipel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tajam penglihatan yang belum dikoreksi

0,05 ± 0,16 LogMar pada semua partisipan.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tajam penglihatan yang belum

dikoreksi menurun pada sampel dengan miopi dan meningkat pada partisipan

yang emetropia. Tajam penglihatan yang belum dikoreksi pada emetropia sebesar

0,02 ± 0,07, miopi 0,51 ± 0,25 dan hipermetropi 0,20 ± 0,31 LogMar (P < 0,001).

Sementara itu, tajam penglihatan yang belum dikoreksi pada sampel dengan

astigmatisma yaitu 0,23 ± 0,25 dan sampel bukan astigmatisma 0,03 ± 0,12 Log

Mar (p < 0,001).

DISKUSI

Gangguan penglihatan pada anak dan anak sekolah menjadi bahan diskusi pada

penelitian beberapa tahun sebelumnya di Iran dan daerah lain di dunia. Akan

tetapi, dibutuhkan juga hasil penelitian lebih lanjut pada daerah ini. Dalam

penelitian ini, ditampilkan prevalensi kesalahan refraksi pada anak sekolah di

Dezful, Iran Barat.

Sebagaimana yang dipresentasikan, 14,9% anak sekolah yang masuk dalam

penelitian ini mengalami miopi, dan prevalensi miopi meningkat dari 7,1% pada

kelompok usia 6-7 tahun menjadi 22,6% pada kelompok usia 14-15 tahun.

Temuan ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian lain yang menampilkan

korelasi antara usia dan miopi pada dekade ke-2 dalam kehidupan. Hal penting

yang menyebabkan peningkatan kasus miopi yang sejalan dengan usia yaitu

pertumbuhan yang dapat meningkatkan panjang aksial (AL/axial length).


Peningkatan panjang aksial pada dekade I dan II kehidupan didokumentasikan

dalam penelitian cross-sectional dan prospektif. Berkaitan dengan tingginya

prevalensi miopi pada anak laki dibandingkan perempuan sejalan dengan temuan

pada penelitian sebelumnya; walaupun beberapa penelitian menunjukkan

hubungan dengan anak usia sekolah, sebagian besar penelitian pada kelompok

usia tua juga menunjukkan bahwa prevalensi miopi terbesar berada pad laki-laki.

Hal ini dapat menjelaskan lebih panjangnya axial length (AL) pada laki-laki.

Sebagai catatan, tingginya prevalensi miopi pada penelitian ini dibandingkan pula

dengan penelitian sebelumnya di Iran. Berdasarkan ringkasan penelitian

sebelumnya yang ditampilkan pada Tabel 3, angka kejadian miopi sebelumnya

dilaporkan dalam kelompok usia tersebut yaitu 2,4%-4,4%. Laporan yang pernah

dilakukan di Dezful pada 2004 dengan kelompok usia yang sama menunjukkan

3,4% kejadian miopi.

Sebagaimana yang ditampilkan dalam penelitian ini, prevalensi miopi pada anak

sekolah signifikan lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya pada 10 tahun

lalu dalam populasi ini. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh dari

kelahiran dan perubahan gaya hidup. Salah satu perubahan gaya hidup yang

penting dalam 10 tahun terakhir yaitu menurunnya aktivitas kerja sebagai dampak

dari peningkatan popularitas dan penggunaan komputer serta alat alat semacam

komputer yang mudah dibawa. Bertambahnya imigran bukan penduduk asli di

kota ini juga meningkat kemaknaannya, dan hal ini dapat menjadi alasan lain

dalam mengamati perbedaan prevalensi miopi.


Pada Tabel 3, miopi memiliki prevalensi yang tinggi di negara seperti China dan

Singapura, dan terjadi pada lebih dari sebagian anak. Berdasarkan penelitian

sebelumnya, negara-negara Asia Timur merupakan tempat utama ditemukannya

kejadian miopi, sedangkan ditemukan masih rendah pada negara-negara Eropa.

Hal yang dapat membedakan dengan penelitian lain yaitu kelompok usia, definisi

miopi, dan metode pengukurannya. Akan tetapi, walaupun dengan kelompok usia,

definisi miopi, dan refraksi sikloplegik yang sama, prevalensi miopi dalam

penelitian ini dianggap masih tinggi. Penelitian sebelumnya di Iran juga

menunjukkan tingginya angka kejadian miopi. Adanya perubahan gaya hidup

berupa menurunnya aktivitas merupakan alasan penting yang dapat

dipertimbangkan untuk menjelaskan hal diatas. Temuan ini mengindikasikan

bahwa kita berada pada tahap pre-epidemi miopi pada anak, sehingga diperlukan

kerja yang serius untuk mengidentifikasi dan mengobati kesalahan refraksi dalam

kelompok usia ini. Penelitian eksperimental juga dibutuhkan agar tingginya

insidensi miopi dapat dicegah.

Tabel 3. Ringkasan persamaan penelitian sebelumnya mengenai prevalensi kesalahan refraksi


Sementara itu, untuk hipermetropi, prevalensinya meningkat pada anak

perempuan dan menurun seiring bertambahnya usia. Hubungan ini ditunjukkan

oleh banyaknya penelitian dan penjelasan tentang perubahan panjang aksial

berdasarkan usia dan jenis kelamin. Sebagaimana yang ditampilkan, prevalensi

hipermetropi juga relatif tinggi dalam penelitian ini dan lebih tinggi daripada

laporan sebelumnya di Iran dan daerah lain di dunia. Pada Tabel 3 juga

ditampilkan bahwa pada penelitian sebelumnya di Dezful menunjukkan tingginya

prevalensi hipermetropi; oleh karena itu, faktor genetik dan etnis berperan pula

dalam kejadian tersebut.

Prevalensi astigmatisma juga tinggi dalam penelitian ini. Serupa dengan miopi,

astigmatisma dilaporkan memiliki prevalensi yang tinggi pada negara-negara Asia

Timur. Walaupun demikian, kami tidak mengharapkan untuk melihat angka

kejadian 45% pada anak sekolah yang ikut dalam penelitian. Sebagaimana yang

ditampilkan dalam Tabel 3, terpisah dari Singapura dan Brazil, prevalensi

astigmatisma < 20% pada banyak negara. Hal yang dapat menjelaskan

perkembangan astigmatisma ialah adanya insiklotorsi karena menurunnya

aktivitas sehingga dapat menyebabkan kontraksi otot siliaris untuk akomodasi dan

menyebabkan semakin tajam kornea sentralis serta peningkatan kekuatan.

Generasi anak zaman ini juga menggunakan berbagai macam alat sejenis

komputer dengan lebih sering sehingga dapat meningkatkan risiko mata kering,

seringnya menggosok mata, dan sebagai akibatnya terjadi astigmatisma. Dalam


penelitian ini, prevalensi astigmatisma tidak menunjukkan perubahan yang

signifikan sesuai dengan pertambahan usia, tetapi memperlihatkan prevalensi

yang tinggi pada laki-laki. Hasil penelitian lain yang berhubungan dengan usia,

jenis kelamin, dan astigmatisma tidak cukup meyakinkan, walaupun sebagian

besar hasilnya sejalan dengan temuan penelitian ini dan menunjukkan tingginya

angka kejadian astigmatisma pada laki-laki.

Penelitian ini menyajikan informasi bernilai berhubungan dengan kesalahan

refraksi pada anak usia sekolah. Walaupun demikian, jumlah sampel yang kecil

bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dan pengambilan sampel dari

populasi daerah kota merupakan keterbatasan yang perlu dicatat. Kurangnya data

pengukuran biometri, riwayat keluarga, dan riwayat kurangnya aktivitas fisik juga

termasuk dalam keterbatasan penelitian, yang dapat disajikan dalam hasil analisis.

Anda mungkin juga menyukai