Anda di halaman 1dari 18

Telaah Ilmiah

EVALUASI DAN TATALAKSANA

KELAINAN PADA PUPIL

Oleh

Nilam Siti Rahmah, S.Ked

04054821719085

Pembimbing

dr.Hj.Devi Azri Wahyuni, SpM(K), MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Evaluasi dan Tatalaksana Kelainan Pada Pupil

Oleh:
Nilam Siti Rahmah, S.Ked
04054821719085

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 Mei 2017 s.d 19 Juni 2017.

Palembang, 31 Mei 2017

dr.Hj.Devi Azri Wahyuni, SpM(K),


MARS
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan berkat-Nya
Telaah Ilmiah yang berjudul Evaluasi dan Tatalaksana Kelainan Pada Pupil ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepadadr.Hj.Devi Azri Wahyuni, SpM(K),
MARS atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah Ilmiah
ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa yang akan datang.
Tatalaksana Kelainan Pada Pupil

Kelainan pada pupil dapat mempengaruhi 4 tempat yaitu mata, jalur aferen atau optik, eferen
atau parasimpatis dan jalur simpatik. Gangguan utama yang mempengaruhi mata termasuk
infeksi, peradangan dan trauma. Penyebab utama adalah inflamasi (neuritis optik), gizi dan
beracun. Namun, dalam banyak kasus yang penyebabnya tidak diketahui. Gangguan yang
mempengaruhi jalur eferen juga terjadi, jika oculomotor (3rd saraf) dikompresi pada jalur dari
batang otak untuk mata, maka kerusakan parasimpatik serat yang melakukan perjalanan di luar
akan mengakibatkan pupil melebar. Gangguan yang mempengaruhi jalur simpatik dapat terjadi
di mana saja sepanjang jalur yang dari batang otak lateral untuk mata, mengakibatkan Horner
sindrom. pupil kecil terbatas dan sedikit ptosis adalah karakteristiknya. Penyebab neurologis
jarang terjadi dan umumnya melibatkan lesi di jalur tengah nya. Berikut beberapa penyebab
kelainan pupil dapat ditatalaksna berdasarkan etiologi penyebabnya.

Sumber : Willhelm, Helmut. 2011.Handbook of Clinically Naurology. Elsevie Vol.103


1. Neuritis Optik
- Terapi jangka pendek
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif
tentang penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan steroid. Dalam
penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan
neuritis optikus akut unilateral. Data follow up didapatkan dari kohort ONTT
(Longitudinal Optic Neuritis Study (LONS)) menghasilkan informasi penting tentang
gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan dengan kualitas
hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan resiko berkembang menjadi
Clinically Definite Multiple Sclerosis (CDMS).1
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan terapi,
yaitu:1,2
a. Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari dengan 4
hari tappering off ( 20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).
b. Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6
jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11
hari dengan 4 hari tappering off (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).
c. Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.

Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas terhadap
kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang dinilai.
MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk semua
pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1,2
a. Terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV mempercepat pulihnya
penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai dengan 5
tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau prednison oral.
Keuntungan terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV ini baik dalam 15
hari pertama saja.
b. Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja
didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun
dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang mendapatkan
steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.
c. Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan menggunakan
metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat perkembangan ke arah
CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak bermanfaat setelah 2 tahun
karena persentase perkembangan menjadi CDMS hampir sama dengan kelompok
prednison oral dan placebo.

- Terapi jangka panjang


Di antara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang ditetapkan
dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah dilakukan
penelitian 383 pasien oleh (The Controlled High-Risk Avonex MS Prevention Study
(CHAMPS)) menunjukkan terapi dengan interferon 1a pada pasien acute
monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara signifikan dalam 3
tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat pengurangan tingkat lesi
baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada pasien dengan neuritis
optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan interferon -1a dan kelompok placebo
juga mendapatkan terapi dengan metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan
prednison oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan
interferon -1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut
pemeriksaan MRI manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari
CHAMPS memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil
penelitian dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study, (ETOMS)) yang
menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah
pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon 13-1a (34%)
bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).3
Pada model eksperimen sklerosis multipel, dengan menggunakan terapi
immunoglobulin intravena telah menunjukan terjadinya remielinisasi pada sistem
syaraf sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan
immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan
penglihatan yang bermakna. Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang
immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel dengan
kehilangan penglihatan tetap (20/40 atau lebih rendah) yang disertai neuritis optikus
tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam penglihatan.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih
(diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan
ETOMS, yaitu:3
1. Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3 hari)
diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian 4 hari
tappering off).
2. Interferon -1a intramuskular satu kali seminggu.
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari 2,
dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti
prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak
memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT,
penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan metilprednisolon
IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi.

2. Traumatic Optik Neuropati


Riwayat penderita TON yang tidak diterapi sedikit sekali publikasinya. Pemilihan
penatalaksanaan utama untuk TON dewasa ini adalah:4
Terapi steroid dengan pemberian,cara , lama dan dosis beragam
Bedah dekompresi kanalis optikus
Kombinasi steroid dan bedah
Observasi saja

Penyembuhan visus spontan dapat terjadi pada 40-60% kasus TON indirek dengan
observasi. Namun perbaikan visus lebih terlihat bermakna pada penderita TON yang
diterapi dibandingkan yang tidak diterapi. Tidak ada perbedaan perbaikan visus yang
bermakna pada penderita TON yang hanya diterapi steroid saja, bedah dekompresi saja
atau kombinasi keduanya.

Berikut ini Protokol penatalaksanaan TON menurut Steinsapirbtahun 1994 berdasarkan


izin dari Elsevier science ;2
- Lakukan Kantotomi atau kantolisis bila orbit keras. Lakukan dranase bila ada
hematom subperiosteal.
- Mulai terapi kortikosteroid intravena ( metilprednisolon 30 mg/kg IV bolus kemudian
diteruskan dengan 5,4 mg/kg/jsm IV selam 48 jam atau 15 mg/kg setiap 6 jam
meskipun visus sudah NLP
- Lakukan dekompresi saraf optikus bila ada fragmen tulang menekan saraf dari hasil
CT-Scan
- Bila perbaikan visus dalam 48 jam, lakukan tapering steroid
- Bila tak ada perbaikan visus setelah 48 jam atau mengalami perburukan lakukan
bedah dekompresi.

Pengobatan TON dengan steroid dapat juga dilakukan berdasarkan ONTT (The Optic
Neuritis Treatment Trial) dengan menggunakan metilprednisalon 250 mg intravena setiap
6 jam selama 3 hari lalu diikuti dengan prednisolon oral 1 mg/kgbb selama 11 hari.

Bedah dekompresi bertujuan untuk membantu mengurangi tekanan saraf optikus yang
terjadi akibat trauma indirek. Pendekatan bedah yang dilakukan beragam meliputi
5
intrakranial, ekstrakranial,orbital, transetmoid, endonasal dan sublabial. Pendekatan ini
biasanya berdasarkan pengalaman dan kemampuan pembedah. Calon kandidat intervensi
bedah terbaik biasanya penderita TON dengan hilangnya visus dan tamapk frgmen tulang
pada segmen saraf optik intrakanalikular.

3. Neuropati Optik Toksik Karena Alkohol


Terapi neuropati optik toksik tergantung pada agen toksik yang menyebabkan
neuropati optik toksik tersebut. Langkah pertama dalam terapi neuropati optik toksik
karena alkohol adalah menghentikan penggunaan alkohol. Selain itu, terapi dapat
dilakukan dengan hemodialisis dan metilprednisolon 1000 mg/hari selama 3 hari
berturut-turut dan dilanjutkan dengan prednison 1 mg/kgbb/hari selama 11 hari
dan selanjutnya dosis diturunkan sesuai kondisi klinis. Tujuan hemodialisis
adalah menghilangkan kadar metanol dari tubuh penderita dan untuk
mengeliminasi asam format. Hemodialisis dilakukan bila kadar metanol dalam
darah lebih dari 50mg/dL atau bila pH darah kurang dari 7,35. Pemberian
metilprednisolon dan prednison bertujuan untuk mengurangi edema papil saraf
optik yang terjadi pada fase akut sehingga diharapkan mencegah terjadinya
kebutaan. Terapi medis termasuk suplemen multivitamin yang dibutuhkan pada
neuropati toksik khususnya dengan ambliopia akibat alkohol-tembakau.1,4,12
Penderita dengan neuropati optik toksik harus diobservasi setiap 4-6 minggu, dan
selanjutnya tergantung pada proses penyembuhannya, umumnya setiap 6-12 bulan.
Tajam penglihatan, pupil, nervus optik, penglihatan warna, dan lapangan pandang harus
dinilai pada setiap kunjungan. Penglihatan akan membaik secara bertahap lebih dari
beberapa minggu, pemulihan penuh membutuhkan waktu beberapa bulan dan selalu ada
risiko defisit penglihatan yang permanen. Tajam penglihatan biasanya membaik
mendahului penglihatan warna, berkebalikan dengan onset proses penyakit, dimana
penglihatan warna biasanya lebih dahulu memburuk dibanding tajam penglihatan. 1,4,12

4. Space Occupying Lesion


Pengobatan terdiri daripada antibiotik intravena, termasuk drainase menggunakan
prosedur bedah (aspirasi atau eksisi) sekiranya perlu untuk menurunkan efek massa, atau
kadang untuk menentukan diagnosis. Abses kurang daripada 2 mm kadang dapat diobati
secara medis. Antibiotik spektrum luas, ditentukan berdasarkan faktor resiko dan
organism yang tersangka, digunakan jikan organisme tersebut masih belum diketahui.
Regimen antibiotik empiris yang awal seringkali melibatkan ceftriaxone (2g iv. Setiap 12
jam), metronidazole (15 mg/kgBB iv bolus, diikuti dengan 7.5 mg/kgBB iv setiap 6 jam)
dan vancomycin (1 g iv setiap 12 jam). Regimen ini diubah setelah kultur dan sensitivitas
obat telah ada. Pengobatan antimikroba seringkali dilanjutkan secara parenteral selama 6-
8 minggu, diikuti dengan oral setiap 2-3 bulan. Pasien perlu diobservasi dengan CT-Scan
ulan atau MRI ulang setiap 2 minggu dan pada deteriorasi. Dexamethasone (4-25 mg 4
kali per hari iv atau oral, tergantung pada keparahan, dilanjutkan dengan tapering off,
tergantung pada respons) dapat menurunkan edema yang berhubungan, tetapi mannitol
intravena kadang diperlukan. 2,1

5. Meningitis
Tujuan terapi adalah menghilangkan infeksi dengan menurunkan tanda-tanda dan
gejala serta mencegah kerusakan neurologik seperti kejang, tuli, koma dan kematian. 22
-
Terapi Farmakologi
a. Peningkatan inflamasi selaput otak akan meningkatkan penetrasi antibiotik.
Masalah penetrasi AB dapat diatasi dengan pemberian AB langsung secara
intratekal, intrasisternal, atau intraventrikuler.
b. Faktor yang memperkuat penetrasi ke CSS adalah BM yang rendah, molekul yang
tidak terion, kearutan dalam lemak, dan ikatan protein yang kecil.
c. Deksametason sebagai terapi adjuvan, juga sering digunakan pada kasus
meningitis anak, karena dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada
konsentrasi glukosa dan laktat CSS serta juga mnurunkan dengan nyata kejadian
gangguan neurologi yang umum berkaitan dengan meningitis

The american academy of pediatric menyarankan penggunaan deksa untuk bayi


dan anak berusia 2 bulan atau lebih tua yang menderita meningitis pneumokokus dan
meningitis H influenza. Dosis umum deksa Iv adalah 0,15 mg/kg setiap 6jam selama
4 hari. Atau deksa 0,15 mg/kg setiap 6jam untuk 2 hari atau 0,4 mg/kg setiap 12 jam
untuk 2 hari, efektifitasnya sebandig dan kurang menimbulkan toksisitas potensial.
Deksa harus diberikan sebelum dosis pertama AB dan Hb dan tinja guaiak (pucat)
harus dimonitor untuk mengethui pendarahan saluran cerna.
Pada jam-jam pertama, penderita harus diamati secara intensif karena shock dapat
terjadi setelah penderita mendapat antibiotika. Perlu diingat bahwa mengikuti
perkembangan (monitor) tekanan darah sistolik pada penderita anak-anak tidaklah
memadai untuk dapat mengawasi terjadinya shock. Indikator yang lebih baik adalah:
tekanan darah diastolik yang rendah, pengisian kapiler yang terlambat, ekstrimitas
yang dingin, dan takikardia. Terapi antibiotika harus dimulai sedini mungkin.
Keprihatinan bahwa pemberian antibiotika yang dini menyebabkan bertambah
buruknya keadaan klinik penderita karena antibiotika (terutama dari golongan -
lactam) menginduksi pelepasan endotoksin belum pernah terbukti secara klinis.
Sebaliknya, penundaan terapi antibiotika dapat berakibat meningkatnya proses-proses
bakteriologis dan menyebabkan response peradangan yang berakibat buruk. Bilamana
pemberian antibiotika dilakukan pada waktu penyakit telah berjalan lanjut misalnya
pada saat lesi iskemik telah berjalan, lebih banyak kuman yang dapat lolos dari efek
antibiotika. 2,3
Penanganan shock perlu dilakukan sebaik-baiknya dan secepatnya. Oleh karena
disamping terjadi kebocoran kapiler secara ekstensif, stadium awal FMS juga diikuti
oleh depresi kardiac yang berat sehingga dapat timbul kongesti pulmonal, maka
jumlah pemberian cairan perlu diperhatikan. Secara umum, suport inotropik dan
vasopresif dibutuhkan sejak awal penyakit. Hipoglikemia mungkin ditemukan pada
bayi, dan ini perlu segera dikoreksi. Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan
FMS masih bersifat kontroversial. Sampai awal tahun 1980-an, pemakaian
glukokortikoid secara luas diterima sebagai terapi baku yang dapat menurunkan
angka kematian pada infeksi meningokok .10
Pada keadaan di mana tidak ada ancaman untuk terjadinya hernia serebral atau
shock, pengobatan meningitis meningokok secara relatif lebih sederhana dan hanya
membutuhkan antibiotik parenteral serta pengawasan yang intensif dari penderita.
Penanganan penderita meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu
diagnosa ditegakkan. Penatalaksanaan meningitis bakterial akut terbagi dua yakni
penatalaksanaan konservatif/ medikal dan operatif. 2,8

- Terapi Konservatif/Medikal

a. Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah
dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab.
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan
antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan
dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan
akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah
hasil kultur CSF akan menjadi negatif. 3,6

b. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses,
oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu
kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau
edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik fokal. 23
Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita
meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0,15
mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika.
Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF,
peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan
dari penelitian ini bahwa gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok
yang mendapatkan deksamethason adalah lebih rendah dibandingkan kontrol. Tunkel
dan Scheld (1995) menganjurkan pemberian deksamethason hanya pada penderita
dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan status mental sangat terganggu,
edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping
penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti perdarahan traktus
gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga menjadi peka terhadap
patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF. 7

6. Cluster Headache
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan cluster headache. Tujuan dari pengobatan
adalah membantu menurunkan keparahan nyeri dan memperpendek jangka waktu
serangan. Obat-obat yang digunakan untuk cluster headache dapat dibagi menjadi obat-
obat simptomatik dan profilaksis. Obat-obat simptomatik bertujuan untuk menghentikan
atau mengurangi rasa nyeri setelah terjadi serangan cluster headache, sedangkan obat-
obat profilaksis digunakan untuk mengurangi frekuensi dan intensitas eksaserbasi sakit
kepala.6
Karena sakit kepala tipe ini meningkat dengan cepat, pengobatan simptomatik harus
mempunyai sifat bekerja dengan cepat dan dapat diberikan segera, biasanya
menggunakan injeksi atau inhaler daripada tablet per oral.6
- Pengobatan simptomatik
1. Oksigen
Menghirup oksigen 100 % melalui sungkup wajah dengan kapasitas 7 liter/menit
memberikan kesembuhan yang baik pada 50 sampai 90 % orang-orang yang
menggunakannya. Terkadang jumlah yang lebih besar dapat lebih efektif. Efek dari
penggunaannya relatif aman, tidak mahal, dan efeknya dapat dirasakan setelah
sekitar 15 menit. Kerugian utama dari penggunaan oksigen adalah pasien harus
membawa-bawa tabung oksigen dan pengaturnya, membuat pengobatan dengan
cara ini menjadi tidak nyaman dan tidak dapat di akses setiap waktu. Terkadang
oksigen mungkin hanya menunda daripada menghentikan serangan dan rasa sakit
tersebut akan kembali.6
2. Sumatriptan
Obat injeksi sumatriptan yang biasa digunakan untuk mengobati migraine, juga
efektif digunakan pada cluster headache. Beberapa orang diuntungkan dengan
penggunaan sumatriptan dalam bentuk nasal spray namun penelitian lebih lanjut
masih perlu dilakukan untuk menentukan keefektifannya.6
3. Ergotamin
Alkaloid ergot ini menyebabkan vasokontriksi pada otot-otot polos di pembuluh
darah otak. Tersedia dalam bentuk injeksi dan inhaler, penggunaan intra vena
bekerja lebih cepat daripada inhaler dosis harus dibatasi untuk mencegah
terjadinya efek samping terutama mual, serta hati-hati pada penderita dengan
riwayat hipertensi.6
4. Obat-obat anestesi local
Anestesi lokal menstabilkan membran saraf sehingga sel saraf menjadi kurang
permeabilitasnya terhadap ion-ion. Hal ini mencegah pembentukan dan
penghantaran impuls saraf, sehingga menyebabkan efek anestesi lokal. Lidokain
intra nasal dapat digunakan secara efektif pada serangan cluster headache.
Namun harus berhati-hati jika digunakan pada pasien-pasien dengan hipoksia,
depresi pernafasan, atau bradikardi.6

Obat-obat profilaksis :
1. Anti konvulsan
Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis pada cluster headache telah
dibuktikan pada beberapa penelitian yang terbatas. Mekanisme kerja obat-obat ini
untuk mencegah cluster headache masih belum jelas, mungkin bekerja dengan
mengatur sensitisasi di pusat nyeri. 6
2. Kortikosteroid
Obat-obat kortikosteroid sangat efektif menghilangkan siklus cluster headache
dan mencegah rekurensi segera. Prednison dosis tinggi diberikan selama beberapa
hari selanjutnya diturunkan perlahan. Mekanisme kerja kortikosteroid pada
cluster headache masih belum diketahui.6

-
Pembedahan
Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster headache kronik
yang tidak merespon dengan baik dengan pengobatan atau pada pasien yang memiliki
kontraindikasi pada obat-obatan yang digunakan. Tindakan pembedahan hanya pada
pasien yang mengalami serangan pada satu sisi kepala saja karena operasi ini hanya
bisa dilakukan satu kali. Sedangkan yang mengalami serangan berpindah-pindah dari
satu sisi ke sisi yang lain mempunyai resiko kegagalan operasi.6
Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster
headache. Prosedur yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang
bertanggungjawab terhadap nyeri.6
Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif (contohnya radio
frekuensi pericutaneus, ganglionhizolisis trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil
mengobati cluster headache. Namun demikian terjadi efek samping berupa diastesia
pada wajah, kehilangan sensoris pada kornea dan anestesia dolorosa.6
Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang lebih sering
digunakan karena kurang invasif. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman
elektroda perangsang dengan menggunakan penunjuk jalan stereostatik di bagian
inferior hipotalamus. Penelitian menunjukkan bahwa perangsangan hipotalamus pada
pasien dengan cluster headache yang parah memberikan kesembuhan yang komplit
dan tidak ada efek samping yang signifikan.6
7. Sifilis
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama
belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin,
makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses
lebih lanjut.2
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.2,3,5
- Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta
sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang
terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.2
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03
unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama
sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari
untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka
tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman
dapat berkembang biak.2
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:2
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi
bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama
kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua
sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.

Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak
dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan.
Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang
pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya
setiap minggu.2
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam serum dapat
bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari
seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai
kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar masuk ke dalam
darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena
penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang
tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pule PAM memberi rasa
nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang
dalam; obat ini kini jarang digunakan.2
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G
benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk
neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta
unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua
100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,
setiap hari selama 10 hari.2

Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.6 Sebab
yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas
akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang coati. Dijumpai sebanyak
50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai due betas jam
pada suntikan penisilin yang pertama.2
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan
berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala,
artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka.8 Gejala lokal yakni afek primer
menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan
menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikan penderita pada S I.2
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada
penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena
edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisms
atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan
fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.2
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan
prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan,
misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga
hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.2

- Antibiotik Lainnya
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengo-
batan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.2
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau
aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15
hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil,
efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin,
yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.2
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang
diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.9
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg sehari
selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v. selama 15
hari.2Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang
sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.10 Dosisnya 500 mg sehari sebagai
dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk. Penyembuhannya
mencapai 84,4%.2 tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk.,
penyembuhannya mencapai 84,4%.2

8. Sindrom Horner
Penatalaksanaan yang sesuai untuk sindroma Horner tergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengeradikasi proses penyakit yang
mendasarinya. Pada banyak kasus, bagaimana pun juga, tatalaksana yang efektif tidak
diketahui. Intervensi pembedahan diindikasikan dan dilakukan berdasarkan etiologi
tertentu, termasuk diantaranya bedah saraf pada sindroma Horner yang terkait aneurisma,
dan juga bedah vaskular untuk penyebab seperti diseksi arteri karotis atau aneurisma.
Daftar Pustaka

1. Optic Nerve. Sumber: http://www.thebrain.mcgill.ca/splash/jpg. Diakses tanggal 8 Juni


2017.
2. Maxine A.P., Stephen J.M, Michael W.R. 2013 Current medical diagnosis and treatment.
McGrawHill. 2013 ;Halaman 979-983

3. Steinsapir KD and Goldberg RA, Traumatic Optic Neuropathies in Clinical


Neuro0ophthalmology, 6th edition, chapter 9, 2004; p;431-443
4. Lee G Andrew and Brazis paul W, Trumatic optic Neuropathies in clinical pathwayin
Neuroophthalmology, an evidence-base aproach 2003;119-26
5. Liesegang T J et al, Traumatic Optic Neuropathy in American Academy of
Ophthalmology section 5 Neuro-Ophthalmology, 2005-2006, p 153-4
6. Christopher I Zoumalan, MD, Traumatic Optic Neuropathy Resident Physician,
Department of Ophthalmology, Stanford University School of Medicine, tersedia pada
http://www.emedicine.com/ent/TOPIC167.HTM diunduh tanggal 28 juli 2008
7. Yu Wai Man P, Griffiths PG, Surgery for traumatic optic neuropathy
http://www.cochrane.org/reviews/en/ab005024.html
8. Yunard A, Nusanti S, Sidik M. Methanol toxic optic neurophaty (characteristic and
evaluation of therapy). Optalmologi Indonesia. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo:
Jakarta; 2016.h. 38-44.
9. Aprianti S, Pakashi RDN, Hardjoeno. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam: Hardjoeno dkk.
Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Penerbit LETHAS, Makasar.2003.
h:353-61.
10. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at http//www.medlineplus.com.
Accessed on may 14, 2010.

Anda mungkin juga menyukai