Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 12 g/dL pada
wanitatak hamil dan kurang dari 10 g/dL selama kehamilan atau masa nifas. Centers for
Disease Contrtol and Prevention (1998) mendefinisikan anemia pada wanita hamil yang
mendapat suplemen besi dengan menggunakan batas patokan (cutoff) persentil 11 g/dL. Pada
trimester pertama dan ketiga dan 10,5 g/Dl pada trimester kedua.1

Wanita hamil rentan mengalami berbagai kelainan darah yang dapat mengenai setiap
wanita usia subur. Kelainan-kelainan ini mencakup penyakit kronik, misalnya anemia
herediter, trombositopenia imunologis, dan keganasan, termasuk leukemia dan limfoma.
Penyakit-penyakit lain muncul selama kehamilan karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang
ditimbulkan oleh kehamilan, dua contohnya adalah anemia defisiensi besi dan anemia
megaloblastik. Kehamilan juga dapat menyebabkan munculnya penyakit-penyakit
hematologis yang selama ini tersembunyi, misalnya anemia hemolitik terkompensasi akibat
hemoglobinopat atau cacat membran sel darah merah. Penyakit darah juga dapat muncul
pertama kali saat hamil, misalnya hemolisis autoimun atau anemia aplastik.1

Frekuensi anemia selama kehamilan bergantung terutama pada status besi sebelumnya
dan suplementasi prenatal. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada wanita miskin dan
dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Sebanyak 22 persen wanita hamil di Cina mengalami
anemia pada trimester pertama dan terdapat penelitian yang mendapatkan dari 59.248
kehamilan 27%nya mengelami anemia pascapartum. Di Amerika Serikat dilaporkan rerata
kadar hemoglobin wanita hamil aterm sebesar 12,7 g/dL pada wanita yang mendapat
suplemen besi dan sebesar 11,2 pada yang tidak mendapatkan suplemen besi. 1 Di Indonesia
pada tahun 2013 angka anemia dalam kehamilan mencapai 37,1% ibu hamil di Indonesia.2

Terdapat studi yang mempelajari 27.000 wanita hamil, mendapatkan hasil terdapat
peningkatan ringan risiko persalinan kurang bulan pada anemia midtrisemester. Terdapat juga
penelitian yang mendapatkan hasil konsentrasi hemoglobin trimester pertama yang rendah
meningkatkan risiko berat lahir rendah, persalinan kurang bulan, dan bayi kecil. Penelitian
lain mendapatkan bahwa insiden persalinan kurang bulan dan berat lahir rendah meningkat
seiring keparahan anemia. Terdapat bukti bahwa anemia mempengaruhi vaskularisasi
plasenta dengan mengubah angiogenesis selama awal kehamilan.1
Anemia pada kehamilan sering didapati dan meningkatkan berbagai risiko pada kehamilan.
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan penanganan yang tepat. Oleh karena itu dibutuhkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang baik dari tenaga kesehatan.1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. DU
Umur : 32 tahun
Alamat : RT. 15/RW. 05, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Buay Madang
Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 17 Agustus 2016 pukul 17:48 WIB
No. RM : 966749

II. ANAMNESIS (Tanggal 16 Juli 2016)


Keluhan Utama
Hamil kurang bulan dengan badan lemas
Keluhan tambahan
Mata berkunang, sering merasa pusing dan berdebar-debar
Riwayat Perjalanan Penyakit
5 hari SMRS, Os mengeluh badan terasa lemas dan sering merasa pusing, mata
berkunang-kunang (+), telinga berdenging (+), berdebar-debar (+), sering merasa
pusing (+), nyeri sendi (+), lebam pada badan (-), Os didiagnosis menderita SLE sejak
4 tahun lalu dan rutin minum obat metilprednisolon dan cellcept.
Os juga merasakan nyeri perut menjalar ke pinggang (+) masih jarang dan
hilang timbul, riwayat keluar air-air (-), riwayat keluar lendir bercampur darah (-),
riwayat perdarahan (-), riwayat keputihan (-), mual (-), muntah (-), gerakan janin masih
dirasakn (+). Os berobat ke Sp.OG dan dinyatakan hamil belum cukup bulan dengan
badan lemah, Os lalu dirujuk ke RSMH.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit SLE dan anemia (+) sejak 4 tahun yang lalu. Os berobat ke
spesialis penyakit dalam dan dinyatakan menderita SLE serta anemia hemolitik
autoimun
- Riwayat darah tinggi pada kehamilan sebelumnya (+)
- Riwayat darah tinggi (+)
- Riwayat kencing manis (-)
Riwayat Dalam Keluarga
- Riwayat SLE dalam kelurga (-)
- Riwayat anemia pada keluarga (-)
- Riwayat darah tinggi pada keluarga (+)
Status Sosial Ekonomi : Menengah ke atas
Status Gizi : Berlebih
Nafsu makan berkurang namun tidak ada gangguan
pada maupun defekasi. Selama hamil Os mengaku
mengkonsumsi sayur-sayuran setiap hari, dan memakan
menu yang bervariasi setiap hari, os juga sering
mengkonsumsi tablet besi dan suplemet yang diberikan
oleh Sp.OG.
BMI : 28,13 (overweight)
Status Perkawinan : Menikah, 1 kali, lamanya 10 tahun
Status Reproduksi : Menarche umur 12 tahun, haid teratur, siklus 28 hari
lamanya 5-6 hari, Os lupa kapan hari pertama haid
terakhir
Status Persalinan : G4P3A0
Anak ke-1 : 2006, aterm, perempuan, 2800 gram, lahir spontan dengan bidan, sehat
Anak ke-2 : 2007, aterm, perempuan, 2700 gram, lahir spontan dengan bidan, sehat
Anak ke-3 : 2014, 1200 gram, perempuan, RSU Blitang, SC, meninggal, SLE
Anak ke-4 : Hamil sekarang

III. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 16 Juli 2016)


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 65 kg
TB : 152 cm
Tekanan Darah : 160/90mmHg
Nadi : 94x/ menit, regular, isi/kualitas cukup
Respirasi : 22x/menit, reguler
Suhu : 36,6oC

PEMERIKSAAN KHUSUS
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+).
Hidung : Kavum nasi dextra et sinistra lapang, sekret (-), perdarahan(-)
Telinga : Liang telinga lapang
Mulut : Perdarahan di gusi (-), sianosis sirkumoral (-), mukosa mulut dan
bibir pucat (+), fisura (-), cheilitis (-).
Lidah : Atropi papil (-), mukosa lidah dehidrasi (-)
Faring/Tonsil : Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-T1, tonsil tidak
hiperemis, detritus (-).

LEHER
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, JVP
(5-2) cmH2O

THORAX
- PARU
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi intercostal, subkostal,
suprasternal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler normal di kedua lapangan paru, ronkhi (-), wheezing (-).
- JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, tidak ada thrill
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 94x/menit, regular, BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, tumor (-), scar (+), bekas SC (+), tinea gravidum (-), strie
albicans (+)
Lihat pemeriksaan obstetrik

EKSTREMITAS
Akral dingin (+), pucat (+), koilonikia (-), edema pretibial (-/-)

PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar
Datar, lemas, tinggi fundus uteri 1/2 pusat simpisis (16 cm), DJJ 142 x/menit, massa (-),
nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher
Mukosa licin, porsio lunak, OUE tertutup, nyeri goyang (-), CUT teraba 16 minggu,
adneksa kanan/kiri lemas, kavum douglas tidak menonjol

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN


Pemeriksaan Laboratorium (16 Juli 2016)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hb 5,3 mg/dl 11,4-15,0 mg/dl
RBC 1,53 juta/m3 4,0-5,7 juta/m3
WBC 9,5 x 103/m3 4,73-10,89 x 103/m3
Ht 16% 35-45 %
Trombosit 163.000/m3 189-436 x 103/m3
MCV 103,9 85 - 95 fL
MCH 35 28 32 pg
MCHC 33 33 35 g/dL
LED 5 < 20 mm/jam
Diff. Count
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 0 1-6%
Netrofil 82 50-70%
Limfosit 13 20-40%
Monosit 5 2-8%
Retikulosit 9,6 0,5-1,5
KIMIA DARAH
Hati
Bilirubin total 0,33 0,1 1,0 mg/dL
Bilirubin direct 0,1 0 0,2 mg/dL
SGOT 27 0-32 U/L
SGPT 11 0-31 U/L
Protein total 5,4 6,4-8,3 g/dL
Albumin 3,3 3,5-5,0 g/dL
Ginjal
Ureum 43 < 50 mg/dL
Kreatinin 0,95 0,5-0,9 mg/dL
Lupus
ANA test 1/1000 <1/1000
Anti ds-DNA 304,61 0-200 unit/mL
URINALISIS
Urine lengkap
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.020 1.003 1.030
pH (urine rutin) 6.0 69
Protein Positif ++ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah Positif +++ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 1 0.1 1.8
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Esterase Positif ++ Negatif
SEDIMEN URIN
Epitel Negatif Negatif
Lekosit 01 05
Eritrosit 01 01
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Mukus Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

Pemeriksaan USG
- Tampak janin gameli hidup dan mati intrauterin
- Biometri:
BPD : 3,62 cm
HC : 12,5 cm
AC : 10,95 cm
FL : 2,93 cm
EFW : 176 gr
- Plasenta di fundus uteri
- Lamda sign positif

V. DIAGNOSIS KERJA
G4P3A0 hamil 17 minggu dengan riwayat SLE + hipertensi stage II + anemia berat +
bekas SC 1x Janin gameli hidup mati intrauterine

VI. PROGNOSIS
Prognosis Ibu : dubia ad bonam
Prognosis Janin : dubia ad malam

VII. TATALAKSANA
Observasi denyut jantung janin dan tanda vital ibu
IVFD RL gtt xx/menit
Tranfusi WBC 600 cc
Metilprednisolon 2x8 mg tab p.o
Metildopa 2x500 mg tab p.o
Omeprazol 1x20 mg cap p.o
Folamil genio 1x1 cap p.o
Cal 95 1x1 cap p.o

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anemia dalam Kehamilan


3.1.1. Definisi
Anemia dalam kehamilan merupakan masalah kesehatan global, dan memengaruhi
hampir dari setengah dari jumlah wanita hamil di dunia. 15 Anemia secara umum
didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin atau sel darah merah
dibandingkan nilai normal.16 Anemia dalam kehamilan didefinisikan sebagai kondisi ketika
hemoglobin dan hematokrit lebih rendah dari 11% dan 33% pada trimester pertama, lebih
rendah dari 10,5% dan 32% pada trimester kedua, dan lebih rendah dari 11% dan 33%
pada trimester ketiga.17,18 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), anemia
selama kehamilan didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang berada <11 g/dl dan
pada kasus anemia berat didapatkan konsentrasi hemoglobin kurang dari 7 g/dl. 2 CDC US
mendefinisikan anemia dalam kehamilan sebagai tingkatan hemoglobin yang kurang dari
11g/dl atau hematokrit kurang dari 33%. 1 Pada wanita hamil terjadi kondisi hemodilusi
sehingga terdapat perbedaan nilai batas hemoglobin normal pada wanita hamil dengan
wanita tidak hamil.18
Status kehamilan Hemoglobin Hematokrit
(g/dL) (%)
Hamil
Trimester 1 11,0 33
Trimester 2 10,5 32
Trimester 3 11,0 33
Tabel 1. Nilai batas untuk anemia pada kehamilan3

3.1.2. Patofisiologi
Banyak adaptasi yang terjadi pada wanita untuk mengakomodasi kehamilan. Salah
satu perubahan mendalam yang terjadi adalah interaksi kompleks antara ginjal, sistem
hematologis, dan sistem endokrin untuk menyiapkan kehilangan darah yang terduga yang
terjadi selama proses persalinan. Retensi cairan dimulai di awal kehamilan dengan
terjadinya produksi sel darah merah yang tertinggal yang menyebabkan anemia fisiologis
selama kehamilan pada sebagian besar wanita.15
Sebagai respons terhadap perubahan awal homeostatis ginjal, volum darah ibu
mulai meningkat pada kehamilan minggu ke-6. Volum darah ibu dapat meningkat secara
cepat mungkin disebabkan oleh perubahan RAAS yang menyebabkan perubahan osmotic
set-point. Volum plasma akan terus meningkat hingga trimester ketiga kehamilan dengan
puncak pada 32 hingga 34 minggu kehamilan. Rata-rata kehamilan akan dapat
meningkatkan 50% volum darah, yang terjadi ekspansi volum plasma dan massa sel darah
merah. Meskipun begitu, produksi sel darah merah tidak dapat terjadi secara cepat.
Karena produksi sel darah merah yang tertinggal terjadi proporsi yang tidak sesuai
meningkat pada volum intravaskuler menyebabkan yang disebut dengan anemia fisiologis
selama masa kehamilan. Masa sel darah merah meningkat hingga 25% (300 mL) pada
bulan terakhir kehamilan. Hidremia kehamilan pertama kali diajukan oleh ahli kedokteran
Jerman dan Prancis pada taun 1830 dan secaara resmi diumumkan pada tahun 1834 oleh
Dieckmann dan Wegner yang menyebutkan bahwa volum plasma, massa sel darah merah,
dan kadar hemoglobin pada beberapa interval sepanjang kehamilan dan diamati terdapat 3
parameter yang meningkat selama masa gestasi, peningkatan volum plasma lebih besar
dibandingkan massa sel darah merah dan kadar hemoglobin.15
Setelah persalinan, kadar hemoglobin berfluktuasi dan kemudian naik menjadi kadar
seperti keadaan tidak hamil. Besarnya peningkatan kadar hemoglobin pada masa nifas
adalah hasil dari banyaknya hemoglobin yang meningkat dalam masa kehamilan dan
banyaknya kehilangan darah saat persalinan.17

Gambar 1. Perubahan volum darah selama masa kehamilan

3.1.3. Epidemiologi
Secara global, terdapat lebih dari 2 miliar penduduk dengan kadar hemoglobin yang
berada di bawah nilai rujukan normal WHO (WHO, 1992). Hal ini terutama terjadi pada
wanita-wanita hamil, khususnya pada negara berkembang, yang mana lebih dari
setengahnya mengalami kondisi anemis (UNCF, 2011). Asia memiliki angka penderita
anemia tertinggi di dunia (WHO, 1992). Kira-kira setengah dari dunia, wanita-wanita yang
mengalami kondisi anemis ini tinggal di Asia dan 88% dari mereka mengalami kondisi
anemia selama kehamilan. Angka yang cukup tinggi ini terjadi pada negara-negara
berkembang disebabkan oleh infeksi malaria dan parasit yang pada kondisi lanjut dapat
menyebabkan kehilangan darah kronis dan menurunkan intake besi.16
Anemia adalah salah satu komplikasi yang paling sering ditemukan yang
berhubungan dengan kehamilan. Anemia ini terjadi penurunan konsentrasi dari
hemoglobin sehingga dapat menyebabkan penurunan kapasitas darah yang mengangkut
oksigen. Hal ini bisa terjadi dalam kondisi relatif atau absolut. 19 Lebih dari setengah dari
seluruh wanita di seluruh dunia mengalami anemia selama kehamilan. Anemia dalam
kehamilan merupakan salah satu faktor pada 40% kematian ibu di negara berkembang. 17
Frekuensi anemia dalam kehamilan bergantung pada status besi dalam tubuh sebelumnya
dan suplementasi pada saat prenatal.20 Kejadian anemia dalam kehamilan pada negara
berkembang masih tinggi yaitu sekitar dua pertiganya. Menurut WHO (2001), jumlah
penderita anemia selama kehamilan di Asia Tenggara adalah 24.8 juta. Angka tersebut
merupakan angka tertinggi di seluruh dunia.20

3.1.4. Etiologi
Perubahan fisiologis normal selama masa kehamilan dapat berpengaruh pada
hematokrit dan paramter tertentu lainnya, seperti hemoglobin, retikulosit, plasma feritin,
dan kapasitas unsaturated iron-binding, sehingga untuk mendiagnosis anemia juga
menentukan etiologi yang mendasarinya itu adalah suatu tantangan.19 Secara global,
patologi paling penting sebagai penyebab anemia selama kehamilan adalah defisiensi besi
yang meningkat sebagai konsekuensi meningkatnya kebutuhan janin terhadap besi selama
di dalam kandungan.15 Anemia defisiensi besi dan defisiensi folat adalah 2 jenis anemia
yang biasa ditemukan pada wanita-wanita yang melakukan diet yang tidak adekuat dan
bagi waita hamil yang tidak mendapatkan asupan besi prenatal dan suplemen folat. 19 Pada
negara non-industri, cacing tambang, parasit malaria, human immunodeficiency virus
(HIV) dan defisiensi folat dan mikronutrien lain dapat berkontribusi dalam terjadinya
anemia selama masa kehamilan. Komplikasi yang dihubungkan dengan kehamilan,
termasuk di sini sepsis, infeksi, preeklampsia, keganasan, kegagalan sumsum tulang, juga
dapat mendukung terjadinya anemia.15
Kasus anemia paling banyak baik itu anemia relatif atau absolut disebabkan oleh
defisiensi nutrisi. Defisiensi nutrisi ini pun dapat bermacam-macam yang sehingga dapat
menyebabkan terjadinya anemia, dapat pula didukung dengan kondisi adanya infeksi,
nutrisi yang buruk secara umum ataupun kondisi hemoglobinopati yang merupakan
kondisis herediter. Namun, hampir 75% kasus anemia yang didagnosis selama kehamillan
disebabkan oleh defisiensi besi. Anemia defisiensi ini merupakan masalah yang ditemui
pada populasi yang luas di negara berkembang.19
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada ibu hamil:16
1. Umur Ibu
Didapatkan bahwa ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun menderita anemia menderita anemia yaitu sebesar 74,1% dan ibu hamil yang berumur
20 35 tahun menngalami anemia yaitu sebesar 50,5%.
2. Paritas
Pada penelitian ini didapatkan bahwa ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai
resiko 1,6 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan dengan ibu dengan
paritas rendah. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa ibu dengan paritas tinggi lebih
tinggi mengalami anemia dibandingkan ibu dengan paritas rendah.
3. Jarak kehamilan
Sama halnya dengan paritas, jarak kehamilan juga ternyata cenderung dapat
menyebabkan kondisi anemia selama kehamilan. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi fisiologis
tubuhnya. Anemia selama masa kehamilan dapat terjadi karena cadangan zat besi ibu hamil
yang belum berada dalam status normal.
4. Pendapatan perbulan
Pendapatan tentu berpengaruh dalam terjadinya anemia atau tidak. Pada penelitian
yang dilakukan pada beberapa negara, Tanzania, Nigeria, Indonesia, Filipina, dan
Banglades, disebutkan bahwa kebutuhan makanan-makanan yang bergizi seperti telur,
daging, dan hati seharusnya meningkat pada ibu hamil, namun pada kondisi-kondisi
tertentu (dalam hal ini tingkat pendapatan yang rendah) menyebabkan konsumsi makanan-
makanan ini menjadi terbatas pula.

5. Pendidikan
Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang di derita
masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak dijumpai di daerah pedesaan dengan
malnutrisi atau kekurangan gizi. Semua hal ini dipengaruhi oleh status pendidikan yang
rendah.

3.1.5. Gejala dan tanda


Gejala dan tanda anemia pada kehamilan tidak menunjukkan tanda yang spesifik,
sama seperti tanda dan gejala anemia secara umum. Menurut UNCF (2001) penderita
anemia dalam kehamilan akan mengeluhkan kelelahan, kelemahan, palpitasi, tekanan
darahh rendah, sesak napas, pucat, dan sakit kepala berat. Pada kondisi anemia yang berat
akan ditemukan gejala-gejala seperti perubahan warna feses, nyeri dada, serangan jantung,
denyut jantung meningkat, pingsan, pembesaran limpa, jaundice. Tanda-tanda seperti
memar, jaundice, demam, pembesaran organ perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
unutk mengetahui penyebab yang serius dari anemia itu sendiri.16

3.1.6. Klasifikasi Anemia dalam Kehamilan


Terdapat beberapa metode dalam mengklasifikasikan anemia: berdasarkan
patogenesisnya, manifestasi klinis, dan morfologi sel darah merah.
1. Klasifikasi patogenesis
Secara patogenesis, anemia dibagi menjadi 2 penyebab yang berhubungan dengan
sumsum tulang: hiporegenerasi dan regenerasi. Pada anemia hiporegenerasi terdapat
kegagalan dalam meningkatkan baik itu retikulosit atau eritrosit dibandingkan
meningkatkan eritropoeietin. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dari kerja sel punca
pluripoten yang pada akhirnya menghasilkan kondisi pansitopenia. Hal ini berujung
pada mielodisplasia, leukemia, fibrosis, dan beberapa penyakit infeksius dan kelainan
herediter. Pada anemia regenerasi terjadi respons terhadap kehilangan eritrosit baik itu
akut ataupun kronik. Terjadi peningkatan produksi eritropoeietin yang dapat
meningkatakna eritrosit dan retikulosit. Jumlah retikulosit dapat membantu untuk
menyingkirkan penyebab anemia dengan penurunan respon terhadap sumsum tulang.
Hal ini juga dapat membantu ketika didapatkan nilai MCV yang normal.

2. Klasifikasi berdasarkan sel darah merah


WHO mengklasifikasikan anemia berdasarkan morfologi dari sel darah merah
(normositer, mikrositer, dan makrositer) yang digunakan secara luas karena lebih mudah
untuk digunakan setelah didapatkan hasil analisa dari laboratorium. MCV digunakan untuk
mendiferensiasikan ketiga jenis anemia ini. Berikut pembagian jenis anemia berdasarkan
nilai MCV:
Nilai MCV Jenis Anemia
<82 fL Mikrositer
82-98 fL Normositer
>98 fL Makrositer
MCV ini berhubungan dengan MCH yaitu rata-rata hemoglobin per sel darah merah
(nilai normal 27-32 pg). Anemia mikrositer juga hipokrom dan kebanyakan anemia
makrositer adalah hiperkromik.
a. Anemia mikrositer
Anemia mikrositer ini terjadi karena kegagalan sintesis hemmoglobin atau insufisiensi
hemoglobin. Penyebab anemia ini digolongkan ke dalam 3 kategori: defisiensi sintesis
heme, defisiensi sintesis globin, defek sideroblastik anemia yang termasuk dalam
kelompok ini adalah:
1. Defisiensi sintesis heme:
- Defisiensi besi
Defisiensi zat besi paling sering dijumpai pada kehamilan dan diketahui
merupakan penyebab anemia non fisiologis yang paling sering selama kehamilan.
Prevalensi defisiensi zat besi berkisar antara 16%-55% pada wanita hamil selama
trimester ketiga kehamilan. Hal ini sebagian menunjukkan penggunaan zat besi oleh
fetus, sebagian lagi mencerminkan defisiensi zat besi yang telah ada sebelumnya. .
( Means Jr, 2009) Kriteria biasa untuk mendiagnosis defisiensi zat besi dianggap
valid juga untuk kehamilan termasuk: ( Means Jr, 2009) 1. Pengurangan Mean
Corpuscular Volume (MCV) 2. Pengurangan saturasi serum transferrin menjadi
16% 3. Pengurangan konsentrasi serum transferrin.
- Anemia penyakit kronis
2. Defisiensi sintesis globin
- Thalasemia alfa dan beta
- Penyakit sickle cell
- Defek HbE
- Defek HbC
- Defek sideroblastik
- Anemia sideroblastik herediter
- Anemia sideroblastik didapat
b. Anemia normositer
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi
penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin
(Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 101 fl, MCH 23 31 pg , MCHC 26
35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
Anemia normositer ini terjadi ketika indeks sel darah merah dalam rentang
normal. Pada kehamilan normal terjadinya kenaikan volum darah yang dapat
menyebabkan terjadinya kondisi anemia dilusional. Kelainan herediter dari membran
sel darah merah (sferositosis eliptositosis) dan defisiensi enzim pembentuk sel darah
merah ( G6PD, piruvat kinase), hemolitik, perdarahan akut, anemia aplastik juga
dapat menyebabkan anemia normositer.
c. Anemia makrositer
Anemia makrositer digolongkan menjadi megaloblastik dan nonmegaloblastik.
Anemia megaloblastik berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 atau folat dan
ditandai dengan neutrofil hipersegmentasi. Secara normal neutrofil berkembang
dengan banyak segmen, pada hipersegmentasi terdapat 6 atau lebih segmen pada
neutrofil. Sel darah merah pada anemia jenis ini berbentuk makro-oval.

3.1.7. Diagnosis
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah, peningkatan
penghancuran atau kehilangan sel darah merah. Pemeriksaan anemia pada kehamilan sama
halnya dengan pemeriksaan anemia secara umum. Dibutuhkan anamnesiss dan
pemeriksaan fisik yang lengkap juga mencakup pertanyaan tentang onset, durasi, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, asupan makanan, paparan lingkungan, dan
riwayat pengobatan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui etiologi yang mendasari dan
jenis anemia itu. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan kadar
hemoglobin dan darah tepi.
Gambar 2. Alur diagnosis Anemia dalam kehamilan

3.1.8. Komplikasi5
a. Efek Anemia Terhadap Ibu
Anemia berat memiliki efek lebih lanjut terhadap ibu dan janin. Juga, terdapat bukti
yang menunjukkan anemia berat berhubungan dengan keluaran kehamilan yang buruk.
Komplikasi maternal yang parah secara langsung berhubungan dengan ibu hamil dengan
kadar hemoglobin 6gr/dl. Kadar Hb yang lebih rendah dapat menyebabkan moriditas lain
pada ibu hamil, seperti infeksi dan masalah kesehatan lainnya. Tanda dan gejala yang
dapat ditemui pada kondisi seperti ini seperti sakit kepala, kelelahan, letargis, parestesia,
takikardia, takipnea, pucat, glositis, dan cheilitis. Pada beberapa kasus ibu hamil dengan
anemia berat akan berujung pada gagal jantung dan penurunan oksigenasi jaringan. Pada
anemia defisiensi besi yang berat atau anemia methemorragic dapat menyebabkan
komplikasi kehamilan seperti plasenta previa atau solusio plasenta, persalinan dengan SC
dan Post Partum Hemorrhage (PPH).
b. Dampak anemia terhadap janin
Banyak indikasi yang menyebutkan anemia berat selama kehamilan berhubungan
dengan persalinan yang buruk. Beberapa laporan menyebutkan berkurangnya kadar
hemoglobin ibu dapat menyebabkan prematuritas, abortus spontan, berat lahir yang
rendah, dan kematian janin. Beberapa peneliti percaya bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara kondisi anemia dengan kejadian fetal distress. Anemia pada ibu dapat
menyebabkan masalah pada plasenta dimana pada akhirnya plasenta tidak memberikan
darah yang cukup untuk janin.

III.2. Lupus Eritematous Sistemik


III.2.1.Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit rematik autoimun
yang ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Kondisi ini dipengaruhi oleh deposisi auto-antibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh. (Isbagio, Harry. Dkk. Buku
ajar PDL). Pasien SLE dapat memiliki berbagai macam keluhan, seperti pada kulit,
membran mukosa, sendi, ginjal, komponen hematologik, sistem saraf pusat, sistem
retikuloendotelial, sistem pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini umumnya menyerang
wanita pada usia muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif
dengan rasio wanita dan pria 5:1 (Oktaria, Salma. 2010).

3.2.2. Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Prevalensi SLE pada berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada
berbagai populasi yang berbeda-beda bevariasi antara 2,9/100.000-400/100.000.
SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti pada ras negro, Cina, dan
juga Filipina. SLE juga memiliki tendensi familial. Faktor ekonomi dan geograf
tidak memengaruhi distribusi penyakit.
SLE umumnya dapat ditemukan pada segala kategori usia, namun SLE
paling banyak dijumpai pada usia produktif yaitu usia 15-40 tahun. Frekuensi
terjadinya SLE pada wanita dibanding pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.
3.2.3. Etiopatologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Namun diduga SLE melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.
Faktor genetik diduga memiliki peranan yang penting pada predisposisi penyakit ini.
Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA)
mempengaruhi manifestasi klinis yang ditimbulkan dari SLE. Adanya gangguan dalam
mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel yang apoptosis dan
kompleks imun memberikan peranan penting dalam perkembangan penyakit ini.

Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban antigenik (antigenic load), bantuan sel
T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T-Helper 1 (Th1)
ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon
imun yang terpapar faktor eksternal seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam
periode yang cukup lama juga dapat menyebabkan disregulasi sistem imun.
Studi lain mengenai faktor genetik yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-
kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q (Silva C,
Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt Pharm
2001;7:1-7.). Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun
oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
Faktor lain yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (McMurry RW, May W (2003) Sex
hormones and systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2003;48:2100-10).
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-
DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit
dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh
aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk
kulit dan ginjal.

3.2.3. Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Penegakkan diagnosis SLE menggunakan gambaran klinik dan laboratorium. Batasan
operasional diagnosis SLE yang digunakan diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria
(definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the
American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997.
Tabel. 3 Kriteria Penegakkan diagnosis SLE berdasarkan American College of Rheumatology
(ACR)
Kriteria Batasan
Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratolitik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serosis
Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura, atau
Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
b. Silinder seluler: - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit), atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologi a. Anemia hemoltik dengan retikulosis, atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
pengaruh obat-obatan.
Gangguan immunologi a. Anti-DNA: anti bodi terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal atau
b. Anti -Sm: terdapatnya anti bodi terhadap anti gen nuklear
Sm atau
c. Temuan positif terhadap anti bodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas: 1) kadar serum anti bodi anti kardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus anti koagulan
positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes
serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
positif (ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada
setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.
American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997.
Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

3.2.4. Diagnosis Banding Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjgren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis

3.3. Penatalaksanaan
3.3.3. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Edukasi pasien dan konseling keluarga mengenai penyakit SLE, termasuk penyebab,
terapi, berserta komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan sangat penting dilakukan.
Edukasi diberikan dengan tujuan untuk memotivasi pasien dan meningkatkan dukungan
keluarga untuk kesembuhan pasien.
Program rehabilitasi dapat berupa tirah baring, terapi fisik, terapi dengan modalitas, dan
penggunaan ortotik.

3.3.4. Penatalaksanaan Farmakologis


Penggunaan kortikosteroid merupakan lini pertama pada kasus SLE. Pemilihan jenis
dan dosis kortikosteroid sangat tergantung dari keadaan klinis pasien. Berdasarkan dosisnya,
pemberian kortikosteroid dibedakan menjadi empat derajat, yakni:
1. Dosis rendah: setara 7,5 mg prednison/hari, diberikan pada SLE ringan.
2. Dosis sedang: setara >7,5 mg prednison/hari, tetapi 30 mg prednison/hari,
diberikan pada SLE ringan atau aktif.
3. Dosis tinggi: setara >30 mg prednison/hari, tetapi 100 mg prednison/hari, diberikan
pada SLE aktif.
4. Dosis sangat tinggi: setara >100 mg prednison/hari, diberikan pada SLE krisis akut,
vaskulitis luas, lupus nefritis, lupus serebral.
5. Terapi pulse: setara 250 mg prednison/hari, diberikan pada SLE dengan krisis
akut.
6. Pada kasus SLE berat/mengancam nyawa, kortikosteroid diberikan dosis tinggi 1
mg/KgBB/hari prednison(atau yang setara) selama 4-6 minggu, kemudian
diturunkan secara bertahap. Pemberian kortikosteroid didahului dengan injeksi
metilprednisolon intravena 500 mg 1 gram selama 3 hari berturut-turut.
Pada penderita SLE dapat juga diberikan kombinasi obat simtomatik, antiinflamasi, dan
immunomodulator:
1) Analgetik, berupa parasetamol peroral dosis 3x500 mg.
2) Antiinflamasi, berupa NSAID dan kortikosteroid dosis rendah
3) Anti-malaria, berupa klorokuin basa 3,5-4,0 mg/KgBB/hari (150-300 mg/hari).
Pada penderita SLE derajat berat juga dapat diberikan agen sitotoksik seperti azatioprin,
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, dan mikofenolat mofetil. Terapi suportif yang
diberikan sesuai dengan komplikasi organ yang terlibat, oleh karena itu penanganan SLE
perlu dilakukan secara multidisiplin.

Anda mungkin juga menyukai