PENDAHULUAN
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 12 g/dL pada
wanitatak hamil dan kurang dari 10 g/dL selama kehamilan atau masa nifas. Centers for
Disease Contrtol and Prevention (1998) mendefinisikan anemia pada wanita hamil yang
mendapat suplemen besi dengan menggunakan batas patokan (cutoff) persentil 11 g/dL. Pada
trimester pertama dan ketiga dan 10,5 g/Dl pada trimester kedua.1
Wanita hamil rentan mengalami berbagai kelainan darah yang dapat mengenai setiap
wanita usia subur. Kelainan-kelainan ini mencakup penyakit kronik, misalnya anemia
herediter, trombositopenia imunologis, dan keganasan, termasuk leukemia dan limfoma.
Penyakit-penyakit lain muncul selama kehamilan karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang
ditimbulkan oleh kehamilan, dua contohnya adalah anemia defisiensi besi dan anemia
megaloblastik. Kehamilan juga dapat menyebabkan munculnya penyakit-penyakit
hematologis yang selama ini tersembunyi, misalnya anemia hemolitik terkompensasi akibat
hemoglobinopat atau cacat membran sel darah merah. Penyakit darah juga dapat muncul
pertama kali saat hamil, misalnya hemolisis autoimun atau anemia aplastik.1
Frekuensi anemia selama kehamilan bergantung terutama pada status besi sebelumnya
dan suplementasi prenatal. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada wanita miskin dan
dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Sebanyak 22 persen wanita hamil di Cina mengalami
anemia pada trimester pertama dan terdapat penelitian yang mendapatkan dari 59.248
kehamilan 27%nya mengelami anemia pascapartum. Di Amerika Serikat dilaporkan rerata
kadar hemoglobin wanita hamil aterm sebesar 12,7 g/dL pada wanita yang mendapat
suplemen besi dan sebesar 11,2 pada yang tidak mendapatkan suplemen besi. 1 Di Indonesia
pada tahun 2013 angka anemia dalam kehamilan mencapai 37,1% ibu hamil di Indonesia.2
Terdapat studi yang mempelajari 27.000 wanita hamil, mendapatkan hasil terdapat
peningkatan ringan risiko persalinan kurang bulan pada anemia midtrisemester. Terdapat juga
penelitian yang mendapatkan hasil konsentrasi hemoglobin trimester pertama yang rendah
meningkatkan risiko berat lahir rendah, persalinan kurang bulan, dan bayi kecil. Penelitian
lain mendapatkan bahwa insiden persalinan kurang bulan dan berat lahir rendah meningkat
seiring keparahan anemia. Terdapat bukti bahwa anemia mempengaruhi vaskularisasi
plasenta dengan mengubah angiogenesis selama awal kehamilan.1
Anemia pada kehamilan sering didapati dan meningkatkan berbagai risiko pada kehamilan.
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan penanganan yang tepat. Oleh karena itu dibutuhkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang baik dari tenaga kesehatan.1
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. DU
Umur : 32 tahun
Alamat : RT. 15/RW. 05, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Buay Madang
Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 17 Agustus 2016 pukul 17:48 WIB
No. RM : 966749
PEMERIKSAAN KHUSUS
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+).
Hidung : Kavum nasi dextra et sinistra lapang, sekret (-), perdarahan(-)
Telinga : Liang telinga lapang
Mulut : Perdarahan di gusi (-), sianosis sirkumoral (-), mukosa mulut dan
bibir pucat (+), fisura (-), cheilitis (-).
Lidah : Atropi papil (-), mukosa lidah dehidrasi (-)
Faring/Tonsil : Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-T1, tonsil tidak
hiperemis, detritus (-).
LEHER
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, JVP
(5-2) cmH2O
THORAX
- PARU
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi intercostal, subkostal,
suprasternal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler normal di kedua lapangan paru, ronkhi (-), wheezing (-).
- JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, tidak ada thrill
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 94x/menit, regular, BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, tumor (-), scar (+), bekas SC (+), tinea gravidum (-), strie
albicans (+)
Lihat pemeriksaan obstetrik
EKSTREMITAS
Akral dingin (+), pucat (+), koilonikia (-), edema pretibial (-/-)
PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar
Datar, lemas, tinggi fundus uteri 1/2 pusat simpisis (16 cm), DJJ 142 x/menit, massa (-),
nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher
Mukosa licin, porsio lunak, OUE tertutup, nyeri goyang (-), CUT teraba 16 minggu,
adneksa kanan/kiri lemas, kavum douglas tidak menonjol
Pemeriksaan USG
- Tampak janin gameli hidup dan mati intrauterin
- Biometri:
BPD : 3,62 cm
HC : 12,5 cm
AC : 10,95 cm
FL : 2,93 cm
EFW : 176 gr
- Plasenta di fundus uteri
- Lamda sign positif
V. DIAGNOSIS KERJA
G4P3A0 hamil 17 minggu dengan riwayat SLE + hipertensi stage II + anemia berat +
bekas SC 1x Janin gameli hidup mati intrauterine
VI. PROGNOSIS
Prognosis Ibu : dubia ad bonam
Prognosis Janin : dubia ad malam
VII. TATALAKSANA
Observasi denyut jantung janin dan tanda vital ibu
IVFD RL gtt xx/menit
Tranfusi WBC 600 cc
Metilprednisolon 2x8 mg tab p.o
Metildopa 2x500 mg tab p.o
Omeprazol 1x20 mg cap p.o
Folamil genio 1x1 cap p.o
Cal 95 1x1 cap p.o
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2. Patofisiologi
Banyak adaptasi yang terjadi pada wanita untuk mengakomodasi kehamilan. Salah
satu perubahan mendalam yang terjadi adalah interaksi kompleks antara ginjal, sistem
hematologis, dan sistem endokrin untuk menyiapkan kehilangan darah yang terduga yang
terjadi selama proses persalinan. Retensi cairan dimulai di awal kehamilan dengan
terjadinya produksi sel darah merah yang tertinggal yang menyebabkan anemia fisiologis
selama kehamilan pada sebagian besar wanita.15
Sebagai respons terhadap perubahan awal homeostatis ginjal, volum darah ibu
mulai meningkat pada kehamilan minggu ke-6. Volum darah ibu dapat meningkat secara
cepat mungkin disebabkan oleh perubahan RAAS yang menyebabkan perubahan osmotic
set-point. Volum plasma akan terus meningkat hingga trimester ketiga kehamilan dengan
puncak pada 32 hingga 34 minggu kehamilan. Rata-rata kehamilan akan dapat
meningkatkan 50% volum darah, yang terjadi ekspansi volum plasma dan massa sel darah
merah. Meskipun begitu, produksi sel darah merah tidak dapat terjadi secara cepat.
Karena produksi sel darah merah yang tertinggal terjadi proporsi yang tidak sesuai
meningkat pada volum intravaskuler menyebabkan yang disebut dengan anemia fisiologis
selama masa kehamilan. Masa sel darah merah meningkat hingga 25% (300 mL) pada
bulan terakhir kehamilan. Hidremia kehamilan pertama kali diajukan oleh ahli kedokteran
Jerman dan Prancis pada taun 1830 dan secaara resmi diumumkan pada tahun 1834 oleh
Dieckmann dan Wegner yang menyebutkan bahwa volum plasma, massa sel darah merah,
dan kadar hemoglobin pada beberapa interval sepanjang kehamilan dan diamati terdapat 3
parameter yang meningkat selama masa gestasi, peningkatan volum plasma lebih besar
dibandingkan massa sel darah merah dan kadar hemoglobin.15
Setelah persalinan, kadar hemoglobin berfluktuasi dan kemudian naik menjadi kadar
seperti keadaan tidak hamil. Besarnya peningkatan kadar hemoglobin pada masa nifas
adalah hasil dari banyaknya hemoglobin yang meningkat dalam masa kehamilan dan
banyaknya kehilangan darah saat persalinan.17
3.1.3. Epidemiologi
Secara global, terdapat lebih dari 2 miliar penduduk dengan kadar hemoglobin yang
berada di bawah nilai rujukan normal WHO (WHO, 1992). Hal ini terutama terjadi pada
wanita-wanita hamil, khususnya pada negara berkembang, yang mana lebih dari
setengahnya mengalami kondisi anemis (UNCF, 2011). Asia memiliki angka penderita
anemia tertinggi di dunia (WHO, 1992). Kira-kira setengah dari dunia, wanita-wanita yang
mengalami kondisi anemis ini tinggal di Asia dan 88% dari mereka mengalami kondisi
anemia selama kehamilan. Angka yang cukup tinggi ini terjadi pada negara-negara
berkembang disebabkan oleh infeksi malaria dan parasit yang pada kondisi lanjut dapat
menyebabkan kehilangan darah kronis dan menurunkan intake besi.16
Anemia adalah salah satu komplikasi yang paling sering ditemukan yang
berhubungan dengan kehamilan. Anemia ini terjadi penurunan konsentrasi dari
hemoglobin sehingga dapat menyebabkan penurunan kapasitas darah yang mengangkut
oksigen. Hal ini bisa terjadi dalam kondisi relatif atau absolut. 19 Lebih dari setengah dari
seluruh wanita di seluruh dunia mengalami anemia selama kehamilan. Anemia dalam
kehamilan merupakan salah satu faktor pada 40% kematian ibu di negara berkembang. 17
Frekuensi anemia dalam kehamilan bergantung pada status besi dalam tubuh sebelumnya
dan suplementasi pada saat prenatal.20 Kejadian anemia dalam kehamilan pada negara
berkembang masih tinggi yaitu sekitar dua pertiganya. Menurut WHO (2001), jumlah
penderita anemia selama kehamilan di Asia Tenggara adalah 24.8 juta. Angka tersebut
merupakan angka tertinggi di seluruh dunia.20
3.1.4. Etiologi
Perubahan fisiologis normal selama masa kehamilan dapat berpengaruh pada
hematokrit dan paramter tertentu lainnya, seperti hemoglobin, retikulosit, plasma feritin,
dan kapasitas unsaturated iron-binding, sehingga untuk mendiagnosis anemia juga
menentukan etiologi yang mendasarinya itu adalah suatu tantangan.19 Secara global,
patologi paling penting sebagai penyebab anemia selama kehamilan adalah defisiensi besi
yang meningkat sebagai konsekuensi meningkatnya kebutuhan janin terhadap besi selama
di dalam kandungan.15 Anemia defisiensi besi dan defisiensi folat adalah 2 jenis anemia
yang biasa ditemukan pada wanita-wanita yang melakukan diet yang tidak adekuat dan
bagi waita hamil yang tidak mendapatkan asupan besi prenatal dan suplemen folat. 19 Pada
negara non-industri, cacing tambang, parasit malaria, human immunodeficiency virus
(HIV) dan defisiensi folat dan mikronutrien lain dapat berkontribusi dalam terjadinya
anemia selama masa kehamilan. Komplikasi yang dihubungkan dengan kehamilan,
termasuk di sini sepsis, infeksi, preeklampsia, keganasan, kegagalan sumsum tulang, juga
dapat mendukung terjadinya anemia.15
Kasus anemia paling banyak baik itu anemia relatif atau absolut disebabkan oleh
defisiensi nutrisi. Defisiensi nutrisi ini pun dapat bermacam-macam yang sehingga dapat
menyebabkan terjadinya anemia, dapat pula didukung dengan kondisi adanya infeksi,
nutrisi yang buruk secara umum ataupun kondisi hemoglobinopati yang merupakan
kondisis herediter. Namun, hampir 75% kasus anemia yang didagnosis selama kehamillan
disebabkan oleh defisiensi besi. Anemia defisiensi ini merupakan masalah yang ditemui
pada populasi yang luas di negara berkembang.19
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada ibu hamil:16
1. Umur Ibu
Didapatkan bahwa ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun menderita anemia menderita anemia yaitu sebesar 74,1% dan ibu hamil yang berumur
20 35 tahun menngalami anemia yaitu sebesar 50,5%.
2. Paritas
Pada penelitian ini didapatkan bahwa ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai
resiko 1,6 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan dengan ibu dengan
paritas rendah. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa ibu dengan paritas tinggi lebih
tinggi mengalami anemia dibandingkan ibu dengan paritas rendah.
3. Jarak kehamilan
Sama halnya dengan paritas, jarak kehamilan juga ternyata cenderung dapat
menyebabkan kondisi anemia selama kehamilan. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi fisiologis
tubuhnya. Anemia selama masa kehamilan dapat terjadi karena cadangan zat besi ibu hamil
yang belum berada dalam status normal.
4. Pendapatan perbulan
Pendapatan tentu berpengaruh dalam terjadinya anemia atau tidak. Pada penelitian
yang dilakukan pada beberapa negara, Tanzania, Nigeria, Indonesia, Filipina, dan
Banglades, disebutkan bahwa kebutuhan makanan-makanan yang bergizi seperti telur,
daging, dan hati seharusnya meningkat pada ibu hamil, namun pada kondisi-kondisi
tertentu (dalam hal ini tingkat pendapatan yang rendah) menyebabkan konsumsi makanan-
makanan ini menjadi terbatas pula.
5. Pendidikan
Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang di derita
masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak dijumpai di daerah pedesaan dengan
malnutrisi atau kekurangan gizi. Semua hal ini dipengaruhi oleh status pendidikan yang
rendah.
3.1.7. Diagnosis
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah, peningkatan
penghancuran atau kehilangan sel darah merah. Pemeriksaan anemia pada kehamilan sama
halnya dengan pemeriksaan anemia secara umum. Dibutuhkan anamnesiss dan
pemeriksaan fisik yang lengkap juga mencakup pertanyaan tentang onset, durasi, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, asupan makanan, paparan lingkungan, dan
riwayat pengobatan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui etiologi yang mendasari dan
jenis anemia itu. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan kadar
hemoglobin dan darah tepi.
Gambar 2. Alur diagnosis Anemia dalam kehamilan
3.1.8. Komplikasi5
a. Efek Anemia Terhadap Ibu
Anemia berat memiliki efek lebih lanjut terhadap ibu dan janin. Juga, terdapat bukti
yang menunjukkan anemia berat berhubungan dengan keluaran kehamilan yang buruk.
Komplikasi maternal yang parah secara langsung berhubungan dengan ibu hamil dengan
kadar hemoglobin 6gr/dl. Kadar Hb yang lebih rendah dapat menyebabkan moriditas lain
pada ibu hamil, seperti infeksi dan masalah kesehatan lainnya. Tanda dan gejala yang
dapat ditemui pada kondisi seperti ini seperti sakit kepala, kelelahan, letargis, parestesia,
takikardia, takipnea, pucat, glositis, dan cheilitis. Pada beberapa kasus ibu hamil dengan
anemia berat akan berujung pada gagal jantung dan penurunan oksigenasi jaringan. Pada
anemia defisiensi besi yang berat atau anemia methemorragic dapat menyebabkan
komplikasi kehamilan seperti plasenta previa atau solusio plasenta, persalinan dengan SC
dan Post Partum Hemorrhage (PPH).
b. Dampak anemia terhadap janin
Banyak indikasi yang menyebutkan anemia berat selama kehamilan berhubungan
dengan persalinan yang buruk. Beberapa laporan menyebutkan berkurangnya kadar
hemoglobin ibu dapat menyebabkan prematuritas, abortus spontan, berat lahir yang
rendah, dan kematian janin. Beberapa peneliti percaya bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara kondisi anemia dengan kejadian fetal distress. Anemia pada ibu dapat
menyebabkan masalah pada plasenta dimana pada akhirnya plasenta tidak memberikan
darah yang cukup untuk janin.
Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban antigenik (antigenic load), bantuan sel
T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T-Helper 1 (Th1)
ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon
imun yang terpapar faktor eksternal seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam
periode yang cukup lama juga dapat menyebabkan disregulasi sistem imun.
Studi lain mengenai faktor genetik yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-
kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q (Silva C,
Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt Pharm
2001;7:1-7.). Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun
oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
Faktor lain yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (McMurry RW, May W (2003) Sex
hormones and systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2003;48:2100-10).
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-
DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit
dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh
aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk
kulit dan ginjal.
3.3. Penatalaksanaan
3.3.3. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Edukasi pasien dan konseling keluarga mengenai penyakit SLE, termasuk penyebab,
terapi, berserta komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan sangat penting dilakukan.
Edukasi diberikan dengan tujuan untuk memotivasi pasien dan meningkatkan dukungan
keluarga untuk kesembuhan pasien.
Program rehabilitasi dapat berupa tirah baring, terapi fisik, terapi dengan modalitas, dan
penggunaan ortotik.