Anda di halaman 1dari 17

ESSAY GAGASAN PROTOTYPE

Blok Neurobehavior and Special Senses System (NBSS)

Judul

Pengembangan Aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata Sehat) Berbasis


Android dan IOS terhadap Pencegahan Miopi Dini pada Anak
Rentang Usia 5 – 12 Tahun

Disusun oleh:
Intan Nur Aini
130110230162

Kelompok Tutorial 6 Neurobehaviour and Special Senses System:


Chandra Calista, dr., Sp.N
Bilzardy Ferry Zulkifli, dr., SpBS., M.Kes
Dr. Shanti Fitrianti Boesoirie, dr., Sp.M(K)., M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
2023
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Penglihatan Manusia............................................3
2.2 Visual Pathway..........................................................................................3
2.3 Kelainan Refraksi......................................................................................4
BAB 3 TAHAP PELAKSANAAN.........................................................................8
3.1 Ide Gagasan...............................................................................................8
3.2 Fitur-fitur Aplikasi....................................................................................8
3.3 Cara Kerja Aplikasi...................................................................................8
3.4 SWOT........................................................................................................9
3.5 Prediksi Penerimaan Masyarakat............................................................10
3.6 Kolaborasi...............................................................................................10
3.7 Prototype.................................................................................................11
BAB 4 CONCEPTUAL FRAMEWORK.............................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
LAMPIRAN...........................................................................................................15

ii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miopia adalah kelainan refraksi di mana kekuatan pembiasan pada mata
terlalu berlebihan, sehingga ketika sinar sejajar datang, pembiasan akan
dilakukan di depan bintik kuning (fovea). Hal ini membuat nilai objek bias
kurang dari sama dengan 0,50 dioptri di salah satu atau kedua mata. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain bola mata yang memanjang,
kornea yang terlalu melengkung, dan daya optik lensa yang meningkat
(Flitcroft, 2019).
Miopia adalah kelainan refraksi dengan tingkat prevalensi tinggi. WHO
memperkirakan miopia telah memengaruhi 27% populasi di dunia pada tahun
2010 dan sekitar 52% populasi pada tahun 2050 mendatang (Flitcroft, 2019).
Angka kelainan refraksi dan angka kebutaan juga mengalami grafik
peningkatan di Indonesia dengan prevalensi kurang lebih 1,5%. Berdasaran
survey yang diadakan oleh Riskesdas tahun 2013, Jawa Barat dan Jawa
Timur menduduki dua besar provinsi dengan perkiraan kebutaan terbesar
(Yuswanto, 2021).
Miopia sering muncul di rentang usia 11 tahun sampai 20 tahun dengan
prevalensi 23,74%. Sebagian besar subjek hiperopia sebanyak 39,37% dan
astigmatisma sebanyak 21,38% berada di rentang usia 51 tahun hingga 60
tahun (Paramitasari, 2017). Miopia cenderung progresif di masa anak-anak
dan cenderung mulai stabil ketika mereka mencapai usia 20 tahun (Hartanto,
2023). Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi perkembangan miopia
pada anak usia sekolah. Faktor utamanya adalah genetik serta kebiasaan atau
suatu perilaku membaca secara dekat disertai penerangan yang minim. Orang
tua dengan kelainan refraksi juga cenderung menurunkan kelainan tersebut
pada anaknya. Prevalensi akan meningkat pada anak yang kedua orang
tuanya menderita miopia yaitu 32,9%, sedangkan pada anak yang satu orang
tuanya menderita miopia adalah 18,2%, serta kurang dari angka 8,3% pada
anak yang orang tuanya tidak menderita miopia (Komariah, 2014).
Selain faktor di atas, faktor yang akhir-akhir ini muncul adalah pengunaan
alat elektronik seperti gawai, tablet, komputer, dan laptop. Penggunaan gawai
di dunia diperkirakan melebihi angka 1,5 miliar dan diperkirakan kurang
lebih 1 miliar gawai juga terjual pada tahun 2016. Untuk Indonesia,
pengguna gawai menyentuh angka 66,31% berdasarkan data tahun 2017.
Penggunaan smartphone memiliki banyak kekurangan di sisi kesehatan.
Menatap layar gawai yang berukuran kecil dalam jarak dekat dan waktu yang
lama akan membuat mata cepat tegang, cepat lelah, dan timbulnya potensi
penurunan penglihatan (Angmalingsang, 2021).

1
Penggunaan gawai menjadi penyebab keluhan penurunan tajam
penglihatan pada anak yang sering menghabiskan waktu bermain gawai tanpa
pengawasan orang tua. Sebuah penelitian di Spanyol turut menyebutkan
bahwa anak yang waktunya habis untuk bermain gawai di rumah lebih
mudah mengalami penurunan pada ketajaman penglihatan dibandingkan
mereka yang menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. Penelitian lain
yang dilakukan di sini juga memaparkan bahwa perangkat elektronik seperti
gawai akan menurunkan frekuensi kedipan mata, sehingga mata menjadi
kering (Angmalingsang, 2021).
Dari rumusan masalah di atas, langkah preventif awal yang bisa diambil
untuk mengurangi risiko terjadinya miopia dini pada anak-anak yang
disebabkan oleh gawai adalah dengan mengatur jarak penggunaan gawai dan
membatasi waktu penggunannya. Pada tahun 2016 lalu, Samsung pernah
meluncurkan aplikasi sensor jarak mata bagi anak-anak yang bernama Safety
Screen berbasis Android dan tersedia di Google Play Store (Samsung, 2023).
Namun, sayangnya, aplikasi ini sepertinya tidak mencapai target pasar yang
diinginkan sehingga sudah tidak bisa ditemukan lagi di pasaran.
Untuk itu, saya ingin kembali mengembangkan aplikasi serupa tetapi
dengan beberapa tambahan fitur-fitur yang akan melengkapi apikasi tersebut.
REHAT (Rehabilitasi Mata Sehat) adalah aplikasi yang akan dilengkapi
dengan sensor jarak mata sejauh 20 cm dari gawai, pewaktu setiap 20 menit
sekali yang akan mengarahkan anak untuk melihat objek atau benda yang
terletak 20 kaki di depannya selama 20 detik (rule 20-20-20), serta kuesioner
aktif setiap bulan sebagai diagnosis dini miopi pada anak. Selain fitur-fitur
tersebut, pada tabel pengisian data diri akan ada pengarahan pengisian data
riwayat miopia orang tua, sebagai peringatan awal adanya kemungkinan yang
lebih bagi anak untuk turut mengalami miopia.

2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Penglihatan Manusia


Mata dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu dinding mata yang berupa
kornea, sklera, selaput khoroid, korpus siliaris, iris, serta pupil; medium
lewatnya cahaya yang berupa kornea, acqueous humour, lensa, serta vitreous
humour; dan jaringan nervosa yang beupa sel saraf retina (Haeny, 2019).
Bagian mata paling luar adalah sklera, yaitu lapisan yang memiliki
ketebalan sekitar 1mm. Seperenam sklera adalah lapisan bening yang biasa
disebut kornea. Di bagian kornea dalam terdapat iris dan juga pupil. Iris
adalah pengatur terbukanya pupil sesuai jumlah cahaya yang masuk. Di iris
terdapat pigmen dengan jumlah bervariasi yang membuat warna mata berbeda
pada setiap orang. Pupil adalah pengatur cahaya yang masuk ke mata..
Selaput khoroid adalah lapisan berpigmen yang berfungsi untuk memberi
nutrisi. Dan, Korpus siliaris adalah lapisan tebal bercincin yang membentang
dari ora serata sampai ke iris. Korpus siliaris adalah tempat proses akomodasi
terjadi (Haeny, 2019).
Lensa mata adalah bagian mata penerima cahaya pupil, lantas meneruskan
ke retina. Lensa berfungsi sebagai pengatur fokus dari cahaya, sehingga
cahayanya akan jatuh di fovea retina. Selain itu, lensa terletak di tengah iris
dan juga kornea, dipisahkan oleh aquerus humour, yaitu cairan yang
kandungannya mirip serebrospinal. Di bagian belakang mata juga terdapat
cairan serupa, yaitu vitreous humour, yaitu cairan konsistensi kental yang
tersusun dari air dan cairan inukopolisakarida. Fungsinya adalah untuk
membiaskan cahaya supaya jatuh tepat di fovea (Haeny, 2019).
Bagian mata lain yang memegang peran penting adalah retina, yang
merupakan bagian dari saraf mata. Ada dua jenis saraf yang berada di retina,
yaitu sel saraf batang dan sel saraf kerucut. Sel saraf batang ini peka cahaya,
tetapi tidak bisa membedakan warna. Sel saraf kerucut tidak peka terhadap
cahaya, tetapi bisa membedakan warna. Retina juga memiliki dua bagian
penting lainnya, yaitu fofea (bintik kuning) dan blind spot (bitnik buta). Di
dalam fovea ada sel saraf kerucut, sehingga objek bisa dilihat jelas jika
bayangan objeknya jatuh tepat di fovea (Haeny, 2019).

2.2 Visual Pathway


Ketika cahaya masuk ke mata, bagian penglihatan temporal akan
diproyeksikan ke sisi yang berlawanan, yaitu nasal retina, dan bagian
penglihatan nasal akan di proyeksikan ke sisi temporal retina. Cahaya di retina
akan memicu sel reseptor visual yang berada di retina, yaitu sel batang dan sel
kerucut, sehingga mengirimkan sinyal elektrik.

3
Sel batang dan sel kerucut akan bersinapsis dengan sel bipolar yang
selanjutnya akan bersinapsis dengan sel ganglion. Sel ganglion memiliki
akson panjang dari lapisan retina sampai ke bagian belakang mata di mana
mereka akan bersambungan membentuk saraf optik tunggal (CN II) yang
berada di retina. Area munculnya saraf optik ini tidak memiliki sel reseptor,
jadi disebut blind spot (bitnik buta). Saraf optik muncul dari mata sampai ke
pusat syaraf mata dan kembali lagi ke otak (Gupta, 2023).
Selanjutnya, sinyal elektrik akan sampai ke kiasma optic, di mana kedua
saraf optic bertemu dan membentuk struktur silang. Di kiasma optic akson
saraf optic dari nasal retina akan menyilang ke sisi berlawanan. Di mana
akson dari temporal retina tidak menyilang. Fungsi dari persilangan ini adalah
menata informasi visual dari kedua mata. (Gupta, 2023).
Dari kiasma optic, akson dari sisi yang bersilangan maupun tidak akan
membentuk jalur optic yang akan bersinapsis dengan sel di lateral geniculate
nucleus (LNG) dari thalamus di kedua sisi otak. LNG adalah pusat
pemrosesan informasi visual yang menajamkan kontras dan meningkatkan
persepsi. Saraf yang ada di LNG akan menirim serabut saraf yang berisi
radiasi optik ke primary visual cortex di otak yang berlokasi di occipital lobe.
Visual cortex adalah tempat di mana sinyal elektrik akan diproses menjadi
bentuk, warna, dan gerakan, sehingga otak bisa mengartikan sinyal tersebut
sebagai gambar yang bisa dipahami (Gupta, 2023).

2.3 Kelainan Refraksi


2.3.1 Definisi
Kelainan refraksi merupakan kondisi di mana pembiasan sinar oleh mata
mengalami kelainan, sehingga bayangan objek yang dibiaskan jatuh tidak di
macula lutea tanpa akomodasi. Kelainan ini secara general disebut dengan
ametropia yang bisa berupa miopia, hypermetropia, dan astigmatisma.
Berkebalikan dengan ametropia yang merupakan kondisi kelainan,
emetropia adalah keadaan normal ketika sinar sinar yang datang dibiaskan
sistem optik ke makula lutea tanpa perlu akomodasi mata (Haeny, 2019).

2.3.2 Miopia
Miopia merupakan kelainan refraksi, yang mana kuat pembiasan pada
sinar berlebihan, sehingga sebuah sinar sejajar akan dibiaskan di depan
fovea (bintik kuning). Akibatnya, nilai objek bias kurang dari sama dengan
0,50 dioptri di salah satu atau kedua mata. Hal ini disebabkan banyak faktor,
antara lain bola mata yang memanjang, kornea yang terlalu melengkung,
dan daya optik lensa yang meningkat (Flitcroft, 2019).

4
Prevalensi miopia berdasarkan negara dan etnis, mencapai angka 70%
sampai 90% di beberapa negara Asia. Sementara itu, di Indonesia prevalensi
kelainan pada refraksi menempati podium utama penyakit di mata, yaitu
mencapai 25% penduduk atau 55 juta jiwa penduduk. Sedangkan, angka
prevalensi miopia di Indonesia sendiri melebihi -0,5 D di orang usia lebih
dari 21 tahun adalah sekitar 48,1% (Wulandari, 2018).

2.3.3 Miopia Anak


Prevalensi miopia pada anak dengan usia 5 sampai 12 tahun sangat
bervariasi, prevalensi tertinggi terjadi di orang Asia yaitu 18,5%; diikuti oleh
Hispanik sekitar 13,2%; Afrika Amerika 6,6%; dan Kaukasia sekitar 4,4%.
Penelitian lain menyebutkan bahwa prevalensi 20 sampai 30% anak usia 6
sampai 7 tahun di Taiwan dan Singapura, hingga 84% pada siswa tingkat
menengah di Taiwan (L, 2011).
Anak mempunyai panjang aksial yang lebih kecil jika dibandingkan
dengan orang dewasa. Namun, anak-anak yang cenderung mengalami
miopia memiliki aksial yang lebih panjang saat lahir. Proses perkembangan
miopia menjadi lebih cepat di masa anak-anak. Namun, perkembangan
miopia akan melambat di masa dewasa muda dan akan berhenti di usia 18
tahun. Namun, ada beberapa individu yang perkembangan miopianya
berlajut hingga usia 25 tahun (Subudh, 2023).
Miopia pada anak semakin menjadi perhatian karena ketidaksadaran dan
stigma yang timbul di kalangan orang tua. Selain itu, adanya pandemi
COVID-19 juga menambah peningkatan prevalensi miopia pada anak secara
pesat. Penggunaan layar digital berkepanjangan pada anak-anak karena
adanya sekolah daring telah meningkatkan prevalensi miopia dan
mempercepat perkembangannya (Solikah, 2022)

2.3.4 Faktor Risiko


Faktor risiko perkembangan miopia pada ada beragam, diantaranya :
a.Etnis
Penelitian mengungkapkan bahwa etnis menjadi faktor risiko miopia
karena tingginya prevalensi miopia di populasi Asia. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang Afrika-Amerika menjadi etnik dengan
prevalensi miopia terendah. Studi yang sama juga mengungkapkan bahwa
orang Kaukasia membutuhkan waktu yang paling lama dari etnis lain
untuk stabilisasi dan orang Asia menjadi etnis dengan jumlah miopia
absolut terbanyak ketika stabilisasi (KOMET., 2013).
b. Usia

5
Penderita miopia usia muda antara 6 sampai 7 tahun memiliki titik
akhir miopia yang lebih besar dibandingkan kelompok rentang usia lain.
Kelompok ini menunjukkan laju perkembangan serta pemanjangan aksial
yang lebih cepat (Hyman, 2005).
c.Miopia orang tua
Penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko miopi pada
remaja dengan orang tua yang mengalami miopia. Bahkan, penelitian lain
mengungkapkan bahwa terdapat peningkatan sebanyak enam kali lipat jika
kedua orang tua remaja tersebut menderita rabun jauh (Pacella, 1999).
Miopia orang tua ini tidak hanya menjadi faktor risiko terjadinya
miopia, tetapi juga faktor risiko munculnya miopia progresif pada anak.
Miopia pada orang tua akan berhubungan langsung dengan perkembangan
miopia dan panjang aksial anak (Kurtz, 2007).
d. Jenis kelamin
Berdasarkan Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional,
perempuan memiliki prevalensi miopia lebih tinggi jika dibandingkan laki-
laki pada usia 20-40 tahun. Namun, hal ini tidak terjadi secara konsisten di
kelompok umur lainnya. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
Perempuan memiliki panjang aksial yang lebih pendek dibandingkan laki-
laki, tetapi dikompensasi dengan kornea mata yang lebih kuat pada
Perempuan (Vitale, 2008).
e.Faktor lingkungan
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan waktu di luar
ruangan bagi anak-anak mengurasi risiko miopia sebesar 2% untuk setiap
bertambahnya jam bermain di luar ruangan dalam durasi satu minggu
(Sherwin, 2012).
f. Penggunaan gawai.
Gawai menyebabkan penurunan ketajaman mata, kekeringan mata,
mata berair, sakit kepala bahkan kerusakan otak karena paparan layar
monitor yang berlebihan. Penggunaan gawai dalam jangka waktu lama
akan menyebabkan miopia (Anggraeni, 2019).

2.3.5 Diagnosis
Diagnosis miopia yang paling utama adalah melalui pengukuran
ketajaman mata menggunakan Snellen chart yang diletakkan 6 meter atau 20
kaki dari pasien. Jika pasien tidak bisa melihat huruf di baris 6/6, pasien
mungkin memiliki gangguan refraktif. Untuk menegakkan diagnosis,
pemeriksaan akan dilanjutkan menggunakan pinhole test. Jika hasilnya
menunjukkan peningkatan, maka penurunan penglihatan disebabkan oleh
adanya gangguan refraksi. Namun, jika hasilnya tetap atau mengalami

6
penurunan, maka penurunan penglihatan mungkin disebabkan oleh penyakit
lain (Hennelly, 2019).
2.3.6 Treatment
Ada dua jenis penanganan miopia, yaitu non-operasi dan operasi.
Penanganan non-operasi bisa menggunakan kacamata dan kontak lensa.
Penggunaan kacamata dan lensa kontak dimaksudkan supaya fokus bisa
bergeser dan bayangan objek jatuh tepat di bintik kuning retina, sehingga
penglihatan menjadi lebih jelas. Pada anak usia sekolah, jenis yang paling
sesuai dan nyaman digunakan adalah kacamata. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan lensa kontak yang memiliki banyak aturan pakai, misalnya
penggunaan obat tetes mata yang harus kontinu dilakukan dalam jangka
waktu tertentu. Penanganan melalui operasi antara lain PRK, Lasik, dan
SMILE. Prosedur ini merupakan prosedur pengubahan kornea menggunakan
bantuan laser. Prosedur operasi ini dilakukan ketika usia lebih dari 18 tahun,
karena di usia tersebut tumbuh kembang sudah berhenti, sehingga aksial
tidak akan memanjang kembali.

2.3.7 Pencegahan
a. Menambah waktu bermain di luar ruangan
Peneliti menyebutkan bahwa waktu beraktivitas di luar ruangan
berdampak kepada asosiasi miopia anak. Salah satu penelitian
merangkum hubungan diantara waktu di luar ruangan dan miopia pada
anak di bawah 20 tahun. Hasilnya tidak hanya mengkonfirmasi bahwa
meningkatnya waktu di luar ruangan mengurangi risiko miopia, tetapi
juga mengindikasikan bahwa 2% prevalensi miopia akan berkurang setiap
bertambahnya jam aktivitas di luar ruangan dalam satu minggu (Sherwin,
2012)
b. Kontrol terhadap penggunaan gawai
Daya penglihatan anak dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya
adalah penggunaan gawai (Yulaihah, 2018). Dengan kontrol orang tua
terhadap penggunaan gawai anak, risiko terjadinya miopi bisa berkurang.
Namun, dikarenakan tidak semua orang tua bisa mengawasi penggunaan
gawai anaknya selama 24 jam penuh, diperlukan inovasi yang bisa
memudahkannya. Dengan penggunaan aplikasi REHAT (Rehabilitasi
Mata Sehat) yang tersambung dengan email orang tua/wali, maka kontrol
penggunaan gawai bisa dilakukan dengan lebih mudah. Dengan aplikasi
ini, jarak mata anak dengan layar gawai serta waktu penggunaan gawai
akan lebih mudah dikontrol.

7
BAB 3 TAHAP PELAKSANAAN

3.1 Ide Gagasan


Berdasarkan informasi yang dijelaskan sebelumnya, angka prevalensi
miopia pada anak-anak sangat tinggi. Langkah preventif yang bisa diambil
adalah dengan kontrol penggunaan gawai dari orang tua. Bentuk kontrol bisa
berupa pengaturan jarak mata dari gawai dan lama waktu yang digunakan
bermain gawai. Namun, sayangnya tidak semua orang tua bisa mengawasi
anak mereka ketika menggunakan gawai.
Untuk mengoptimalkan kontrol penggunaan gawai pada anak, diadakan
sebuah inovasi berbentuk aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata Sehat) yang
berisi sensor jarak mata anak ke gawai dan pewaktu otomatis setiap 20 menit
sekali yang sudah disesuaikan dengan aturan 20-20-20, yaitu istirahatkan mata
setiap 20 menit dengan cara melihat objek atau benda berjarak 20 kaki dengan
durasi 20 detik. Registrasi awal juga akan mencantumkan data kesehatan,
berupa jumlah anggota keluarga inti yang terkena miopia. Hal ini menjadi
peringatan faktor risiko dari genetik. Aplikasi ini juga akan memberikan
kuesioner singkat yang terjadwal setiap satu bulan sekali mengenai kondisi
mata anak sebagai upaya diagnosis dini miopia. Aplikasi akan terhubung
dengan akun email orang tua/wali, sehingga nanti orang tua/wali bisa
mengetahui kisaran waktu yang sudah digunakan oleh anak untuk bermain
gawai dan laporan bulanan mengenai kondisi penglihatan terkini anak.
Target dari aplikasi ini adalah anak dengan usia kisaran 5 sampai 12 tahun.
Pemilihan batas usia ini didasarkan pada kenyataan di lapangan, bahwa anak
usia tersebut sudah mulai mahir menggunakan gawai. Namun, anak usia
tersebut belum bisa memiliki akun email pribadi, karena batas minimal
pembuatan email adalah 13 tahun. Oleh karena itu, anak dengan usia 5 sampai
12 tahun adalah target yang tepat untuk aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata
Sehat), di mana aplikasi ini hadir untuk memudahkan kontrol orang tua
terhadap penggunaan gawai pada anak.

3.2 Fitur-fitur Aplikasi


1. Sensor jarak mata ke gawai
2. Pewaktu yang disesuaikan dengan aturan 20-20-20
3. Kuesioner setiap satu bulan sekali sebagai upaya diagnosis dini miopia
4. Pemberitahuan risiko miopia pada anak melalui pengisian data kesehatan,
berupa jumlah anggota keluarga inti yang menderita miopia

3.3 Cara Kerja Aplikasi

8
3.3.1. Registrasi Pengguna
Setelah pengguna mengunduh aplikasi, pengguna harus mengisi data diri
dan data anggota keluarga. Data diri meliputi nama, usia, dan email orang
tua/wali. Data kesehatan berupa anggota keluarga inti yang menderita
miopia, riwayat pemeriksaan mata sebelumnya, dan intensitas penggunaan
gawai.

3.3.2 Penampilan Fitur-Fitur Aplikasi


Setelah proses registrasi selesai, pengguna selanjutnya akan diarahkan ke
halaman utama aplikasi yang berisi beberapa fitur, diantaranya fitur sensor
jarak mata, fitur pewaktu gawai 20-20-20, serta fitur kuesioner.

3.3.3 Fitur Sensor Jarak Mata


Ketika membuka fitur ini, pengguna akan diberikan pertanyaan mengenai
ijin aplikasi untuk menggunakan kamera sebagai media pemindaian mata.
Jika pemindaian mata selesai dilakukan, pengguna akan diberikan
pernyataan lanjutan tentang ijin menggunakan aplikasi di layar belakang.
Hal ini dilakukan karena sensor mata bekerja di layar belakang gawai,
sehingga sensor mata tetap aktif meskipun pengguna sedang membuka
aplikasi lainnya.

3.3.4 Fitur Pewaktu Aturan 20-20-20


Ketika membuka fitur ini, pengguna akan diberikan pernyataan mengenai
ijin penggunaan aplikasi di layar belakang. Dengan menyetujuinya, maka
pewaktu setiap 20 menit sekali akan aktif. Selain nada dering yang berisi
lagu-lagu anak, aplikasi juga akan memberikan instruksi kepada anak untuk
melihat objek lain kecuali gawai, yang berjarak kurang lebih 20 kaki atau
beberapa langkah di depan mereka. Nada dering dan instruksi ini akan
berbunyi selama 20 detik.

3.3.5 Fitur kuesioner


Pengguna baru aplikasi harus mengisi kuesioner ketika pertama kali
membuka fitur ini. Kuesioner berisi pertanyaan mengenai kondisi kesehatan
mata mereka. Setelah mengisi kuesioner pertama, pengguna akan diberitahu
bahwa kuesioner selanjutnya akan muncul satu bulan lagi. Hasil kuesioner
selanjutnya akan dikirimkan melalui email ke orang tua/wali sebagai bahan
evaluasi kesehatan mata anak mereka.

3.4 SWOT
3.4.1 Strength (Kekuatan)

9
1. Aplikasi ini memiliki fitur yang lengkap terkait dengan gerakan preventif
miopia pada anak
2. Aplikasi ini terhubung dengan email orang tua, sehingga kontrol orang
tua pada penggunaan gawai anak lebih mudah dilakukan
3. Target dari aplikasi ini kebanyakan sudah mulai memasuki usia sekolah,
sehingga kolaborasi dengan sekolah lebih mudah dilakukan dan aplikasi
menjadi lebih banyak dikenal

3.4.2 Weakness (Kelemahan)


1. Aplikasi ini memiliki banyak fitur, sehingga pembuatan aplikasi akan
membutuhkan waktu lama dan dana cukup besar.

3.4.3 Opportunity (Kesempatan)


1. Tidak ada aplikasi serupa yang beredar di 11asyarakat.
2. Saat ini, orang tua yang sudah mulai sadar pentingnya menjaga kesehatan
anak, terutama kesehatan mata.

3.4.4 Threats (Ancaman)


1. Munculnya pesaing yang memiliki fitur lebih lengkap dari aplikasi ini.

3.5 Prediksi Penerimaan Masyarakat


Dengan adanya aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata Sehat), prevalensi
miopia dini pada anak yang disebabkan oleh penggunaan gawai akan
berkurang. Dengan adanya kolaborasi aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata
Sehat) dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan, pengenalan aplikasi ini
kepada Masyarakat akan semakin mudah. Terciptanya aplikasi REHAT
(Rehabilitasi Mata Sehat) ini diharapkan dapat diterima Masyarakat dengan
baik dan menyadarkan masyarakat pentingnya melakukan pencegahan
terhadap miopia dini pada anak.

3.6 Kolaborasi
Untuk merealisasikan gagasan aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata Sehat),
diperlukan kerja sama antar Lembaga dan pihak kolaborator. REHAT
(Rehabilitasi Mata sehat) membutuhkan kerja sama :
1. Developer Aplikasi
Sebagai peralisasi prototype aplikasi REHAT (Rehabilitasi Mata Sehat).
2. Dinas Kesehatan
Sebagai wadah untuk memperkenalkan aplikasi kepada masyarakat.
Puskesmas misalnya, bisa menjadi garda pertama penyebar informasi

10
kepada masyarakat tentang adanya aplikasi pencegahan miopia dini pada
anak
3. Dinas Pendidikan
Sebagai wadah untuk memperkenalkan aplikasi kepada orang tua/wali
murid mengenai adanya aplikasi pencegahan miopia dini pada anak.

3.7 Prototype
3.6.1 Logo Aplikasi

3.6.2 Tampilan Aplikasi

11
BAB 4 CONCEPTUAL FRAMEWORK

https://drive.google.com/file/d/1S5-GKN-YxnkBHF64HbsSPXfy5Mae7ILn/
view?usp=sharing

12
DAFTAR PUSTAKA

Flitcroft DI, He M, Jonas JB, et al. IMI – Defining and classifying myopia: a
proposed set of standards for clinical and epidemiologic studies. Invest
Ophthalmol Vis Sci.2019;60:M20–M30. doi: 10.1167/iovs.18-25957.
Yuswantoro E, Christiani M, Mandasari YP. Kajian Miopia Pada Anak Usia
Sekolah. Jurnal Keperwatan Terapan (e-Journal), Vol. 07, No. 01,
2021: 2442-6873.
Paramitasari D, Ratnaningsih N. Gamabaran Kelainan Refraksi Tidak Terkoreksi
Pada Program Penapisan Oleh Unit Oftamologi Komunitas Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Di Wilayah Kabupaten Bandung
Tahun 2017 cicendoeyehospital.com. Diakses pada Kamis 12 Oktober 2023.
Hartanto W, Inakawati S. (2010). Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh di
RSUP Dr. Kariadi Semarang periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003.
Media Medika Muda. 4: 26-7.
Komariah C, A NW. Hubungan status refraksi , dengan kebiasaan membaca ,
aktivitas di depan komputer , dan status refraksi orang tua pada anak usia
sekolah dasar. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2014;28(2): 137–140.
Angmalingsang YSA, Moningka MEW, Rumampuk JF. Hubungan Penggunaan
Smartphone terhadap Ketajaman Penglihatan. eBiomedik. 2021;9(1):94-
100. doi: https://doi.org/10.35790/ebm.9.1.2021.31805
Samsung Newsroom. "Samsung Luncurkan Aplikasi Terobosan yang Melindungi
Mata Anda". Diakses pada Kamis 12 Oktober 2023.
https://news.samsung.com/global/samsung-launches-breakthrough-
application-that-protects-your-eyes
Haeny, Noer. Analisis Faktor Risiko Keluhan Subjektif Kelelahan Mata pada
Radar Controller di PT Angkasa Pura II (PERSERO) Cabang Utama
Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Tahun 2019. Skripsi, Universitas
Indonesia, 2019.
Gupta M, Ireland AC, Bordoni B. Neuroanatomy, Visual Pathway. [Updated 2022
Dec 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2023 Jan Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553189/
Wulandari M, Mahadini C. Akupuntur Titik Chengqi, Tongziliao dan Yintang
dalam Memperbaiki Visus Kasus Miopia. Journal of Vocational Health
Studies 01 (2018): 56-59. doi: 10.20473/jvhs.V2I2.2018.56-59.
Yu L, Li ZK, Gao JR, Liu JR, Xu CT. Epidemiology, genetics and treatments for
myopia. Int J Ophthalmol. 2011;4(6):658-69. doi: 10.3980/j.issn.2222-

13
3959.2011.06.17. Epub 2011 Dec 18. PMID: 22553740; PMCID:
PMC3340784.
Subudhi P, Agarwal P. Miopia. [Diperbarui 31 Maret 2023]. Di: StatPearls
[Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Januari-.
Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK580529/
Solikah SN, Hasnah K. Terapi Senam Mata Sebagai Upaya Preventif Miopi pada
Anak di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada
Volume 13 No 1, Hal 109-118, Januari 2022.
Kelompok KOMET. Stabilisasi miopia dan faktor terkait di antara peserta dalam
Uji Coba Evaluasi Koreksi Miopia. (COMET) Invest Ophthalmol Vis Sci. 3
Desember 2013; 54 (13):7871–84.
Hyman L, Gwiazda J, Hussein M, Norton TT, Wang Y, Marsh-Tootle W, Everett
D. Hubungan usia, jenis kelamin, dan etnis dengan perkembangan miopia
dan pemanjangan aksial dalam koreksi uji coba evaluasi miopia. Mata
Lengkungan. Juli 2005; 123 (7):977–87.
Pacella R, McLellan J, Grice K, Del Bono EA, Wiggs JL, Gwiazda JE. Peran
faktor genetik dalam etiologi miopia awitan remaja berdasarkan studi
longitudinal kelainan refraksi. Optom Vis Sci. 1999 Juni; 76 (6):381–6.
Kurtz D, Hyman L, Gwiazda JE, Manny R, Dong LM, Wang Y, Scheiman M
COMET Group. Peran miopia orang tua dalam perkembangan miopia dan
interaksinya dengan pengobatan pada anak COMET. Investasikan
Ophthalmol Vis Sci. Februari 2007; 48 (2):562–70.
Vitale S, Ellwein L, Cotch MF, Ferris FL, 3rd, Sperduto R. Prevalensi kelainan
refraksi di Amerika Serikat, 1999–2004. Mata Lengkungan. Agustus 2008;
126 (8):1111–9.
Sherwin JC, Reacher MH, Keogh RH, Khawaja AP, Mackey DA, Foster PJ.
Hubungan antara waktu yang dihabiskan di luar ruangan dan miopia pada
anak- anak dan remaja: tinjauan sistematis dan meta-analisis. Oftalmologi.
Oktober 2012; 119 (10):2141–51.
Anggraeni,S.(2019). Pengaruh Pengetahuan Tentang Dampak Gadget Pada
Kesehatan Terhadap Perilaku Penggunaan Gadget Pada Siswa SDN Kebun
Bunga 6 Banjarmasin, Faletehan Health Journal, 6(2), pp.64–68.
doi:10.33746/fhj.v6i2.68
Hennelly ML. How to detect myopia in the eye clinic. Community Eye Health.
2019;32(105):15-16. PMID: 31409949; PMCID: PMC6688402.
Yulaihah, A. (2018) Hubungan Perilaku Penggunaan Gadget Dengan Tingkat
Daya Lihat Anak Usia Prasekolah di TK ABA Tegalrejo Yogyakarta, Naskah
Publikasi Fakultas IlmuKesehatan Universitas ’Aisyiyah.

14
LAMPIRAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Intan Nur Aini


NPM : 130110230162
Kelompok Tutorial :6
Jenis Tugas : Essay Gagasan

Dengan ini menyatakan :


1. Sesuai dengan pedoman pelaksanaan ujian di Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, dengan ini saya menyatakan bahwa saya tidak akan melakukan
praktik plagiarism dalam proses assessment ini.
2. Saya memahami bahwa pelanggaran aturan pelaksanaan ujian ini dapat
mengakibatkan saya dinyatakan gagal (mendapat nilai E) dalam ujian ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan keuatan lahir dan batin
untuk mewujudkan Pakta Integritas ini.

Jatinangor, 14 Oktober 2023

Intan Nur Aini


NPM 130110230162

15

Anda mungkin juga menyukai