Anda di halaman 1dari 30

BAB I

SUSUNAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Skabies

Sub Pokok Bahasan : Penangan awal skabies

Sasaran : Semua pasien di Poli Kulit dan Kelamin

Hari/Tanggal : , Maret 2020

Tempat : RSUD DR R Soedjono Selong, Poli Kulit dan Kelamin

Waktu : 30 menit

I. Tujuan Pembeajaran Umum


Setelah mengikuti proses penyuluhan, diharapkan pasien yang ada
di RSUD DR R Soedjono Selong, khususnya pasien poli Kulit dan
Kelamin/ keluarga pasien mampu memahami dan mengetahui tentang
skabies penyebabnya, gejala dan penangan awalnya.

II. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti penyuluhan, diharapkan pasien/ keluarga pasien
yang ada di RSUD DR R Soedjono Selong, mampu :
a. Mengetahui tentang skabies dan bahaya skabies.
b. Mengetahui penyebab dan tanda gejala skabies
c. Mengetahui bagaimana cara penanganannya dan
pencegahannya.

III. Sasaran
Semua pasien rawat jalan/ keluarga pasien di RSUD DR R Soedjono
Selong, khususnya pasien yang ada di Poli Kulit dan Kelamin.

1
IV. Pokok Materi
a. Definisi Skabies
b. Penyebab Skabies
c. Gejala dan tanda Skabies
d. Dampak Skabies
e. Penangan Skabies

V. Metode
a. Ceramah
b. Tanya Jawab
c. Demonstrasi

VI. Kegiatan Penyuluhan

No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta


1. 5 menit Pembukaan, perkenalan Memperhatikan dan
dan menjelaskan maksud siap mengikuti
serta tujuan penyuluhan penyuluhan
2. 10 menit Menguraikan tentang isi Memperhatikan
dari materi penyuluhan penyuluhan dengan
seksama
3. 5 menit Demonstrasi Memperhatikan
penyuluhan dengan
seksama
4. 5 menit Tanya jawab dan Memberi pertanyaan,
evaluasi menjawab
pertanyaan penyuluh
5. 5 menit Penutup, menyimpulkan Mendengarkan dan
materi memperhatikan

VII. Media
Leaflet (Terlampir)

VIII. Pengorganisasian
a. Pembimbing : dr. Lysa Mariam.,Sp.KK

2
b. Pembawa acara : Iqbal Fathurrahman S., S.Ked
c. Pembicara : Niky Reisiya Afna, S.Ked
Dian Dwi Kurnia, S.Ked
d. Dokumentasi : Silvi Soliyana, S.Ked

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Definisi
Skabies merupakan infeksi ektoparasit pada manusia yang disebabkan oleh
kutu Sarcoptes scabiei var hominis.(3) Infeksi ini terjadi akibat kontak langsung
dari kulit ke kulit maupun kontak tidak langsung (melalui benda misalnya pakaian
handuk, sprei, bantal dan lain-lain).(5)

2.2 Epidemiologi
Skabies dapat menyerang semua ras dan semua kelas sosial di seluruh
dunia, tetapi gambaran yang akurat mengenai prevalensinya sulit didapatkan.
Studi yang dilakukan oleh Downs et al. dengan data-data yang dikumpulkan di
Inggris antar tahun 1967 dan 1996 menunjukkan insiden yang tinggi pada akhir
tahun 1960-an dan 1970-an, kemudian menurun pada tahun 1980-an, dan kembali
meningkat pada tahun 1990-an, dimana prevalensi yang lebih tinggi ditemukan
pada area urban, di sebelah utara Inggris, lebih banyak pada wanita dan anak-
anak, dan frekuensi yang lebih banyak pada musim dingin dibandingkan dengan
pada musim panas. Beberapa penelitian lain juga menemukan adanya variasi
musim ini.(6) Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain:
kebersihan yang buruk, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik
serta ekologi. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam Penyakit akibat Hubungan
Seksual.(7)
Skabies paling sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda, tetapi
dapat menyerang semua umur, dan di Inggris dalam beberapa tahun terakhir ini
lebih sering ditemukan pada lansia di tempat-tempat perawatan. Insiden seks
secara keseluruhan mungkin sama sedangkan pada ras terdapat beberapa
kelompok ras yang rentan, yang mungkin lebih berhubungan dengan kebiasaan
dan faktor sosial daripada faktor kerentanan yang melekat. Populasi yang padat,
yang umum terjadi di negara-negara terbelakang dan hampir selalu terkait dengan
kemiskinan dan faktor kebersihan yang buruk, juga ikut mendorong penyebaran
skabies.(6)

2.3 Etiologi
Skabies disebabkan oleh parasit kutu Sarcoptes scabiei var hominis. Kutu
skabies memiliki 4 pasang kaki dan berukuran 0,3 mm, yang tidak dapat dilihat

4
dengan menggunakan mata telanjang.(1) Secara morfologik merupakan tungau
kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau
ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina
berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan
lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa
mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan
pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat dengan alat perekat.(7)

Gambar 1. Gambaran morfologi Sarcoptes scabiei (dikutip dari


kepustakaan 5)

2.4 Patogenesis
Kutu skabies betina menggali terowongan pada stratum corneum dengan
kecepatan 2 mm per hari, dan meletakkan 2 atau 3 telur-telurnya setiap harinya.
Telur-telur ini akan menetas setelah 3 hari dan menjadi larva, yang akan
membentuk kantung dangkal di stratum corneum, dimana larva-larva ini akan
bertrasnformasi dan menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. Kutu ini kawin di
dalam kantongnya, dimana kutu jantan akan mati tetapi kutu betina yang telah
dibuahi menggali terowongan dan melanjutkan siklus hidupnya. Setelah invasi
pertama dari kutu ini, diperlukan 4 hingga 6 minggu untuk timbul reaksi
hipersensitivitas dan rasa gatal akibat kutu ini.(2)

5
Gambar 2. Siklus hidup Sarcoptes scabiei (dikutip dar kepustakaan 8)
Siklus hidup ini menjelaskan mengapa pasien mengalami gejala selama
bulan pertama setelah kontak dengan individu yang terinfeksi. Setelah sejumlah
kutu (biasanya kurang dari 20) telah dewasa dan telah menyebar dengan cara
bermigrasi atau karena garukan pasien, hal ini akan berkembang dari rasa gatal
awal yang terlokalisir menjadi pruritus generalisata.(9)

Selama siklus hidup kutu ini, terowongan yang terbentuk meluas dari
beberapa milimeter menjadi beberapa sentimeter. Terowongan ini tidak meluas ke
lapisan bawah epidermis, kecuali pada kasus hiperkeratosis scabies Norwegia,
kondisi dimana terdapat kulit yang bersisik, menebal, terjadi imunosupresan, atau
pada orang-orang tua dengan jumlah ribuan kutu yang menginfeksi. Telur-telur
kutu ini akan dikeluarkan dengan kecepatan 2-3 telur perharinya dan massa feses
(skibala) terdeposit pada terowongan. Skibala ini dapat menjadi iritan dan
menimbulkan rasa gatal.(9)

6
Tungau skabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat
terowongannya dan menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus.
Biasanya, pada satu individu terdapat kurang dari 20 tungau di tubuhnya, kecuali
pada Norwegian scabies dimana individu bisa didiami lebih dari sejuta tungau.
Orang tua dengan infeksi virus immunodefisiensi dan pasien dengan pengobatan
immunosuppresan mempunyai risiko tinggi untuk menderita Norwegian scabies.
(1,6)

Reaksi hipersensitivitas akibat adanya benda asing mungkin menjadi


penyebab lesi. peningkatan titer IgE dapat terjadi pada beberapa pasien skabies,
bersama dengan eosinofilia, dan reaksi hipersensitivitas tipe langsung akibat
reaksi dari kutu betina ini. Kadar IgE menurun dalam satu tahun setelah terinfeksi.
Eosinofil kembali normal segera setelah dilakukannya perawatan. Fakta bahwa
gejala yang timbul jauh lebih cepat ketika terjadi reinfeksi mendukung pendapat
bahwa gejala dan lesi skabies adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas.(9)

Jalur utama dari transmisi penularan yaitu kontak langsung antara kulit-ke-
kulit. Namun transmisi dengan cara pakaian bersama atau metode tidak langsung
lainnya sangat langka tetapi mungkin terjadi pada Norwegian scabies (misalnya,
dalam host immunocompromised). Transmisi antara anggota keluarga. Transmisi
seksual juga terjadi.(5)

2.5 Diagnosis
2.5.1 Gambaran Klinis
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes
scabiei sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan
gambaran klinis berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal
ada 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies. Dengan
ditemukannya 2 dari 4 tanda kardinal skabies atau ditemukannya tungau
Sarcoptes scabiei, maka diagnosis klinis dapat ditegakkan:(7,10)

a. Pruritus nocturna
Setelah pertama kali terinfeksi dengan tungau skabies, kelainan kulit
seperti pruritus akan timbul selama 6 hingga 8 minggu. Infeksi yang
berulang menyebabkan ruam dan gatal yang timbul hanya dalam

7
beberapa hari. Gatal terasa lebih hebat pada malam hari. (3,6) Hal ini
disebabkan karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih
lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur
dan penderita menjadi gelisah.(10)
b. Menyerang manusia secara berkelompok
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga dalam
sebuah keluarga biasanya mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu
pula dalam sebuah pemukiman yang padat penduduknya, skabies dapat
menular hampir ke seluruh penduduk. Didalam kelompok mungkin akan
ditemukan individu yang hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh
parasit sehingga tidak menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi
pembawa (carier) bagi individu lain.(10)
c. Adanya terowongan
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa di dalam stratum
corneum, oleh karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang
memiliki stratum corneum yang relatif lebih longgar dan tipis.(10)

Gambar 3. Terowongan pada penderita skabies (dikutip dari kepustakaan


11)

Lesi yang timbul berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan


nodul yang sering ditemukan di daerah sela-sela jari, pergelangan tangan
bagian depan dan lateral telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis,
labia dan pada areola wanita.(3) Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya
menjadi polimorfik (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).(10)

8
Gambar 4. Gambaran klasik skabies (dikutip dari kepustakaan 5)

Erupsi eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi


hipersensitivitas pada antigen tungau. Lesi yang patognomonis adalah
terowongan yang tipis dan kecil seperti benang, berstruktur linear kurang
lebih 1 hingga 10 mm, berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel yang merupakan hasil dari pergerakan
tungau di dalam stratum corneum. Terowongan ini terlihat jelas
kelihatan di sela-sela jari, pergelangan tangan dan daerah siku. Namun,
terowongan tersebut sukar ditemukan di awal infeksi karena aktivitas
menggaruk pasien yang hebat.(1)

9
Gambar 5. Distribusi makro lesi primer skabies pada orang dewasa
(dikutip dari kepustakaan 2)

Gambar 6. Distribusi makro lesi primer skabies pada anak (dikutip dari
kepustakaan 2)

d. Menemukan Sarcoptes scabiei


Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh
kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa
maupun skibala dan ini merupakan hal yang paling diagnostik. Akan
tetapi, kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena hampir
sebagian besar penderita pada umumnya datang dengan lesi yang sangat
variatif dan tidak spesifik.(10) Diagnosa positif hanya didapatkan bila
menemukan tungau dengan menggunakan mikroskop, biasanya posisi
tungau determined dalam liang, dapat menggunakan pisau untuk teknik

10
irisan ataupun denggan menggunakan jarum steril, tungau ini mayoritas
dapat ditemukan pada tangan, pergelangan tangan dan lebih kurang pada
daerah genitalia, siku, bokong dan aksila. Pada anak-anak tungau banyak
ditemukan di bawah kuku karena kebiasaan menggaruk, pengambilan
tungau ini dengan menggunakan kuret.(12)

Gambar 7. Telur, nimfa, dan skibala Sarcoptes scabiei (dikutip dari


kepustakaan 13)

2.5.2 Bentuk Klinis


Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang
tidak khas, meskipun jarang ditemukan. Kelainan ini dapat menimbulkan
kesalahan diagnostik yang dapat berakibat gagalnya pengobatan.. Beberapa
bentuk skabies antara lain:
a. Skabies pada orang bersih
Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan jumlah
yang sangat sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.(10)
b. Skabies pada bayi dan anak
Pada anak yang kurang dari dua tahun, infestasi bisa terjadi di wajah dan
kulit kepala sedangkan pada orang dewasa jarang terjadi. Nodul pruritis
eritematous keunguan dapat ditemukan pada aksila dan daerah lateral
badan pada anak-anak. Nodul-nodul ini bisa timbul berminggu-minggu
setelah eradikasi infeksi tungau dilakukan. Vesikel dan bula bisa timbul
(1)
terutama pada telapak tangan dan jari. Lesi skabies pada anak dapat
mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan,
telapak kaki dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima,

11
sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di
wajah.(10) Lesi yang timbul dalam bentuk vesikel, pustul, dan nodul,
tetapi distribusi lesi tersebut atipikal. Eksematisasi dan impetigo sering
didapatkan, dan dapat dikaburkan dengan dermatits atopik atau
acropustulosis. Rasa gatal bisa sangat hebat, sehingga anak yang
terserang dapat iritabel dan kurang nafsu makan.(5)

Gambar 8.
Skabies pada anak (dikutip dari kepustakaan 5)

c. Skabies nodular
Skabies nodular adalah varian klinik yang terjadi sekitar 7% dari kasus
skabies dimana lesi berupa nodul merah kecoklatan berukuran 2-20 mm
yang sangat gatal. Umumnya terdapat pada daerah yang tertutup
terutama pada genitalia, inguinal dan aksila. Pada nodul yang lama
tungau sukar ditemukan, dan dapat menetap selama beberapa minggu
hingga beberapa bulan walaupun telah mendapat pengobatan anti
skabies.(13)
d. Skabies incognito
Penggunaan obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala
dan tanda pada penderita apabila penderita mengalami skabies. Akan
tetapi dengan penggunaan steroid, keluhan gatal tidak hilang dan dalam
waktu singkat setelah penghentian penggunaan steroid lesi dapat kambuh
kembali bahkan lebih buruk. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
penurunan respon imun seluler.(10)

12
Gambar 9. Lesi krusta terlokalisasi pada penderita dengan pengobatan
regimen imunosupresan (dikutip dari kepustakaan 5)

e. Norwegian scabies (skabies berkrusta)


Merupakan skabies berat ditandai dengan lesi klinis generalisata berupa
krusta dan hiperkeratosis dengan tempat predileksi pada kulit kepala
berambut, telinga, bokong, telapak tangan, kaki, siku, lutut dapat pula
disertai kuku distrofik bentuk ini sangat menular tetapi gatalnya sangat
sedikit. Dapat ditemukan lebih dari satu juta populasi tungau dikulit.
Bentuk ini ditemukan pada penderita yang mengalami gangguan fungsi
imun misalnya AIDS, penderita gangguan neurologik dan retardasi
mental.(1,10)

Gambar 10. Norwegian scabies yang bermanifestasi sebagai kulit yang


terekskoriasi, likenifikasi, hiperkeratosis (dikutip dari kepustakaan 3)

13
Tabel 1. Jenis-jenis skabies (dikutip dari kepustakaan 5)

14
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Bila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan.
Tetapi penderita sering datang dengan lesi yang bervariasi sehingga
diagnosis pasti sulit ditegakkan. Pada umumnya diagnosis klinis ditegakkan
bila ditemukan dua dari empat cardinal sign.(10) Beberapa cara yang dapat
digunakan untuk menemukan tungau dan produknya yaitu:
a. Kerokan kulit
Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau
KOH 10% lalu dilakukan kerokan dengan meggunakan skalpel steril
yang bertujuan untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan
pemeriksaan diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup
lalu diperiksa dibawah mikroskop.(10)
b. Mengambil tungau dengan jarum
Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan ke
dalam terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung
lainnya kemudian dikeluarkan. Bila positif, tungau terlihat pada ujung
jarum sebagai parasit yang sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah
dilakukan tetapi memerlukan keahlian tinggi.(10)
c. Tes tinta pada terowongan (Burrow Ink Test)
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30 menit.
Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut
akan kelihatan lebih gelap dibandingkan kulit di sekitarnya karena
akumulasi tinta didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbetuk
gambaran kanalikuli yang khas berupa garis menyerupai bentuk S.(10)
d. Membuat biopsi irisan (Epidermal Shave Biopsy)
Dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan telunjuk
kemudian dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superfisial
menggunakan pisau dan berhati-hati dalam melakukannya agar tidak
berdarah. Kerokan tersebut diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi
dengan minyak mineral yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop.(10)
Biopsi irisan dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin.

15
Gambar 11. Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) dengan
pewarnaan H.E (dikutip dari kepustakaan 8 dan 5)

e. Uji tetrasiklin
Pada lesi dioleskan salep tetrasiklin yang akan masuk ke dalam
kanalikuli. Setelah dibersihkan, dengan menggunakan sinar ultraviolet
dari lampu Wood, tetrasiklin tersebut akan memberikan efluoresensi
kuning keemasan pada kanalikuli.(10)

f. Dermoskopi
Dermoskopi awalnya dipakai oleh para dermatologis sebagai alat yang
berguna untuk membedakan lesi-lesi berpigmen dan melanoma.
Dermoskopi juga dapat menjadi alat yang berguna dalam mendiagnosis
skabies secara in vivo. Alat ini dapat mengidentifikasi struktur bentuk
triangular atau bentuk V yang diidentifikasi sebagai bagian depan tubuh
tungau, termasuk kepala dan kaki. Banyak laporan kasus yang

16
didapatkan mengenai pengalaman dalam mendiagnosis skabies dengan
menggunakan dermoskopi. Dermoskopi sangat berguna, terutama dalam
kasus-kasus tertentu, termasuk kasus skabies pada pasien dengan terapi
steroid lama, pasien imunokompromais dan skabies nodular.(14)

Gambar 12. Skabies yang teridentifikasi dengan dermoskopi (dikutip


dari kepustakaan 14)

2.6 Diagnosis Banding


1) Gigitan serangga (Insect bite)

Karakteristik lesi berupa urtikaria papul eritematous 1-4 mm berkelompok dan


tersebar di seluruh tubuh, sedangkan tungau skabies lebih suka memilih area
tertentu yaitu menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus.(6,15)

Pada umumnya popular urtikaria terjadi akibat gigitan dan sengatan


serangga tetapi area lesinya hanya terbatas pada daerah gigitan dan sengatan
serangga saja sedangkan skabies ditemukan lesi berupa terowongan yang tipis
dan kecil seperti benang berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel.(1,15)

Gigitan serangga biasanya hanya mengenai satu anggota keluarga saja,


sedangkan skabies menyerang manusia secara kelompok, sehingga dalam
sebuah keluarga biasanya mengenai seluruh anggota keluarga.(10,15)

17
Gambar 13. Tampak gigitan serangga berupa bula (dikutip dari kepustakaan
15)

2) Prurigo

Prurigo merupakan erupsi popular kronik dan residif. Prurigo juga


didefinisikan sebagai peradangan kronis di kulit ditandai dengan adanya papul
dengan vesikel kecil diatasnya, disertai rasa gatal dan secara histologi ditandai
adanya hiperkeratosis dan akantosis hingga ke bawah epidermis yang hingga
kini belum diketahui penyebabnya. Vesikel hanya terdapat dalam waktu yang
singkat saja, karena segera menghilang akibat garukan sehingga yang
tertinggal hanya papul berkrusta. Sedangkan pada skabies ditemukan
Sarcoptes scabiei di bagian teratas epidermis yang mengalami akantosis. Pada
prurigo, penyebabnya belum diketahui. Namun dalam beberapa kasus, faktor
stress emosional menjadi salah satu pemicu sehingga sulit untuk ditentukan
apakah ini adalah penyebab atau akibat dari prurigo sedangkan pada skabies
disebabkan oleh adanya tungau Sarcoptes scabiei melalui pewarnaan
Hematoksilin-Eosin (H.E).(6,16)

18
Gambar 14. Tampak prurigo nodularis di daerah lengan (dikutip dari
kepustakaan 16)

3) Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronik.(7)

Gambar 15. Tampak dermatitis di daerah punggung tanggan (dikutip dari


kepustakaan 7)

4) Pedikulosis

Pedikulosis adalah infeksi kulit/rambut pada manusia yang disebabkan oleh


Pediculus (tergolong family Pediculae). Pediculus ini merupakan parasite
obligat artinya harus menghisap darah manusia untuk bisa hidup.(6,7)

Penyakit ini terutama menyerang anak-anak dan usia muda dan cepat
meluas dalam lingkungan hidup yang padat, misalnya di asrama dan panti
asuhan. Tambahan pula dalam kondisi higiene yang tidak baik, misalnya
jarang membersihkan rambut atau rambut yang relatif susah diberikan (rambut
yang sangat panjang pada wanita), orang yang jarang mandi atau jarang
mengganti dan mencuci pakaian. Cara penularannya biasanya melalui
perantara (benda), misalnya sisir, bantal, kasur, dan topi.(7)

19
Gejala klinik umumnya hanya ditemukan kelainan berupa bekas
garukan pada badan, karena gatal baru berkurang dengan garukan yang lebih
intensif. Kadang-kadang timbul infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar
getah bening regional.(7)

Gambar 16. Pediculosis (dikutip dari kepustakaan 7)

2.7 Penatalaksaan
Terdapat beberapa terapi untuk skabies yang memiliki tingkat efektifitas
yang bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain
umur pasien, biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan faktor kegagalan terapi
yang pernah diberikan sebelumnya.(1)
Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh
permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala,dan lebih difokuskan di
daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area
belakang telinga. Pada pasien anak dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit
kepala juga harus dioleskan skabisid topikal. Pasien harus diinformasikan bahwa
walaupun telah diberikan terapi skabisidal yang adekuat, ruam dan rasa gatal di
kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Jika tidak diberikan penjelasan,
pasien akan beranggapan bahwa pengobatan yang diberikan tidak berhasil dan
kemudian akan menggunakan obat anti skabies secara berlebihan. Steroid
topikal, anti histamin maupun steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan

20
untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah
pemberian terapi skabisid yang lengkap.(1)

2.7.1 Penatalaksaan Umum


Edukasi pada pasien skabies:(4)
a. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
b. Pengobatan meliputi seluruh bagian kulit yang tidak terkena.
c. Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan
pada malam hari sebelum tidur.
d. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
e. Ganti pakaian, handuk, sprei, dan barang-barang yang digunakkan.
Cuci dengan teratur dan bila perlu direndam dengan air panas.
f. Jangan ulangi penggunaan skabisid yang berlebihan dalam seminggu
walaupun rasa yang mungkin masih timbul selama beberapa hari.
g. Setiap orang yang dengan keluhan yang sama yang tinggal satu rumah
dengan penderita sebaiknya mendapatkan penanganan di waktu yang
sama.
h. Kontrol kembali ke dokter spesialis kulit dan kelamin setelah satu
minggu.

2.7.2 Penatalaksaan Khusus


Ada banyak cara pengobatan secara khusus pada pengobatan
skabies dapat berupa topikal maupun oral antara lain:
a. Permethrin
Permethrin merupakan sintesa dari pyrethtoid, sifat skabisidnya sangat
baik. obat ini merupakan pilihan pertama dalam pengobatan skabies
karena efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan
kecenderungan keracunan akibat salah dalam penggunaannya sangat
kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorbsi dan
cepat dimetabolisme di kulit dan dieksresikan di urine. Tersedia dalam
bentuk krim 5 % dosis tunggal digunakan selama 8-12 jam, digunakan
malam hari sekali dalam 1 minggu selama 2 minggu, apabila belum

21
sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu.
Permethrin tidak dapat diberikan pada bayi yang kurang dari 2 bulan,
wanita hamil, dan ibu menyusui. Efek samping jarang ditemukan
berupa rasa terbakar, perih, dan gatal. Beberapa studi menunjukkan
tingkat keberhasilan permethrin lebih tinggi dari lindane dan
crotamiton. Kelemahannya merupakan obat topikal yang mahal.(11,18)
b. Presipitat sulfur 2-10%
Presipitat sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan,
sejak 25 M. Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep (2%
-10%) dan umumnya salep konsentrasi 6% lebih disukai. Cara aplikasi
salep sangat sederhana, yakni mengoleskan salep setelah mandi ke
seluruh kulit tubuh selama 24 jam tiga hari berturut-turut. Keuntungan
penggunaan obat ini adalah harganya yang murah dan mungkin
merupakan satu-satunya pilihan di negara yang membutuhkan terapi
massal.(11,13)
Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan
membentuk hidrogen sulfida dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang
bersifat germisid dan fungisid. Secara umum sulfur bersifat aman bila
digunakan oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif
dalam konsentrasi 2,5% pada bayi. Kerugian pemakaian obat ini
adalah bau tidak enak, mewarnai pakaian dan kadang-kadang
menimbulkan iritasi.(11)
c. Benzyl benzoate
Benzyl benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang
merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzyl benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan sebagai 25% emulsi
dengan periode kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda atau anak-
anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzyl benzoate sangat
efektif bila digunakan dengan baik dan teratur dan secara kosmetik
bisa diterima. Efek samping dari benzyl benzoate dapat menyebabkan
dermatitis iritan pada wajah dan skrotum, karena itu penderita harus
diingatkan untuk tidak menggunakan secara berlebihan. Penggunaan
berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-

22
anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzyl benzoate lebih efektif dalam
pengelolaan resistant crusted scabies. Di negara-negara berkembang
dimana sumber daya yang terbatas, benzyl benzoate digunakan dalam
pengelolaan skabies sebagai alternatif yang lebih murah.(4)
d. Lindane (Gamma Benzene Heksaklorida)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah
sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat tungau.
Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan
selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh tungau dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau, lindane
dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses.(4)
Lindane tersedia dalam bentuk krim, losion, gel, tidak berbau
dan tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke
seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1%
krim atau losion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat
diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-
larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya.
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan lindane selama 6 jam
sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7
hari, serta tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1%.(10)
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas
sistem saraf pusat, kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi
walaupun jarang terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah
keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah,
tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang,
kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti
menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis
kelainan darah seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan
pansitopenia.(4)
e. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)
Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10%
atau losion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama

23
lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian dari leher
ke bawah selama 2 malam, kemudian dicuci setelah aplikasi kedua.
Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka
panjang.(10)
Beberapa ahli beranggapan bahwa krim ini tidak
direkomendasikan terhadap skabies karena kurangnya efikasi dan data
penunjang tentang tingkat keracunan terhadap obat tersebut.
Crotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek
sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil.
(4)

f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotik
makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotik,
diketahui aktif melawan ektoparasit dan endoparasit. Digunakan secara
meluas pada pengobatan hewan, pada mamalia, pada manusia
digunakan untuk pengobatan penyakit filaria terutama oncocerciasis.
Diberikan secara oral, dosis tunggal, 200 µg/kgBB dan dilaporkan
efektif untuk skabies. Digunakan pada umur lebih dari 5 tahun. Juga
dilaporkan secara khusus tentang formulasi ivermectin topikal efektif
untuk mengobati skabies. Efek samping yang sering adalah kontak
dermatitis dan toxicepidermal necrolysis.(10)
g. Monosulfiran
Tersedia dalam bentuk lotion 25% sebelum digunakan harus
ditambahkan 2-3 bagian air dan digunakan setiap hari selama 2-3 hari.
(10)

h. Malathion
Malathion 0,5% adalah dengan dasar air digunakan selama 24 jam,
pemberian berikutnya beberapa hari kemudian.(10) Namun saat ini tidak
lagi direkomendasikan karena berpotensi memberikan efek samping
yang sangat tinggi.(4)

2.7.3 Penatalaksaan Norwegian Scabies

24
Terapi skabies ini mirip dengan bentuk umum lainnya, meskipun
skabies berkrusta berespon lebih lambat dan umumnya membutuhkan
beberapa pengobatan dengan skabisid. Kulit yang diobati meliputi kepala,
wajah, kecuali sekitar mata, hidung, mulut dan khusus di bawah kuku jari
tangan dan jari kaki diikuti dengan penggunaan sikat di bagian bawah
ujung kuku. Pengobatan diawali dengan krim permethrin dan jika
dibutuhkan diikuti dengan lindane dan sulfur. Mungkin sangat membantu
bila sebelum terapi dengan skabisid diobati dengan keratolitik.(10)

2.7.4 Penatalaksaan Skabies Nodular


Skabies nodular merupakan salah satu karakteristik skabies yang
kronik mengenai beberapa bagian tubuh seperti genitalia pria dan aksila.
Skabies seperti ini ditangani dengan anti skabitik disertai dengan
pemberian steroid.(4)

2.7.5 Pengobatan Terhadap Komplikasi


Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral
khususnya eritromisin.(10)

2.7.6 Pengobatan Simptomatik


Obat antipruritus seperti obat anti histamin mungkin mengurangi
gatal yang secara karakeristik menetap selama beberapa minggu setelah
terapi dengan anti skabies yang adekuat. Pada bayi, aplikasi hidrokortison
1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan aplikasi pelumas atau emolien
pada lesi yang kurang aktif mungkin sangat membantu, dan pada orang
dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1% untuk mengurangi keluhan.(10)

Tabel 2. Pengobatan skabies (dikutip dari kepustakaan 1)

Jenis Obat Dosis Keterangan

Krim Dioleskan selama 8-14 Terapi lini pertama di


Permethrin jam, diulangi selama 7 Amerika Serikat dan

25
5% hari. kehamilan kategori B.

Losion Dioleskan selama 8 jam Tidak dapat diberikan


Lindane setelah itu dibersihkan, pada anak umur 2 tahun ke
1% olesan kedua diberikan 1 bawah, wanita selama
minggu kemudian. masa kehamilan dan
laktasi.

Krim Dioleskan selama 2 hari Memiliki efek anti pruritus


Crotamiton berturut-turut, lalu tetapi efektifitasnya tidak
10% diulangi dalam 5 hari. sebaik topikal lainnya.

Sulfur Dioleskan selama 3 hari Aman untuk anak kurang


presipitat lalu dibersihkan. dari 2 bulan dan wanita
5-10% dalam masa kehamilan
dan laktasi, tetapi tampak
kotor dalam pemakaiannya
dan data efisiensi obat ini
masih kurang.

Losion Dioleskan selama 24 jam Efektif namun dapat


Benzyl lalu dibersihkan menyebabkan dermatitis
Benzoat pada wajah
10%

Ivermectin Dosis tunggal oral, bisa Memiliki efektifitas yang


200 υg/kg diulangi selama 10-14 tinggi dan aman. Dapat
hari digunakan bersama bahan
topikal lainnya.
Digunakan pada kasus-
kasus skabies berkrusta
dan skabies resisten.

26
Setelah pengobatan berhasil untuk mematikan tungau, rasa gatal
dapat bertahan dan dirasakan selama 6 minggu sebagai reaksi eksematous.
Pasien dapat diobati dengan pengobatan eksema biasa dengan emolien dan
kortikosteroid topikal dengan atau tanpa antibiotik topikal tergantung
adanya infeksi sekunder Staphylocccus aureus. Antipruritus topikal
crotamiton sering membantu jika kulit gatal dengan hanya sedikit reaksi
peradangan. Pasien harus disarankan bahwa erupsi dari skabies
membutuhkan waktu untuk proses penyembuhan dan sebaiknya berhati-
hati dengan penggunaan skabisid yang berlebihan.(17)

2.8 Komplikasi
Di utara Australia, dilaporkan angka kematian meningkat 50% selama
lebih dari 5 tahun, dengan penyebab utamanya yaitu infeksi bakterial sekunder,
yang sering disebabkan oleh Streptococcus aureus, Streptococcus β-hemolitikus
grup A, atau Peptostreptococci. Beberapa laporan kasus didapatkan vaskulitis
leukositoklastik akibat skabies, dan satu kasus tercatat adanya antikoagulan
lupus.(18) Impegtiginisasi sekunder adalah komplikasi umum ditemukan dan
berespon baik terhadap pemberian antibiotik topikal ataupun oral, tergantung
tingkat piodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemia dapat juga terjadi
terutama pada Norwegian Scabies.(1) Glomerulonefritis juga pernah dilaporkan
sebagai komplikasi dari skabies.(18) Post-streptococcal glomerulonephritis bisa
terjadi karena scabies-induced pyodermas yang disebabkan oleh Streptococcus
pyogens.(1)

2.9 Prognosis
Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa tahun. Pada
individu yang immunokompeten, jumlah tungau akan berkurang seiring waktu. (1)
Investasi skabies dapat disembuhkan. Seorang individu dengan infeksi skabies,
jika diobati dengan benar, memiliki prognosis yang baik, keluhan gatal dan
eksema akan sembuh.(17)

2.10 Pencegahan
Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan skabies, orang-orang
yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal

27
skabisid. Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah penyebaran
skabies, karena seseorang mungkin saja telah mengandung tungau skabies yang
masih dalam periode inkubasi asimptomatik.(1)
Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui sprei, bantal,
handuk, dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih
dan dikeringkan dengan udara panas karena tungau skabies dapat hidup hingga 3
hari di luar kulit. Karpet dan kain pelapis lainnya juga harus dibersihkan
(vacuum cleaner).(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, Other Mites, and Pediculosis
In: Wolff K, Lowell A, Katz GSI, Paller GAS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th ed. United State of
America. McGraw-Hill; 2008. p. 2029-2032.

2. Trozak DJ, Tennenhouse JD, Russell JJ. Herpes Scabies. In: Trozak DJ,
Tennenhouse JD, Russell JJ editors. Dermatology Skills for Primary Care; An
Illustrated Guide: Humana Press; 2006. p. 105-11

3. Currie JB, McCarthy JS. Permethrin and Ivermectin for Scabies. New England
J Med. 2010; 362: p. 718.

4. Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med


J. 2005; 81: p. 8-10.

5. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006; 345: p. 1718-1723.

28
6. Burns DA. Diseases Caused By Arthropods and Other Noxious Animals. In:
Rook’s Textbook Of Dermatology. 8th ed. United Kingdom. Willey-blackwell;
2010. p. 38.36-38.38.

7. Handoko,PR. Skabies. In: Prof.Dr.dr.Adi Djuanda, editor. Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. Ed 6. Jakarta. FK UI; 2010.p.122-123

8. Granholm JM, Olazowaki J. Scabies Prevention and Control Manual.


Michigan department of community health. 2005; 1: p. 10.

9. Habif TP. Infestations and Bites. In: Habif TP, editor. A Clinical
Dermatology: A Color Guide To Diagnosis and Therapy. 4th ed. London.
Mosby; 2004. p. 500.

10. Amiruddin MD. Skabies. In. Amiruddin MD, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Ed
1. Makassar: Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas kedokteran
universitas hasanuddin; 2003. p. 5-10.

11. Oakley A. Scabies: Diagnosis and Management. BPJ journals. 2012; 19: p.
12-16.

12. William DJ, Timothy GB, Dirk ME. Parasitic Infestations, Stings, and Bites.
In: Sue Hodgson/Karen Bowler, editors. Andrews’ Disease Of The Skin:
Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2006. p. 453

13. Hengge UR, Currie BJ, Jager G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: A Ubiquitous
Neglected Skin Disease. PubMed Med. J. 2006; 6: p. 771

14. Park JH, Kim CW, Kim SS. Scabies: The Diagnosis Accuracy of Dermoscopy
for Scabies. Ann Dermatology. 2012; 24: p. 194-99.

15. Elston DM. Bites and Stings. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.
Bolognia: Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. p. 84

16. Jones JB. Eczema, Lichenidentificatio, Prurigo and Erythroderma. In: Burns
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook Of
Dermatology. 8th ed. USA. Willey-blackwell; 2010. p. 23.42-22.43.

29
17. Johnston G, Sladden M. Scabies: Diagnosis and Treatment. Bmj Journals.
2005; 331: p. 619, 622.

18. Leone PE. Scabies and Pediculosis Pubis: An Update of Treatment Regiments
and General Review. CID journals. 2007; 44: p. 153-59.

30

Anda mungkin juga menyukai