Disusun oleh :
Ilham maulana rifyandi : 1520070100043
Preseptor :
dr. Lidia Dewi Sp.PD
SMF INTERNE
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR
SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH
SOLOK
2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang Congestive Heart Failure dan
Diabetes Melitus Tipe II yang dialami pada pasien.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosa, dan penatalaksanaan Congestive Heart Failure.
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
diagnosa, dan penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumber media informasi mengenai Congestive Heart Failure
dan Diabetes Melitus Tipe II.
2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang
Congestive Heart Failure dan Diabetes Melitus Tipe II.
3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS M Natsir Solok 2020.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Defenisi
Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh, Karena adanya gangguan
yang terjadi di otot jantung Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit
jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi sistolik atau
diastolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.
Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Etiologi
4
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:
2.1.4 Patofisiologi
5
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan
nekrosis miokard fokal.
6
vasokonstriktor yang poten pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab
atas retensi natrium. Konsentrasi Endotelin-1 plasma akan msemakin meningkat
sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
Pulmonary aterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan dapat
menyebabkan kematian. Telah dikembangkan endotelin-e antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan
miokardial akibat endotelin.
2.1.5 Klasifikasi
Stadium A
Stadium B
7
Stadium C
Stadium D
Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat
bermakna saat istirahat walaupun telah mendapat terapi.
Kelas I
Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea
atau nyeri angina.
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
8
dapat muncul bahkan pada saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas.
2.1.6 Diagnosis
A. Kriteria Mayor
1. Paroksisimal nokturnal dispnu
2. Ronki paru
3. Edema paru akut
4. Kardiomegali
5. Gallop S3
6. Distensi vena leher
7. Refluks hepatojugular
8. Peningkatan tekanan vena jugularis
B. Kriteria Minor
1. Edema ekstrmitas
2. Batuk malam hari
3. Hepatomegali
4. Dispneu d’effort
5. Efusi pleura
6. Takikardi (120x/menit)
7. Kapasitas vital paru-paru berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : penurunan berat badan ≥4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
9
Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah darah rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin,
SGOT/SGPT dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan
elektrolit, menilai fungsi ginjal dan hati.
Foto thoraks
Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan
bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai
melalui pengukuran cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau
ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada,
telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal
jantung.
EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan.
Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan
keberadaan hipertrofi pada ventrikel kiri atau riwayat infark myocard (ada
atau tidaknya Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan adanya
disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi
jantung, miokardium dan pericardium, dan mengevaluasi gerakan regional
dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis ada
gagal jantung. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung
adalah left ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling
ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.
10
2.1.7 Penatalaksanaan
B. Tindakan umum
1. Diet (obesitas dihinari, diet rendah garam 2 gr pada gagal
jantung ringan dan 1 gr pada gagal jantung berat, jumlah
cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan.
2. Hentikan merokok
3. Hentikan alkohol pada penderita dengan kardiomiopati.
Batasi penggunaan 20-30 gr/hari pada pasien lainnya
4. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu
selama 20-30 menit atau sepeda statid 5 kali/minggu
selama 20 menit (dengan beban 70-80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang)
5. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut
2. Farmakologi
11
Terapi farmakologi terdiri atas penghambat ACE, antagonis
Angiotensi II, diuretik, antagonis aldosteron, Beta blocker,
vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti trombotik dan
anti aritmia.
12
perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Transient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
Antiaritmia. Anti aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiarimia kelas I
harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.
Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi
aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian
mendadak.
Antagonis kalsium. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina dan hipertensi pada gagal jantung.
13
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the
ominous octet (gambar-1)
14
fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-
α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
15
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-
2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
3.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.
16
3.1.4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena.Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 1.KriteriaDiagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
17
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)
18
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL
>4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional
(DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
19
3.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah,tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
Non Farmakologis :
a. Edukasi
Materi tentang perjalanan penyakit DM.
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
Penyulit DM dan risikonya, dll.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Karbohidrat (dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energy).
Lemak (dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energy).
Protein (Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energy)
Natrium (Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu<2300 mg/hari)
Serat
Pemanis Alternatif
c. Kebutuhan Kalori
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca
yang dimodifikasi:
i. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
20
ii. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita
di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan
ideal (BBI) =(TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal: BB
ideal ± 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 % Gemuk: lebih
dari BBI + 10 %
Farmakologis :
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
Penurunan
Gol. Obat Cara Kerja Obat Efek Samping
HbA1c
21
b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan pertama.
f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
22
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi
pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.Agonis GLP-1
bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang
lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.
23
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas
■ Nama : Ny. L
■ Usia : 51 tahun
■ No. Mr :192951
II. Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien wanita mengalamai sesak nafas memberat sejak satu jam sebelum
masuk rumah sakit
Pasien wanita mengalamai sesak nafas memberat sejak satu jam sebelum
masuk rumah sakit
Sebelum itu pasien sedang berada diwarung dekat rumah, dan sedang
berbincang dengan ibuk2 di warung.
Kaki pasien mengalami bengkak kiri dan kanan empat hari SMRS
24
Pasien mengeluhkan mata sedikit kabur, pasien tidak ingat kapan mulai
merasa kabur.
Berat badan pasien mengalami penurunan tapi tidak terlalu berarti, turun
10 kg sejak 5 tahun ini.
25
riwayat penyakit DM keluarga pasie tidak jelas
Riwayat Psikososial:
anaknya, untuk saat ini pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, pasien tidak
merokok, suami pasien juga tidak merokok, pasien jarang minum kopi dan jarang
minum the, tidak ada konsumsi alcohol, kebiasaan memakan makanan yang pedas
2. Vital sign :
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,8°C
3. Status Gizi
26
IMT : 45/(1,51)2 = 19,2(normoweight)
Kepala
Kulit :
Mata :
Telinga :
27
Hidung :
- epistaksis (-),
- cuping hidung(-),
Mulut :
- sianosis (-),
Leher :
o preauricular,
o posterior auricula,
o submandibular,
o submental,
o M. sternocledomastoideus,
28
o supraclavicular dan invraclavicula\
Thorak:
Paru:
Inspeksi :
- Dinding dada terlihat simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis,
- sikatrik (-),
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
- Vesikuler,
- rhonki (-/-),
- wheezing (-/-),
Jantung:
Inspeksi :
29
Palpasi :
Perkusi :
- Batas jantung
Auskultasi:
- mur-mur (-),
- gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi:
- ikterik (-),
- venektasi(-),
- sikatrik(-),
- stretch mark(-),
- caput medusa(-)
30
- lien tidak ada pembesaran):
Perkusi:
Ektremitas:
Superior
Inferior
31
Tes Sensibilitas : Sensibilitas halus (+), Sensibilitas kasar (+)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Lengkap
Trombosit : 323.000/mm3
EKG
32
Rontgen thorak
Diagnosis Sekunder :
- DM Tipe II
- Hipertensi
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Elektrokardiografi
2. Rontgen foto thorax
3. Ekokardiografi
IX. Komplikasi
33
1. Tromboemboli
2. Atrium fibrilasi
3. fibrilasi ventrikel
4. aritmia
IX. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologis
a. Bed rest
b. Diet rendah garam
2. Farmakologis
a. IVFD RL 12jam/kolf
b. Inj, ceftriason 2 X 2gr (IV)
c. Inj, Lasix 1x1 amp
d. Inj. Ntg 1,5 cc/jam
e. Paracetamol 3X1 Tab (PO)
f. Bicnat 3X1 Tab (PO)
g. AS folat 1X5 gr (PO)
X. PROGNOSIS
34
Tanggal Subject Object Assessment Planning
Control gula
darah
XI. FOLLOW UP
35
mg (PO)
Candesartan 1X16
mg (PO)
Concor 1X2,5 mg
Concor 1X2,5 mg
23/02/202 Sesak KU: CHF Pasien boleh pulang
0 berkurang Sedang DM TIPE
Batuk Kes: CMC II
berkurang TD: 120/70
Kaki sudah ND:
tidak bengkak 80x/mnt
Mual (-) NF:
36
(-)
37
BAB IV
PENUTUP
Telah dilaporkan seaorang pasien wanita berumur 51 tahun dirawat di
bangsal RSUD Solok pada tanggal 20 oktober 2020 dengan keluhan sesak nafas
yang dirasakan makin memberat sejak 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien
mengatakan sesak muncul saat setelah pasien pulang dari kedai.
Nyeri dada dirasakan pasien hanya di dada sebelah kiri dan tidak ada
penjalaran, nyeri dirasakn beberapa hari ini seblum pasien dirawat di rumah sakit,
pasien mengeluhkan kaki kiri dan kanannya bengkak, dari anamnesis yang
dilakukan pasien sering buang air kecil, berat badan berkurang tidak signifikan,
dan pasien mengatakan minum hanya saat pasien merasa haus saja pasien tidak
ada mengeluhkan mual dan tidak ada juga mengeluhan muntah,
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan tgl 23 oktober didapatkan keadaan
pasien dengan kesadaran compos mentis coorperatif. Tekanan darah 160/90
mmHg, frekuensi nadi 90x/menit, frekuensi nafas 21x/menit, suhu 36.8 C.. Dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat ditegak
diagnosa Congestive heart failure dan DM tipe II dan hipertensi
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, W. Aru dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi V,
Jakarta: Interbal Publishing
2. Sudoyo, W. Aru dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi V,
Jakarta: Interbal Publishing
3. Tjokroprawiro, asnandar, dkk. Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Airlangga University Press. 2007
4. Adi, Pangestu. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor).
Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
5. Soelistijo AS dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia: Jakarta : PB PERKENI. 2015.
39