Anda di halaman 1dari 39

Case Report Session

CONGESTIVE HEART FAILURE & DM TIPE II

Disusun oleh :
Ilham maulana rifyandi : 1520070100043

Preseptor :
dr. Lidia Dewi Sp.PD

SMF INTERNE
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR
SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH
SOLOK
2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak mampu
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
walaupun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung adalah
ketidakmampuan jantung untk memompakan darah dalam jumlah yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Diperkirakan hampir lima persen
dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden
gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3-3,7 perseribu penderita pertahun.
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung
baik akut maupun kronik ditunjukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki
prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi
serta bertanya kondisi.
Saat ini prevalensi penyakit tidak menular yang didalamnya termasuk Dibetes
Mellitus (DM) semakin meningkat di indonesia. Berdasarkan studi epidemiologi
terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi DM tipe-2. Perubahan gaya hidup dan
urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting timbulnya masalah ini, dan
akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan
kontrol glikemik yang optimal, namun demikian di Indonesia sendiri target
pencapaian kontrol glikemik masih belum tercapai secara memuaskan, yang
sebagian besar masih di atas target yang diinginkan sebesar 7%. Oleh karena itu
diperlukan suatu pedoman pengelolaan yang dapat menjadi acuan
penatalaksanaan
diabetus melitus.

2
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang Congestive Heart Failure dan
Diabetes Melitus Tipe II yang dialami pada pasien.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosa, dan penatalaksanaan Congestive Heart Failure.
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
diagnosa, dan penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumber media informasi mengenai Congestive Heart Failure
dan Diabetes Melitus Tipe II.
2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang
Congestive Heart Failure dan Diabetes Melitus Tipe II.
3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS M Natsir Solok 2020.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestif Heart Failure (CHF)

2.1.1 Defenisi

Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh, Karena adanya gangguan
yang terjadi di otot jantung Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit
jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi sistolik atau
diastolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.
Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.
2.1.2 Epidemiologi

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
seperti indonesia. Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4 – 2% dan
meningkat pada usia lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Di Indonesia,
usia pasien gagal jantung relatif muda dibandingkan Eropa dan Amerika disertai
dengan tampilan klinis yang lebih berat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013, prevalesi gagal jantung di Indonesia sebesar 0,3%. Data prevalesi
penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara pada responden umur >15 tahun
berupa gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis dokter atau kasus yang
mempunyai gejala penyakit jantung.

2.1.3 Etiologi

Adanya beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang


paling sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan
atau berkurangnya otot jantung, iskemik akut atau kronik, menigkatnya resistensi
vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi.

4
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:

a. Disfungsi miokard (Systolic Overload)


Terjadi ketika beban tekanan sistolik berlebihan sehingga terjadi
ketidakmampuan kontraksi jantung memompa yang menyebabkan curah
jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatique, kemampuan
aktivitas fisik menurun, dan gejala hipoperfusi lainya.
b. Diastolic Overload
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksai dan gangguang
pengisian ventrikel.
c. Peningkatan Kebutuhan Metabolik (Demand Overload)
Beban kebutuhan metabolik meningkat melebihi kemampuan daya
kerja jantung, dimana jantung sudah berkerja maksimal, maka akan terjadi
keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah cukup tinggi tetapi
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh.
d. Gangguang pengisian (hambatan input)
Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk
ke dalam ventrikel atau pada aliran balik vena/venous return akan
menyebabkan pengeluaran atau output ventrikel berkurang dan curah
jantung menurun.

2.1.4 Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multi sistem dimana terjadi gangguan


pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem syaraf simpati serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretik peptida yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

5
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan
nekrosis miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,


Angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat syaraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepsan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur berupa hampir


sama yang memilik efek yang luas terhadao jantung, ginjal dan susunan syarah
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatasai. Pada manusia,
Brain Ntariuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan din jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan syaraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan Brain Natriuretic Peptide (BNP) meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja
antagonis terhadap Angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan
reabsorbsi natium di tubulus renal. Karena peningkatan Natriuretic Peptide pada
gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai
marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung.

Vasopresin merupakan hormon antidiuretik yang dapat meningkat


kadarnya pada keadaan gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptida

6
vasokonstriktor yang poten pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab
atas retensi natrium. Konsentrasi Endotelin-1 plasma akan msemakin meningkat
sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
Pulmonary aterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan dapat
menyebabkan kematian. Telah dikembangkan endotelin-e antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan
miokardial akibat endotelin.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan miokard, dengan


kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab seperti infiltrasi pada penyakit
jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30-40% penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski masing-masing juga dapat timbul sendiri.

2.1.5 Klasifikasi

Salah satu klasifikasi yang sering digunakan yaitu klasifikasi berdasarkan


abnormalitas struktural jantung yang disusun oleh American Heart
Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan
gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional yang disusun oleh New York Heart
Association (NYHA).

Klasifikasi menurut ACC/AHA

 Stadium A

Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak


terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung.

 Stadium B

Telah terbentuk penyakit struktural jantung yang berhubungan dengan


perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda dan gejala.

7
 Stadium C

Gagal jantung yang simptomatis berhubungan dengan penyakit struktural


jantung yang mendasari

 Stadium D

Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat
bermakna saat istirahat walaupun telah mendapat terapi.

Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA):

 Kelas I

Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea
atau nyeri angina.

 Kelas II

Pasien dengan penyakit jantung dengan sedikit pembatasan aktivitas fisik.


Merasa nyaman saat istirahat. Hasil aktivitas normal menyebabkan fisik
kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.

 Kelas III

Pasien dengan penyakit jantung yang terdapat pembatasan aktivitas fisik.


Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.

 Kelas IV

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk


melakukan aktivitas fisik apapun tanpa ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung

8
dapat muncul bahkan pada saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan jasmani,


elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler, dan kateterisasi. Kriteria
diagnosis gagal jantung menurut Frammingham Heart Study :

A. Kriteria Mayor
1. Paroksisimal nokturnal dispnu
2. Ronki paru
3. Edema paru akut
4. Kardiomegali
5. Gallop S3
6. Distensi vena leher
7. Refluks hepatojugular
8. Peningkatan tekanan vena jugularis

B. Kriteria Minor
1. Edema ekstrmitas
2. Batuk malam hari
3. Hepatomegali
4. Dispneu d’effort
5. Efusi pleura
6. Takikardi (120x/menit)
7. Kapasitas vital paru-paru berkurang 1/3 dari normal

Kriteria mayor dan minor : penurunan berat badan ≥4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

9
Pemeriksaan penunjang:

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah darah rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin,
SGOT/SGPT dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan
elektrolit, menilai fungsi ginjal dan hati.
 Foto thoraks
Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan
bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai
melalui pengukuran cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau
ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada,
telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal
jantung.
 EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan.
Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan
keberadaan hipertrofi pada ventrikel kiri atau riwayat infark myocard (ada
atau tidaknya Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan adanya
disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.
 Ekokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi
jantung, miokardium dan pericardium, dan mengevaluasi gerakan regional
dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis ada
gagal jantung. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung
adalah left ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling
ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.

10
2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan


secara farmakologi dan non farmakologi. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut
maupun kronik ditujukan utnuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta
bertanya kondisi.
1. Non Farmakologi
A. Anjuran umum
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahan agar dapat
dilakukan seperti biasa, sesuaikan dengan kemampuan fisik
dengan profesi yang masih bisa dilakukan
 Gagal jantung berat harus menghindari pekerjaan berat dan
dalam waktu yang lama

B. Tindakan umum
1. Diet (obesitas dihinari, diet rendah garam 2 gr pada gagal
jantung ringan dan 1 gr pada gagal jantung berat, jumlah
cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan.
2. Hentikan merokok
3. Hentikan alkohol pada penderita dengan kardiomiopati.
Batasi penggunaan 20-30 gr/hari pada pasien lainnya
4. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu
selama 20-30 menit atau sepeda statid 5 kali/minggu
selama 20 menit (dengan beban 70-80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang)
5. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut

2. Farmakologi

11
Terapi farmakologi terdiri atas penghambat ACE, antagonis
Angiotensi II, diuretik, antagonis aldosteron, Beta blocker,
vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti trombotik dan
anti aritmia.

 Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan


paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretic atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis
diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi
loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton,
dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung sedang sampai berat (Grade IV) yang dibebakan
gagal jantung sistolik.
 Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disbabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri.
 Penyekat Beta bermanfaat sama seperti paenghambat ACE. Pemberian
mulai dari dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu ke
depan dengan kontrol ketat sindrom gagal janutng. Biasanya diberikan
bila keadaan sudah stabil pada gagal jantung Garade II dan III.
Penyekat beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol.
Biasa digunakan bersama-sama dengan ACE dan diuretik.
 Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bersama-sama
dengan intoleransi terhadap ACE inhibitor.
 Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi diastolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan
fibrilasiatrial, digunakan bersama-sama diuretk, ACE inhibitor, beta
blocker.
 Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan utnuk pencegahan
emboli serebral pada panderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi
ventrikel yang buruk. Anti koagulan perlu diberikan pada pasien
fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagualan

12
perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Transient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
 Antiaritmia. Anti aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiarimia kelas I
harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.
Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi
aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian
mendadak.
 Antagonis kalsium. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina dan hipertensi pada gagal jantung.

3.2 Diabetes Melitus Tipe 2


3.1.1Definisi
Diabetes militus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.

3.1.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam
gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

13
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the
ominous octet (gambar-1)

Gambar-1.The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam


patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the
Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2
Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795) Secara garis besar patogenesis
DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa
dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan

14
fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-
α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini

15
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-
2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
3.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.

16
3.1.4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena.Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 1.KriteriaDiagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi

17
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard


NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai
sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam<140 mg/dl.
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa<100 mg/dl.
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2 ) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.

18
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL
>4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional
(DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia>45 tahun tanpa faktor risiko di atas.


Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa
plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa
darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel-2 di bawah ini.
Bukan DM Belumpasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥ 200
Darah kapiler <90 90-199 ≥ 200
darah sewaktu
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
darah puasa
(mg/dl)

19
3.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah,tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
 Non Farmakologis :
a. Edukasi
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya, dll.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
 Karbohidrat (dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energy).
 Lemak (dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energy).
 Protein (Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energy)
 Natrium (Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu<2300 mg/hari)
 Serat
 Pemanis Alternatif
c. Kebutuhan Kalori
 Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca
yang dimodifikasi:
i. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

20
ii. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita
di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan
ideal (BBI) =(TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal: BB
ideal ± 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 % Gemuk: lebih
dari BBI + 10 %

iii. Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa


Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan
rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2 ) Klasifikasi IMT :
1. BB <18,5
2. BB Normal 18,5-22,9
3. BB Lebih ≥23,0
4. Dengan risiko 23,0-24,9
5. Obes I 25,0-29,9
6. Obes II ≥30

 Farmakologis :
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
Penurunan
Gol. Obat Cara Kerja Obat Efek Samping
HbA1c

Cara pemberian OHO, terdiri dari :


a) OHO dimuli dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampapi dosis optimal.

21
b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan pertama.
f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan

b. Obat Antihiperglikemia Suntik


1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
2) Penurunan berat badan yang cepat
3) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
4) Krisis Hiperglikemia
5) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
6) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
7) Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
8) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
10) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi
empat jenis, yakni:
1) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
5) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin).

2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

22
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi
pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.Agonis GLP-1
bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang
lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.

23
BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas

■ Nama : Ny. L

■ Usia : 51 tahun

■ Jenis Kelamin : perempuan

■ Alamat : Sirukam, Solok

■ No. Mr :192951

■ Status : Sudah Menikah

■ Tanggal Masuk : 19 Oktober 2020

II. Anamnesis

Keluhan Utama

Pasien wanita mengalamai sesak nafas memberat sejak satu jam sebelum
masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

 Pasien wanita mengalamai sesak nafas memberat sejak satu jam sebelum
masuk rumah sakit

 Sebelum itu pasien sedang berada diwarung dekat rumah, dan sedang
berbincang dengan ibuk2 di warung.

 Sesak dirasakan saat pasien sampai di rumah.

 Kaki pasien mengalami bengkak kiri dan kanan empat hari SMRS

24
 Pasien mengeluhkan mata sedikit kabur, pasien tidak ingat kapan mulai
merasa kabur.

 Kaski sering kesemutan, terutama kaki sebelah kiri menjalar sampai ke


paha pasien.

 Myeri dada dirasakan pasien di dada bagian kanan, tidak menjalar ,

 Pasien juga mengelukan demam sejak beberapa hari SMRS

 Buang air kecil pasien tidak ada gangguan, namum sering

 Pasien mengatakan minumnya seperti biasa Ketika pasien merasa haus


saja

 Berat badan pasien mengalami penurunan tapi tidak terlalu berarti, turun
10 kg sejak 5 tahun ini.

 Buang air besar pasien tidak ada gangguan

 Sakit perut disanggah oleh pasien.

 Penurunan nafsu makan tidak ada

 Mual dan muntah disanggah oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnnya

 Riwayat hipertensi diketahui sekitar 6/7 bulan yang lalu

 Riwayat diabetes tidak jelas

 Riwayat penyakit jantung tidak jelas

 Riwayat penyakit paru tidak jelas

Riwayat Penyakit Keluarga

 Keluarga Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnnya

25
 riwayat penyakit DM keluarga pasie tidak jelas

 riwayat hipertensi keluarga pasie tidak jelas

 riwayat penyakit jantung keluarga pasie tidak jelas

 riwayat penyakit paru keluarga pasie tidak jelas

Riwayat Psikososial:

Pasien perempuan 51 tahun tinggal Bersama suami dan satu orang

anaknya, untuk saat ini pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, pasien tidak

merokok, suami pasien juga tidak merokok, pasien jarang minum kopi dan jarang

minum the, tidak ada konsumsi alcohol, kebiasaan memakan makanan yang pedas

III. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada tgl 23 oktober 2020

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Vital sign :

 Kesadaran : Compos mentis cooperative

 Tekanan Darah : 160/90 mmHg

 Nadi : 90 x/menit

 Pernafasan : 21 x/menit

 Suhu : 36,8°C

3. Status Gizi

 Tinggi badan : 151 cm

 Berat badan : 45kg

26
 IMT : 45/(1,51)2 = 19,2(normoweight)

IV. Status Generalisata

Dilakukan pada tgl 23 oktober 2020

 Kepala

- Normochepal tidak ada tanda trauma,

- rambut beruban tidak mudah rontok

 Kulit :

- Ikterik tidak ada

- Turgor kulit dalam batas normal normal,

- ekomiosis tidak ada

- hematom tidak tampak

 Mata :

- Mata sedikit kabur, pasien tidak ingat sejak kapan.

- Konjungtiva anemis (-/-),

- sklera ikterik (-/-),

- pupil isokor kiri dan kanan(3mm/3mm),

- udem palpebra (-/-)

 Telinga :

- tidak ditemukan massa (-/-),

- perubahan warna (-/-),

- bengkak auricular (-/-),

- nyeri tekan mastoid (-)

27
 Hidung :

- septum deviasi (-),

- os nasal tidak ditemukan massa, sekret (-),

- epistaksis (-),

- cuping hidung(-),

 Mulut :

- Bibir tampak pucat,

- atrofi papil lidah (-),

- sianosis (-),

- lidah kotor tidak ada

 Leher :

- JVP 5-2 cmH2O,

- Leher dapat digerakan bebas

- tidak ada pembesaran tiroid

 Kelenjar Getah Bening :

- tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di:

o preauricular,

o posterior auricula,

o submandibular,

o submental,

o M. sternocledomastoideus,

28
o supraclavicular dan invraclavicula\

Thorak:

Paru:

 Inspeksi :

- Dinding dada terlihat simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis,

- sikatrik (-),

- spider nevi (-)

 Palpasi :

- Tidak ada nyeri tekan rongga dada

- Taktil fremitus kiri dan kanan sama

 Perkusi :

- Sonor seluruh lapang paru

 Auskultasi :

- Vesikuler,

- rhonki (-/-),

- wheezing (-/-),

Jantung:

 Inspeksi :

- Iktus cordis tidak terlihat

- Tidak ada ruam

29
 Palpasi :

- Iktus cordis tidak teraba,

 Perkusi :

- Batas jantung

o Batas jantung kanan : RIC IV linea sternalis dextra

o Batas jantung kiri : 2 jari medial RIC V linea midclavicularis


sinistra

o Batas atas Jantung : RIC II linea parasternalis sinistra

 Auskultasi:

- Bunyi jantung 1 dan bunyi jntung 2 ireguler

- mur-mur (-),

- gallop (-)

Abdomen:

 Inspeksi:

- Perut tampak membuncit,

- ikterik (-),

- venektasi(-),

- sikatrik(-),

- stretch mark(-),

- caput medusa(-)

 Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)

30
- lien tidak ada pembesaran):

- Ginjal : Ballotement (-) dan ktuk CVA (-)

- Hepar : tidak ada pembesran hepar

 Perkusi:

- lumbalis dextra, umbilical

- Shifting dullnes (tidak dilakukan)

- Undulasi (tidak dilakukan)

Ektremitas:

Superior

Inspeksi : Edema (-/-), Sianosis (-/-), Palmer eritem (-/-)

Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi arteri radialis kuat angkat

Tes sensibilitas : Sensibilitas halus (+), Sensibilitas kasar (+)

Refleks Fisiologis Kanan Kiri


Refleks Bisecps + +
Refleks Triceps + +
Refleks Brachioradialis + +

Refleks Patologis Kanan Kiri


Refleks Hoffman- + +
Trommner

Inferior

Inspeksi : Edema ekstremitas (+/+) minimal, Sianosis (-/-)

Palpasi : Perabaan hangat, Pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis


pedis, A.Tibialis posterior, dan A.Poplitea kuat
angkat

31
Tes Sensibilitas : Sensibilitas halus (+), Sensibilitas kasar (+)

Refleks Fisiologis Kanan Kiri


Refleks Patella + +
Refleks Achilles + +

Refleks Patologis Kanan Kiri


Refleks Babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks Oppenheim - -
Refleks Chaddoks - -

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah rutin (20 oktober 2020)

Hematologi Lengkap

Hemoglobin : 10.4 g/Dl (L)

Hematokrit : 30,9 % (L)

Leukosit : 18.000/mm3 (H)

Trombosit : 323.000/mm3

Gula Darah Sewaktu : 292 mg/dL (H)

Ureum : 75 mg/dL (H)

Kreatinin : 3.04 mg/dL (H)

EKG

32
Rontgen thorak

VI. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Primer : Congestive Heart Failure

Diagnosis Sekunder :

- DM Tipe II
- Hipertensi
VII. DIAGNOSIS BANDING

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

1. Elektrokardiografi
2. Rontgen foto thorax
3. Ekokardiografi
IX. Komplikasi

33
1. Tromboemboli
2. Atrium fibrilasi
3. fibrilasi ventrikel
4. aritmia

IX. PENATALAKSANAAN

1. Non Farmakologis
a. Bed rest
b. Diet rendah garam
2. Farmakologis
a. IVFD RL 12jam/kolf
b. Inj, ceftriason 2 X 2gr (IV)
c. Inj, Lasix 1x1 amp
d. Inj. Ntg 1,5 cc/jam
e. Paracetamol 3X1 Tab (PO)
f. Bicnat 3X1 Tab (PO)
g. AS folat 1X5 gr (PO)

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

34
Tanggal Subject Object Assessment Planning

20/10/202  Sesak (+) KU: Sedang  CHF  IVFD


0
 Nyeri dada Kes: CMC  DM TIPE RL 12jam/kolf
msaih ada II  Inj,
TD: 120/70
 Badan terasa ceftriason 2 X 2gr
ND:
letih
80x/mnt (IV)
 Kaki masih  Inj,
NF: 18x/mnt
bengkak
T: 36.3 C Lasix 1x1 amp
 Muntah (-)
 Inj.
GDR: 316
 Kepala NTG 1,5 cc/jam
Pusing (-)
 Bicnat
3X1 Tab (PO)
 AS
folat 1X5 gr (PO)

 Control gula
darah

XI. FOLLOW UP

21/20/20  Sesak (+) KU:  CHF  IVFD RL

 Nyeri dada Sedang  DM 12jam/ko


msaih ada Kes: CMC TIPE II lf
 Badan terasa TD: 130/70    Inj, ceftriason 2 X
letih ND: 2gr (IV)
 Kaki masih 78x/mnt  Inj, Lasix 1x1 amp
bengkak
NF:  Bicnat 3X1 Tab
 Muntah (-) 20x/mnt (PO)
 Kepala Pusing T: 36.6 C  AS folat 1X5 gr
(-)
GDP: 199 (PO)
2JPP: 235  Amlodipine 1X10

35
mg (PO)
 Candesartan 1X16
mg (PO)
 Concor 1X2,5 mg

22/10/202  Sesak KU:  CHF  IVFD RL


0 berkurang Sedang  DM TIPE 12jam/k
 Mual (-) Kes: CMC II olf
 Muntah (-) TD: 110/70  Inj, ceftriason 2 X
 Badan terasa ND: 2gr (IV)
letih 96x/mnt  Inj, Lasix 1x1 amp
 Bengakk di NF:  Bicnat 3X1 Tab
kaki sudah 20x/mnt (PO)
tidak ada T: 36.1 C  AS folat 1X5 gr
(PO)
 Candesartan 1X16
mg
(PO)
 Amlodipine 1X10
gr(PO)

 Concor 1X2,5 mg
23/02/202  Sesak KU:  CHF Pasien boleh pulang
0 berkurang Sedang  DM TIPE
 Batuk Kes: CMC II
berkurang TD: 120/70
 Kaki sudah ND:
tidak bengkak 80x/mnt
 Mual (-) NF:

 Muntah (-) 18x/mnt


T: 36.3 C
 Kepala pusing

36
(-)

37
BAB IV
PENUTUP
Telah dilaporkan seaorang pasien wanita berumur 51 tahun dirawat di
bangsal RSUD Solok pada tanggal 20 oktober 2020 dengan keluhan sesak nafas
yang dirasakan makin memberat sejak 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien
mengatakan sesak muncul saat setelah pasien pulang dari kedai.
Nyeri dada dirasakan pasien hanya di dada sebelah kiri dan tidak ada
penjalaran, nyeri dirasakn beberapa hari ini seblum pasien dirawat di rumah sakit,
pasien mengeluhkan kaki kiri dan kanannya bengkak, dari anamnesis yang
dilakukan pasien sering buang air kecil, berat badan berkurang tidak signifikan,
dan pasien mengatakan minum hanya saat pasien merasa haus saja pasien tidak
ada mengeluhkan mual dan tidak ada juga mengeluhan muntah,
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan tgl 23 oktober didapatkan keadaan
pasien dengan kesadaran compos mentis coorperatif. Tekanan darah 160/90
mmHg, frekuensi nadi 90x/menit, frekuensi nafas 21x/menit, suhu 36.8 C.. Dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat ditegak
diagnosa Congestive heart failure dan DM tipe II dan hipertensi

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, W. Aru dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi V,
Jakarta: Interbal Publishing
2. Sudoyo, W. Aru dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi V,
Jakarta: Interbal Publishing
3. Tjokroprawiro, asnandar, dkk. Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Airlangga University Press. 2007
4. Adi, Pangestu. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor).
Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
5. Soelistijo AS dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia: Jakarta : PB PERKENI. 2015.

39

Anda mungkin juga menyukai