Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A221069/Desember 2022


**Pembimbing/ dr. Rozy Oneta, Sp.M

PTERYGIUM OS GRADE III

Disusun Oleh:

Winalda Eka Santi, S.Ked *


dr. Rozy Oneta, Sp.M**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN/KSM MATA RSUD H.


ABDUL MANAP FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2022
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

PTERYGIUM OS GRADE III

Disusun Oleh:
Winalda Eka Santi, S.Ked
G1A221069

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/KSM Mata RSUD H. Abdul Manap


Prov. Jambi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan Pada
Desember 2022

Pembimbing

dr. Rozy Oneta, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “PTERYGIUM OS GRADE III ” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Mata di Rumah Sakit Umum
Daerah H. Abdul Manap Kota Jambi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.
Rozy Oneta, Sp.M selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan arahan kepada penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Mata RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Penulis mengharapkan
semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2022

Winalda Eka Santi, S. Ked

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan
kelopak mata. Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena.1-6
Pterigium merupakan penyakit yang berpotensi menyebabkan kebutaan dan
mengganggu kosmetik, pada stadium lanjut memerlukan tindakan operasi untuk perbaikan
visus.1 Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular patologis yang berasal
dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pterigium tampak seperti daging berbentuk segitiga yang kaya akan pembuluh darah,
puncaknya terletak di kornea dan dasarnya di bagian perifer.7
Etiologi pterigium belum diketahui secara pasti. Faktor resiko yang mempengaruhi
pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu
di udara, dan faktor herediter. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting
dalam hal ini. Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami
pterigium.8,9
Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko
timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis dengan
prevalensi untuk orang dewasa >40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan
17,6%.5 Angka rekurensi pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah 35-52%. Dari hasil
penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa angka rekurensi pada pasien
berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun
adalah 12,5%.10
Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya frekuensi
pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah 35–52%.
Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa recurrence rate pada
pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40
tahun adalah 12,5%. Selain itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi
mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak
semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.

4
1

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Pitaloka
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sarolangun
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Status : Menikah

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


2.2.1 Keluhan Utama
Mata kiri terasa mengganjal sejak ± 3 tahun SMRS.
2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD H. Abdul Manap dengan keluhan mata kiri
terasa mengganjal sejak ± 3 tahun SMRS. Keluhan awalnya terlihat adanya rasa mengganjal
seperti titik putih di sudut mata kiri. Lalu lama kelamaan melebar seperti selaput sampai
mengenai kornea tapi belum sampai ke anak mata kiri. Selaput tersebut berwarna putih dan
sedikit kemerahan. Pasien mengeluhkan mata merah yang hilang timbul dan semakin
memberat apabila pasien terkena debu sejak + 2 tahun SMRS.. Pasien juga sering mengeluhkan
matanya berair. Keluhan mata berair hilang timbul dan memberat apabila terkena angin atau
debu. Pasien juga mengeluhkan terkadang terdapat gangguan penglihatan seperti terasa buram
namun masih bisa membaca tulisan jarak jauh. Menurut pengakuan os, os sering terpapar debu
truck batubara saat mengendarai motor. Os juga sering memakai kontak lensa (+). Keluhan
rasa nyeri pada mata disangkal, keluhan mata gatal dan keluarnya kotoran mata yang banyak
di sangkal ,keluhan pandangan menjadi kabur,berbayang ataupun berkabut di sangkal.
Riwayat trauma di sangkal. Riwayat mata terkena bahan kimia disangkal. Riwayat penyakit
mata sebelum timbulnya selaput disangkal. Os sudah pernah dibawa ke puskesmas namun saat
di puskesmas os disarankan untuk ke rumah sakit untuk dilakukan operasi dan os belum diberi
obat apapun.

5
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat keluhan serupa (-)
• Riwayat operasi mata (-)
• Riwayat pemakaian kacamata sebelumnya (-)
• Riwayat Diabetes Melitus (-)
• Riwayat Hipertensi (-)
• Riwayat asma (-)
• Riwayat alergi (-)

2.2.4 Riwayat Penyakit dalam Keluarga


• Riwayat keluhan serupa (-)
• Riwayat penggunaan kacamata pada saudara kandung (+)
• Riwayat Penyakit Sistemik :
• Riwayat Hipertensi (+) pada Ayah
• Riwayat penyakit Diabetes Mellitus (+) pada Ibu

2.2.5 Riwayat Gizi


Pasien dengan berat badan 68 kg, tinggi badan 160 cm IMT = 23,4
kg/m2.
Status gizi : Normoweight

2.2.6 Keadaan Sosial Ekonomi


• Pasien sudah menikah
• Pasien saat ini bekerja sebagai IRT.

2.2.7 Penyakit Sistemik


a. Trac. Respiratorius : Tidak ada keluhan
b. Trac. Digestivus : Tidak ada keluhan
c. Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan
d. Endokrin : Tidak ada keluhan
e. Neurologi : Tidak ada keluhan
f. THT : Tidak ada keluhan
g. Kulit : Tidak ada keluhan
h. Gigi dan Mulut : Tidak ada keluhan
i. Lain-lain : Tidak ada

6
2.3 Pemeriksaan Fisik

Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Jaringan fibrovascular melewat limbus kornea


> 2mm.

7
Pemeriksaan Visus dan Refraksi

OD OS

Visus : 6/6 Visus: 6/6 fs 1

Muscle Balance

Kedudukan bola Ortoforia


mata

Pergerakan bola
O O O O
mata
O O O O

O O O O

Baik ke Baik ke
segala segala
arah arah
Pemeriksaan Eksternal

OD OS

Palpebra Palpebra

Edema (-), Hiperemis (-), Ruptur (-) Edema (-), Hiperemis (-), Ruptur (-)

Supercilia Supercilia

Simetris (+), Intak (-), Madarosis (-), Simetris (+), Intak (-) Madarosis (-),
Poliosis (-) Poliosis (-)
Cilia Cilia

Hipersekresi (-), Madarosis (-), Hipersekresi (-), Madarosis (-), Trikiasis


Trikiasis (-), Distrikiasis (-) (-), Distrikiasis (-)
Ap. Lacrimalis Ap. Lacrimalis

Hiperlakrimasi (-) Hiperlakrimasi (-)

8
Conjungtiva tarsus superior Conjungtiva tarsus superior

Hiperemis (-), papil (-) Hiperemis (-), papil (-)

Conjungtiva bulbi Conjungtiva bulbi

Injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (-) Injeksi konjungtiva (+), injeksi silier (+)
Jaringan Fibrovaskular (+)
Kornea Kornea

Jernih, infiltrat (-), sikatriks (-), ulkus Jernih, infiltrat (-), sikatriks (-), ulkus (-)
(-)

COA COA

Normal, Hipopion (-), Normal, Hipopion (-),


Hifema (-) Hifema (-)
Pupil Pupil

Bulat, diameter 3 mm, refleks Bulat, diameter 3 mm, refleks cahaya


cahaya (+) (+)
Iris Iris

Coklat, Kripte (-) Coklat, Kripte (-)


Lensa Lensa

Jernih Jernih

Tekanan Intraokuler

OD OS

Palpasi N N

NCT Tidak Dilakukan tidak


Dilakukan

Visual Field
+ +
+ +

9
+ +

+++ +++ +++ +++

+ +
+ +
+ +

Pemeriksaan Slit Lamp

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan Funduskopi

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan Umum

Tinggi badan 160 cm

Berat badan 68 Kg

Tekanan darah 120/80 mmHg

Nadi 89x menit

Suhu 36,5o C

Pernapasan 20x /menit

Kardiovaskuler Dalam batas normal

Traktus Gastrointestinal Dalam batas normal

Paru – paru Dalam batas normal

10
11

2.4 Diagnosis Kerja


Pterygium OS Grade III

2.5 Diagnosis Banding


Pseudopterigium

Pingekuela

2.6 Anjuran Pemeriksaan


• Pemeriksaan slit lamp
• Sonde Test
2.7 Penatalaksanaan
a. Bedah
- Pro Eksisi Pterygium OS

b. Farmakologi
- Cendo Lyteers Eye Drops 15 ml 4x1 ODS

c. Non-medikamentosa
- Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien.
- Edukasi pasien untuk tidak banyak terkena matahari secara langsung, dilindungi
oleh kacamata.
- Edukasi untuk kontrol teratur ke dokter.
- Edukasi untuk melakukan tindakan operasi pterygium sebagai
penatalaksanaan penyakit.

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi & Fisiologi


3.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi
tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi
sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling
sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva
yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva
yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan
13

lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk
pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.

3.2 Fisiologi Konjungtiva


Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan
oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme
pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai
darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel
mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk
IgA.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari
sel-sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau
3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat
papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini
menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
14

a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior
dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring. Kedua
kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata asesori
(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal,
terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan
sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada
sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
15

3.3 Pterigium
3.3.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi
patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa
Yunani, yaitu pteron yangartinya wing atau sayap.1,6

Gambar 1. Pterigium

3.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter.
a. Radiasi Ultraviolet

Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.

b. Faktor Genetik

Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan


pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
16

c. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan
terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu
atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura
interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan
pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium
pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7

3.3.4 Patofisiologi

Insiden pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar
radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang penting
dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium
pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi
matriks ekstraselular.7

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1-8 Pterigium ini biasanya bilateral, karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet,
17

debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.3

Sebuah hipotesis mengatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan ekspresi


abnormal Ki-67 (marker proliferasi) dan mutasi pada gen supresor tumor, seperti p53 dan
p63 yang menyebabkan proliferasi abnormal epitel. Epitel yang melapisi mungkin
menunjukkan metaplasia skuamosa ringan. Pterigium adalah suatu degenerasi dan
kondisi hiperplastik konjungtiva. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastotic (basophilic degeneration) dan proliferasi fibrovaskuler di bawah epitel, yang
akhirnya dapat mengganggu kornea. Histopatologi kolagen abnormal pada area
degenerasi elastotik menunjukkan basophil dengan hematoxylin dan eosin stain. Epitel
kornea, membran Bowman dan stroma superfisial akan mengalami kerusakan.8

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor genepada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan
menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan
granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea dimanaterdapat
pada lapisan membran bowman.7,8

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal terjadi pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.8,9

3.3.4 Gambaran Klinis

Pterigium yang berkembang dengan sempurna memiliki tiga bagian7:

1. Kepala: bagian puncak yang terdapat pada kornea (apical part)


18

2. Leher: bagian yang terletak pada limbus (limbal part)


3. Badan: bagian yang berlanjut dari limbus menuju kantus (scleral part)

Secara klinis, manifestasi pterigium lebih sering terjadi pada orangtua, terutama
yang sering bekerja di luar ruangan. Dapat timbul unilateral ataupun bilateral. Pterigium
bermanifestasi sebagai lipatan konjungtiva berbentuk segitiga, yang merambat ke kornea.
Pterigium biasanya timbul pada sisi nasal, namun ada juga yang timbul pada sisi temporal.
Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea di ujung puncak segitiga pada
pterigium, yang disebut Stocker’s
line.7
Pada awal proses penyakit, pterigium biasanya asimptomatis, namun dapat pula
berupa mata yang kering (rasa panas, gatal, atau mata berair) akibat lesi yang mulai
berkembang pada permukaan okular. Seiring dengan progresi penyakit, lesi bertambah
besar dan mulai dapat dilihat dengan mata telanjang, serta dapat mengganggu kosmetik
bagi pasien. Pertumbuhan lebih lanjut akan menyebabkan gejala pada visus ketika
pterigium sudah menutupi daerah pupil atau akibat astigmatisma kornea akibat fibrosis
pada tahap regresif. Diplopia dapat timbul sebagai akibat pembatasan gerak okular.

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:1,3

1. Mata sering berair dan tampak merah

2. Merasa seperti ada benda asing

3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut


biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan
4. Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun
19

3.3.5 Diagnosis pterigium

1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor
resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis
kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3

Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata


sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan
diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea
dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat
berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3

2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun.Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi
ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap
regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau
halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
20

Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau


klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit

1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium

1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea.

2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea.
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm).
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.8

Gambar 2.Luas pterigium2


21

c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp

1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat

2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas


3.3.6 Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obatobatan
jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1
atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena
bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena
pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila
terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid. Bila terdapat
delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan
pengobatan dihentikan.1
Pada saat ini telah dikembangkan suatu metode baru dalam pengobatan pterigium
untuk derajat 1 dan 2, yaitu dengan prinsip pemberian obat golongan avastin yaitu obat
yang menghambat dalam sistem vascular endothelial growth factor (VEGF).
Berdasarkan penelitian terbaru didapatkan bahwa VEGF ini ditemukan pada pasien
pterigium dimana biasanya VEGF ini ditemukan pada pasien penderita age related
macular degeneration (ARMD) dan pasien dengan Diabetic macular edema.
Bevacizummab (avastin) adalah human monoclonal antibody VEGF yang bekerja
menghambat dari perkembangan VEGF. Pemberian avastin dapat menghambat
perkembangan fibrovaskular pada pterigium derajat awal.17

Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk


gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata.
Indikasi Operasi pterigium:
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.
22

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepipupil.
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dansilau
karena astigmatismus.
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

Teknik Pembedahan1,7

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,


dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah
telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1 o Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera untuk
epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah didokumentasikan
dalam berbagai laporan.7 o Teknik Autograft Konjungtiva
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbi
superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium tersebut.
Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya
pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's darigraft konjungtiva d, manipulasi
minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan
telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.7
o Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan


pterigium.Sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion merupakan
faktor penting untuk menghambat peradangan, fibrosis dan
epithelialisai.Biasanyateknikinidigunakanpadapterigium yang luas2,7 o
Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek
konjungtiva sangat kecil).
o Sliding Flap
23

Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva untuk
menutup luka. o Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari konjungtiva yang
diputar untuk menutup luka.
o Lamellar Keratoplasty

Excimerlaser fototerapi keratektomi dan yang terbaru denganmengunakan


gabungan steroidangiostatik.

Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterigium. Studi telah
menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang dengan penambahan terapi
ini,tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini.2
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal
yang aman dan efektif belum ditemukan. Ada dua bentuk MMC yang saat ini
digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterigium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.2
Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
pemberian:
- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari
kemudian tappering offsampai 6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep matadexamethasone.
3.3.7 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11
24

Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:

Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera
dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80
%. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringanepitel di atas
pterigium.11
3.3.8. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi biasanya menjadi baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama post operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam post op dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran
amnion.11
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien datang ke poliklinik mata RSUD H. Abdul Manap dengan keluhan


mata kiri terasa mengganjal sejak ± 3 tahun SMRS. Keluhan awalnya terlihat
adanya rasa mengganjal seperti titik putih di sudut mata kiri. Lalu lama kelamaan
melebar seperti selaput sampai mengenai kornea tapi belum sampai ke anak mata
kiri. Selaput tersebut berwarna putih dan sedikit kemerahan. Pasien mengeluhkan
mata merah yang hilang timbul dan semakin memberat apabila pasien terkena debu
sejak + 2 tahun SMRS.. Pasien juga sering mengeluhkan matanya berair. Keluhan
mata berair hilang timbul dan memberat apabila terkena angin atau debu.
Dari anamnesis pada riwayat kebiasaan di dapatkan pasien sering terpapar
debu dan menggunakan sepeda motor..Hal ini mendukung diagnosis pterygium
karena sering terpapar dengan sinar UV saat berkendara serta benda asing seperti
debu merupakan salah satu faktor risiko dari pterygium.
Pada Pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum tampak baik,Pada
pemeriksaan lokalis mata kanan pada konjungtiva bulbi OS tampak jaringan
fibrovaskular yang tumbuh dari arah nasal dan temporal hingga ke korena pada
mata kanan yang mana hal ini merupakan ciri khas dari pterigium.
Tindakan yang di lakukan adalah pembedahan untuk mencegah
progresifitas lebih lanjut dari jaringan tersebut.
BAB V
PENUTUP

Pterygium tidak memberikan gangguan pada penglihatan namun dapat

menyebabkan rasa tidak nyaman dan gangguan kosmetik kecuali jaringan

firbomuskularnya telah sampai ke kornea

Pteryhgium dapat dengan mudah di diagnosa melalui gambaran klinis dan

pemeriskaan penunjang dengan Diagnosis dan penatalaksaanaan dini prognosis

pterygium sangat baik namun kekambungan masih dapat terjadi

Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat

obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan

pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan

pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan


DAFTAR PUSTAKA

1. James B, Chew C, Bron A. Lecture notes oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta:


Erlangga; 2006.
2. Hartono. Buku saku ringkasan anatomi dan fisiologi mata. Yogyakarta:
FK UGM; 2007.
3. Chanda DW, Suprapto A, Agni AN. Effectiveness of subconjunctival
mitomycin-C compared with subconjunctival tiamcinolon acetonide on the
recurrence of progresive primary pterygium which underwent Mc Reynolds
method. Berkala Ilmu Kedokteran. 2007; 39(4):186-91.
4. Ilyas S, Mailangkay HBB, Taim SH, Simarwata R, Widodo M. Ilmu
penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Jakarta:
Sagung Seto; 2010.
5. Ferrer GFJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. Dalam: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. Vaughan & Asburry’s general opthalmology. Edisi ke-
17. USA: McGraw Hill; 2010.
6. Nurwasis. Pedoman diagnosis dan terapi bag/smf ilmu penyakit mata.
Edis ke-3.
7. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi keempat. 2019. Jakarta: FK UI.
8. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.
9. 4. Pinem TAN. 2015. Laki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis
Grade 3 OS. J Medula Unila. 2015; 4(2):165-70
10. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan dasar mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2011.
11. Benitez JM et al. Ocular Surface Disorders. 2013. London :JP Medical
Publishers
12. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002;86(12): 1341–1346. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
13. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Jakarta:Widya Medika. 2000. hal 5-6.
14. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman
Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta:
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
15. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2011-2012. p: 332&391
16. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
17. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive
Ophtalmologi. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age
International Limited Publisher. 2007. p: 443-457
18. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
19. Jerome P Fisher. Pterygium.
2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
20. Danchaivijitr C, Kennard C. Diplopia and eye movement disorders. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2004. p:iv24-iv31.
21. American Academy of Ophthalmology. Clinical Approach to Depositions
and Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera Chapter 17. In
External
Disease and Cornea. 2012. Singapore: Lifelong Education
Ophthalmologist.
22. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. 2011. Pemeriksaan dasar mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata RS. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
23. Detorakis T, Spandidos Demetrios. 2009. Pathogenetic mechanisms and
treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives
(Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of
Heraklion,Crete, Greece
24. Suyatna, Frans. 2010. Farmakologi klinik citicoline. Available from:
www.kalbemed.com/portals [Diakses 1 Januari 2017].
25. Besharati MR, Manaviat MR, Souzani A. Subconjuctival Bevacizumab
Injection in Treatment of Pterygium. 2011. Tehran: Acta Medica Iranica.

Anda mungkin juga menyukai