Disusun Oleh:
Disusun Oleh:
Winalda Eka Santi, S.Ked
G1A221069
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “PTERYGIUM OS GRADE III ” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Mata di Rumah Sakit Umum
Daerah H. Abdul Manap Kota Jambi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.
Rozy Oneta, Sp.M selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan arahan kepada penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Mata RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Penulis mengharapkan
semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
1
BAB II
LAPORAN KASUS
5
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat keluhan serupa (-)
• Riwayat operasi mata (-)
• Riwayat pemakaian kacamata sebelumnya (-)
• Riwayat Diabetes Melitus (-)
• Riwayat Hipertensi (-)
• Riwayat asma (-)
• Riwayat alergi (-)
6
2.3 Pemeriksaan Fisik
7
Pemeriksaan Visus dan Refraksi
OD OS
Muscle Balance
Pergerakan bola
O O O O
mata
O O O O
O O O O
Baik ke Baik ke
segala segala
arah arah
Pemeriksaan Eksternal
OD OS
Palpebra Palpebra
Edema (-), Hiperemis (-), Ruptur (-) Edema (-), Hiperemis (-), Ruptur (-)
Supercilia Supercilia
Simetris (+), Intak (-), Madarosis (-), Simetris (+), Intak (-) Madarosis (-),
Poliosis (-) Poliosis (-)
Cilia Cilia
8
Conjungtiva tarsus superior Conjungtiva tarsus superior
Injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (-) Injeksi konjungtiva (+), injeksi silier (+)
Jaringan Fibrovaskular (+)
Kornea Kornea
Jernih, infiltrat (-), sikatriks (-), ulkus Jernih, infiltrat (-), sikatriks (-), ulkus (-)
(-)
COA COA
Jernih Jernih
Tekanan Intraokuler
OD OS
Palpasi N N
Visual Field
+ +
+ +
9
+ +
+ +
+ +
+ +
Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan Umum
Berat badan 68 Kg
Suhu 36,5o C
10
11
Pingekuela
b. Farmakologi
- Cendo Lyteers Eye Drops 15 ml 4x1 ODS
c. Non-medikamentosa
- Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien.
- Edukasi pasien untuk tidak banyak terkena matahari secara langsung, dilindungi
oleh kacamata.
- Edukasi untuk kontrol teratur ke dokter.
- Edukasi untuk melakukan tindakan operasi pterygium sebagai
penatalaksanaan penyakit.
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva
yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan
13
lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk
pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior
dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring. Kedua
kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata asesori
(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal,
terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan
sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada
sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
15
3.3 Pterigium
3.3.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi
patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa
Yunani, yaitu pteron yangartinya wing atau sayap.1,6
Gambar 1. Pterigium
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.
b. Faktor Genetik
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan
terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu
atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura
interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan
pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium
pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
3.3.4 Patofisiologi
Insiden pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar
radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang penting
dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium
pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi
matriks ekstraselular.7
debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.3
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor genepada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan
menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan
granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea dimanaterdapat
pada lapisan membran bowman.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal terjadi pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.8,9
Secara klinis, manifestasi pterigium lebih sering terjadi pada orangtua, terutama
yang sering bekerja di luar ruangan. Dapat timbul unilateral ataupun bilateral. Pterigium
bermanifestasi sebagai lipatan konjungtiva berbentuk segitiga, yang merambat ke kornea.
Pterigium biasanya timbul pada sisi nasal, namun ada juga yang timbul pada sisi temporal.
Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea di ujung puncak segitiga pada
pterigium, yang disebut Stocker’s
line.7
Pada awal proses penyakit, pterigium biasanya asimptomatis, namun dapat pula
berupa mata yang kering (rasa panas, gatal, atau mata berair) akibat lesi yang mulai
berkembang pada permukaan okular. Seiring dengan progresi penyakit, lesi bertambah
besar dan mulai dapat dilihat dengan mata telanjang, serta dapat mengganggu kosmetik
bagi pasien. Pertumbuhan lebih lanjut akan menyebabkan gejala pada visus ketika
pterigium sudah menutupi daerah pupil atau akibat astigmatisma kornea akibat fibrosis
pada tahap regresif. Diplopia dapat timbul sebagai akibat pembatasan gerak okular.
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:1,3
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor
resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis
kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun.Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi
ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap
regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau
halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
20
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea.
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm).
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.8
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepipupil.
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dansilau
karena astigmatismus.
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
Teknik Pembedahan1,7
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva untuk
menutup luka. o Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari konjungtiva yang
diputar untuk menutup luka.
o Lamellar Keratoplasty
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterigium. Studi telah
menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang dengan penambahan terapi
ini,tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini.2
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal
yang aman dan efektif belum ditemukan. Ada dua bentuk MMC yang saat ini
digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterigium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.2
Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
pemberian:
- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari
kemudian tappering offsampai 6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep matadexamethasone.
3.3.7 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11
24
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera
dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80
%. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringanepitel di atas
pterigium.11
3.3.8. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi biasanya menjadi baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama post operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam post op dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran
amnion.11
BAB IV
ANALISIS KASUS
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan