Anda di halaman 1dari 106

EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

DI PUSKESMAS KAKASKASEN
PERIODE JANUARI - DESEMBER 2020

Disusun Oleh:
dr. Grace Natalia Dumat

Dokter Pendamping:
dr. Junike Pusungunaung

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PUSKESMAS KAKASKASEN
KOTA TOMOHON
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang di
sebabkan oleh infeksi menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya
hingga kematian.1
Menurut Global report 2019 yang dirilis oleh WHO, Indonesia
berada dalam daftar 30 negara dengan beban Tuberkulosis tertinggi di dunia
dan menempati peringkat tertinggi ketiga di dunia terkait angka kejadian
Tuberkulosis. Insidensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2018 adalah
316 per 100.000 penduduk. (WHO, 2019) Pada tahun 2019 jumlah kasus
tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 543.874 kasus, menurun bila
dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2018
yang sebesar 566.623 kasus.2
Case Detection Rate (CDR) adalah jumlah semua kasus tuberkulosis
yang diobati dan dilaporkan di antara perkiraan jumlah semua kasus baru
tuberkulosis. CDR menggambarkan seberapa banyak kasus tuberkulosis
yang terjangkau oleh program. Case Detection Rate kasus tuberkulosis pada
tahun 2019 sebesar 64,5% terjadi penurunan dari tahun 2018 dimana angka
CDR sebesar 67,2%. Namun angka tersebut masih jauh dari angka CDR
yang direkomendasikan oleh WHO yang sebesar ≥90%. Dimana angka
CDR di provinsi Kalimantan Timur adalah sebesar 53,5% menduduki
peringkat 17 dari 34 provinsi di Indonesia. 2
Case Notification Rate (CNR) adalah jumlah semua kasus
tuberkulosis yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang
ada di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan (tren) meningkat atau menurunnya
penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah. Angka CNR tahun
2019 adalah 203 per 100.000 penduduk, dimana angka tersebut mengalami
penurunan dibandingkan pada tahun 2018 yaitu sebesar 214 per 100.000
penduduk.2
Angka keberhasilan pengobatan (Treatment Success Rate)
merupakan indikator yang digunakan untuk mengevaluasi pengobatan
tuberkulosis. Angka keberhasilan pengobatan yaitu jumlah semua kasus
tuberkulosis yang sembuh dan yang mendapat pengobatan lengkap di antara
semua kasus tuberkulosis yang diobati dan dilaporkan. Jika merujuk pada
target yang ditetapkan rentsra Kementerian Kesehatan untuk indikator ini
yang sebesar 85%, maka secara nasional angka keberhasilan pengobatan
tuberkulosis telah tercapai termasuk pada tahun 2019 yang sebesar 86,6%.
Provinsi yang mencapai angka keberhasilan pengobatan semua kasus
tuberkulosis minimal 85% pada tahun 2019 sebanyak 9 provinsi (26,5%)
termasuk Provinsi Kalimantan Timur dengan angka keberhasilan
pengobatan sebesar 93,9%.2
Namun, menurut Global TB Report 2020 terbaru ini, dari sejumlah
data yang dikumpulkan dari lebih 200 negara, menunjukkan penurunan
yang signifikan dalam notifikasi kasus TBC. Dimana terjadi penurunan 25-
30% antara bulan Januari dan Juni 2020 dibandingkan dengan periode yang
yang sama pada tahun 2019 di 3 negara dengan beban tinggi, termasuk
Indonesia yang merupakan salah satu dari negara dengan beban TBC
tertinggi di dunia. Penurunan dalam notifikasi kasus ini dapat menyebabkan
peningkatan dramatis dalam kematian TBC tambahan, menurut model
WHO. Dari laporan tersebut, untuk Indonesia di tahun 2019 diperkirakan
terdapat total kasus TBC mencapai 845,000 kasus, dan hanya 67% yang
melakukan pengobatan. Dari jumlah kasus tersebut, diperkirakan 24,000
kasus merupakan kasus pasien TBC Resistan Obat (TBC RO) dengan
tingkat mulai pengobatan (enrollment rate) sebesar 48% (5,531pasien) dari
11,463 yang terkonfirmasi TBC RO. Angka ini tentunya masih di bawah
target pengobatan, yaitu sebesar 90%. Laporan ini masih jauh dari target
capaian yang diharapkan untuk bisa menuju eliminasi TBC 2030
mendatang.3
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis menyebutkan indikator utama program
pengendalian TBC di Indonesia diantaranya adalah cakupan penemuan dan
pengobatan semua kasus TBC (case detection rate/CDR) dan angka
keberhasilan pengobatan semua kasus TBC (treatment success rate/TSR).
Dampak pandemi Covid-19 terhadap pelaksanaan program pengendalian
TBC nasional terlihat pada capaian kedua indikator program tersebut yang
menunjukkan penurunan dibandingkan periode sebelumnya. Berdasarkan
Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) online tanggal 27 Februari 2020,
CDR kasus TBC di Indonesia hanya sebesar 41,7% dan TSR sebesar 82%.
Sedangkan pada tahun 2019, CDR kasus TBC di Indonesia sebesar 67% dan
TSR TBC sebesar 83%. Artinya terjadi penurunan penemuan kasus sebesar
25,3% dan penurunan angka keberhasilan pengobatan sebesar 1%. 4
Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjelajahan Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu.
Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Badan Pengobatan
Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan
secara nasional melalui Puskesmas. Pada tahun 1995, program
pengendalian TB mulai menerapkan strategi pengobatan jangka pendek
dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
Shortcourse) yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap.5
Strategi nasional pengendalian TB telah sejalan dengan petunjuk
internasional (WHO DOTS dan strategi baru Stop TB). Strategi yang
direkomendasikan untuk mengendalikan TB (DOTS = Directly Observed
Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah
untuk mempertahankan control terhadap TB; deteksi kasus TB di antara
orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak;
pengobatan teratur selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang
rutin dan tidak terputus; dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi
perkembangan pengobatan dan program.6 Sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas
yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. DOTS sangat
penting untuk penanggulangan TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap
menjadi komponen utama dalam strategi penanggulangan TB yang terus
diperluas.5
Berdasarkan profil kesehatan puskesmas kakaskasen pada tahun
2020, cakupan penemuan dan pengobatan tuberkulosis masih kurang yaitu
47,83% dari target 100%, namun berdasarkan data per puskesmas yang
cakupannya CDR (Case Detection Rate) masih rendah dengan angka 48%.7
Berdasarkan data profil kesehatan Kakaskasen pada tahun 2020, angka
CNR (case notification rate) TB adalah 86/100.000 penduduk, dimana
angka keberhasilan pengobatan sedangkan Target Pencapaian didapatkan
dengan angka 25,07% dan TB (Success Rate) adalah 67%.

1.2 Perumusan Masalah


a) Apa saja faktor yang menyebabkan kendala dalam program
pengendalian Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Samboja?
b) Apa saja alternatif pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab
masalah yang ditemukan?
c) Bagaimana prioritas pemecahan masalah sesuai dengan penyebab
masalah yang ada?
d) Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah
tersebut?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan dan target program
pengendalian kasus Tuberkulosis di Puskesmas Kakaskasen
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi faktor yang menghambat dalam program
pengendalian Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas
Kakaskasen.
b. Mengetahui kemungkinan penyebab masalah-masalah dari
program pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Kakaskasen.
c. Menentukan prioritas masalah yang ada dalam meningkatkan
pengendalian kasus Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas
Kakaskasen.
d. Membuat rencana kegiatan dari pemecahan masalah terpilih di
Puskesmas Kakaskasen.

1.4 Manfaat
1. Manfaat bagi Penulis
a. Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan program
Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Kakaskasen.
b. Melatih kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan
pemegang program puskesmas dan masyarakat.
c. Melatih kemampuan analisis dan pemecahan masalah terhadap
penyebab masalah.
2. Manfaat bagi Puskesmas
a. Mendapatkan masukan mengenai pelaksanaan dan masalah-
masalah yang dihadapi selama pelaksanaan program
Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Kakaskasen.
b. Mendapatkan alternatif penyelesaian masalah dalam
pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis Puskesmas
Kakaskasen.
c. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penyuluhan kesehatan
guna meningkatkan keberhasilan program Pengendalian
Tuberkulosis Puskesmas Kakaskasen pada tahun-tahun
berikutnya.

3. Manfaat bagi Masyarakat


a. Mensosialisasikan kepada masyarakat tentang penyakit
Tuberkulosis dan pentingnya mendapatkan pengobatan sampai
tuntas, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencapaian
masyarakat bebas tuberkulosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering
ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru,
namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ
tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang,
dan organ ekstra paru lainnya.9

2.1.2 Etiologi dan Transmisi Tuberkulosis9


Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti and
Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar
manusia melalui rute udara. Tuberkulosis biasanya menular dari
manusia ke manusia lain lewat udara melalui percik renik atau
droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang yang
terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik
dan satu kali bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik.
Sedangkan, dosis yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB
adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang paling infeksius adalah
penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum positif,
dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan
hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius.
Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila
penderita juga memiliki TB paru. Individu dengan TB laten tidak
bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi mereka tidak
bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke organisme lain.
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap,
dengan minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara
dalam waktu yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat
membunuh tuberkel basili dengan cepat, namun bakteri ini akan
bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat
dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan
risiko penularan. Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah
anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia.
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami
penyakit TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang
normal. 50- 60% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan
mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada
kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan
seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan
kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam jangka
panjang.

2.1.3 Patogenesis Tuberkulosis Paru9


A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang
pneunomi, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami
salah satu nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
sarang Ghon, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius
oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelectasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelectasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelectasis
tersebut, yang dikenal seperti epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh,
jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan
dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, atau
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis tuberkuloma) atau meninggal.

B. Tuberkulosis postprimer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada
host yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi
setelah periode laten yang memakan waktu bulanan hingga
tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan
reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan
selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi
primer, mulai kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin
merupakan respon dari melemahnya sistem imun host oleh
karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang
pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak
dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian
kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer.
Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi
penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding
pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan
gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang
paru. TB post-primer biasanya mempengaruhi parenkim paru
namun dapat juga melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik
dari dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas pada
lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya
tidak ditemukan limfadenopati intratorakal.
2.1.4 Gejala Klinis Tuberkulosis Paru9
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:
 Batuk ≥ 2 minggu
 Batuk berdahak
 Batuk berdahak dapat bercampur darah
 Dapat disertai nyeri dada
 Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
 Malaise
 Penurunan berat badan
 Menurunnya nafsu makan
 Menggigil
 Demam
 Berkeringat di malam hari

2.1.5 Klasifikasi dan Tipe Pasien Tuberkulosis9


Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang
mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya
dikenal sebagai terduga TB).
Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien
TB yang terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan
(contoh uji bakteriologi adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan)
melalui pemeriksaan mikroskopik langsung, TCM TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
1. Pasien TB paru BTA positif
2. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang
tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan
untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto
toraks mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis
setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor
risiko TB.
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah
memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi
yang merugikan pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan
diagnosis klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan pertimbangan
sebagai berikut :
1. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung
diagnosis TB
2. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada
kasus meningitis TB, TB milier, pasien dengan HIV positif,
perikarditis TB dan TB adrenal.
Klasifikasi Tuberkulosis
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru
atau trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB
paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB
paru dan ekstra paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB
paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di
luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening,
abdomen, saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang,
selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan secara
klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal
mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat
OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang
dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila memakai obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang
pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis
bila memakai obat program). Kasus ini diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai
berikut :
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini
ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena
reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang
sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan
gagal pada akhir pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya
selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss
to follow up sebagai hasil pengobatan.
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui atau tidak didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah
pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan
sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah
satu kategori di atas.

Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan


sebelumnya karena terdapat risiko resistensi obat. Sebelum
dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan pemeriksaan biakan
dan uji kepekaan obat menggunakan tercepat yang telah
disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA (Hain test dan
genoscholar) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian
OAT.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon
dan salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap
Rifampisin baik menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional), dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk
dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB MR, TB
PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap
rifampisin.
4. Klasifikasi berdasarkan status HIV
a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB
terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada
pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif, baik yang
dilakukan pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti
bahwa pasien telah terdaftar di register HIV (register pra
ART atau register ART).
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB
terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada
pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien
ini diketahui HIV positif di kemudian hari harus kembali
disesuaikan klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus
TB terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis
yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti
dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien
ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali
disesuaikan klasifikasinya.
Menentukan dan menuliskan status HIV sangat penting
dilakukan untuk mengambil keputusan pengobatan,
pemantauan dan menilai kinerja program. Dalam kartu berobat
dan register TB, WHO mencantumkan tanggal pemeriksaan
HIV, kapan dimulainya terapi profilaksis kotrimoksazol, dan
kapan dimulainya terapi antiretroviral.

2.1.6 Diagnosis Tuberkulosis9


Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan
bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan
bakteriologis merujuk pada pemeriksaan apusan dari sediaan
biologis (dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan
identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah
mendapat rekomendasi WHO.

Gambar 1. Alur Diagnosis Tuberkulosis9


Keterangan alur:

1. Prinsip penegakan diagnosis TB:


a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan
terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan
biakan.
b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis
TB, sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi over diagnosis
ataupun under diagnosis.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis.
2. Fasyankes yang mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM)
TB:
a. Fasyankes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM,
penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan
dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana
pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat
TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM
mengalami kerusakan, dll.), penegakan diagnosis TB
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan
terduga TB dengan HIV positif, harus tetap diupayakan
untuk dilakukan penegakan diagnosis TB dengan TCM TB,
dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes cepat
molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau
rujukan contoh uji.
c. Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk
pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang
bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu contoh
uji untuk disimpan sementara dan akan diperiksa jika
diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil
Rif Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga
TB RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak
dikirim ke Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji
kepekaan lini-2 dengan metode cepat)
d. Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan
MTB/RIF terdiri atas cairan serebrospinal (cerebro spinal
fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric
lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).
e. Pasien dengan hasil M.tb resistan rifampisin tetapi bukan
berasal dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan
pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan hasil,
maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi
acuan tindakan selanjutnya.
f. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM
ulang. Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB lini 1,
lakukan biakan dan uji kepekaan.
g. Pengobatan standar TB-MDR segera diberikan kepada
semua pasien TB-RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan
uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil
resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya,
pengobatan harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan
OAT.
h. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line
probe assay) lini-2 atau dengan metode konvensional
i. Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan
standar TB pre XDR atau TB XDR atau menggunakan
paduan obat baru.
j. Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan
pemeriksaan foto toraks. Jika gambaran foto toraks
mendukung TB dan atas pertimbangan dokter, pasien dapat
didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan
bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.
3. Fasyankes yang tidak mempunyai alat tes cepat molukuler
(TCM) TB
a. Fasyankes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan
mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap
menggunakan mikroskop.
b. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji
dapat berasal dari dahak sewaktu-sewaktu atau sewaktu-
Pagi.
c. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang
menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak
pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien
dengan BTA (+)
d. BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan
hasil BTA negatif. Apabila pemeriksaan secara
mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis
TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya
pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh
dokter.
e. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif
dan tidak memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan)
maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas
(Non- OAT dan Non-kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2
minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian
antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien
dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat
didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang
dimaksud antara lain: 1) Terbukti ada kontak dengan pasien
TB, 2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM, 3) Tinggal di
wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dll.

2.1.7 Penaganan Tuberkulosis Paru10


Penanganan kasus TB Orang Dewasa. Definisi kasus TB orang
dewasa yang dimaksud disini adalah kasus TB yang belum ada
resistensi OAT.
1. Tujuan Pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta
kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak
buruk selanjutnya.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d. Menurunkan risiko penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
2. Prinsip Pengobatan TB:
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting
dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu
upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut
kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh
PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup,
terbagi dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap
lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah
kekambuhan.
3. Tahapan Pengobatan TB:
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal
dan tahap lanjutan dengan maksud:
a. Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien
dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama
2 minggu pertama.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 INH
 Rifampisin
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Amikasin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan
amoksilin + asam klavulanat
Kemasan OAT
1. Obat tunggal disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
2. Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination/FDC) –
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu
tablet

Gambar 2. Dosis Obat Anti Tuberkulosis10


Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal
yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR
TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi
DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan
obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis
tetap berdasarkan WHO. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara
lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan
penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR
akibat penurunan penggunaan monoterapi

Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan


di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis
intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis
terapi yang telah direkomendasikan.

1. Kategori 1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
c. Pasien TB ekstra paru.

Gambar 3. Dosis Paduan OAT KDT Katergori 1


(2(HRZE)/4(HR))10

Gambar 4. Dosis Paduan OAT Katergori 1 (2(RHZE)/4(HR)3)10

2. Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
a. Pasien kambuh.
b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori
1 sebelumnya.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up).

Gambar 5. Dosis Paduan OAT Katergori 2


{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}10
Gambar 6. Dosis Paduan OAT Katergori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}10

Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis.
Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan
pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil dari
pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB yang
terkonfirmasi bakteriologis merupakan suatu cara terpenting untuk
menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil
pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau
sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan
tahap lanjutan. Pemberian OAT sisipan sudah tidak dilakukan.
Semua pasien TB baru yang tidak konversi pada akhir 2
bulan pengobatan tahap awal, tanpa pemberian paduan sisipan,
pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap lanjutan. Pemeriksaan
dahak diulang pada akhir bulan-3 pengobatan. Bila hasil tetap BTA
positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB RO. Semua
pasien TB pengobatan ulang yang tidak konversi akhir tahap awal
ditetapkan juga sebagai terduga TB-RO.
Semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak
selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke 5 pengobatan. Apabila
hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali
pada akhir pengobatan. Bilamana hasil pemeriksaan mikroskopis
nya positif pasien dianggap gagal pengobatan dan dimasukkan
kedalam kelompok terduga TB-RO.
Pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai
kemajuan hasil pengobatan pasien TB ekstra paru (ISTC Standar
10). Sebagaimana pada pasien TB BTA negatif, perbaikan kondisi
klinis merupakan indikator yang bermanfaat untuk menilai hasil
pengobatan, antara lain peningkatan berat badan pasien,
berkurangnya keluhan, dan lain-lain.
Gambar 7. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil
pengobatan10

Keterangan :
(====) : : Pengobatan tahap awal
(-------) : : Pengobatan tahap lanjutan
X : : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan
pengobatan untuk memantau hasil pengobatan
( X ) : : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya
apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal hasilnya BTA(+)
Jika pasien tidak konversi atau pasien gagal, lakukan
pemeriksaan dengan tes cepat tes cepat molekuler TB, apabila hasil
nya Resisten Rifampisin rujuk ke RS rujukan MDR Pasien dan
lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Apabila hasil nya
negative atau Sensitif Rifampisin lanjutkan pengobatan.

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

1. Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1


bulan
 Dilakukan pelacakan pasien
 Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab
putus berobat
 Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh
dosis pengobatan terpenuhi
2. Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan
 Dilakukan pelacakan pasien
 Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab
putus berobat
 Periksa dahak dengan 2 sediaan contoh uji dan melanjutkan
pengobatan sementara menunggu hasilnya
 Apabila hasilnya BTA negative atau pada awal pengobatan
adalah pasien TB ekstra paru, maka lanjutkan pengobatan
dosis yang tersisa samoai seluruh dosis pengobatan
terpenuhi*
 Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif
o Total dosis pengobatan sebelumnya  5 bulan, maka
lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh
dosis pengobatan terpenuhi
o Total dosis pengobatan sebelumnya  5 bulan, jika
pasien kategori 1 lakukan pemeriksaan tes cepat,
berikan kategori 2 mulai dari awal**, jika pasien
kategori 2, lakukan pemeriksaan TCM TB atau dirujuk
ke RS rujukan TB MDR***
3. Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih
(lose to follow up)
 Dilakukan pelacakan pasien
 Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab
putus berobat
 Periksa dahak dengan 2 sediaan contoh uji dan atau TCM
TB
 Hentikan pengobatan sementara menunggu hasilnya
 Apabila hasulnya BTA negative atau pada awal pengobatan
adalah pasien TB ekstra paru, keputusan berikutnya
tergantung kondisi klinis pasien, jika sudah ada perbaikan
nyata maka hentikan pengobatan dan pasien tetap di
observasi. Jika belum ada perbaikan nyata maka lanjutkan
pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
pengobatan terpenuhi*
 Apabila salah satu atau lebih hasil BTA positif dan tidak
ada bukti resistensi
o Katergori 1, dosis pengobatan sebelumnya < 1 bulan
maka berikan pengobatan Kat. 1 mulai dari awal, jika
dosis pengobatan sebelumnya > 1 bulan maka berikan
pengobatan Kat. 2 mulai dari awal
o Kategori 2, dosis pengobatan sebelumnya < 1 bulan
maka berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari awal, jika
dosis pengobatan sebelumnya > 1 bulan maka dirujuk
ke layanan spesialistik untuk pemeriksaan lebih lanjut
 Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif dan ada
bukti resistensi, maka kategori 1 maupun kategori 2 dirujuk
ke RS rujukan TB MDR
 Keterangan:
o * : Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai
seluruh dosis pengobatan terpenuhi dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali setelah
menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan
AP
o **: Jika tersedia sarana TCM, tunggu hasil
pemeriksaan dengan TCM sebelum diberikan OAT
Kategori 2. Jika sarana TCM tidak memungkinkan
segera dilakukan, sementara menunggu hasil
pemeriksaan TCM pasien dapat diberikan pengobatan
paduan OAT kategori 2
o ***: Sementara menunggu hasil pemeriksaan TCM
pasien tidak diberikan pengobatan paduan OAT.

Hasil Pengobatan TB

Gambar 7. Hasil Pengobatan Pasien TB10


Efek Samping OAT dan pendekatan untuk mengobati efek
samping OAT

Tabel 1. Efek Samping OAT dan Pengobatan efek samping10


Efek Samping Kemungkinan Pengobatan
Obat Penyebab
Ruam kulit dengan Streptomisin, Hentikan OAT
atau tanpa gatal isoniazid,
rifampisin,
pirazinamid
Tuli Streptomisin Hentikan
Streptomisin
Pusing vertigo dan Streptomisin Hentikan
nistagmus Streptomisin
Ikterik tanpa Streptomisin, Hentikan OAT
penyakit hepar isoniazid,
rifampisin,
pirazinamid
Bingung (curigai Isoniazid, Hentikan OAT
gagal hati imbas pirazinamid,
obat bila terdapat rifampisin, Sebagian
ikterik) besar OAT
Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol
penglihatan
Oligouria Streptomisin Hentikan
Streptomisin
Syok, purpura, Rifampisin Hentikan Rifampisin
gagal ginjal akut
Anoreksia, mual, Pirazinamid, Berikan obat dengan
nyeri perut rifampisin, isoniazid bantuan sedikit
makanan atau
menelan OAT
sebelum tidur dan
sarankan untuk
menelan pil secara
lambat dengan
sedikit air, bulan
gejala menetap atau
memburuk atau
muntah
berkepanjangan atau
terdapat tanda
perdarahan,
pertimbangkan
kemungkinan ETD
mayor dan rujuk ke
dokter ahli segera
Nyeri sendi Isoniazid Aspirin atau obat anti
inflamasi non
steroid, atau
parasetamol
Rasa terbakar, Isoniazid Piridoksin 50-75
kebas atau mg/hari
kesemutan di
tangan dan kaki
Rasa mengantuk Isoniazid Obat dapat diberikan
sebelum tidur
Air kemih Rifampisin Pastikan pasien
berwarna diberitahukan
kemerahan sebelum mulai
minum obat dan bila
hal ini terjadi adalah
normal
Sindrom flu Pemerian rifampisin Ubah pemberian
(demam, intermitten rifampisin intermiten
menggigil, menjadi setiap hari
malaise, sakit
kepala, nyeri
tulang)

2.2 Program Pengendalian Tuberkulosis


2.2.1 Tujuan dan Sasaran Pengendalian Tuberkulosis11
Menurut Stratergi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia tahun 2020-2024, diharapkan dapat mempercepat upaya
Indonesia untuk mencapai eliminasi Tuberkulosis pada tahun
2030, serta mengakhiri epidemi Tuberkulosis di tahun 2050.
Secara khusus, bertujuan untuk:
1. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan
Tuberkulosis.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
penanggulangan Tuberkulosis.
3. Memperkuat manajemen program penanggulangan
tuberkulosis yang responsif.
4. Meningkatkan kualitas pelayanan Tuberkulosis yang berpusat
kepada kebutuhan pasien.
Pada tahun 2030, diharapk tercapainya Penurunan insidensi
Tuberkulosis menjadi 69 per 100.000 populasi, penurunan angka
kematian akibat TBC sebesar 90% dibandingkan pada tahun 2019,
tidak ada keluarga yang mengalami biaya katastropik karena
Tuberkulosis.
Dalam rangka upaya menuju target Eliminasi Tuberkulosis
tahun 2030, terdapat prasyarat yang harus dicapai oleh
Kabupaten/Kota dan Provinsi yaitu (1) mencapai target Penemuan
dan Pengobatan kasus Tuberkulosis (Treatment Coverage) ≥ 90%
dan (2) Keberhasilan pengobatan tuberkulosis hingga tuntas
(Success Rate) ≥ 90%.
i. Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis11,12
Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian eliminasi nasional
TB meliputi:
1. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
a. Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
b. Regulasi dan peningkatan pembiayaan
c. Koordinasi dan sinergi program
2. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
a. Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-
private mix)
b. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
c. Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-
DM, MTBS, PAL, dan lain sebagainya
d. Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik
yang baru
e. Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau
Case holding
f. Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka
Cakupan Layanan Semesta (health universal coverage).
3. Pengendalian faktor risiko
a. Promosi lingkungan dan hidup sehat
b. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
c. Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB
d. Memaksimalkan penemuan TB secara dini
e. Mempertahankan cakupan dan keberhasilan pengobatan
yang tinggi.
4. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
a. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di
pusat
b. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di
daerah
5. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan
TB
a. Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga
dan masyarakat
b. Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan
kasus, dan dukungan pengobatan TB
c. Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya
kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat
6. Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
a. SDM
b. Logistik
c. Regulasi dan pembiayaan
d. Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
e. Penelitian dan pengembangan inovasi program

ii. Strategi DOTS Dalam Program Pengendalian Tuberkulosis13


Program nasional pengendalian TB menerapkan strategi
DOTS (directly observed treatment short-course chemotherapy)
sesuai dengan rekomendasi WHO karena DOTS saat ini merupakan
strategi yang cost effective, dan hal ini sudah terbukti dalam
program nasional maupun di beberapa negara lainnya. Penerapan
yang efektif kelima strategi DOTS akan dapat mengurangi
penularan TB, mengurangi risiko terjadinya multy drug resistance
(MDR), mengurangi risiko gagal pengobatan, kambuh (relaps) TB
dan kematian akibat TB.
Lima komponen Strategi DOTS, yaitu:
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana. Komitmen pimpinaan yang tinggi mulai dari
Pusat, Provinsi dan kabupaten/Kota sangat menentukan
terhadap keberhasilan program TB. Komitmen ini meliputi
kebijakan, keberpihakan, perhatian begitu juga dalam bentuk
pendanaan untuk mendukung pelaksanaan program TB.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopik Diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan
spesimen dahak. Pemeriksaan dahak dilakukan terhadap
dahak terduga TB yaitu dahak Sewaktu pada waktu
berkunjung ke faskes, dahak Pagi yang diambil pagi hari
ketika di rumah dan dahak Sewaktu ketika datang ke faskes
kembali (SPS). Pemeriksaan dilakukan menggunakan
mikroskopis setelah dibuat sediaan pada slide/obyekglas.
c. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT),
dengan lama pengobatan enem bulan. Dalam pengobatan
harus ada pengawas minum obat. Hal ini diperlukan agar
pasien minum obat secara rutin/ tidak putus selama jadwal
waktu pengobatan. Pengawas minum obat dapat dilakukan
oleh petugas kesehatan ,tokoh masyarakat atau keluarganya
sendiri.
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan
mutu terjamin. Obat TB harus tersedia dalam jumlah yang
cukup di setiap tingat administrasi dan faskes setiap waktu.
Hal ini sangat penting agar tidak terjadi pasien putus berobat
yang diakibatkan oleh ketersediaan obat.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
Seluruh proses penemuan dan pengobatan terhadap pasien
harus dicatat dan dilaporkan secara periodik sesuai ketentuan
yang berlaku
b. Monitoring dan Evaluasi (Monev)10
Monitoring dan evaluasi program TB merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB.
Monitoring dilakukan secara rutin dan berkala sebagai deteksi awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera
dilakukan tindakan perbaikan. Monitoring dapat dilakukan dengan
membaca dan menilai laporan rutin maupun laporan tidak rutin, serta
kunjungan lapangan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana
pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi
dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1
tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing
tingkat pelaksana program, mulai dari Fasilitas kesehatan,
Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus
dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun
keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung
dan wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB
2. Indikator Program TB
a. Indikator Dampak
Merupakan indikator yang menggambarkan keseluruhan dampak
atau manfaat kegiatan penanggulangan TB. Indikator ini akan
diukur dan di analisis di tingkat pusat secara berkala. Yang
termasuk indikator dampak adalah:
a) Angka Prevalensi TB
b) Angka Insidensi TB
c) Angka Mortalitas TB
b. Indikator Utama
Indikator utama digunakan untuk menilai pencapaian
strategi nasional penanggulangan TB di tingkat Kabupaten/Kota,
Provinsi, dan Pusat. Adapun indikatornya adalah:
a) Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection
rate/CDR) yang diobati
b) Angka notifikasi semua kasus TB (case notification
rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk
c) Angka keberhasilan pengobatan (treatment success
rate/TSR) pasien TB semua kasus
d) Cakupan penemuan kasus resistan obat
e) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
f) Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV
Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator
di atas, juga harus memantau indikator yang dicapai oleh
Kabupaten/Kota yaitu:
a) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CDR
b) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CNR
c) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
d) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator
cakupan penemuan kasus TB resistan obat
e) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
f) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator
persentase pasien TB yang mengetahui status HIV
c. Indikator Operasional
a) Persentase kasus pengobatan ulang TB yang diperiksa uji
kepekaan obat dengan tes cepat molukuler atau metode
konvensional
b) Persentase kasus TB resistan obat yang memulai pengobatan
lini kedua
c) Persentase Pasien TB-HIV yang mendapatkan ARV selama
pengobatan TB
d) Persentase laboratorium mikroskopik yang mengikuti uji
silang
e) Persentase laboratorium mikroskopis yang mengikuti uji
silang dengan hasil baik
f) Cakupan penemuan kasus TB anak
g) Cakupan anak < 5 tahun yang mendapat pengobatan
pencegahan INH
h) Jumlah kasus TB yang ditemukan di Populasi Khusus
(Lapas/Rutan, Asrama, Tempat Kerja, Institusi Pendidikan,
Tempat Pengungsian)
i) Persentase kasus TB yang ditemukan dan dirujuk oleh
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan
BAB III
METODE EVALUASI
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data bersumber dari data primer dan data sekunder. Sumber data
primer diperoleh melalui wawancara dengan koordinator pelaksana Program
Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas Kakaskasen. Selain itu, data
sekunder didapatkan dari Profil UPT Puskesmas Kakaskasen 2020 dan Buku
Registrasi Pasien TB Tahun 2020 pada pemegang program TB Paru.

3.2 Cara Penilaian dan Evaluasi


3.2.1 Penetapan Indikator dan Tolak Ukur Penilaian
Evaluasi dilakukan pada Program Pengendalian Tuberkulosis di UPT
Puskesmas Kakaskasen. Sumber rujukan tolak ukur penilaian yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1. Profil UPT Puskesmas Kakaskasen tahun 2020
2. Penanggulangan Tuberkulosis (PerMenkes Nomor 67 Tahun 2016)
3. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2020-2024

Tabel 2. Penetapan Indikator dan tolok ukur penilaian


Variabel Definisi operasional atau rumus Target
CNR 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
𝑥 100.000 180%
(per 100.000) 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
90%
Case Detection
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑘𝑎𝑛
Rate (%) x 100%
𝑃𝑒𝑟𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 (𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ + 88%


Success Rate
𝑝𝑒𝑛𝑔𝑜𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)
(%) 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖
Sumber : Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2020-2024
3.3 Cara Analisis
3.3.1 Menetapkan indikator dan tolok ukur dari unsur keluaran
Mengetahui atau menetapkan indikator dan tolok ukur atau standar
yang ingin dicapai merupakan langkah pertama untuk menentukan
adanya suatu masalah dari pencapaian hasil output. Indikator
didapatkan dari berbagai rujukan, rujukan tersebut harus realistis dan
sesuai sehingga layak digunakan untuk mengukur. Tolok ukur juga
diperoleh dari rujukan

3.3.2 Membandingkan Pencapaian Masing-Masing Indikator


Keluaran Dengan Tolok Ukurnya.
Jika terdapat kesenjangan antara tolok ukur dengan hasil pencapaian
pada unsur keluaran maka disebut sebagai masalah

3.3.3 Menetapkan Prioritas Masalah


Tujuan menetapkan prioritas masalah adalah menetapkan
masalah yang akan dipecahkan masalahnya terlebih dahulu. Jika
masalah lebih dari satu, maka penetapan prioritas masalah dilakukan
dengan teknik kriteria matriks. Kriteria ini dibedakan atas tiga
macam, yaitu:
a. Pentingnya masalah (importancy / I), makin penting masalah
tersebut, makin diprioritaskan penyelesainnya. Ukuran
pentingnya masalah yaitu :
1) Besarnya masalah (prevalence / P)
2) Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (severity / S)
3) Kenaikan besarnya masalah (rate of increase / RI)
4) Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (degree
of unmeet need / DU)
5) Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social benefit
/ SB)
6) Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern /
PB)
7) Suasana politik (political climate / PC)
b. Kelayakan teknologi (technical feasibility / T), makin layak
teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah, makin diprioritaskan masalah tersebut. Kelayakan
teknologi yang dimaksud adalah menunjuk penguasaan ilmu
dan teknologi yang sesuai.
c. Sumber daya yang tersedia (resources availability / R), makin
tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah makin diprioritaskan masalah tersebut. Sumber daya
yang dimaksud adalah yang menunjuk pada tenaga (man), dana
(money) dan sarana (material).
Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat
penting) untuk setiap kriteria yang sesuai. Perhitungan prioritas
masalah dilakukan dengan rumus “I x T x R”. Masalah yang dipilih
sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai tertinggi.

3.3.4 Membuat Kerangka Konsep


Untuk menentukan penyebab masalah, perlunya terlebih dahulu
menggambarkan proses terjadinya masalah atau kerangka konsep
prioritas masalah, sehingga diharapkan semua faktor penyebab
masalah dapat diketahui dan diidentifikasi.

3.3.5 Identifikasi Penyebab Masalah


Mengelompokkan unsur masukan, proses, umpan balik dan
lingkungan sebagai faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap
prioritas masalah, kemudian menentukan tolok ukur dari masing-
masing unsur tersebut. Sehingga akhirnya akan membandingkan
antara pencapaian dari unsur-unsur tersebut dengan tolok ukurnya,
kesenjangan yang ada ditetapkan sebagai penyebab masalah.
3.3.6 Membuat Alternatif Jalan Keluar
Sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan, maka dibuat
alternatif jalan keluar. Alternatif jalan keluar dibuat dengan melihat
kerangka konsep prioritas masalah, sehingga tersusun daftar
alternatif jalan keluar, dengan melihat kondisi dan situasi fasilitas
kesehatan di puskesmas

3.3.7 Menentukan Prioritas Cara Pemecahan Masalah


Pemilihan cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik
kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah:
a. Efektifitas jalan keluar (effectifity/ E), menetapkan nilai
efektifitas untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan
memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan angka
5 (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai
efektifitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektifitas jalan
keluar, dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut:
1. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (magnitude/ M)
Makin besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi
prioritas jalan keluar tersebut.
2. Pentingnya jalan keluar (importancy/ I) Pentingnya jalan
keluar dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin
langgeng selesai masalahnya, makin penting jalan keluar
tersebut.
3. Sensivitas jalan keluar (vuneberality/ V) Sensitivitas
dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah.
Makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar
tersebut.
b. Efisiensi Jalan Keluar (efficiency/C), menetapkan nilai efisiensi
untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan
angka 1 (paling tidak efisien) sampai dengan angka 5 (paling
efisien). Nilai efisien ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost)
yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar
biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut.
Menghitung nilai P (prioritas) untuk setiap alternatif jalan
keluar yaitu dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V
dengan nilai C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi, adalah
prioritas jalan keluar terpilih. Lebih jelas rumus untuk
menghitung prioritas jalan keluar dapat dilihat dibawah ini :
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
𝑃=
𝐶
Keterangan = P: priority, M: Magnitude, I: Importancy , V: Vulnerability,
C : Cost

3.4 Cara Evaluasi


3.4.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dengan data di tabel-tabel
yang tersedia, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan secara
komputerisasi
3.4.2 Waktu dan Lokasi
Pengambilan data dilakukan mulai April 2021 – Agustus 2021 di
Program TB Paru UPT Puskesmas Kakaskasen.
BAB IV
PENYAJIAN DATA

4.1 Data Khusus (Data TB)


Tabel 3. Jumlah Kasus Terduga Tuberkulosis, Kasus Tuberkulosis,
Kasus Tuberkulosis, Case Notification Rate (CNR) Per 100.000
Penduduk, dan Case Detection Rate (CDR) Menurut Data Kasus TB
dari bulan Januari – Desember Tahun 2020
Jumlah Jumlah Kasus Tuberkulosis
Laporan
Terduga
Kasus TB
Tuberkulosis
No Puskesmas Per bulan
yang Mendapat Laki-Laki Perempuan Jumlah
selama
Pelayanan
Tahun 2020
Sesuai Standar
1 Januari 5 1 4 5
2 Februari 5 3 2 5
3 Maret 3 3 0 3
4 April 2 1 1 2
5 Mei 1 1 0 1
6 Juni 1 0 1 1
Kakaskasen
7 Juli 2 1 1 2
8 Agustus 4 2 2 4
9 September 3 2 1 3
10 Oktober 1 0 1 1
11 November 3 3 0 3
12 Desember 3 2 1 3
Keselurahan data pasien TB Paru 33
Periode bulan Januari – Desember 2020
Jumlah Terduga Kasus TB 173
% Terduga TB yang Mendapat Pelayanan
19,07%
Sesuai Standar
CNR Semua Kasus TB Per 100.000
86
Penduduk
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Masalah
Masalah merupakan kesenjangan antara tolok ukur dengan hasil
pencapaian pada unsur keluaran. Proses identifikasi masalah dimulai dengan
mengetahui keluaran program kerja Puskesmas. Kemudian jika ditemukan
kesenjangan antara keluaran dengan tolok ukur, maka hal tersebut merupakan
masalah pada program di Puskesmas. Masalah yang ditemukan pada program
Pengendalian TB di Puskesmas Kakaskasen adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1 Evaluasi Keluaran


Variabel Definisi operasional atau rumus Target Masalah
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
Angka 𝑥 100.000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
Penjaringan 100% -
33
Suspek x 100% = 164,174%
20.101

Case 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑘𝑎𝑛


𝑥 100%
Detection 𝑃𝑒𝑟𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 100% +
Rate (%) 33
x 100% = 48%
69
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 (𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ +
𝑝𝑒𝑛𝑔𝑜𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)
Success 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝐵𝑇𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖 100% +
Rate (%)
33
x 100% = 67%
49
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑇𝐵 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
𝑥 100%
Target 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑇𝐵
100% +
Pencapaian 173
x 100% = 25,07%
690
5.2 Menetapkan daftar masalah
Masalah yang ditemukan pada program Pengendalian TB di Puskesmas
Kakaskasen Tahun 2020 adalah :
a. Case Detection Rate (CDR) puskesmas adalah 48%, lebih kecil dari
indikator yang seharusnya dicapai, yaitu 100%.
b. Success Rate puskesmas adalah 67%, lebih kecil dari indikator yang
seharusnya dicapai, yaitu 100%.
c. Target pencapaian adalah 25,07%, lebih kecil dari indikator yang
seharusnya dicapai, yaitu 100%

4.1.1. Penetapan prioritas masalah


Dalam menetapkan prioritas masalah, terdapat kriteria matriks
pemilihan prioritas masalah. Pada tehnik ini, setiap masalah diberikan skor
berdasarkan variabel pentingnya masalah (Importancy = I) yang diukur
bedasarkan pada besarnya masalah (Prevalence = P), akibat yang ditimbulkan
(Severity = S), kenaikan besarnya masalah (Rate of Increase = RI), derajat
keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of Unmeet need = DU),
keuntungan sosial karena terselesaikannya masalah (Social Benefit = SB),
perhatian masyarakat (Public Concern = PCo) dan iklim politik (Political
Climate = PC). Selain itu digunakan juga variabel kelayakan tehnologi
(Tehnical feasibility = T) yaitu semakin layak tehnologi yang tersedia dan
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah, semakin diprioritaskan
masalah tersebut. Digunakan pula variabel sumber daya yang tersedia
(Reasources availability = R) yaitu semakin tersedia sumber daya yang dapat
dipakai untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan masalah tersebut.
Diberikan skor antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting)
untuk setiap variabel dan kriteria.
Tabel 5.2 Penentuan Prioritas Masalah

Impotancy (I) T R
Daftar Masalah Jumlah
IxTxR
P S RI DU SB PCo PC

Belum tercapainya CDR 5 5 3 5 5 1 5 2 5 290


Belum tercapainya SR 4 3 5 3 4 1 5 5 2 250

a. Penetapan prioritas masalah berdasarkan besarnya masalah (Prevalence)


Nilai untuk besarnya masalah pada target pencapaian CDR diberikan
nilai 5 karena semakin banyak penemuan pasien TB dengan BTA (+) maka
pencegahan penularan TB akan semakin baik. SR juga penting dalam
pencegahan penularan TB, karena berkaitan dengan pengobatan pasien
TB, namun tidak sepenting penemuan kasus BTA (+) pada deteksi kasus
TB. Selain itu, jarak kesenjangan antara target dan pencapaian CDR lebih
besar dibandingkan SR, sehingga penulis memberikan nilai 4 untuk
masalah belum tercapainya SR.

b. Penetapan prioritas masalah berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari


masalah ini (Severity).
Pendeteksian kasus pasien TB paru BTA (+) yang belum tercapai
atau masih kurang dari target mengindikasikan bahwa masih ada sumber
infeksi TB di masyarakat yang berpotensi untuk menularkan ke orang
sekitarnya. Sehingga akibat yang ditimbulkan akan semakin besar, yaitu
jumlah penderita TB semakin banyak. Oleh karena itu, penulis
memberikan nilai 5 untuk belum tercapainya CDR, sedangkan nilai 3
untuk belum tercapainya SR walaupun sama-sama memberikan kontribusi
dalam penularan TB, namun pada penyebut SR terdapat angka pasien yang
sembuh dari TB yang tidak menularkan ke orang lain.
c. Penetapan prioritas masalah berdasarkan kenaikan besarnya masalah (Rate
of Increase).
Pasien TB yang tidak diobati akan menyebabkan semakin bertambah
banyaknya masyarakat yang tertular TB sehingga jumlah pasien TB akan
bertambah. Kenaikan besarnya masalah lebih besar akibat kurangnya
pencapaian SR dibandingkan CDR. Sehingga penulis memberikan nilai 5
pada kurang tercapainya SR, sedangkan nilai 3 untuk kurang tercapainya
CDR.

d. Penetapan prioritas masalah berdasarkan derajat keinginan masyarakat


yang tidak terpenuhi (Degree Of Unmeet need).
Keinginan masyarakat akan penyakit TB adalah bebas dari
penularan TB, karena lebih baik mencegah daripada mengobati. Selain itu,
masyarakat juga menginginkan penyakitnya untuk terdeteksi lebih awal
sehingga kemungkinan untuk sembuh lebih baik dan terhindar dari
komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit TB. Oleh karena itu, penulis
memberikan nilai 5 pada masalah belum tercapainya CDR, sedangkan
nilai 3 pada masalah belum tercapainya SR.

e. Penetapan prioritas masalah berdasarkan keuntungan sosial (Social


Benefit)
Jika tingkat keberhasilan pengobatan tercapai, maka produktivitas
pasien TB akan semakin tinggi, sehingga kebutuhan ekonomi dapat
terpenuhi. Keuntungan sosial yang didapat juga semakin besar. Oleh
karena itu, penulis memberikan nilai 5 pada masalah kurang tercapainya
SR, sedangkan nilai 4 pada keuntungan sosial untuk pemenuhan
kurangnya CDR.
f. Penetapan prioritas masalah berdasarkan rasa prihatin masyarakat
terhadap masalah (Public Concern)
Rendahnya angka CDR dan SR di puskesmas sama-sama kurang
mendapat perhatian dari masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena
kurangnya sosialisasi mengenai target nasional terhadap pengendalian TB,
sehingga kedua masalah diberikan nilai 1.

g. Penetapan prioritas masalah berdasarkan suasana politik (Political


Climate)
Dunia telah menempatkan TB sebagai salah satu indikator
keberhasilan pencapaian MDGs. Secara umum ada 4 indikator yang
diukur, yaitu Prevalensi, Mortalitas, Penemuan kasus dan Keberhasilan
pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator sudah dicapai oleh
Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya pada tahun 2015
dibandingkan dengan data dasar (baseline data) tahun 1990, dari
92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk. Indonesia telah
mencapai angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009. Angka Penemuan
kasus (case detection rate) kasus TB BTA positif mencapai lebih 70%.
Indonesia telah mencapai angka 73,1% pada tahun 2009 dan mencapai
77,3% pada tahun 2010. Angka ini akan terus ditingkatkan agar mencapai
90% pada tahun 2015 sesuai target RJPMN. Angka keberhasilan
pengobatan (success rate) telah mencapai lebih dari 85%, yaitu 91% pada
tahun 2009.
Indikator-indikator diatas merupakan sasaran program pengendalian
TB sehingga penilaian masalah berdasarkan suasana politik mendapat nilai
yang sama, yaitu 5.

h. Penetapan prioritas masalah berdasarkan dari sudut kelayakan tehnologi


(Technical feasibility)
Teknologi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah CDR
antara lain penggunaan reagen pemeriksaan, mikroskop, dan alat rontgen.
Sedangkan dalam menyelesaikan masalah SR hanya pencatatan dan
mengelompokan obat sesuai nama pasien menggunakan kardus, kedua hal
tersebut dilakukan dengan manual. Oleh karena itu, teknologi yang mudah
digunakan akan semakin tinggi nilainya, maka diberikan nilai 5 pada
penyelesaian masalah kurang tercapainya SR, sedangkan nilai 2 untuk
masalah kurang tercapainya CDR.

i. Penetapan prioritas masalah berdasarkan sumber daya yang tersedia


(Resources availability)
Sumber daya terdiri atas tenaga (man), dana (money) dan sarana
(material). Ketersediaan sumber daya pada masalah penemuan kasus
(CDR) baru BTA (+) lebih besar dibandingkan masalah keberhasilan
pengobatan. Oleh karena itu, nilai 5 untuk masalah kurang tercapainya
CDR, sedangkan nilai 2 untuk masalah kurang tercapainya SR.

5.3 Kesimpulan prioritas masalah


Dari hasil perhitungan matriks, maka ditetapkan masalah yang menjadi
prioritas yaitu belum tercapainya Case Detection Rate.

5.4 Kerangka konsep masalah


Sasaran CDR yang belum tercapai di UPT Puskesmas Kakaskasen
merupakan keluaran yang tidak sesuai dengan target. Keluaran merupakan
salah satu unsur sistem, sehingga untuk mengatasi keluaran yang tidak sesuai
target harus dilihat kemungkinan adanya masalah dari masukan, proses, uman
balik dan lingkungan. Penyebab masalah dapat ditetapkan dengan
menggambarkan terlebih dahulu proses terjadinya masalah atau kerangka
konsepnya, sehingga diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat
diketahui dan diidentifikasi.
Kerangka konsep belum tercapainya sasaran CDR di UPT Puskesmas
Kakaskasen dapat dilihat sebagai berikut :
Belumtercapainya
Belum Tercapai CDRCDR

SDM Pencatatan dan Penilaian


pelaporan
Kualitas dan
kuantitas SDM Pengawasan
program

Dana
Sarana Perencanaan

Biaya pelaksanaan Organisasi


program
Medis & Non
Medis Pemeriksaan
Pencatatan dan
pelaporan ulag dahak Job list
Penyuluhan

PMO

Metode Penemuan
Masukan tersangka
Pembinaan &
pelatihan
Penegakan Proses
kader diagnosis
Pengobatan
Pelaksanaan

Lingkungan Akses pelayanan Masukan hasil


pemukiman kesehatan pelaporan
Sosial ekonomi
dan pendididkan
Lingkungan Umpan Balik

Bagan 1 . Kerangka Konsep

5.5 Estimasi penyebab masalah


Estimasi penyebab masalah belum tercapainya sasaran CDR akan
dibahas dengan pendekatan sistem yang mempertimbangkan unsur masukan,
proses, lingkungan dan umpan balik.
Komponen masukan terdiri dari banyak unsur, dari unsur tenaga yang
berpotensi menjadi penyebab masalah adalah kurangnya tenaga petugas
administrasi yang mencatat laporan maupun proses yang sedang berjalan
pada pasien TB. Selama ini, perawat merangkap juga menjadi petugas
administrasi dan hanya satu orang aja yang berkerja dalam program sehingga
dangat terbatas dalam mengelola program tersebut walaupun dibantu oleh
para kader yang terbentuk setiap RT di setiap Desa wilayah kerja. Pada tahun
2020 tidak ada pelatihan kembali atau refreshing kader dan kader memiliki
pengetahuan yang minim sehingga tidak bisa menjelaskan ke pasien
mengenai terapinya dan tidak follow up terapi sehingga banyak pasien yang
putus obat.
Selain itu, unsur metode juga berpotensi menjadi penyebab masalah.
Penyuluhan terhadap penderita dan keluarga serta masyarakat belum
maksimal. Penyuluhan terhadap pasien TB dan keluarga sudah dilakukan,
namun kurang efisien karena hanya memberitahu untuk menggunakan
masker saat pasien dan keluarga mengambil obat ke puskesmas. Penyuluhan
kepada masyarakat juga kurang efektif dan efisien, sehingga tindakan
preventif juga minimal. Oleh karena itu bila tenaga kurang memadai dan
penyuluhan yang minimal serta kurangnya komunikasi terapeutik pada kader,
hal ini dapat menyulitkan pelaksanaan program ini.
Komponen proses terdiri dari beberapa unsur, seperti pencatatan dan
pelaporan. Pengisian laporan melalui aplikasi Software Sistem Informasi TB
(SITB) sehingga tidak ada masalah pad akomponen ini karena semua
pencatatan dan pelaporan tersimpan rapi.
Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil pelaporan setelah
dilaksanakannya program selama satu periode tidak didapatkan adanya
masukan untuk perbaikan program berikutnya. Hasil pelaporan ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Puskesmas untuk menyusun
rencana program pada periode selanjutnya sehingga diharapkan adanya
perbaikan dari yang sebelumnya.

5.6 Konfirmasi penyebab masalah


Konfirmasi penyebab masalah dibuat dengan melihat kembali
pencapaian di Puskesmas dengan tolok ukur berdasarkan unsur sistem yang
bermasalah yaitu unsur masukan, proses dan umpan balik.
Tabel 5.2 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen masukan
Penyebab
Unsur Tolok Ukur Pencapaian
Masalah
Tenaga Tenaga pelaksana minimal: 1 Terdapat 1 dokter, hanya (+)
dokter, 1 perawat, 1 petugas terdapat 1 perawat
administrasi, dan 1 analisis merangkap menjadi
sebagai pemeriksa laboratorium tenaga administrasi.
Dana Tersedianya dana khusus untuk Tersedianya dana yang (-)
pelaksanaan program yang cukup lancar dari APBD dan
berasal dari APBD dan APBN BOK
Sarana Tersedianya sarana: 1. Tersedia (-)
1. Sarana medis: alat-alat
pemeriksaan seperti
stetoskop, senter,
timbangan, tersimeter,
dan termometer
2. Sarana non medis: 2. Tersedia
ruangan dilengkapi
dengan ruang tunggu
yang terbuka
, ruang periksa pasien ,
ruang laboratorium,
ruang suntik, ruang
obat, tempat untuk
memeriksa, lemari
penyimpanan obat,
bangku untuk ruang 3. Tersedia
tunggu, status, alat tulis,
buku catatan 4. Tersedia
3. Sarana penyuluhan:
brosur, poster 5. Tersedia
4. Sarana khusus
pencatatan dan
pelaporan
5. Laboratorium
Metode Pengobatan penderita a. Penemuan tersangka TB
Tuberkulosis Paru sesuai dengan dilakukan secara pasif
pedoman pemberantasan dengan pasien datang
penyakit Tuberkulosis Paru :
sendiri ke puskesmas dan
a. Penemuan tersangka
secara aktif oleh kader
pasien TB paru
yang terlatih jika
b. Penentuan diagnosis
menunjukan gejala khas
pasien TB paru
TB.
c. Pengobatan pasien TB
b. Sudah sesuai prosedur
paru
c. Sudah sesuai prosedur
Penyuluhan kesehatan
a. Penyuluhan kepada Penyuluhan kesehatan :
(+)
a. Penyuluhan masih
penderita dan keluarga
terhambat karena
pandemic
b. Penyuluhan ke Tidak ada pelatihan kader
masyarakat tahun 2020
Pembinaaan dan pelatihan kader Sudah dilakukan
Pencatatan dan pelaporan kasus
Tuberkulosis Paru

Tabel 5.3 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen proses


Penyebab
Unsur Tolok Ukur Pencapaian
Masalah
Perencanan Adanya perencanaan Perencanaan sudah dibuat (-)
operasional yang jelas: jenis
kegiatan, target kegiatan,
waktu kegiatan.
Organisasi Adanya struktur pelaksana Terdapat struktur pelaksana (-)
program
Adanya pembagian tugas dan Sudah terdapat pembagian
tanggung jawab yang jelas tugas yang jelas
Pelaksanaan Penemuan tersangka pasien Sudah sesuai prosedur (-)
TB paru
Penentuan diagnosis pasien TB Sudah sesuai prosedur
paru
Pengobatan pasien TB paru Sudah sesuai prosedur
Pengawasan Menelan Obat PMO telah ditentukan
Pemeriksaan ulang dahak Sudah sesuai prosedur
pasien TB paru
Penyuluhan TB Sudah dilakukan saat proses
pengobatan
Pencatatan Penilaian kegiatan dalam Laporan dilakukan melalui
dan bentuk laporan tertulis secara aplikasi SITB dengan sistem
pelaporan periodik pelaporan setiap ada kasus
Pengisian laporan tertulis yang yang terdeteksi (-)
lengkap
Penyimpanan laporan tertulis
yang benar
Pengawasan Adanya pengawasan eksternal Pengawasan program (-)
maupun internal dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Depok dan secara
internal oleh kepala
puskesmas

Tabel 5.4 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen umpan balik


Penyebab
Unsur Tolok Ukur Pencapaian
Masalah
Digunakan data-data tentang Ada (-)
hasil kegiatan dan analisis
sebagai masukan dan
perbaikan program selanjutnya
5.7 Berbagai penyebab masalah
Berdasarkan tabel konfirmasi berdasarkan komponen masukan, proses dan
umpan balik diatas maka masalah belum tercapainya CDR untuk program
pengendalian TB di UPT Puskesmas Kakaskasen tahun 2021 adalah :
1. Komponen masukan :
- kurangnya tenaga atau SDM
- kurangnya komunikasi terapeutik pada kader TB dan belum
adanya pelatihan kembali
- penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien kepada
penderita TB, pasien dan masyarakat.
2. Komponen umpan balik :
- Tidak ada masukan untuk perbaikan program sebagai umpan
balik program.
Grafik 5.8 Analisis Fish Bone Belum tercapainya Target Kesembuhan TB BTA+

MANUSI METOD
A E

Tidak aktifnya Kurangnya kerjasama antar PJ program


Kurangnya dukungan kader TB yang dan petugas poli
keluarga dalam ada di RT
mendukung kesembuhan
penderita TB BTA(+) Masyarakat masih
merasa takut untuk Belum semua masyarakat menjadi
datang ke puskesmas. sasaran penyuluhan
Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang Stigma tentang Covid-19
bahaya penyakit TB BTA dan TB Paru masih tinggi
Target
Kesembuhan
TB TCM+
belum Tercapai

Media Promosi TB Pola hidup


TCM masih kurang masyarakat yang
kurang sehat

Sosial
ekonomi Sanitasi rumah
masyarakat tangga yang
buruk

ALAT LINGKUNGAN
5.8 Penetapan prioritas penyebab masalah
Setelah dilakukan penyaringan penyebab masalah yang berpotensi
menyebabkan belum tercapainya CDR, maka harus dilakukan pemilihan
prioritas penyebab masalah. Prioritas penyebab masalah harus dipilih karena
penyebab masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan semuanya dalam
waktu bersamaan dan karena adanya keterbatasan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan
menggunakan teknik kriteria matriks.

Tabel 5.5 Prioritas Penyebab Masalah


Penentu Prioritas Total
No Masalah Penyebab CxTxR
C T R
1. Kurangnya tenaga atau SDM 5 3 5 75

2. Penyuluhan yang masih kurang efektif dan 5 5 5 125


efisien kepada penderita TB, pasien dan
masyarakat.
3 Kurangnya komunikasi terapeutik kader TB 5 4 5 100

4 Tidak ada masukan untuk perbaikan program 3 4 3 36


sebagai umpan balik program.

Poin Contribution/C kurangnya tenaga kesehatan menyebabkan kurang


maksimalnya pelayanan yang dilakukan di Puskesmas, sehingga pekerjaan
menjadi tumpang tindih dan tidak terfokus, maka diberikan nilai 5.
Penyuluhan yang kurang efektif dan efisien juga diberikan nilai 5 karena
penyuluhan pada proses masukan bertujuan untuk pencegahan tertularnya
infeksi TB. Kurangnya komunikasi terapeutik kader TB diberikan nilai 5 serta
nilai 3 pada masalah umpan balik yaitu tidak adanya masukan untuk
perbaikan program.
Poin Technical Feasibility/T tentang tenaga kesehatan memiliki
kelayakan teknologi yang sudah cukup maka hal ini diberi poin 3. Penyuluhan
membutuhkan sarana seperti poster, lembar balik, dan brosur bahkan
membutuhkan banyak sarana untuk membuat suatu acara penyuluhan kepada
masyarakat, sehingga diberikan nilai 5. Komunikasi terapeutik kader TB serta
masukan untuk perbaikan program masing-masing diberikan nilai 4.
Poin Resources/R sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga atau SDM sangatlah penting untuk menunjang program
Pengendalian TB, begitu juga dengan kegiatan penyukuhan sehingga masing-
masing diberi nilai 5. Komunikasi terapeutik kader TB diberikan nilai 5 dan
untuk masukan untuk program diberikan nilai 3.
Berdasarkan tabel teknik kriteria matriks di atas maka prioritas
penyebab masalah adalah penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien
kepada penderita TB, pasien dan masyarakat.

5.9 Alternatif penyelesaian masalah


Berdasarkan penetapan prioritas penyebab masalah, didapatkan
alternatif pemecahan masalah dan penjabaran programnya adalah:

1. Penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat


Latar belakang : Penyuluhan dapat dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Penyuluhan secara langsung seperti seminar
dan diskusi kelompok. Sedangkan penyuluhan secara tidak langsung
seperti menggunakan media yaitu poster, banner, brosur dan spanduk.
Semakin banyaknya penyuluhan mengenai TB, diharapkan semakin
meningkatnya pengetahuan tentang TB. Sehingga angka penularan
dan angka kejadian TB dapat ditekan.
Tujuan : memberikan informasi penyakit Tuberkulosis dan
memodifikasi perilaku pasien, keluarga dan masyarakat agar kondusif
bagi kesehatan.
2. Pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka
meningkatkan kualitas penyuluhan
Latar belakang : petugas dan kader kesehatan perlu dilatih secara
berkala. Pelatihan ini sangat bermanfaat di masyarakat, terutama
untuk penjaringan suspek TB. Selain itu, meningkatnya pengetahuan
petugas kesehatan dan kader juga meningkatkan pengetahuan
masyarakat akan penyakit TB.
Tujuan : memberikan pelatihan kepada petugas dan kader
kesehatan agar pengetahuan tentang TB meningkat sehingga dapat
mendeteksi suspek TB di masyarakat dan dapat mensosialisasikan
penyakit TB secara berkala.

5.10 Memilih prioritas pemecahan masalah


Cara pemecahan masalah telah dibuat dan akan dipilih satu cara
pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Pemilihan
prioritas cara dari pemecahan masalah ini dengan menggunakan teknik kriteria
matriks, yaitu dengan menentukan:
1. Efektifitas
Efektifitas terdiri dari beberapa faktor yaitu Magnitude (M),
Importancy (I), dan Vulnerability (V). Menetapkan nilai efektifitas
(effectiveness) untuk setiap alternatif jalan keluar, yaitu dengan
memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai angka 5 (paling
efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling
tinggi.
2. Efisiensi (C)
Nilai efisiensi berkaitan dengan biaya (Cost) yang diperlukan
untuk melaksanakan pemecahan masalah. Semakin kecil biaya, semakin
efisien.
3. Prioritas Pemecahan Masalah (P)
Nilai prioritas dinilai dari pembagian nilai C oleh hasil perkalian
nilai M x I x V. Hasil nilai yang tertinggi berarti prioritas jalan keluar
yang terpilih.

Tabel 5.6 Penentuan prioritas pemecahan masalah


No Alternatif Pemecahan Efektifitas Efisiensi Jumlah
Masalah (C) (P)
M I V MxIxV
C
1. Penyuluhan kepada penderita 5 4 4 4 20
TB, pasien dan masyarakat

2. Pelatihan petugas dan kader 4 5 2 2 20


kesehatan dalam rangka
meningkatkan komunikasi
terapeutik

Hasil perhitungan matriks diatas menentukan bahwa prioritas pemecahan


masalah yang terpilih adalah penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB,
keluarga.
Penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB, keluarga dan
masyarakat secara langsung akan berdampak semakin besarnya masalah TB
yang dapat diselesaikan, seperti mengenal lebih dini gejala TB, mengetahui
cara penularan, faktor risiko, dan pengobatan TB. Sehingga mendapatkan nilai
Magnitude yang besar dibandingkan dengan pelatihan petugas dan kader
kesehatan, yaitu 5. Pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka
meningkatkan kualitas penyuluhan juga penting untuk dilakukan, sehingga
diberikan nilai 4.
Importancy (I) atau pentingnya jalan keluar, berhubungan dengan
kesulitan penyelesaian masalah. Semakin sulit selesai suatu masalah, semakin
penting jalan keluar tersebut. Pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam
rangka meningkatkan kualitas penyuluhan diberikan nilai yang lebih besar 5
karena dengan terlatihnya petugas dan kader kesehatan, maka program
promotif dan preventif akan berjalan sesuai dengan target yang ada. Sedangkan
untuk penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB, pasien dan keluarga
akan berdampak hanya sesaat, sehingga diberikan nilai yang lebih kecil 4.
Vulnerability (V) dinilai dari kecepatan jalan keluar dalam mengatasi
masalah yang ada. Penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB, pasien
dan keluarga secara langsung akan memberikan waktu yang lebih singkat
dalam mengatasi masalah dibandingkan pelatihan petugas dan kader
kesehatan, karena pelatihan petugas dan kader kesehatan masih menunggu
hasil keluaran dari pelatihan itu sendiri. Sehingga nilai yang lebih besar
diberikan pada penyuluhan dibandingkan dengan pelatihan, yaitu 5 dan 2
Efisiensi (cost) jalan keluar pada pelatihan petugas dan kader kesehatan
mendapatkan nilai yang kecil yaitu 2, penyuluhan yang dilakukan kepada
penderita TB, pasien dan keluarga diberikan nilai 4.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis di UPT
Puskesmas Kakaskasen Tahun 2020 adalah sebagai berikut :
a. Masalah dalam pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis di UPT
Puskesmas Kakaskasen tahun 2020 adalah belum tercapainya Case
Detection Rate (CDR) puskesmas (48%) lebih kecil dari indikator yang
seharusnya dicapai, yaitu 100%.
b. Penyebab masalahnya adalah pada komponen masukan yaitu kurangnya
sumber daya pada program, penyuluhan yang masih kurang efektif dan
efisien kepada penderita TB, pasien dan masyarakat serta komunikasi
terapeutik kader yang masih kurang.
c. Alternatif pemecahan masalah bagi pelaksanaan program tersebut adalah
penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat secara langsung
dan pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka meningkatkan
kualitas penyuluhan serta perlu adanya refreshing kader terutama dalam
hal komunikasi terapeutik.
d. Pemecahan masalah yang terpilih adalah penyuluhan kepada penderita
TB, pasien dan masyarakat secara langsung serta refreshing kader terkait
komunikasi terapeutik.

6.2 Saran
Dari kesimpulan diatas penulis memberikan saran berupa
a. Perlu menambahnya SDM pada program TB agar pemegang
program dapat terbantu dalam menjalankan program ini
b. Menindaklanjuti dari kurangnya komunikasi terapeutik perlu
adanya sosialisasi dari Puskesmas kepada kader dan setelah
sosialisasi tersebut perlu adanya follow up.
c. Perlunya perubahan metode dalam deteksi kasus TB Baru dengan
memeriksa sampel dahak pasien yang bukan hanya memiliki gejala
khas maupun sistemik seperti TB tetapi perlu melakukan
pemeriksaan sampel dahak pada pasien-pasien yang memiliki
penyakit penyerta seperti HIV/AIDS, DM dan penyakit autoimun,
mengingat penyakit ini sangat rentan dan beresiko menderita TB
Paru, sehingga case detection rate dapat mencapai target serta
Puskesmas bisa menjalankan tugas Promotif dan Preventif dalam
hal ini screening kasus sebanyak-banyaknya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementrian

Kesehatan RI. 2015.

2. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2019. Jakarta: Kementrian

Kesehatan RI. 2020.

3. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report. Geneva:

WHO. 2020

4. Dinkes Kota DIY. Dampak pendmi Covid-19 terhadap penanggulangan TBC.

Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY. 2020.

5. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin : Tuberkulosis ; Temukan Obati Sampai

Sembuh. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015

6. Departemen Kesehatan RI. Identifikasi dan Obati, Mari Ciptakan Dunia yang

Bebas TB. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2013

7. Dinkes Kab. Kukar. Profil kesehatan kabupaten Kutai Kertanegara tahun 2018.

Tenggarong: Dinas Kesehatan Kab. Kutai Kertanegara. 2019.

8. Puskesmas Samboja. Profil Kesehatan Samboja tahun 2020. Samboja:

Puskesmas Samboja. 2021

9. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang

pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana tuberkulosis. Jakarta:

Kementrian Kesehatan RI. 2019

10. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:

Kementrian Kesehatan RI. 2016.


11. Kemenkes RI. Strategi Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024.

Jakarta: Dirjen P2P Kementrian Kesehatan RI. 2020

12. Dirjen P2P. Rencana Aksi Program tahun 2020-2024. Jakarta: Dirjen

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020

13. Kemenkes RI. Pedoman Nasioal Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Dirjen

P2P Kementrian kesehatan RI. 2014


EVALUASI PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
DI PUSKESMAS SAMBOJA
PERIODE JANUARI - DESEMBER 2020

Oleh:
dr. Indrani Bratamijaya Wu
dr. Junita Ratna Sari

Dokter Pendamping:
dr. Titania Lestarianti Ardhiputri

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS SAMBOJA
2021
Latar Belakang • WHO (2019): Indoneisa berada
dalam daftar 30 negara dengan
beban TB tertinggi diddunia.
• Peringkat ke-3 di dunia terkait
angka kejadian TB.

Insidensi TB di Indonesia pada


tahun 2018 adalah 316 per
100.000 penduduk.

Global TB Report 2020: Indikator Tahun 2019 Tahun 2020


terjadi penurunan yang signifikan dalam notifikasi CDR (Case 67% 47,1%
kasus TBC. Dimana terjadi penurunan 25-30% Detection Rate)

antara bulan Januari dan Juni 2020 dibandingkan TSR (Treatment 83% 82%
Success Rate)
dengan periode yang yang sama pada tahun 2019 di Sumber data: SITB (Sistem Informasi Tuberkulosis) oneline
3 negara dengan beban tinggi, termasuk Indonesia.
Latar Belakang
Profil Kesehatan Kutai
Kertanegara 2018
• Cakupan penemuan dan
pengobatan TB 93,3%
• Cakupan penemuan dan
pengobatan TB di Puskesmas
Samboja 68,18% (termasuk dalam
12 dari 32 Puskesmas yang
cakupannya masih rendah)

Profil Kesehatan Puskesmas


Samboja 2020
• CDR (Case Detection Rate): 20 %
• TSR (Treatment Success Rate):
75%
Tujuan Evaluasi Program
Umum Khusus
1. Mengidentifikasi faktor yang
1. Mengevaluasi menghambat dalam program
pencapaian tujuan dan pengendalian Tuberkulosis di
target program wilayah kerja Puskesmas Samboja.
pengendalian kasus 2. Mengetahui kemungkinan penyebab
masalah-masalah dari program
Tuberkulosis di pengendalian Tuberkulosis di
Puskesmas Samboja Puskesmas Samboja.
3. Menentukan prioritas masalah yang
ada dalam meningkatkan
pengendalian kasus Tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Samboja.
4. Membuat rencana kegiatan dari
pemecahan masalah terpilih di
Puskesmas Samboja.
METODE EVALUASI PROGRAM
1. Pengumpulan Data
2. Penetapan Indikator dan Tolak Ukur Penilaian
• Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang
diobati
• Angka notifikasi semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang
diobati per 100.000 penduduk
• Angka keberhasilan pengobatan (treatment success rate/TSR) pasien
TB semua kasus
Metodel Evaluasi
3. Cara Analisis
HASIL ANALISIS
Indikator Target Puskesmas Target Nasional Capaian Hasil

Angka notifikasi > 100% > 100% 188,86% Tercapai


kasus/ Case
notification rate (CNR)

Angka Penemuan > 100% > 90% 20% Tidak tercapai


Kasus/ Case Detection
Rate (CDR)

Angka keberhasilan > 100% > 90% 75% Tidak tercapai


pengobatan /
Succeess Rate (SR)

Target Pencapaian > 100% 24,5% Tidak tercapai


penjaringan suspek
PEMBAHASAN
• Masalah yang ditemukan pada program Pengendalian TB di
Puskesmas Samboja Tahun 2020 adalah :
• Case Detection Rate (CDR) puskesmas adalah 20%, lebih kecil dari indikator
yang seharusnya dicapai, yaitu 100%.
• Success Rate puskesmas adalah 75%, lebih kecil dari indikator yang
seharusnya dicapai, yaitu 100%.
• Target pencapaian adalah 24.5%, lebih kecil dari indikator yang seharusnya
dicapai, yaitu 100%
Prioritas Masalah

Impotancy (I) T R
Jumlah
Daftar Masalah IxTxR

P S RI DU SB PCo PC

Belum tercapainya CDR 5 5 3 5 5 1 5 2 5 290

Belum tercapainya SR 4 3 5 3 4 1 5 5 2 250


Kerangka Konsep
Masalah
Kerangka Konsep Masalah
Penyebab
Unsur Tolok Ukur Pencapaian
Masalah
Tenaga Tenaga pelaksana minimal: 1 dokter, 1 Terdapat 2 dokter, hanya terdapat (+)

Estimasi Penyebab Dana


perawat, 1 petugas administrasi, dan 1 analisis
sebagai pemeriksa laboratorium
Tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan
1 perawat merangkap menjadi
tenaga administrasi.
Tersedianya dana yang cukup lancar (-)

Masalah (Input)
program yang berasal dari APBD dan APBN dari APBD dan BOK
Sarana Tersedianya sarana: 1. Tersedia (-)
1. Sarana medis: alat-alat pemeriksaan
seperti stetoskop, senter, timbangan,
tersimeter, dan termometer
2. Sarana non medis: ruangan dilengkapi 2. Tersedia
dengan ruang tunggu yang terbuka
, ruang periksa pasien , ruang
laboratorium, ruang suntik, ruang obat,
tempat untuk memeriksa, lemari
penyimpanan obat, bangku untuk ruang
tunggu, status, alat tulis, buku catatan
3. Sarana penyuluhan: brosur, poster 3. Tersedia
4. Sarana khusus pencatatan dan 4. Tersedia
pelaporan
5. Laboratorium 5. Tersedia

Metode Pengobatan penderita Tuberkulosis Paru sesuai a. Penemuan tersangka TB


dengan pedoman pemberantasan penyakit dilakukan secara pasif dengan
Tuberkulosis Paru :
pasien datang sendiri ke
a. Penemuan tersangka pasien TB paru
puskesmas dan secara aktif
b. Penentuan diagnosis pasien TB paru
oleh kader yang terlatih jika
c. Pengobatan pasien TB paru
menunjukan gejala khas TB.
Penyuluhan kesehatan
b. Sudah sesuai prosedur
a. Penyuluhan kepada penderita dan
c. Sudah sesuai prosedur
keluarga
Penyuluhan kesehatan :
b. Penyuluhan ke masyarakat
a. Hanya ketika mengambil obat
Pembinaaan dan pelatihan kader
di Puskesmas
Pencatatan dan pelaporan kasus Tuberkulosis (+)
Paru b. Jarang dilakukan
Sudah dilakukan
Sudah dilakukan
Penyebab
Unsur Tolok Ukur Pencapaian
Masalah
Perencanaan sudah dibuat (-)

Estimasi Penyebab
Perencanan Adanya perencanaan
operasional yang jelas: jenis
kegiatan, target kegiatan, waktu

Masalah (Proses) Organisasi


kegiatan.
Adanya struktur pelaksana Terdapat struktur pelaksana
program
(-)

Adanya pembagian tugas dan Sudah terdapat pembagian


tanggung jawab yang jelas tugas yang jelas
Pelaksanaan Penemuan tersangka pasien TB Sudah sesuai prosedur (-)
paru
Penentuan diagnosis pasien TB Sudah sesuai prosedur
paru
Pengobatan pasien TB paru Sudah sesuai prosedur
Pengawasan Menelan Obat PMO telah ditentukan
Pemeriksaan ulang dahak Sudah sesuai prosedur
pasien TB paru
Penyuluhan TB Sudah dilakukan saat
proses pengobatan

Pencatatan Penilaian kegiatan dalam bentuk Laporan dilakukan melalui


dan laporan tertulis secara periodik aplikasi SITB dengan sistem
pelaporan Pengisian laporan tertulis yang pelaporan setiap ada kasus
lengkap yang terdeteksi (-)
Penyimpanan laporan tertulis
yang benar
Pengawasan Adanya pengawasan eksternal Pengawasan program (-)
maupun internal dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Depok dan
secara internal oleh
kepala puskesmas
Estimasi Penyebab
Masalah (Output)
Penyebab
Unsur Tolok Ukur Pencapaian
Masalah
Digunakan data-data tentang Tidak ada masukan untuk (+)
perbaikan program
hasil kegiatan dan analisis
sebagai masukan dan
perbaikan program
selanjutnya
Prioritas Penyebab Masalah
Penentu Prioritas Total
No Masalah Penyebab CxTxR
C T R
1. Kurangnya tenaga atau SDM 5 3 5 75

2. Penyuluhan yang masih kurang efektif dan 5 5 5 125

efisien kepada penderita TB, pasien dan


masyarakat.
3 Kurangnya komunikasi terapeutik kader TB 5 4 5 100
4 Tidak ada masukan untuk perbaikan 3 4 3 36

program sebagai umpan balik program.


Alternatif Pemecahan Masalah
No Alternatif Pemecahan Masalah Efektifitas Efisiensi Jumlah
(C) (P)
M I V MxIxV
C
1. Penyuluhan kepada penderita 5 4 4 4 20
TB, pasien dan masyarakat

2. Pelatihan petugas dan kader 4 5 2 2 20


kesehatan dalam rangka
meningkatkan komunikasi
terapeutik
Kesimpulan
• Masalah dalam pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas
Samboja tahun 2020 adalah belum tercapainya Case Detection Rate (CDR) puskesmas
(20%) lebih kecil dari indikator yang seharusnya dicapai, yaitu 100%.
• Penyebab masalahnya adalah pada komponen masukan yaitu kurangnya sumber daya
pada program, penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien kepada penderita TB,
pasien dan masyarakat serta komunikasi terapeutik kader yang masih kurang.
• Pemecahan masalah bagi pelaksanaan program tersebut adalah penyuluhan kepada
penderita TB, pasien dan masyarakat secara langsung dan pelatihan petugas dan kader
kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas penyuluhan serta perlu adanya
refreshing kader terutama dalam hal komunikasi terapeutik.
Daftar Pustaka
1. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2015.
2. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2019. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2020.
3. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report. Geneva: WHO. 2020
4. Dinkes Kota DIY. Dampak pendmi Covid-19 terhadap penanggulangan TBC. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY. 2020.
5. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin : Tuberkulosis ; Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI. 2015
6. Departemen Kesehatan RI. Identifikasi dan Obati, Mari Ciptakan Dunia yang Bebas TB. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2013
7. Dinkes Kab. Kukar. Profil kesehatan kabupaten Kutai Kertanegara tahun 2018. Tenggarong: Dinas Kesehatan Kab. Kutai Kertanegara. 2019.
8. Puskesmas Samboja. Profil Kesehatan Samboja tahun 2020. Samboja: Puskesmas Samboja. 2021
9. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2019
10. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2016.
11. Kemenkes RI. Strategi Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024. Jakarta: Dirjen P2P Kementrian Kesehatan RI. 2020
12. Dirjen P2P. Rencana Aksi Program tahun 2020-2024. Jakarta: Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020
13. Kemenkes RI. Pedoman Nasioal Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Dirjen P2P Kementrian kesehatan RI. 2014
DOKUMENTASI
THANK YOU
Manfaat

Bagi Bagi Bagi


Penulis Puskesmas Masyarakat

1. Mendapatkan informasi 1. Mendapatkan masukan 1. Mensosialisasikan kepada


mengenai pelaksanaan mengenai pelaksanaan dan masyarakat tentang
program Pengendalian masalah-masalah yang dihadapi penyakit Tuberkulosis dan
Tuberkulosis di selama pelaksanaan program pentingnya mendapatkan
Puskesmas Samboja. Pengendalian Tuberkulosis di pengobatan sampai
2. Melatih kemampuan Puskesmas Samboja. tuntas, meningkatkan
berkomunikasi dan 2. Mendapatkan alternatif peran serta masyarakat
berinteraksi. penyelesaian masalah dalam dalam pencapaian
3. Melatih kemampuan pelaksanaan program masyarakat bebas
analisis dan pemecahan Pengendalian Tuberkulosis tuberkulosis.
masalah. Puskesmas Samboja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tuberkulosis Patogenesis
adalah suatu TB
penyakit kronik
menular yang 1. TB Primer
disebabkan oleh 2. TB Post Primer /
bakteri Sekunder
Mycobacterium
tuberculosis.

Penularan TB
Lewat udara melalui
percik renik atau
droplet nucleus (<5
microns) yang keluar
ketika seorang yang
terinfeksi TB paru atau
TB laring batuk, bersin,
atau bicara.
Gejala Klinis Tuberkulosis

1. BATUK > 2 MINGGU, DAPAT


5. BERKERINGAT PADA MALAM HARI
DISERTAI DAHAK DAN DARAH

2. DEMAM, MENGGIGIL 6. PENURUNAN BERAT BADAN

3. NYERI DADA & SESAK NAPAS 7. NAFSU MAKAN MENURUN

4. MENGGIGIL 8. MALAISE
Alur
Diagnosis
Tuberkulosis
Klasifikasi Tuberkulosis
Berdasarkan Berdasarkan hasil
Berdasarkan lokasi
riwayat pemeriksaan uji
anatomis
pengobatan kepekaan obat

1. Kasus baru 1. Monoresisten


1. TB paru 2. Kasus dengan riwayat 2. Poliresisten
2. TB ekstra paru pengobatan 3. Multi drug resistant (TB
3. Kasus kambuh MDR)
4. Kasus pengobatan gagal 4. Extensive Resistant (TB
5. Kasus lose to follow up XDR)
6. Kasus dengan riwayat 5. Rifampicin Resistant (TB
pengobatan tidak di RR)
ketahui
Penatalaksanaan Tuberkulosis
• Tujuan Pengobatan TB
• Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup.
• Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
• Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
• Menurunkan risiko penularan TB.
• Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

• Prinsip Pengobatan TB
• Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
• Diberikan dalam dosis yang tepat.
• Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
• Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua
(2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang
adekuat untuk mencegah kekambuhan.
Jenis Obat Tuberkulosis
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
• INH (Isoniazid) (H) Dosis Obat Anti Tuberkulosis
• Rifampisin (R)
• Pirazinamid (Z)
• Streptomisin (S)
• Etambutol (E)
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
• Kanamisin
• Amikasin
• Kuinolon
• Obat lain masih dalam penelitian yaitu
makrolid dan amoksilin + asam klavulanat.
Obat kombinasi dosis tetap
(Fixed Dose Combination/FDC

Katergori 1
Paduan OAT ini
diberikan untuk pasien
baru:
• Pasien TB paru
terkonfirmasi Dosis Paduan OAT KDT Katergori
1 (2(HRZE)/4(HR))
Dosis Paduan OAT Katergori 1 (2(RHZE)/4(HR)3)

bakteriologis.
• Pasien TB paru
terdiagnosis klinis.
• Pasien TB ekstra paru
Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk
pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan
ulang) yaitu:
• Pasien kambuh.
• Pasien gagal pada
pengobatan dengan paduan
OAT kategori 1 sebelumnya.
• Pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to
follow-up).

Dosis Paduan OAT Katergori 2 Dosis Paduan OAT Katergori 2


{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)} {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}
Pemeriksaan dahak ulang untuk
pemantauan hasil pengobatan
Keterangan :
(====) : Pengobatan tahap
awal
(-------) : Pengobatan tahap
lanjutan
X : Pemeriksaan dahak
ulang pada minggu terakhir
bulan pengobatan untuk
memantau hasil
pengobatan
( X ) : Pemeriksaan dahak
ulang pada bulan ini
dilakukan hanya apabila
hasil pemeriksaan pada
akhir tahap awal hasilnya
BTA(+)
Pengawasan terhadap pasien TB
• Tugas PMO (Pengawas Menelan Obat) • Siapa yang bisa menjadi
• Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik PMO?
• Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam • Petugas kesehatan
hal minum obat
• Orang lain (kader, tokoh
• Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang masyarakat dll)
dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
• Suami/Istri/Keluarga/Orang
• Memberikan dorongan terhadap pasien untuk serumah
berobat secara teratur hingga selesai
• Mengenali efek samping ringan obat, dan
menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
• Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
• Melakukan kunjungan rumah
• Menganjurkan anggota keluarga untuk
memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
Efek Samping Obat Tuberkulosis
Program Penanggulangan Tuberkulosis
• Sasaran strategis Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit dalam Rencana Aksi
Program P2P tahun 2020-2024 adalah
• Menurunnya insidensi TB menjadi 190 per
100.000 penduduk pd tahun 2024 dan
menjadi 69 per 100.000 populasi pada
tahun 2030.
• Target persentase angka keberhasilan
pengobatan TBC (TBC Succes Rate)
sebesar 90%
• Cakupan penemuan dan pengobatan
TBC (TBC treatment coverage) sebesar
90%
• Menurut Stratergi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia tahun 2020-2024, diharapkan dapat mempercepat upaya
Indonesia untuk mencapai eliminasi Tuberkulosis pada tahun
2030, serta mengakhiri epidemi Tuberkulosis di tahun 2050.
• Secara khusus, bertujuan untuk:
a. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan Tuberkulosis.
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
penanggulangan Tuberkulosis.
c. Memperkuat manajemen program penanggulangan tuberkulosis yang
responsif.
d. Meningkatkan kualitas pelayanan Tuberkulosis yang berpusat kepada
kebutuhan pasien.
Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian
eliminasi nasional TB meliputi:
1. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
2. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
3. Pengendalian faktor risiko
4. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
5. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan
TB
6. Penguatan manajemen program (health system
strenghtening)
DOTS (directly observed treatment
short-course chemotherapy)
5 komponen Strategi DOTS, yaitu:
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik.
c. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.
• Indikator program TB
• Indikator Dampak
• Angka Prevalensi TB
• Angka Insidensi TB
• Angka Mortalitas TB
• Indikator Utama
• Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang diobati
• Angka notifikasi semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang diobati per 100.000
penduduk
• Angka keberhasilan pengobatan (treatment success rate/TSR) pasien TB semua
kasus
• Cakupan penemuan kasus resistan obat
• Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
• Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV

Anda mungkin juga menyukai