Anda di halaman 1dari 13

HIGEIA 3 (1) (2019)

HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH


RESEARCH AND DEVELOPMENT
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia

Implementasi Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru

Vivi Sofiyatun 1

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Univesitas Negeri Semarang, Indonesia
1

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Angka penemuan kasus dan kesuksesan pengobatan pasien Tuberkulosis Paru di puskesmas
Diterima 14 Agustus Tlogosari Kulon masih jauh dibawah target. Pada tahun 2017 ditemukan 31 kasus (50%) dengan
2018 jumlah kesuksesan pengobatan 20 kasus (65%). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
Disetujui 24 Januari 2019 implementasi Program Penanggungan Tuberkulosis Paru tahun 2018 di puskesmas Tlogosar
Dipublikasikan 31 Kulon. Penelitian ini dimulai pada Juni s.d Agustus 2018. Peneliti menggunakan jenis penelitian
Januari 2019 kualitatif dengan rancangan deskriptif dimana informan dipilih dengan teknik purposive sampling.
________________ Hasil penelitan menunjukan bahwa kekurangan sumberdaya staf dan fasilitas, kurangnya
Keywords: konsistensi dalam komunikasi serta komitmen pelaksana program terhadap pasien yang kurang
Implementation, Program, dapat menghambat implementasi sehingga belum dapat mencapa target yang ditentukan.
Tuberculosis. Kurangnya penemuan kasus secara aktif dan transmisi informasi yang hanya dilakukan antar
____________________ individu menjadikan tingkat pengetahuan masyarakat rendah. Komitmen yang terlalu longgar
DOI: pada pasien dapat menurunkan angka keberhasilan pengobatan. Dengan begitu dapat disimpulkan
https://doi.org/10.15294 bahwa implementasi program penanggulangan Tuberkulosis Paru di puskesmas Tlogosari Kulon
/higeia/v3i1/24952 sudah cukup baik namun untuk faktor komunkasi dan sumberdaya masih harus diperbaiki.
____________________
Abstract
___________________________________________________________________
The number of case discovery and successful treatment of patients with Pulmpnary Tuberculosis at Tlogosari
Kulon primary health care was below the target. In 2017, 31 cases (50%) were found with 20 cases of treatment
success (65%). The purposed of this reserch was to determine the implementation of Pulmonary Tuberculosis
Program 2018 at Tlogosari Kulon primary health care. This research was started in June until August 2018.
Researchers used a qualitative research with descriptive design where the informants were selected by purposive
sampling technique. The results of the research show that the lack of staff and facility resources, lack of
consistency in communication and the commitment of program implementers to patients who was unable to
impede implementation so that they cannot reach the specified target. Lack of active case discovery and
information transmission that only carried out between individual made the level of public knowledge low. Too
loose commitment to patients can reduced treatment success rates. That way it can be concluded that the
implementation of the Pulmonary Tuberculosis control program at Tlogosari Kulon primary health care was
good enough but for the communication and resource factors it must be improved.

© 2019 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi:
p ISSN 1475-362846
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 e ISSN 1475-222656
E-mail: s.fiya@ymail.com

74
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

PENDAHULUAN Menurut Peraturan Menteri Kesehatan


No 67 Pasal 6 Tahun 2016 tentang
Tuberkulosis paru merupakan penyakit Penanggulangan Tuberkulosis, penyelenggaraan
menular yang menjadi isu global dimana penanggulangan TB dilakukan melalui kegiatan
penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri promosi kesehatan, surveilens TB, pengendalian
Mycobacterium tuberculosis, dengan perkiraan faktor resiko, penemuan dan penanganan kasus
sepertiga populasi terinfeksi dari 2,5 juta orang TB, pemberian kekebalan dan pemberian obat
meninggal setiap tahunnya. Indonesia pencegahan. Dari kegiatan tersebut, indikator
menempati peringkat empat terbanyak di MDGs untuk TB di Indonesia saat ini baru
seluruh dunia penderita TB (Tuberkulosis) target penurunan angka insidensi yang sudah
setelah Cina, India, dan Afrika Selatan tercapai (Kemenkes, 2016). Sehingga puskesmas
(Noveyani, 2013). sebagai fasiltas kesehatan yang paling dekat
Menurut Kemenkes RI 2016, jumlah dengan masyarakat diharapkan dapat
kasus TB di Indonesia pada tahun 2015 sebesar meningkatkan program penanggulan TB Paru
324.539 kasus dan menjadi 330.910 kasus pada dengan berbagai upaya dan bekerjasama dengan
tahun 2016 (Kemenkes RI, 2016). Sedangkan berbagai kemitraan untuk menemukan kasus TB
untuk Jawa Tengah jumlah kasus pada tahun dan segera mengobatinya sampai sembuh.
2015 sebanyak 115 dan menjadi 116 per 100.000 Menurut penelitian Aditama tahun 2013
penduduk di tahun 2016. Untuk angka mengenai evaluasi program penanggulangan TB
kesuksesan pengobatan di Jawa Tengah masih di Boyolali ada beberapa hal yang menjadi
dibawah target yaitu sebesar 68,69%. Di kota penghambat puskesmas belum mencapai target
Semarang jumlah penemuan kasus TB tahun penemuan kasus baru, diantaranya kurangnya
2016 sebesar 864 kasus, mengalami peningkatan dana, kurangnya tenaga kesehatan yang telah
dari tahun 2015 yang berjumlah 826 kasus. mengikuti pelatihan serta masih banyaknya
Sedangkan angka kesuksesan pengobatan petugas yang memiliki tugas rangkap dalam
sebesar 83% dalam tiga tahun terakhir penyelenggaraan program penanggulangan TB
(Kemenkes, 2016). Paru (Aditama, 2013). Tidak lengkapnya
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, laporan kunjungan supervise tingkat atas, kartu
pada awal 1995 WHO (World Health identitas TB serta laporan bulanan membuat
Organization) mengembangkan strategi petugas harus lebih diawasi untuk memastikan
pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi kinerja program yang lebih baik (Hemlata,
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). 2011). Input dalam surveilans program TB yang
Fokus utama strategi ini yaitu penemuan dan meliputi man, money, material, dan method karena
penyembuhan pasien untuk memutuskan rantai hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar
penularan, sehingga dapat menurunkan angka terhadap proses dan output (Novanty, 2017).
kesakitan dan kematian akibat TB di Karena itu, meskipun program
masyarakat. (Kemenkes, 2016). penanggulangan Tuberkulosis sudah ada sejak
Dalam strategi DOTS terdapat lima dulu namun sampai sekarang masih belum
komponen, yaitu : Komitmen politis dari menunjukkan hasil yang efektif. Banyak faktor
pemerintah untuk menjalankan program TB yang berperan penting dalam implementasi
nasional. Diagnosis TB melalui pemeriksaan program namun faktor tesebut masih memiliki
dahak secara mikroskopis. Pengobatan TB keterbatasan. Seperti halnya puskesmas
dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Tlogosari Kulon kota Semarang, angka
yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum penemuan kasus dan kesembuhan pasien
Obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT. Tuberkulosis belum mencapai target. Tahun
Pencatatan dan pelaporan menggunakan buku 2015 angka CDR (Case Detected Rate) yaitu 24
untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi kasus (30%) dengan angka keberhasilan
program penanggulangan TB Paru. pengobatan (Succes Rate) sebesar 20 kasus (83%).

75
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

Pada tahun 2016, CDR sebesar 18 kasus (30%) bagaimana implementasi program
dengan SR 14 kasus (78%).dan pada tahun 2017 penanggulangan Tuberkulosis di puskesmas
CDR sebesar 31 kasus (50%) dengan SR 20 Tlogosari Kulon terkait dengan komunikasi,
kasus (65%). sumberdaya, dosposisi dan struktur
Puskesmas sudah menerapkan strategi birokrasinya. Peneliti berharap penelitian ini
DOTS namun belum mampu mencapai target dapat bermanfaat bagi analisis atau evaluasi
angka penemuan kasus dan kesuksesan puskesmas agar nantinya dapat
pengobatan. Hal tersebut dipengaruhi oleh mengimplementasikan program dengan lebih
banyak faktor, antara lain kurangnya baik sehingga dapat meningkatkan angka
pemahaman masyarakat mengenai TB sehingga penemuan dan kesuksesan pengobatan
malas memeriksakan diri ke puskesmas, Tuberkulosis. Sedangkan untuk selanjutnya
kurangnya jumlah petugas maupun sarana dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian
prasarana serta kurangnya pemanfaatan kader selanjutnya.
kesehatan dalam program penanggulangan TB
tersebut menjadi beberapa penyebab belum METODE
tercapainya target penemuan kasus dan
kesuksesan pengobatan. Penelitian ini merupakan penelitin studi
Menurut Gorge C. Edwards III dalam kasus yang menggunakan metode kualitatif
implementasi kebijakan ada empat variabel dengan rancangan deskriptif. Metode tersebut
yang berperan penting dalam pencapaian digunakan untuk mendapatkan data mendalam
keberhasialan implementasi. Empat variabel dan suatu data yang memiliki makna. Fokus
tersebut adalah komunikasi, sumberdaya, penelitian dari penelitian ini yaitu program
disposisi dan struktur birokrasi (Indiahono, penanggulangan Tuberkulosis Paru di
2009). Komunikasi menunjukan bahwa setiap puskesmas Tlogosari Kulon. Berada di wilayah
kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik kota Semarang. Penelitian dilakukan pada Juni
jika terjadi komunikasi yang efektif antara sampai dengan Agustus 2018.
pelaksana program (kebijakan) dengan para Terdapat sembilan informan dalam
kelompok sasaran (target group). Sumberdaya penelitian ini. Dimana tiga orang sebagai
menunjukkan setiap kebijakan harus didukung informan utama dan enam orang sebagai
oleh sumber daya yang memadai, baik sumbe informan triangulasi. Tiga informan tersebut
daya manusia maupun sumberdaya finansial. adalah tim program penanggulangan
Disposisi yaitu karakter yang paling dimiliki Tuberkulosis di puskesmas Tlogosari Kulon
oleh implementor, terdiri dari kejujuran, yang terdiri dari satu perawat, satu petugas
komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa laboratorium dan satu dokter. Sedangkan enam
bertahan diantara hambatan yang ditemui informan lain yaitu kepala puskesmas, petugas
dalam program/kebijakan. Dan struktur survey kesehata, petugas dinas kesehatan, PMO
birokrasi adalah bagaimana mekanisme (Pengawas Minum Obat) dan pasien menjadi
implementasi program. informan triangulasi.. Penentuan informan
Dari uraian diatas perbedaan penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive
ini dengan penelitian sebelumnya yaitu waktu sampling. Dimana pemilihan informan dalam
dan tempat penelitian serta rancangan penelitian ini tidak berdasarkan pada jumlah
penelitian. Dimana penelitian ini dilakukan di tetapi berdasarkan asas kesesuaian dan asas
puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang kecukupan. Sumber informasi dalam penelitian
pada tahun 2018. Sedangkan untuk rancangan ini dibedakan menjadii tiga. Untuk sumber
penelitian, penelitian sebelumnya menggunakan informasi primer yaitu dari wawancara
studi kuantitatif sedangkan dalam penelitian ini mendalam dengan para informan. Sedangkan
menggunakan studi kualitatif. Oleh karena itu untuk sumber informasi sekunder didapat dari
tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui data puskesmas, dinas kesehatan ataupun

76
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

laporan-laporan lain. Untuk data tersier yaitu hal yang tidak perlu. Tahap kedua yaitu,
literature-literatur yang berhubungan dengan penyajian data dimana yang sering digunakan
penelitian ini. adalah bentuk uraian singkat yang bersifat
Instrumen dalam penelitian ini adalah naratif. Tahap terakhir yaitu penarikan
peneliti sendiri. Peneliti mengumpulkan data kesimpulan dan verifikasi.
menggunakan panduan wawancara. Sebagai Untuk pemeriksaan keabsahan data,
instrumen pendukung dalam penelitian agar dalam penelitian ini menggunakan uji credibility
hasil wawancara dan observasi dapat terekam (validiatas internal), transferability (validitas
dan terdokumentasi dengan baik dan peneliti eksternal), dependability (reliabilitas), dan
memiliki bukti telah melakukan wawancara dan confirmability (objektivitas). Credibility yaitu
observasi kepada informan serta diperlukan teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan
sarana prasarana seperti buku catatan, alat tulis, sesuatu lain diluar data itu untuk keperluan
tape recorder,dan kamera. Peneliti melakukan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
wawancara mendalam kemudian dicatat. data tersebut (triangulasi). Transferbility yakni
Setelah itu informasi-yang didapat dirangkai menerapkan hasil penelitian ini, maka yang
menjadi satu pembahasan yang lengkap dan peneliti lakukan dalam membuat laporan ini
detail berbentuk laporan. dengan memberikan laporan yang rinci, jelas
Prosedur penelitian dalam penelitian ini dan sistematis. Sedangkan dependability
terbagi penjadi tiga tahap. Untuk tahap pra dilakukan dengan melakukan audit terhadap
penelitian terdiri dari menyusun rancangan keseluruhan proses penelitian di lapangan, agar
penelitian, memilih lokasi penelitian, menyusun dapat memberikan data. Dan yang terakhir
perizinan penelitian, menyusun perlengkapan yaitu confirmability berarti menguji hasil
yang digunakan utnuk proses penelitian. Untuk penelitian, dikaitkan dengan proses penelitian
tahap penelitian terdiri dari pengamatan yang dilakukan.
(observasi) dan wawancara mendalam yang
dilakukan dengan para informan. Kemudian HASIL DAN PEMBAHASAN
hasil yang didapat dicatan pada lembar
wawancara, studi dokumen dan observasi. Puskesmas Tlogosari Kulon merupakan
Sedangkan untuk taha[ pasca penelitian terdiri salah satu puskesmas induk di Kota Semarang
dari menganalisis data yang didapat, dengan dengan fasilitas rawat inap, yang terletak di
mengacu pada sumber data yang ada di Kecamatan Pedurungan dengan luas tanah
Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang dan 1256m2 dan luas bangunan 865m2. Puskesmas
kemudian memberi rekomendasi pada Tlogosari Kulon terletak di jalan Satrioamanah
Puskesmas yang dapat dijadikan bahan untuk No.2 kelurahan Tlogosari Kulon. Berdasarkan
melakukan evaluasi. Surat Keputusan Walikota Semarang tahun
Dalam penelitian ini, proses pengolahan 2001 wilayah kerja Puskesmas Tlogosari Kulon
data berlangsung secara simultan dan bersifat berada di Kecamatan Pedurungan yang
interaktif antara pengolahan data dan analisis meliputi 4 kelurahan, yaitu: Kelurahan
data. Analisis data menggunakan analisis isi Tlogosari Kulon (luas wilayah 2,80 Km 2),
(content analysis), dibantu analisis taksonomi. Kelurahan Muktiharjo Kidul (luas wilayah
Langkah-langkah dalam proses analisis data wilayah yang terluas adalah Kelurahan
dalam penelitian ini terdiri dalam tiga tahap. Tlogosari Kulon dan yang terkecil adalah
Tahap pertama yaitu reduksi data. Reduksi data Kelurahan Kalicari. Berikut tabel jumlah
adalah proses merangkum, memilih hal-hal penduduk wilayah kerja puskesmas Tlogosari
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang Kulon.
penting dan transformasi data kasar yang Informan dalam penelitian ini terdiri dari
muncul dari catatan-catatan di lapangan dengan 6 orang dari berbagai golongan berbeda, berikut
langkah mengurangi atau menghilangkan hal- adalah tabel 1 karakteristik para informan.

77
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

Tabel 1. Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogosari Kulon Tahun 2017
Luas Jumlah Penduduk
Kepadatan
No Kelurahan Wilayah
Penduduk L P Total
(Km2)
Tlogosari 35.876
1 2,80 12.813 17.194 18.682
Kulon
Muktiharjo 17.209
2 2,04 16.627 16.711 33.920
Kidul
3 Kalicari 0,80 11,428 4.563 4.579 9.142
4 Gemah 1,01 14.474 7.147 7.472 14.619
Total 6,65 14.069 45.615 47.942 93.557

Kemampuan implementor memiliki pagi atau lokakarya mini (lokmin). Seangkan


pengaruh besar dalam melaksanakan suatu untuk menyampaikan informasi kepada
kebijakan. Untuk mengetahui sejauh mana masyarakat dapat melalui gasurkes di masing-
keberhasilan implementasi program masing kelurahan maupun melalui bagian
penanggulangan tuberkulosis paru di puskesmas promosi kesehatan puskesmas. Untuk
Tlogosari Kulon menurut Permenkes No.67 pemberian informasi pada masyarakat,
Tahun 2016 dapat diukur melalui faktor-faktor Gasurkes biasanya menyampaikan saat
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi. melakukan peninjauan jentik nyamuk atau saat
Dengan demikian, maka kepada informan melakukan skrining dan kontak serumah.
diajukan pertanyaan yang berkaitan dengan Dari tim TB puskesmas memang belum
pengetahuan kepimpinan serta keterampilan pernah mengadakan pertemuan atau sosilisasi
komunikasi dalam penyampaian informasi untuk melanjutkan informasi mengenai TB dari
penanggulangan tuberkulosis di puskesmas dinas kesehatan kepada para kader atau
Tlogosari Kulon. Ada beberapa hal yang masyarakat karena keterbatasan dana. Namun
ditanyakan, yaitu mengenai komunikasi, pemegang program selalu menyampaikan
sumberdaya, disposisi/sikap implementor dan informasi tersebut secara langsung kepada setiap
struktur birokrasi. pasien saat datang untuk pengambilan obat.
Dalam faktor komunikasi sendiri terdapat Kurang tepatnya persebaran dana serta
tiga hal yang sangat penting. Pertama transmisi transmisi informasi dan pengawasan
informasi di puskesmas Tlogosaroi Kulon kota menghambat kesuksesan dalam pengobatan TB
Semarang sudah baik. Dimulai dengn (Luisa, 2015). Kurangnya persebaran Informasi
pemberian informasi. Biasanya informasi tentunya mempengaruhi pemahaman
mengenai Penanggulangan tuberculosis paru masyarakat mengenai penyakit TB. Semakin
disampaikan oleh Dinas Kesehatan Kota jarang sosialisasi maka semakin rendah pula
Semarang. Informasi tersebut diberikan dari tingkat pemahaman.
Dinas Kesehatan kepada pemegang program Hal kedua yang penting dalam
atau pelaksana program Program komunikasi yaitu kejelasan. Menurut para
Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB) setiap informan baik informan utama maupun
puskesmas di kota Semarang. triangulasi, informasi yang disampaikan selama
Kemudian informasi tersebut akan di ini sudah cukup jelas. Informasi dari dinas
informasikan oleh pelaksana program kepada kesehatan biasanya dilakukan dengan
pegawai puskesmas yang lain pada saat apel mengumpulkan para pemegang program TB

Tabel 2. Karakteristik Informan Utama


No Informan Jabatan Jenis Kelamin Usia Pendidikan
1. Informan Utama 1 Perawat Perempuan 45 Sarjana
2. Informan Utama 2 Petugas Laboratorium Laki-laki 32 Diploma
3. Informan Utama 3 Dokter Perempuan 44 Profesi

78
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

Tabel 3. Karakteristik Informan Triangulasi


No Informan Jabatan Jenis Usia Pendidikan
Kelamin
1. Informan Triangulasi 1 Kepala Puskesmas Laki-laki 48 Sarjana
2. Informan Triangulasi 2 Dinkes Kota Laki-laki 49 Master
3. Informan Triangulasi 3 Gasurkes Perempuan 24 Sarjana
4. Informan Triangulasi 4 PMO Perempuan 36 Sarjana
5. Informan Triangulasi 5 Pasien Laki-laki 36 Diploma
6. Informan Triangulasi 6 Pasien Laki-laki 32 SMP

puskesmas se-kota Semarang. Kemudian pihak yang dijelaskan oleh pelaksana program seperti
dinas menjelaskan informasi tersebut secara misalnya saat pelaksana program menjelaskan
terperinci. Misalnya untuk perhitungan target efeak dari konsumsi obat TB, efek saat tidak
suspek. Menurut pemegang program dan tim meminum obat secara tertur, penjelasan
TB lain informasi dari dinas kesehatan sudah mengenai tes lanjutan dan lain-lain. Pelaksana
jelas. Jika dari pihak tim TB puskesmas ada program selalu menjelaskan dengan apa adanya,
yang tidak paham atau kurang jelas dapat tanpa ditutup-tutupi agar pasien merasa lebih
langsung menghubungi pihak dinas kesehatan nyaman. Sedangkan untuk persebaran informsi
atau pemegang program di TB di dinas dengan Gasurkes pun sudah jelas karena
kesehatan. memang Gasurkes hanya berhubungan denga
Untuk dipuskesmas sendiri menurut para pelaksana program.
infoman,informasi dan komunikasi yang selama Hal penting terakhir dari komunikasi
ini dilkukan sudah jelas. Terkadang untuk yaitu konsistensi. Jika implementasi kebijakan
pertemuan para pemegang program TB ingin berlangsung efektif maka perintah-perintah
dipuskesmas yang mendapat undangan dari pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Jika
dinas kesehatan tidak hanya pelaksana program perintah-perintah implementasi kebijakan tidak
saja, namun juga dengan tenaga laboratorium konsisten akan mendorong para pelaksana
atau dokter dalam tim TB sehingga informasi mengambil tindakan yang sangat longgar dalam
tidak hanya didapat pelaksana program. menafsirkan dan mengimplementasikan
Dengan begitu pelaksana program dan tenaga kabijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan
laboratorium akan saling melengkapi dalam berakibat pada ketidak efektifan implementasi
inenjelaskan apa yang mereka dapat dari dinas kebijakan karena tindakan yang sangat longgar
kesehatan untuk kemudian di sebarluaskan besar memungkinkan tidak dapat digunakan
kepada semua petugas di puskesmas. untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan
Karena informasi disampaikan pada saat (Winarno, 2012).
lokmin atau apel maka semua petugas akan Hal yang disampaikan dalam komunikasi
mengetahuinya baik non medis maupun para tentu harus konsisten, tidak boleh berubah-
medis. Menurut pelaksana program untuk ubah. Ketidakkonsistenan informasi dalam
paramedic biasanya memahami dengan baik komunikasi tentunya akan membuat para
informasi yang disampaikan namun untuk pelaksana bingung. Konsistensi dalam
tenaga non medis mungkn ada yang kurang komunikasi dapat dilihat dari beberapa hal,
jelas. Biasanya pelaksana program akan misalnya dengan adanya jadwal pertemuan
menjelaskan kembali pada orang tersebut yang tidak berubah-ubah, informasi serta aturan
apabila orang tersebut bertanya pada pelaksana yang konsisten dan lain-lain. Hal tersebut
program sehingga akan dijelaskan kembali sejalan dengan penelitian yang menyatakan
secara personal agar lebih jelas. bahwa evaluasi merupakan alat yang tak
Untuk penyampaian informasi atau tergantikan untuk mengelola sistem kesehatan
komunikasi dengan pasien pun sudah baik. sebagai konsekuensi dari kebijakan program,
Pasien mengaku sudah cukup jelas dengan apa layanan, dan tindakan (Tondong, 2014).

79
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

Konsistensi dalam penyampaian lain yang lebih rumit. Hal ini tentu saja menjadi
informasi menganai P2TB di puskesmas salah satu sebab ketidaktepatan dalam
Tlogosari Kulon sudah baik. Dari DKK (Dinas pelaporan jumlah pasien TB karena pelaksana
Kesehatan Kota) Semarang sudah ada jadwal program akan malas meng-update data jika
pertemuan rutin dengan para pemegang harus mengulangnya kembali.
program P2TB di seluruh puskesmas kota Menurut hasil penelitian (Wijayanti,
Semarang. Jadwal tersebut yaitu tiga bulan 2016) bahwa penilaian menurut atribut sistem
sekali pada minggu kedua bulan berjalan. Hal surveilans menunjukkan sistem tidak sederhana,
tersebut sudah sesuai dengan yang tertera dalam tidak fleksibel, tidak akseptabel, tidak stabil,
Permenkes No. 67 Tahun 2016. Dalam dengan kualitas data yang buruk, meskipun
pertemuan tersebut tidak hanya sebagai sarana predictive positive value tinggi dan ketepatan
untuk bertukar informasi namun juga dapat waktu pengumpulan data sudah baik hal ini
dijadikan sebagai sarana pengontrolan bagi sesuai dengan kondisi SITT yang sering
DKK. mengalami gangguan system termasuk dalam
Dengan adanya media sosial saat ini system surveilens yang kurang baik.
tentunya mempermudah komunikasi. Hal Faktor yang kedua mempengaruhi
tersebut juga diungkapkan oleh pelaksana implementasi adalah sumberdaya. Sumberdaya
program TB puskesmas Tlogosari Kulon. Jika yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung
dalam pertemuan rutin tersebut masih ada yang oleh sumber daya yang memadai, baik sumber
belum dipahami atau muncul suatu masalah daya manusia maupun sumberdaya finansial.
saat di puskesmas maka dapat langsung Sumberdaya manusia adalah kecakupan baik
menghubungi yang bersangkutan untuk kualitas maupun kuantitas implementor yang
berkonsultasi. Untuk pelaksana program dan dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.
petugas laboratorium memang ada pertemuan Sumberdaya finansial adalah kecakupan model
rutin namun untuk dokter tidak. Biasanya untuk investasi atas sebuah program/kebijakan.
dokter yang masuk dalam tim P2TB puskesmas Keduanya harus diperhatikan dalam
diadakan pelatihan mengenai strategi DOTS implementasi program/kebijakan pemerintah.
atau sosialisai-sosialisasi mengenai program Sebah kedalam implementor , kebijakan
penanggulangan TB, namun hal tersebut tidak menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan
terjadwal. Apabila semua petugas TB di seadanya. Sedangkan, sumberdaya finansial
puskesmas maupun balai paru telah mingikuti menjamin keberlangsungan program/kebijakan.
pelatihan dan menerapan dalam pelayanan Tanpa ada dukungan finansial yang memadai,
kesehatan maka diharapkan angka penurunan program tak dapat berjalan efektif dan cepat
kesakitan karena TB sebesar 30% dan angka dalam mencapai tujuan dan sasaran.
kematian karena TB sebesar 40% (Faradis, Sesuai penelitian Minardo tanggung
2018). jawab dalam menyelesaikan pekerjaan kurang
Hal yang tidak konsisten dalam karena beban pekerjaan yang banyak, bekerja
komunikasi ini yaitu seringnya server yang tanpa target dan motivasi. Petugas tidak
berubah untuk pengumpulan laporan bulanan mendapatkan kompensasi, membutuhkan
TB ke DKK Semarang. Para narasumber dukungan dari pimpinan untuk mengeluarkan
mengungkapkan bahwa memang sering ada ide dan gagasan dalam penemuan kasus
gangguan dalam server SITT (Sistem Informasi (Minardo, 2015). Sumberdaya sangat
Terpadu Tuberkulosis) yang digunakan sebagai erpengaruh terhadap implementasi program.
sarana pengiriman database pasien TB di Seperti hasil penelitian dari Tondong dkk, 2014
puskesmas ke DKK. Karena faktor jaringan menyatakan bahwa faktor – faktor yang
yang sering tidak stabil menyebabkan server menghambat implementasi PPM (Public Private
sering mengalamai error sehingga para pelaksana Mix) pengendalian TB adalah keterbatasan
program di puskesmas harus menggunakan cara sumber daya manusia, anggaran, logistik TB

80
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

dan sarana prasarana unit DOTS serta banyak para petugas yang takut pada penyakit
ketergantungan sumber daya terhadap pihak TB sehingga tidak mau berurusan dengan pasien
donor, tidak adanya pedoman operasional yang TB. Kepala puskesmas menyatakan bahwa
mengatur mekanisme kerjasama, kurangnya dalam perhitungan kapasitas, seharusnya di
komitmen pemerintah maupun mitra dalam puskesmas Tlogosari Kulon memiliki 58
implementasi PPM pengendalian TB, pegawai namun dalam kenyataannya hanya ada
kurangnya komunikasi dan koordinasi antara 54 pegawai. Kekurangan pegawai inilah yang
jejaring PPM dalam menjaga keteraturan dan berdampak pada adanya tugas dan
keberlangsungan pengobatan penderita TB tanggungjawab rangkap. Selain itu juga tidak
(Tondong, 2014). maksimal dalam pencarian suspek dan
Dalam faktor sumberdaya juga terdapat pelacakan kasus.
empat hal yang penting. Yang pertama adalah Gasurkes mengaku bahwa sangat
staf atau sumberdaya manusia. Sumberdaya kekurangan tenaga saat melakukan skrining dan
manusia atau staf di puskesmas Tlogosari Kulon pencarian suspek. Apalagi satu kelurahan hanya
sudah memenuhi standar yang ditetapkan oleh terdapat satu atau dua Gasurkes. Pihak
Peraturan Menteri Kesehatan No 67 Tahun puskesmas pun tidak ada yang ikut turun
2016. Srandar tersebut yaitu petugas dalam tim kelapangan untuk membantu. Apalagi jika
TB minimal terdiri dari tiga orang, satu perawat, masyarakatnya banyak dan susah untuk diajak
satu analis dan satu dokter. Pelaksana program bekerja sama maka Gasurkes menjadi malas
TB di puskesmas Tlogosari Kulon adalah untuk berjalan kerumah-rumah sendirian.
seorang perawat, terdapat satu analis dan satu Menurut Permenkes No 67 Tahun 2016
dokter yang masuk tim P2TB. Meskipun sudah pihak puskesmas seharusnya juga melakukan
sesuai standar minimal namun ternyata para penemuan kasus secara aktif dengan turun ke
petugas masih merasa perlu adanya staf masyarakat, baik untuk melakukan skrining
tambahan. maupun kontak serumah. Namun karena
Pelaksana program TB puskesmas keterbatasan staf maka petugas puskesmas
Tlogosari Kulon mengaku kerepotan dalam hanya mengandalkan kinerja dari Gasurkes.
mengurus semua pasien TB sendirian. Mulai Tugas Gasurkes hanya untuk menemukan kasus
dari pencatatan, pengaturan jadwal untuk uji dan memastikan status pasien tersebut. Untuk
dahak, mempersiapkan obat serta melakukan pengobatan dan pemantauan adalah tugas dari
pelaporan. Tentu saja karena pelaksana program puskesmas namun yang terjadi selama ini
tersebut juga memiliki program lain yang harus adalah semua yang berhubungan dengan
dijalankan karena beliau juga merupakan masyarakat di lapangan diserahkan pada
pelaksana program pneumonia. Adanya Gasurkes. Misalnya mengontrol pasien apakah
tanggungjawab rangkap ini tentunya semakin meminum obat secara teratur atau
memberatkan pelaksana program. Belum lagi mengantarkan obat bagi pasien yang tidak bisa
pelaksana program harus menjalankan tugasnya mengambil obat.
sebagai perawat di bagian pemeriksaan umum Gambaran diatas sesuai dengan hasil
setiap harinya. penelitian Noveyani, 2014 yang menyatakan
Pelaksana program mengaku kesulitan bahwa faktor penghambat pengendalian TB
saat harus meninggalkan puskesmas untuk rapat yaitu jarak menuju puskesmas sebagian besar
atau melakukan tugas diluar, sedangkan di (65,6%) pasien adalah > 1 km. Pencatatan dan
puskesmas tidak ada yang menggantikan dirinya pelaporan menggunakan sistem elektronik dan
untuk menerima pasien TB, baik untuk yang dilaporkan secara online. Sehingga untuk
mengambil obat maupun yang akan meningkatkan keberhasilan pengobatan TB ini
berkonsultasi setelah mengambil hasil diagnosa. diharapkan semua pasien tuberkulosis memiliki
Menurut penuturan beliau selain karena sudah pengawas menelan obat dan optimalisasi peran
memiliki kesibukan masing-masing, masih pengawas menelan obat (Noveyani, 2014).

81
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

Kemudian hal kedua yang penting dalam Di puskesmas Tlogosari Kulon tim P2TB
sumberdaya adalah wewenang. Wewenang sudah cukup mengetahui informasi mengenai
merupakan sebuah hak khusus yang diberikan apa saja yang harus dilakukan serta bagaimana
kepada seseorang karena hal-hal tertentu. melakukan program tersebut. Misalnya untuk
Kurangnya wewenang yang efektif oleh para pelaksana program apabila ada pasien yang
pejabat maka mereka membutuhkan kerjasama tidak mengambil obat maka dihubungi, jika
dengan pelaksana-pelaksana lain jika mereka masih tidak bisa maka Gasurkes akan kerumah
ingin melaksanakan program-program dengan pasien tersebut. Jika ada pertanyaan atau
berhasil. Lindblom mengemukakan ciri-ciri informasi apapun dari pasien maupun Gasurkes
kewenangan, yakni : kewenangan selalu bersifat pelaksana program akan berusaha
khusus, kewengangan baik suka rela maupun menanggapinya karena hanya pelaksana
paksaan, merupakan konsensi dari mereka yang program yang berinteraksi dan berkomunikasi
bersedia tunduk, kewenangan itu rapuh dan dengan mereka.
kewenangan diakui karena berbagai sebab. Untuk informasi mengenai ketaatan
Sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pihak-pihak yang berhubungan dengan program
pokok, salah satunya yaitu sebagian orang ini, pelaksana program tidak memilikinya.
beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada Untuk ketaatan para pasien TB, pelaksana
seseorang yang memerintah. program hanya memiliki rekap pengambilan
Begitu pula dengan wewenang yang obat dan pemeriksaan sehingga menghasilkan
diberikan kepada pelaksana program TB sebagai data jumlah pasien yang sembuh, masih dalam
penanggungjawab P2TB. Beliau mendapat pengobatan atau termasuk kasus mangkir.
wewenang penuh untuk menjalankan program Untuk ketaatan dalam meminum obat sudah
tersebut. Bukti dari wewenang tersebut adalah diawasi oleh PMO yang telah disepakati.
dengan adanya Surat Keputusan (SK) yang Sedangkan ketaatan petugas TB lain, pelaksana
diberikan sebagai bentuk pemberian wewenang program tidak memiliki catatan atau informasi
dalam menjalankan P2TB. Dalam SK tersebut apapun. Begitupun dengan pihak puskesmas.
juga terdapat tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Rekap yang dimiliki hanya kehadiran.
dari pelaksana program TB. Tidak hanya Hal keempat yang penting dari
pelaksana program TB saja, semua petugas sumberdya adalah fasilitas. Fasilitas fisik
dipuskesmas Tlogosari Kulon, khususnya tim merupakan sumber-sumber kepentingan dalam
P2TB sudah memiliki SK masing-masing. implementasi karena sebagai faktor pendukung
Hal penting yang ketiga dalam terlaksananya implementasi kebijakan yang
sumberdaya adalah informasi. Informasi efektif. Penyediaan fasilitas bagi implementasi
mempunyai dua bentuk, yang pertama yaitu kebijakan yang efektif tidaklah mudah
informasi mengenai bagaimana melaksanakan (Winarno, 2012). Seringkali penyediaan fasilitas
suatu kebijakan. Pelaksana perlu mengetahui terhambat dengan keterbatsan dana,
apa yang dilakukan dan bagaimana mereka keterbatasan tenaga maupun terkadang datang
harus melakukannya. Kurangnya pengetahuan larangan dari masyarakat. Namun penyediaan
tentang bagaimana mengimplementasikan fasilitas menjadi sangat penting ketika
kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi implementasi program memang harus
langsung. Implementasi kebijakan juga menggunakan fasilitas khusus.
seringkali membutuhkan informasi tentang Di puskesmas Tlogosari Kulon
ketaatan dari organisasi-organisasi atau penyediaan fasilitas untuk program P2TB sudah
individu-individu dangan hukum. Akan tetapi cukup baik. Namun memang ada beberapa yang
data tentang ketaatan biasanya sulit diperoleh belum memenuhi standar. Misalnya yaitu
karena kurangnya staf yang mampu ruangan khusus untuk merawat TB MDR. Di
memberikan informasi mengenai ketidaktaatan puskesmas Tlogosari Kulon belum memiliki
hukum yang mungkin dilakukan. ruangan tersebut padahal tercatat ada satu

82
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

pasien TB MDR yang masih dalam masa tersebut. Terutama memang masih ada
perawatan. beberapa pasien yang tidak menggunakan
Menurut penjelasan dari DKK untuk masker. Selain tu karena berbagai alasan banyak
setiap puskesmas seharusnya mempunyai ruang pasien TB yang datang pagi atau bersamaan
khusus untuk TB MDR tapi memang untuk dengan pasien umum sehingga memungkinkan
penyediaannya tergantung pada kondisi banyak interaksi antara pasien umum dan
puskesmas. Ada yang memang sudah pasien TB. Akan sangat berbahaya jika pasien
menyiapkan ruang khusus, ada juga yang baru tersebut masih berpotensi menularkan bakteri
menyiapkan setelah memiliki pasien TB MDR. TB karena pengobatan yang belum lama.
Puskesmas Tlogosari Kulon sendiri sudah Untuk peralatan maupun fasilitas di
beberapa kali merawat pasien TB MDR, namun dalam laboratorium sudah cukup karena
hingga saat ini uangan khusus tersebut belum beberapa tahun terakhir puskesmas sudah
disediakan. Pasien TB MDR terpaksa memakai melengkapi fasilitas di laboratorium. Selain itu,
ruangan lain yang kosong untuk menjalani sekarang ini untuk tes mikroskopis sudah
perawatan. Itulah cara yng dapat dilakukan oleh menggunakan TCM (Tes Cepat Molekuler)
pelaksana program TB untuk dapat melayani sehingga puskesmas akan langsung
pasien dengan baik meski dengan fasilitas yang mengantarkan dahak ke rumah sakit rujukan
terbatas. yaitu RSUP Karyadi Semarang.
Menurut penjelasan dari kepala Faktor ketiga yang mempengaruhi
puskesmas ruangan khusus untuk TB MDR implementasi adalah disposisi. Disposisi
tersebut memang masih diusahakan. Puskesmas menunjukan karakteristik yang menempel erat
akan berusaha untuk memberikan pelayanan kepada implementor kebijakan/program.
kepada pasien TB MDR tersebut agar tetap Karakter yang paling dimiliki oleh implementor
nyaman. Selain itu menurut kepala puskesmas, adalah kejujuran, komitmen tinggi yang akan
fasilitas untuk ruang tunggu pasien TB masih senantiasa bertahan diantara hambatan yang
kurang. Karena hanya ada kursi di lorong ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran
puskesmas padahal biasanya efek samping dari mengarahkan implementor untuk tetap berada
meminum obat TB adalah mual dan pusing dalam arah program yang telah digariskan
sehingga pasien perlu adanya tempat tidur. dalam guideline program. Komitmen dan
Ruang tunggu tersebut juga bercampur dengan kejujurannya membawanya semakin antusias
pasien umum membuat pasien kurang nyaman. dalam melaksanakan tahap-tahap program
Terkadang pasien TB tidak memakai masker secara konsisten.
saat di puskesmas. Menurut penuturan para informan
Selain kekurangan fasilitas diatas ada kejujuran dan komitmen implementor P2TB
kekurangan fasilitas lain yaitu perlunya pojok sudah cukup baik, khususnya pelaksana
dahak untuk diperbaiki agar lebih menarik. program TB. Pelaksana program termasuk
Pojok dahak dalah tempat penting yang sering petugas yang rajin, ulet dan tidak sering
digunakan para pasien TB atau yang masih mengeluh. Pelaksana program segera
terduga TB untuk dapat mengeluarkan dahak menyampaikn informasi yang didapat dari
agar dapat segera diberikan pada bagian DKK, semangatnya juga tinggi dalam
laboratorium. Dan kekurangan fasilitas terakhir mnjalankan program. Jika terjadi sesuatu juga
yang cukup penting yaitu tidak adanya bercerita dengan yang lain dengan jujur.
pendaftaran khusus untuk pasien TB sehingga Dengan pasien pelaksana program juga selalu
bercampur dengan pasien umum. jujur menyampaikan keadaan pasien, tidak ada
Meskipun pelaksana program TB sudah yang dututup-tutupi. Misalnya untuk sekarang
menyuruh para pasien untuk memakai masker ini pemeriksaan TB juga harus diikuti dengan
dan datang ke puskesmas setelah pukul 10.00 pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency
WIB namun tidak semuanya mematuhi anjuran Virus), gula, dan lain-lain maka pelaksana

83
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

program menjelaskan dengan rinci kepada keberhasilan pengobatan kasus TB. Alternative
pasien. Selain itu jika tidak menjalankan lain yang sedang dilakukan DKK yaitu
pengobatan maka dampaknya akan berbahaya pemilihan PMO dan update data pasien. Semua
bagi diri sendiri dan lingkungan. Semua beliau puskesmas diharapkan mampu melakukan
jelaskan secara gamblang agar jelas bagi pasien. pelacakan kasus mangkir sehingga dapat
Namun dalam komitmen dengan pasien, melanjutkan pengobatan dan meningkatkan
beliau masih kurang tegas. Untuk pasien yang cakupan keberhasilan pengobatan.
putus berobat atau tidak mau menjalani Faktor terakhir yang mempengaruhi
pengobatan, beliau tidak akan terlalu memaksa implementasi kebijakan menurut Edwards yaitu
pasien tersebut. Beliau mengakui jika sudah struktur birokrasi. Menurut para informan di
diberi motivasi, peringatan serta pemahaman puskesmas Tlogosari Kulon, struktur birokrasi
pasien masih saja tidak mau berobat maka di puskesmas, khususnya untuk P2TB tidak
beliau akan memberikan informed concern kaku, fleksibel dan tidak membatasi. Sehingga
mengenai penolakan pengobatan. Beliau para implementor tidak merasa terhambat
memiliki prinsip untuk menghormati segala Hak dengan adanya struktur birokrasi. Hal itu juga
Asasi dan beliau juga menyadari bahwa tidak terbukti dengan adanya SOP yang dibuat sendiri
semua orang mau atau suka dipaksa, sehingga oleh tim TB puskesmas yang berbeda dengan
beliau memutuskan untuk membiarkan pasien puskesmas lain.
tersebut. Beliau mengatakan jika pasien mau Menurut dinas kesehatan kota Semarang,
untuk berobat maka beliau akan membantu untuk SOP program penanggulangan TB setiap
sekuat tenaga sampai sembuh namun jika puskesmas memang tidak sama persis. Dari
pasien benar-benar tidak mau maka beliau tidak DKK mengeluarkan SOP yang dianjurkan
terlalu memaksa. Komitmen dari tingkat yang untuk digunakan di setiap puskesmas namun
lebih tinggi menjalar ke bawah untuk kader karena ada perbedaan geografis, kependudukan
penyedia layanan yang lebih rendah dapat dan kebutuhan yang berbeda di setiap
membuat implementasi program efektif dan puskesmas maka puskesmas diperbolehkan
berkelanjutan (Seddiq, 2014). Faktor risiko untuk membuat SOP sendiri. SOP yang dibuat
terjadinya TB paru kambuh antara lain oleh puskesmas tersebut tentunya harus sesuai
kurangnya pemberian motivasi supaya tidak dengan SOP DKK. Dimana acuan dari SOP
putus obat (Naomi, 2016). DKK Semarang yaitu Peraturan Menteri
Biasanya untuk pelacakan kasus mangkir, Kesehatan No. 67 Tahun 2016.
beliau akan menelepon pasien untuk Di puskesmas Tlogosari Kulon, untuk
menanyakan penyebab pasien berhenti. SOP P2TB tidak sama dengan SOP DKK. Ada
Kemudian jika tetap tidak menemukan beberapa kata maupun nama yang diubah sesuai
jawaban, beliau akan bekerja sama dengan kebutuhan puskesmas. Menurut penuturan
Gasurkes yang bertugas di wilayah tersebut pelaksana program TB penyusunan SOP
untuk dapat melakukan kunjungan kerumah. tersebut berdasarkan pada Peraturan Menteri
Dan jika pasien tetap tidak mau maka pasien Kesehatan No. 67 Tahun 2016. Pelaksana
akan diminta menandatangani informed concern. program TB sendiri yang membuar draf SOP
Para pasien dan PMO juga mengaku bahwa terseebut.
pelaksana program tidak memaksa dalam Untuk proses pembuatan SOP di
pengobatan namun mereka sendiri yang puskesmas Tlogosari Kulon harus melewati
memiliki kemauan tinggi untuk sembuh beberapa tahap. Menurut hasil wawancara
sehingga tetap rajin menjalani pengobatan. dengan para narasumber proses pembuatan SOP
Dari penuturan DKK Semarang sendiri dimulai dari pengajuan draf SOP dari pelaksana
pelacskan kasus merupakan salah satu program. Kemudian pelaksana program akan
alternative yang sedang digalakkan untuk mengajukan draf P2TB tersebut kepada bagian
meningkatkan cakupan dari penemuan dan UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) untuk

84
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

dikonsultasikan karena sasaran P2TB dalah serta menambahkan variabel yang belum ada
masyarakat, bukan perorangan. Setelah SOP dalam penelitian ini.
disetujui dan tidak ada revisi maka pelaksana
program akan mengajukan ke bagian Tata DAFTAR PUSTAKA
Usaha puskesmas. Di bagian TU tersebut
kemudian SOP dicetak dan diberi nomor untuk Aditama, W., Zulfikar., Baning, R. 2013. Evaluasi
kemudian dimintakan persetujuan dari kepala Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru
puskesmas. Jika tidak ada revisi lagi dari kepala di Kabupaten Boyolali. Journal Kesehatan
puskesmas maka SOP bisa langsung Masyarakat Nasional, 7(6): 243–250.
Faradis, N.A., Indarjo, S. 2018. Implementasi
ditandatangani dan SOP siap untuk dijalankan.
Kebijakan Permenkes Nomor 67 Tahun 2016
Menurut pelaksana program untuk
Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
penyusunan SOP tersebut tidak terlalu sulit. HIGEIA (Journal of Public Health Research and
Hanya saja karena harus menyusun drafnya Development), 2(1): 307–319.
sendirian sehingga terasa sedikit berat. Tugas Hemlata., Kavita. N., Sushma, K. 2011. A study on
dari pelaksana program sendiri banyak, baik implementation of Revised National
yang berhubungan dengan program Tuberculosis Control Programme for the
penanggulangan TB maupun tugas puskesmas community of Dadu Majra Colony , UT
lainnya. Meskipun hanya pelaksana program Chandigarh , 2010. Nursing and Midwifery
ResearchJournal, 7(1): 34–52.
yang membuat namun pelaksana program
Kemenkes. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 67
berharap SOP tersebut juga dijalankan oleh
Tahun 2016 Tentang Penanggulangan
semua petugas tim P2TB puskesmas Tlogosari Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes.
Kulon. Luisa, G.D.O., Sonia, N., Luiz, A. B. 2015.
Implementation contexts of a Tuberculosis
PENUTUP Control Program in Brazilian prisons. Journal
Public Health Practice, 49(66): 1–8.
Simpulan dari penelitian ini yaitu Minardo, J., Sriatmi, A., Arsa, S. 2015. Analisis
Determinan Motivasi Petugas Tuberkulosis
implementasi program penangulangan
Paru dalam Penemuan Kasus di Kabupaten
Tuberkulosisi Paru di puskesmas Tlogosari
Semarang (Studi Kasus di Beberapa
Kulon sudah cukup baik namun masih ada Puskesmas) . Jurnal Manajemen Kesehatan
beberapa faktor yang perlu diperbaiki agar dapat Indonesia, 3(1): 1–10.
mencapai keberhasilan program. Untuk Naomi, D.A., Dilangga, P, Ramadhan, M.R.,
komunikasi akan lebih baik jika dilakukan Marlina, N. 2016. Penatalaksanaan
secara berkelompok melalui sosialisasi maupun Tuberkulosis Paru Kasus Kambuh pada
penyuluhan. Sumberdaya yang masih kurang Wanita Usia 32 Tahun di Wilayah Rajabasa.
harus segera diperbaiki karena tanpa Jurnal Medula Unila, 6(1): 20–21.
Novanty, F,.Ningrum, D. N. 2016. Evaluasi Input
sumberdaya yang memadai akan sulit untuk
Sistem Surveilens Penemuan Suspek
menjalankan program dengan baik. Untuk
Tuberkulosis (TB) di Puskesmas Wilayh Kerja
disposisi dan struktur birokrasi sudah cukup Dins Kesehatan Kabupaten Magelang. Unnes
baik namun perlu untuk ditingkatkan lagi. Journal of Public Health, 5(2),: 120–129.
Keterbatasan dan kelemahan dalam Noveyani, A.E., Martini, S. 2014. Evaluasi Program
penelitian ini yaitu peneliti masih pemula PengendalianN Tuberkulosis Paru dengan
sehingga penggalian informasi kurang Strategi DOTS di Puskesmas Tanah
mendalam. Dari semua informan hanya Kalikeding Surabaya. Jurnal Berkala
pelaksana program yang dapat menjawab semua Epidemiologi, 2(2): 251–262.
Seddiq, K.E., Donald, A.S., Karam, H., Zaeem, K.,
pertanyaan dengan jelas. Oleh karena itu perlu
Wasiq, M. 2014. Implementing a Successful
adanya penelitian selanjutnya yang menjelaskan
Tuberculosis Programme Within Primary
lebih tajam mengapa implementasi program Care Services In a Conflict Area Using the
penanggulangan Tuberkulosis kurang optimal

85
Vivi, S. / Implementasi Program Penanggulangan / HIGEIA 3 (1) (2019)

Stop TB Strategy : Afghanistan Case Study. Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
Conflict and Health, 8(1): 1–9. 2012. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia,
Setyawan, A.D.B., Rengga, A., Rostyaningsih, D. 3(1): 37–42.
2015. Implementasi Program Penanggulangan Wijayanti, R. 2016. Analisis Faktor Manajemen di
Tuberkulosis Di Kabupaten Semarang Tahun Puskesmas dalam Meningkatkan Case
2013. Journal of Public Policy and Management, Detection Rate (CDR) Tuberkulosis. Jurnal
4(2): 1–10. Kesehatan, 4(1): 61–72.
Tondong, M.A.P., Mahendradhata, Y., Ahmad, R. Winarno, B. 2012. Kebijakan Publok Teori dan Proses.
2014. Evaluasi Implementasi Public Private Yogyakarta: Medpress.
Mix Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten

86

Anda mungkin juga menyukai