Anda di halaman 1dari 75

viii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menginfeksi
berbagai organ tubuh manusia terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati
atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya
hingga kematian. Berdasakan organ yang terinfeksi, TB diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu TB paru dan TB ekstra paru. Apabila bakteri penyebab TB
menginfeksi parenkim paru maka dikategorikan sebagai TB paru, sementara jika
organ yang diserang adalah selain jaringan paru, seperti pleura, kelenjar limfe,
kulit, tulang, selaput otak, ginjal, saluran kemih, dan organ ekstra paru lainnya
maka dikategorikan sebagai TB ekstra paru (Kemenkes RI, 2016).
Penyakit TB, terutama TB paru merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua kelompok usia,
serta nomor satu untuk golongan penyakit infeksi. Korban meninggal akibat TB
paru di Indonesia diperkirakan sebanyak 61.000 kematian tiap tahunnya
(Kemenkes RI, 2011). TB paru merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. TB merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas (Kartasasmita, 2009). Oleh
karena itu, saat ini tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun internasional sehingga menjadi salah satu
tujuan pembangunan kesehatan berkelanjutan (SDGs) (Kemenkes RI, 2022)
WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993, menyatakan bahwa TB
menjadi suatu kedaruratan global bagi kemanusiaan. Dan pada tahun 1994 WHO
meluncurkan strategi pengendalian TB untuk diimplementasikan secara
internasional, yang disebut DOTS (Direct Observed Treatment Short-course).
Strategi DOTS ini telah berhasil membantu tercapainya dua sasaran yang
dideklarasikan World Health Assembly (WHA) pada tahun 1991, yaitu deteksi

1
kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus
pada tahun 2000 (WHO, 2009). Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program
Pengendalian TB dengan Strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara
rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru mencapai sekitar 50%. Namun,
penerapan program DOTS yang dititikberatkan pada puskesmas ternyata belum
menuai hasil yang menggembirakan, karena baru menjangkau sebagian kasus
TB yang ada. Indikator utama dalam strategi DOTS adalah angka penemuan
kasus (CDR) dan angka keberhasilan pengobatan (SR) (Kemenkes RI, 2021).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2013 terdapat 9
juta penduduk dunia telah terinfeksi bakteri TB (WHO, 2014). Pada tahun 2014
terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi TB (WHO, 2015). Pada tahun 2016,
87% kasus TB baru terjadi di 30 negara dengan beban TB yang tinggi. Tujuh
negara menyumbang 64% dari kasus TB baru yaitu diantaranya negara India,
Indonesia, Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Lebih dari 95%
kematian TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO,
2018). Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report 2009, pada tahun 2008
Indonesia berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India,
China, Afrika Selatan dan Nigeria (Kemenkes RI, 2011). Peringkat ini sedikit
membaik dibandingkan tahun 2007 yang sempat menempatkan Indonesia pada
posisi ke-3 dengan 0,4 juta kasus TB terbanyak setelah India (2,1 juta kasus) dan
China (1,1 juta kasus) (WHO, 2011). Namun, berdasarkan laporan terbaru dari
Profil Kesehatan Kemenkes RI, menyatakan bahwa Indonesia kembali berada
pada peringkat ke-3 di dunia dengan penderita TB tertinggi, setelah India dan
China. Dimana secara global diperkirakan sebanyak 9,9 juta orang menderita TB
pada tahun 2020 dengan jumlah kematian yang meningkat dari tahun
sebelumnya sebanyak 1,2 juta menjadi 1,3 juta kematian (Kemenkes RI, 2022).
Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2021, pada tahun 2020 angka
insiden TB di Indonesia sebesar 301 per 100.000 penduduk, menurun jika
dibandingkan dengan angka insidens TB tahun 2019 yaitu sebesar 312 per
100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian TB tahun 2019 dan 2020 masih
sama yaitu sebesar 34 per 100.000 penduduk. Sementara itu, jumlah kasus

2
tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2021 sebanyak 397.377 kasus,
meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada
tahun 2020 yaitu sebesar 351.936 kasus (Kemenkes RI, 2021).
Jawa Barat masih menjadi provinsi penyumbang kasus TB terbanyak di
Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 91.368 kasus pada tahun 2021. yang
kemudian diikuti oleh provinsi dengan jumlah penduduk yang besar lainnya,
yaitu Jawa Tengah (43.121 kasus) dan Jawa Timur (42.193 kasus). Kasus TB di
ketiga provinsi tersebut menyumbang angka sebesar 44% dari jumlah seluruh
kasus TB di Indonesia. Jika dibandingkan dari jenis kelamin, jumlah kasus pada
laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan baik secara nasional
maupun provinsi. Secara nasional jumlah kasus pada laki-laki sebesar 57,5% dan
42,5% pada perempuan. Dari kelompok umur, paling banyak ditemukan pada
umur 45–54 tahun dengan proporsi 17,5% dari total kasus nasional. Diikuti
kelompok umur 25–34 tahun dengan proporsi 17,1%, dan kelompok umur 15–24
tahun sebanyak 16,9% (Kemenkes RI, 2022).
WHO bersama dengan European Respiratory Society (ERS) menargetkan fase
pre-eliminasi TB terjadi pada tahun 2035 dengan kejadian TB kurang dari 10
kasus per-juta orang setiap tahunnya. Tujuannya adalah untuk mencapai
penghapusan TB secara penuh pada tahun 2050, yang didefinisikan sebagai
kurang dari 1 kasus per- juta orang setiap tahun (WHO, 2014). Sementara itu,
Indonesia menargetkan eliminasi TB pada tahun 2035 dengan kasus TB kurang
dari 1 per 100.000 penduduk akan dipercepat pada tahun 2030 mendatang
(Kemenkes RI, 2017).
Penulisan laporan ini bertujuan untuk mengevaluasi strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse) terhadap kasus TB paru di Puskesmas
Lengkong tahun 2021 dengan tujuan khusus menggambarkan pelaksanaan
strategi DOTS berdasarkan penemuan kasus, yang meliputi penjaringan suspek,
diagnosa pasien, petugas penjaringan suspek, ketepatan menentukan tipe pasien,
alur diagnosa, dan pemeriksaan dahak, menggambarkan pelaksanaan strategi
DOTS berdasarkan pengobatan meliputi Pengawas Menelan Obat (PMO), jenis
PMO, fungsi PMO, evaluasi PMO, ketepatan pengobatan, perubahan komposisi

3
obat anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap pada fase lanjutan, dan frekuensi
pengambilan obat anti tuberkulosis, menggambarkan faktor pendorong meliputi
penyuluhan dan media informasi dan penghambat meliputi jarak dan alat
transportasi, menggambarkan pencatatan dan pelaporan program DOTS, dan
mengidentifikasi capaian Puskesmas Lengkong tahun 2021 berdasarkan
indikator program Tuberkulosis.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat disimpulkan
pada penulisan ini adalah mengenai evaluasi program pengendalian penyakit
tuberkulosis khususnya dengan pendekatan strategi DOTS di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Lengkong.

1.3 TUJUAN EVALUASI PROGRAM


1.3.1 Tujuan Umum
Evaluasi program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
dan penanganan penyakit tuberkulosis dengan mengevaluasi program
pengendalian penyakit tuberkulosis yang sudah berjalan di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Lengkong.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Memahami sistem pengendalian dan penanganan penyakit tuberkulosis
di wilayah kerja puskesmas kecamatan Lengkong.
2. Mengidentifikasi penyebab masalah dilihat dari input, proses, output,
dan outcome maupun lingkungan.
3. Menentukan prioritas alternatif pemecahan masalah.
4. Membuat rencana kegiatan untuk pemecahan terhadap masalah
pengendalian dan penanganan penyakit tuberkulosis paru yang sedang
berjalan.

4
1.4 MANFAAT EVALUASI PROGRAM
1.4.1 Manfaat Bagi Penulis
1. Mengetahui pentingnya peran puskesmas dalam promosi dan pencegahan
pada penyakit tuberkulosis.
2. Melatih kemampuan dalam memahami program yang ada di puskesmas
terkait pengendalian dan penanganan penyakit tuberkulosis.
3. Melatih kemampuan identifikasi dan pemecahan terhadap masalah yang
ditemukan di dalam program puskesmas,
4. Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya pendataan untuk
meningkatkan pelayanan terhadap pengendalian penyakit tuberkulosis di
wilayah kerja puskesmas Lengkong.

1.4.2 Manfaat Bagi Puskesmas


1. Puskesmas bisa mengatasi kekurangan dalam pengendalian dan
penanganan penyakit tuberkulosis yang sudah berjalan.
2. Puskesmas dapat melakukan identifikasi, analisis masalah, penyebab dan
latar belakang serta hambatan masalah dalam hal penanganan dan
pengendalian penyakit tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas.
3. Membantu puskesmas dalam memberikan alternatif penyelesaian
terhadap masalah yang didapat dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat terutama dalam hal terkait pencegahan penyakit menular
seperti tuberkulosis paru.

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat


1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis
dan cara pencegahannya.
2. Meningkatkan kesadaran pada masyarakat untuk melakukan upaya
kesehatan khusunya dalam hal pencegahan penyakit tuberkulosis paru.
3. Memudahkan masyarakat khususnya penderita tuberkulosis dalam
menerima perawatan dan pelayanan kesehatan sehingga bisa mendapatkan

5
penanganan yang berkualitas, terstruktur, dan sistematis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI TUBERKULOSIS


Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik menular pada
manusia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat
menginfeksi berbagai organ tubuh manusia terutama paru-paru (Amin dan
Bahar, 2014). Apabila Mycobacterium tuberculosis menginfeksi parenkim paru
dan cabang-cabang saluran pernafasan maka dikatakan TB paru. Tetapi jika
yang terinfeksi adalah selain organ paru, seperti pleura, kelenjar limfe, abdomen,
kulit, tulang, sendi, selaput otak, ginjal, saluran kemih, dan lain-lain maka
diklasifikasikan sebagai TB ekstra paru (WHO, 2016).
TB paru dapat menyerang semua kelompok umur baik dewasa maupun anak-
anak. Beberapa perbedaan antara TB pada anak dengan TB pada orang dewasa
adalah lokasi TB pada anak terdapat pada setiap bagian paru, sedangkan pada
orang dewasa terdapat didaerah apeks dan infra klavikuler. Pada anak terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada orang dewasa tanpa
pembesaran kelenjar limfe regional. Selain itu, penyembuhan pada anak terjadi
dengan perkapuran, sedangkan pada orang dewasa dengan fibrosis. Dan pada
anak lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, sedangkan pada orang dewasa
jarang terjadi penyebaran hematogen (Sunarjo, 2009).

2.2 ETIOLOGI TUBERKULOSIS


Mycobacterium tuberculosis merupakan etiologi utama infeksi TB paru
terhadap manusia. Spesies Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam ordo
Actinomycetalis, familia Mycobacteriacae dan genus Mycobacterium. Bakteri ini
sangat mudah masuk ke saluran pernapasan bawah karena mempunyai ciri
batang tuberkel berbentuk tipis, berbatang lurus dengan ukuran 0,4 x 3 μm.
Bakteri ini juga sangat tahan terhadap proses fagositosis dibanding bakteri
lainnya karena memiliki komponen dinding sel yang sangat kompleks, hampir

6
60% terdiri dari asam lemak mikolat, wax D, fosfatida, sulfatida dan trehalosa
dimikolat. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menjadikan bakteri ini
sangat tahan terhadap asam dan basa serta bakterisidal. Fosfatida pada bakteri ini
diduga bertanggung jawab terhadap nekrosis dan kaseosa jaringan. Wax D
mengandung asam mikolat dan glikopepti berperan dalam imugenitas (Caroll,
2013).
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk basil atau batang,
bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80ºC dan 20
menit pada suhu 60ºC) dan mudah mati apabila terkena sinar UV (ultraviolet).
Bakteri ini dikategorikan sebagai bakteri tahan asam (BTA). Untuk itu
diperlukkan teknik perwarnaan khusus untuk mengidentifikasi bakteri ini yaitu
dengan teknik Ziehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok (Alsagaff dan Mukty, 2010).

2.3 KLASIFIKASI TUBERKULOSIS


Klasifikasi mengenai penyakit tuberkulosis memiliki banyak pembagian
yang didasarkan oleh berbagai aspek. Para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi,
mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat sampai saat ini belum ada
kesepakatan tentang keseragamaan klasifikasi TB ini (Amin dan Bahar, 2014).
Adapun beberapa klasifikasi tuberkulosis diantaranya ialah, sebagai berikut:

2.3.1 Klasifikasi berdasarkan definisi kasus


Berdasarkan definisi kasus, klasifikasi pasien TB dibagi menjadi beberapa
kategori sebagai berikut (WHO, 2013):
a. TB yang dikonfirmasi secara bakteriologis
Apabila pasien TB ditegakkan dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif. Bisa melalui hapusan mikroskopis yang positif, kultur ataupun
pemeriksaan cepat seperti Xpert MTB/RIF dari spesimen biologis pasien.
b. TB yang didiagnosis secara klinis
Apabila pasien TB tidak memenuhi kriteria bakteriologis tetapi telah
didiagnosis dengan TB aktif oleh dokter dan telah diberikan pengobatan
dengan regimen penuh. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah kasus

7
yang ditegakkan berdasarkan kelainan radiologis, sugestif secara histologi
dan kasus TB ekstra paru tanpa ada konfirmasi laboratorium (WHO,
2013).
Klasifikasi berdasarkan definisi kasus diatas, juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan letak anatomis, riwayat pengobatan, hasil uji kepekaan atau
resistensi obat, dan status HIV (Kemenkes RI, 2016).

2.3.2 Klasifikasi berdasarkan letak anatomis penyakit


Berdasarkan letak anatomis penyakit, klasifikasi pasien TB dibagi menjadi
beberapa kategori sebagai berikut (WHO, 2016):
a. TB paru
Apabila penyakit TB melibatkan organ paru seperti parenkim paru dan
cabang-cabang saluran pernafasan.
b. TB ekstra paru
Apabila penyakit TB melibatkan selain organ paru, seperti pleura,
kelenjar limfe, abdomen, kulit, tulang, sendi, selaput otak, ginjal, saluran
kemih, dan lain-lain.

2.3.3 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, klasifikasi pasien TB dibagi
menjadi beberapa kategori sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016):
a. Pasien baru TB
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan atau sudah pernah
menelan OAT tetapi kurang dari 1 bulan (< 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB
1. Pasien kambuh: Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau dapat
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB (karena kambuh atau
re-infeksi)
2. Pasien yang diobati kembali setelah gagal pengobatan sebelumnya
3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
4. Lain-lain: Pasien dengan hasil akhir pengobatan sebelumnya yang tidak

8
diketahui
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

2.3.4 Klasifikasi berdasarkan uji kepekaan atau resistensi obat


Berdasarkan hasil uji kepekaan obat, klasifikasi pasien TB dibagi menjadi
beberapa golongan dibawah ini (Sinaga, 2017):
a. Mono Resistance (MR-TB): resistan terhadap salah satu OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance (PR-TB): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR-TB): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan Universitas.
d. Extensive Drug Resistance (XDR-TB): MDR TB yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan.
e. Rifampicin Resistance (RR-TB): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
atau fenotip.

2.3.5 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan sputum mikroskopis


Klasifikasi pasien TB berdasarkan hasil pemeriksaan sputum (Sinaga, 2017):
a. TB paru BTA positif
b. TB paru BTA negatif
c. Kasus bekas TB paru.

2.3.6 Klasifikasi berdasarkan status HIV


Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV pasien (Kemenkes RI, 2016):
a. Pasien TB dengan HIV positif
b. Pasien TB dengan HIV negatif
c. Pasien TB dengan tes hasil HIV tidak diketahui.

2.3.7 Klasifikasi berdasarkan patogenesis penyakit

9
Klasifikasi pasien TB berdasarkan patogenesisnya (Amin dan Bahar, 2014):
a. Tuberkulosis Primer
b. Tuberkulosis Post-Primer.
2.4 FAKTOR RISIKO TUBERKULOSIS
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya TB baik dari faktor
eksternal maupun internal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit TB diantaranya harus ada sumber infeksi yang berasal dari penderita
TB lainnya atau hewan (walaupun jarang ada). Faktor ini ada kaitannya dengan
jumlah basil penyebab infeksi TB yang harus cukup jumlahnya dan memiliki
daya virulensi yang tinggi sehingga dapat menyebabkan penyakit TB. Selain itu,
faktor daya tahan tubuh sangat berpengaruh terhadap perkembangan bakteri TB
sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit TB. Daya tahan tubuh yang
menurun dapat memudahkan bakteri TB berkembang biak dengan baik dan
menyebabkan infeksi pada organ tubuh yang diserangnya. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang biasanya ditentukan oleh:
faktor genetik, usia, lingkungan yang berhubungan dengan tempat tinggal,
pekerjaan, dan nutrisi, selain itu bahan toksik (alkohol, rokok, dan
kortikosteroid), faktor imunologis seperti infeksi primer atau riwayat imunisasi
BCG, penyakit yang dapat memudahkan infeksi serta faktor psikologis juga
dianggap berperan dalam penurunan daya tahan tubuh seseorang (Alsagaff dan
Mukty, 2010).
Berikut ini beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan Tuberkulosis:

2.4.1 Faktor Sosiodemografi


a. Faktor Jenis Kelamin.
Berdasarkan jenis kelamin, risiko anak yang terinfeksi TB akan menjadi
sakit TB hampir tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan sampai pada umur pubertas. Pada dasarnya, anak terutama bayi
dan balita memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah dimana imunitas
selularnya belum terbentuk secara sempurna (Crofton, 2002). Penelitian
mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi TB di Gambia mendapatkan

10
bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki-laki dan perempuan
tidak berbeda sampai remaja, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki-laki.
Hal ini diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan
pada lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor
predisposisi terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat (Kartasasmita,
2009). Menurut Penelitian Jyothi et al di distrik Gwalior, Madhya, Pradesh,
India didapatkan bahwa jenis kelamin laki-laki 4,19 berisiko terhadap
kejadian tuberkulosis (Jyothi et.al, 2017).
b. Faktor Usia.
Usia dapat dikatakan sebagai faktor risiko karena pertambahan usia
berkaitan dengan perkembangan imunitas seseorang. Anak yang berusia ≤5
tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit
TB karena imunitas selulernya belum berkembang dengan sempurna (imatur).
Risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan
pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menderita
sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia
remaja 15%, dan pada usia dewasa sekitar 5-10% (Yustikarini dan Sidhartani,
2015). Sementara itu, pada penelitian di Ethiopia tenggara menjelaskan
bahwa umur diatas 36 tahun berisiko 3,54 kali berisiko terhadap kejadian
tuberkulosis (Begna et.al, 2014). Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian
yang mengatakan berisiko 3,21 kali terhadap kejadian tuberkulosis (Fitriani,
2013).
c. Faktor Status Pendidikan.
Berdasarkan pada sebuah penelitian di Metema district didapatkan bahwa
status pendidikan yang buta huruf atau tidak sekolah 3,65 kali berisiko
terhadap kejadian tuberkulosis (Cheru et.al, 2015). Sedangkan pada
penelitian lain didapatkan tingkat pendidikannya sekolah dasar dan tidak
berisiko 2,33 kali terhadap kejadian tuberkulosis (Jurcev-Savicevic et.al,
2013).
d. Faktor Status Perkawinan.

11
Berdasarkan sebuah penelitian di Ethiopia Tenggara didapatkan bahwa
status perkawinan yang belum menikah 8,40 kali berisiko terhadap kejadian
tuberkulosis (Begna et.al, 2014).
e. Faktor Pendapatan.
Berdasarkan sebuah penelitian di distrik Gwalior, Madhya, Pradesh, India
didapatkan bahwa pendapatan keluarga yang kurang dari 10.000rupee atau
setara dibawah 2 juta rupiah berisiko 1,32 kali terhadap kejadian tuberkulosis
(Jyothi et.al, 2017). Sedangkan pada penelitian lainnya mengatakan bahwa
tingkat pendapatan yang rendah 3,17 kali berisiko terhadap kejadian
tuberkulosis (Fitriani, 2013).
f. Faktor Pekerjaan.
Berdasarkan sebuah studi didapatkan bahwa jenis pekerjaan yang
menganggur atau tidak bekerja berisiko 2,69 kali terhadap kejadian
tuberkulosis (Jurcev-Savicevic et.al, 2013). Sedangkan menurut penelitian
lainnya mengatakan jenis pekerjaan pemecah batu berisiko 1,22 kali terhadap
kejadian tuberkulosis (Jyothi et.al, 2017).
g. Faktor Status Gizi atau Indeks Masa Tubuh.
Status gizi merupakan salah satu faktor pendukung yang mempengaruhi
penyebab penularan tuberkulosis primer. Seorang ibu dengan perekonomian
rendah akan tidak dapat mencukupi gizi untuk tumbuh kembang anak,
sehingga mereka hanya memberi makanan tanpa mengetahui kecukupan dari
nilai gizinya. Kecukupan gizi pada anak sangat penting karena dengan
mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi akan bermanfaat bagi tumbuh
kembang anak dan meningkatkan kekebalan tubuh anak terhadap suatu
penyakit (Rinawati, 2010).
Tuberkulosis dan status gizi sangat erat kaitannya. Infeksi tuberkulosis
menyebabkan kehilangan berat badan dan badan menjadi kurus. Status gizi
yang rendah juga akan meningkatkan risiko untuk sakit TB (Crofton, 2002).
Gizi merupakan salah satu variabel yang sangat berperan dalam timbulnya
TB. Bakteri TB adalah bakteri yang dapat tidur (dormant) selama bertahun
tahun dan apabila bakteri tersebut memiliki kesempatan aktif kembali, salah

12
satu yang dapat mencegah agar seseorang tidak menjadi sakit TB adalah
status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.
Penyakit TB dapat dengan mudah menyerang anak yang mempunyai status
gizi kurang. Saat ini di Indonesia terdapat 13% anak kekurangan gizi, 18%
berat badan di bawah standar, dan 36% terhambat pertumbuhannya. Status
gizi pada anak sangat penting, karena status gizi yang baik akan
meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh anak, sehingga anak tidak
mudah menderita penyakit TB. Anak dengan status gizi yang baik apabila
terinfeksi bakteri TB cenderung menderita TB ringan dibandingkan dengan
yang mempunyai status gizi buruk (Rahardiyanti et al., 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anasyia Nurwitasari (2015)
mengenai pengaruh status gizi dan riwayat kontak terhadap kejadian
tuberkulosis di Kabupaten Jember, terdapat hubungan antara status gizi anak
dengan kejadian TB (Nurwitasari, 2015). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Sari mengenai faktor risiko kejadian TB paru pada anak yang sudah
diimunisasi BCG, didapatkan hasil anak dengan status gizi kurang berisiko
mengalami TB 8 kali di banding anak dengan status gizi baik (Sari, 2011).
Penelitian lain menjelaskan bahwa orang yang memiliki BMI berat badan
kurang berisiko 13,57 kali terhadap kejadian tuberkulosis (Jurcev-Savicevic
et.al, 2013). Sejalan dengan penelitian lainnya menjelaskan bahwa BMI yang
malnutrisi berisiko 3,03 kali terhadap kejadian tuberkulosis (Jyothi et.al,
2017).

2.4.2 Faktor Lingkungan


a. Faktor Pencahayaan.
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab
dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Rumah yang
tidak memiliki pencahayaan yang baik atau tidak ada celah masuknya sinar
matahari ke dalam rumah maka akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian
tuberkulosis sebanyak 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang memiliki
pencahayaan yang dimasuki sinar matahari (Kurniasari et.al, 2012).

13
b. Faktor Luas Ventilasi.
Sebuah penelitian mengatakan bahwa kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban ruangan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan
menjadi tempat yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri-bakteri
patogen termasuk kuman tuberkulosis (Kurniasari et.al, 2012). Penelitian lain
menjelaskan bahwa tidak adanya ventilasi buatan 1,573 kali berisiko terhadap
kejadian tuberkulosis (Cheru et.al, 2015).

c. Faktor Riwayat Kontak dengan Penderita TB Dewasa.


Tingkat penularan TB cukup tinggi di lingkungan keluarga. Seorang
penderita TB rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang yang berada di
dalam rumahnya. Besar risiko penularan akan meningkat apabila penderita
TB lebih dari satu orang yang berada di dalam rumah. Jika semakin banyak
penderita TB dalam satu rumah maka akan meningkatkan frekuensi dan
durasi kontak dengan kuman tuberkulosis (Guwatudde et,al, 2003). Penelitian
lain yang dilakukan oleh Fitriani (2013) didapatkan bahwa riwayat kontak
orang penderita tuberkulosis 5,429 kali berisiko terhadap kejadian
tuberkulosis. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Begna (2014) di
Ethiopia Tenggara didapat bahwa riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis
aktif 2,40 kali berisiko terhadap kejadian tuberkulosis. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Cheru et.al (2015) di Metema District didapatkan bahwa
riwayat kontak 1,673 kali berisiko terhadap kejadian tuberkulosis (Cheru
et.al, 2015).
Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA+ sangat berisiko
terinfeksi TB dibanding dengan yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2%
(Kemenkes RI, 2013). Pada umumnya, seorang anak menderita TB
dikarenakan tertular dari orang dewasa di sekitarnya dengan TB BTA positif.
Penderita TB anak jarang menularkan TB kepada anak lainnya, hal ini
dikarenakan bakteri TB sangat jarang ditemukan pada sekret endobronkial
pasien anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anasyia Nurwitasari
(2015) mengenai pengaruh status gizi dan riwayat kontak terhadap kejadian

14
tuberkulosis di kabupaten Jember, anak dengan riwayat kontak dengan
penderita TB sebelumnya berisiko 26,6 kali terjadi TB daripada anak yang
tidak memiliki riwayat kontak. Anak dengan riwayat kontak lebih dari 6
bulan dengan pasien dewasa tuberkulosis sebelumnya berisiko 69 kali lebih
terjadi tuberkulosis dari pada anak yang tidak memiliki riwayat kontak atau
kontak kurang dari 6 bulan. Anak yang memiliki kedekatan dengan pasien
tuberkulosis dewasa sebelumnya berisiko 27,1 kali terjadi tuberkulosis
daripada anak yang tidak memiliki kedekatan dengan pasien tuberkulosis
dewasa (Nurwitasari, 2015).
d. Faktor Kepadatan Penduduk.
Berdasar Penelitian Begna et.al (2014) di South East Ethiopia didapatkan
bahwa jumlah keluarga yang diatas >5 berisiko 4,10 kali terhadap kejadian
tuberkulosis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cheru et al (2015) di
Metema District didapatkan bahwa lebih dari 4 orang dalam rumah tangga
3,09 kali berisiko terhadap kejadian tuberkulosis (Cheru et.al, 2015).

2.4.3 Faktor Host-Related


a. Faktor Kebiasaan Merokok.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan
merokok akan meningkatkan risiko terkena TB sebesar 2,4 kali lebih besar
dari orang yang tidak mempunyai kebiasaan merokok (Marisya et.al, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Marisya et al (2011) di Puskesmas
TuanTuan didapatkan bahwa kebiasaan merokok 2,407 berisiko terhadap
kejadian tuberkulosis (Marisya et.al, 2011). Sedangkan penelitian lain yang
dilakukan oleh Begna (2014) di Ethiopia Tenggara didapat bahwa merokok
3,90 kali berisiko terhadap kejadian tuberkulosis. Peneliti lain, Cheru et al
(2015) di Metema District didapatkan bahwa merokok 11.719 kali berisiko
terhadap kejadian tuberkulosis (Cheru et.al, 2015).
b. Faktor Komorbid.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Begna et al (2014) di Ethiopia
didapatkan bahwa orang yang mengidap status HIV positif berisiko 11,70 kali

15
terhadap kejadian tuberkulosis. Sedangkan menurut penelitian Jyothi et al,
yang memiliki Diabetes 1,53 dan riwayat asma 2,53 kali terhadap kejadian
tuberkulosis (Jyothi et.al, 2017).

2.4.4 Faktor Riwayat Imunisasi BCG


Pencegahan dengan imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang
mengakibatkan seseorang mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik,
sehingga mampu mempertahankan diri terhadap penyakit atau masuknya kuman
dari luar. Vaksinasi terhadap penyakit tuberkulosis adalah vaksinasi Bacillus
Calmette-Guerin (BCG), yang telah diwajibkan di 64 negara dan
direkomendasikan di beberapa negara lainnya. Indonesia telah melaksanakan
vaksinasi BCG sejak tahun 1952. Vaksinasi BCG diberikan secara dini (segera
sesudah lahir). Infeksi TB banyak terjadi pada anak–anak yang sejak semula
menghasilkan uji Mantoux positif tetapi tetap divaksinasi BCG, sehingga
kemungkinan diantara mereka sudah menderita TB sebelum divaksinasi
(Murniasih dan Livana, 2007).
Vaksinasi BCG dapat menghindarkan terjadinya TB paru berat pada anak,
tuberkulosis milier yang menyebar keseluruh tubuh dan meningitis tuberkulosis
yang menyerang otak (TB ekstra paru), yang keduanya bisa menyebabkan
kematian pada anak. Anak yang tidak mendapat vaksin BCG akan berisiko
tinggi untuk menderita penyakit TB (Haq et al., 2010).

Gambar 2.1 Estimasi jumlah kasus TB baru yang berhubungan dengan 5 faktor risiko TB
di tahun 2018 berdasarkan WHO 2019 (Kemenkes RI, 2020).

16
2.5 PATOGENESIS TUBERKULOSIS
Patogenesis terjadinya TB, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang
masuk dan menyebabkan infeksi di dalam tubuh penderitanya. Sebagian besar
infeksi TB terjadi melalui inhalasi droplet yang mengandung bakteri penyebab
TB yang berasal dari orang yang terinfeksi. Ketika nukleus droplet yang
infeksius terhirup, aliran udara melalui bronkus cenderung tersimpan di zona
midlung permukaan alveoli.Kemudian terjadi deposisi yang mengaktifkan
serangkaian peristiwa imunologi yang kompleks (Price dan Standridge, 2006).
Ada 4 fase atau tahapan patogenesis terjadinya penyakit TB (Sokolove dan
Derlet, 2017), yaitu:

1. Fase Pertama
Tahapan awal ini dimulai ketika makrofag alveolar memfagositosis basil
yang baru dihirup. Makrofag dari host yang resistan dapat segera
menghancurkan basil yang kurang virulen. Dalam kasus ini, tidak ada infeksi
tuberkulosis yang berkembang dan prosesnya pun berakhir. Namun, jika basil
yang virulen dapat mengatasi kemampuan mikrobisida makrofag tersebut,
infeksi dapat berlanjut ke tahap berikutnya.
2. Fase Kedua
Ketika makrofag alveolar tidak mampu menghancurkan inhalasi basil
tuberkulosis, basil dapat bereplikasi hingga makrofag tersebut lisis. Monosit
yang beredar tertarik ke daerah infeksi oleh basil yang dilepaskan makrofag,
puing-puing seluler, dan berbagai faktor kemotaktik. Monosit berdiferensiasi
menjadi makrofag dan menelan basil yang bebas. Awalnya, makrofag baru ini
tidak diaktifkan dan tidak dapat menghancurkan atau menghambat
mycobacteria. Basil berkembang biak secara logaritmik dalam makrofag dan
terakumulasi pada fokus infeksi, yang disebut tuberkulum. Makrofag yang
terinfeksi juga dapat diangkut melalui limfatik ke kelenjar getah bening
regional, dengan begitu mereka dapat mencapai aliran darah dan ke
penyebaran selanjutnya. Selama penyebaran secara limfogenik ini, patogen
cenderung menyebar ke nodus kelenjar getah bening, ginjal, epifisis tulang

17
panjang, badan vertebra, daerah meningeal, dan daerah posterior apikal paru-
paru.
3. Fase Ketiga
Tahap ketiga dari patogenesis TB ini dimulai 2 hingga 3 minggu setelah
infeksi awal, dengan pengembangan respon imun yang mengakhiri
pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis tanpa hambatan. Imunitas seluler
terjadi melalui sel T helper CD4+. Sel-sel T ini mensekresikan sitokin untuk
menarik dan mengaktifkan makrofag monosit. Setelah diaktifkan, makrofag
yang mengandung mikobakteria dan progeninya yang sebelumnya sudah
tertelan, kemudian membunuh basil. Demam ringan dan malaise bisa terjadi.
Hal ini berhubungan dengan respon imun pada 4 sampai 6 minggu, tetapi
infeksi primer umumnya tidak signifikan secara klinis. Akhirnya, kaseosa
sentral mengental dan penyakit tersebut bersarang. Urutan peristiwa ini, dari
tahap 1 hingga tahap 3, mewakili patogenesis TB primer pada pasien
imunokompeten. Dalam banyak kasus, TB primer bersifat subklinis dan dapat
sembuh dengan sendirinya. TB yang aktif secara klinis berkembang pada 8-
10% dari orang-orang yang sehat. Sebaliknya, pada orang orang yang
terinfeksi HIV, perkembangan TB primer akut terjadi pada rata-rata 37%
dalam waktu 6 bulan. Pada pasien imunokompeten dengan imunitas seluler
yang kuat, lesi primer secara efektif diblok oleh sel epiteloid.
4. Fase Keempat
Tahap akhir biasanya terjadi beberapa bulan hingga beberapa dekade
setelah terlihat jelas pemulihan dari infeksi awal. TB dapat berkembang ke
tahap 4, bahkan pada orang yang imunokompeten. Biasanya, faktor host
berperan penting dalam penurunan resistensi dan reaktivasi fokus aktif
Mycobacterium tuberculosis. Reaktivasi fokus aktif bertanggung jawab
terhadap sebagian besar dari manifestasi klinis TB yang ada. Re-infeksi
eksogen dari pasien dengan infeksi TB yang terdokumentasi dengan baik
menunjukkan gejala klinis yang tidak dapat dibedakan dengan penyakit TB
akibat reaktivasi. Hal ini dapat menyebabkan kasus dengan onset lambat
didiagnosis dengan salah sebagai TB reaktivasi, hal ini dikenal dengan istilah

18
TB post-primer. TB post-primer merupakan penyakit aktif atau kronis pada
pasien yang sebelumnya terinfeksi. Di Amerika Serikat dan negara maju
lainnya, reaktivasi dianggap sebagai mekanisme utama dari TB post-primer.
Tuberkel primer berdinding akhirnya dapat terkikis melalui dinding bronkus
dan mengeluarkan isinya yang kemudian membentuk rongga. Material cair
kaseosa yang penuh dengan mycobacteria, memasuki bagian lain paru-paru
dan lingkungan luar. Tumpahan material cair ini dapat menghasilkan
bronkopneumonia kaseosa (Sokolove dan Derlet, 2017).

2.6 MANIFESTASI KLINIS TUBERKULOSIS


Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Gejala respiratoris berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam,
anoreksia dan penurunan berat badan (PDPI, 2011).

2.6.1 Gejala Umum Tuberkulosis


Gejala umum TB adalah sebagai berikut:
1. Gejala-gejala respiratorik seperti batuk lama ≥3 minggu (dapat disertai
dengan darah), batuk bersifat non -remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan (Misnidiarly, 2006). Batuk terjadi dikarenakan ada iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk- produk
radang. Batuk baru ada setelah terjadi peradangan paru – paru setelah
batuk berminggu- minggu. Sifat batuk dimulai dari batuk kering lalu
timbul peradangan hingga produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
lanjut yang terjadi adalah batuk darah karena pembuluh darah pecah pada
kalvitas dan ulkus dinding bronkus. Gejala respiratorik yang lain adalah
tanda cairan di dada yang dapat menyebabkan nyeri dada karena infiltrasi

19
radang sudah sampai ke pluera hingga menyebabkan pleuritis, bahkan
dapat menjadi sesak nafas pada tingkat keparahan lebih lanjut karena
adanya infiltrasi yang sudah meliputi setengah paru (Pristiyaningsih,
2017).
2. Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas akut,
malaria, dan lain-lain) dapat disertai keringat malam. Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB
pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
(Misnidiarly, 2006).
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat ataupun tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik (Misnidiarly, 2006).
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive) pada anak (Misnidiarly, 2006).
5. Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit dapat terjadi pada
TB anak (Misnidiarly, 2006).
6. Lesu atau malaise (perasaan tidak enak), disertai badan terasa lemas
(Misnidiarly, 2006).
7. Gejala gastrointestinal, paling sering pada TB anak seperti mengalami
diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare, benjolan atau terdapat massa di abdomen, tanda-
tanda cairan di dalam abdomen (Misnidiarly, 2006).

2.6.2 Gejala Spesifik Tuberkulosis


Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit,
adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2013):
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli)
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

20
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak
TB ini terdiri dari meningitis TB dan tuberkuloma otak. Gejala pada
meningitis TB adalah gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf tak yang terkena. Gejala pada
tuberkuloma otak adalah adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal
TB ini dapat terdiri dari tuberkulosis tulang belakang (spondilitis)
ditandai dengan adanya penonjolan tulang belakang (gibbus). Tuberkulosis
tulang panggul (koksitis) ditandai dengan adanya gangguan berjalan,
pincang, atau tanda peradangan di daerah panggul. Tuberkulosis tulang
lutut (gonitis) dengan gejala pincang dan/atau bengkak pada lutu tanpa
sebab yang jelas. Tuberkulosis tulang kaki dan tangan (spina
ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma
Gejalanya ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar
tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata
TB pada mata dapat berupa konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis
phlyctenularis) dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya
Misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicuriga bila ditemukan gejala
gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai
kecurigaan adanya infeksi TB.

2.7 DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis TB paru dapat dilakukan dengan cara anamnesis
mengenai gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksan bakteriologis, radiologi,
dan pemeriksaan penunjang lainnya (Amin dan Bahar, 2014).

2.7.1 Anamnesis

21
Anamnesis penting dilakukan untuk mengetahui gejala klinis yang dialami
pasien, apakah gejala-gejala tersebut mengarah kepada gejala klinis TB sehingga
dinyatakan tersangka (suspek) TB dan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,
seperti pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan
dewasa, serta skoring pada pasien anak. Anamnesis ini bersifat subjektikf
berdasarkan apa yang dialami dan disampaikan pasien kepada pemeriksa.
Anamnesis dapat dilakukan secara langsung kepada pasien (auto-anamnesis),
maupun dengan cara allo-anamnesis kepada orang tua atau keluarga
pendamping pasien apabila pasien TB merupakan anak-anak, atau pasien tidak
dapat memberikan banyak informasi karena kondisinya (WHO, 2012).
Anamnesis juga dilakukan untuk mengetahui dan riwayat kontak dengan
penderita TB dewasa, terutama kontak serumah atau satu lingkungan.
Penegakkan diagnosis TB pada anak lebih sulit dilakukan karena anak berusia di
bawah 10 tahun biasanya tidak dapat membatukkan sputum untuk dikirim ke
laboratorium untuk mengkonfirmasi adanya bakteri penyebab TB (Kemenkes
RI, 2016).

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan awal pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik, sulit
menemukan kelainan pada pasien terutama pada kasus kasus dini atau awal
pekembangan penyakit (sudah terinfiltrasi secara asimtomatik). Demikian juga
bila sarang penyakit berada di dalam, karena hantaran getaran/suara yang lebih
dari 4 cm kedalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan
pneumonia biasa (Amin dan Bahar, 2014).
Selain itu dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan
mediastinum. Takipneu dan hipoksia relatif jarang dijumpai kecuali pada
keadaan paru-paru mengalami kerusakan yang luas (PDPI, 2011).

22
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otototot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi
pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan,
perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah
sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan
radiologis toraks pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif
(Safithri, 2012).

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menegakkan penyakit TB agar
mendapatkan yang lebih pasti. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan laboratorium (Amin dan Bahar, 2014).
Pada anak, ada pemeriksaan penunjang tambahan yang biasa dilakukan adalah
uji tuberkulin. Pemeriksaan ini dapat membantu dalam penentuan skor diagnosis
TB anak (Kemenkes RI, 2016).
Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada :

1. Pemeriksaan Bakteriologis
Kementrian Kesehatan RI merekomendasikan pemeriksaan bakteriologis
yang terdiri dari (Kemenkes RI, 2022):
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau
jaringan biopsi)
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
c. Pemeriksaan biakan.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, dapat dijumpai hasil limfositosis /
monositosis, LED meningkat, dan Hb dapat turun (Kemenkes RI, 2022).
Pada TB non-paru, specimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan (Kemenkes RI, 2022).

23
3. Uji Tuberkulin
Reaksi positif pada uji tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi
belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun, uji ini merupakan alat
diagnostik penting dalam mengevaluasi seseorang secara individu dan juga
berguna dalam menentukan prevalensi TB dalam masyarakat (Price dan
Standridge, 2006).

4. Pemeriksaan Radiologis (Foto Toraks)


Pemeriksaan radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotic. Pada TB,
umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas
yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma.
Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin
berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut
kostrofrenikus tumpul) (Kemenkes RI, 2022).

5. Pemeriksaan Histopatologi (PA/Patologi Anatomi)


Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijauan ditengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia
langhans/bakteri TB (Kemenkes RI, 2016).

2.7.4 Standar Diagnosis Tuberkulosis


Berikut ini adalah kriteria diagnosis tuberkulosis berdasarkan ‘International
Standards for Tuberculosis Care (ISTC)’ 2014, dalam ‘Panduan Praktik Klinis
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama’ (Kemenkes RI,
2022):

1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada


terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan
evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan
gejala TB.

24
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu
yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak,
harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali
atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF, yang diperiksa
di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah
spesimen pagi. Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit
parah sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF sebagai uji
diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon-gamma release assay
sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang
terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert
MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien
terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji
Xpert MTB/RIF negatif pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung
TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan antituberkulosis setelah
pemeriksaan kultur (Kemenkes RI, 2022).

2.8 PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS


2.8.1 Tujuan Penatalaksanaan
a. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya (Kemenkes RI,
2022).

2.8.2 Prinsip Penatalaksanaan

25
a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.
b. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
c. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
d. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
e. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
f. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan
suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered
approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly
Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.
g. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir
tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
h. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek
samping harus tercatat dan tersimpan (Kemenkes RI, 2022).

2.8.3 Pengobatan Tuberkulosis pada Dewasa


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu (Kemenkes RI, 2022):
1. Tahap awal (paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol).
a. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat
(rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap hari
dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan
mencegah terjadinya kekebalan obat.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan
menurun dalam kurun waktu 2 minggu.

26
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif
(konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi
konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.
2. Tahap lanjutan (paduan obat rifampisin dan isoniazid).
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan
isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan).
b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program)
atau tiap hari (obat non program).
c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2022).

Tabel 2.1 Dosis OAT berdasarkan Berat Badan (Kemenkes RI, 2022).
Rekomendasi Dosis dalam mg/kgBB
Obat Harian 3x seminggu
Isoniazid (INH) 5 (4-6) max 300mg/hr 10 (8-12) max 900 mg/dosis
Rifampisin (RIF) 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis
Pirazinamid (PZA) 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis
Etambutol (EMB) 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis

Tabel 2.2 Dosis OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) / FDC (Kemenkes RI, 2022).
Berat Fase Intensif Fase Lanjutan
Badan Harian Harian 3x/minggu Harian Harian
(R/H/Z/E) (R/H/Z/) (R/H/Z/) (R/H) (R/H)
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah (Kemenkes RI, 2022):

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikantiap hari dan tahap
lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama
pengobatan seluruhnya 6 bulan.

27
2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal
pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan
selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin,
dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap
lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama
pengobatan 8 bulan.
3. OAT sisipan (HRZE)
Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir
pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan
pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.

Konseling dan Edukasi (Kemenkes RI, 2022):


a. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang tuberkulosis.
b. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
c. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan.

2.8.4 Pengobatan Tuberkulosis pada Anak


Tatalaksana yang diberikan kepada anak penderita TB tentunya berbeda
dengan penderita TB dewasa. Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari
terapi (pengobatan) dan profilaksis (pengobatan pencegahan). Pengobatan TB
anak di berikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan pencegahan TB
diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis primer)
atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder) (Kemenkes
RI, 2016). Salah satu yang menjadi indikasi seseorang perlu mendapatkan
profilaksis TB adalah orang dengan hasil uji tuberkulin positif dan memenuhi
minimal salah satu dari hal berikut, yaitu infeksi HIV, kontak erat dengan
penyakit yang baru terdiagnosis, koversiuji kulit yang baru terjadi, kondisi medis
yang meningkatkan risiko menderita TB (usia < 35 tahun). Pilihan profilaksis
non bedah yang dianjurkan adalah Isoniazid, Rifampisin atau Pirazinamid
(Katzung, 2011).

28
Pada umumnya, anak memiliki jumlah bakteri yang lebih sedikit
(paucibacillary) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase
intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe
dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan
Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama)
diikuti Rifampisin dan Isoniazid pada 4 bulan fase lanjutan (Kemenkes RI,
2016).

Tabel 2.3 Dosis OAT untuk anak (Kemenkes RI, 2016).


Dosis harian Dosis
Nama Obat (mg/kgBB/ maksimal Efek samping
hari) (mg/hari)
Hepatitis, neuritis perifer,
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300
hipersensitivitis
Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis,trombositopenia,
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Toksisitas hepar, artralgia,
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) -
gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata
Etambutol (E) 20 (15-25) - berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Tabel 2.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) anak (rekomendasi IDAI) (Kemenkes, RI, 2022).
2 Bulan tiap hari 3 KDT
Berat Badan 4 Bulan tiap hari 2 KDT Anak
Anak
(kg) RH (75/50)
RHZ (75/50/150)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Tabel 2.5 Paduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak (Kemenkes RI, 2016).
Kriteria Diagnostik Fase Intensif Fase Lanjutan
TB Klinis
TB Kelenjar 2HRZ 4HR
Efusi Pleura TB
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
TB Paru dengan Kerusakan Luas
2HRZE 4HR
TB Ekstra Paru
(selain TB Meningitis dan TB Tulang/Sendi)
TB Tulang/Sendi 2HRZE 10HR

29
TB Milier
TB Meningitis

2.9 KOMPLIKASI TUBERKULOSIS


Apabila penyakit TB paru tidak ditangani dengan benar maka akan
menimbulkan komplikasi, sebagai berikut:

2.9.1 Komplikasi Dini


Pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, Poncet’s arthtropathy (Amin
dan Bahar, 2014).

2.9.2 Komplikasi Lanjut


Obstruksi jalan napas (SOPT / Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis),
kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, amilodosis, karsinoma
paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan
kavitas TB (Amin dan Bahar, 2014).

2.10 PROGNOSIS TUBERKULOSIS


Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai
dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi
kurang baik. Berikut ini beberapa kriteria dari hasil pengobatan yang dijalani
oleh pasien, diantaranya (Kemenkes RI, 2022):
1. Sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto
toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada foto
toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

30
3. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
4. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat selama dua bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal pengobatan: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan
(register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui (Kemenkes RI, 2022).

BAB III
METODE PENELITIAN (EVALUASI PROGRAM)

3.1 RANCANGAN PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan rancang bangun studi penelitian dengan
pendekatan deskriptif, yaitu untuk melakukan penilaian evaluasi program
pengendalian penyakit tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) di Wilayah kerja Puskesmas Lengkong.
Variabel pada penelitian ini adalah penemuan kasus (penjaringaan suspek,
diagnosis pasien, petugas penjaringan suspek, alur diagnosa, alur pemeriksaan
dahak), pengobatan (Pengawas Menelan Obat / PMO, fungsi PMO, evaluasi

31
PMO, perubahan komposisi OAT KDT pada fase lanjutan, dan frekuensi
pengambilan OAT), faktor pendorong (penyuluhan dan media informasi) dan
faktor penghambat (jarak dan alat transportasi), pencatatan dan pelaporan
program DOTS, dan capaian Puskesmas Lengkong tahun 2021 berdasarkan
indikator program TB nasional.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITAN


3.2.1 Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas kecamatan Lengkong. Lokasi
meliputi poli khusus TB sebagai tempat pelaksanaan program TB, poli pasien
umum untuk dewasa dan MTBS untuk balita sebagai tempat penemuan atau
penjaringan kasus, ruangan laboratorium sebagai sarana pemeriksaan sampel
dahak pasien, dan area sekitar wilayah kerja Puskesmas Lengkong sebagai
tempat dilakukannya penyuluhan dan pendataan sebagai bagian dari rangkaian
proses dilakukannya evaluasi program.
3.2.2 Waktu
Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada
bulan Mei - September 2022, sebagaimana masa penugasan penulis di
Puskesmas kecamatan Lengkong selaku dokter internsip dan pembuat evaluasi
program ini.
3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITAN
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua petugas kesehatan yang terdiri
dari pemegang program TB Paru, dokter organik puskesmas, petugas pelaksana
pengobatan TB dan petugas laboratorium di Puskesmas kecamatan Lengkong
serta semua data pasien TB paru dari catatan rekam medik dan kartu register
pasien TB yang didiagnosis dan ditegakkan diagnosanya oleh petugas
kesehatan melalui pemeriksaan dahak serta menjalani pengobatan di
Puskesmas kecamatan Lengkong pada tahun 2021 sebanyak 43 orang.
3.3.1 Sampel

32
Sampel pada penelitian ini adalah semua bagian dari populasi yang
disebutkan diatas terutama responden yang berperan sebagai pelaksana
program TB di Puskesmas Lengkong. Sedangkan data pasien menggunakan
sampel penelitian dengan metode total sampling yang diambil dari catatan
rekam medik dan kartu register pasien TB di Puskesmas Lengkong sebanyak
43 orang. Penentuan sampel berdasarkan kriteria inklusi di Puskesmas
Lengkong yaitu pasien TB yang didiagnosis pada tahun 2021 dan menjalani
pengobatan di ruang TB Puskesmas Lengkong.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA


Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan
data kuantitatif diambil dari data sekunder yakni catatan rekam medik, kartu
register pasien TB, dan formulir pelaporan TB, beserta checklist-nya. Sedangkan
pengumpulan data secara kualitatif dilakukan dengan metode wawancara yang
meliputi pertanyaan terbuka dan tertutup. Wawancara diberikan kepada petugas
pemegang program TB, sedangkan checklist diberikan pada petugas
laboratorium untuk mengetahui proses pelaksanaan pemeriksaan dahak di
puskesmas dan kepada petugas terkait alur diagnosis TB serta pencatatan dan
pelaporan. Selain itu, data pasien TB dilihat dari rekam medik dan form pasien
TB yang sudah dilakukan pencatatan sebelumnya oleh petugas TB. Kemudian
hasil dari data pasien dibandingkan dengan data sekunder dan hasil wawancara
serta checklist yang ditujukan pada petugas TB dan petugas laboratorium.
Instrumen yang digunakan adalah checklist berdasarkan Pedoman Nasional
Pengendalian TB dan wawancara langsung secara terbuka dan tertutup.

3.5 METODE ANALISIS DATA


Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu menggambarkan suatu keadaan
yang sebenarnya yang diteliti berdasarkan hasil yang telah didapatkan dan
kemudian dibandingkan dengan capaian indikator program TB di Puskesmas
kecamatan Lengkong. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dan dilakukan evaluasi
mengenai pelaksanaan program pengendalian penyakit tuberkulosis dengan

33
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) di Puskesmas
Lengkong.

3.6 DEFINISI OPERASIONAL PENELITAN (EVALUASI PROGRAM)


3.6.1 Data Khusus dan Capaian Program Tuberkulosis
Program pengendalian penyakit tuberkulosis merupakan program kerja
Puskesmas Lengkong yang termasuk dalam bagian dari program upaya
pengendalian penyakit menular (P2PM). Tujuan program P2PM ini adalah
dengan menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah akibat buruk
lebih lanjut dari penyakit serta mengontrol penyakit yang telah dapat
dikendalikan. Program P2PTM adalah upaya untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pencegahan dini faktor risiko PTM. Sasaran utama adalah
kelompok masyarakat sehat yang rentan ber risiko PTM berusia 15 tahun ke
atas.

Tabel 3.1 Perbandingan Capaian Pemberantasan Penyakit Menular dengan Target SPM
di Wilayah Puskesmas Kecamatan Lengkong Tahun 2020.

No. Program Capaian Target


Persentase orang terduga TBC mendapatkan pelayanan kesehatan
1. 86,5% 100%
sesuai standar
2. Case detection rate TBC 57.66% 100%

3. Cakupan penemuan kasus TBC anak 33.00% 100%

4. Angka kesembuhan BTA+ 57.9% 100%

5. Angka pengobatan lengkap semua kasus TBC 65.8% 100%

34
6. Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) semua kasus TBC 123.7% 100%

7. Jumlah kematian selama pengobatan tuberkulosis 2.6/100.000 -

8. Penemuan penderita pneumonia pada balita 3,4% 100%

9. Puskesmas yang melakukan tatalaksana standar pneumonia min. 60% 1,0% 100%

10. Jumlah Kasus HIV 9 Kasus -

11. Jumlah Kasus Baru AIDS 9 Kasus -

12. Jumlah Kematian akibat AIDS 2 Jiwa -

13. Persentase Diare ditemukan dan ditangani pada balita 57.4% 100%

14. Persentase Diare ditemukan dan ditangani pada semua Umur 48,0% 100%

15. Persentase Kasus Baru Kusta anak 0-14 Tahun 33.3% 100%

16. Persentase Cacat Tingkat 0 Penderita Kusta 100% 100%

17. Persentase Cacat Tingkat 2 Penderita Kusta 0% 100%

18. Penderita Kusta PB Selesai Berobat (RFT PB) 0% 100%

19. Penderita Kusta MB Selesai Berobat (RFT MB) 0% 100%


Sumber: Laporan Puskesmas Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi tahun 2020

Berdasarkan hasil analisis data SPM Puskesmas Kecamatan Lengkong tahun


2020, didapatkan beberapa program belum mencapai hasil yang di targetkan.
Komponen-komponen program tersebut, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.2 Hasil Pencapaian Kinerja Puskesmas yang Belum Tercapai di Tahun 2020.

No. Indikator Target (%) Pencapaian (%)


1. Pelayanan Kesehatan pada Usia Produktif 100 61,1
2. Pelayanan Kesehatan pada Usia Lanjut 100 24,0
3. Pelayanan Kesehatan pada Penderita Hipertensi 100 59,6
4. Pelayanan Kesehatan pada Penderita DM 100 70,1

35
5. Presentase Diare ditemukan dan ditangani pada Balita 100 57,4
6. Penemuan penderita baru TB BTA (+) 100 57,6
Pelayanan Orang Terduga TB mendapat pelayanan
7. 100 86,5
sesuai Standar
8. Angka kesembuhan (cure rate) TB terkonfirmasi 100 57,9
9. Angka pengobatan lengkap semua kasus TB 100 65,8

Dapat disimpulkan dari beberapa komponen pada tabel diatas, terdapat


beberapa komponen bagian dari program pengendalian penyakit tuberkulosis
yang kinerja dan capaiannya belum memenuhi target seharusnya, sehingga hal
tersebut dapat menjadi kendala untuk mencapai keberhasilan program TB baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk itu, dari komponen-komponen
tersebut akan dilakukan evaluasi program dengan pendekatan yang sudah
dijelaskan pada bab ini

3.6.2 Indikator Nasional Penanggulangan Tuberkulosis


Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada2 yaitu:
- Angka penemuan pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate/CDR)
- Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate /SR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator utama
Nasional tersebut di atas, yaiu:
1. Angka Penjaringan Suspek.
2. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya.
3. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru.
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien.
5. Angka Notifikasi Kasus (CNR).

36
6. Angka konversi.
7. Angka kesembuhan.
8. Angka Kesalahan laboratorium.

Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur


kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat -
syarat tertentu seperti:
1. Sahih (valid).
2. Sensitif dan Spesifik (senstif and spesifik).
3. Dapat dipercaya (realiable).
4. Dapat diukur (measureable).
5. Dapat dicapai (achievable).

Analisis data dapat dikakukan dengan:


1. Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya
perbedaan.
2. Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.

3.6.3 Cara Perhitungan dan Analisis Indikator Penilaian


3.6.3.1 Angka Penjaringan Suspek
Merupakan jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan
untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan
memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
Rumus Perhitungan Indikator:

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku dafar suspek
(TB.06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya
rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.

37
3.6.3.2 Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Merupakan persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh
suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses
penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
Rumus Perhitungan Indikator:

Angka ini sekiar 5-15%. Bila angka ini teralu kecil (< 5%), kemungkinan
disebabkan oleh penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium
(negatif palsu). Bila angka ini terlalu besar (> 15 %), kemungkinan disebabkan
oleh penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorim
(positif palsu).

3.6.3.3 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB


Paru
Merupakan persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua
pasien TB paru yang terdata. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan
pasien TB yang menular diantara seluruh pasien TB paru yang diobati.
Rumus Perhitungan Indikator:

Angka ini sebaiknya tidak kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah,
itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA positif).

3.6.3.4 Proporsi pasien TB Anak diantara Seluruh Pasien TB

38
Merupakan persentase pasien TB anak (usia < 15 tahun) diantara seluruh
pasien TB yang terdata.
Rumus Perhitungan Indikator:

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan


dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini
terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

3.6.3.5 Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate / CDR)


Merupakan persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan
pasien baru BTA posiif pada wilayah tersebut.
Rumus Perhitungan Indikator:

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan


perhitungan angka insidensi kasus TB pan BTA positif dikali dengan jumlah
penduduk. Target Case Detection Rate (CDR) program penanggulangan
tuberkulosis nasional adalah minimal diatas 70%.
Faktor penyebab rendahnya CDR, diantaranya adalah:
1. Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak, meskipun telah diberikan
mukoltik-ekspektoran (terutama pasien suspek TB yang telah diobati
sebelumnya dengan obat anti-tuberkulosis / OAT yang tidak standar).
2. Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk
menjaring kasus TB.
3. Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA posiif TB yang seragam di seluruh
Indonesia, yaitu 107 kasus/100.000 penduduk, untuk semua kota, kabupaten
dan kecamatan.

39
4. Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu longgar (terlalu sensitif), banyak
orang yang tidak memenuhi kriteria suspek terjaring. dan kualitas dahak yang
diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam memperoleh dahak untuk
pemeriksaan diagnostik baik pada dewasa maupun anak perlu segera diatasi.
Perlu dicari prosedur alternatif pemeriksaan dahak yang bisa dilakukan di
tingkat primer.

3.6.3.6 Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate / CNR)


Merupakan angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan
dan tercatat diantara 100.000 penduduk disuatu wilayah tercentu. Angka ini
apabila dikumpukan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan
kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut.
Rumus Perhitungan Indikator:

Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat


atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

3.6.3.7 Angka Konversi (Conversion Rate)


Merupakan persentase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami
perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif.
Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk
mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Rumus Perhitungan Indikator:

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengancara me-review seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai berobat
dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil
pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat

40
kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari
laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalalah 80%.

3.6.3.8 Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Merupakam angka yang menunjukkan presentase pasien baru TB paru BTA
positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB
paru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien
BTA positif pengobatan ulang dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastkan dengan surveilans kekebalan
obat.
2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat
lini kedua (second-line drugs).
3. Menunjukkan prevalensi HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.
Rumus Perhitungan Indikator:

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan
cara me-review seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai berobat dalam
9- 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh
setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya
tetap perlu diperhatikan, yaiu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, default, dan pindah.

41
- Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasikan proporsi
kasus re-treatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan
karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
- Menunumnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB
akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam
beberapa tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari
4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih
besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

3.6.3.9Angka Keberhasilan Pengobatan


Merupakan angka yang menunjukkan persentase pasien baru TB paru BTA
positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun yang dapat
pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Rumus Perhitungan Indikator:

Angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka


pengobatan lengkap.

3.6.3.10 Angka Kesalahan Laboratorium (Error Rate)


Pada saat ini penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk penerapan uji
silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality
Assessment (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa yang akan datang akan
dierapkan metode LQAS di seluruh UPK. Sementara itu, hingga saat ini
sebagian besar propinsi masih menerapakan metode uji silang perhitungan, Eror
Rate.
Error rate atau angka kesalahan baca merupakan angka kesalahan
laboratorium yang menyatakan persentase kesalahan pembacaan slide / sediaan

42
yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross
check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis
langsung laboratorium pemeriksa pertama.
Rumus Perhitungan Indikator:

Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi
maksimal 5%. Apabila error rate < 5% dan positif palsu serta negatif palsu
keduanya ≤ 5% berarti mutu pemeriksaan baik. Error rate ini menjadi kurang
berarti bila jumlah slide yang di uji siang (cross check) relatif sedikit. Pada
dasarnya error rate dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di
tingkat kabupaten / kota.
Kabupaten / kota harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa
yang ada di wilayahnya melksanakan cross check, disamping menganalisa error
rate per PRM / PPMRS / BP4, supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan
slide dahak secara mkroskopis kangsung.

BAB IV

43
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN


Hasil penelitian ini merupakan hasil dari pengumpulan data yang dilakukan
secara kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif diambil dari data
sekunder yakni catatan rekam medik, kartu register pasien TB, dan formulir
pelaporan TB, beserta checklist-nya. Sedangkan pengumpulan data secara
kualitatif dilakukan dengan metode wawancara yang meliputi pertanyaan
terbuka dan tertutup. Wawancara diberikan kepada petugas pemegang program
TB, sedangkan checklist diberikan pada petugas laboratorium untuk mengetahui
proses pelaksanaan pemeriksaan dahak di puskesmas dan kepada petugas terkait
alur diagnosis TB serta pencatatan dan pelaporan. Selain itu, data pasien TB
dilihat dari rekam medik dan form pasien TB yang sudah dilakukan pencatatan
sebelumnya oleh petugas TB. Kemudian hasil dari data pasien dibandingkan
dengan data sekunder dan hasil wawancara serta checklist yang ditujukan pada
petugas TB dan petugas laboratorium. Instrumen yang digunakan adalah
checklist berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian TB dan wawancara
langsung secara terbuka dan tertutup. Semua proses pengumpulan data
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas kecamatan Lengkong.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian mengenai evaluasi program
pengendalian penyakit tuberkulosis dengan strategi DOTS di wilayah kerja
Puskesmas Lengkong yang akan disajikan dalam bentuk rekapitulasi data
disertai penjabaran pada tabel distribusi frekuensi secara deskriptif dengan
penjelasannya:

44
Hasil penemuan kasus baru TB di wilayah kerja Puskesmas Lengkong selama
tahun 2020 hingga tahun 2021 mengalami peningkatan jumlah kasus, berikut
adalah rekapitulasi data beserta penjelasannya dibawah ini:

Tabel 4.1 Rekapitulasi Data Penemuan Kasus Tuberkulosis di Puskesmas Lengkong Tahun 2020
NO. TRIWULAN SUSPEK BTA (+) RONTGEN (+) TB Ektra Paru
1. I 103 7 2 1
2. II 87 6 3 0
3. III 105 9 2 1
4. IV 86 4 3 0
JUMLAH 381 26 10 2

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, dari 381 orang suspek yang dlakuka
pemeriksaan, terdapat total 38 orang didiagnosis dengan TB yang terdiri dari 26
orang yang menderita TB paru BTA Positif, 10 orang BTA negatif dengan
rontgen positif, dan 2 orang dengan TB ekstra-paru.

Tabel 4.2 Rekapitulasi Data Penemuan Kasus Tuberkulosis di Puskesmas Lengkong Tahun 2021
NO. TRIWULAN SUSPEK BTA (+) RONTGEN (+) TB Ektra Paru
1. I 79 7 2 0
2. II 58 3 1 0
3. III 49 4 0 2
4. IV 88 17 6 1
JUMLAH 274 31 9 3

Sementara itu, berdasarkan tabel 4.2 diatas, dari 274 orang suspek yang
dilakukan pemeriksaan, terdapat total 43 orang didiagnosis dengan TB yang
terdiri 31 orang yang menderita TB paru BTA Positif, 9 orang BTA negatif
ndengan rontgen positif, dan 3 orang dengan TB ekstra-paru.

45
Dari kedua tabel sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa angka penemuan
kasus baru TB di wilayah kerja Puskesmas Lengkong mengalami peningkatan
jumlah kasus. Dimana pada tahun 2020 terdapat 381 suspek terdiri dari 26 orang
penderita baru denga BTA positif, 10 orang BTA negatif dengan rontgen positif,
dan 2 orang Ektra Paru, total pasien yang diobati 38 Orang. Dan pada 2021
penemuan kasus suspek 274 kasus terdiri dari 31 orang penderita baru dengan
BTA Positif dan 9 orang penderita BTA negatif dengan rontgen positif, dan
kasus Ekstra Paru 3 orang, sehingga jumlah yang diobati sebanyak 43 orang,
dari yang sebelumnya berjumlah 38 orang. Hal ini dapat disebabkan karena
pandemi di negara ini sudah bisa dikendalikan dengan menerapkan gencar-
gencarnya vaksinasi untuk masyarakat umum dan anak-anak usia sekolah,
sehingga masyarakat yang bergejala TB paru mulai antusias kembali datang ke
puskesmas untuk memeriksakan keluhanya.

Tabel 4.3 Gambaran (Distribusi Frekuensi) Penemuan Kasus Tuberkulosis


di Puskesmas Lengkong Tahun 2021

Penemuan Kasus Frekuensi (f) Persentase (%)


Penjaringan Suspek:
Batuk Berdahak > 2 minggu 31 72,1
Keluhan Lainnya 12 27,9
Pemeriksaan Dahak:
Ya 31 72,1
Tidak 12 27,9
Alur Diagnosis TB:
Dilakukan sesuai Pedoman Alur Diagnosis TB 43 100
Tidak dilakukan sesuai Pedoman Alur Diagnosis TB 0 0

Berdasarkan tabel 4.3 diatas, dapat dilihat bahwa gejala utama yang
digunakan untuk penjaringan suspek saat pasien pertama kali datang ke
puskesmas adalah gejala batuk > 2 minggu yang kadang disertai darah yang
dialami hampir pada seluruh pasien TB yakni 31 kasus (72,1%), dimana
semuanya merupakan penderita TB paru. Dimana keluhan batuk tersebut diikuti
oleh keluhan TB lainnya seperti demam dalam waktu yang lama, ataupun

46
disertai penurunan berat badan. Sementara itu, 9 pasien (20,9%) merupakan
pasien dari RS yang datang membawa hasil rontgen positif TB dan sudah
diagnosis oleh dokter spesialis di RS, rata-rata gejala yang dialami pasien adalah
batuk > 2 minggu namun kurang produktif (sulit menghasilkan dahak) disertai
gejala tambahan mendukung TB lainnya seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Dan sisanya, 3 pasien (7%) merupakan pasien TB ekstra paru dengan keluhan
utamanya bukan batuk, melainkan adanya keluhan sesuai organ yang terinfeksi
seperti adanya pembesaran kelenjar getah bening, nyeri pada tulang, maupun
sudah mengalami sesak nafas disertai adanya penurunan berat badan, radang
tenggorokan, demam yang terkadang disertai keringat pada malam hari. Begitu
juga dengan tanda klinis saat penjaringan suspek menurut responden, baik dari
petugas kesehatan yakni dokter di poli umum maupun MTBS, pelaksana
program di poli TB, maupun petugas laboratorium, semuanya (100%) petugas
menjawab keluhan utama yang ditemukan dari pasien adalah batuk berdahak > 2
minggu.
Semua (100%) petugas puskesmas mengatakan selalu melakukan 3×
pemeriksaan dahak sebagai diagnosis pasti TB, terutam apasien yang memiliki
keluhan batuk berdahak > 2 minggu, disertai klinis mendukung TB lainnya.
Begitu juga menurut data (72,1%) pasien diperiksa dahak saat pertama kali
pengobatan di Puskesmas Lengkong. Sedangkan 12 pasien (27,9%) tidak
diperiksa dahak karena sudah diperiksa dahak dan atau foto rontgen di rumah
sakit dan membawa bukti hasil pemeriksaan dahak dan atau foto rontgen saat
pertama kali berobat di puskesmas. Adapun pasien yang tidak dilakukan
pemeriksaan dahak adalah pasien TB ekstra paru atau pasien tidak memiliki
keluhan batuk berdahak sehingga tidak bisa menghasilkan dahak yang layak
walaupun sudah diberikan obat pengencer dahak agar bisa dilakukan
pemeriksaan.
Menurut pemegang program TB di Puskesmas Lengkong semua (100%)
pasien diperiksa sesuai dengan alur diagnosis sesuai dengan pedoman
pengendalian TB dari Departemen Kesehatan RI kecuali pemeriksaan rontgen,
dikarenakan tidak tersedia alat rontgen dan teknisinya di puskesmas. Biasanya

47
pasien yang memiliki hasil rontgen datang karena telah melakukan pemeriksaan
di terdekat karena pasien memiliki gejala gangguan pernafasan. Di puskesmas,
pasien tersebut akan dilakukan konfirmasi diagnosis oleh dokter dengan
tambahan pemeriksaan dahak BTA. Dan bila perlu akan dilakukan pemeriksaan
TCM (Tes Cepat Molekuler) untuk konfirmasi akhir sebagai baku emas
pemeriksaan, apabila sampel dahak tidak ditemukan sehingga sulit diperiksa
ataupun dengan hasil BTA negatif namun klinis mengarah kepada TB atau hasil
rontgen dari luar menunjukkan gambaran khas TB. Pemeriksaan TCM dilakukan
di tempat rujukan pemeriksaan terdekat, yakni di Puskesmas Jampang Tengah.
Menurut petugas laboratorium, semua (100%) pasien yang diperiksa
dahaknya sudah mengikuti alur pemeriksaan dahak mikroskopis dilakukan
sesuai pedoman pengendalian TB Departemen Kesehatan RI. Namun, petugas
laboratorium biasanya hanya melakukan pemeriksaan dahak 1 kali, yakni sampel
dahak pagi yang di ambil pasien keesokan paginya setelah pasien datang berobat
ke puskesmas. Hal ini dilakukan petugas dengan dasar alasan sampel dahak pagi
biasanya sudah cukup mewakili pemeriksaan dahak yang seharusnya dilakukan
S-P-S (Sewaktu-Pagi-Sewaktu), yakni sewaktu saat pasien berkunjung di awal,
dahak keesokan paginya, dan sewaktu pasien menyerahkan sampel dahak pagi.
Petugas laboratorium menambahkan, pemeriksaan dahak sewaktu biasanya
dilakukan hanya pada saat kondisional seperti apabila sampel dahak pagi yang
diambil dan dibawa pasien kurang baik (tidak layak) ataupun sebagai tambahan
konfirmasi apabila hasil sampel dahak pagi menunjukkan hasil negatif.
Pemegang program TB saat ini mengaku sudah pernah mengikuti pelatihan
TB DOTS sesuai standart WHO yang diikutinya pada tahun 2017 lalu,
sedangkan petugas laboratorium mengaku hanya mengikuti kegiatan upgrading
ilmu, yang salahsatunya membahasa tentang pemeriksaan laboratorium pada
pasien TB.
Semua petugas TB (100%) sudah dapat menjawab dengan tepat dalam
menentukan tipe pasien yang pertama kali melakukan pengobatan yakni tipe
kasus baru dan sebagian jawaban juga sudah cukup tepat untuk menentukan tipe
pasien pengobatan lengkap. Dalam hal ini, dapat disimpulkan pengetahuan

48
petugas TB di puskesmas Lengkong tentang penemuan kasus dan pengobatan
TB sudah baik.

Tabel 4.4 Rekapitulasi Data Hasil Konversi Dahak Penderita


Tuberkulosis di Puskesmas Lengkong Tahun 2021

PENDERITA BARU
NO. TRIWULAN BTA (+) / RO (+)
Yang Diobati Konversi
1. I 9 8
2. II 4 3
3. III 6 4
4. IV 24 10
JUMLAH 43 25

Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Evaluasi Akhir Pengobatan


PenderitaTuberkulosis di Puskesmas Lengkong Tahun 2021

Yang Peng. Drop


No. Triwulan Sembuh Meninggal Gagal Pindah
Diobati Lengkap Out
1. I 9 7 8 1 - - -

2. II 4 5 3 1 - - -

3. III 6 9 4 - - - -

4. IV 24 4 - 1 - - -

JUMLAH 43 25 15 3 - - -

Tabel 4.6 Gambaran (Distribusi Frekuensi) Pengobatan Tuberkulosis


di Puskesmas Lengkong Tahun 2021

Pengobatan Frekuensi (f) Persentase (%)


PMO (Pengawas Menelan Obat):
Ada 42 97,7
Tidak ada 1 2,3
Perubahan Komposisi OAT KDT pada Fase Lanjutan:
Ya 43 100
Tidak 0 0

Berdasarkan tabel 4.6 diatas, dapat dilihat bahwa hampir semua (97,7%)
pasien di puskesmas Lengkong sduah memiliki PMO. Namun ada 1 pasien

49
diantaranya yang tidak memiliki PMO, dengan alasan tinggal sendiri di rumah
dan penyakit dirahasiakan, walaupun demikian pasien memiliki motivasi tinggi
untuk sembuh sehingga merasa tidak memerlukan PMO dan berobat rutin tanpa
diingatkan atau dimotivasi PMO, pasien juga sudah mengetahui aturan pakai
obat. Pasien yang tidak memiliki PMO tersebut juga sudah dipastikan oleh
petugas TB sangat memahami dengan baik tentang penyakitnya setelah
dilakukan penjelasan dan diskusi secara komprehensif sehingga petugas TB
memastikan bahwa tidak memiliki PMO pada pasien tersebut bukan menjadi
suatu hambatan saat ini bagi pasien tersebut.
Hasil pencatatan menunjukkan semua PMO pada pasien TB di Puskesmas
Lengkong berasal dari anggota keluarga dan sebagian besar (60%) adalah suami
atau istri. Dari pasien yang memiliki PMO mengatakan adanya fungsi PMO
dalam mengingatkan ataupun mendampingi pasien saat minum obat sehingga
dapat mempengaruhi keteraturan pasien minum obat dan ketepatan waktu pasien
untuk mendapatkan pengobatan sesuai dengan jadwal pengobatan.
Menurut petugas TB menjelaskan bahwa pelaksanaan PMO dievaluasi dalam
hal keteraturan menelan obat pada penderita dengan ada bukti secara tertulis.
Namun, pada praktiknya banyak juga PMO pasien yang tidak menyertakan bukti
tertulis pada awal-awal pengobatan yang kemudian oleh petugas TB dilakukan
evaluasi untuk jadwal kontrol berikutnya, dan meminta PMO pasien mengisi
checklist tertulis tentang keteraturan dan jadwal menelan obat pada penderita TB
dan harus selalu disertakan setiap kali pasien datang untuk kontrol rutin tiap
sehingga memudahkan petugas TB untuk melakukan evaluasi terhadap pasien
khususnya mengenai pengobatan pasien.
Petugas TB mampu menjawab dengan tepat pertanyaan mengenai jenis obat
untuk pasien baru TB fase intensif, begitu juga dengan pertanyaan mengenai
frekuensi menelan obat anti tuberkulosis pada fase intensif dan fase lanjutan
selama 1 minggu. Petugas juga menjawab dengan tepat untuk pertanyaan kapan
dilakukan pemeriksaan dahak ulang untuk memantau hasil pengobatan.
Semua (100%) pasien TB fase lanjutan mendapat obat anti tuberkulosis
komposisi baru. Tidak ada yang meneruskan obat anti tuberkulosis dosis tetap

50
fase intensif dan menjalani fase sisipan, walaupun ada terdapat 6 pasien (19,3%)
dengan hasil konversi dahak yang masih positif dari 31 pasien (100%) TB paru
BTA positif yang dilakukan pemeriksaan dahak pada akhir fase intensif. Selain
itu, menurut petugas program TB semua (100%) pasien mengatakan pernah lupa
tidak menelan obat anti tuberkulosis.
Frekuensi pengambilan obat di Puskesmas Lengkong untuk semua (100%)
pasien TB dilakukan seusai dengan jadwal pemeriksaan yang tercatat di form
TB.01 yakni, 1 x perbulan yang dimulai dari awal didiagnosis, bulan ke 2, 3 dan
di akhir pengobatan. Sementara itu, ada waktu dimana pengambilan obat
dilakukan 2 bulan sekali yakni pada bulan ke 4 dan 5 diambil pada bulan ke 5
saat jadwal kontrol selanjutnya. Pemberlakuan jadwal pengambilan obat yang
rata-rata 1 bulan tersebut diberlakukan karena faktor jarak yang sebagian besar
(> 97%) pasien sangat jauh (> 1 km) ke puskemas. Selain itu, sulitnya akses
jalan maupun transportasi menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat
pasien medapatkan pengobatan di puskesmas.

Tabel 4.7 Gambaran (Distribusi Frekuensi) Faktor Pendorong Program


Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Lengkong Tahun 2021

Faktor Pendorong Frekuensi (f) Persentase (%)


Penyuluhan TB:
Ya 8 18.6
Tidak 35 81.4
Sumber Informasi:
Petugas Kesehatan 35 81.4
Media Massa 2 4.6
Keluarga 3 7
Lingkungan Tetangga 3 7

Berdasarkan tabel 4.7 diatas, didapatkan hampir seluruh (81,4%) pasien TB


yang datang ke puskesmas Lengkong belum pernah mendapat penyuluhan
tentang TB selain dari petugas program TB. Pasien yang mengatakan mendapat
penyuluhan tentang TB selain di ruang TB yaitu dari petugas kesehatan lainnya,

51
seperti dokter organik puskesmas, dokter internsip, maupun kader kesehatan
yang ada di tiap desa di wilayah kerja puskesmas Lengkong. Adapun sebagian
(8.6%) pasien pernah mendapatkan penyuluhan dari petugas program TB disaat
pasien datang menemani keluarganya mendapatkan pengobatan TB di
puskesmas Lengkong atau disaat petugas program melakukan kunjungan ke
rumah pasien yang dilakukan minimal 1 kali per pasien pada tiap fase baik
intensif maupun lanjutan sehingga saat itu dilakukan lah penyuluhan dikusi
kelompok kecil antara anggota keluarga. Petugas program TB mengatakan
bahwa target utama penyuluhan yang dilakukannya adalah kader kesehatan di
tiap desa di wilayah kerja puskesmas Lengkong dengan tujuan untuk membantu
tugas pemegang program dalam hal penemuan kasus melalui kader kesehatan
tersebut. Sementara penyuluhan kepada pasien yang dilakukan langsung oleh
pemegang program hanya pada saat pasien datang berobat atau saat proses
penjaringan suspek di puskesmas Lengkong. Hal tersebut dilakukan pemegang
program dengan alasan hanya 1 orang yang menjadi petugas TB dan berharap
bahwa petugas kesehatan lainnya, seperti dokter organik, dokter internsip,
maupun kader kesehatan yang sudah diberikan penyuluhan dapat membantu
proses penyuluhan langsung ke masyarakat. Diketahui dari petugas program,
hampir seluruh (81,4%) pasien baru pertama kali mendapatkan informasi tentang
penyakit TB dari petugas kesehatan saat memeriksakan kesehatannya di fasilitas
pelayanan kesehatan.

Tabel 4.8 Gambaran (Distribusi Frekuensi) Faktor Penghambat Program


Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Lengkong Tahun 2021

Faktor Penghambat Frekuensi (f) Persentase (%)


Jarak:
≤ 1km 1 2,3
> 1km 42 97,7
Alat Transportasi:
Jalan Kaki 1 2.3
Kendaraan Pribadi 40 93
Kendaraan Umum 2 4.7

52
Berdasarkan tabel 4.8 diatas, diketahui bahwa jarak rumah pasien ke
puskesmas Lengkong hampir seluruhnya (97,7%) pasien adalah > 1 km dan alat
transportasi yang digunakan oleh hampir semua (93%) pasien adalah kendaraan
pribadi yang berupa sepeda motor. Sedangkan kendaraan umum yang dimaksud
disini adalah ojek motor. Adapun 1 orang pasien yang berjarak < 1 km ke
puskesmas datang dengan berjalan kaki karena jarak rumah yang sangat dekat ke
puskesmas Lengkong.

Tabel 4.9 Pencatatan dan Pelaporan berdasarkan Kartu Register TB di Puskesmas Lengkong

Kartu Register Ada Kelengkapan Keterangan


Ada TB 01 dari 32 responden pasien dan
TB 01 Ada Lengkap
semua kolom diisi sesuai pedoman
Ada TB 02 dari 32 responden pasien dan
TB 02 Ada Lengkap
semua kolom diisi sesuai pedoman
TB 03 Ada Lengkap Terdapat pada TB elektrik
TB 04 Ada Lengkap Semua kolom diisi sesuai pedoman
Digunakan hanya untuk pemeriksaan
TB 05 Ada Lengkap
dahak follow up
TB 06 Ada Lengkap Semua kolom diisi sesuai pedoman
TB 07 Ada Lengkap Terdapat pada TB elektrik
TB 08 Ada Lengkap Terdapat pada TB elektrik
Hanya ada form TB 09, sedangkan yang
TB 09 Ada -
sudah terisi dikirim ke RS bersangkutan
Tidak ada balasan dari tempat pindahan /
TB 10 Tidak ada -
rujukan pada akhir pengobatan pasien
TB 11 Ada Lengkap Terdapat pada TB elektrik

Gambaran sistem pencatatan dan pelaporan TB yaitu berdasarkan keberadaan


dan kelengkapan kartu register TB 01 hingga TB 11. Pada kartu TB 01 hingga
TB 08 serta TB 11 ada dan lengkap. Namun TB 09 ada namun tidak ada bukti
kelengkapannya dan TB 10 tidak ada karena belum pernah mendapat balasan
dari tempat rujukan mengenai hasil akhir pengobatan pasien.

53
Tabel 4.10 Capaian Puskesmas Lengkong tahun 2021 berdasarkan Target PKP
(Penilaian Kerja Puskesmas) Program Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten Sukabumi

Indikator Target Capaian Hasil


Angka penjaringan Suspek pasien TB 380 suspek 274 suspek
Belum Tercapai
per-tahun (100 %) (72,1%)
Angka Penemuan Kasus / 59 kasus 43 kasus
Belum Tercapai
Case Detection Rate (CDR) (100 %) (72,9%)
Cakupan Penemuan Kasus TB Anak 100 % 33 % Belum Tercapai
Angka Kesembuhan BTA positif 24 kasus 25 kasus
Tercapai
per-tahun (100 %) (104,16 %)
Angka Konversi pasien TB paru BTA 24 kasus 25 kasus
Tercapai
positf per-tahun (100 %) (104,2 %)

Tabel 4.11 Capaian Puskesmas Lengkong tahun 2021 terhadap Target Nasional
Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Indonesia.

Indikator Target Hasil


Capaian
Nasional
Angka Penjaringan Suspek - 274 suspek -
Proporsi BTA (+) diantara Suspek 5–15% 11,3 % Tercapai
Proporsi BTA (+) diantara semua
> 65% 77,5 % Tercapai
pasien TB Paru
Proposi pasien TB Anak < 15% 9,3 % Tercapai
Angka Penemuan Kasus / Case
> 70% 72,9 % Tercapai
Detection Rate (CDR)
Angka Konversi ≥ 80% 80,6 % Tercapai
Angka Kesembuhan / Cure Rate ≥ 85% 80,6 % Tidak Tercapai
Angka Keberhasilan Pengobatan /
≥ 90% 86 % Tidak Tercapai
Succeess Rate (SR)
Angka kesalahan laboratorium
< 5% 0 Tercapai
/error rate

54
Berdasarkan dari kedua tabel diatas, menjelaskan tentang capaian program
pengendalian tuberkulosis di Puskesmas Lengkong tahun 2021 terhadap target
PKP di kabupaten Sukabumi (tabel 4.10) maupun target penilian secara nasional
di Indonesia (tabel 4.11).

Dari hasil perhitungan tersebut capaian pada sebagian besar indikator TB di


Puskesmas Lengkong telah mencapai target nasional. Namun pada indikator
angka kesembuhan (cure rate) dan angka keberhasilan pengobatan (success rate)
yang merupakan salah satu indikator utama strategi DOTS masih belum
mencapai target nasional.

4.2 PEMBAHASAN
4.2.1 Penemuan Kasus
Pada proses penemuan kasus yang meliputi penjaringan suspek berdasarkan
data pasien yang datang ke puskesmas dan petugas program TB juga
mengatakan bahwa suspek pasien dengan gejala klinis TB yaitu batuk berdahak
selama ≥ 2 minggu yang terkadang diserta darah. Adapun beberapa pasien TB
ekstra-paru keluhan utamanya bukan batuk, melainkan adanya keluhan sesuai
organ yang terinfeksi seperti adanya pembesaran kelenjar getah bening, nyeri
pada tulang, maupun sudah mengalami sesak nafas disertai adanya penurunan
berat badan, radang tenggorokan, demam yang terkadang disertai keringat pada
malam hari.
Tahap awal penemuan suspek dilakukan dengan menjaring pasien yang
memiliki gejala utama pasien TB paru yaitu batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2011). Sesuai dengan penelitian terdahulu dari
Jurcev-Savicevic et al (2013), gejala yang paling sering dilaporkan oleh pasien
di Kroasia adalah batuk, kelelahan dan penurunan berat badan.

55
Pasien diminta oleh petugas untuk melakukan pemeriksaan dahak pagi
sebagai pemeriksaan awal suspek di Puskesmas Lengkong yang diharapkan
mewakili pemeriksaan seharusnya yakni dahak SPS (sewaktu datang - pagi -
sewaktu datang kembali). Pemeriksaan dahak sewaktu hanya dilakukan secara
kondisional apabila sampel dahak pagi tidak layak diperiksa atau hasil negatif
sehingga membutuhkan konfirmasi ulang dari pemeriksaan dahak sewaktu. Hal
ini tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan 3 kali pemeriksaan dahak
yakni sewaktu datang, pagi dan sewaktu datang kembali.
Sebagian besar petugas pernah mengikuti pelatihan TB DOTS sesuai standart
WHO. Dokter maupun perawat yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan lini utama penemuan tersangka TB, karena setiap hari berhadapan
dengan pasien di poli umum maupun MTBS. Dengan bekal pelatihan yang
cukup akan sangat membantu meningkatkan penemuan pasien TB. Pelatihan
bisa meningkatkan kualitas tenaga kesehatan dalam hal pengetahuan, sikap dan
keterampilan, terutama untuk pemegang dan pelaksana program TB
Sesuai dengan hasil penelitian Arisandi (2011), bahwa terdapat hubungan
antara pelatihan petugas TB dengan kualitas pelayanan TB dengan koefisien
korelasi (ρs) sebesar 0,50 yang berarti kuat hubungannya cukup. Begitu juga
dengan hasil penelitian Suharjana (2005), bahwa kurangnya pelatihan petugas
paramedis berpengaruh pada rendahnya hasil kegiatan penemuan penderita TB.
Berbeda dengan hasil penelitian Syafe’i (2006), menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara pelatihan dengan dengan semua variable kinerja
petugas, termasuk pelatihan.
Menurut Notoatmodjo (2005), pelatihan merupakan cara untuk membekali
seseorang yang mempunyai pendidikan formal sesuai dengan tugasnya, sehingga
dapat meningkatkan kualitas pekerjaannya dengan harapan agar seseorang lebih
mudah melaksanakan tugasnya. Pelatihan juga merupakan suatu proses
pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan
khusus seseorang atau kelompok orang agar kinerjanya meningkat. Tetapi
manakala petugas TB belum menunjukkan kualitas yang lebih baik,

56
dimungkinkan karena adanya beban tugas tambahan yang diberikan oleh
atasannya.
Kompetensi dokter dan perawat dapat dilihat berdasarkan ketepatan petugas
dalam menentukan tipe pasien. Pengetahuan petugas cukup baik dalam
menentukan tipe pasien. Penjelasan petugas sesuai dengan definisi sebenarnya
tentang pasien baru, yang mana pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan atau empat minggu.
Kompetensi dalam menentukan tipe pasien penting sebagai penentu kategori
obat anti tuberkulosis (Depkes RI, 2011).
Menurut Kemenkes RI dalam buku Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia, bahwa tujuan yang ingin dicapai yaitu kapasitas manajerial dan teknis
dalam tata kelola dan pengendalian TB yang efektif diperkuat dengan mutu
pelayanan TB di fasyankes dalam jumlah yang memadai. Tenaga kesehatan
setiap jenjang dan sistem kesehatan yang harus memiliki kompetensi guna
mendukung keberhasilan implementasi dan kesinambungan strategi
pengendalian TB secara nasional (Depkes RI, 2011).
Pelaksanaannya berdasarkan uraian tugas dan didukung dengan sistem yang
memotivasi untuk menggunakan kompetensi mereka dalam penyelenggaraan
pelayanan preventif dan kuratif berkualitas bagi seluruh populasi berdasarkan
kebutuhan. Hasil penelitian berbeda dari Arisandi (2011), menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara kompetensi dengan kualitas pelayanan tuberkulosis.
Semua alur diagnosis tuberkulosis dilakukan sesuai dengan pedoman
pengendalian TB dari Depkes RI meskipun ada beberapa aspek yang pada
pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi tertentu. Walaupunn demikian, jika
dibandingkan dengan hasil capaian dimana proporsi BTA (+) di antara semua
pasien TB Paru di puskesmas Lengkong hasilnya sesuai yaitu 77,5% dapat
memenuhi target yang diharapkan yaitu > 65%. Begitu juga dengan proporsi
BTA (+) di antara suspek (11,3%) di puskesmas Lengkong yang sudah
memenuhi targetnya yakni antara 5–15%.
Departemen Kesehatan RI (2011) dalam bukunya Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis apabila hasilnya lebih dari 15% artinya penjaringan

57
yang dilakukan terlalu ketat atau ada masalah pada pemeriksaan laboratorium
(positif palsu), dalam hal ini angka kesalahan laboratorium (error rate)
puskesmas adalah 0% dan petugas laboratorium mengatakan semua pasien telah
diperiksa dahak sesuai pedoman pengendalian TB Depkes RI. Sehingga dapat
disimpulkan capaian yang melebihi target dikarenakan penjaringan terlalu ketat,
sehingga banyak pasien TB yang tidak terdeteksi di wilayah kerja puskesmas
Lengkong. Sabri (2011) dalam studinya mengemukakan bahwa dengan
memberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan kepada kelompok
kemitraan dapat berpartisipasi untuk meningkatkan cakupan penjaringan suspek.
Meskipun demikian, capaian Angka Penemuan Kasus Case Detection Rate
(CDR) di puskesmas Lengkong 72,9% sudah memenuhi target minimal yaitu ≥
70%. CDR mencapai yang ditargetkan menandakan dengan penjaringan suspek
secara efektif dapat meminimalisir penyebaran penyakit tuberkulosis di wilayah
kerja puskesmas Lengkong.
Angka penemuan kasus yang juga merupakan salah satu indikator utama
untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian tuberkulosis (Depkes
RI, 2011). Metode penemuan pasien TB yaitu penjaringan suspek dilakukan
secara pasif dengan promosi aktif (Depkes RI, 2011). Hal ini dikarenakan
pengobatan TB yang cukup lama yakni 6 bulan, harus didasari kesadaran kedua
belah pihak yaitu kesadaran pasien TB untuk berobat rutin dan fokus petugas
kesehatan dalam pelaksanaan pengobatan, juga komunikasi kedua belah pihak
yang terus terjalin dengan baik selama pengobatan.

4.2.2 Pelaksanaan Pengobatan


Sebagian besar pasien di Puskesmas Lengkong memiliki PMO. Di mana
semua
PMO berasal dari keluarga pasien dan sebagian besar adalah suami atau istri
pasien. Namun adanya beberapa pasien yang tidak memiliki PMO dengan alasan
memiliki motivasi tinggi untuk sembuh sehingga merasa tidak memerlukan
PMO dan berobat rutin tanpa diingatkan atau dimotivasi PMO serta sudah
mengetahui aturan pakai obat.

58
Pengobatan pasien tuberkulosis dengan sistem DOTS, salah satu yang
dianjurkan adalah adanya PMO untuk mengingatkan pasien dalam keteraturan
menjalani pengobatan tuberkulosis yang membutuhkan waktu lama (Depkes RI,
2011). Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup pasien TB (r = 0,675; p < 0,01). Arah korelasi positif
menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka kualitas hidupnya
akan semakin meningkat. Dukungan sosial yang kuat pada pasien terutama dari
pihak keluarga
sangat membantu proses penyembuhan penyakit TB paru, misalnya terkait
dengan kepatuhan menelan obat yang berlangsung selama 6 bulan. Pengaruh
tidak langsung dukungan sosial adalah menurunkan stres yang dihadapi pasien
yang selanjutnya mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang (Ratnasari, 2012).
Hasil temuan Rintiswati et al (2009), bahwa pasien tidak merasa tersingkir
dalam lingkungan keluarga atau masyarakat karena baik pasangan, kerabat dan
teman-teman mendukung atau tidak menunjukkan perubahan perilaku ketika
diketahui pasien menderita TB.
Sebagian besar petugas mengatakan PMO melaksanakan fungsinya yaitu
selalu mengingatkan dan atau mendampingi saat menelan obat. Selain itu,
berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar pasien mengambil sendiri obat
di puskesmas. Pasien yang mengambil obat anti tuberkulosis ditemani PMO
dikarenakan pasien berusia lanjut dan tidak mampu mengendarai kendaraan
pribadi (sepeda motor). Sedangkan yang pengambilan obat anti tuberkulosis di
puskesmas dilakukan oleh PMO dikarenakan pasien bekerja, pasien berusia
lanjut, dan sakit sehingga tidak bisa datang mengambil obat secara langsung ke
puskesmas. Dan biasanya petugas program akan melakukan kunjungan langsung
ke rumah pasien yang tidak bisa datang mengambil obat secara langsung. Hal ini
dilakukan petugas, selain karena ini merupakan bagian dari program juga
bertujuan untuk melihat kondisi pasien secara langsung guna mengetahui
perkembangan penyakitnya.
Fungsi PMO mengawasi secara langsung menelan obat, mengingatkan jadwal
menelan obat dan jadwal berobat ke fasyankes dan memberi motivasi ke pasien.

59
Namun bukan berarti PMO sebagai pengganti kewajiban pasien mengambil obat
di fasyankes. Karena sedapat mungkin pasien datang sendiri ke fasyankes
sebagai tolak ukur kepatuhan pasien dan mengetahui perkembangan kondisi
pasien. Fungsi penting PMO yakni dalam mengingatkan dan memotivasi pasien
untuk menelan obat anti tuberkulosis sesuai jadwal meskipun kondisinya sudah
merasa sehat. Pada pengobatan tuberkulosis sangat diperlukan kesadaran pasien
bahwa fase pengobatan yang dijalani merupakan fase yang berkaitan antara satu
dengan yang lain.Dengan kata lain jika kepatuhan pengobatan fase intensif tidak
diikuti dengan kepatuhan fase lanjutan akan mengakibatkan pasien mengalami
kegagalan pengobatan.
Komunikasi antar petugas kesehatan dan pasien TB terjalin dengan baik dari
awal pengobatan di puskesmas, terbukti selalu ada persetujuan dalam pemilihan
PMO dari pasien dan petugas kesehatan. Semua petugas kesehatan menjawab
pelaksanaan PMO dievaluasi dalam hal keteraturan menelan obat pada
penderita. Sesuai dengan jawaban beberapa pasien yang mengatakan ada
evaluasi pada PMO dalam keteraturan menelan obat pada pasien. Namun hal itu
belum dapat dibuktikan secara tertulis mengenai keteraturan pasien minum obat.
Sehingga evaluasi sulit dilakukan terhadap PMO pasien.
Petugas program mampu memahami dengan baik mengenai obat untuk
pasien TB, frekuensi menelan obat anti tuberkulosis, dan kapan dilakukan
pemeriksaan dahak ulang untuk memantau hasil pengobatan. Sehingga dapat
disimpulkan pengetahuan petugas baik dalam tahap pengobatan.
Hampir semua dari pasien TB fase lanjutan mendapat obat baru yang terdiri
dari Rifampicin dan Isoniazid. Jenis obat yang diterima pasien berupa 1 paket
obat anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). 1 Tablet OAT KDT
ini terdiri dari kombinasi 2 jenis obat (Isoniasid dan Rifampisin) untuk fase
lanjutan atau 4 jenis obat (Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol)
untuk fase intensif dalam satu tablet. Adanya pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya masih positif dapat disebabkan karena pasien sudah merasa batuknya
sembuh, sehingga tidak teratur menelan obat atau berhenti menelan obat.

60
Hasil angka konversi di puskesmas Lengkong adalah 80,6% yang artinya
sudah mencapai target yaitu ≥ 80%. Sesuai dengan penelitian Hasanah (2013),
dengan nilai p = 0,013 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kepatuhan minum obat dengan terjadinya kegagalan konversi sebesar
5,182 kali dibanding kelompok yang patuh minum obat. Keteraturan menelan
obat diukur dari kesesuaian dengan aturan yang ditetapkan yaitu pengobatan
lengkap sampai selesai dalam jangka waktu 6 bulan. Obat anti tuberkulosis harus
ditelan teratur sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh petugas
kesehatan terutama pada fase awal pengobatan untuk menghindari terjadinya
kegagalan (Depkes RI, 2009).
Frekuensi pengambilan obat di Puskesmas Lengkong dilakukan seusai
dengan jadwal pemeriksaan yang tercatat di form TB.01 yakni, 1 x perbulan
yang dimulai dari awal didiagnosis, bulan ke 2, 3 dan di akhir pengobatan.
Sementara itu, ada waktu dimana pengambilan obat dilakukan 2 bulan sekali
yakni pada bulan ke 4 dan 5 diambil pada bulan ke 5 saat jadwal kontrol
selanjutnya. Petugas program mengatakan karena pemberlakuan jadwal
pengambilan obat yang rata-rata 1 x per-bulan ini menyebabkan pasien banyak
yang lupa atau tidak teratur minum obat. Dan jika dibandingkan dengan
indikator angka kesembuhan / Cure Rate di puskesmas Lengkong adalah 80,6%
yang belum memenuhi target ≥ 85%. Begitu juga dengan angka keberhasilan
pengobatan atau Success Rate (SR) di puskesmas Lengkong yakni 86% yang
juga belum memenuhi target yaitu ≥ 90% (Kemenkes RI, 2022).
Angka kesembuhan berguna untuk mengetahui efektivitas obat anti
tuberkulosis standar DOTS ketika diberikan kepada pasien TB di suatu
komunitas. Angka kesembuhan yang rendah merupakan indikator awal
kemungkinan kekebalan / resistensi bakteri tuberkulosis terhadap OAT standar,
sehingga perlu dilakukan surveilans kekebalan / resistensi. Angka keberhasilan
pengobatan ini juga merupakan salah satu indikator utama untuk menilai
kemajuan atau keberhasilan pengendalian tuberkulosis (Depkes RI, 2011).
Apabila capaian success rate memenuhi target artinya di fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut lebih dapat meminimalisisr resistensi terhadap obat anti

61
tuberkulosis secara efektif. Rendahnya angka keberhasilan pengobatan dapat
dikarenakan kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, dan
pasien kurang teratur dalam menelan obat. Menurut Sagbakken (2008),
kepatuhan terhadap pengobatan TB adalah suatu pertimbangan penting dalam
program pengendalian TB karena pengobatan yang tidak lengkap dapat
menyebabkan infeksi berkepanjangan, resistensi obat, kambuh, dan kematian.
Pada penelitian ini, diketahui dari 31 pasien TB paru BTA positif, terdapat 25
orang yang mengalami konversi dahak menjadi negatif pada akhir fase intensif.
Dan dikarenakan pada fase lanjutan gejala penyakit yang timbul sudah tidak
terlalu dirasakan oleh pasien, sehingga respons penderita terhadap pelaksanaan
pengobatan akan menurun pula karena pasien sudah merasakan kesembuhan
seperti yang diharapkan meskipun sebenarnya belum. Hal ini yang menjadi
faktor signifikan terhadap kepatuhan penderita dalam menjalankan pengobatan.
Pada fase awal, keyakinan penderita untuk mampu patuh menjalani pengobatan
akan tinggi disebabkan keinginan untuk sembuh masih tinggi, tetapi ketika
sudah memasuki fase lanjutan dan gejala berkurang maka pasien sudah tidak ada
ancaman terhadap kesehatannya. Selain itu keaktifan petugas kesehatan juga
mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan. Berdasarkan hasil pengamatan
peneliti saat penelitian berlangsung, pemegang program TB hanya ada 1 orang,
sementara program yang harus dijalankan cukup banyak.
Beban kerja yang tinggi dari petugas TB memengaruhi fokus petugas dan
merupakan salah satu penyebab belum tercapainya target keberhasilan
pengobatan TB. Beban kerja berlebihan dapat menimbulkan kelelahan dan hal
ini akan mempengaruhi produktivitas kerja. Sesuai dengan hasil penelitian
Arisandi (2011), di mana petugas pelayanan TB dengan success rate mempunyai
hubungan dengan koefisien korelasi (ρs) 0,795 yang berarti berhubungan kuat.
Hal ini dikarenakan petugas pelayanan TB selalu lebih aktif dalam memantau
perkembangan pengobatan TB, terutama petugas TB yang melakukan pelacakan
ke tempat tinggalnya bagi pasien yang tidak datang mengambil obat. Namun
berbeda dengan hasil penelitian Ratu (2009), pada puskesmas di Kabupaten
Flores Timur petugas yang memiliki beban kerja tinggi maupun rendah tidak

62
dapat mencapai target penemuan BTA (+). Sehingga tidak ada hubungan antara
beban kerja petugas TB dengan capaian target penemuan BTA (+). Berdasarkan
hasil penelitian Amo-Adjei dan Awusabo-Asare (2013), keberhasilan
pengobatan selain karena kepatuhan pasien dalam berobat juga petugas TB yang
dengan meningkatnya keberhasilan pengobatan menjadikan petugas lebih
berkomitmen pada program TB.

4.2.3 Faktor Pendorong dan Faktor Penghambat


Petugas program mengatakan rutin melaksanakan penyuluhan, namun
penyuluhan bersifat layaknya konseling dan diskusi yang dilakukannya kepada
pasien maupun pendamping pasien di Puskesmas Lengkong. Pasien mengatakan
mendapat informasi tentang TB pertama kali dari dokter saat melakukan
pemeriksaan kesehatan maupun dari petugas program saat di ruang TB.
Beberapa pasien mendapat informasi selain dari petugas program, mereka
mendapatkan penyuluhan dari dokter organik maupun dokter internsip saat
menjalankan kegiatan puskesmas keliling atau penyuluhan di desa wilayah kerja
puskesmas Lengkong. Sementara itu media informasi yang pertama kali pada
hampir seluruh pasien dapatkan mengenai didapat dari petugas kesehatan saat
memeriksakan kesehatannya di fasilitas pelayanan kesehatan.
Keteraturan pengobatan dapat dipengaruhi oleh edukasi yang dilakukan
petugas kesehatan dan dokter, serta peningkatan komunikasi pada saat pasien
berobat. Petugas kesehatan juga diharapkan menghubungi pasien untuk
mengontrol keteraturan berobat. Sesuai dengan hasil penelitian Muarif (2010),
bahwa ada hubungan antara informasi yang didapat pasien dengan kesembuhan
pengobatan TB Paru dan mempunyai risiko sembuh sebesar 0,70 kali dibanding
tidak mendapat informasi tentang TB. Selain itu informasi tentang TB kepada
pasien dapat mengubah mitos ataupun stigma tentang TB di masyarakat yaitu
“TB adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan” menjadi

63
“TB adalah suatu penyakit yang berbahaya namun bisa disembuhkan”. Begitu
juga dengan hasil penelitian Ariyanto (2010), bahwa tingkat pengetahuan rendah
merupakan faktor risiko keterlambatan penemuan kasus TB. Sehingga pola
penyuluhan lebih berkonsentrasi pada pasien dan keluarganya, di mana
kelompok risiko tinggi TB adalah keluarga pasien. Karena berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan WHO (2006), menyatakan bahwa pasien dengan
pengetahuan rendah lebih besar peluangnya untuk terlambat di diagnosis.
Penyuluhan merupakan langkah petugas kesehatan untuk memberikan
pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis paru pada pasien.
Dengan memiliki pengetahuan yang baik, pasien cenderung teratur menjalani
pengobatan. Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk membantu individu,
keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai
kesehatan secara optimal. Pendidikan kesehatan adalah upaya menterjemahkan
sesuatu yang telah diketahui tentang kesehatan kedalam perilaku yang
diinginkan dari perseorangan ataupun masyarakat melalui proses pendidikan.
Tidak semua penderita tuberkulosis paru mengetahui akan penyakit tuberkulosis
secara benar dan pengobatan secara benar. Untuk itulah peran petugas kesehatan
sangat diperlukan agar penderita tuberkulosis dapat memahami dan sekaligus
dapat menjalani proses penyembuhan penyakit tuberkulosis dengan benar
(Notoatmodjo, 2002).
Sebagian besar jarak rumah pasien ke Puskesmas Lengkong lebih dari 1 km.
Alat transportasi yang digunakan oleh hampir semua pasien adalah kendaraan
pribadi, berupa sepeda motor. Sedangkan kendaraan umum yang digunakan
adalah ojek motor. Sehingga dibutuhkan kendaraan dan biaya untuk berobat ke
puskesmas.
Sesuai dengan hasil penelitian Munir (2010), di Rumah Sakit Persahabatan
yang menunjukkan bahwa persentase keteraturan pasien untuk datang berobat
mencapai 78,9%. Kenyataan ini mungkin disebabkan karena letak Rumah Sakit
Persahabatan berada pada tengah kota dan dapat diakses dengan mudah oleh
angkutan umum dan kendaraan pribadi. Hasil penelitian Ariyanto (2010), yang
menyatakan bahwa sisa penghasilan rumah tangga yang rendah dan lokasi

64
tempat tinggal yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan menghambat pasien
TB untuk segera memeriksakan kesehatannya dan mempengaruhi keteraturan
berobat karena harus ada biaya yang dikeluarkan untuk transportasi. Karena
beban biaya transportasi ini tidak hanya pada pra pengobatan, namun akan tetap
melekat pada pasien hingga pengobatan selesai.

4.2.4 Pencatatan dan Pelaporan


Lengkapnya pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Lengkong didukung oleh
sistem pelaporan tuberkulosis yang memakai sistem elektronik dan dilaporkan
secara online bernama SITT (Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis), sehingga
dapat meminimalisir terjadinya laporan hilang, pencatatan ganda serta lebih
efisien & efektif sehingga lebih cepat pula mendapat feedback dari dinas
kesehatan. Pencatatan dan pelaporan yang lengkap dan baik tentunya akan
berhubungan dengan kualitas petugas TB yang baik.
Pengendalian TB di Indonesia melalui Depkes RI telah menetapkan suatu
metode melalui Pedoman Pelaksanaan dan Prosedur Tetap Surveilans TB yaitu
pengelolahan data tuberkulosis dengan sistem elektronik dan jalur online dengan
aplikasi software yang sudah diberikan oleh Program Pengendalian TB Nasional
melalui Dinas Kesehatan Provinsi kepada fasilitas pelayanan kesehatan di
wilayahnya. Keuntungan pemrosesan data dengan menggunakan program
tersebut selain hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat juga menjamin
data memiliki sifat reliabilitas dan availabilitas yang tinggi.
Sesuai dengan hasil penelitian Arisandi (2005), bahwa peralatan non-OAT
(formulir pencatatan seperti TB 01, TB 02 dan sebagainya) berhubungan dengan
kualitas petugas TB dengan koefisien korelasi (ρs) sebesar 0,522 yang artinya
mempunyai kuat hubungan yang cukup. Begitu juga dengan hasil penelitian
Hutahaean (2009), berdasarkan salah satu atribut surveilans yaitu stabilitas, data
pasien TB yang dilaporkan di BP4 Surabaya memiliki stabilitas yang tinggi
karena pelaporannya menggunakan komputer dan aplikasi software yang

65
diberikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, sehingga data memiliki sifat reabilitas
dan availabilitas yang tinggi.

4.2.5 Evaluasi Program


A. Analisis Masalah
Analisis masalah dalam program P2P TB Paru di UPTD Puskesmas dapat
dilihat pada tabel dibawah sebagai berikut:

Tabel 4.11 Hasil Rumusan Masalah (USG)


U S G Score
No. Masalah Priority
Urgency Seriously Gowth UxSxG
Masih ada pasien yang tidak

1. patuh dalam minum obat paru 4 3 3 100 1


secara benar dan teratur
Kurangnya pengetahuan
pasien dan keluarga tentang

2. pencegahan penularan TB 4 3 3 100 2


Paru secara dini pd keluarga
dan lingkungan sekitar
Masih ada ibu-ibu kader
kesehatan yang belum paham
3. 3 4 3 100 3
tentang penyakit TB paru
pada anak (bayi dan balita)

B. Menetapkan Akar Pemecahan Masalah


Akar penyebab masalah dalam evaluasi program ini menggunakan metode
Fishbone Analysis, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Manusia
Metode
1. Ketidak patuhan minum obat anti TB.
1. Kegiatan PMO ditingkatkan
2. Kurangnya pengetahuan pasien dan
2. Kontak serumah ditingkatkan /
keluarga tentang penularan TB paru.
konseling terhadap keluarga
3. Kurangnya pengetahuan kader
3. Penyuluhan terhadap kader
kesehatan tentang deteksi dini kasus Tb
kesehatan ditingkatkan
paru pada anak (bayi dan balita).

66
Masih belum maksimal
dalam penemuan dan
penanganan pada kasus
TB Paru di Puskesmas

Sarana Anggaran Lingkungan


1. Tidak ada keluarga 1 APBD 1. Cuaca
yang jadi PMO 2 Tidak ada swadaya 2. Lokasi/ Jarak

2. Dahak tidak ada. masyarakat tempuh jauh

3. Belum tersusun jadwal


C. Menetapkan Cara-Cara Pemecahan Masalah

Tabel 4.12 Pemecahan Masalah


No. Prioritas Masalah Penyebab Masalah Pemecahan Masalah
Masih ada pasien yang Tidak adanya keluarga Memastikan lagi kepada keluarga
tidak patuh dalam minum yang sungguh - sungguh penderita agar siap dan mampu menjadi
1. obat paru secara benar untuk dijadikan PMO PMO. Dan akan melibatkan kader
dan teratur pada penderita TB paru kesehatan apabila masih tidak patuh dalam
minum obat
Kurangnya pengetahuan Tidak mau diperiksa Akan lebih meningkatkan lagi kegiatan
pasien maupun keluarga secara dini untuk kontak serumah, dan konseling terhadap
tentang cara pencegahan memeriksakan dahaknya keluarga pasien tentang bahaya, tanda dan
2.
penularan TB paru secara ke Puskesmas dengan gejala pada penyakit TB paru. Dan
dini pada keluarga dan alasan tidak ada dahak mengajarkan cara manuver / mengeluarkan
lingkungan sekitar dahak dengan baik dan benar
Masih ada ibu-ibu kader Kurangnya pengetahuan Lebih meningkatkan lagi penyuluhan
kesehatan yang belum kader kesehatan tentang kepada kader kesehatan di setiap
3.
paham tentang penyakit tanda dan gejala pada pertemuan rutinan di masing-masing desa
TB paru pada anak kasus TB anak tentang penyakit TB paru

67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
EVALUASI PROGRAM

5.1 KESIMPULAN
Proses penemuan kasus di Puskesmas kecamatan Lengkong yang efektif
didukung oleh penjaringan suspek yang sesuai gejala utama TB oleh petugas
yang telah mengikuti pelatihan sesuai standart WHO, dan pasien didiagnosis
sesuai alur diagnosa TB Departemen Kesehatan RI. Sesuai dengan capaian
indikator utama TB yaitu angka penemuan kasus (CDR) 72,9% sudah memenuhi
target minimal yaitu ≥ 70%. CDR mencapai target menandakan dengan
penemuan kasus efektif dapat meminimalisir penyebaran penyakit tuberkulosis
di wilayah kerja kecamatan Lengkong.
Pelaksanaan pengobatan di Puskesmas kecamatan Lengkong kurang efektif
dikarenakan walaupun hampir seluruh pasien sudah memiliki PMO namun tetap
saja terkendala baik dari pasien sendiri maupun kurangnya peranan PMO dalam
menjalankan tugasnya mengakibatkan kurangnya kepatuhan dan kesadaran
pasien dalam minum OAT secara teratur. Jadwal kunjungan pasien dalam
pengambilan obat yang hanya dilakukan 1 bulan sekali dan juga mengalami
perubahan jadwal kunjungan pada fase lanjutan menjadi 2 bulan sekali, serta
jadwal konsumsi obat anti tuberkuosis pada fase lanjutan yang tidak setiap hari
seperti fase intensif menyebabkan pasien lupa menelan obat. Selain itu petugas

68
kesehatan kurang fokus, karena pemegang program TB yang hanya 1 orang
memiliki bebean kerja yang cukup tinggi dan padat. Sehingga hal-hal tersebut
diatas berperan mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan / Success Rate
(SR) yang 86% sehingga belum memenuhi target nasional yaitu ≥ 85% yang
juga merupakan indikator utama TB.
Faktor pendorong berupa penyuluhan dirasa masih belum cukup berperan
untuk meningkatkan kessadaran masyarakat baik dalam hal menjalankan upaya
pencegahan maupun dalam menjalankan pengobatan. Salah satu dilakukan oleh
petugas secara rutin saat pasien berobat di puskesmas dan media informasi yang
pertama kali didapat oleh hampir seluruh (81,4%) pasien adalah dari petugas
kesehatan. Sedangkan faktor penghambat yaitu jarak rumah ke Puskesmas
kecamatan Lengkong pada sebagian besar (97,7%) pasien adalah > 1 km dan alat
transportasi yang digunakan oleh hampir semua (93%) pasien adalah kendaraan
pribadi. Sehingga dibutuhkan kendaraan dan biaya untuk menuju ke puskesmas.
Karena beban biaya transportasi tidak hanya pada pra pengobatan, namun akan
tetap melekat pada pasien hingga pengobatan selesai.
Pencatatan dan pelaporan di Puskesmas kecamatan Lengkong sudah cukup
lengkap karena telah menggunakan sistem pelaporan tuberkulosis dengan sistem
elektronik dan dilaporkan secara online bernama SITT (Sistem Informasi
Terpadu Tuberkulosis).
Dari hasil perhitungan indikator dan capaian program, didapatkan kesimpulan
bahwa pada sebagian besar indikator TB di Puskesmas Lengkong telah
mencapai target nasional. Namun pada indikator angka kesembuhan (cure rate)
dan angka keberhasilan pengobatan (success rate) yang merupakan salah satu
indikator utama strategi DOTS masih belum mencapai target nasional.

5.2 SARAN
Pasien diharapkan lebih aktif mencari informasi TB melalui membaca berita
atau buku mengenai TB dan bertanya pada petugas kesehatan, karena
pemahaman tentang pengobatan TB efektif meningkatkan kepatuhan pasien
dalam berobat. Petugas TB sebaiknya mewajibkan setiap pasien memiliki PMO

69
untuk mengawasi secara langsung menelan obat, mengingatkan jadwal menelan
obat dan jadwal berobat ke fasyankes serta memberi motivasi ke pasien.
Disarankan setiap PMO mempunyai catatan atau bukti tertulis mengenai
keteraturan pasien dalam hal minum obat, sehingga petugas program dapat
melakukan evaluasi dengan lebih baik lagi terhadap PMO maupun pasien. Dan
diharapkan pasien ketika berobat membawa bukti kemasan obat yang sudah
diminum beserta sisa obat sehingga dapat mengetahui OAT diminum secara
teratur atau tidak.
Selain itu, komunikasi dan penyampaian informasi antar petugas dan pasien
lebih ditingkatkan lagi terutama untuk pasien yang sedang pada fase lanjutan,
karena merupakan risiko putus berobat semakin tinggi di fase lanjutan sehingga
dapat meningkatkan angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan.
Kemudian diharapkan petugas TB berkoordinasi dengan kader kesehatan di
masing-masing RW sehingga dapat mengingatkan dan memotivasi pasien yang
putus berobat di wilayahnya, atau penjaringan suspek TB oleh kader atau
berbasis masyarakat. Penyuluhan kepada kader kesehatan juga perlu
ditingkatkan bukan hanya dalam hal penjaringan suspek namun juga dalam hal
pemberian edukasi sebagai upaya pencegahan transmisi penyakit tuberkulosis di
lingkungan masyarakat.
Penyuluhan, pemberian edukasi, dan penyampaian informasi khususnya
mengenai tuberkulosis sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama
petugas kesehatan di puskesmas Lengkong, mulai dari dokter, perawat, bidan,
laboran, hingga petugas program TB itu sendiri. Untuk itu perlunya dilakukan
standariasi bersama mengenai penyakit TB sehingga output yang diharapkan
semua petugas kesehatan dapat meningkatkan lagi pelaksanaan pencegahan yang
disampaikan langsung kepada seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah kerja
puskesmas Lengkong. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan upaya
pencegahan penyakit tuberkulosis dan demi mencapai tujuan nasional dalam hal
mengurangi angka kejadian tuberkulosis, karena pada dasarnya upaya preventif
adalah upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menangani kasus penyakit
menular, seperti tuberkulosis. Dan puskesmas sebagai fasilitas kesehatan

70
layanan pertama di wilayah kerjanya sangat berperan penting dalam upaya
preventif (pencegahan) maupun kuratif (pengobatan) penyakit di lingkungan
masyarakat,

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, H., Mukty, H. A. 2010, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga
University Press, Surabaya.
Amin, J. & Bahar, A. 2014, ‘Tuberkulosis Paru’ in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 6th
edition, ed. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M. K., Stiyohadi,
B., Syam, A. F., InternaPublishing, Jakarta Pusat.
Amo-Adjei, Joshua, Awusabo-Asare, Kofi, 2013. Reflections on tuberculosis diagnosis
and treatment outcomes in Ghana. Archives of Public Health, vol. 71; 7–8.
Arisandi, Pipin, 2011. Analisis Kualitas Petugas dalam Pelayanan Tuberkulosis di
Puskesmas Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011. Tesis. Surabaya; Universitas
Airlangga.
Ariyanto, Yunus, 2010. Analisis Faktor Resiko Keterlambatan Penemuan Kasus TB di
Wilayah Kabupaten Jember. Tesis. Surabaya; Universitas Airlangga.
Bhat J, Rao VG, Sharma RK, Muniyandi M, Yadav R, Bhondley MK. Investigation of
the risk factors for pulmonary tuberculosis: A casecontrol study among Saharia
tribe in Gwalior district, Madhya Pradesh, India. Indian J Med Res.
2017;146(1):97–104.
Carroll, K. C., 2013, Mycobacterium tuberculosis: Medical microbiology 25th edition,
pp. 313-320.
Crofton, J. 2002, Tuberkulosis Klinis 2nd edition, Widya Medika, Jakarta Pusat.
Depkes RI, 2009. Pedoman Nasional Penanggungan Tuberkulosis. Cetakan Pertama.
Jakarta; Depkes RI.
Depkes, 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.
Fitriani E. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru (Studi
Kasus di Puskesmas Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 2012). Unnes J
Public Heal. 2013;2 (1).
Guwatudde D, Nakakeeto M, JonesLopez EC, Maganda A, Chiunda A, Mugerwa RD,
et al. Tuberculosis in Household Contacts of Infectious Cases in Kampala,
Uganda. Am J Epidemiol. 2003;158(9):887–98.
Haq, Sami-ul, Hussain, M., Krishin, J., Abbasi, S., 2010. ‘Risk Factors of Tuberculosis
in Children’, accessed 6 August 2022, Available at:
http://apims.net/Volumes/Vol61/13Risk%20Factors%20of%20 Tuberculosis
%20in%20Children.pdf.
Hasanah, Nur Mailatul. 2013. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kegagalan
Konversi BTA (+) pada Akhir Pengobatan Fase Intensif Penderita Tuberkulosis
Paru di Rumah Sakit Paru Surabaya. Skripsi. Surabaya; Universitas Airlangga.

71
Jurcev-Savicevic A, Mulic R, Ban B, Kozul K, Bacun-Ivcek L, Valic J, et al. Risk
factors for pulmonary tuberculosis in Croatia: A matched case-control study.
BMC Public Health. 2013;13(1):1–8.
Jurcev-Savicevic, Anamarija; Mulic, Rosanda; Kozul, Karlo; Ban, Bozica; Bacun-
Ivcek, Ljiljana; Gudelj, Ivan; Popijac-Cesar, Gordana; Marinovic- Dunatov,
Snjezana; Simunovic, Aleksandar, 2013.
Kartasasmita, C. B., 2009, 'Epidemiologi Tuberkulosis', Sari Pediatri, vol. 11, no. 2, p.
124. doi: 10.14238/sp11.2.2009.124-9.
Kemenkes RI. 2011. Stop TB Menuju Akses Universal Strategi Nasional Pengendalian
TB di Indonesia Tahun 2010–2014. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI 2013. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak, Ditjen
PP & PL, Kemenkes RI, Jakarta Pusat.
Kementerian Kesehatan RI 2016, Info Datin: Tuberkulosis, Pusat data dan informasi
Kemenkes RI, Jakarta, pp. 1-12.
Kementerian Kesehatan RI 2016, Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB
Anak, ed. Asik, Hastuti, E. B., Evarini, Y., Kemenkes RI, Jakarta Pusat.
Kementerian Kesehatan RI 2020, Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia 2020-2024, Kemenkes RI, Jakarta Pusat.
Kementerian Kesehatan RI 2022, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama, Kemenkes RI, Jakarta Pusat.
Kementerian Kesehatan RI 2022, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2021, Kemenkes
RI, Jakarta Pusat.
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri | Setia Kurniasari. Media Kesehat
Masy Indones. 2012;11(2):198–204.
Muarif, Syamsul, 2010. Faktor yang Berhubungan Antara Kesembuhan Pengobatan TB
Paru dengan OAT Strategi DOTS di Puskesmas Burneh Bangkalan. Skripsi.
Surabaya; Universitas Airlangga.
Murniasih, E. dan Livana. 2007, ‘Hubungan Pemberian BCG dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru pada Anak Balita di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru
Ambarawa Tahun 2007’, Jurnal Kesehatan Surya Medika, Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi PenelitianKesehatan, Edisi kedua. Jakarta;
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Cetakan pertama.
Jakarta; Rineka Cipta.
Nurwitasari, A., & Wahyuni, C.U. 2015, ‘Pengaruh Status Gizi dan Riwayat Kontak
Terhadap Kejadian Tuberkulosis Anak di Kabupaten Jember’, Jurnal Berkala
Epidemiologi, vol. 3, no. 2, pp. 158-169.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2011, 'Pedoman Penatalaksanaan TB
(Konsensus TB)', Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, pp. 1–55. doi:
10.5860/CHOICE.41-4081.
Price, S. A. & Standridge, M. P. 2006, ‘Pulmonary Tuberculosis’ in Pathophysiology:
Clinical Concepts of Disease Processes 6th edition, ed. Price, S. A., Wilson, L.
M., Elsevier.
Pristiyaningsih, A. 2017. ‘Gambaran Suspek TB Paru di Wilayah UPT Puskesmas
Tunjungan Blora’, Universitas Muhammadiyah Semarang, 2017.
Rahardiyanti, W. 2012, ‘Gambaran Karakteristik Penderita Tuberkulosis Pada Anak
Umur 1-5 Tahun yang Berobat di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Kota
Semarang’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 1.

72
Ratnasari, Nita Yunianti, 2012. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup
pada Penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru
(BP4) Yogyakarta Unit Minggiran. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol. 8: 7–
11.
Ratu, Pain, 2009. Upaya Peningkatan Kinerja Petugas Puskesmas dalam Penemuan
BTA (+) Tuberkulosis Paru di Kabupaten Flores Timur. Skripsi. Surabaya;
Universitas Airlangga.
Rinawati, F.R. 2010, ‘Hubungan Asupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Pada
Penderita TB Primer di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang’,
accessed : 27 August 2022, Available at:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdl-rinawatifa-5720-
3babii.pdf.

Rintiswati N, Mahendradhata Y, Suharna, Susilawati, Purwanta, Subronto Y,


Varkevisser CM, and Van der Werf, MJ. 2009. Journeys to tuberculosis
treatment: a qualitative study of patients, families and communities in
Yogyakarta, Indonesia. BMC Public Health, vol. 8; 8–9.
Sabri, Rika, 2011. The Community Participation in the Case Detection of the Suspect
Pulmonary Tuberculosis in the District of Tanah Datar, West Sumatra,
Indonesia. International Journal of Public Health Research Special Issue, p.
219–22.
Safithri, F. 2011, ‘Diagnosis TB Dewasa dan Anak Berdasarkan ISTC (International
Standard for TB Care)’, Jurnal FK Universitas Muhammadiyah Malang, Vol.7,
No. 15, pp. 57-67. https://doi.org/10.22219/sm.v7i2.4078
Sagbakken M, Frich JC, Bjune G. 2008. Barriers and enablers in the management of
tuberculosis treatment in Addis Ababa, Ethiopia: a qualitative study. BMC
Public Health, vol. 8; 11.
Sari, D.N. 2011, ‘Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru pada Anak yang Sudah di
Imunisasi BCG (Studi di RS Khusus Paru Surabaya Tahun 2010-2011)’,
Universitas Airlangga, Surabaya.
Setiarni SM, Heru Sutomo A, Hariyono W. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan,
Status Ekonomi Dan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru
Pada Orang Dewasa Di Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-tuan Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat. KES MAS. 2011;5(3):162–232
Sinaga, B. Y. M. 2017, ‘Tuberkulosis Paru’ dalam Buku Ajar Respirasi, FK niversitas
Sumatera Utara, USU Press, Medan.
Sokolove, P. E. and Derlet, R. W. 2017, 'Tuberculosis', Rosen’s Emergency Medicine, p.
1682–1692.e2. doi: 10.1016/B978-0-323-35479-0.00127-6.
Suharjana B. 2005. Pelaksanaan Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas
Kabupaten Sleman. First Draft Working Paper Series No. 3. Syafe’i, Hari
Kusnanto, 2006. Kinerja Petugas P2TB Paru Puskesmas (Studi Analisis Faktor
Kinerja Petugas di Kota Jambi). First Draft Working Paper Series No. 19.
Tesema C, Tadesse T, Gebrehiwot M, Tsegaw A, Weldegebreal F. Environmental and
host-related determinants of tuberculosis in Metema district, north-west
Ethiopia. Drug Healthc Patient Saf. 2015;7:87.
Tulu B, Dida N, Kassa Y, Taye B. Smear positive pulmonary tuberculosis and its risk
factors among tuberculosis suspect in South East Ethiopia; a hospital based
cross-sectional study. BMC Res Notes. 2014;7(1)
WHO. 2006. Diagnostic and Treatment Delay in Tuberculosis. Cairo; WHO Regional
Office for the Eastenr Mediteranian.

73
World Health Organization 2012, Tuberculocis and Gender, accessed 12 September
2018, Avalable at:
http://www.who.int/tb/challenges/gender/page-1/en/index.html
World Health Organization 2013, Definitions and reporting framework for tuberculosis,
revision version, accessed 12 August 2022, Available at: www.who.int
World Health Organization 2013, 'The End TB Strategy', Journal of Chemical
Information and Modeling, vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004
World Health Organization 2016, Global tuberculosis report 2016, WHO Press,
Geneva, pp. 30-120, accessed 03 August 2022, Available at: www.who.int
Yustikarini, K. and Sidhartani, M. 2015, 'Faktor Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak
yang Terinfeksi', Sari Pediatri, vol. 17, no. 16, pp. 136–140.

74

Anda mungkin juga menyukai