Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2019). Seseorang akan
terinfeksi dengan hanya menghirup udara yang sudah terkontaminasi oleh bakteri tersebut,
namun tergantung seseorang seperti daya tahan tubuh seseorang, kondisi sirkulasi
udara/ventilasi, frekuensi kontak dengan orang TB (Kemenkes RI, 2020). Seorang pasien
TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat mengeluarkan
percikan dahak yang mengandung Mycobacterium tuberculosis. Orang-orang disekeliling
pasien TB tersebut dapat terpapar dengan cara menghisap percikan dahak. Infeksi terjadi
apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui
mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveolus
(Kemenkes RI, 2016).

TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global yang menjadi
penyebab kematian ke-13 dan pembunuh menular kedua setelah COVID-19 dengan angka
kematian mencapai angka 13 orang per jam. Sepanjang tahun 2020, tercatat 30 negara
telah menyumbang 85% kasus TB baru dan negara Indonesia menduduki peringkat kedua
sebagai negara dengan beban TB tertinggi (WHO, 2021). Indonesia termasuk negara
dengan beban TBC tingi dimana saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia,
dengan insiden sebesar 845.000 atau sebesar 320/100.000 penduduk dengan angka
kematian sebanyak 98.000 atau sebesar 40/100.000 penduduk dan 3,6/100.000 penduduk
TBC-HIV. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kasus TB tertinggi kedua
di Indonesia setalah jawa barat sebanyak 81.753 kasus (Kemenkes RI, 2021).

WHO pada tahun 2018 menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi pertama yang
membahas tentang TBC. Dalam pertemuan tersebut seluruh pimpinan negara yang hadir
menyepakati dan menegaskan kembali target SDG tahun 2030 adalah menurunkan angka
kematian akibat TBC hingga 90% dan menurunkan angka insidensi TBC hingga 80%.
Disamping itu, ditetapkan pula 4 (empat) target global untuk mencapai target SDG, dimana
salah satunya memberikan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) kepada setidaknya 30
juta orang dalam kurun waktu 5 tahun yang sebelumnya dikenal dengan Pengobatan
Pencegahan INH (PP INH). Indonesia turut menyatakan komitmennya untuk memberikan
TPT pada 1,5 juta orang hingga tahun 2022. Hasil modeling yang dilakukan oleh Dye et al
(2013) menunjukkan target End TB Strategy pada tahun 2035 hanya dapat dicapai dengan
mengkombinasikan upaya pengobatan TBC aktif secara efektif dan upaya pencegahan TBC
dengan pemberian TPT pada kasus ILTB. (Kemenkes RI, 2021)
Indonesia telah menerapkan pemberian Pengobatan Pencegahan Isoniazid (PP INH)
kepada dua populasi paling berisiko tinggi, yaitu ODHA dan anak <5 tahun yang memiliki
kontak serumah dengan pasien TBC aktif, yang tidak terbukti sakit TBC. Meskipun demikian,
implementasinya masih sangat jauh dari target yang diharapkan sebesar 40% tahun 2018.
Berdasarkan data Global TB Report tahun 2019, hanya 7.681 ODHA atau sekitar 16% dan
6.080 anak di bawah lima tahun atau sekitar 8,5% yang mendapatkan PP INH.
Permasalahan lain terkait pemberian PP INH adalah tingkat kepatuhan dan penyelesaian
terapi yang masih rendah. Lamanya pemberian obat merupakan salah satu penyebab dari
permasalahan tersebut. (Kemenkes RI, 2021) Namun, pengetahuan yang kurang dari
masyarakat akan terapi pencegahan ini masih sangat kurang, sehingga banyak masyarakat
yang masih lalai. Tingkat pengetahuan yang rendah ini dapat memicu peningkatan risiko dari
infeksi tuberculosis yang terjadi di indonesia. Masyarakat perlu diberikan pemahaman
ataupun edukasi terkait dengan terapi pencegahan tuberculosis, dan apabila masyarakat
memahami pentingnya terapi pencegahan ini, harapannya dapat menekan angka infeksi
tuberculosis secara tidak langsung (Retno, 2023).

Seperti halnya pada daerah Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto merupakan
wilayah yang tepat dalam menjalankan kegiatan penyuluhan TPT ini. Beberapa potensi yang
dimiliki masyarakat antara lain masyarakat usia produktif melebihi separuh dari jumlah
masyarakat yang ada di Kecamatan Mojoroto (UPTD Puskesmas Sukorame, 2021).
Keadaan tersebut sejalan dengan tujuan peneliti untuk melakukan pengabdian masyarakat
pada kelompok usia produktif yang merupakan kelompok usia dengan penderita TB paru
tertinggi di kecamatan sukorame. Salah satu organisasi yang menaungi masyarakat ini dan
bergerak pada kelompok usia produktif adalah perkumpulan kader kesehatan. Kader
kesehatan merupakan dapat digunakan sebagai wadah ataupun role model bagi masyarakat
akan pentingnya kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya
kesehatan atas dasar rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat
(Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2021). Kader kesehatan di Kelurahan Bandar
Lor, dan sekitarnya, pada Kecamatan Mojoroto terbilang cukup aktif dalam melakukan
program – programnya sehingga menjadi potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Terlebih
saat ini Puskesmas Sukorame telah membentuk Kader TB dengan kader posyandu yang
sekaligus jadi satu menjadi kader TB (Infokediri, 2021).

Informasi kesehatan dapat diberikan melalui berbagai macam cara, salah satunya
adalah dengan memberi penyuluhan. Studi yang dilakukan oleh Ernawati dkk, menyebutkan
bahwa Penyuluhan meningkatkan pengetahuan responden tentang cara pencegahan
penularan TB sebesar 85,7%. Selain itu, dapat meningkatkan pengetahuan responden
tentang cara penggunaan masker dan praktek pemakaian masker sebesar 100% (Ernawati
et al., 2017). Adapun kegiatan pelatihan Pengawas Menelan Obat (PMO) juga telah
dilakukan pada penelitian sebelumnya. Hasil dari kegiatan penelitian ini menunjukkan tingkat
pemahaman PMO terhadap penyakit tuberkulosis, peran dan tugas yang harus dijalankan
sebagai seorang PMO sudah baik terlihat adanya peningkatan nilai post-test (Handayani et
al., 2021). Dari kegiatan pengabdian masyarakat/penelitian yang sudah ada sebelumnya,
penyuluhan TB ataupun pelatihan PMO belum pernah dilakukan di Kecamatan Mojoroto
khususnya di Kelurahan Bandar Lor sehingga penulis tertarik untuk melakukan kegiatan
pengabdian masyarakat berupa penyuluhan terapi pencegahan TB di lokasi tersebut.
Kegiatan ini akan dilakukan peneliti dengan memberikan penyuluhan kepada kader
kesehatan setempat dengan harapan kader kesehatan adalah sebagai panutan dalam hal
kesehatan, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai
pencegahan dan pengendalian TB paru di wilayah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini
yaitu bagaimana “Tingkat pengetahuan kader kesehetan di Kelurahan Bandar Lor Terhadap
Terapi Pencegahan Tuberculosis”.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai pencegahan dan


pengendalian TB paru di Wilayah Kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Penulis dapat mempelajari mengenai program pencegahan Tuberkulosis di


Puskesmas Sukorame.

1.4.2 Bagi Institusi Terkait/ Puskesmas

Memberikan informasi terkait pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai


pencegahan dan pengendalian TB paru di Wilayah Kelurahan Bandar Lor
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri
1.4.3 Bagi Masyarakat Sekitar

Untuk meningkatkan perhatian masyarakat melalui kader kesehetan


mengenai pengetahuan pencegahan dan pengendalian TB paru di Wilayah
Kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto kota kediri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis (TB) merupakanb penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basih Tahan Asam (BTA). Sebagian
besai kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan
TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) sehingga seperti pada pleura, kelenjar limfe, tulang, dan
organ ekstra paru lainnya (Permenkes, 2021).

2.2 Etiologi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi Mycobacterium
(TB) antara lain: Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (M.TB) (Permenkes, 2021).
Tuberculosis sendiri merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis yang memiliki
sifat umum yaitu :
 Berbentuk batang dengan Panjang 1 – 10 mikron, lebar 0.2 – 0.6
mikron
 Bersifat tahan asam dan pewarnaan dengan metode Ziehl-Neelsen
 Memerlukan media khusus untuk biakan antaralain Lowenstein-
Jensen dan Ogawa
 Pada pemeriksaan dibawah mikroskop, kuman tampak seperti batang
berwarna merah
 Tahan terhadap suhu rendah, dapat bertahan hidup lama pada suhu
antara 4-700 C
 Sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar ultraviolet
(paparan langsung terhadap sinar UV akan membunuh kuman dalam
bebarapa menit
 Dalam dahak pada suhu antara 30-370 C, kuman akan mati dalam 1
minggu
 Dapat bersifat dorman (tidur) (Liwang et al., 2020).
2.3 Transmisi / Penularan Tuberkulosis
Bakteri yang paling sering ditemukan hingga saat ini yang menular
antar manusia melalui rute udara, dan masih belum ditemukan hewan yang
berperan sebagai agen penularan Mycobacterium tuberculosis (M.TB). Namun
untuk Mycobacterium bovis (M. bovis) dapat bertahan dalam susu sapi yang
terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi
jaringan limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang
erinfeksi tersebut. Angka kejadian infeksi Mycobacterium bovis (M. bovis) pada
manusia sudah mengalami penurunan yang signifikan di negara berkembang,
hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah diberlakukannya strategi
kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak. Infeksi terhadap organisme lain
relative jarang ditemukan.(Perpres 2021, 2021)
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat
udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik
renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan
yang menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau
pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil
berdiameter 1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat
infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya
yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar
dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan replikasi (Permenkes, 2021).
Terdapat 3 faktor yang menentukan transmisi dari bakteri Mycobacterium
tuberculosis:
a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang
dan ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak paling infeksius. Kasus TB ekstra paru
hamper selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru.
Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang
menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melakukan transmisi ke
organisme lain (Permenkes, 2021).
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang
lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan
cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap.
Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan
risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut
berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu.
Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang
menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif
(setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan setengahnya terjadi di
kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua tahun pertama pasca-
terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi
terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia. Orang dengan
kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif dibanding orang
dengan kondisi sistem imun yang normal. 50-60% orang dengan HIV-positif yang
terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi
pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada
kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang (Permenkes, 2021).

2.4 Faktor Resiko


Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, dan terbagi menjadi 2 faktor yaitu :
a. Faktor Penjamu
 Status imunitas
 Usia (yang lebih berisiko adalah kelompok usia < 5 tahub atau lansia)
 Defek genetic seperti defek pada gen natural resistance-associated
membrane protein-1 (NRAMP-1) dan reseptor vitamin D
 Silikosis
 Merokok
b. Faktor Linkungan
 Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (jika da dapat membunuh basili
tuberkel)
 Aliran udara/ventilasi yang buruk
 Durasi pajanan terhadap droplet nukleus dan konsentrasi pajanan yang
tinggi terhadap droplet nukleus (misalnya pada lingkungan dengan
kepadatan penduduk yang tinggi)
 Wilayah tunggal berisiko TB: lepas atau rutan, daerah kumuh, tempat
penampungan pengungsi. (Liwang et al., 2020).
2.5 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Menunut Kemenkes RI (2014), Gejala utama TB Pan adalah batuk
berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.batuk biasanya dikuti gejala tambaban
yaitu dabak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari)
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan. Menunut Tabrani Rab
(2013), Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya.Pada tipe infeksi
yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa gejala
pneumonia. yakni batuk dan panas ringan. Gejala TB, primer dapat juga terdapat
dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat
lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi
primer dapat sembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya
50%. TB postprimer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat dingin pada
malam hari, tempratur subfebris, batuk berdabak lebih dari dua minggu, sesak
napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus,
sehingga menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk
darah yang masif, TB postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga
menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosismiliar, peritonitisdengan
fenoma papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar
limfe dileher. yakni berupa skrofuloderma. Menurut Brunner dan Suddarth (2013),
Tuberkulosis dapat mempunyai manifestasi antipikal pada lansia. seperti perilaku
tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia, dan penurunan
berat badan. Basil TB Par dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan
dorman.
2.6 Tatalaksana
Secara umum, pengobatan TB pada anak dilakukan dalam jangka waktu yang
lama, yaitu antara 6 hingga 12 bulan, tergantung orang yang mengalami
kelainan. Khusus untuk penyakit tuberkulosis paru, masa pengobatan adalah
minimal 6 bulan. Pada prinsipnya, tujuan pengobatan TB pada anak sama seperti
pada TB dewasa, yaitu menyembuhkan pasien TB, mencegah kematian akibat
TB atau efek jangka panjangnya, mencegah TB relaps, mencegah terjadinya
resistensi obat, menurunkan tranmisi TB, mencegah sumber infeksi di masa yang
akan datang.

Untuk pengobatan TB paru pada anak digunakan obat antituberkulosis dalam


bentuk paduan beberapa obat. Obat-obat antituberkulsis yang sering digunakan
adalah: Isoniazid, rifampisin, pirazinamid. Dosis Isoniazid 5-15 mg/kgBB/hari,
dosis maksimal 300 mg/hari dengan efek samping yaitu hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas. Dosis Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal
600 mg/ hari.

Pengobatan TB pada anak dilakukan dalam dua fase (tahap), yaitu fase intensif
dan fase lanjutan. Fase intensif berlangsung dalam 2 bulan dengan kombinasi
obat 2RH (INH, Rifampisin, dan Pirazinamid), sedangkan fase lanjutan dinjutkan
menjadi 4 bulan dengan kombinasi obat 4RH (INH dan Rifampisin). Beberapa hal
penting dalam tatalaksana TB anak adalah obat TB diberikan dalam panduan
obat, tidak boleh diberikan sebagai terapi tunggal (monoterapi), pengobatan
diberikan setiap hari, pemberian gizi yang adekuat, serta mencari penyakit
penyerta lainnya, jika ada maka diberikan tatalaksana secara bersamaan.

Obat TB tersedia dalam 2 bentuk yaitu obat tunggal (masing-masing obat


terpisah) dan obat dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT). Ada beberapa
sedian obat TB dalam bentuk kombinasi, yaitu RHZ (kombinasi INH, Rifampisisn,
dan pirazinamid). Bantuk lainnya adalah RH (kombinasi INH, Rifampisin). Dosis
dalam kombinasi ini sudah tetap, yaitu: INH: 50 mg, Rifampisin 75 mg, dan
pirazinamid 150 mg). Untuk memudahkan penggunaannya, obat dihitung
berdasarkan berat badan.

Pada bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg maka diberikan OAT dalam
bentuk terpisah dan sebaiknya dirujuk ke RS. Apabila terdapat kenaikan berat
badan pada masa menjalani terapi maka diberikan dosis sesuai dengan berat
badan saat ini.

Pasien TB anak harus dipastikan untuk minum obat setiap hari dan teratur oleh
Pengawas Minum Obat. Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak. Pasien
TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu sekali selama fase intensif dan
sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon
pengobatan, kepatuhan, status gizi, dan efek samping yang dikeluhkan selama
masa pengobatan.

Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam


menghilang, batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan berat badan
meningkat. Jika respon pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB tetap
dilanjutkan dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai
resistensi obat, komplikasi, komorbid atau adanya penyakit paru lain.
Pemeriksaan dahak ulang dilakukan pada akhir bulan ke 2, ke 5 dan ke 6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga tidak
diperlukan foto thoraks selama masa pemantauan kecuali pada TB milier, efusi
pleura. TB milier dapat dilakukan foto thoraks ulang setelah 1bulan pengobatan
sedangkan efusi pleura dapat difoto ulang setelah 2-4 minggu setelah
pengobatan.

Kasus MDR-TB yaitu isolat M.tuberculosis yang resisten terhadap dua jenis atau
lebih OAT lini pertama, biasanya adalah isoniazid dan rifampisin. Hal ini
membuat manajemen TB semakin sulit. Adapun penyebab terjadinya resistensi
terhadap OAT adalah pemakaian obat tunggal, penggunaaan obat dengan
metode pencampuran yang tidak benar serta kurangnya kepatuhan
mengonsumsi obat.

Kejadian MDR-TB sulit didiagnosis karena kultur sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilakukan pada tempat-tempat dengan angka prevalensi yang tinggi.
Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah yang banyak di negara di
dunia. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, maka prevalensi MDR-
TB mencapai 5,5%. Namun bila pengendalian TB dilakukan dengan menerapkan
strategi DOTS dan berjalan dengan benar maka prevalensi TB menjadi 1,6%
saja.

2.7 Terapi Pencegahan Tuberculosis


Tujuan pemberian TPT adalah untuk mencegah terjadinya sakit TBC
sehingga dapat menurunkan beban TBC. Saat ini terdapat beberapa pilihan
paduan TPT yang direkomendasikan program penanggulangan tuberkulosis
nasional yaitu: (Kemenkes, 2020)
Tabel 2.1 Pilihan Paduan TPT

Paduan 6H

 Dosis INH usia < 10 tahun 10mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/ hari) dapat
dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
 Dosis INH usia ≥ 10 tahun 5mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari) dapat
dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
 Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.
 Obat di konsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,
siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
 Lama pemberian 6 bulan (1 bulan = 30 hari pengobatan atau diberikan
sebanyak 180 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada
gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan sampai
6 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk penegakan
diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian TPT dan
diberikan OAT.
 Obat tetap diberikan selama 6 bulan walaupun kasus indeks meninggal,
pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi
negatif.
 Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di
sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.
 Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin B6
10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH >200
mg/ hari.
 Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300 mg/hari
dan vitamin B6 25 mg/hari.
 Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
keluarga pasien.
 Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta
(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas
kesehatan setempat). (Kemenkes, 2020)

Paduan 3HP

 Dosis INH dan Rifapentine berdasarkan usia dan berat badan (dapat dilihat
pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB).
 Pemberian dosis 3HP sebagai berikut : (Kemenkes, 2020)

Tabel 2.2 Pemberian Dosis 3HP

 Paduan 3HP hanya dapat digunakan pada usia mulai ≥2 tahun.


 Sebagai catatan, obat ini tidak direkomendasikan penggunaannya pada
anak berusia < 2 tahun dan ibu hamil karena hingga saat ini belum adanya
data atau informasi terkait dengan keamanan serta farmakokinetik dari
rifapentin.
 Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal harus disarankan untuk
menggunakan metode kontrasepsi penghalang tambahan seperti kondom,
kap serviks, contraceptive sponge, diafragma untuk mencegah kehamilan.
 Dosis INH maksimal 900 mg/hari.
 Dosis Rifapentine maksimal 900 mg/hari.
 Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.
 Obat dikonsumsi satu kali seminggu, sebaiknya pada waktu yang sama
(pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan
atau 2 jam setelah makan). Pada anak, rifapentine dapat dikonsumsi
dengan cara dihancurkan dan dicampur dengan sedikit makanan, seperti
bubur, pudding, yogurt, es krim dan makanan lain yang disukai anak, hal ini
untuk mengatasi rasa pahit rifapentine. Namun rifapentine tidak boleh
dikonsumsi bersamaan dengan buah atau makanan yang berbasis buah.
 Lama pemberian 3 bulan (1 bulan = 4 minggu pengobatan atau diberikan
sebanyak 12 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada
gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan sampai
3 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk penegakan
diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian TPT dan
diberikan OAT.
 Obat tetap diberikan selama 3 bulan walaupun kasus indeks meninggal,
pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi
negatif.
 Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di
sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.
 Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin B6
10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH >200
mg/ hari.
 Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300 mg/hari
dan vitamin B6 25 mg/hari untuk dikonsumsi sekali seminggu. Catatan : jika
terdapat tanda neuropati perifer dosis B6 menjadi 50mg/hari untuk
dikonsumsi sekali seminggu.
 3HP dapat diberikan kepada pasien HIV yang menjalani pengobatan ARV
yang umum digunakan kecuali Nevirapine dan golongan protase inhibitor.
ARV seperti efavirenz atau raltegravir termasuk didalamnya dolutegravir
aman digunakan tanpa adanya perubahan dosis (3).
 Dokter maupun perawat dapat memilih metode directly observed treatment
(DOT) atau Self-administered treatment (SAT) dalam memberikan 3HP
kepada pasien. Pemilihan metode bisa disesuaikan dengan konteks lokal,
preferensi pasien dan atau pertimbangan lain seperti risiko berkembang
menjadi sakit TBC yang parah.
 Suplemen (obat herbal) yang belum diatur dosis pemakaiannya harus
dihindari ketika mengkonsumsi 3HP karena efeknya pada rejimen tidak
dapat diantisipasi atau diukur.
 Jika selama menjalani TPT dengan paduan 3HP pasien didiagnosis
malaria. Lakukan pengobatan malaria terlebih dahulu dan lanjutkan setelah
pengobatan malaria selesai dan gejala menghilang.
 Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
keluarga pasien
 Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta
(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas
kesehatan setempat)

Paduan 3HR

 Dosis INH usia < 10 tahun 10mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/ hari) dan
dosis R usia <10 tahun 15kg/mg BB/hari (maksimal 600 mg/hari) dapat
dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
 Dosis INH usia ≥ 10 tahun 5mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari) dan
dosis R usia ≥ 10 tahun 10 mg/kg BB/hari dapat dilihat pada tabel.5
Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
 Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.
 Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,
siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
 Lama pemberian 3 bulan (1 bulan = 28 hari pengobatan atau diberikan
sebanyak 84 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada
gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan sampai
3 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk penegakan
diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian TPT dan
diberikan OAT.
 Obat tetap diberikan selama 3 bulan walaupun kasus indeks meninggal,
pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi
negatif.
 Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di
sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.
 Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin B6
10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH >200
mg/ hari.
 Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300 mg/hari
dan vitamin B6 25 mg/hari untuk dikonsumsi sekali seminggu.
 Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
keluarga pasien.
 Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta
(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas
kesehatan setempat). (Kemenkes, 2020)
2.8 Pemantauan dan Evaluasi TPT
Pemantauan dan Evaluasi TPT saat Kontrol

Pemantauan secara rutin perlu dilakukan selama pasien menjalani TPT.


Pasien harus dipantau sebulan sekali saat kontrol sebagai berikut: (Kemenkes,
2020)

1. Evaluasi munculnya gejala TBC

a. Pada anak usia 0-14 tahun

• ODHA

- Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC, seperti : batuk,


demam, penurunan berat badan, atau berkeringat di malam hari.
- Untuk anak usia < 10 tahun, pantau berat badan anak, apakah
mengalami penurunan > 5% sejak kunjungan terakhir atau kurva
pertumbuhan datar atau berat badan sesuai usia sebesar < -2 Z-Skor.

• Kontak serumah dan/atau kelompok risiko lainnya (Kemenkes, 2020)

- Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC, seperti : batuk,


demam, berat badan menurun atau tidak naik dalam atau terjadi gagal
tumbuh meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi, lesu atau anak
kurang aktif bermain, keringat malam saja bukan merupakan gejala
spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai gejala umum lainnya.
- Pada anak usia dibawah 5 tahun, tanyakan juga apakah anak mengalami
anoreksia, tidak nafsu makan.
• Secara umum, pantau berat badan anak sesuai grafik. Waspadai arah garis
pertumbuhan berat badan pada grafik tumbuh kembang anak dalam KMS (tidak
ada kenaikan, ada penurunan, atau naik tidak sesuai arah garis).

• Secara umum, periksa apakah ada pembesaran kelenjar getah bening di leher,
ketiak dan inguinal, serta gejala TBC di organ lain.

• Jika terdapat gejala TBC seperti di atas, maka dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TBC. Tata laksana selanjutnya tergantung dari hasil
(Kemenkes, 2020)

b. Pemeriksaan pada remaja dan dewasa usia ≥ 15 tahun

• ODHA

Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC, seperti : batuk,


demam, penurunan berat badan, atau berkeringat di malam hari.

• Kontak serumah dan/atau kelompok risiko lainnya

Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC, seperti : batuk,


demam, keringat di malam hari, hemoptisis, penurunan berat badan, nyeri dada,
sesak napas, atau kelelahan.

• Jika terdapat gejala TBC seperti di atas, maka dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TBC. Tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil.
(Kemenkes, 2020)

2. Efek samping

- Pemantauan efek samping TPT dilakukan pada semua individu yang


mendapatkan TPT
- Konseling kepatuhan untuk memastikan kepatuhan minum obat jika
diperlukan untuk memantau efek samping: (Kemenkes, 2020)
o Tanyakan apakah ada keluhan terkait efek samping obat seperti mual
muntah, tampak kuning, dan gatal gatal, dll.
o Periksa apakah ada tanda tanda efek samping seperti ikterik,
pembesaran hepar, ruam di kulit. Berikut ini adalah gambaran efek
samping obat secara lengkap dan tatalaksananya berdasarkan jenis
obat yang diberikan.

Tabel 2.3 Efek Samping Obat dan Tatalaksana


3. Lakukan penilaian terhadap kepatuhan dan keteraturan pasien
minum obat. Jika terdapat ketidakteraturan minum obat, harus dicari
permasalahannya dan didiskusikan pemecahannya. Selain itu untuk memastikan
keteraturan minum obat, tenaga terlatih dapat memberikan Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE) kepada pasien dan anggota keluarga terdekat yang berperan
sebagai pengawas minum obat. Konseling kepatuhan dianggap penting karena
orang dengan ILTB pada umumnya tidak bergejala walaupun sebetulnya telah
terinfeksi kuman TBC. Obat paduan TPT diberikan untuk mencegah sakit TBC.
Informasi ini penting disampaikan agar orang dengan ILTB mau
menyelesasaikan pengobatan dan tidak menolak/ menghentikan TPT sebelum
selesai. Keteraturan minum obat dipantau melalui formulir TBC.01P. (Kemenkes,
2020)
Hasil Evaluasi Bulanan

- Bila saat kontrol tidak ada masalah, maka pemberian TPT dapat
dilanjutkan untuk bulan berikutnya. (Kemenkes, 2020)

Tabel 2.4. Tatalaksana TPT yang terlewat


Hasil Akhir Pemberian TPT

Berikut kategori hasil akhir dari pemberian TPT (Kemenkes, 2020)


a. Pengobatan lengkap
Dewasa maupun anak yang telah menyelesaikan minimal 80% rangkaian
pengobatan pencegahan sesuai dengan durasi dari paduan TPT yang dipilih:

Tabel 2.5 Proses Pemberian TPT

b. Putus berobat
Jika dewasa maupun anak tidak minum obat TPT selama 1 bulan atau
lebih secara berturut-turut.
c. Gagal selama pemberian TPT
Dewasa maupun anak yang sedang dalam pemberian TPT menjadi sakit
TBC.
d. Meninggal
Dewasa maupun anak yang meninggal sebelum menyelesaikan TPT
dengan sebab apapun.
e. Tidak dievaluasi
Dewasa maupun anak yang tidak diketahui hasil akhir terapi, termasuk
dalam kriteria ini adalah pasien pindah ke fasyankes lain dimana hasil terapi tidak
diinformasikan ke fasyankes pengirim.
Interaksi Obat (Terutama untuk ODHA)

Rifapentine (RPT) harian dan rifampisin (R) harian merupakan


penginduksi kuat enzim sitokrom P450, oleh karena itu dapat mengganggu
penyerapan obat-obatan yang metabolismenya menggunakan enzim sitokrom
P450. Obat-obatan ini termasuk ART dan juga banyak obat lain seperti
antikonvulsan, antiaritmia, kina, antikoagulan oral, antijamur, kontrasepsi oral
atau injeksi, kortikosteroid, siklosporin, fluoroquinolon dan antimikroba lainnya,
agen hipoglikemik oral, metadon, dan antiseptiklik. Induksi dan peningkatan
aktivitas enzim sitokorom P450 ini mengakibatkan terjadinya percepatan
eliminasi obat dalam tubuh, sehingga kadar obat-obatan ini dalam tubuh cepat
berkurang, dan karenanya dapat menjadi tidak efektif. Oleh karena itu jika obat-
obatan tersebut diberikan bersamaan dengan regimen yang mengandung
rifampisin atau rifapentine, maka obat-obatan tersebut perlu dihindari atau
dilakukan penyesuaian dosis. (Kemenkes, 2020)
Regimen yang mengandung rifampisin harus diresepkan dengan hati-hati
untuk ODHA yang memakai ART karena potensi terjadinya interaksi antar obat.
Regimen ini tidak boleh diberikan kepada orang yang menerima protease
inhibitor atau regimen berbasis nevirapine, karena dapat menurunkan
konsentrasi obat tersebut. ART yang tergolong protease inhibitor antara lain:
atazanavir, darunavir, fosamprenavir, lopinavir, saquinavir, ritonavir dan
tipranavir. (Kemenkes, 2020)
Tidak diperlukan penyesuaian dosis ketika rifampisin diberikan bersama
dengan efavirenz. Namun, dosis dolutegravir perlu ditingkatkan menjadi 50 mg
dua kali sehari bila diberikan bersama dengan rifampisin, dosis ini ditoleransi
dengan baik dan memberikan efikasi yang setara dalam penekanan jumlah virus
dan pemulihan jumlah CD4 dibandingkan dengan efavirenz.(Kemenkes, 2020)
Penelitian menunjukkan tidak adanya interaksi obat yang signifikan antara
rifapentine dengan rejimen ARV berbasis NNRTI efavirenz dan INSTI raltegravir.
Tidak ada interaksi obat yang signifikan antara rifapentine dan regimen ART
yang mengandung abacavir (ABC), emtricitabine (FTC), tenofovir-disoproxil
fumarate (TDF), lamivudine (3TC), or zidovudine (AZT). Efavirenz atau regimen
berbasis raltegravir yang digunakan dengan kombinasi dengan ABC/3TC atau
TDF/FTC dapat digunakan bersamaan dengan 3HP. Dalam penelitian awal, 3HP
yang diberikan bersamaan dengan dolutegravir (DTG) menyebabkan efek
samping serius pada 2 dari 4 subyek penelitian yang sehat. Pada fase penelitian
berikutnya, dilakukan pemberian 3HP dan DTG pada pasien dewasa dengan
HIV. Penelitian ini melaporkan toleransi obat yang baik, penekanan viral load,
tidak terjadinya efek samping berat (adverse event Grade> 3) yang terkait
dengan HP, dan tidak menunjukkan bahwa rifapentine mengurangi tingkat
dolutegravir sehingga tidak memerlukan penyesuaian dosis.(Kemenkes, 2020)
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah:

Penderita Tuberkulosis di
wilayah sekitar Puskesmas
Sukorame

MelaksanakanTerapi
Masyarakat yang
Pencegahan
kontak dengan
Tuberculosis?
pasien/berisiko
TIDAK YA

Resiko tinggi Penurunan Kejadian


Peningkatan Kejadian Infeksi Tuberculosis
Infeksi Tuberculosis

Rendah/ Tingkat Pengetahuan Tinggi/


Tidak tahu TPT Tahu

Secara Langsung

Secara Tidak Langsung


BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk menilai pengetahuan kader


kesehatan TBC terkait terapi pencegahan tuberculosis. Studi ini terdiri dari dua tahap,
yaitu studi pendahuluan dan studi intervensi. Pada studi pendahuluan dilakukan secara
kualitatif dari narasumber ataupun data yang tersedia untuk mengetahui karakteristik
demografis dan identifikasi masalah terkait tuberculosis di wilayah sekitar puskesmas
sukorame. Pada studi intervensi dilakukan promosi kesehatan sesuai dengan masalah
yang telah diidentifikasi serta digunakan metode one group pretest-posttest.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah kader kesehatan TBC Kelurahan Bandar Lor,
Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Sampel pada penelitian ini adalah yang memenuhi
kriteria inklusi, yaitu warga Kelurahan Bandar Lor (sebagai kader kesehetan TBC) yang
berkenan mengikuti penelitian, sedangkan warga yang tidak berkenan atau berhalangan
datang pada hari penyuluhan maka tidak kami ikut sertakan dalam studi intervensi.
Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Slovin.

N
n=
1+ N e 2
52
= 2
1+ 52.0.05
= 46,02
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah kader kesehatan TBC Kelurahan Bandar Lor
e = Error margin (0.05)

4.3 Waktu dan Tempat Penelitian


Studi pendahuluan dilakukan pada 1 bulan sebelum studi intervensi, 07 Januari
2023 bertempat di Puskesmas Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri dengan
pemberian informasi oleh narasumber (penanggung jawab TBC Puskesmas Sukorame
dan Dokter pendamping Internship) disertai dengan pemaparan data TBC di Kelurahan
Bandar Lor. Studi intervensi dilakukan pada hari Selasa, 21 Februari 2023 berlokasi di
ruang pertemuan Puskesmas Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
4.4 Teknis dan Instrumen
Pada studi pendahuluan dilakukan pemaparan informasi terkait tuberculosis
di wilayah sekitar Puskesmas Sukorame dan data insidensi infeksi TBC yang
tersedia, serta konsultasi terkait instrumen berupa soal (pre dan post) memiliki
prinsip menilai knowledge, attitude, practice (KAP) terhadap terapi pencegahan
tuberculosis. Soal terdiri dari 10, yaitu berisikan identitas responden, aspek
pengetahuan, aspek sikap, dan aspek perilaku yang disertakan pada Lampiran 1.
Soal yang akan diberikan ini merujuk pada “PETUNJUK TEKNIS PENANGANAN
INFEKSI LATEN TUBERCULOSIS KEMENTRIAN KESEHATAN RI 2020”.
Dengan didampingi tenaga kesehatan dari poli KIA Puskesmas Sukorame,
penelitian ini dilakukan dengan mendatangkan setiap kader kesehatan TBC untuk
diarahkan menjawab mendengarkan pemaparan materi penyuluhan, dengan
selanjutnya mengikuti studi intervensi (mengerjakan soal pre dan post) yang
bersamaan dengan pertemuan rutin para kader. Selain itu, hasil pengerjaan soal ini
kemudian dilakukan analisis data.
Intervensi dilakukan secara langsung berupa promosi kesehatan dan
bersamaan dengan kegiatan pertemuan kader kesehatan rutin. Materi promosi
kesehatan ditentukan berdasarkan prioritas masalah yang telah dianalisis, dimana
secara umum permasalahan dapat diatasi dengan melakukan edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan responden. Penyuluhan ini dilakukan secara focused
group discussion. Kegiatan diawali dengan pembukaan dan pengerjaan pre-test,
kemudian penyuluhan dibuka dengan pemaparan materi oleh dokter internship
(peneliti) sekaligus pembagian materi menggunakan media leaflet seputar terapi
pencegahan tuberculosis yang dijelaskan oleh penyuluh. Kegiatan diakhiri dengan
post-test lalu sesi tanya jawab sekaligus acara penutupan, dan dilanjutkan dengan
pertemuan rutin kader kesehatan Kelurahan Bandar Lor.

4.4.1 Rencana Evaluasi


 Evaluasi Proses
- Kesediaan responden mengikuti penyuluhan.
- Kesesuaian dengan rencana, yaitu penyuluhan dilakukan secara focused
group discussion.
- Ketersediaan alat dan bahan penyuluhan, yaitu laptop untuk
menampilkan media presentasi berupa power point (pptx.), leaflet, serta
kertas berisi pre-test dan post-test.
- Kesesuaian alur kegiatan dengan rencana, dimana setiap responden
mengikuti semua bagian kegiatan sesuai alur yang telah direncanakan.
 Evaluasi Impact
Evaluasi yang menilai adanya dampak jangka pendek dan efektivitas
kegiatan, yaitu dengan menilai adanya peningkatan pengetahuan responden
mengenai hipertensi melalui perbedaan nilai pre-test dan post-test. Kedua tes
ini memiliki pertanyaan yang sama, terdiri dari 10 pertanyaan mengenai
materi intervensi. Jawaban benar pada setiap pertanyaan bernilai 10,
sehingga nilai maksimal adalah 100. Target yang diharapkan adalah minimal
80% responden mendapatkan nilai post-test ≥70.

4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Kriteria inklusi pada penelitian yaitu:
 Kader Kesehatan Kelurahan Bandar Lor (diutamakan kader kesehatan TBC)
 Bersedia menjadi responden serta mampu dan mau bekerja sama selama kegiatan
penelitian dilaksanakan
 Tinggal di daerah Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri dengan
terdapat penderita tuberkulosis di wilayahnya
Kriteria eksklusi pada penelitian
 Kader kesehatan yang tidak bersedia menjadi responden.

4.6 Variabel Penelitian


 Variabel independen: Tingkat pengetahuan dan perilaku kader kesehatan terhadap
pencegahan penularan tuberkulosis sebelum dilakukan penyuluhan.
 Variabel dependen: Tingkat pengetahuan dan perilaku kader kesehatan terhadap
pencegahan penularan tuberkulosis setelah dilakukan penyuluhan.

4.7 Pengambilan dan Analisis Data


Pengambilan data responden dilakukan dengan pembagian soal pre dan post
berbahasa Indonesia untuk menganalisis tingkat pengetahuan dan perilaku kader
kesehatan terhadap terapi pencegahan penularan tuberkulosis. Data hasil pengisian
kuesioner direkapitulasi dalam format Microsoft Excel Worksheet (.xlsx) yang
selanjutnya akan dilakukan analisis data deskriptif. Data disajikan dalam bentuk
frekuensi dan proporsi untuk variabel nominal(paham atau tidak paham) dan
ordinal(jawaban benar < 70 dan > 70).
4.8 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Skala


1 Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah salah Nominal
satu penyakit paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis (MTB)
2 Terapi Pencegahan Terapi yang digunakan untuk Nominal
Tuberculosis (TPT) mencegah terjadinya sakit TBC
sehingga dapat menurunkan
beban TBC
3 Tingkat Pengetahuan Domain yang sangat penting Nominal/Ordinal
untuk terbentuknya tindakan
seseorang yang dapat terbentuk
dari pengalaman, pembelajaran
dan penelitian yang telah
dilakukan
4 Kader Kesehatan Sumber daya manusia yang Ordinal
memiliki potensi untuk membantu
petugas kesehatan dalam
pemberdayaan masyarakat untuk
mendukung terwujudnya
masyarakat yang memiliki
perilaku hidup sehat
4.9 Alur/ Protokol Penelitian

Persiapan Penelitian (Studi Pendahuluan)

Pemilihan Sampel

Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi

Memenuhi Kriteria (dilakukan Studi


Intervensi)

Pengolahan Data dan Hasil


BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2023 Jan 2]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

Alzayer Z, Al Nasser Y. Primary Lung Tuberculosis. [Updated 2023 Jan 2]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567737/

Bloom, B. R., Atun, R., Cohen, T., Dye, C., Fraser, H., Gomez, G. B., Knight, G., Murray,
M., Nardell, E., Rubin, E., Salomon, J., Vassall, A., Volchenkov, G., White, R.,
Wilson, D., & Yadav, P. (2017). Tuberculosis. In K. K. Holmes (Eds.) et. al., Major
Infectious Diseases. (3rd ed.). The International Bank for Reconstruction and
Development / The World Bank.

European Centre for Disease Prevention and Control. Review of reviews and guidelines
on target groups, diagnosis, treatment and programmatic issues for implementation
of latent tuberculosis management [Internet]. Stockholm: European Centre for
Disease Prevention and Control; 2018. Available from: https://www.
ecdc.europa.eu/en/publications-data/review-reviews-and-guidelines- target-groups-
diagnosis-treatment-and-programmatic

Jilani TN, Avula A, Zafar Gondal A, et al. Active Tuberculosis. [Updated 2023 Jan 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513246/

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan


Tatalaksana TB Anak [Internet]. Jakarta: Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kementerian Kesehatan RI; 2016.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten


Tuberkulosis (Iltb). Jakarta: Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan RI; 2020.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan no.67 Tahun


2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2016.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis 2016-2021. Jakarta: Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kementerian Kesehatan RI; 2016. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Factsheet: Akselerasi Menuju Eliminasi TB Di Indonesia Tahun 2030.
Jakarta: Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI; 2020.

Perpres 2021. (2021). Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang


Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesiandonesia, 67(069394), 107.

Rutherford ME, Hill PC, Triasih R, Sinfield R, van Crevel R, Graham SM. Preventive
therapy in children exposed to Mycobacterium tuberculosis: problems and solutions.
Trop Med Int Heal. 2012;17(10):1264–73.

Savic R, Weiner M, MacKenzie W, Engle M, Whitworth W, Johnson J. Defining the


optimal dose of rifapentine for pulmonary tuberculosis: Exposure-response relations
from two phase II clinical trials. Clin Pharmacol Ther. 2017;102(2):321–31.

Sterling, T. R., Njie, G., Zenner, D., Cohn, D. L., Reves, R., Ahmed, A., Menzies, D.,
Horsburgh, C. R., Crane, C. M., Burgos, M., LoBue, P., Winston, C. A., & Belknap,
R. (2020). Guidelines for the Treatment of Latent Tuberculosis Infection:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and
CDC, 2020. American Journal of Transplantation, 20(4), 1196–1206.
https://doi.org/10.1111/ajt.15841

Weiner M, Savic RM, Kenzie WRM, Wing D, Peloquin CA, M E. Rifapentine


Pharmacokinetics and Tolerability in Children and Adults Treated Once Weekly With
Rifapentine and Isoniazid for Latent Tuberculosis Infection. J Pediatric Infect Dis
Soc. 2014;3(2):132–45.

WHO. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health Organization; 2018.

WHO. Latent TB Infection: Updated and consolidated guidelines for programmatic


management [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2018. Available from:
https://www.who.int/tb/publications/ 2018/latent-tuberculosis-infection/en/

WHO-SEARO. South-East Asia Regional Action Plan on Programmatic Management of


Latent Tuberculosis Infection. New Delhi: WHO Regional Office for South-East Asia;
2019.

Anda mungkin juga menyukai