PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2019). Seseorang akan
terinfeksi dengan hanya menghirup udara yang sudah terkontaminasi oleh bakteri tersebut,
namun tergantung seseorang seperti daya tahan tubuh seseorang, kondisi sirkulasi
udara/ventilasi, frekuensi kontak dengan orang TB (Kemenkes RI, 2020). Seorang pasien
TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat mengeluarkan
percikan dahak yang mengandung Mycobacterium tuberculosis. Orang-orang disekeliling
pasien TB tersebut dapat terpapar dengan cara menghisap percikan dahak. Infeksi terjadi
apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui
mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveolus
(Kemenkes RI, 2016).
TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global yang menjadi
penyebab kematian ke-13 dan pembunuh menular kedua setelah COVID-19 dengan angka
kematian mencapai angka 13 orang per jam. Sepanjang tahun 2020, tercatat 30 negara
telah menyumbang 85% kasus TB baru dan negara Indonesia menduduki peringkat kedua
sebagai negara dengan beban TB tertinggi (WHO, 2021). Indonesia termasuk negara
dengan beban TBC tingi dimana saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia,
dengan insiden sebesar 845.000 atau sebesar 320/100.000 penduduk dengan angka
kematian sebanyak 98.000 atau sebesar 40/100.000 penduduk dan 3,6/100.000 penduduk
TBC-HIV. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kasus TB tertinggi kedua
di Indonesia setalah jawa barat sebanyak 81.753 kasus (Kemenkes RI, 2021).
WHO pada tahun 2018 menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi pertama yang
membahas tentang TBC. Dalam pertemuan tersebut seluruh pimpinan negara yang hadir
menyepakati dan menegaskan kembali target SDG tahun 2030 adalah menurunkan angka
kematian akibat TBC hingga 90% dan menurunkan angka insidensi TBC hingga 80%.
Disamping itu, ditetapkan pula 4 (empat) target global untuk mencapai target SDG, dimana
salah satunya memberikan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) kepada setidaknya 30
juta orang dalam kurun waktu 5 tahun yang sebelumnya dikenal dengan Pengobatan
Pencegahan INH (PP INH). Indonesia turut menyatakan komitmennya untuk memberikan
TPT pada 1,5 juta orang hingga tahun 2022. Hasil modeling yang dilakukan oleh Dye et al
(2013) menunjukkan target End TB Strategy pada tahun 2035 hanya dapat dicapai dengan
mengkombinasikan upaya pengobatan TBC aktif secara efektif dan upaya pencegahan TBC
dengan pemberian TPT pada kasus ILTB. (Kemenkes RI, 2021)
Indonesia telah menerapkan pemberian Pengobatan Pencegahan Isoniazid (PP INH)
kepada dua populasi paling berisiko tinggi, yaitu ODHA dan anak <5 tahun yang memiliki
kontak serumah dengan pasien TBC aktif, yang tidak terbukti sakit TBC. Meskipun demikian,
implementasinya masih sangat jauh dari target yang diharapkan sebesar 40% tahun 2018.
Berdasarkan data Global TB Report tahun 2019, hanya 7.681 ODHA atau sekitar 16% dan
6.080 anak di bawah lima tahun atau sekitar 8,5% yang mendapatkan PP INH.
Permasalahan lain terkait pemberian PP INH adalah tingkat kepatuhan dan penyelesaian
terapi yang masih rendah. Lamanya pemberian obat merupakan salah satu penyebab dari
permasalahan tersebut. (Kemenkes RI, 2021) Namun, pengetahuan yang kurang dari
masyarakat akan terapi pencegahan ini masih sangat kurang, sehingga banyak masyarakat
yang masih lalai. Tingkat pengetahuan yang rendah ini dapat memicu peningkatan risiko dari
infeksi tuberculosis yang terjadi di indonesia. Masyarakat perlu diberikan pemahaman
ataupun edukasi terkait dengan terapi pencegahan tuberculosis, dan apabila masyarakat
memahami pentingnya terapi pencegahan ini, harapannya dapat menekan angka infeksi
tuberculosis secara tidak langsung (Retno, 2023).
Seperti halnya pada daerah Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto merupakan
wilayah yang tepat dalam menjalankan kegiatan penyuluhan TPT ini. Beberapa potensi yang
dimiliki masyarakat antara lain masyarakat usia produktif melebihi separuh dari jumlah
masyarakat yang ada di Kecamatan Mojoroto (UPTD Puskesmas Sukorame, 2021).
Keadaan tersebut sejalan dengan tujuan peneliti untuk melakukan pengabdian masyarakat
pada kelompok usia produktif yang merupakan kelompok usia dengan penderita TB paru
tertinggi di kecamatan sukorame. Salah satu organisasi yang menaungi masyarakat ini dan
bergerak pada kelompok usia produktif adalah perkumpulan kader kesehatan. Kader
kesehatan merupakan dapat digunakan sebagai wadah ataupun role model bagi masyarakat
akan pentingnya kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya
kesehatan atas dasar rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat
(Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2021). Kader kesehatan di Kelurahan Bandar
Lor, dan sekitarnya, pada Kecamatan Mojoroto terbilang cukup aktif dalam melakukan
program – programnya sehingga menjadi potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Terlebih
saat ini Puskesmas Sukorame telah membentuk Kader TB dengan kader posyandu yang
sekaligus jadi satu menjadi kader TB (Infokediri, 2021).
Informasi kesehatan dapat diberikan melalui berbagai macam cara, salah satunya
adalah dengan memberi penyuluhan. Studi yang dilakukan oleh Ernawati dkk, menyebutkan
bahwa Penyuluhan meningkatkan pengetahuan responden tentang cara pencegahan
penularan TB sebesar 85,7%. Selain itu, dapat meningkatkan pengetahuan responden
tentang cara penggunaan masker dan praktek pemakaian masker sebesar 100% (Ernawati
et al., 2017). Adapun kegiatan pelatihan Pengawas Menelan Obat (PMO) juga telah
dilakukan pada penelitian sebelumnya. Hasil dari kegiatan penelitian ini menunjukkan tingkat
pemahaman PMO terhadap penyakit tuberkulosis, peran dan tugas yang harus dijalankan
sebagai seorang PMO sudah baik terlihat adanya peningkatan nilai post-test (Handayani et
al., 2021). Dari kegiatan pengabdian masyarakat/penelitian yang sudah ada sebelumnya,
penyuluhan TB ataupun pelatihan PMO belum pernah dilakukan di Kecamatan Mojoroto
khususnya di Kelurahan Bandar Lor sehingga penulis tertarik untuk melakukan kegiatan
pengabdian masyarakat berupa penyuluhan terapi pencegahan TB di lokasi tersebut.
Kegiatan ini akan dilakukan peneliti dengan memberikan penyuluhan kepada kader
kesehatan setempat dengan harapan kader kesehatan adalah sebagai panutan dalam hal
kesehatan, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai
pencegahan dan pengendalian TB paru di wilayah tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini
yaitu bagaimana “Tingkat pengetahuan kader kesehetan di Kelurahan Bandar Lor Terhadap
Terapi Pencegahan Tuberculosis”.
2.2 Etiologi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi Mycobacterium
(TB) antara lain: Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (M.TB) (Permenkes, 2021).
Tuberculosis sendiri merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis yang memiliki
sifat umum yaitu :
Berbentuk batang dengan Panjang 1 – 10 mikron, lebar 0.2 – 0.6
mikron
Bersifat tahan asam dan pewarnaan dengan metode Ziehl-Neelsen
Memerlukan media khusus untuk biakan antaralain Lowenstein-
Jensen dan Ogawa
Pada pemeriksaan dibawah mikroskop, kuman tampak seperti batang
berwarna merah
Tahan terhadap suhu rendah, dapat bertahan hidup lama pada suhu
antara 4-700 C
Sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar ultraviolet
(paparan langsung terhadap sinar UV akan membunuh kuman dalam
bebarapa menit
Dalam dahak pada suhu antara 30-370 C, kuman akan mati dalam 1
minggu
Dapat bersifat dorman (tidur) (Liwang et al., 2020).
2.3 Transmisi / Penularan Tuberkulosis
Bakteri yang paling sering ditemukan hingga saat ini yang menular
antar manusia melalui rute udara, dan masih belum ditemukan hewan yang
berperan sebagai agen penularan Mycobacterium tuberculosis (M.TB). Namun
untuk Mycobacterium bovis (M. bovis) dapat bertahan dalam susu sapi yang
terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi
jaringan limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang
erinfeksi tersebut. Angka kejadian infeksi Mycobacterium bovis (M. bovis) pada
manusia sudah mengalami penurunan yang signifikan di negara berkembang,
hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah diberlakukannya strategi
kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak. Infeksi terhadap organisme lain
relative jarang ditemukan.(Perpres 2021, 2021)
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat
udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik
renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan
yang menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau
pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil
berdiameter 1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat
infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya
yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar
dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan replikasi (Permenkes, 2021).
Terdapat 3 faktor yang menentukan transmisi dari bakteri Mycobacterium
tuberculosis:
a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang
dan ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak paling infeksius. Kasus TB ekstra paru
hamper selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru.
Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang
menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melakukan transmisi ke
organisme lain (Permenkes, 2021).
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang
lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan
cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap.
Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan
risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut
berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu.
Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang
menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif
(setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan setengahnya terjadi di
kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua tahun pertama pasca-
terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi
terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia. Orang dengan
kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif dibanding orang
dengan kondisi sistem imun yang normal. 50-60% orang dengan HIV-positif yang
terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi
pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada
kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang (Permenkes, 2021).
Pengobatan TB pada anak dilakukan dalam dua fase (tahap), yaitu fase intensif
dan fase lanjutan. Fase intensif berlangsung dalam 2 bulan dengan kombinasi
obat 2RH (INH, Rifampisin, dan Pirazinamid), sedangkan fase lanjutan dinjutkan
menjadi 4 bulan dengan kombinasi obat 4RH (INH dan Rifampisin). Beberapa hal
penting dalam tatalaksana TB anak adalah obat TB diberikan dalam panduan
obat, tidak boleh diberikan sebagai terapi tunggal (monoterapi), pengobatan
diberikan setiap hari, pemberian gizi yang adekuat, serta mencari penyakit
penyerta lainnya, jika ada maka diberikan tatalaksana secara bersamaan.
Pada bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg maka diberikan OAT dalam
bentuk terpisah dan sebaiknya dirujuk ke RS. Apabila terdapat kenaikan berat
badan pada masa menjalani terapi maka diberikan dosis sesuai dengan berat
badan saat ini.
Pasien TB anak harus dipastikan untuk minum obat setiap hari dan teratur oleh
Pengawas Minum Obat. Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak. Pasien
TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu sekali selama fase intensif dan
sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon
pengobatan, kepatuhan, status gizi, dan efek samping yang dikeluhkan selama
masa pengobatan.
Kasus MDR-TB yaitu isolat M.tuberculosis yang resisten terhadap dua jenis atau
lebih OAT lini pertama, biasanya adalah isoniazid dan rifampisin. Hal ini
membuat manajemen TB semakin sulit. Adapun penyebab terjadinya resistensi
terhadap OAT adalah pemakaian obat tunggal, penggunaaan obat dengan
metode pencampuran yang tidak benar serta kurangnya kepatuhan
mengonsumsi obat.
Kejadian MDR-TB sulit didiagnosis karena kultur sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilakukan pada tempat-tempat dengan angka prevalensi yang tinggi.
Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah yang banyak di negara di
dunia. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, maka prevalensi MDR-
TB mencapai 5,5%. Namun bila pengendalian TB dilakukan dengan menerapkan
strategi DOTS dan berjalan dengan benar maka prevalensi TB menjadi 1,6%
saja.
Paduan 6H
Dosis INH usia < 10 tahun 10mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/ hari) dapat
dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
Dosis INH usia ≥ 10 tahun 5mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari) dapat
dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.
Obat di konsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,
siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
Lama pemberian 6 bulan (1 bulan = 30 hari pengobatan atau diberikan
sebanyak 180 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada
gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan sampai
6 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk penegakan
diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian TPT dan
diberikan OAT.
Obat tetap diberikan selama 6 bulan walaupun kasus indeks meninggal,
pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi
negatif.
Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di
sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.
Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin B6
10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH >200
mg/ hari.
Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300 mg/hari
dan vitamin B6 25 mg/hari.
Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
keluarga pasien.
Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta
(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas
kesehatan setempat). (Kemenkes, 2020)
Paduan 3HP
Dosis INH dan Rifapentine berdasarkan usia dan berat badan (dapat dilihat
pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB).
Pemberian dosis 3HP sebagai berikut : (Kemenkes, 2020)
Paduan 3HR
Dosis INH usia < 10 tahun 10mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/ hari) dan
dosis R usia <10 tahun 15kg/mg BB/hari (maksimal 600 mg/hari) dapat
dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
Dosis INH usia ≥ 10 tahun 5mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari) dan
dosis R usia ≥ 10 tahun 10 mg/kg BB/hari dapat dilihat pada tabel.5
Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.
Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.
Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,
siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
Lama pemberian 3 bulan (1 bulan = 28 hari pengobatan atau diberikan
sebanyak 84 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada
gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan sampai
3 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk penegakan
diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian TPT dan
diberikan OAT.
Obat tetap diberikan selama 3 bulan walaupun kasus indeks meninggal,
pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi
negatif.
Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di
sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.
Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin B6
10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH >200
mg/ hari.
Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300 mg/hari
dan vitamin B6 25 mg/hari untuk dikonsumsi sekali seminggu.
Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
keluarga pasien.
Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta
(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas
kesehatan setempat). (Kemenkes, 2020)
2.8 Pemantauan dan Evaluasi TPT
Pemantauan dan Evaluasi TPT saat Kontrol
• ODHA
• Secara umum, periksa apakah ada pembesaran kelenjar getah bening di leher,
ketiak dan inguinal, serta gejala TBC di organ lain.
• Jika terdapat gejala TBC seperti di atas, maka dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TBC. Tata laksana selanjutnya tergantung dari hasil
(Kemenkes, 2020)
• ODHA
• Jika terdapat gejala TBC seperti di atas, maka dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TBC. Tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil.
(Kemenkes, 2020)
2. Efek samping
- Bila saat kontrol tidak ada masalah, maka pemberian TPT dapat
dilanjutkan untuk bulan berikutnya. (Kemenkes, 2020)
b. Putus berobat
Jika dewasa maupun anak tidak minum obat TPT selama 1 bulan atau
lebih secara berturut-turut.
c. Gagal selama pemberian TPT
Dewasa maupun anak yang sedang dalam pemberian TPT menjadi sakit
TBC.
d. Meninggal
Dewasa maupun anak yang meninggal sebelum menyelesaikan TPT
dengan sebab apapun.
e. Tidak dievaluasi
Dewasa maupun anak yang tidak diketahui hasil akhir terapi, termasuk
dalam kriteria ini adalah pasien pindah ke fasyankes lain dimana hasil terapi tidak
diinformasikan ke fasyankes pengirim.
Interaksi Obat (Terutama untuk ODHA)
Penderita Tuberkulosis di
wilayah sekitar Puskesmas
Sukorame
MelaksanakanTerapi
Masyarakat yang
Pencegahan
kontak dengan
Tuberculosis?
pasien/berisiko
TIDAK YA
Secara Langsung
N
n=
1+ N e 2
52
= 2
1+ 52.0.05
= 46,02
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah kader kesehatan TBC Kelurahan Bandar Lor
e = Error margin (0.05)
Pemilihan Sampel
Alzayer Z, Al Nasser Y. Primary Lung Tuberculosis. [Updated 2023 Jan 2]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567737/
Bloom, B. R., Atun, R., Cohen, T., Dye, C., Fraser, H., Gomez, G. B., Knight, G., Murray,
M., Nardell, E., Rubin, E., Salomon, J., Vassall, A., Volchenkov, G., White, R.,
Wilson, D., & Yadav, P. (2017). Tuberculosis. In K. K. Holmes (Eds.) et. al., Major
Infectious Diseases. (3rd ed.). The International Bank for Reconstruction and
Development / The World Bank.
European Centre for Disease Prevention and Control. Review of reviews and guidelines
on target groups, diagnosis, treatment and programmatic issues for implementation
of latent tuberculosis management [Internet]. Stockholm: European Centre for
Disease Prevention and Control; 2018. Available from: https://www.
ecdc.europa.eu/en/publications-data/review-reviews-and-guidelines- target-groups-
diagnosis-treatment-and-programmatic
Jilani TN, Avula A, Zafar Gondal A, et al. Active Tuberculosis. [Updated 2023 Jan 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513246/
Rutherford ME, Hill PC, Triasih R, Sinfield R, van Crevel R, Graham SM. Preventive
therapy in children exposed to Mycobacterium tuberculosis: problems and solutions.
Trop Med Int Heal. 2012;17(10):1264–73.
Sterling, T. R., Njie, G., Zenner, D., Cohn, D. L., Reves, R., Ahmed, A., Menzies, D.,
Horsburgh, C. R., Crane, C. M., Burgos, M., LoBue, P., Winston, C. A., & Belknap,
R. (2020). Guidelines for the Treatment of Latent Tuberculosis Infection:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and
CDC, 2020. American Journal of Transplantation, 20(4), 1196–1206.
https://doi.org/10.1111/ajt.15841
WHO. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health Organization; 2018.