Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan kebutuhan setiap orang, oleh karena itu
kesehatan seharusnya tercermin dalam kegiatan setiap insani. Untuk
mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan, yang optimal,
diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan,
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (UU
Kes.No. 36 Th 2009). Salah satu upaya pencegahan penyakit yang dimaksud
adalah pencegahan penyakit Tuberkulosis (TBC), disebabkan karena penyakit
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini
menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama pada masyarakat yang
tergolong ekonomi lemah.
Sebagian besar penderita Tuberculosis (TBC) berasal dari kelompok
masyarakat yang berpenghasilan rendah.Perbaikan dengan semua faktor
selain pengobatan juga perilaku hidup, lingkungan sosial, ekonomi, dan
pendidikan. Faktor lingkungan dan pengetahuan penderita yang rendah
sehingga kesadaran untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan
menjadi rendah (UU Kes.No. 36 Th2009)
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu bakteri tahan asam (Astuti, H dan
Rahmat, A, 2010).Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang parenkim paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh
lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer &
Bare, 2002).Tuberculosis merupakan penyakit menular yang berbahaya.
Setiap penderita tuberculosis dapat menularkan penyakitnya pada orang lain
yang berada disekelilingnya dan atau yang berhubungan erat dengan
penderita (Amiruddin, Jaorana, dkk: 2009).
Melihat kompleknya permasalahan yang melatar belakangi infeksi
TBC, menyebabkan penanganan infeksi tidak dapat berdiri sendiri dengan
hanya pemberian obat anti tuberculosis, mengingat sifat dari kuman
tuberculosis tersebut sangat sulit di nonaktifkan sehingga tidak bisa
sepenuhnya mengharapkan perbaikan kondisi dan kesembuhan penderita jika
hanya menghandalkan pemberian obat tanpa ditunjang dengan upaya
menangani latar belakang masalah yang mendasari timbulnya infeksi TBC.
Permasalahan tersebut harus dijalankan secara bersamaan dengan penerapan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).(UU Kes.No. 36 Th 2009).
Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report 2017, TB merupakan
salah satu penyakit dari 10 penyebab kematian di dunia. TB juga merupakan
penyebab utama kematian yang berkaitan dengan antimicrobial resestence
dan pembunuh utama penderita HIV. Pada tahun 2016, diperkirakan terdapat
10,4 juta kasus baru (insidensi) TB di seluruh dunia, diantaranya 6,2 juta laki-
laki, 3,2 juta wanita, dan 1 juta adalah anak-anak. Dan diantara penderita TB
tersebut, 10% diantaranya merupakan penderita HIV positif. 7 negara yang
menyumbang 64% kasus baru TB di dunia adalah India, Indonesia, Tiongkok,
Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Pada tahun yang sama, 1,7
juta orang meninggal karena TB termasuk didalamnya 0,4 juta merupakan
penderita HIV. Namun secara global, tingkat kematian penderita TB
mengalami penurunan sebanyak 37% dari tahun 2000-2016 (WHO, 2017).
Laporan WHO tahun 2016, jumlah kematian akibat TB/HIV
diperkirakan mencapai 13.000 kasus atau 5 per 100.000 penduduk, dan
32.000 kasus diantaranya merupakan kasus TB paru yang resisten terhadap
obat. Jumlah kasus baru TB/HIV mecapai 1,02 juta orang (391 per 100.00
penduduk) diantaranya 323.000 wanita (294.000 usia produktif / 15 tahun
keatas dan 28.000 usia anak-anak / dibawah umur 3-14 tahun) dan 698.000
laki-laki (666.000 usia produktif / 15 tahun keatas dan 32.000 usia anak-
anak / dibawah umur 14 tahun). Insiden MDR/RR-TB (MDR yaitu penderita
TB yang resisten terhadap rifampicin dan isoniazid, RR yaitu penderita TB
yang resisten pada rifampicin) diperkirakan sebesar 32.000 atau 12 per
100.000 penduduk. 4.330 penderita TB paru diketahui mengidap HIV positif
dan 1.228 diantaranya sedang menjalani terapi antiretroviral.
Di Provinsi NTB, pada tahun 2016 dilaporkan bahwa jumlah seluruh
pasien TB (semua tipe) mencapai 5.828 orang, dan sebanyak 3.860orang
diantaranya merupakan kasus baru BTA+. Sedangkan untuk tahun tahun
2017, jumlah seluruh pasien TB adalah 6.644 orang, dengan 4.149orang
merupakan kasus TB baru BTA+. Apabila dibandingkan dengan tahun 2016,
maka kasus TB pada tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 14,04%.
Distribusi jumlahpenderita di setiap kabupaten/kota dapat dilihat pada
lampiran profil kesehatan tabel 7.
Data suspek TB tahun 2017 juga mengalami peningkatan dibandingkan
tahun 2016. Jika pada tahun 2016suspek TB yang diperiksa sebanyak 33.628
orang, maka tahun 2017sebanyak 4.2130 orang atau meningkat 25,29%. Hal
yang patut dicermati dari peningkatan suspek TB yang diperiksa tahun 2017
adalah berimbas pada terjadinya peningkatan pasien TB BTA positif
dibandingkan tahun 2016, yakni dari 3.860orang menjadi 4.149 orang.
Namun jika di lihat dari proporsi penemuan BTA+ terhadap suspek, pada
tahun 2017 menurun menjadi 9,85% jika di bandingkan dengan tahun 2016
sebesar 11,48%. (Profil Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2017)
Melihat kompeknya permasalahan yang melatar belakangi infeksi TBC,
menyebabkan penanganan infeksi tidak dapat berdiri sendiri dengan hanya
pemberian obat anti tuberculosis, mengingat sifat dari kuman tuberculosis
tersebut sangat sulit di nonaktifkan sehingga tidak bias sepenuhnya
mengharapkan perbaikan kondisi dan kesembuhan penderita jika hanya
mengandalkan pemberian obat tanpa ditunjang dengan upaya menangani latar
belakang masalah yang mendasari timbulnya infeksi TBC. Permasalahan
tersebut harus dijalankan secara bersamaan dengan penerapan perilaku hidup
bersih sehat (PHBS).(UU Kes.No.36 Th 2009).
Dari 2 tahun yang lalu Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara
melaporkan adanya peningkatan angka kejadian penyakit Tuberkulosis.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok
Utara untuk mengatasi masalah penyakit TBC di daerah tersebut antara lain:
penyuluhan kelompok-kelompok masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis,
penemuan dan pengambilan dahak secara langsung terhadap masyarakat
selama 2 hari untuk 3 kali pengambilan dahak yang dikenal dengan CBA
(Community Base Approch). Dengan penerapan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) diharapkan masyarakat pada umumnya dan keluarga penderita
dapat menciptakan lingkungan menjadi lebih sehat, mampu mencegah dan
menanggulangi penyebarluasan penyakit Tuberkulosis , memanfaatkan secara
optimal pelayanan kesehatan dalam penanggulangan penyakit Tuberkulosis
(TBC).
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti, didapatkan
bahwa angka penemuan kasus TB paru BTA+ baru untuk tahun 2017 dan
2018 di Wilayah Kerja RSUD Tanjung Lombok Utara. Data RSUD Tanjung
Lombok Utara menunjukkan bahwa jumlah penderita TB paru BTA+ baru
pada tahun 2017 tercatat 132 orang, tahun 2018 terjadi peningkatan, jumlah
penderita TB paru BTA+ baru sebanyak 136 orang. Data tersebut
menunjukan tingkat penderita TB dari tahun 2017 sampai tahun 2018
mengalami peningkatan.Oleh karena itu, jumlah penderita TB di wilayah
kerja RSUD Tanjung Lombok Utara saat ini membutuhkan penanganan dan
perhatian yang lebih serius.
Dari pengamatan di RSUD Tanjung diperoleh dari 5 pasien TB Paru
yang di wawancarai, 3 orang mengatakan sebelum sakit merupakan pecandu
rokok, 1 orang mengatakan tidak mencuci tangan dengan sabun, 1 orang
mengatakan jarang mengkonsumsi buah dan sayur. Mereka tidak
menggunakan air bersih, dengan kondisi rumah kurang pencahayaan
disebabkan ventilasi rumah hanya ada di depan rumah, kebersihan rumah
tidak terjaga, dari ke 5 pasien TB tersebut, rata-rata mereka mempunyai
keluarga yang juga mengidap penyakit TB Paru dimana mereka sering
berinteraksi dengannya.
Berdasarkan masalah tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Gambaran Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)
Penderita Tuberkulosis Paru BTA + Diwilayah kerja RSUD Tanjung Lombok
Utara Tahun 2019 ?”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
(PHBS) Penderita Tuberkulosis Paru BTA + diwilayah kerja RSUD Tanjung
Lombok Utara Tahun 2019 ?

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja RSUD Tanjung Lombok Utara
Tahun 2019?

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat khususnya gambaran perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) Penderita Tuberkulosis Paru pada Wilayah Kerja RSUD
Tanjung Lombok Utara Tahun 2019.
1.4.2 Bagi Instansi Rumah Sakit
Membantu RSUD Tanjung Lombok Utara, untuk menentukan
intervensi dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit Tuberkulosis.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai pedoman dalam penelitian yang akan dilakukan dan
hasilnya nanti diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
pengembangan ilmu pengetahuan guna meningkatkan mutu pendidikan
selanjutnya.
1.4.4 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian serta dapat mengetahui gambaran perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja RSUD
Tanjung Lombok Utara Tahun 2019.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep PHBS


2.1.1 Pengertian PHBS
PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar/
menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat, dengan membuka jalan komunikasi, memberikan informasi
dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
perilaku, melalui pendekatan pimpinan (advokasi), bina suasana (social
support) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sehingga dapat
menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara
dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Dinkes, 2016).
2.1.2 Tujuan PHBS
Tujuan PHBS adalah : meningkatkan rumah tangga sehat
diseluruh masyarakat Indonesia, meningkatkan pengetahuan, kesadaran
dan kemauan masyarakat agar hidup sehat, meningkatkan peran aktif
masyarakat termasuk swasta dan dunia usaha, dalam upaya
mewujudkan derajat hidup yang optimal (Dinkes, 2016).
2.1.3 Manfaat PHBS
1. Bagi rumah tangga: semua anggota keluarga menjadi sehat dan
tidak mudah sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas dan pengeluaran
biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga,
pendidikan dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga.
2. Bagi masyarakat: masyarakat mampu mengupayakan lingkungan
yang sehat, masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi
masalah-masalah kesehatan dan masyarakat mampu
mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat
(UBKM) seperti Posyandu, tabungan ibu bersalin, arisan jamban,
ambulan desa dan lain-lain (Depkes RI, 2008).
2.1.4 Sasaran PHBS
Tatanan Rumah Tangga, sasaran PHBS di rumah tangga adalah
seluruh anggota keluarga secara keseluruhan dan terbagi dalam:
1. Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga yang
akan dirubah perilakunya atau anggota keluarga yang bermasalah
(individu dalam keluarga yang bermasalah).
2. Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi
individu dalam keluarga yang bermasalah misalnya, kepala
keluarga, ibu, orang tua, tokoh keluarga, kader tokoh agama, tokoh
masyarakat, petugas kesehatan, dan lintas sektor terkait, PKK3.
3. Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi unsur
pembantu dalam menunjang atau mendukung pendanaan, kebijakan,
dan kegiatan untuk tercapainya pelaksanaan PHBS misalnya, kepala
desa, lurah, camat, kepala Puskesmas, guru, tokoh masyarakat dan
lain-lain.
2.1.5 Indikator PHBS di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya memberdayakan anggota
rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku
hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan
dimasyarakat. Indikator PHBS di Rumah Tangga (Dinkes, 2016):
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
Adalah persalinan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan (bidan, dokter, dan tenaga para medis lainnya).
Meningkatnya proporsi ibu bersalin dengan bantuan tenaga
kesehatan yang terlatih, adalah langkah awal terpenting untuk
mengurangi kematian ibu dan kematian neonatal dini.
Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menggunakan
peralatan yang aman, bersih dan steril sehingga mencegah
terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya.
2. Memberi ASI Eksklusif
Adalah bayi pada usia 0 – 6 bulan hanya diberi ASI sejak lahir
sampai usia 6 bulan, tidak diberi makanan tambahan dan minuman
lain kecuali pemberian air putih untuk minum obat saat bayi sakit.
Asi banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat
gizi dalam ASI sesuai kebutuhan bayi untuk pertumbuhan dan
perkembangan fisik serta kecerdasan. ASI mengandung zat
kekebalan sehingga mampu melindungi bayi dari alergi.
Berdasarkan waktu produksinya, ASI digolongkan dalam tiga
kelompok yakni:
a. Kolostrum
Kolostrum (susu awal) adalah ASI yang keluar pada hari
pertama. Setelah kelahiran bayi, berwarna kekuningan dan lebih
kental, karena mengandung banyak vitamin A, protein dan zat
kekebalan yang penting untuk melindungi bayi dari penyakit
infeksi. Kolostrum mengandung vitamin A, E dan K serta
beberapa mineral seperti natrium dan Zn.
b. ASI transisi/ peralihan
ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum
sampai sebelum menjadi matang. Biasanya diproduksi pada hari
k2 4 – 10 setelah kelahiran. Kandungan volume protein akam
semakin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin
tinggi dibandingkan pada kolosrum, juga volume akan makin
meningkat.
c. Asi matang/ matur
ASI matang adalah ASI yang dikeluarkan pada sekitar
pada hari ke -14 dan seterusnya komposisi relatif tetap.
Merupakan suatu cairan berwarna putih kekuningan yang
diakibatkan warna dari gambar c-casenat riboflavin, dan karoten
yang terdapat di dalamnya. Pada ibu yang sehat dimana
produksi ASI cukup. ASI ini merupakan makanan satu-satunya
yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai berumur 6 bulan.
Selama 6 bulan pertama, volume ASI sekurang – kurangnya
sekitar 500-700 ml/hari, bulan kedua sekitar 400 – 600 ml/hari
setelah bayi berusia satu tahun.
Keuntungan menyusui bagi bayi:
1) Ditinjau dari aspek gizi
Kandungan gizi lengkap dan sesuai dengan kebutuhan
bayi untuk tumbuh kembang yang optimal. Mudah diserap
dan dicerna.
2) Ditinjau dari aspek imunologi
Bayi tidak sering sakit. ASI mengandung kekebalan
antara lain imunitas seluler yaitu leukosit sekitar 4000/ml,
misal IgA- enzim pada ASI yang mempunyai efek
antibakteri misalnya lisozim, katalase dan peroksidase.
3) Ditinjau dari aspek psikologis
Bayi lebih sehat, lincah dan tidak cengang. Pemberian
ASI mendekatkan hubungan ibu dan bayi menimbulkan
perasaan aman bagi bayi, yang penting untuk
mengembangkan dasar kepercayaan dengan mulai
mempercayai orang lain /ibu dan akhirnya mempunyai
kepercayaan pada diri sendiri.
3. Menimbang bayi dan balita setiap bulan
Adalah menimbang bayi dan balita mulai dari umur 0 sampai
59 bulan setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS)
berturut-turut dalam 3 bulan terakhir. Penimbangan balita
dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan balita setiap bulan dan
mengetahui apakah balita berada pada kondisi gizi kurang atau gizi
buruk. Setelah balita ditimbang di buku KIA atau KMS maka akan
terlihat berat badannya naik atau tidak turun. Naik apabila garis
pertumbuhannya naik mengikuti salah satu pita warna di atasnya.
Tidak naik bila garis pertumbuhannya mendatar dan garis
pertumbuhannya naik tetapi warna yang lebih muda. Bila balita
mengalami gizi kurang maka akan dijumpai tanda – tanda:
a. Berat badan tidak naik selama 3 bulan berturut – turut, badannya
kurus
b. Mudah sakit
c. Tampak lesu dan lemah
d. Mudah menagis dan rewel
4. Mencuci tangan dengan air dan sabun
Adalah tindakan membersihkan tangan dengan air bersih yang
mengalir dan memakai sabun untuk membersihkan kotoran/
membunuh kuman serta mencegah penularan penyakit. Misalnya:
mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan minuman,
mencuci tangan sesudah buang air besar dengan sabun, karena
sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman, karena
tanpa sabun kotoran dan kuman akan masih tertinggal.
Waktu yang tepat untuk mencuci tangan :
a. Setia kali tangan kita kotor (setelah memegang uang, binatang
dan berkebun)
b. Setelah buang air besar
c. Setelah membersihkan kotoran bayi
d. Sebelum memegang makanan
e. Sebelum makan dan menyuapi makanan
f. Sebelum menyusui bayi
g. Sebelum menyuapi anak
h. Setelah bersin, batuk dan membuang ingus
Cara mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut:
a. Cuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun
khusus anti bakteri
b. Gosok tangan setidaknya selama 15 – 20 detik
c. Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela –
sela jari dan kuku
d. Basuh tangan sampai bersih dengan air mengalir
e. Keringkan dengan handuk bersih dan alat pengering
f. Gunakan tisu atau handuk sebagai penghalang ketika mematikan
kran air.
5. Menggunakan air bersih
Air adalah sangat peting bagi kehidupan manusia. Manusia
akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada
kekurangan makanan. Di dalam tubuh manusia itu sendiri sebagian
besar terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65%, dan untuk bayi
sekitar 80%. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara
lain untuk minum, masak, mandi, mencuci (bermacam-macam
cucian ).
Air yang kita pergunakan sehari-hari untuk minum, memasak,
mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur,
mencuci pakaian, membersihkan bahan makanan haruslah bersih
agar tidak terkena penyakit atau terhindar dari penyakit. Air bersih
secara fisik dapat dibedakan melalui indra kita, antara lain (dapat
dilihat, dirasa, dicium dan diraba). Meski terlihat bersih, air belum
tentu bebas kuman penyakit. Kuman penyakit dalam air mati pada
suhu 100 derajat C (saat mendidih).
Syarat-syarat air minum yang sehat agar air inum itu tidak
menyebabkan penyakit, maka air itu hendaknya memenuhi
persyaratan kesehatan sebagai berikut:
a. Syarat fisik
Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah
bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu udara
di luarnya, cara mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik
ini tidak sukar.
b. Syarat bakteriologis
Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari
segala bakteri. Terutama bakteri pathogen. Cara ini untuk
mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri
pathogen, adalah dengan memeriksa sampel air tersebut. Dan
bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 4 bakteri
E. Coli maka air tersebut sudahmemenuhi kesehatan
c. Syarat kimia
Air minum yang sehat harus mengandung zat – zat tertentu
dalam jumlah yang tertentu pula.
6. Menggunakan jamban sehat
Adalah rumah tangga atau keluarga yang menggunakan
jamban/ WC dengan tangki septic atau lubang penampung kotoran
sebagai pembuangan akhir. Misalnya buang air besar di jamban dan
membuang tinja bayi secara benar. Penggunaan jamban akan
bermanfaat untuk menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak
berbau. Jamban mencegah pecemaran sumber air yang ada
disekitarnya. Jamban yang sehat juga memiliki syarat seperti tidak
mencemari sumber air, tidak berbau, mudah dibersihkan dan
penerangan dan ventilasi yang cukup.
7. Rumah bebas jentik
Adalah melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk dirumah
satu kali seminggu agar tidak terdapat jentik nyamuk pada tempat-
tempat penampungan air, vas bunga, pot bunga/ alas pot bunga,
wadah penampungan air dispenser, wadah pembuangan air kulkas
dan barang-barang bekas/ tempat-tempat yang bisa menampung air.
Pemberantasan sarang nyamuk dengan cara 3M (menguras.
Menutup dan mengubur plus menghindari gigitan nyamuk)
8. Makan buah dan sayur setiap hari
Pilihan buah dan sayur yang bebas peptisida dan zat berbahaya
lainnya. Biasanya cirri-ciri sayur dan buah yang baik ada sedikit
lubang bekas dimakan ulat dan tetap segar. Adalah anggota keluarga
umur 10 tahun keatas yang mengkonsumsi minimal 3 porsi buah
dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya setiap hari.

9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari


Adalah anggota rumah tangga umur 10 tahun keatas
melakukan aktivitas fisik 30 menit setiap hari misalnya jalan, lari,
senam dan sebagainya. Aktifitas fisik dilakukan secara teratur
paling sedikit 30 menit dalam sehari, sehingga dapat menyehatkan
jantung, paru-paru alat tubuh lainnya. Lakukan aktifitas fisik
sebelum makan atau 2 jam sesudah makan.
10. Tidak merokok di dalam rumah
Adalah anggota rumah tangga tidak merokok di dalam rumah.
Tidak boleh merokok di dalam rumah dimaksudkan agar tidak
menjadikan anggota keluarga lainnya sebagai perokok pasif yang
berbahaya bagi kesehatan. Karena dalam satu batang rokok yang
dihisap akan dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya
seperti nikotin, tar dan carbonmonoksida (CO).

2.2 Konsep Tuberkulosis (TBC)


2.2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar
disebabkan oleh kuman Micobacterium tuberkulosis. Kuman tersebut
biasanya masuk kedalam tubuh manusia melaui udara yang dihirup
kedalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke
bagian tubuh lain memalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung
ke bagian-bagian tubuh lainnya (Notoatmodjo, 2011).
TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru
yang seara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat
menular dari penderita kepada orang lain. Tuberkulosis paru merupakan
penyakitinfeksi yang menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh
Micobacterium tuberkulosis (Brunner & Suddart, 2013).

2.2.2 Etiologi Tuberkulosis


Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Micobacterium
tuberkulosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran
panjang 1-4µm dan tebal 0,3-0,6µm. Sebagian besar kuman berupa
lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang
menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki
kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi
predileksi pada penyakit tuberkulosis (Somantri, 2009)
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dpat terinfeksi
Micobacterium tuberkulosis paru adalah: (Astuti, 2010: 127)
1. Usia
Usia bayi kemungkinan besar mudah terinfeksi karena imaturitas
imun tubuh bayi. Pada masa puber dan remaja terjadi masa
pertumbuhan cepat namun kemungkinan mengalami infeksi cukup
tinggi karena asupan nutrisi tidak adekuat.
2. Jenis kelamin
Angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan dimasa akhir anak-anak dan remaja.
3. Herediter
Daya tahan tubuh seseorang diturunkan secara genetik.
4. Keadaan stres
Situasi yang penuh stres menyebabkan kurangnya asupan nutrisi
sehingga daya tahan tubuh menurun.
5. Anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid
Kemungkinan mudah terinfeksi karena daya tahan tubuh anak
ditekan oleh obat kortikosteroid.
2.2.3 Tanda dan Gejala Tuberkulosis
Pada stadium awal penyakit TB paru tidak menunjukan tanda dan
gejala yang spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan
menambah jaringan parunya mengalami kerusakan, sehingga dapat
meningkatkan produksi sputum yang ditunjukan dengan seringnya klien
batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak (Manurunget al,
2008: 106).
Selain itu, klien dapat mersa letih, lemah, berkeringat pada
malam hari dan mengalami penurunan berat badan yang berarti. Secara
rinci tanda dan gejala TB paru ini dapat dibagi atas 2 (dua) golongan
yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik.
1. Gejala sistemik
a. Demam
Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru,
biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan
keringat mirip demam influeza yang segera mereda. Tergantung
dari daya tahan tubuh dan virulensi kuman, serangan demam
yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan.
Demam sepeti influenza ini hilang timbul dan semakin lama
makin panjang masa serangannya, sedangkan masa bebas
serangan akan makin pendek. Demam dapat mencapai suhu
tinggi yaitu 40°-41°C.
b. Malaise
Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat
terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan
berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan
pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.
2. Gejala respiratorik
a. Batuk
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan
bronkhus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkhus;
selanjutnya akibat adanya peradangan pada ronkhus, batuk akan
menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang
produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid
atau purulen.
b. Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah.
Beratdan ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari
besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak
selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas,
juga dapat terjadi katena ulserasi pada mukosa bronkhus. Batuk
darah inilah yang paling sering membawa penderita berobat ke
dokter.
c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan
kerusakan paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini
tidak pernah ditemukan.
d. Nyeri dada
Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di
pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.
2.2.4 Patofisiologi Tuberkulosis
Seseorang dicurigai menghirup basil Micobacterium tuberkulosis
akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas ke
alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan
berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe
dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteksserebri) dan
area lain dari paru-paru (lobus atas).
Sistem kekebalan tubuh merespon dengan melakukan reaksi
inflamsi. Neutrofil dan magrofag memfagositosis (menelan) bakteri.
Limfosit yang spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan inin
mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alfeoli dan terjadilah
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10
minggu setelah terpapar.
Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil
yang hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh magrofag yang
membentuk dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa
jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut Ghon
Tubercle.Materi yang terdiri atas magrofag dan bakteri menjadi
nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan
berbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi
non-aktif.
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal,
karena respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat
juga timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang
tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan
akhirnya meanjadi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses
penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan
tuberkel, dan seterusnya. Peneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya.
Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau
berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar
getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang
mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang dikelilingi sel
epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons berbeda dan
akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
(Somantri, 2009: 67).

2.2.5 Patogenesis Tuberkulosis


1. Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bekteri TB dari penderita
yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila
bakteri TB terhirup dari udara melaui saluran pernapasan dan
mencapaialveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka
bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh magrofag yang berada
di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap oleh magrofag
yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak
dalamtubuhmagrofak yang lemah itu dan menghancurkan magrofag.
Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit
(magrofag) dari aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum
menghancurkan bakteri, magrofag harus diaktfkan terlebih dahulu
oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T (Muttaqin, 2012)
Tidak semua magrofag pada granula TB mempunyai fungsi
yang sama. Ada magrofag yang berfungsi sebagai pembunuh,
pencerna bakteri, dan perangsang limfosit. Beberapa
magrofagmenghasilkan protease, etastae, kolagenase, serta colony
stimulating factor untuk merangsang produksi monosit dan
granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar melalui
saluran pernapsan ke kelenjar getah bening regional (hilus)
membentuk epiteloid granuloma. Granuloma mengalami nekrosis
sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitivitas seluler (delayed
hipersensitivitas) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4
minggu dan akan terlihat pada tes tubetkulin. Hipersensitivitas
seluler terlihat sebagai akumulasi lokal dari limfosit dan magrofag.
Bakteri TB yang berada di alveoli akan membentuk fokus
lokal (fokus ghon), sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan
limfadenopati bertempat di hilus (kolpleks primer ranks) dan
disebut juga TB primer. Fokus primer paru biasanya bersifat
unilateral dengan subpleura terletak diatas atau dibawah fisura
interlobaris, atau dibagian basal dari lobus inferior. Bakteri
menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau aliran darah dan
akan tersangkut pada bagian organ. Jadi, TB primer merupakan
infeksi yang bersifat sistemis.
2. Tuberkulosis sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil
bakteri TB masih hidup dalam keadaan dorman dijaringan parut.
Sebanyak 90% diantaranya tidak mengalami kekambuhan.
Reaktivasi penyakit TB (TB pascaprimer/Tb sekunder) terjadi bila
daya tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganasan, silokosis,
diabetes militus, dan AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe
regional dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas dan
terlokalisasi. Reaksi imunoligis terjadi dengan adanya pembentukan
granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi,
nekrosis jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa
(perkijuan) yang luas dan disebut tuberkuloma. Protease yang
dikeluarkan oleh magrofag aktif akan menyebabkan pelunakan
bahan kaseosa. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terbentuknya
kavitas dan menifestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari
reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler
(delayed hipersensitivity).
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan
dari sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa
muda pernah terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada
daerah apikal atau segmen posterior lobus superior (fokus simon),
10-20 mm dari pleura, dan segmen apikal lobus inferior. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kadar oksigen yang tinggi didaerah ini
sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru. Kerusakan
paru diakibatkan oleh produksi sitokin (tumor necroting factor)
yang berlebihan. Kavitas yang terjadi diliputi oleh jaringan fibrotik
yang tebal dan berisi pembuluh darah pulmonal. Kavitas yang
kronis diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal. Masalah lainnya
pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti aspergilus
yang menumbuhkan mycetoma (Muttaqin, 2012).
2.2.6 Penularan Tuberkulosis
Cara penularan: daya penularan dari seorang penderita TBC
ditentukan oleh: (Notoatmodjo, 2011)
1. Banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita.
2. Penyebaran kuman di udara.
3. Penyebaran kuman bersama dahak berupa droplet dan berada di
sekitar penderita TB.
Kuman Micobacterium tuberkulosis pada penderita TB paru dapat
terlihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA
positif) dan sangat infeksius. Sedangkan penderita yang kumannya
tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya
(BTA negatif) dan sangat kurang menular. Penderita TB ekstra paru
tidak menular, kecuali penderita TB paru. Penderita TB BTA positif
mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet yang
sangat kecil dan pada waktu bersin atau batuk. Droplet yang sangat
kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang
mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama
beberapa jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain.
Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang
menghirupnya, kuman ini membelah diri (berkembang biak) dan terjadi
infeksi. Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif adalah
orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman tuberkulosis.
2.2.7 Klasifikasi dan tipe penderita Tuberkulosis
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis
memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap
klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe
penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan
dimulai. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan
definisi-kasus, yaitu:
1. Organ Tubuh Yang Sakit
Penyakit tuberkulosis (TBC) terdiri atas 2 golongan besar
(Kemenkes RI, 2011).
a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan
kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru adalah Tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu
diklasifikasikan sebagai TB paru.
2. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
disebut sebagai tipe pasien, yaitu: (Kemenkes RI, 2011)
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (4 minggu).

Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.


1) Kasus yang sebelumnya diobati
a. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
b. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.

c. Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
2) Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
3) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas, seperti yang
a. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
b. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
c. Kembali diobati dengan BTA negative
3. Hasil Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis Langsung
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi
dalam: (Kemenkes RI, 2011)
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak, hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak, hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak, hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak pada pemeriksaan sebelumnyahasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto thoraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.

2.2.8 Diagnosis
1. Diagnosis TB paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama.
c. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan fototoraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khaspada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
2. Diagnosis TB ekstra paru
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya
kaku kudukpada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(Pleuritis), pembesarankelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulangbelakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan
tubuh yang terkena (Kemenkes RI, 2011).
2.2.9 Pengobatan Tuberkulosis
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis (TB Paru) bertujuan untuk
menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktifitas serta kualitas
hidup, mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak
buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan, memutuskan
rantai penularan dan mencegah resitensi M. Tuberkulosis terhadap
obat anti tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014: 20). 2.1.10.2 Prinsip
pengobatan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting
dalam pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu
upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari
kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
(Kemenkes RI, 2014: 20)
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk oaduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan.
2. Tahapan Pengobatan Tb
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) menderita mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan obat. Jikapengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada
tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dortmant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).
2.2.10 Hasil Pengobatan Pasien Tuberkulosis
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (Follow-up) hasilnya negatif pada
AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya (Kemenkes RI, 2011).
b. Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada
AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya (Kemenkes RI, 2011).
c. Meninggal
Pasien yang meninggal dari masa pengobatan karena sebab
apapun (Kemenkes RI, 2011).
d. Pindah (Transfer out)
Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan
(register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui (Kemenkes
RI, 2011).
e. Putus berobat(Defaulted)
Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai (Kemenkes RI, 2011).
f. Gagal
Pasien yang pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan (Kemenkes RI, 2011).
g. Keberhasilan pengobatan (Treatment success)
Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan
pada pasien dengan BTA+ atau biakan positif (Kemenkes RI, 2011)

2.3 Kerangka Teori

Konsep PHBS 1. Definisi


2. Etiologi
1. Pengertian PHBS
Tuberkulosis
2. Tujuan PHBS
Tuberkulosis 3. Tanda dan Gejala
3. Manfaat PHBS
(TBC) Tuberkulosis
4. Sasaran PHBS
4. Patofisiologi
5. Indikator PHBS di
Tuberkulosis
Rumah Tangga
5. Patogenesis
Tuberkulosis
6. Penularan
Tuberkulosis
7. Klasifikasi dan tipe
Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Teori

(Sumber : Modifikasi Dinas Kesehatan, 2016 dan Notoatmodjo, 2011)


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi
dari hal-hal yang khusus. Sedangkan kerangka konsep penelitian pada
dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin di amati
atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo, 2012).
Variabel Independen Variabel Dependen

PHBS Tuberkulosis (TBC)

Faktor-faktor yang menyebabkan


seseorang dapat terinfeksi
tuberkulosis paru :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Herediter
4. Keadaan stres
5. Anak yang mendapatkan
terapi kortikosteroid

Keterangan : ________ : Variabel Yang Tidak Diteliti


------------- : Variabel Yang Diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian


Sumber : (Modifikasi Notoatmodjo, 2010 dan Depkes RI, 2010)
3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang
dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Hasil
Definisi Alat
No Variabel Ukur dan Skala
Operasional Ukur
Scoring
1 Keaktifan ibu Ibu balita yang KMS 1. Baik : Nominal
dalam ikut berperan (Kartu apabila
kegiatan aktif dalam Menuju garis grafik
posyandu kegiatan Sehat) berat badan
posyandu pada KMS
tidak
pernah
putus
(hadir dan
ditimbang
setiap
bulan di
posyandu)
2. Kurang :
apabila
garis grafik
pada KMS
tidak
terbentuk
atau tidak
hadir dan
tidak
ditimbang
setiap
bulan di
posyandu
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam
melakukan prosedur penelitian. Desain dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yaitu peneliti hanya mengamati fenomena atau objek penelitian
tanpa memberikan perlakuan tertentu dan peneliti mencoba menarik suatu
kesimpulan atau melihat pengaruh dari fenomena atau objek yang diteliti.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
cross sectional yaitu setiap subjek penelitian hanya di observasi satu kali saja
dan pengukuran terhadap variabel dilakukan pada saat yang sama
(Notoatmodjo, 2010).

4.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan Desember
tahun 2019 di Wilayah Kerja RSUD Tanjung Lombok Utara, pemilihan
lokasi tersebut dengan alasan tersedianya data tentang penderita TB paru
BTA+ baru pada tahun 2017 tercatat 132 orang, tahun 2018 terjadi
peningkatan, jumlah penderita TB paru BTA+ baru sebanyak 136 orang
belum pernah dilakukan penelitian yang serupa dan lokasi mudah dijangkau
oleh peneliti.

4.3 Populasi dan Sampel


4.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau
subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiono, 2008).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
mengalami tuberkulosis di Wilayah Kerja RSUD Tanjung Lombok
Utara Tahun 2018 sebanyak 136 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
mengalami tuberkulosis di Wilayah Kerja RSUD Tanjung Lombok
Utara Tahun 2018 .
4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan menggunakan bahan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011).
Kriteria sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian
mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel
(Nursalam, 2008).
Pada penelitian ini yang menjadi kriteria inklusi adalah
1) Ibu balita yang datang berkunjung ke Posyandu Desa Jurang
Jaler.
2) Ibu balita yang bersedia dijadikan sampel penelitian
3) Ibu balita yang bisa membaca dan menulis di Desa Jurang Jaler.
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian
tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai
sampel penelitian (Nursalam, 2008).
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah
1) Balita yang mempunyai penyakit kronis
2) Balita yang mengalami cacat fisik dan keterbelakangan mental
dari lahir
3) Ibu balita yang tidak datang ke posyandu
4.4 Etika Penelitian
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian, mengingat penelitian kebidanan berhubungan
langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan
(Hidayat, 2010).
4.7.1 Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan
dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.
Tujuan informed consent adalah agar subyek mengerti maksud dan
tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subyek bersedia maka
mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak
bersedia, maka peneliti harus menghormati hak itu. Beberapa informasi
yang harus ada dalam informed consent tersebut antara lain : partisipasi
pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan,
komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi,
manfaat, kerahasiaan, informasi yang mudah di hubungi, dan lain-lain.
4.7.2 Anonymity
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data.
Peneliti menggunakan nomor register untuk membedakan sampel yang
satu dengan yang lainnya.
4.7.3 Confidentiality
Kerahasiaan informasi dijamin oleh peneliti, hanya kelompok
data tertentu yang akan disajikan sebagai hasil.
4.5 Instrumen Penelitian
Menurut Arikunto (2010), instrumen penelitian adalah alat atau
fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat,
lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah.
Uji Kualitas Instrumen
1. Uji Validitas
Sebelum instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan
data perlu dilakukan pengujian validitas. Hal ini digunakan untuk
mendapatkan data yang valid dari instrumen yang valid. Menurut
Sugiyono (2012), “Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan
antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada
objek yang diteliti”. Pengujian instrumen dalam penelitian ini dilakukan
dengan korelasi bivariate antara masing-masing skor indikator dengan
total skor konstruk.
2. Uji Reliabilitas
Menurut Sugiyono (2012), “Instrumen yang reliabel adalah
instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek
yang sama, akan menghasilkan data yang sama.” Setelah instrumen di uji
validitasnya maka langkah selanjutnya yaitu menguji reliabilitas. Adapun
menurut Imam Ghozali pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu:
a. Repeated Measure atau pengukuran ulang: disini seseorang akan
disodori pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda, dan
kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengan jawabannya.
b. One Shot atau pengukuran sekali saja: disini pengukurannya hanya
sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain
atau pengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. SPSS memberikan
fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistic Cronbach
Aplha (α). (Ghozali, 2011)
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan pengukuran
reliabilitas cara kedua yaitu One Shot atau pengukuran sekali saja.
Pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini dibantu dengan SPSS untuk
uji statistik Cronbach Aplha (α). Hasil dari uji statistik Cronbach Aplha
(α) akan menentukan instrument yang digunakan dalam penelitian ini
reliabel digunakan atau tidak.
4.6 Pengumpulan Data
4.6.1 Data Primer
Data Primer adalah data/materi yang di kumpulkan sendiri oleh
peneliti pada saat berlangsungnya penelitian (Sugiono, 2010).
1. Data mengenai keaktifan ibu dalam mengikuti kegiatan posyandu di
Desa Jurang Jaler diperoleh dari responden dengan menggunakan
alat bantu kuisioner.
2. Data mengenai pertumbuhan dan perkembangan balita di Posyandu
Desa Jurang Jaler diperoleh register yang ada di Posyandu Desa
Jurang Jaler.
4.6.2 Data Sekunder
Data Sekunder adalah data/angka yang diambil dari suatu
sumber dan biasanya data sudah dikomplikasikan terlebih dahulu oleh
yang punya data (Sugiono, 2010).
Data sekunder dalam penelitian ini yaitu data tentang gambaran
umum posyandu Desa Jurang Jaler yang diperoleh dari buku profil.

4.7 Pengolahan Data


Tekhnik Pengolahan data :
4.6.1 Editing
Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan
jawaban koesioner dan penyesuaian data yang diperoleh dengan
kebutuhan penelitian. Hal ini dilakukan dilapangan sehingga apabila
terdapat data yang meragukan ataupun salah maka dijelaskan lagi ke
responden.
4.6.2 Coding
Mengkode data merupakan kegiatan mengklasifikasi data
memberi kode untuk masing-masing kelas terhadap data yang
diperoleh dan sumber yang telah diperiksa kelengkapanya.
1. Data tentang keaktifan ibu dalam kegiatan posyandu di Desa
Jurang Jaler diolah dan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu:
a. Normal : diberi kode 2
b. Tidak Normal : diberi kode 1
2. Data tentang pertumbuhan balita di Desa Jurang Jaler diolah dan
dikelompokkan menjadi dua macam yaitu:
a. Normal : diberi kode 2
b. Tidak Normal : diberi kode 1
3. Data tentang perkembangan balita di Desa Jurang Jaler diolah dan
dikelompokkan menjadi dua macam yaitu:
a. Normal : diberi kode 2
b. Tidak Normal : diberi kode 1
4.6.3 Skoring
Pertanyaan yang diberikan skor hanya pertanyaan yang
berhubungan keaktifan ibu dalam mengikuti kegiatna posyandu di
Desa Jurang Jaler masing-masing pertanyaan dan penjumlahan
skoring dari semua pertanyaan.
4.6.4 Tabulating
Pada tahap ini, data yang sama dikelompokkan dengan teliti dan
teratur kemudian dihitung dan dijumlahkan, setelah itu dituliskan
dalam bentuk tabel-tabel.

4.8 Analisis Data


Analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
4.8.1 Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi dan persentase dari tiap variabel yaitu keaktifan ibu dalam
kegiatan posyandu dan pertumbuhan dan perkembangan balita.
4.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Meliputi satu variabel independen
(keaktifan ibu dalam kegiatan posyandu) dan variabel dependen
(perkembangan dan pertumbuhan). Kemudian untuk analisis hubungan
menggunakan uji chi square, uji ini dapat digunakan untuk mengetahui
seberapa besar hubungan variabel x dan y. Hasil perhitungan bila p
value lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, bila p value lebih besar
maka Ho diterima. Dalam penelitian ini alasan menggunakan chi
square adalah menguji hubungan keaktifan ibu dalam kegiatan
posyandu dengan pertumbuhan dan perkembangan balita di Desa Juran
Jaler tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai