Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program Keluarga Berencana (KB) merupakan upaya untuk mengatur

kelahiran anak, jarak dan usia yang ideal melahirkan, mengatur kehamilan,

melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi

untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan dalam

Program KB dilakukan dengan menggunakan metode/alat kontrasepsi

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

Menurut Data Wourld Health Organization (WHO) tahun 2020,

menunjukkan bahwa persentase penggunaan alat kontrasepsi suntik (DMPA)

tertinggi di dunia yaitu 35,3%, pil sebesar 30,5%, IUD sebesar 15,2%

sedangkan implant sebesar 7,3%) dan alat kontrasepsi lainnya sebesar 11,7%

(WHO, 2020).

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2021

menunjukkan bahwa angka prevalensi PUS peserta KB di Indonesia pada

tahun 2021 sebesar 57,4%. Berdasarkan distribusi provinsi, angka prevalensi

pemakaian KB tertinggi adalah Kalimantan Selatan (67,9%), Kepulauan

Bangka Belitung (67,5%), dan Bengkulu (65,5%), sedangkan terendah adalah

Papua (15,4%), Papua Barat (29,4%) dan Maluku (33,9%) (SDKI, 2021).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB

Tahun 2021, jumlah peserta KB Aktif sebanyak 890.226 yang terdiri dari:

kondom sebanyak 24.069 orang (2,7%), suntik sebanyak 540.687 orang

1
2

(59,9%), pil sebanyak 120.622 orang (13,4%), AKDR sebanyak 69.914 orang

(7,7%), MOP sebanyak 1.361 orang (0,2%), MOW sebanyak 10.722 orang

(1,2%) dan implant sebanyak 135.072 orang (15,0%) (Dinas Kesehatan

Provinsi NTB, 2021).

Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok

Timur Tahun 2021, jumlah peserta KB Aktif sebanyak 205.461 yang terdiri

dari: kondom sebanyak 3.362 orang (1,9%), suntik sebanyak 94.750 orang

(52,3%), pil sebanyak 27.285 orang (15,1%), AKDR sebanyak 16.337 orang

(9,0%), MOP sebanyak 836 orang (0,5%), MOW sebanyak 3.309 orang

(1,8%) dan implant sebanyak 34.453 orang (19,0%) (Dinas Kesehatan

Kabupaten Lombok Timur, 2021).

Berdasarkan data yang diperoleh di Puskesmas Selong pada tanggal 21

Juli 2022 menunjukkan bahwa jumlah peserta KB Aktif tahun 2021 sebanyak

6.061 yang terdiri dari : kondom sebanyak 56 orang (0,9%), KB suntik DMPA

sebanyak 2446. orang (40,4%), pil sebanyak 499 orang (8,2%), AKDR

sebanyak 1243 orang (20,5%), MOW sebanyak 117 orang (1,9%) dan implant

sebanyak 1.700 orang (28,0%) (Puskesmas Selong, 2021). Kemudian jumlah

peserta KB Aktif tahun 2022 dari bulan Januari s/d Juni sebanyak 5.708 yang

terdiri dari: kondom sebanyak 204 orang (3,6%), KB suntik DMPA sebanyak

2.161 orang (37,9%), pil sebanyak 544 orang (9,53%), AKDR sebanyak 1202

orang (21%), MOW sebanyak 157 orang (2,75%) (Puskesmas Selong, 2022)
3

Salah satu metode suntik KB yang banyak digunakan adalah Depo

Medroksi Progesteron Asetat (DMPA). DMPA merupakan metode

kontrasepsi hormonal suntik yang hanya mengandung progesteron dan

memiliki angka kegagalan kurang dari 1% pertahun. Metode ini diberikan

secara injeksi intramuskular setiap 3 bulan dengan dosis 150 mg. (BKKBN,

2016).

Kontrasepsi suntik DMPA memiliki beberapa efek samping yaitu

gangguan haid, penambahan berat badan, mual, mata berkunang-kunang, sakit

kepala, nervositas, penurunan libido dan vagina kering. Efek samping dari

suntik DMPA berupa penurunan keinginan seksual (libido), meskipun jarang

terjadi dan tidak dialami pada semua wanita tetapi pada pemakaian jangka

panjang dapat timbul karena faktor perubahan hormonal (David, 2017).

Gangguan yang dialami dapat menimbulkan masalah terkait dengan

seksualitas yang memiliki peran dalam prokreasi dan ikatan kasih sayang antar

pasangan. Gangguan yang terjadi terkait dengan fungsi seksual disebut

disfungsi seksual. Disfungsi seksual merujuk pada masalah yang terjadi

selama siklus respons seksual yang menghambat seseorang untuk merasakan

kepuasan dari aktivitas seksualnya. Disfungsi seksual wanita dibagi menjadi

tiga kategori yaitu: 1) gangguan ketertarikan seksual/gairah seksual wanita; 2)

gangguan orgasme; 3) gangguan nyeri genito-pelvic/penetrasi (Windhu,

2019).
1
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Isfaizah (2019) tentang :

“Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Dengan Disfungsi Seksual Di


4

Wilayah Kerja Puskesmas Lerep” dari hasil analisis data menggunakan uji chi

square diperoleh nilai probabilitas value sebesar 0,001 dengan taraf

signifikansi 0,05, yang artinya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang

signifikans antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan disfungsi seksual

di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep (p=0.001 < 0,05). Hal yang sama juga

ditemukan pada penelitiannya Hartatik tahun 2017, dari hasil analisisnya

dengan menggunakan uji chi square ditemukan ada hubungan antara lama

pemakaian kontrasepsi suntik DMPA dengan kejadian disfungsi seksual di

Klinik Pratama Bina Sehat Kabupaten Bantul tahun 2017 dengan nilia p value

= 0,000 < 0,05.

Petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan seksual yang

dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Bentuk

pelayanan yang dapat diberikan yaitu konseling yang dilaksanakan dengan

pemberian informasi tentang perilaku penyimpangan seksual atau gangguan

seksualitas dan pengaruhnya terhadap kesehatan (Kemenkes RI, 2019).

Sustainable Development Goal’s (SDGs) juga menjelaskan tujuan pada

target tentang kesehatan reproduksi yaitu mencapai kesehatan seksual dan

reproduksi dengan semua hak-haknya dan mensosialisasikan program

penurunan kelahiran dengan cara yang efisien dan sukarela. Tujuan global

SDGs dan peraturan menteri kesehatan yang mengatur tentang kesehatan

seksual dan keluarga berencana menunjukkan bahwa masalah pada beberapa

perempuan terkait disfungsi seksual yang berhubungan dengan pemakaian

kontrasepsi tidak bisa diabaikan (BPS, 2017).


5

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan

penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang (MKJP) untuk menekan laju

pertumbuhan penduduk adalah dengan memberikan penyuluhan dan konseling

individu dari rumah ke rumah hingga menemani dan menunggu akseptor

hingga selesai pelayanan KB di Fasilitas Kesehatan. Pasangan Usia Subur

(PUS) dapat menentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi dan

kebutuhannya berdasarkan informasi yang telah dipahami, termasuk

keuntungan, kerugian dan faktor yang mempengaruhi metode kontrasepsi

(Kementerian Kesehatan RI, 2019)

Kemudian dari hasil survey pendahuluan dengan wawancara langsung

yang dilakukan pada tanggal 19 Juli 2022 di Puskesmas Selong terhadap 10

akseptor yang dilayani di Puskesmas Selong yaitu 3 orang diantaranya

mengatakan mengeluh kadang-kadang nyeri saat berhubungan seksual, 3

orang mengatakan gairah seksual menurun pada pemakaian suntik DMPA

lebih dari 2 tahun, sedangkan 4 orang mengatakan tidak mengalami keluhan

selama pemakaian suntik DMPA.

Berdasarkan data di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian disfungsi

seksual wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah

dalam penelitian ini adalah : “Adakah Hubungan Penggunaan Kontrasepsi


6

DMPA Dengan Kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong Tahun 2022?".

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA

dengan kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas

Selong Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi penggunaan kontrasepsi DMPA di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong Tahun 2022.

b. Mengidentifikasi kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong Tahun 2022.

c. Menganalisis hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA dengan

kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas

Selong Tahun 2022.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan

pertimbangan yang dapat membantu tenaga kesehatan dalam mengetahui

hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian Disfungsi

Seksual Wanita, serta menjadi landasan dalam pengembangan ilmu

kebidanan, khususnya penggunaan alat kontrasepsi DMPA.


7

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Wanita Usia Subur

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

tambahan informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah

wawasan wanita usia subur (WUS) tentang hubungan penggunaan

kontrasepsi DMPA dengan kejadian Disfungsi Seksual Wanita.

b. Bagi Puskesmas Selong

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait khususnya

Puskesmas Selong dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan

program yang sesuai dengan penggunaan alat kontrasepsi DMPA bagi

peserta KB aktif dengan cara memberikan bimbingan konseling dan

penyuluhan tentang alat kontrasepsi DMPA agar pengetahuan wanita

usia subur dapat dikembangkan dengan baik.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa dijadikan sebagai

bahan masukan, literatur dan referensi untuk meningkatkan dan

mengembangkan ilmu pengetahuan para mahasiswa khususnya

mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Hamzar

Lombok Timur.
8

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur

atau acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan

penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian Disfungsi Seksual

Wanita dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda,

kemudian menambahkan jumlah sampel dan variabel yang belum

pernah diteliti sebelumnya.

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Judul Metode Hasil


Peneliti Persamaan Perbedaan
Penelitian Penelitian Penelitian
Dewi, Ririn Hubungan Jenis Hasil Persamaannya yaitu Perbedaannya yaitu
Anggraeni Penggunaan penelitian penelitian pada variabel pada penelitian yang
(2021) Kontrasepsi yang menunjukkan independentnya dan dilakukan oleh Ririn
Suntikan 3 digunakan tidak ada dependentnya Anggraeni Dewi,
Bulan Pada adalah hubungan sama-sama meneliti jenis penelitian yang
Akseptor KB survey antara tentang penggunaan digunakan adalah
3 Bulan analitik penggunaan kontrasepsi DMPA survey analitik
dengan dengan kontrasepsi 3 dan disfungsi sedangkan pada
Disfungsi pendekatan bulan dengan seksual. Pendekatan penelitian yang akan
Seksual di cross disfungsi penelitian yang peneliti lakukan jenis
BPM Sri sectional. seksual dengan digunakan juga penelitiannya
Puspas nilai p value = sama yaitu : cross menggunakan
Kencana 0,075 > 0,05. sectional. analitik korelasional.
Kabupaten Kemudian
Bogor. instrumen yang
digunakan juga
sama yaitu :
kuesioner. Selain
itu, analisis data
yang digunakan
juga sama yaitu : uji
chi square.
Kemudian teknik
9

pengambilan
sampelnya juga
sama yaitu :
purposive sampling.

Isfaizah Hubungan Desain Hasil penelitian Persamaannya yaitu Perbedaannya yaitu :


(2019) Penggunaan penelitian menunjukkan : desain penelitian variabel independent
Kontrasepsi analitik ada hubungan yang digunakan yang diteliti berbeda.
Hormonal observasional yang sama yaitu : analitik Variabel independent
Dengan dengan signifikans observasional yang peneliti teliti
Disfungsi pendekatan antara dengan pendekatan adalah penggunaan
Seksual Di crossectional penggunaan cross sectional. alat kontrasepsi
Wilayah Kerja kontrasepsi Kemudian variabel DMPA sedangkan
Puskesmas hormonal dependent yang penelitian terdahulu
Lerep dengan diteliti juga sama meneliti tentang
disfungsi yaitu disfungsi penggunaan alat
seksual di seksual. Instrumen kontrasepsi
Wilayah Kerja yang digunakan hormonal.
Puskesmas juga sama yaitu :
Lerep (p=0.001 kuesioner dan
> 0,05) analisis data yang
digunakan juga
sama yaitu : uji chi
square. Teknik
pengambilan
sampel yang
digunaka juga sama
yaitu : purposive
sampling.

Hartatik Hubungan Metode Hasil Persamaannya yaitu Perbedaannya


(2017) lama Penelitian penelitiannya pada variabel yaitu pada
pemakaian yang menunjukkan independentnya dan penelitian yang
kontrasepsi digunakan ada lama dependentnya dilakukan oleh
suntik DMPA adalah pemakaian sama-sama meneliti Hartatik, jenis
dengan sruvey kontrasepsi tentang penggunaan penelitian yang
kejadian analitik suntik DMPA kontrasepsi DMPA digunakan adalah
disfungsi dengan dengan dan disfungsi survey analitik
seksual di pendekatan kejadian seksual. Kemudian sedangkan pada
Klinik cross disfungsi instrumen yang penelitian yang
Pratama Bina sectional, seksual di digunakan juga akan peneliti
Sehat Klinik Pratama sama yaitu : lakukan jenis
Kabupaten Bina Sehat kuesioner penelitiannya
Bantul Kabupaten sedangkan analisis menggunakan
Bantul tahun data yang analitik
2017 dengan digunakan juga korelasional.
nilia p value = sama yaitu: uji chi
0,000 < 0,05. square. Teknik
pengambilan
sampelnya juga
sama yaitu :
purposive sampling.
Ningsih, Hubungan Penelitian Hasil penelitian Jenis penelitian Analisis data yang
Rosita lama ini menunjukkan yang digunakan digunakan
(2018) penggunaan merupakan ada sama yaitu : analitik berbeda. Peneliti
10

KB suntik penelitian hubungan dengan pendekatan menggunakan uji


DMPA (depo analitik antara lama cross sectional. chi square
medroxy dengan penggunaan Selain itu, variabel sedangkan
progesteron pendekatan KB suntik independent yang penelitian
asetat) cross DMPA (depo diteliti juga. Begitu terdahulu
dengan sectional medroxy juga dengan teknik menggunakan uji
penurunan progesteron pengambilan lamda. Kemudian
libido pada asetat) dengan sampelnya juga variabel
akseptor KB penurunan sama. dependent yang
DMPA di libido pada diteliti juga
BPS Siti akseptor KB berbeda.
Muzayyana DMPA di BPS
Amd.Keb Siti
Socah Muzayyana
Bangkalan) Amd.Keb
Socah
Bangkalan)
tahun 2018
dengan nilai p
value sebesar
0,047 < 0,05.

Jumiati, Juli Hubungan Jenis Hasil penelitian Jenis penelitian Teknik


(2020) KB suntik penelitian menunjukkan yang digunakan pengambilan
dengan yang ada sama yaitu : survey sampel yang
penurunan digunakan hubungan KB analitik dengan digunakan
libido ibu di adalah suntik dengan pendekatan cross berbeda. Peneliti
Desa Lubuk Survey penurunan sectional. Analisis menggunakan
Lagan analitik libido ibu di data yang total sampling
Wilayah dengan Desa Lubuk digunakan juga dan sistematik
Kerja pendekatan Lagan Wilayah sama yaitu : uji chi random sampling
Puskesmas Cross- Kerja square. sedangkan
Suka Merindu Sectional Puskesmas penelitian
Kabupaten Suka Merindu terdahulu
Seluma Kabupaten menggunakan
Seluma tahun purposive
2020 dengan sampling.
nilai p value Kemudian
sebesar 0,003 < variabel
0,05. independent dan
dependent yang
diteliti juga
berbeda.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Konsep Kontrasepsi Suntik DMPA

a. Pengertian

Suntik merupakan alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang

(lama), tidak membutuhkan pemakaian setiap hari atau saat

bersenggama, tetapi tetap reversibel (Hartanto, 2016).

Kontrasepsi suntikan/injeksi terdiri dari suntikan kombinasi

yaitu merupakan kontrasepsi suntik yang berisi hormon sintesis

estrogen dan progesteron serta suntikan progestin yaitu merupakan

kontrasepsi suntikan berisi hormon progesteron (Handayani, 2017).

Kontrasepsi suntik progestin adalah suatu sintesa progestin yang

mempunyi efek progestin asli dari tubuh wanita dan merupakan

suspensi steril medroxy progesterone asetate 150 mg, kontrasepsi ini

telah dipakai lebih dari 90 negara, telah digunakan selama kurang

lebih 20 tahun dan sampai saat ini akseptornya berjumlah kira-kira 5

juta wanita (Marmi, 2016).

Kontrasepsi DMPA adalah kontrasepsi yang mengandung 150

mg DMPA yang diberikan setiap 3 bulan dengan cara disuntik

intramuskular (di daerah bokong) (Arum, 2017).

11
12

b. Cara Kerja

Mencegah ovulasi (bekerja dengan cara menghalangi

pengeluaran FSH dan LH sehingga tidak terjadi pelepasan ovum),

mengentalkan lendir sehingga menurunkan kemampuan penetrasi

sperma, karena sperma sulit menembus kanalis servikalis, perubahan

pola endometrium sehingga implantasi terganggu, dan menghambat

transportasi gamet karena terjadi perubahan peristaltik tuba falopi

(Marmi, 2016).

Mekanisme kerja kontrasepsi suntik yaitu mencegah ovulasi

dengan cara kerja kadar Folikel Stimulating Hormone dan Lutenizing

Hormonerespon kelenjar Hipofise terhadap Gonadotropin Realizing

Hormone tidak berubah, sehingga memberi kesan proses terjadi di

hipotalamus dari pada kelenjar hipofise, mengentalkan lendir servik

sehingga membuat endometrium menjadi kurang baik untuk

implantasi dan ovum yang telah di buahi (Haryati, 2016).

c. Efektifitas

Kontrasepsi suntik memiliki efektifitas tinggi, dengan 0,3

kehamilan per 100 perempuan per tahun, asal penyuntikannya

dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan (Arum,

2017).

d. Keuntungan

Sangat efektif, pencegahan kehamilan jangka panjang, tidak

berpengaruh pada hubungan suami-istri, tidak mengandung estrogen


13

sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit jantung, dan

gangguan pembekuan darah, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI,

sedikit efek samping, klien tidak perlu menyimpan obat suntik, dapat

digunakan oleh perempuan usia >35 tahun sampai perimenopause,

membantu mencegah kanker endometrium dan kehamilan ektopik,

menurunkan kejadian penyakit jinak payudara, mencegah beberapa

penyakit radang panggul, menurunkan krisis anemi bulan sabit (sickle

cell) (Arum, 2017).

e. Keterbatasan

Permasalahan berat badan merupakan efek samping tersering

ditemukan gangguan haid, klien sangat bergantung pada tempat sarana

pelayanan kesehatan, tidak dapat dihentikan sewaktu-waktu sebelum

suntikan berikut, tidak menjamin perlindungan terhadap penularan

infeksi menular seksual, terlambat nya kembali kesuburan setelah

penghentian pemakaian, terjadi perubahan lipid serum pada

penggunaan jangka panjang, pada penggunaan jangka dapat sedikit

menurunkan kepadatan tulang, pada penggunaan jangka panjang dapat

menimbulkan kekeringan pada vagiana, menurunkan libido, gangguan

emosi, sakit kepala, nervositas, jerawat (BKKBN, 2016)

f. Indikasi

Usia reproduksi, nulipara dan yang telah memiliki anak,

menghendaki kontrasepsi jangka panjang dan yang memiliki

efektivitas tinggi, menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang


14

sesuai, setelah melahirkan dan tidak menyusui, setelah abortus atau

keguguran, telah banyak anak tetapi belum menghendaki tubektomi,

perokok, tekanan darah < 180/110 mmHg, menggunakan obat epilepsi,

tidak dapat memakai kontrasepsi yang mengandung estrogen, sering

lupa menggunakan pil kontrasepsi, anemia defisiensi besi, mendekati

usia menopause yang tidak mau atau tidak boleh menggunakan pil

kontrasepsi kombinasi (BKKBN, 2016).

g. Kontraindikasi

Sedang hamil (diketahui atau dicurigai), sedang mengalami

perdarahan vaginal tanpa diketahui sebabnya, mengalami kanker

payudara (Handayani, 2016). Menurut Sukarni (2018), WHO tidak

menganjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi suntikan pada

kehamilan, karsinoma payudara, karsinoma traktus genetalia,

perdarahan abnormal uterus.

h. Efek Samping

1) Perubahan Berat Badan

Pemakaian kontrasepsi suntik baik kontrasepsi suntik

bulanan maupun tribulanan mempunyai efek samping utama yaitu

perubahan berat badan. Faktor yang mempengaruhi perubahan

berat badan akseptor KB suntik adalah adanya hormon progesteron

yang kuat sehingga merangsang hormon nafsu makan yang ada di

hipotalamus. Dengan adanya nafsu makan yang lebih banyak dari

biasanya tubuh akan kelebihan zat-zat gizi. Kelebihan zat-zat gizi


15

oleh hormon progesteron dirubah menjadi lemak dan disimpan di

bawah kulit. Perubahan berat badan ini akibat adanya penumpukan

lemak yang berlebih hasil sintesa dari karbohidrat menjadi lemak

(Mansjoer, 2016).

Menurut Hartanto (2016) salah satu efek samping dari

metode suntikan adalah adanya penambahan berat badan.

Umumnya pertambahan berat badan tidak terlalu besar, bervariasi

antara kurang dari satu kilogram sampai lima kilogram dalam

tahun pertama. Penyebab pertambahan berat badan tidak jelas.

Tampaknya terjadi karena bertambahnya lemak tubuh, dan bukan

karena retensi cairan tubuh. Hipotesa para ahli: DMPA

merangsang pusat pengendali nafsu makan di hipotalamus yang

menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari pada biasanya.

Wanita yang menggunakan kontrasepsi DMPA atau dikenal

dengan KB suntik tiga bulan, rata-rata mengalami peningkatan

berat badan sebanyak 11 pon atau 5,5 kilogram, dan mengalami

peningkatan lemak tubuh sebanyak 3,4% dalam waktu dua sampai

tiga tahun pemakaian, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

University of Texas Medical Branch (UTMB). Sedangkan pada

kontrasepsi suntik bulanan efek samping terhadap berat badan

sangatlah ringan, umumnya pertambahan berat badan sedikit

(Hartanto, 2016).
16

Efek samping utama pemakaian DMPA adalah kenaikan

berat badan. Sebuah penelitian melaporkan peningkatan berat

badan lebih dari 2,3 kilogram pada tahun pertama dan selanjutnya

meningkat secara bertahap hingga mencapai 7,5 kilogram selama

enam tahun. Sedangkan pemakaian cyclofem berat badan

meningkat rata-rata dua hingga tiga kilogram tahun pertama

pemakaian, dan terus bertambah selama tahun kedua. Pada

dasarnya perubahan berat badan dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Secara umum faktor tersebut dapat dibagi atas dua golongan besar

yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

2) Hipertensi

Tekanan darah normal adalah refleksi dari cardiac output

(denyut jantung dan volume strock) dan resistensi peripheral

(Yasmin A, 2015). Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah

kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara

kronis (dalam jangka waktu lama) terjadi pada tekanan darah

140/90 mmHg atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam

jangka beberapa minggu. Idealnya orang sehat mempunyai tekanan

darah berkisar antara sistoli < 130 dan diastolik < 85 atau sistolik

antara 130 – 139 dan diastolik antara 85 – 89.

Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh

tubuh kita sendiri. Satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi

adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur.


17

Diketahui 9 dari 10 orang yang menderita hipertensi tidak dapat

diidentifikasi penyebab penyakitnya. Hipertensi sebenarnya dapat

diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Jika salah satu orang

tua terkena hipertensi, maka kecenderungan anak untuk menderita

hipertensi adalah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang

tidak memiliki orang tua menderita hipertensi. Selain hal diatas,

ada faktor-faktor lain yang juga berperan dalam munculnya

penyakit hipertensi antara lain : usia, stress, serum lipid, diet,

obesitas, faktor hormonal, pemakaian kontrasepsi hormonal,

penyakit ginjal, obat-obatan dan penyebab lainnya.

Diatas disebutkan salah satu faktor pencetus hipertensi

adalah penggunanan alat kontrasepsi hormonal. Perempuan

memiliki hormon estrogen yang mempunyai fungsi mencegah

kekentalan darah serta menjaga dinding pembuluh darah supaya

tetap baik. Pada akseptor KB hormonal suntik mengalami

ketidakseimbangan hormon estrogen karena produksi hormon

estrogen di otak dihambat oleh hormon-hormon kontrasepsi yang

diberikan lewat suntikan. Apabila kondisi ketidakseimbangan

kadar hormon estrogen ini berlangsung lama, maka akan dapat

meningkatkan kekentalan darah walaupun dalam tingkatan yang

sedikit sehingga akan mempengaruhi tingkat tekanan darah.


18

3) Gangguan siklus haid

Gangguan pola haid dari penggunaan kontrasepsi suntik

DMPA adalah :

a) Gangguan pola haid amenorrea disebabkan karena terjadinya

atrofi endometrium yaitu kadar estrogen turun dan progesteron

meningkat sehingga tidak menimbulkan efek yang berlekuk –

lekuk di endometrium (Wiknjosastro, 2017).

b) Gangguan pola haid spotting disebabkan karena menurunnya

hormon estrogen dan kelainan atau terjadinya gangguan

hormon (Hartanto, 2016).

c) Gangguan pola haid metroraghia disebabkan oleh kadar

hormon estrogen dan progesteron yang tidak sesuai dengan

kondisi dinding uterus (endometrium) untuk mengatur volume

darah menstruasi dan dapat disebabkan oleh kelainan organik

pada alat genetalia atau kelainan fungsional (Hartanto, 2016).

4) Pusing/sakit kepala

Efek samping tersebut mungkin ada tetapi jarang terjadi dan

biasanya bersifat sementara. Pusing dan sakit kepala disebabkan

karena reaksi tubuh terhadap progesteron sehingga hormon

estrogen fluktuatif (mengalami penekanan) dan progesteron dapat

mengikat air sehingga sel-sel di dalam tubuh mengalami

perubahan sehingga terjadi penekanan pada syaraf otak.


19

5) Keputihan

Keputihan adalah keluarnya cairan berwarna putih dari

dalam vagina atau adanya cairan putih di mulut vagina (vagina

discharge). Penyebabnya dikarenakan oleh efek progesterone

merubah flora dan PH vagina, sehingga jamur mudah tumbuh di

dalam vagina dan menimbulkan keputihan (Maryani, 2015)

6) Mual muntah

Mual sampai muntah seperti hamil muda. Terjadi pada

bulan-bulan pertama pemakaian suntikan. Penyebabnya

dikarenakan reaksi tubuh terhadap hormon progesteron yang

mempengaruhi produksi asam lambung (Wahyuni, 2015)

7) Penurunan Libido

Penurunan libido (keinginan seksual) pada akseptor KB

suntik meskipun jarang terjadi dan tidak dialami pada semua

wanita tetapi pada pemakaian jangka panjang dapat timbul karena

faktor perubahan hormonal. Penurunan libido sama halnya dengan

difungsi seksual merupakan hasrat seksual yang rendah pada

seseorang atau lawan jenisnya, baik pria maupun wanita.

Gangguan ini dapat terjadi karena berbagai hal, baik secara

psikologis maupun secara medis, serta memberikan efek yang

kurang menyenangkan terhadap keharmonisan suatu hubungan

antara suami istri (Manan, 2017).


20

i. Faktor-faktor yang memengaruhi ibu memilih alat kontrasepsi

suntik 3 bulan (DMPA)

1) Umur

Umur adalah usia yang menjadi indikator dalam

kedewasaan di setiap pengambilan keputusan untuk melakukan

sesuatu yang mengacu pada setiap pengalaman. Besarnya umur

seseorang akan mempengaruhi perilaku, karena semakin lanjut

umurnya, maka semakin lebih bermoral, lebih tertib, lebih berbakti

dari usia muda lebih bertanggung jawab (Notoatmodjo, 2018)

2) Pendidikan

Pendidikan menurut Undang-undang SISDIKNAS No. 20

tahun 2013 adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sedemikian

rupa supaya peserta didik dapat mengembangka potensi dirinya

secara aktif supaya memiliki pengendalian diri, kecerdasan,

keterampilan serta akhlak mulia. Tingkat pendidikan turut

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan mehamai

tentang KB suntik yang mereka pahami berdasarkan kebutuhan

dan kepentingan keluarga.

3) Penghasilan

Yang sering dilakukan adalah menilai hubungan antara

tingkat penghasilan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan

maupun ketersediaan fasilitas kesehatan yang baik. Semakin tinggi


21

pendapatan keluarga, semakin baik fasilitas dan cara hidup mereka

yang terjaga akan semakin baik. Pendapatan merupakan faktor

yang menentukan kualtias dan kuantitas fasiliitas kesehatan di

suatu keluarga (BPS, 2017).

4) Pekerjaan

Banyak ibu-ibu yang bekerja mencari nafkah, baik untuk

kepentingan sendiri maupun keluarga. Faktor bekerja saja nampak

belum berperan sebagai timbulnya suatu pemilihan dalam

melakukan KB suntik. Pekerjaan berpengaruh pada kemampuan

seseorang untuk mencukupi semua kebutuhan salah satunya

kemampuan untuk melakukan suntik KB. Pekerjaan adalah suatu

yang dikerjakan untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian

masyarakat yang sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari

akan memiliki waktu yang lebih untuk memperoleh informasi

(Kemenkes RI, 2019).

5) Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu terjadi setelah orang

melakukan pengideraaan terhadap suatu objek tertentu. Melalui

panca indra manusia yaitu : indara penglihatan, pendengaran,

penciuman, perasa, peraba. Pengetahuan manusia sebagian besar

diperoleh di mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat diperlukan untuk membentuk

tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2018).


22

6) Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup

dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap seara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian terhadap stimulus

tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Sikap merupakan reaksi

yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,

2018)

7) Jarak Tempat Tinggal

Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan KB

sangat mempengaruhi ibu untuk melakukan KB. Hal ini sesuai

dengan yang dinyatakan oleh Notoatmodjo (2018) bahwa faktor

lingkungan fisik atau letak geografis berpengaruh terhadap

perilaku seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan.

2. Konsep Disfungsi Seksual Wanita

a. Pengertian

Disfungsi seksual wanita adalah gangguan seksual yang sering

kali menyebabkan depresi pada wanita. Gangguan ini biasanya dibagi

menjadi empat jenis: gangguan hasrat (tidak bergairah) gangguan

stimulasi (tubuh tidak bisa merespon rangsangan seksual) (Siti Candra

Windu, 2019).

b. Klasifikasi Disfungsi Seksual

Menurut Tobing (2016), disfungsi seksual wanita

diklasifikasikan menjadi :
23

1) Gangguan hasrat seksual

Hasrat seksual menunjukkan pada keinginan seksual yang

menimbulkan reflex impuls rangsangan pada keinginan seksual

yang kuat. Keinginan seksual akan menjadi saling terikat

(reinforced) sebagai tujuan akhir. Menurunnya hasrat respons

seksual menunjukkan terjadinya disfungsi seksual.

a) Gangguan hasrat seksual hipoaktif pada wanita

Gangguan Hasrat Seksual Hipoaktif (Hypoactive Sexual

Desire Disorder) pada wanita sangatlah kompleks dengan

kondisi yang kurang dipahami, dimana mempengaruhi seluruh

rentang usia. Fungsi seksual dinyatakan sebagai sebuah siklus

yang menekankan aspek sosial, psikologis, hormonal,

lingkungan, dan faktor-faktor biologis. Gangguan hasrat

seksual pada wanita disebabkan oleh multifaktor meliputi :

(1) Faktor biologis

Naluri dasar bersumber pada rhinencephalic dan

sistem limbic yang dipengaruhi hormon dan dimodulasikan

oleh mental, terutama mood dan arahan dari zat

neurokimiawi. Hormon saling mempengaruhi secara

kompleks untuk mengontrol intensitas libido dan perilaku

seksual.Kontribusi estrogen tampak dalam karakter seks

sekunder di sentral dan perifer pada wanita terhadap


24

keinginan seksual. Estrogen mempengaruhi hasrat dan

rangsangan seksual pada sentral. Hormon androgen juga

mempengaruhi hasrat seksual wanita. Estrogen dan

androgen mengatur organ-organ sensoris yang merupakan

target seksual dan menentukan libido.

(2) Faktor motivasi

Motivasi melakukan hubungan seksual antara lain

untuk tujuan biologis, dan reproduksi. Tujuan biologis

berarti untuk memenuhi kebutuhan dasar seksual. Tujuan

reproduksi yaitu untuk mendapatkan keturunan. Ketiadaan

motivasi menimbulkan keengganan dalam melakukan

hubungan seksual.

(3) Faktor perasaan

Sejumlah faktor yang memberikan kontribusi terhadap

disfungsi seksual pada wanita mencerminkan hubungan

saling memengaruhi yang kompleks. Faktor-faktor tersebut

antara lain fisiologis, psikologis, emosional, dan relasional.

Penurunan rangsangan seksual sering berhubungan dengan

proses penuaan, menopause alami, atau pembedahan.

Keinginan seksual mungkin menjadi keinginan primer dari

fantasi seksual atau mungkin sekunder terhadap motivasi

kognitif pada beberapa wanita.Keinginan seksual sekunder

khususnya dalam hubungan jangka panjang, motivasi


25

nonseksual, misalnya kedekatan emosional dan perasaan

cinta.

b) Penatalaksanaan gangguan hasrat seksual hipoaktif pada wanita

dengan manajemen penanganan HSDD pada wanita dapat

dilakukan dengan pendekatan psikologis, farmakologis, dan

endokrinologi.

2) Gangguan rangsangan seksual

Gangguan rangsangan seksual pada wanita didefinisikan

sebagai ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan lubrikasi

genital yang adekuat atau swelling. Rangsangan seksual ini juga

memerlukan respons tubuh lain yang bersifat menetap atau

berulang. Respon tubuh yang dimaksud contohnya, berkurangnya

atau tidak adanya lubrikasi vagina, respon tubuh yang lain adalah

berkurangnya relaksasi otot polos vagina serta sensitivitas puting

payudara. Walaupun gangguan rangsangan seksual disebabkan

faktor berulang yang dapat menyebabkan depresi, tetapi dapat juga

disebabkan faktor medis, seperti berkurangnya aliran darah menuju

vagina atau klitoris. Problem seksual dari fakor fisik dapat

berkembang menjadi problem yang bersifat psikologis. Selanjutnya

gangguan yang berasal dari fisik dan psikologis bisa menyebabkan

gangguan rangsangan seksual.

Penyebab umum gangguan rangsangan seksual bisa lebih

dari satu faktor. Seperti stress yang disebabkan oleh kondisi


26

ekonomi, lelah karena pekerjaan, dan sibuk merawat anak. Wanita

bisa mengalami lebih sedikit rangsangan seksual selama hamil,

melahirkan, atau sewaktu menyusui. Kunci utama kehidupan

seksual ada pada jantung. Respon seksual ereksi pada laki-laki dan

lubrikasi pada wanita sangat bergantung pada sirkulasi darah ke

organ genitalia. Sementara kolesterol yang mengendap dalam

darah bisa menghambat proses sirkulasi sehingga besar

kemungkinan akan menyebabkan disfungsi seksual. Penyakit

diabetes dapat menimbulkan disfungsi seksual, baik pada pria

maupun wanita.pada wanita diabetes dapat menurunkan

rangsangan seksual, mengakibatkan rasa sakit ketika melakukan

hubungan seksual dan hambatan orgasme.

Tabel 2.1 Kondisi Kesehatan Terhadap Gangguan Rangsangan


Seksual
Penyebab Medis Penyebab Vaskuler Hormonal/Endokrin
Obat Hipertensi Disfungsi axis
Pil kontrasepsi Kadar kolesterol (hypothalamus/pituitary)
Depresi tinggi Kastrasi bedah atau
Cedera tulang Diabetes medis
belakang (bisa Penyakit jantung Menopause alami
menyebabkan Traumatik pada Gagal ovarium prematur
kerusakan saraf genital atau daerah pil kontrasepsi jangka
paralysis) pelvik, seperti faktor panjang
Pembedahan (dekat pelviktrauma
sistem urogenital tumpul, disrupsi
atau abdomen beda
Atrofi vaginal
Sumber : (Candra, 2019)
Penyebab lain seperti masalah pada organ pelvik, penyakit

yang terkait dengan organ pelvik, yaitu uterus, kandung kemih,

rektum, serta otot-otot dan jaringan yang menghubungkannya.


27

Yang paling banyak dikeluhkan adalah masalah saluran kemih

serta organ pelvik yang turun, menonjol ke vagina diakibatkan

melemahnya otot dan jaringan.

3) Gangguan orgasmus

Definisi gangguan orgasmus pada wanita dari DSM-IV-TR

menggunakan criteria diagnostik sebagai berikut :

a) Kelambatan yang persisten atau menetap atau ketiadaan

orgasmus pada fase rangsangan seksual normal. Wanita

mengalami variabilitas di dalam jenis atau intensitas stimulasi

yang memicu orgasmus. Diagnosis gangguan orgasmus wanita

sebaiknya berdasarkan uji klinis untuk menentukan kapasitas

orgasmus wanita berdasarkan umur, pengalaman seksual, dan

stimulasi seksual adekuat yang diterima wanita.

b) Gangguan yang mengakibatkan distress atau kesulitan

antarpersonal.

c) Disfungsi seksual tidak lebih dari gangguan disfungsi yang lain

dan tidak hanya karena pengaruh psikologis langsung, misalnya

obatobat medis atau kondisi medis umum. Gangguan orgasmus

wanita selanjutnya dibedakan sebagai berikut :

(1) Primer : orgasmus belum pernah dicapai.

(2) Sekunder : orgasmus pernah dicapai pada waktu yang lalu.

(3) Absolut : orgasmus tidak dimungkinkan pada semua situasi.


28

(4) Situasional : orgasmus tidak dimungkinkan pada situasi

tertentu.

Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendekatan perilaku

kognitif dan pendekatan farmakologis.

4) Dispareunia

Dispareunia didefinisikan sebagai nyeri di daerah genital

yang berhubungan dengan aktivitas seksual sebelum, pada saat,

dan setelah koitus. Dispareunia bisa diakibatkan oleh aktivitas

nonseksual di dalam diri wanita pada tatanan usia tertentu dan bisa

terjadi di beberapa lokasi yang berbeda. Meskipun dispareunia

diklasifikasikan sebagai disfungsi seksual, pendekatan nyeri yang

menyeluruh pada akar masalahnya merupakan pendekatan

multidimensi. Pemikiran tentang penyebabnya menunjukkan

adanya faktor yang mengawali dan diperburuk dengan adanya

faktor lainnya.

c. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Disfungsi Seksual Wanita

Menurut Kusuma (2017), faktor yang menyebabkan disfungsi

seksual pada wanita terdiri dari :

1) Faktor fisiologis meliputi :

a) Siklus menstruasi

Keadaan yang mungkin adalah amenore (tidak terjadi

menstruasi), dismenore (sakit waktu menstruasi), dan

menstruasi yang tidak teratur. Menstruasi yang tidak timbul


29

dapat disebabkan karena anorexia, latihan jasmani yang terlalu

berat, dan perdarahan yang timbul diantara dua siklus

menstruasi.

b) Kehamilan

Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada wanita

hamil berbeda-beda. Sebagian tidak ingin melakukannya pada

tiga bulan pertama kehamilan, kemudian keinginan timbul dan

meningkat pada trimester kedua (bulan ke 4,5,6) serta kembali

turun pada trimester tiga.

c) Menopause

Pada saat memasuki menopause wanita akan mengalami

keadaan vagina kering. Ini merupakan keadaan umum yang

ditemui sesudah menopause dan dapat menyebabkan timbulnya

kesulitan serius saat berhubungan seksual. Vagina kering

disebabkan oleh menurunnya hormon estrogen. Kehilangan

hormon ini menyebabkan terjadinya atrofi lapisan vagina dan

mengurangi kemampuannya untuk menghantarkan cairan dari

jaringan sekitarnya.

2) Faktor organik atau iatrogenic meliputi :

a) Mempengaruhi respons seksual, contohnya neuropathi

deabetika.

b) Mempengaruhi otonom genital, contohnya vulvektomi.

c) Mempengaruhi mobilitas, contohnya cerebrovascular accident


30

d) Terhambat oleh nyeri, contohnya arthritis, angina.

e) Terhambat oleh nyeri genital, contohnya endometriosis.

f) Terhambat oleh kelelahan atau penyakit kronis, contohnya

gagal ginjal.

g) Efek samping pengobatan.

3) Faktor psikososial, kemungkinan disebabkan oleh :

a) Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks.

b) Mitos seksual, kepercayaan seksual, perilaku dan nilai-nilai

yang berkembang dalam keluarga, sosial, kultural, dan agama

memberikan pengalaman mengenai kebiasaan seksual yang

dapat diterima seseorang.

c) Masalah komunikasi

d) Masalah hubungan sehari-hari yang tidak terselesaikan

mungkin menyebabkan kemarahan atau rasa bersalah yang

berujung terjadinya hambatan pada hubungan seksual.

4) Faktor predisposisi dan penyerta

a) Pengalaman hidup dimasalalu dapat menyebabkan masalah

seksual.

b) Harapan yang tidak realistis dan bertentangan, masalah dapat

muncul ketika salah satu pasangan menginginkan seks lebih

dari yang lainnya atau harapan berlebihan memberi tekanan

dan ketakutan jika gagal. Contohnya keinginan seksual yang


31

tidak berubah saat lelah, sakit, kehilangan, hamil ataupun

menginjak usia tua.

Tabel 2.2 Faktor Predisposisi dan Pencetus Disfungsi Seksual

Faktor Predisposisi Faktor Pencetus


a. Kekerasan fisik, emosi a. Usia semakin tua
atau seksual di masa b. Penyakit
kecil. c. Kegagalan berulang
b. Asuhan restriktif d. Tekanan hidup
c. Kurangnya infomasi e. Trauma seksual
d. Kurangnya rasa percaya f. Hilangnya kepercayaan
diri dalam hubungan
e. Kurangnya bahasa tubuh
f. Masalah komunikasi
g. Identitas seksual yang
tidak jelas
h. Gangguan psikiatrik
(Sumber : Candra, 2019)

d. Pemeriksaan disfungsi seksual

Pemeriksaan pasien dengan masalah seksual perlu diselesaikan

secara sensitif, khususnya pasien dengan riwayat kekerasan seksual di

masalalu. Privasi harus terjamin dan pendamping harus selalu

ditawarkan dan dihadirkan ketika seorang pria memeriksa wanita,

pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan umum, pemeriksaan

genital, dan pemeriksaan tambahan.

1) Pemeriksaan umum

Pemeriksaan umum dapat dilakukan dengan memeriksa

karakteristik seksual sekunder dan melihat tanda-tanda anemia,

penyakit tyroid, penyakit kardiovaskuler, gangguan sistem saraf

pusat, keadaan dermatologis, penyakit kronis.


32

2) Pemeriksaan genital

Bagaimana tanggapan seorang wanita terhadap pemeriksaan

genital akan memberikan petunjuk nonverbal atau verbal mengenai

kenyamanan dengan seksual dirinya.

Tabel 2.3 Pemeriksaan Genetalia

Deskripsi Pola Pemeriksaan


Inspeksi vulva a. Tampilan anatomis, misal juvenile
external genetalia, labia minora
yang besar.
b. Masalah dermatologis, misal lichen
sclerosis. Lichen planus, eczema,
psoriasis
c. Infeksi menular seksual, misal
ulserasi genital (herpes, sifilis),
warts.

Inspeksi Vagina a. Abnormalitas anatomis, misal


septum vagina
b. Perubahan atropik
c. Prolapsus organik pelvik
d. Discharge
Pemeriksaan fisik a. Tonus meningkat pada otot
vagina pubococcygeus mengindikasikan
vaginismus
b. Anterior tenderness (curiga patologi
kandung kemih)
c. Posterior tenderness (curiga
patologi rektal atau douglas)
d. Forniks kanan (curiga patologi pada
adneksa kanan)
e. Forniks kiri (curiga patologi pada
kolon sigmoid atau adneksa kiri)
f. Ukuran, bentuk, posisi, mobilitas
dan konsistensi uterus.
(Sumber : Candra, 2019).

3) Pemeriksaan tambahan
33

Pemeriksaan tambahan diperlukan untuk mengetahui

gangguan seksual yang spesifik, yaitu pemeriksaan untuk

mengetahui berkurang atau hilangnya hasrat, ketidakinginan

seksual dan kurangnya kepuasan seksual, gangguan rangsangan

seksual, gangguan orgasme, vaginismus, hubungan seksual yang

terasa sakit, dan masalah spesifik.

a) Berkurang atau hilangnya hasrat seksual

Penyakit fisik kronis sering kali mengawali rendahnya

hasrat dikarenakan keletihan, hilangnya rasa percaya diri,

perubahan bentuk tubuh, atau sebagai efek samping

pengobatan. Penurunan hasrat bisa saja memang murni terjadi,

tapi mungkin juga merupakan sekunder dari gangguan seksual

lain yang disebabkan rasa takut akan suatu kegagalan.

Deskripsi Pemeriksaan
Hasarah yang rendah a. Prolaktin
b. Tes fungsi tyroid
c. Testosteron, estradiol, FSH,
LH
d. DL, B12, Ureum, elektrolit,
tes fungsi liver (LFT) jika
terdapat indikasi.
Gangguan rangsangan a. Periksa yang berhubungan
atau orgasme. dengan infeksi menular
seksual dan infeksi saluran
kemih atau vagina lainnya.
Superficial dispareunia a. Sama seperti nomor 1,
ditambah gula darah dan lipid
profile.
Dispareunia dalam a. Sama seperti nomor 3,
ditambah pemeriksaan USG,
laparoskopi diagnostik.
(Sumber : Candara, 2019)
34

Penatalaksanaan Psikoseksual yang dapat dilakukan adalah :

(1) Cari faktor fisik, jika didapatkan, lakukan pengobatan dan

periksa hubungannya dengan gangguan seksual.

(2) Lakukan pemeriksaan yang sesuai dengan penyebab

(3) Kontrasepsi oral kombinasi dominan estrogen bagi wanita

yang hipoestrogenik. Wanita dengan BMI rendah akibat

gangguan makan atau kegiatan yang berlebihan.

(4) Terapi sulih hormon (Hormone Replacement

Theraphy/HRT) jika menopause.

(5) Implant testosteron atau gel bagi wanita postmenopause,

khususnya jika menopause terjadi prematur melalui

hilangnya fungsi ovarium.

(6) Atasi depresi.

(7) Atasi hipoprolaktinemia.

(8) Serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) dapat mengurangi

respons pobia.

Adapun Penatalaksanaan Fisik meliputi :

(1) Terapi individu (atau pasangan yang sesuai)

(2) Atasi semua masalah seksual di masa lalu

(3) Kegiatan “pekerjaan rumah” untuk meningkatkan

pemahaman dan komunikasi mengenai kebutuhan seksual.


35

b) Ketidakinginan seksual dan kurangnya kepuasan seksual.

Penghindaran terhadap aktifitas seksual, keengganan,

dan fobia sering kali berawal dari pengalaman traumatis,

seperti kekerasan seksual masa kecil atau pemerkosaan.

Ketidakinginan terhadap seksual dan fobia dapat terjadi secara

total, semua aktivitas seksual ditolak, atau situasional yaitu

ketika aktivitas seksual tertentu dapat memicu respons fobia.

Seorang wanita dapat menjadi panik ketika ia terangsang dan

teringat masa kecilnya yang mengatakan bahwa perilaku

seksual tersebut adalah salah. Penatalaksanaan yang dapat

dilakukan adalah :

(1) Terapi individu untuk membantu menemukan faktor

predisposisi atau pencetus.

(2) Cari adanya kesalahan sebelum terjadinya masalah seksual.

(3) Desensitisasi bertahap terhadap suatu aktivitas seksual yang

mengalami respon penolakan.

c) Gangguan rangsangan seksual (Female Sexual Aerosol

Disorder / FSAD).

Respons rangsang fisiologis wanita tidak dapat dilihat,

tidak seperti pada pria, melalui ereksi. Tidak umum bagi wanita

untuk berkonsultasi hanya dengan masalah rangsangan.


36

Biasanya wanita datang dengan keluhan yang berhubungan

dengan hasrat yang rendah, penolakan seksual, atau disfungsi

orgasme.

d) Gangguan orgasme

Pada sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 25%

wanita mengalami disfungsi orgasme.Penyebab yang paling

sering muncul adalah dikarenakan efek samping penggunaan

SSRI pada pengobatan depresi. Penyebab fisik lain yang harus

disingkirkan adalah gangguan neurologis seperti neuropati

diabetikum atau multiple sklerosis. Penatalaksanaan yang

diberikan sebagai berikut :

(1) Psikoseksual : Gunakan fantasi dan bantuan materi seks,

membaca buku-buku yang berhubungan dengan seksual,

gunakan stimulasi puting selama rangsangan seksual untuk

meningkatkan respons orgasme melalui pelepasan oxitocin.

(2) Fisik : Ganti pengobatan jika diperlukan, sildenafil untuk

membantu rangsangan mungkin dapat membantu terjadinya

orgasme.

e) Vaginismus

Vaginismus adalah rasa sakit yang dirasakan oleh wanita

saat bersenggama. Hal ini merupakan reaksi vagina yang

menyempit pada waktu senggama. Pada kondisi ini, wanita

mengalami spasme involunter dari otot pubococcygeus. Otot


37

tersebut menjadi kencang dalam mengantisipasi nyeri fisik

ataupun emosional. Spasme vagina mungkin juga diikuti oleh

spasme dari otot ediktor dari paha. Alasan terjadinya

vaginismus bervariasi seperti pengalaman traumatis masa lalu,

atau tumbuh dengan pesan negatif mengenai seks yang

berakibat adanya ketakutan atau hilangnya kontrol diri.

Penatalaksanaannya sebagai berikut :

(1) Memberikan informasi mengenai anatomi genital dan

respons seksual wanita.

(2) Terapi individu untuk mencari dan menyelesaikan masalah

faktor predisposisi.

(3) Terapi bagi pasangan untuk saling memecahkan masalah d.

Desensitisasi bertahap menggunakan benda seperti jari atau

dilator amielle vagina yang didisain khusus, ditambah

dengan banyak lubrikasi sintesis.

f) Hubungan seksual yang terasa sakit (dispareunia)

Dispareunia adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa

Yunani dyspareunos yang artinya “pasangan yang sakit”.Istilah

ini berdampak kurang menyenangkan bagi wanita yang

biasanya diganggu oleh berbagai gangguan ginekologi, seperti

selaput dara yang tebal, tidak bisa perforasi, persisten, vulvitis,

vaginitis, jaringan parut akibat episiotomi, septum vagina.

Dispareunia sering kali disebabkan oleh kejang vagina


38

(vaginismus). Kondisi ini bersifat psikologis dan biasanya

disebabkan oleh ketakutan akan seks atau tidak suka

berhubungan seksual dengan pasangan tertentu.

Penatalaksanaan yang dapat diberikan seperti :

(1) Fisik :atasi infeksi vulvovaginal, steroid topikal dapat

membantu masalah dermatologi, estrogen topikal dapat

membantu memperbaiki perubahan atropik, anestesi lokal

topikal, amitriptilin atau gabapentin untuk nyeri neuropatik.

(2) Psikoseksual : Penatalaksanaan sama seperti vaginismus,

penyesuaian terhadap posisi seksual mungkin dapat

mengurangi nyeri.

e. Patofisiologi Disfungsi Seksual Postpartum

Panggul pada wanita merupakan organ penting penyokong

fungsi organ-organ vital. Fungi utama otot dasar panggul adalah

penyokong, sfingterik, dan fungsi seksual. Sebagian besar disfungsi

dihubungkan dengan kerusakan akibat proses persalinan, terutama

pada primipara. Persalinan pervaginam dapat membuat perubahan

neurologis pada dasar panggul, sehingga memperburuk efek daya

hantar (konduksi) nervus pudendus, kekuatan kontraksi otot vagina

dan penutupan uretra. Perubahan akibat kehamilan, proses persalinan

yang melibatkan kala I dan lamanya kala II, lewatnya bayi dengan

diameter kepala serta berat bayi tertentu yang melalui jalan lahir,

kontraksi dan trauma pada otot dasar panggul merupakan faktor-faktor


39

yang mampu memberikan kondisi patologis pada wanita yang

melahirkan pervaginam (Sepriono & Cahyanti, 2015)

3. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi DMPA dengan kejadian

Disfungsi Seksual Wanita

Alat kontrasepsi DMPA hanya berisi hormon progesteron yang

memiliki efek utama yaitu mencegah ovulasi dengan kadar progestin yang

tinggi akan menghambat lonjakan LH (Lutenizing Hormone) secara

efektif. Hal ini lambat laun akan menyebabkan gangguan fungsi seksual

berupa penurunan libido dan potensi seksual lainnya (Yunardi 2019).

Penggunaan suntikan DMPA berpengaruh signifikan terhadap

disfungsi seksual dibandingkan pengguna kontrasepsi non DMPA.

Mekanisme kerja suntikan DMPA yang merupakan long-acting

progestational steroid (progesterone) menekan produksi Follicle

Stimulating Hormone (FSH) sehingga menghambat peningkatan kadar

hormone estrogen. Menurunnya kadar estradiol serum erat hubungannya

dengan perubahan mood dan berkurangnya keinginan seksual

penggunanya.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan fungsi

seksual akibat penggunaan kontrasepsi hormonal DMPA adalah dengan

merekomendasikan metode kontrasepsi non-hormonal untuk

mengembalikan siklus alami hormon estrogen dan progesteron yang


40

berperan dalam fungsi seksual wanita. Pada pemberian dosis tunggal 150

mg DMPA secara Intramuskular, apabila diukur berdasarkan prosedur

esktraksi RIA (radioimmunoassay), didapatkan peningkatan selama 4

minggu untuk mencapai puncak plasma konsentrasi 1 sampai 7 ng/ml

serum level (Renardy, 2018).

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh

generalisasi dari hal-hal yang khusus. Sedangkan kerangka konsep penelitian

pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin di

amati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo,

2018).

Variabel Independen Variabel Dependen

Penggunaan Kontrasepsi Kejadian Disfungsi


DMPA Seksual

Faktor yang mempengaruhi Faktor yang menyebabkan


penggunaan kontrasepsi disfungsi seksual wanita
DMPA 1. Faktor biologis
1. Umur a. Siklus menstruasi
2. Pendidikan b. Kehamilan
3. Penghasilan c. Menopause
4. Pekerjaan 2. Faktor organik
5. Pengetahuan 3. Faktor psikososial
6. Sikap 4. Faktor predisposisi
7. Jarak tempat tinggal

Keterangan :
41

: Variabel Yang Diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian


Sumber : (Modifikasi Notoatmodjo, 2018 dan Kusuma, 2017)
42

C. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih

bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya (Sugiyono,

2016).

Hipotesis yang terjawab dalam penelitian ini yaitu ada hubungan

penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian Disfungsi Seksual Wanita di

Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022 dengan nilai p value sebesar

0,000 < 0,05.


43

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif yaitu penelitian

yang dilakukan untuk mencari berbagai variabel dan menganalisis setiap

variabel yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini juga digunakan untuk

meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan

instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik, dengan

tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Dinamakan penelitian

kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis

menggunakan statistik (Sugiyono, 2018).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

korelasional yaitu metode penelitian dengan tujuan untuk mendeteksi tingkat

kaitan variasi-variasi yang ada dalam suatu faktor dengan variasi-variasi

dalam faktor yang lain dengan berdasarkan pada koefisien korelasi (Sugiyono,

2018)

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah case

control yaitu suatu penelitian dengan cara membandingkan antara kelompok

kasus dan kelompok kontrol dengan melihat penyebab atau variabel-variabel

yang mempengaruhi di masa yang sama (Notoatmodjo, 2018)

Desain Penelitian Case Control

Kelompok Kasus
(Akseptor KB DMPA)
Case
Akseptor KB
Control
Kelompok Kasus
(Akseptor KB Hormonal)
44

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi 42

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2018).

Adapun populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah semua

akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Selong pada bulan Oktober

2022 sebanyak 161 orang yang terdiri dari : akseptor KB yang

menggunakan kontrasepsi DMPA sebanyak 128 orang dan akseptor KB

yang menggunakan kontrasepsi hormonal sebanyak 33 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki

oleh populasi yang digunakan untuk penelitian. Untuk itu sampel yang

diambil dari populasi harus betul-betul mewakili dan harus valid, yaitu

bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2018).

Sampel dalam penelitian ini adalah semua akseptor KB aktif yang

menggunakan kontrasepsi DMPA di Wilayah Kerja Puskesmas Selong

pada bulan Oktober 2022 sebanyak 161 orang dan semua akseptor KB

aktif yang menggunakan kontrasepsi hormonal di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong pada bulan Oktober 2022 sebanyak 33 orang dengan

perbandingan 1 : 1. Sampel kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus dalam penelitian


45

ini adalah kelompok akseptor KB Aktif yang menggunakan kontrasepsi

DMPA sebanyak 33 orang. Kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah

asektor KB Aktif yang menggunakan kontrasepsi hormonal sebanyak 33

orang. Jadi total sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini

sebanyak 66 orang.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang

jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data

sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi

agar diperoleh sampel yang representatif (Sugiyono, 2018).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2019). Penggunaan teknik

Purposive Sampling karena tidak semua sampel memiliki kriteria yang

sesuai dengan fenomena yang diteliti.

Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Kelompok Kasus

1) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel (Notoadmodjo, 2018). Kriteria inklusi yang akan dijadikan

sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


46

1) Akseptor KB yang menggunakan alat kontrasepsi DMPA di

Puskesmas Selong

2) Akseptor KB DMPA yang bersedia menjadi responden.

3) Akseptor KB DMPA yang bisa membaca dan menulis.

2) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoadmodjo, 2018). Kriteria

eksklusi pada penelitian ini :

a) Akseptor KB DMPA yang berdomisili di luar wilayah Kerja

Puskesmas Selong.

b) Akseptor KB DMPA yang mengalami gangguan pada alat

reproduksinya seperti kanker serviks, mioma uteri dan polip

endometrium.

b. Kelompok Kontrol

1) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel (Notoadmodjo, 2018). Kriteria inklusi yang akan dijadikan

sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Akseptor KB yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal

di Puskesmas Selong

2) Akseptor KB hormonal yang bersedia menjadi responden.

3) Akseptor KB hormonal yang bisa membaca dan menulis.


47

2) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoadmodjo, 2018). Kriteria

eksklusi pada penelitian ini :

1) Akseptor KB hormonal yang berdomisili di luar wilayah

Kerja Puskesmas Selong.

2) Akseptor KB hormonal yang mengalami gangguan pada alat

reproduksinya seperti kanker serviks, mioma uteri dan polip

endometrium.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Puskesmas Selong

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November tahun 2022.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Variabel Independent)

Variabel bebas (independent) adalah variabel yang berpengaruh yang

menyebabkan berubahnya nilai dari variabel terikat (Sugiyono, 2018).

Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah penggunaan

kontrasepsi DMPA.
48

2. Variabel Terikat (Variabel Dependent)

Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang diduga nilainya

akan berubah karena pengaruh dari variabel bebas (Sugiyono, 2018).

Variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah kejadian disfungsi

seksual wanita.

E. Definisi Operasional Penelitian

Definisi operasional adalah variabel penelitian dimaksudkan untuk

memahami arti setiap variabel penelitian sebelum dilakukan analisis

(Sugiyono, 2018).

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Parameter/ Alat Ukur Hasil Skala
Operasional Indikator Ukur Data
Variabel Penggunaan Alat kontrasepsi yang Kuesioner 1. Menggunakan Ordinal
Independent: kontrasepsi digunakan oleh DMPA
Penggunaan yang rsponden pada saat 2. Tidak
kontrasepsi mengandung penelitian dilakukan menggunakan
DMPA 150 mg DMPA
DMPA yang
diberikan
setiap 3 bulan
dengan cara
disuntik
intramuskular

Variabel Gangguan 1. Keinginan Kuesioner 1. Mengalami Ordinal


Dependent: seksual yang berhubungan FSFI disfungsi
Kejadian dialami oleh seksual seksual wanita
disfungsi wanita usia 2. Gairah seksual : jika skor yang
seksual subur (WUS) 3. Orgasme pada saat diperoleh ≤ 47
wanita seperti : berhubungan 2. Tidak
seperti seksual mengalami
gangguan 4. Kepuasan disfungsi
hasrat, berhubungan seksual
gangguan seksual wanita : jika
rangsangan 5. Ketidaknyamanan skor yang
seksual, saat berhubungan diperoleh > 47
gangguan seksual
49

orgasmus dan
dispareunia.

F. Instrumen Penelitian dan Metode Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan

peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan

hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis

sehingga lebih mudah diolah. Variasi jenis instrumen penelitian adalah

angket, check-list, atau daftar centang, pedoman wawancara, pedoman

pengamatan (Arikunto, 2019). Instrumen yang akan digunakan untuk

mengumpulkan data tentang penggunaan alat kontrasepsi DMPA adalah

kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 2 soal dengan jawaban ya

diberi skor 1 dan jawaban tidak diberi skor 0. Sedangkan instrumen yang

digunakan untuk mengumpulkan data tentang kejadian disfungsi seksual

wanita adalah kuesioner female sexual function index (FSFI) yang

diadopsi dari R. Rosen et al (2015) dengan jumlah pertanyaan sebanyak

19 soal dengan jawaban selalu diberi skor 5, sering sekali diberi skor 4,

kadang-kadang diberi skor 3, beberapa kali diberi skor 2 dan tidak pernah

diberi skor 1.

Tabel 3.2 Kisi-ksi Kuesioner

No Pernyataan Nomor Soal Jumlah


Soal
1 Keinginan berhubungan seksual 1, 2 2
2 Gairah seksual 3, 4, 5 3
3 Orgasme pada saat berhubungan seksual 7, 8, 9, 10, 7
50

11, 12, 13
4 Kepuasan berhubungan seksual 6, 14, 15, 16 4
5 Ketidaknyamanan saat berhubungan 17, 18, 19 3
seksual
Total 19

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengumpulan

langsung yaitu peneliti langsung menemui responden dan memberikan

kuesioner, kemudian peneliti melakukan pengamatan apakah responden

sudah melakukan pengisian dengan baik dan benar, lalu dituangkan dalam

checklist yang sudah disusun, sebelum itu peneliti harus memberikan

penjelasan kepada responden tentang maksud dan tujuannya melakukan

penelitian, dan memberikan inform consent kepada responden, dan

memenuhi hak-hak responden. Setelah pengisian inform consent

dilakukan, selanjutnya responden diberikan kuesioner untuk diisi oleh

responden. Pengumpulan data dalam penelitian ini dibantu oleh asisten

atau enumenator yang tupoksinya memberikan kuesioner dan menjelaskan

cara pengsisian.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data Primer

Data Primer adalah data/materi yang di kumpulkan sendiri oleh

peneliti pada saat berlangsungnya penelitian (Arikunto, 2019). Data

primer dalam penelitian ini meliputi :

1) Data tentang penggunaan kontrasepsi DMPA diperoleh melalui

wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner.


51

2) Data tentang kejadian disfungsi seksual wanita diperoleh dengan

menggunakan alat bantu kuesioner female sexual function index

(FSFI)

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data/angka yang diambil dari suatu

sumber dan biasanya data sudah dikomplikasikan terlebih dahulu oleh

yang punya data (Arikunto, 2019). Data sekunder dalam penelitian ini

yaitu :

1) Data tentang jumlah pengguna alat kontrasepsi yang diperoleh

dengan menggunakan alat bantu register.

2) Data tentang gambaran umum Puskesmas Selong diperoleh dari

buku profil.

G. Cara Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu :

1. Editing

Editing yaitu kegiatan mempersiapkan data yang sudah diperoleh

sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut. Dimana peneliti harus

mengecek kembali kelengkapan data

2. Scoring

Scoring merupakan penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini

menggunakan skala nominal. Oleh karena itu hasil kuesioner yang telah di

isi bila jawabannya hampir selalu (diberi skor 5), sering sekali (diberi skor

4), kadang-kadang (diberi skor 3), beberapa kali (diberi skor 2) dan
52

hampir tidak pernah (diberi skor 1). Kemudian jumlah skor yang

diperoleh yang dijumlahkan, apabila skor yang diperoleh > 47, maka

masuk dalam kategori mengalami disfungsi seksual wanita dan apabila

skor yang diperoleh ≤ 47, maka masuk dalam kategori tidak mengalami

disfungsi seksual wanita.

3. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi

data berbentuk angka/ bilangan.

a. Penggunaan kontrasepsi DMPA

Penggunaan kontrasepsi DMPA dikelompokkan menjadi 2 kategori

yaitu :

1) Menggunakan kontrasepsi DMPA : diberi kode 1

2) Tidak menggunakan kontrasepsi DMPA : diberi kode 2

b. Kejadian Disfungsi Seksual Wanita

Disfungsi seksual wanita dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

1) Disfungsi Seksual Wanita : diberi kode 1

2) Tidak Disfungsi Seksual Wanita : diberi kode 2

4. Tabulating

Tabulating merupakan kegiatan menggambarkan jawaban responden

dengan cara tertentu. Tabulasi juga dapat digunakan untuk menciptakan

statistik deskriptif variabel-variabel yang diteliti atau yang variabel yang

akan di tabulasi silang.

5. Entri
53

Entri data yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam komputer untuk

selanjutnya dapat dilakukan analisis data.

H. Analisis Data

Analisis data diartikan sebagai upaya data yang sudah tersedia

kemudian diolah dengan statistik dan dapat digunakan untuk menjawab

rumusan masalah dalam penelitian. Dengan demikian teknik analisis terhadap

data, dengan tujuan mengolah data tersebut untuk menjawab rumusan

masalah (Sugiyono, 2018).

Analisa data dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah mendeskripsikan setiap variabel yang

diteliti, diagnosis asumsi statistik lanjut deteksi nilai ekstrim/outlier

(Amran, 2016).

Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi

dan persentase dari tiap variabel yaitu penggunaan kontrasepsi DMPA dan

kejadian disfungsi seksual wanita. Analisis univariat dilakukan

menggunakan rumus berikut : (Notoatmodjo, 2018)

X
P= x 100 %
N
Keterangan :

P: Presentase

X : Jumlah kejadian pada responden

N : Jumlah seluruh responden


54

2. Analisis Bivariat

Analisa Bivariat yaitu dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi (Notoadmojo, 2012). Pada penelitian ini

menggunakan uji Chi Square. Uji tersebut dapat menggunakan bantuan

komputerisasi program SPSS (Statistic Product Service Solution) for

windows release 21. Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan

penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian disfungsi seksual wanita

di Puseksmas Selong Tahun 2022 dengan pengambilan keputusan sebagai

berikut:

a) Bila p value < α (0,05) berarti ada hubungan penggunaan kontrasepsi

DMPA dengan kejadian disfungsi seksual wanita di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong Tahun 2022.

b) Bila p value > α (0.05) berarti tidak ada hubungan penggunaan

kontrasepsi DMPA dengan kejadian disfungsi seksual wanita di

Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022.

I. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam

penelitian, mengingat penelitian kebidanan berhubungan langsung dengan

manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat, 2017).


55

Ada beberapa etika dalam penelitian yang harus diperhatikan oleh

peneliti sendiri, antara lain:

1. Lembar Persetujuan Responden (Informed Consent)

Lembar persetujuan akan diberikan kepada responden atau subjek

sebelum penelitian dilaksanakan dengan maksud supaya responden

mengetahui tujuan penelitian, jika subjek bersedia diteliti harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut, tetapi jika tidak bersedia

maka `peneliti harus tetap menghormati hak responden (Notoadmodjo,

2018).

2. Tanpa Nama (Anonymity)

Peneliti tidak mencantumkan nama responden yang akan dijadikan

sebagai subyek penelitian untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek,

tetapi peneliti akan memberi tanda atau kode secara khusus (Notoadmodjo,

2018).

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Peneliti senantiasa akan menjaga kerahasiaan dari data yang

diperoleh, dan hanya akan disajikan kepada kelompok tertentu yang

berhubungan dengan penelitian, sehingga rahasia subyek penelitian benar-

benar terjamin. Metode penelitian merupakan suatu cara dalam melakukan

penelitian, metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat,

serta desain penelitian yang digunakan (Notoadmodjo, 2018)


56

J. Alur Penelitian

Surat Pengantar dari Bappeda Kepala


Kampus Puskesmas Selong

Penelitian Populasi Pengambilan Data


dan Sampel Awal

Penyusunan Ujian Proposal Revisi Proposal


Proposal Penelitian Penelitian Penelitian

Penyusunan Pengolahan Turun Ke Lahan


Skripsi Data Pengambilan Data

Ujian
Skripsi

Gambar 3.1 Alur Penelitian Hubungan Penggunaan Kontrasepsi DMPA dengan


Kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas
Selong Tahun 2022.
57

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Puskesmas Selong

UPT BLUD Puskesmas Selong merupakan salah Puskesmas di

wilayah dalam perkotaan Kecamatan Selong. Secara geografis berada di

Sebelah Timur Pulau Lombok. Luas wilayah kerja Pukesmas Selong

adalah 14,81 km2 dengan jumlah penduduk 40,570 jiwa dan 11,899 Kepala

Keluarga.

Secara administratif batas-batas Wilayah Kerja Puskesmas Selong

sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Bagik Payung Kec.

Suralaga.

b. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Denggen

Kecamatan Selong

c. Sebelah Timur : Berbatasan Dengan Kelurahan Tanjung Kec.

Labuhan Haji.

d. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Pancor Kecamatan

Selong.

56
58

Berdasarkan data administrasi Kecamatan Selong, wilayah kerja

Puskesma Selong pada tahun 2020 terbagi menjadi 6 (Enam) Kelurahan

yaitu;

a. Lurah Selong

b. Lurah Sandubaya

c. Lurah Kembang sari

d. Lurah Kelayu Jorong

e. Lurah Kelayu Selatan

f. Lurah Kelayu Utara

2. Analisis Univariat

a. Karakteristik Responden

1) Identifikasi Umur Responden di Wilayah Kerja Puskesmas


Selong Tahun 2022

Pada penelitian ini umur responden dikelompokkan menjadi

3 kategori yaitu <20 tahun, 20-35 tahun dan >35 tahun. Untuk

mengetahui lebih jelas tentang umur responden, maka dapat dilihat

pada tabel 4.1 di bawah ini :

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja


Puskesmas Selong Tahun 2022

No Umur n %
1 <20 tahun 2 3,0
2 20 – 35 tahun 46 69,7
3 > 35 tahun 18 27,3
Jumlah 66 100
Sumber: (Data Primer Tahun 2022 )

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa dari 66

responden yang diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong,

sebagian besar berada pada kelompok umur 20 – 35 tahun


59

sebanyak 46 orang (69,7%) dan sebagian kecil berada pada

kelompok umur < 20 tahun sebanyak 2 orang (3,0%).

2) Identifikasi Pendidikan Responden di Wilayah Kerja


Puskesmas Selong Tahun 2022

Pada penelitian ini pendidikan responden dikelompokkan

menjadi 3 kategori yaitu dasar, menengah dan tinggi. Untuk

mengetahui lebih jelas tentang pendidikan responden, maka dapat

dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah


Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022

No Pendidikan n %
1 Dasar 24 36,4
2 Menengah 37 56,1
3 Tinggi 5 7,5
Jumlah 66 100
Sumber: (Data Primer Tahun 2022 )

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa dari 66

responden yang diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong,

sebagian besar berpendidikan menengah sebanyak 37 orang

(56,1%) dan sebagian kecil berpendidikan tinggi sebanyak 5 orang

(7,5%).

3) Identifikasi Pekerjaan Responden di Wilayah Kerja


Puskesmas Selong Tahun 2022

Pada penelitian ini pekerjaan responden dikelompokkan

menjadi 2 kategori yaitu bekerja (PNS, Honorer, Swasta) dan tidak

bekerja (IRT). Untuk mengetahui lebih jelas tentang pekerjaan

responden, maka dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini :


60

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah


Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022

No Pekerjaan n %
1 Bekerja (PNS, Honorer, Swasta) 16 24,2
2 Tidak Bekerja (IRT) 50 75,8
Jumlah 66 100
Sumber: (Data Primer Tahun 2022 )

Berdasarkan Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa dari 66

responden yang diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong, lebih

banyak yang tidak bekerja (IRT) sebanyak 50 orang (75,8%)

dibandingkan dengan yang bekerja sebanyak 16 orang (24,2%).

b. Identifikasi Penggunaan Kontrasepsi DMPA di Wilayah Kerja


Puskesmas Selong Tahun 2022

Pada penelitian ini penggunaan kontrasepsi DMPA di Wilayah

Kerja Puskesmas Selong dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu

menggunakan DMPA dan tidak menggunakan DMPA. Untuk

mengetahui lebih jelas, maka dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penggunaan Kontrasepsi


DMPA di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022

No Penggunaan n %
Kontrasepsi DMPA
1 Menggunakan DMPA 33 50,0
2 Tidak Menggunakan DMPA 33 50,0
Jumlah 66 100
Sumber: (Data Primer Tahun 2022 )

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa dari 66

responden yang diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong, yang

menggunakan kontrasepsi DMPA dan yang tidak menggunakan

kontrasepsi DMPA masing-masing sebanyak 33 orang (50,0%).


61

c. Identifikasi Kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja


Puskesmas Selong Tahun 2022

Pada penelitian ini kejadian disfungsi seksual wanita di Wilayah

Kerja Puskesmas Selong dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu

disfungsi seksual wanita dan tidak disfungsi seksual wanita. Untuk

mengetahui lebih jelas, maka dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Disfungsi Seksual


Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022

Kejadian
No n %
Disfungsi Seksual Wanita
1 Disfungsi Seksual Wanita 36 54,5
2 Tidak Disfungsi Seksual Wanita 30 45,5
Jumlah 66 100
Sumber: (Data Primer Tahun 2022 )

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa dari 66

responden yang diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong, lebih

banyak yang disfungsi seksual wanita sebanyak 36 orang (54,5%)

dibandingkan dengan yang tidak disfungsi seksual wanita sebanyak 30

orang (45,5%).

3. Analisis Bivariat

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi DMPA dengan Kejadian


Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun
2022

Untuk mengetahui hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA

dengan kejadian disfungsi seksual wanita di Wilayah Kerja Puskesmas

Selong Tahun 2022, maka dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut:
62

Tabel 4.6 Hubungan Penggunaan Kontrasepsi DMPA dengan Kejadian Disfungsi


Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022

Penggunaan Disfungsi Tidak Disfungsi


Total P Odds
No Kontrasepsi Seksual Wanita Seksual Wanita
value Ratio
DMPA n % n % n %
1 Menggunakan
25 37,9 8 12,1 33 50,0
DMPA
2 Tidak 0,001 12,38
Menggunakan 11 16,7 22 33,3 33 50,0
DMPA
Jumlah 36 54,5 30 45,5 66 100

Berdasarkan Tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa dari 66 responden

yang diteliti didapatkan sebanyak 33 orang (50,0%) yang menggunakan

DMPA lebih banyak yang disfungsi seksual wanita sebanyak 25 orang

(37,9%) dibandingkan dengan yang tidak disfungsi seksual wanita

sebanyak 8 orang (12,1%) dan yang tidak menggunakan DMPA sebanyak

33 orang (50,0%) lebih banyak yang tidak disfungsi seksual wanita

sebanyak 22 orang (33,3%) dibandingkan dengan yang disfungsi seksual

wanita sebanyak 11 orang (16,7%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai

p value sebesar 0,001 (p < 0,05) dengan odds ratio sebesar 12,38, karena

0,001 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian disfungsi seksual wanita

di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022. Kemudian dari hasil

analisis juga didapatkan odds ratio sebesar 12,38 yang artinya bahwa

responden yang menggunakan kontrasepsi DMPA memiliki resiko sebesar

12 kali lipat untuk mengalami disfungsi seksual wanita dibandingkan

dengan responden yang tidak menggunakan kontrasepsi DMPA.


63

B. Pembahasan

1. Penggunaan Kontrasepsi DMPA di Wilayah Kerja Puskesmas Selong


Tahun 2022

a. Responden Yang Memakai Kontrasepsi DMPA

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong menunjukkan bahwa dari 66 responden yang

diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong, yang menggunakan

kontrasepsi DMPA sebanyak 33 orang (50,0%). Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Isfaizah tahun 2019 tentang

“Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Dengan Disfungsi

Seksual Di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep” dari 200 responden yang

diteliti, yang menggunakan alat kontrasepsi suntik 3 bulan (DMPA)

yaitu sebanyak 50 orang (25,0%), pil sebanyak 50 orang (25,0%),

suntik 1 bulan sebanyak 50 orang (25,0%) dan implant sebanyak 50

orang (25,0%). Dalam penelitiannya tersebut diuraikan bahwa

pemakaian alat kontrasepsi suntik DMPA dalam jangka yang lama

dapat menurunkan kadar estrogen dan mempengaruhi metabolisme

hormon dalam tubuh serta semakin banyak terjadi efek samping.

b. Responden Yang Tidak Memakai Kontrasepsi DMPA

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas Selong menunjukkan bahwa dari 66 responden yang

diteliti di Wilayah Kerja Puskesmas Selong, yang tidak menggunakan

kontrasepsi DMPA sebanyak 33 orang (50,0%). Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinrin Anggraeni Dewi


64

tahun 2022 tentang “Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntikan 3

Bulan Pada Akseptor KB 3 Bulan Dengan Disfungsi Seksual di BPM

Sri Puspa Kencana” hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

penggunaan kontrasepsi suntikan 3 bulan dari 71 responden,

sebagian besar menggunakan kontrasepsi suntikan 3 bulan (DMPA)

lebih dari 1 tahun sebanyak 52 orang (73,2%) dan responden lain

menggunakan kontrasepsi suntikan 3 bulan kurang dari 1 tahun

sebanyak 19 orang (26,8%). Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa

penggunaan kontrasepsi suntikan 3 bulan memiliki efek samping

amenorea, perdarahan, keputihan, disfungsi seksual, dan

bertambahnya berat badan.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penggunaan

metode kontrasepsi suntikan DMPA yang bekerja menghambat

sekresi dan mencegah maturasi folikel primer di ovarium, mencegah

ovulasi dan menyebabkan penipisan endometrium. Hal ini disebabkan

menurunnya pulsasi GnRH sehingga mengurangi pelepasan FSH dan

mencegah peningkatan kadar estrogen. Progesterone negative

feedback dan kekurangan estrogen positif feedback menyebabkan

rendahnya kadar estradiol serum. Bila hal ini berlangsung terus

selama penggunaan DMPA, maka lambat laun penurunan estradiol

serum akan bertahan pada fase folikuler yang berdampak terhadap

penurunan keinginan seksual dan gangguan fungsi seksual lainnya

(Renardy, 2018).
65

Sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan di Wilayah

Kerja Puskesmas Selong, maka peneliti berasumsi bahwa banyaknya

responden yang menggunakan alat kontrasepsi DMPA disebabkan

karena biayanya murah dan terjangkau. Selain itu, proses

penyuntikannya dilakukan hanya 1 kali dalam 3 bulan, sehingga dari

segi biaya hal ini sangat menguntungkan bagi ibu karena tidak

memerlukan biaya yang mahal untuk menggunakan kontrasepsi suntik

DMPA. Disamping itu, alat kontrasepsi DMPA juga bisa dihentikan

setiap saat serta bisa teratur dalam penggunaannya.

Selain itu, ada juga beberapa responden yang menggunakan alat

kontrasepsi hormonal lainnya seperti KB suntik 1 bulan, pil dan

implant, sesuai dengan hasil penelitian tersebut, maka peneliti

berasumsi bahwa masih adanya ibu yang tidak menggunakan

kontrasepsi DMPA atau lebih memilih menggunakan alat kontrasepsi

hormonal lainnya disebabkan karena responden merasa nyaman dan

tidak adanya keluhan dalam menggunakan alat kontrasepsi tersebut,

sehingga responden merasa enggan untuk mengganti alat kontrasepsi

yang digunakan.

Berdasarkan karakteristik dari segi umur, umur merupakan

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan alat

kontrasepsi DMPA. Hasil penelitian di Puskesmas Selong

menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang diteliti berada

pada kelompok umur 20 – 35 tahun, hal ini menunjukkan bahwa umur


66

20 – 35 tahun merupakan usia produktif, dimana pada usia tersebut

pola dan daya tangkap yang dimilikinya semakin berkembang

sehingga lebih dewasa dalam berfikir dan menyerap berbagai

informasi tentang penggunaan DMPA dari berbagai media cetak

maupun online. Kemudian pada umur < 20 tahun, cara berfikirnya

masih belum matang sedangkan pada umur > 35 tahun, daya ingatnya

sudah mulai berkurang, sehingga ibu kesulitan untuk menyerap

informasi.

Kemudian dilihat dari segi pendidikan, sebagian besar

responden yang diteliti berpendidikan menengah. Pendidikan yang

ditempuh oleh responden juga merupakan salah satu indikator yang

dapat mempengaruhi responden dalam penggunaan alat kontrasepsi.

Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh ibu, maka semakin

banyak pula informasi yang didapatkan oleh ibu tentang penggunaan

alat kontrasepsi, karena pada umumnya ibu dengan tingkat pendidikan

yang tinggi lebih banyak terpapar informasi tentang penggunaan alat

kontrasepsi dibandingkan dengan responden yang tingkat

pendidikannya cukup dan rendah. Namun dalam hal ini sebagian besar

responden yang diteliti berpendidikan menengah sehingga informasi

yang didapatkan tentang penggunaan alat kontrasepsi cukup memadai.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan ibu yang

berpendidikan menengah dan dasar, maka perlu diberikan bimbingan

konseling dan penyuluhan secara rutin agar pemahamannya tentang


67

penggunaan alat kontrasepsi dapat ditingkatkan dengan baik sehingga

responden bisa memilih alat kontrasepsi yang cocok sesuai dengan

pemahaman yang dimilikinya.

Sedangkan dilihat dari dari pekerjaan, sebagian besar responden

yang diteliti tidak bekerja (IRT). Hal ini juga berpengaruh terhadap

penggunaan alat kontrasepsi. Responden yang bekerja cenderung

sibuk dan tidak memiliki banyak waktu luang untuk mencari

informasi tentang penggunaan alat kontrasepsi DMPA sedangkan

pada ibu yang tidak bekerja (IRT) lebih banyak memiliki waktu luang

untuk mencari informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan

penggunaan alat kontrasepsi DMPA. Dengan demikian, peneliti

berasumsi bahwa ibu yang tidak bekerja (IRT) cenderung

mendapatkan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu

yang bekerja, karena dengan banyaknya waktu luang yang dimiliki,

ibu bisa mendapatan informasi lebih banyak melaui konsultasi dengan

petugas keeshatan yang ada di tempat pelayanan kesehatan baik di

Puskesmas, Rumah Sakit maupun tempat pelayanan kesehatan

lainnya.

2. Kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas


Selong Tahun 2022

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas

Selong menunjukkan bahwa dari 66 responden yang diteliti di Wilayah

Kerja Puskesmas Selong, lebih banyak yang disfungsi seksual wanita


68

sebanyak 36 orang (54,5%) dibandingkan dengan yang tidak disfungsi

seksual wanita sebanyak 30 orang (45,5%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Restu

Arahman Melba tahun 2022 tentang “Hubungan Penggunaan Kontrasepsi

3 Bulan Terhadap Difungsi Seksual” dari hasil penelitian yang

dilakukannya menunjukkan bahwa dari 36 responden yang diteliti,

sebagian besar mengalami disfungsi seksual sebanyak 26 orang (68,4%)

dan sebagian kecil tidak mengalami disfungsi seksual sebanyak 12 orang

(31,6%). Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa disfungsi seksual

merupakan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi

seksual. Fungsi seksual di nilai dengan melihat gairah seksual, orgasme

dan rasa sakit.

Penelitian ini juga didukung oleh penelitiannya Isfaizah tahun 2019

tentang “Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi

Seksual di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep” dari hasil penelitiannya

diketahui bahwa sebagian besar responden yang diteliti mengalami

difungsi seksual sebanyak 110 orang (55,0%) dan sebagian kecil tidak

mengalami disfungsi seksual sebanyak 90 orang (45,0%). Disfungsi

seksual pada responden disebabkan karena adanya gangguan respon

fungsi seksual atau gangguan pada perilaku seksual.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa disfungsi

seksual wanita merupakan gangguan seksual yang sering kali

menyebabkan depresi pada wanita. Gangguan ini biasanya dibagi menjadi


69

empat jenis: gangguan hasrat (tidak bergairah) gangguan stimulasi (tubuh

tidak bisa merespon rangsangan seksual) (Siti Candra Windu, 2019).

Pada penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Selong

ditemukan bahwa sebagian besar responden mengalami disfungsi seksual

wanita. Dari beberapa pernyataan yang ajukan melalui kuesioner,

gangguan disfungsi seksual yang dialami oleh responden didominasi oleh

adanya gangguan pada keinginan berhubungan seksual sebesar 35,8%,

gangguan disfungsi seksual lainnya yang juga banyak dialami oleh

responden yaitu gairah seksualnya menurun sebesar 24,3%, kemudian

responden juga mengalami masalah orgasme pada saat berhubungan

seksual sebesar 15,5%, yang dikuti dengan adanya gangguan lain seperti

kepuasan berhubungan seksual sebesar 20,2% dan gangguan disfungsi

seksual yang paling sedikit dialami oleh responden yaitu

ketidaknyamanan saat berhubungan seksual sebesar 4,2%.

Terjadinya gangguan disfungsi seksual pada responden disebabkan

karena penggunaan alat kontrasepsi DMPA yang terlalu lama

menyebabkan terjadinya defisiensi hormon seks yang mengakibatkan

penurunan fungsi seksual. Selain itu, penggunaan alat kontrasepsi DMPA

yang terlalu lama menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi hormon

estrogen sehingga kualias kekuatan seksualnya menjadi menurun. Gejala

yang dominan terjadi terhadap penggunaan alat kontrasepsi DMPA yaitu

efek samping dari DMPA seperti tidak menstruasi, flek yang

berkepanjangan dan kadang-kadang pusing serta mengalami kenaikan


70

berat badan. Sedangkan pada responden yang tidak mengalami difungsi

seksual wanita walaupun menggunakan alat kontrasepsi hormonal seperti

DMPA, pil, implant dan AKDR disebabkan karena kadar hormonnya

tetap dalam keadaan normal sehingga responden mampu menjaga kualitas

seksualnya dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hormon yang

dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda, apabila responden mampu

menjaga kadar hormonnya dengan baik, maka fungsi seksualnya juga

akan semakin normal.

3. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi DMPA dengan Kejadian


Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun
2022

Hasil analisis dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p

value sebesar 0,001 (p < 0,05), karena 0,001 < 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara penggunaan kontrasepsi DMPA

dengan kejadian disfungsi seksual wanita di Wilayah Kerja Puskesmas

Selong Tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan alat

kontrasepsi DMPA dapat menyebabkan terjadinya gangguan disfungsi

seksual pada wania.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitiannya Rosita Ningsih

tahun 2018, Berdasarkan hasil uji lamda diperoleh nilai ρ value 0,047

dengan tingkat kemaknaan α (0,05), berarti nilai ρ value < α, dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa Ho diterima yang berarti ada

hubungan lama penggunaan KB suntik DMPA dengan penurunan libido

di BPS Siti Muzayyana Socah Bangkalan. Berdasarkan penjelasan yang


71

diuraikan dalam penelitinya disebutkan bahwa lama penggunaan KB

suntik DMPA dapat menurunkan gairah seksual atau libido menurun,

karena KB suntik DMPA mengandung hormone progesteron terutama

yang berisi 19- progesteron yang pada penggunaan jangka panjang akan

mempengaruhi hyphofise kemudian hyphofise berpengaruh terhadap

sekresi basal FSH dan LH dengan demikian mengacaukan keseimbangan

progesteron dan estrogen

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitiannya Juli Jumiati

tahun 2020, berdasarkan uji statistik chi square with continuity correction,

diperoleh nilai X2 = 6,332 (p-value = 0,003), karena p – value = 0,000 <

0,05, maka hipotesis nol ditolak, Ha diterima yang berarti bahwa ada

hubungan yang signifikan antara alat kontrasepsi suntik dengan

penurunan libido ibu di Desa Lubuk Lagan Wilayah Kerja Puskesmas

Suka Merindu Kabupaten Seluma. Hal ini berarti bahwa pada penggunaan

alat kontrasepsi suntik akan memberikan dampak terhadap rendahnya

estradiol serum seiring dengan lamanya pemakaian.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa alat kontrasepsi

DMPA berisikan hormone progesterone yang memiliki efek yaitu

mencegah ovulasi. Kadar progestin yang tinggi dalam tubuh menghambat

lonjakan Luteinizing Hormone secara aktif, menyebabkan gangguan

fungsi seksual seperti penurunan libido dan potensi seksual lainnya.

Disfungsi seksual yang terjadi kemampuan orgasme serta rasa sakit saat

hubungan seksual. Selain itu, alat kontrasepsi suntik DMPA lebih


72

mempengaruhi terjadinya disfungsi seksual dibandingkan dengan

kontrasepsi lain, alat kontrasepsi suntik DMPA mengandung hormon

progesteron yang efek kerjanya adalah antiestrogenik sehingga kadar

estradiol menjadi berkurang yang mengakibatkan terjadinya disfungsi

seksual (Sri Rahayu, 2017).

Kemudian, dari hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan

cross sectional diketahui bahwa dari 33 orang (50,0%) yang

menggunakan DMPA lebih banyak yang disfungsi seksual wanita

sebanyak 25 orang (37,9%) dibandingkan dengan yang tidak disfungsi

seksual wanita sebanyak 8 orang (12,1%). Sesuai dengan hasil penelitian

tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa tingginya angka kejadian

disfungsi seksual pada responden yang menggunakan alat kontrasepsi

hormonal DMPA disebabkan karena kondisi fisiologis seperti adanya

keluhan vagina kering akibat hipoestrogenik pada pengguna DMPA akan

menimbulkan kesulitan yang serius pada waktu hubungan seksual.

Pemakaian alat kontrasepsi DMPA yang terlalu lama bisa mengakibatkan

terjadinya penurunan hasrat seksual. Sedangkan yang tidak mengalami

difungsi seksual pada responden yang menggunakan DMPA disebabkan

karena kondisi fisiologisnya dalam keadaan baik, sehingga hormon

estrogen dalam tubuhnya tetap dalam keadaan normal.

Sedangkan pada responden yang tidak menggunakan DMPA

sebanyak 33 orang (50,0%) lebih banyak yang tidak disfungsi seksual

wanita sebanyak 22 orang (33,3%) dibandingkan dengan yang disfungsi


73

seksual wanita sebanyak 11 orang (16,7%). Sesuai dengan hasil penelitian

tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa rendahnya angka kejadian

disfungsi seksual pada responden yang menggunakan alat kontrasepsi

hormonal seperti KB Suntik 1 bulan, pil dan implant disebabkan karena

kandungan hormon yang dikandung oleh kontrasepsi KB suntik 1 bulan,

pil dan implant lebih sedikit jika dibandingkan dengan alat kontrasepsi

DMPA, sehingga pengaruhnya terhadap gangguan disfungsi seksual

wanita lebih rendah.

C. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan yang peneliti temukan antara lain :

1. Format kuesioner yang digunakan bentuknya cukup merepotkan membuat

responden kurang fokus menjawab pernyataan yang diajukan sehingga

peneliti merubah bentuk kuesionernya menjadi lebih sederhana agar

mudah dipahami oleh responden.

2. Pada saat proses pengisian kuesioner, beberapa responden yang diteliti

terlihat kurang fokus, disebabkan karena ada kegiatan lain sehingga

cenderung tergesa-gesa dalam melakukan pengisian kuesioner. Akan

tetapi, agar tidak terjadi kesalahan dalam pengisian kuesioner, peneliti

mengarahkan ibu untuk mengisi kuesioner sesuai dengan keadaan yang

dialaminya.

3. Terbatasnya waktu penelitian sehingga peneliti hanya memperoleh hasil

dari jawaban kuesioner yang diisi oleh responden dan tidak melakukan
74

wawancara tambahan untuk mengetahui sejauh mana gangguan disfungsi

seksual yang dialami oleh responden terhadap penggunaan DMPA.


75

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Penggunaan Kontrasepsi DMPA di Wilayah Kerja Puskesmas Selong

sebanyak 33 orang (50,5%).

2. Kejadian Disfungsi Seksual Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong,

sebagian besar berada pada kategori disfungsi seksual wanita sebanyak 36

orang (54,5%).

3. Ada hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian disfungsi

seksual wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Selong Tahun 2022 dengan

nilai probabilitas value (p value = 0,001 < 0,05)

B. Saran

1. Bagi Wanita Usia Subur

Disarankan kepada wanita usia subur (WUS) untuk terus mencari

informasi baik dari tempat pelayanan kesehatan maupun dari berbagai

media elektronik dan online sebagai upaya untuk meningkatkan

pengetahuan dan menambah wawasan tentang hubungan penggunaan

kontrasepsi DMPA dengan kejadian Disfungsi Seksual Wanita.

73
76

2. Bagi Puskesmas Selong

Disarankan kepada tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Selong

untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat

khususnya akseptor KB aktif dengan cara memberikan bimbingan

konseling dan penyuluhan tentang alat kontrasepsi DMPA agar

pengetahuan wanita usia subur dapat dikembangkan dengan baik. Selain

itu, disarankan kepada petugas kesehatan untuk terus meningkatkan dan

mengembangkan program yang sesuai dnegan penggunaan alat

kontrasepsi DMPA bagi peserta KB aktif.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Disarankan kepada institusi pendidikan agar menyediakan lebih

banyak bahan bacaan berupa buku-buku dan jurnal yang dapat dijadikan

sebagai literatur dan referensi untuk meningkatkan dan mengembangkan

ilmu pengetahuan para mahasiswa khususnya mahasiswa Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan (STIKes) Hamzar Lombok Timur.

4. Bagi Responden

Disarankan kepada responden untuk ikut aktif dan berperan dalam

mengikuti berbagai penyuluhan yang diadakan oleh petugas kesehatan

agar informasi yang didapatkan lebih lengkap tentang hubungan

penggunaan kontrasepsi DMPA dengan kejadian Disfungsi Seksual

Wanita agar pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya dapat

ditingkatkan.
77

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian

lebih lanjut tentang tentang hubungan penggunaan kontrasepsi DMPA

dengan kejadian Disfungsi Seksual Wanita dengan menggunakan metode

penelitian yang berbeda, kemudian menambah jumlah sampel serta

menambah jumlah variabel yang belum diteliti sebelumnya agar hasil yang

didapatkan lebih akurat.


78

DAFTAR PUSTAKA

Amran, 2016. Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba
Medika.

Arikunto, 2019. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Arum, 2017. Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Yogyakarta: Nuha


Medika.

BKKBN, 2016. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi Ketiga.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

BPS, 2017. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015. Tersedia


https://sirusa.bps.go.id/index.php/dasar/pdf?kd=2&th=2017.

Candra, 2019. Disfungsi Seksual: Tinjauan Fisiologis Dan Patologis Terhadap


Seksualitas. Yogyakarta : Penerbit Andi.

David, 2017. Depo Provera (Medroxyprogesterone Acetat).


http:/www.netdoctor.co.uk/sex-and-relationships/medicine/depoprovera.ht
ml. diakses tanggal 19 Juli 2022.

Dewi, Ririn Anggraeni, 2021. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntikan 3


Bulan Pada Akseptor KB 3 Bulan dengan Disfungsi Seksual di BPM Sri
Puspas Kencana Kabupaten Bogor.

Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2021. Jumlah Peserta KB Aktif Yang


Menggunakan Alat Kontrasepsi. Mataram : NTB.

Dinas Kesehatan Provinsi Kabupaten Lombok Timur, 2021. Jumlah Peserta KB


Aktif Yang Menggunakan Alat Kontrasepsi. Lombok Timur : NTB.

Handayani, 2017. Buku Ajar Pelayanan Keluara Berencana.


Yogyakarta: Pustaka.

Hartanto, 2016. Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar.

Hartatik, 2017. Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Suntik DMPA dengan


Kejadian Disfungsi Seksual di Klinik Pratama Bina Sehat Kabupaten
Bantul.

Haryati, 2016. Pengaruh Lamanya Pemakaian Alat Kontrasepsi Depo Medroxy


Progesterone Acetate (DMPA) Terhadap Kenaikan Berat Badan Di BPS
79

Supriyatni Desa Paketingan Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap


Tahun 2016. Jurnal Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto.
Hidayat, 2017. Metode penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis. Data.
Jakarta: Salemba Medika.

Isfaizah, 2019. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Dengan Disfungsi


Seksual Di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep.

Kemenkes RI. 2016. INFODATIN Pusat Data dan Informasi. Jakarta : Kemenkes
RI.

Kemenkes RI. 2017. Data dan Informasi Kesehatan Profil Kesehatan Indonesia
2017. Jakarta : Kemenkes RI.

Kemenkes RI, 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta : Kemenkes
RI.

Kusuma, 2017). Metodologi Penlitian Keperawatan (Panduan Melaksanakan dan


Menerapkan Hasil Penelitian). Jakarta Timur : CV. Trans Info Media.

Mansjoer, 2016. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius.

Mahmud, 2016. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Marmi. 2016. Intranatal Care. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Notoatmodjo, 2017. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

___________2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

SDKI, 2021. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Jakarta : Kemenkes


RI.

Puskesmas Selong, 2022. Jumlah Peserta KB Aktif. Selong : Lombok Timur.

Sepriono & Cahyanti, 2015. Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Perempuan.


Jakarta : Raja Grafindo Persada

Siti Candra Windu, 2019. Tinjauan Fisiologis Dan Patologis


Terhadap Seksualitas. Yogyakarta : Andi Offset.

Sugiyono, 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT


Alfabet

Sujarweni, 2021. Statistika Untuk Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tobing, 2016. Seks Turunan Bagi Pria. Jakarta. EMK .


Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2013

Wahyuni, 2015. Mual Dan Muntah Kehamilan. Jakarta: EGC.

WHO, 2020. Persentase Penggunaan Alat Kontrasepsi Suntik (DMPA) di Dunia.


World Bank.

Windu, 2019. Disfungsi Seksual Tinjauan Fisiologis Dan Patologis Terhadap


Seksualitas. Jakarta : Andi Offset.

Wiknjosastro, 2017. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai