Anda di halaman 1dari 52

FAKULTAS PETERNAKAN SEMINAR : HASIL

UNIVERSITAS NUSA CENDANA HARI/TANGGAL :


KUPANG RUANG :

NILAI EKONOMI PENGGUNAAN TEPUNG BIJI ASAM


TERFERMENTASI MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae DALAM
RANSUM AYAM BROILER

OLEH

CLAUDIO R.X. DA LUZ


120503116

J.F. Bale Therik * Maria Krova **


PENDAHULUAN
Latar Belakang,- Kebutuhan akan protein hewani bagi masyarakat Indonesia

saat ini masih tergantung pada produk peternakan, salah satunya adalah ayam broiler.

Populasi ayam ras pedaging di NTT pada tahun 2016 mencapai 2.687.269 ekor (Data

BPS NTT, 2016). Pengembangan pemeliharaan ayam broiler sangat tepat dilakukan,

karena keunggulan yang dimiliki pada ayam broiler yaitu dapat dipanen pada umur

sekitar 45 minggu dengan berat badan antara 1,21,9 kg/ekor dan angka konversi

ransum 2 (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Selain itu, harga ayam broiler

sangatlah terjangkau oleh masyarakat, dapat dikonsumsi oleh segala lapisan

masyarakat dan juga cukup tersedia di pasaran (Sasongko, 2006).

Kemampuan genetik ayam broiler dapat terjadi bila didukung oleh

manajemen pemeliharaan yang baik dan terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang baik

dalam ransum baik secara kualitas maupun kuantitas (Ichwan, 2004). Pada usaha

peternakan, ransum merupakan faktor penting, selain bibit dan manajemen. Dalam
* Pembimbing Utama
** Pembimbing Anggota

1
usaha peternakan, besar biaya ransum adalah sekitar 6070% (Kompiang et al.,

2001). Upaya-upaya untuk menekan biaya ransum sangat perlu diterapkan agar dapat

meningkatkan pendapatan peternak (Rasyaf, 2007). Bahan pakan komersial unggas

yang umumnya digunakan, memiliki harga yang cukup tinggi. Tingginya harga

ransum menyebabkan peternak kesulitan untuk meperoleh keuntungan. Oleh sebab

itu, diupayakan untuk mencari bahan pakan alternatif yang harganya murah, mudah

didapat, baik kualitasnya dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Upaya-

upaya yang dapat menekan biaya ransum sangat perlu diterapkan agar dapat

meningkatkan pendapatan peternak (Rasyaf, 2007).


Pemakaian bahan pakan lokal sebagai pakan unggas, umumnya memberi
keuntungan dengan harga lebih murah, akan tetapi pemakaian bahan pakan lokal saat
ini masih memiliki kendala, karena belum terstandarisasinya kandungan nutrisi dan
antinutrisi, serta tidak stabilnya produksi (Rofiq, 2003). Salah satu jenis bahan pakan
lokal yang bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak adalah biji asam. Biji asam
adalah hasil buah pohon asam yang potensial, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif sebagai pakan. Produksi biji asam NTT Tahun 2015 mencapai 778
ton/tahun (Data BPS NTT, 2016). Biji asam mengandung protein kasar 1620%,
terdapat asam amino, asam lemak dan mineral yang lengkap untuk memenuhi
kebutuhan ternak baik itu produksi maupun reproduksi.
Pemanfaatan biji asam terbatas karena kulit keras dan terindikasi mengandung
antinutrisi tannin sehingga tidak dapat digunakan langsung secara mentah untuk
dikonsumsi ternak (Pugalenthi et al., 2004). Adanya zat tannin dalam pakan unggas
dapat menghambat proses pertumbuhan, karena tannin dapat mengikat protein pakan
pada intestinum yang menyebabkan penurunan daya cerna dan absorbsi protein
(Widodo, 2005). Pengolahan secara fisik seperti pemanasan, terbukti tidak mampu
mengeliminasi atau mengurangi senyawa antinutrisi dalam pakan (Pugalenthi et al.,

2
2004). Fermentasi menggunakan peran mikroba telah dilaporkan mampu
mengeliminasi atau mengurangi senyawa antinutrisi dalam pakan (Liang et al., 2008).
Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu
substrat organik melalui akitivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(Suprihatin, 2010). Tujuan fermentasi memanfaatkan mikroba yang mampu
mengeluarkan enzim dan zat lain yang dapat meningkatkan kandungan protein pakan,
serta menurunkan kadar serat kasar (Akhadiarto, 2009). Menurut Nurhayati dkk.,
(2015) penggunaan produk terfermentasi dapat meningkatkan nilai IOFCC. Selain
itu, fermentasi dapat memperbaiki nilai efisiensi ransum pada ayam broiler
(M.Yamin, 2008). Menurut Koni dkk., (2013), biji asam optimal digunakan sebanyak
7,5% dalam ransum ayam broiler dengan difermentasi menggunakan Rhizopus
Oligosporus. Tannin juga dapat di eliminasi atau dikurangi oleh senyawa etanol atau
alkhohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi . Saccharomyces cerevisiae telah
dilaporkan sebagai salah satu mikroba yang memproduksi etanol atau alkohol oleh
Eko dkk., (1999), sehingga peranannya dapat digunakan dalam fermentasi biji asam.
Setiarto dan Widhyastuti (2016) menyatakan bahwa, Saccharomyces
cerevisiae lebih efektif untuk menghidrolisis tannin dibandingkan menggunakan
Rhizopus oligosporus dengan angka penurunan kadar tannin 30,82% untuk
Saccharomyces cerevisiae dan 29,13% untuk Rhizopus oligosporus. Penggunaan
tepung biji asam terfermentasi (TBAF) dalam ransum ayam broiler, bertujuan untuk
mengantisipasi adanya kenaikan harga bahan baku pakan, seperti kacang hijau.
Adanya penggunaan tepung biji asam terfermentasi untuk mengurangi biaya ransum
yang turun naik (Samosir, 1983). Belum diketahui pengaruh penggunaan TBAF akan
menimbulkan nilai ekonomi yang lebih tinggi atau nilai ekonomi yang lebih rendah.

3
Berdasarkan uraian diatas, maka telah dilakukan penelitian dengan judul Nilai
Ekonomi Penggunaan Tepung Biji Asam Terfermentasi Menggunakan
Saccharomyces Cerevisiae Dalam Ransum Ayam Broiler .
Rumusan Masalah,- Berdasarkan gambaran latar belakang tersebut, maka

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Seberapa besar income over feed and chick cost (IOFCC) dari penggunaan

(TBAF) dengan Saccharomyces cerevisiae dalam ransum ayam broiler ?

2. Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan TBAF terhadap tambahan

keuntungan ?

3. Seberapa besar efisiensi penggunaan ransum dari penggunaan TBAF dengan

Saccharomyces cerevisiae dalam ransum ayam broiler ?

4. Seberapa besar efisiensi ekonomi dari penggunaan TBAF dengan

Saccharomyces cerevisiae dalam ransum ayam broiler ?

Tujuan,- Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui seberapa besar income over feed and chick cost (IOFCC)

dari penggunaan TBAF dengan Saccharomyces cerevisiae dalam ransum

ayam broiler.

2. Untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan TBAF terhadap

tambahan keuntungan.

3. Untuk mengetahui seberapa besar efisiensi penggunaan ransum dari

penggunaan TBAF dengan Saccharomyces cerevisiae dalam ransum ayam

broiler.

4. Untuk mengetahui seberapa besar efisiensi ekonomi dari penggunaan TBAF

dengan Saccharomyces cerevisiae dalam ransum ayam broiler.

4
Manfaat,- Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai

berikut :

1. Bagi masyarakat yaitu sebagai sumbangan informasi bagi peternak ayam

broiler dalam penyusunan ransum yang lebih ekonomis dengan kualitas

bersaing.

2. Bagi pemerintah yaitu sebagai sumber informasi dalam merumuskan

kebijakan tentang pemanfaatan limbah pakan lokal dalam usaha peternakan.

3. Bagi lembaga pendidikan yaitu sebagai sumber informasi ilmiah untuk

institusi pendidikan dalam melakukan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dalam bidang peternakan khususnya pakan ternak.

5
TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Broiler,- Ayam broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya

dipelihara dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna,

2006). Hasil penelitian Murtidjo (1992), menyatakan bahwa ayam broiler (pedaging)

merupakan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan ternak yang lain. Selain

itu, Ayam broiler merupakan pilihan yang tepat mengingat sifat-sifat keunggulannya,

yaitu tidak memerlukan tempat yang luas dalam pemeliharaannya dan bergizi tinggi

(Murtidjo, 1994). Selain itu, ayam broiler memiliki keunggulan lain yaitu dapat

dipanen pada umur sekitar 45 minggu dengan berat badan antara 1,21,9 kg/ekor

dan angka konversi ransum 2 (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Ayam broiler

merupakan ayam yang memiliki kecepatan tumbuh pesat dalam kurun waktu yang

singkat (Yuwanta, 2004). Hardjoswaro dan Rukminasih (2000) menyatakan bahwa,

ayam broiler dapat digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya

dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Ayam broiler mempunyai beberapa

keunggulan seperti daging relatif lebih besar, harga terjangkau, dapat dikonsumsi

segala lapisan masyarakat dan cukup tersedia di pasaran (Sasongko, 2006).

Ransum Ayam Broiler,- Ransum merupakan campuran bahan-bahan yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan konsumsi nutrisi yang seimbang

dan tepat (Rasyaf, 2006). Ransum yang diberikan harus mengandung zat-zat gizi

yang lengkap seperti protein, karbohidrat, vitamin, lemak dan mineral yang dapat

menunjang kebutuhan hidup dan pertumbuhan ayam broiler (Ichwan, 2004). Ransum

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, mengganti jaringan yang rusak

dan untuk pertumbuhan suatu ternak atau hewan (Rasyaf, 2006). Ternak unggas tidak

dapat diberi ransum hanya dari satu bahan pakan saja, karena tidak akan melengkapi

6
kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhannya (Mulyantini, 2011). Untuk penyusunan

ransum yang tepat sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap periode pertumbuhan dan

produksi dipengaruhi oleh nilai gizi dari bahan-bahan makanan yang dipergunakan

(Wahju, 2004). Ransum yang tidak diberikan dalam keadaan seimbang tentunya akan

menghambat pertumbuhan pada ternak, karena menyebabkan defisiensi zat-zat

makanan (Anggorodi,1979).

Dua unsur penting dalam penyusunan ransum unggas termasuk broiler adalah

energi dan protein. Keseimbangan protein dan energi memiliki peranan yang sangat

penting dalam menyusun ransum ayam broiler. Apabila tidak seimbang akan

mengakibatkan kelebihan atau kekurangan asupan energi dan protein dalam tubuhnya

(Wahyu, 1997 yang disitasi oleh Gultom dkk., 2012). Bahan ransum sumber energi

umumnya dapat digunakan lebih dari 1070%. Bahan sumber protein pemakaiannya

dalam ransum tentu lebih rendah jika kebutuhan protein kurang dari 20% (Amrullah,

2003). Ternak ayam broiler pada umumnya mengkonsumsi ransum yang

mengandung energi yang berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, jika

sudah terpenuhi kebutuhan energinya, maka ternak ayam broiler akan mengurangi

tingkat konsumsi terhadap ransum tersebut (Shahim dan Ellazeem, 2005). Upaya-

upaya yang dapat menekan biaya ransum sangat perlu diterapkan agar dapat

meningkatkan pendapatan peternak (Rasyaf, 2007).

Vaksinasi,- Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan dalam

memelihara ayam adalah vaksinasi. Vaksin merupakan mikroorganisme bibit penyakit

yang telah dilemahkan atau dimatikan yang diberikan pada ternak yang dapat

merangsang pembentukan zat kebal sesuai dengan jenis vaksinnya. Sedangkan,

vaksinasi merupakan suatu tindikan memasukkan antigen berupa virus yang telah

7
dilemahkan ke dalam tubuh ayam untuk merangsang pembentukan kekebalan agar

ayam tahan terhadap serangan penyakit. Aplikasi vaksinasi pada ayam adalah injek,

air minum, tetes mata atau hidung, semprot atau tusuk sayap (Murtidjo, 2003).

Macam-macam vaksin yaitu vaksin aktif merupakan vaksin yang berisi

mikroorganisme agen penyakit dalam kedaan hidup, tetapi sudah dilemahkan, yang

akan tumbuh dan berkembang bidak di dalam induk semang yang di vaksin. Vaksin

inaktif merupakan vaksin yang berisi mikroorganisme agen penyakit dalam kedaan

mati ) (Fadilah dan Polana, 2005).

Tanaman Asam, Komposisi Nutrisi dan Penggunaan Biji Asam,-. Asam

(Tamarindus indica) merupakan tanaman berbuah polong. Di indonesia, pohon asam

dikenal sebagai asam jawa dari family leguminosa yang tumbuh menyebar di daerah

tropis meliputi: Asia, Afrika dan Amerika Selatan, serta sedang dikembangkan di

Australia (Towaha, 2011). Biji asam merupakan limbah jenis pakan lokal yang

potensial dan menjadi salah satu komoditif unggulan non-kayu sektor kehutanan

NTT. Biji asam adalah hasil buah pohon asam yang potensial, baik secara kualitatif

maupun kuatitatif sebagai pakan. Produksi biji asam NTT tahun 2015 mencapai 778

ton/tahun (Data BPS NTT, 2016). Ditinjau dari segi komposisi nutrisi, biji asam di

NTT mengandung protein 20%, lemak 5,5%, karbohidrat 59%, air 13%, abu 2,4%

dan sisanya berupa albuminoid, globatanin, serta vitamin B (Towaha, 2011 yang

disitasi oleh Ly, 2016). Akan tetapi, biji asam terindikasi mengandung anti-nutrisi

dalam bentuk tanin, fenol bebas, L-dropa dan oligosakarida, di mana konsetrasi

tertinggi ada pada bagian kulit, sedikit pada daging, sehingga biji asam diolah terlebih

dahulu agar dapat dimanfaatkan ternak secara maksimal (Pugalenthi, et al., 2004;

Towaha, 2011 yang disitasi oleh Ly, 2016).

8
Farida dkk., (2000) mengemukakan bahwa, pengaruh tannin pada unggas

yaitu menurunkan daya cerna protein dan dikemukakan lebih lanjut bahwa, tannin

berkorelasi positif dengan nilai daya cerna. Pemanfaatan biji asam terbatas karena

kulit keras dan terindikasi mengandung anti nutrisi tannin sehingga tidak dapat

digunakan langsung secara mentah untuk dikonsumsi ternak (Pugalenthi et al., 2004).

Adanya zat tannin dalam pakan unggas dapat menghambat proses pertumbuhan,

karena tannin dapat mengikat protein pakan pada intestinum yang menyebabkan

penurunan daya cerna dan absorbsi protein (Widodo, 2005). Pengolahan secara fisik

seperti pemanasan, terbukti tidak mampu mengeliminasi atau mengurangi senyawa

anti nutrisi dalam pakan (Pugalenthi et al., 2004).

Oleh karena itu, maka untuk meningkatkan kandungan protein dan

menurunkan kandungan tannin pada biji asam maka dilakukan teknologi pengolahan

sebelum bahan pakan tersebut digunakan sebagai pakan ternak. Salah satu teknologi

yang dilakukan melalui fermentasi. Hasil penelitian Koni dkk., (2013) menyatakan

bahwa, fermentasi biji asam dengan menggunakan Rhizopus oligosporus menurunkan

kadar tannin 0,43% hingga 0,31%. Berbeda dengan biji asam tanpa fermentasi yang

mengandung tannin sebesar 5,72% (Koten, 2010).

Fermentasi,- Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia

pada suatu substrat organik melalui akitivitas enzim yang dihasilkan oleh

mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Tujuan fermentasi memanfaatkan mikroba yang

mampu mengeluarkan enzim dan zat lain yang dapat meningkatkan kandungan

protein pakan, serta menurunkan kadar serat kasar (Akhadiarto, 2009). Selain itu,

fermentasi dapat memperbaiki nilai efisiensi ransum pada ayam broiler (M. Yamin,

2008). Secara umum, fermentasi bahan pakan dapat dilakukan dengan menggunakan

9
ragi. Menurut Kunaepah (2008), ada banyak faktor yang mempengaruhi fermentasi

antara lain substrat, suhu, pH, oksigen dan mikroba yang digunakan.

Saccharomyces cerevisiae,- Salah satu bahan yang banyak digunakan dalam

proses fermentasi adalah ragi. Pada umumnya dikenal 3 jenis ragi yaitu ragi tape, ragi

roti, dan ragi tempe. Ragi tape berbentuk padat dengan bentuk bulat pipih berwarna

putih, ragi roti berbentuk butiran, sedangkan ragi tempe berbentuk bubuk. Ragi roti

dan ragi tape mengandung mikroorganisme yang sama yaitu Saccromyces cerevisiae.

Di Indonesia, Saccharomyces cerevisiae lebih dikenal dengan nama ragi roti yang

mampu menghasilkan alkohol, sehingga disebut sebagai mikroorganisme aman

(generally regarded as safe microorganisms) yang paling komersial saat ini.

Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai khamir atau ragi kering aktif yang

digunakan dalam pembuatan anggur, roti dan bir merupakan jenis mikroorganisme

aman yang paling komersial saat ini (Aguskrisno, 2011). Umiyasih dan Aggraeni

(2008) menyatakan bahwa, manfaat yang diperoleh dari fermentasi dengan

Saccharomyces cerevisiae antara lain, meningkatkan palatabilitas, kandungan protein

dan kecernaan karbohidrat sulit tercerna (serat kasar) serta, mengoptimalkan peranan

asam lemak dan kecernaan lemak pakan bagi peningkatan kinerja produksi dan

reproduksi ternak.

Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis khamir atau ragi kering, yang

mengandung mikroorganisme fermentatif dengan kandungan protein mencapai 60%

mudah tercerna (available protein) dengan komposisi asam amino yang seimbang

(Evans, 1985). Beberapa kelebihan Saccharomyces cerevisiae dalam proses fermentasi

yaitu, mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap alkohol tinggi,

10
tahan terhadap suhu yang tinggi serta mempunyai sifat stabil dan cepat beradaptasi

(Judoamidjojo et al., 1992 yang disitasi oleh Azizah dkk., 2012).

Income Over Feed and Chick Cost,- Income Over Feed and Chick Cost

(IOFCC) Merupakan peubah penting yang secara ekonomis dapat menggambarkan

besarnya keuntungan yang diperoleh dari tiap-tiap perlakuan. IOFCC merupakan

barometer untuk melihat seberapa besar biaya ransum dan biaya DOC dalam usaha

penggemukan ternak. Ditinjau dari hubungan antara biaya dan penerimaan, yang

perlu diperhatikan adalah bagaimana mengupayakan agar dapat memaksimalkan

keuntungan dengan menekan biaya produksi serendah mungkin (Venty, 2000).

IOFCC itu sendiri adalah perbedaan rata-rata pendapatan (dalam rupiah) yang

diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata

pengeluaran satu ekor ayam selama penelitian (Mide, 2007). Menurut Rasyaf (2003),

faktor-faktor yang mempengaruhi IOFCC adalah konsumsi ransum, pertambahan

berat badan, biaya pakan dan harga jual per ekor.

Efisiensi merupakan perbandingan antara pemasukan dengan pengeluaran

yang dihasilkan berupa segi masukkan lebih kecil dengan keluaran lebih besar.

Kadariah (1988) menyatakan bahwa, untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha

dapat digunakan parameter yaitu, dengan mengukur besarnya pemasukkan dibagi

besarnya pengeluaran. Semakin efisien dalam mengubah ransum menjadi daging

semakin baik pula nilai IOFCC-nya (Rasyaf, 2011). Menurut Nurhayati dkk., (2015)

penggunaan produk terfermentasi dapat meningkatkan nilai IOFCC.

Anggaran Parsial,- Bentuk analisis anggaran parsial yaitu Anggaran

keuntungan parsial. Anggaran ini dibuat untuk menunjukkan pengaruh suatu

perubahan terhadap beberapa ukuran keuntungan seperti pendapatan bersih dari usaha

11
yang dijalankan (Shinta, 2001). Menurut Nafarin (2004) menyatakan bahwa,

anggaran adalah rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan

secara kuantitatif dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang untuk jangka waktu

tetentu. Anggaran parsial yaitu anggaran yang disusun tidak secara lengkap, anggaran

yang hanya menyusun bagian anggaran tertentu saja. Biasanya dibuat karena

keterbatasan kemampuan, maka yang dapat disusun hanya anggaran operasional saja.

Biasanya digunakan untuk mengevaluasi pengaruh perubahan metode berproduksi

atau berorganisasi usahatani terhadap keuntungan usahatani.

Anggaran parsial merupakan metode perencanaan usahatani yang sangat

berguna. Langkah pertama dalam anggaran parsial ialah, menjelaskan perubahan

dalam organisasi usahatani atau metode produksi secara hati-hati dan tepat. Langkah

kedua ialah, mendaftar dan menghitung keuntungan dan kerugian yang diakibatkan

oleh perubahan itu. Kerugian dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama, yaitu

pengeluaran atau biaya tambahan yang terjadi karena ada perubahan. Kedua, yaitu

pendapatan kotor atau penghasilan yang hilang dan tidak akan diterima lagi sebagai

akibat terjadinya perubahan. Keuntungan dapat juga digolongkan dalam dua

kelompok. Pertama, yaitu tiap pengeluaran atau biaya yang dihemat sebagai akibat

perubahan itu. Kedua, yaitu tambahan pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul

sebagai akibat perubahan tersebut (Soekartawi et al., 1986).

Efisiensi Penggunaan Ransum,- Efisiensi penggunaan ransum (EPR)

merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar

PBB yang dihasilkan ayam broiler sebesar satu satuan (kg/gram) dengan

memanfaatkan ransum yang dikonsumsi sebanyak satu satuan (kg/gram). Efisiensi

penggunaan ransum sama halnya dengan efisiensi teknis. Menurut Miller dan

12
Meiners (2000), efisiensi teknis (technical efficiency) mensyaratkan adanya proses

produksi yang dapat memanfaatkan input yang sedikit demi menghasilkan output

dalam jumlah yang sama.

Di dalam usaha ternak ayam broiler, efisiensi teknis dipengaruhi oleh

kuantitas penggunaan faktor-faktor produksi. Kombinasi dari penggunaan bibit,

pakan, vitamin dan obat, bahan bakar, listrik, tenaga kerja dan luas kandang dapat

mempengaruhi tingkat efisiensi teknis. Proporsi penggunaan masing-masing faktor

produksi tersebut berbeda-beda pada setiap peternak, sehingga masing-masing

peternak memiliki tingkat efisiensi yang berbeda-beda. Seorang peternak dapat

dikatakan lebih efisien dari peternak lain jika peternak tersebut mampu menggunakan

faktor-faktor produksi lebih sedikit atau sama dengan peternak lain, namun dapat

menghasilkan tingkat produksi yang sama atau bahkan lebih tinggi dari peternak

lainnya. Menurut Wijayanti (2011), bahwa tinggi rendahnya angka konversi pakan

disebabkan oleh adanya selisih yang semakin besar atau kecil pada perbandingan

antara pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dicapai.

Menurut Sihombing (1997), peningkatan efisiensi penggunaan ransum adalah akibat

semakin bertambahnya suplementasi bahan pakan yang mengandung serat kasar

rendah sehingga pencernaan dalam saluran pencernaan cukup tinggi.

Efisiensi Ekonomi,- Efisiensi ekonomi (EE) merupakan ratio biaya ransum

selama penelitian dengan nilai pertambahan bobot badan (PBB) atau nilai jual ternak

(penerimaan) selama penelitian. Rasio yang mengukur keluaran atau produksi suatu

sistem atau proses untuk setiap unit masukan disebut efisiensi (Downey dan Erickson,

1992). Usaha yang efisien secara ekonomis adalah usaha yang paling menguntungkan

(Soekartawi, 1990). Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara

13
jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging

atau telur (output) (Rasyaf, 1995). Efisiensi harga atau alokatif menunjukkan

hubungan biaya dan output.

Efisiensi harga terjadi jika suatu perusahaan mampu memaksimalkan

keuntungan yaitu menyamakan nilai produk marginal setiap faktor produksi dengan

harganya. Bila peternak mendapatkan keuntungan yang besar dari usaha ternaknya,

misalnya karena pengaruh harga, maka peternakan tersebut dapat dikatakan

mengalokasikan input usaha ternaknya secara efisien. Konsep yang digunakan dalam

efisiensi ekonomi adalah meminimalkan biaya artinya suatu proses produksi akan

efisien secara ekonomis pada suatu tingkatan output apabila tidak ada proses lain

yang dapat menghasilkan output serupa dengan biaya yang lebih murah. Efisiensi

ekonomi dalam usaha ternak ayam broiler dipengaruhi oleh harga jual produk dan

total biaya produksi yang digunakan. Harga jual produk akan mempengaruhi total

penerimaan. Usaha ternak ayam broiler dapat dikatakan efisien secara ekonomis jika

usaha ternak ayam broiler semakin menguntungkan.

Pakan dinyatakan mempunyai nilai ekonomi, jika biaya yang dikeluarkan

untuk setiap gram pertambahan bobot badan adalah paling rendah (Koni, 2010). Pada

usaha peternakan ayam, besaran biaya ransum adalah sekitar 6070 % (Kompiang et

al., 2001). Perhitungan nilai ekonomi pada usaha ternak ayam broiler dapat dinilai

dari pemberian ransum. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah berapa besar

biaya ransum sebagai input dan berapa besar nilai pertambahan bobot badan sebagai

output. Kondisi yang mutlak dipenuhi dalam proses produksi yaitu, ketika ada

kemungkinan tidak menghasilkan produk yang lebih dengan input yang sama dan ada

kemungkinan yang menghasilkan produk dengan jumlah input yang sama. Dalam

14
mengadakan suatu usaha ekonomi yang harus diperhatikan adalah biaya produksi dan

penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Semakin besar penerimaan dibandingkan

dengan biaya produksi, maka keuntungan yang diperoleh semakin besar. Keuntungan

yang diperoleh akan menjadi lebih besar jika biaya produksi ditekan serendah

mungkin.

Menurut Mulyadi (2005), biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang

diukur dalam satuan uang yang telah terjadi, sedang terjadi atau kemungkinan akan

terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya produksi dalam usaha peternakan

meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Menurut Soekartawi (2001), biaya tetap

adalah biaya yang diperuntukkan bagi pembiayaan faktor produksi yang sifatnya

tetap seperti pembelian bibit, penyusutan peralatan usaha produksi maupun pajak atas

usaha; sedangkan biaya tidak tetap ialah biaya yang diperuntukkan bagi pembiayaan

faktor produksi yang sifatnya berubah-ubah dalam satu proses produksi seperti biaya

tenaga kerja maupun sarana produksi seperti pakan, obat-obatan dan tenaga kerja.

15
MATERI DAN METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran ,- Suatu usaha peternakan dapat berhasil bila didukung

oleh tiga aspek, yaitu breeding, feeding, dan management (bibit, pakan, dan

manajemen). Dari ketiga aspek tersebut, pengadaan ransum membutuhkan biaya

antara 60-70 % dari seluruh biaya produksi. Menyadari akan tingginya biaya produksi

yang dialokasikan untuk biaya ransum, maka perlu dicari ransum alternatif misalnya

ransum yang berbahan pakan lokal.

Dalam hubungannya dengan ternak ayam broiler, untuk menekan biaya

ransum, maka dapat dipakai bahan baku pakan lokal seperti biji asam. Penggunaan

bahan pakan lokal juga harus tetap memperhatikan aspek efisiensi teknis dan

ekonomisnya. Artinya, secara teknis ransum tersebut mampu memenuhi kebutuhan

ayam broiler, baik dari sisi mutu dan jumlah. Selanjutnya, dari aspek ekonomi, biaya

ransum tersebut harus lebih rendah dari ransum yang umum dipakai dalam usaha

ternak ayam broiler yakni ransum komersial.

Penggunaan biji asam pada ayam broiler harus memperhatikan kaualitas dan

kuantitas. Pengolahan secara fisik dan fermentasi, diyakini mampu untuk

meningkatan mutu dari biji asam tersebut. Terpenuhinya kebutuhan ransum pada

ayam broiler baik dari sisi mutu dan jumlah, berpengaruh terhadap pertambahan

bobot badan yang meningkat pada ternak ayam broiler, dan dengan meningkatnya

pertambahan bobot badan akan sangat berpengaruh terhadap produksi ayam broiler.

Semakin meningkatnya produksi ayam broiler yang dihasilkan dalam suatu usaha

peternakan, akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang dihasilkan dari

penjualan ayam broiler yang dihasilkan. Tujuan utama usaha peternakan ayam

broiler adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dengan biaya minimal.

16
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan penggunaan pakan perlakuan berupa TBAF,

maka perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : Harga pakan, biaya, penerimaan,

efisiensi ekonomi, efisiensi penggunaan ransum, IOFCC dan keuntungan.

Usaha Peternakan
Ayam broiler

Harga
Bibit Manajemen Ransum Ransum
Bahan Pakan Lokal
: Biji Asam

TBAF

Proses Produksi
Teknis : EPR
(Pemeliharaan)
dan PBB Ekonomi : Anggaran
Parsial, IOFCC dan EE
Ayam broiler
siap jual

Pasar Harga Ayam


broiler

Keterangan :
TBAF : Tepung Biji Asam Terfermentasi EE : Efisiensi Ekonomi
PBB : Pertambahan Bobot Badan EPR : Efisiensi Penggunaan
Ransum

Gambar 1. Kerangka pemikiran mengenai nilai ekonomi penggunaan tepung biji asam
terfermentasi dalam ransum ayam broiler.

Hipotesis,- Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran diatas maka

dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Penggunaan TBAF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dalam

ransum ayam broiler dapat meningkatkan IOFCC.

17
2. Penggunaan TBAF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dalam

ransum ayam broiler dapat memberikan pengaruh terhadap tambahan

keuntungan.

3. Penggunaan TBAF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dalam

ransum ayam broiler dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum.

4. Penggunaan TBAF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dalam

ransum ayam broiler dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.

Lokasi dan Waktu Penelitian,- Penelitian ini telah dilakasanakan di

Kandang Ayam Fakultas Peternakan Undana yang berlangsung selama 6 minggu dari

tanggal 12 November sampai dengan 24 Desember 2016 yang terbagi dalam 3

minggu tahap persiapan dan 3 minggu tahap pengambilan data.

Materi Penelitian,- Untuk melaksanakan penelitian ini, ada beberapa media

yang akan digunakan yaitu sebagai berikut:

Ternak Penelitian,- Dalam penelitian ini, menggunakan 64 ekor ayam broiler

yang berumur 3 minggu strain Hubbard yang diperoleh dari PT. Wonokoyo Jaya

Corporindo, Surabaya.

Ransum Penelitian,- Bahan pakan penelitian yang digunakan untuk menyusun

ransum adalah jagung, dedak padi, kacang hijau, tepung ikan, tepung biji asam

terfermentasi dan minyak kelapa (Tabel 1). Penyusunan ransum penelitian didasarkan

pada tabel kebutuhan nutrisi NRC (1984) untuk ayam pedaging umur 46 minggu

dibutuhkan protein 20 %, lemak kasar 34 %, serat kasar 35 %, energi metabolis

29003200 kkal.

18
Tabel 1. Kandungan Nutrisi dan Harga Bahan Pakan Penyusun Ransum Penelitian
Kandungan Nutrisi
Bahan Pakan Harga (Rp/kg)
EM (kkal/kg) PK (%) LK (%) SK (%)
Jagunga 3.430,00 9,00 3,80 2,50 5.000
Kacang hijaua 2.900,00 24,20 1,10 5,50 25.000
Dedak padib 3.100,00 12,00 1,50 12,90 2.300
Tepung ikana 2.640,00 53,90 4,20 1,00 8.200
TBAFc 2.637,24* 19,20 6,14 9,54 5.125
Minyak kelapaa 8.950,00 0,00 0,00 0,00 15.000
Sumber : a.Murtidjo (1992) b. NRC (1994) c. Ly (2015)
Keterangan : EM (Energi Metabolisme), Protein Kasar (PK), Lemak Kasar (LK), Serat Kasar
(SK) dan *Energi Metabolisme tepung biji asam terfermentasi dihitung
berdasarkan rumus perhitungan energi metabolisme = 0,811 + (0,875MJ) +
(0,076SK) (0,063 x (SK)2). Cole dan Haresign (1988)

Berdasarkan harga pada setiap bahan pakan yang tertera pada Tabel 1, maka

dapat dihitung harga ransum penelitian untuk setiap perlakuan. Komposisi ,

kandungan nutrisi dan harga ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi, Kandungan Nutrisi dan Harga Ransum Penelitian


Perlakuan
Bahan Pakan
R0 R1 R2 R3
Komposisi Bahan Pakan (%)
Jagung 40,00 40,00 40,00 40,00
Kacang hijau 30,00 22,00 20,00 18,00
Dedak padi 14,00 14,00 14,00 14,00
Tepung ikan 15,00 15,00 15,00 15,00
TBAF 0,00 8,00 10,00 12,00
Minyak kelapa 1,00 1,00 1,00 1,00
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00
Kandungan nutrisi
Protein kasar (%) 20,62 20,23 20,12 20,02
Serat kasar (%) 4,59 4,91 4,99 5,12
Lemak kasar (%) 2,62 3,10 3,19 3,30
Energi metabolisme (kkal) 3.040,11 3.165,19 3.196,46 3.227,73
Harga ransum
Ransum penelitian (Rp/kg) 8.596 7.908 7.736 7.564

Kandang Penelitian,- Kandang yang digunakan dalam penelitian ini,

bersistem litter menggunakan sekam padi, luas kandang terhitung dari kandang saat

fase starter sampai kandang perlakuan yaitu dengan ukuran 5,9 x 6,6 m, sebanyak 16

petak dengan ukuran masing-masing petak 80x80 cm. Setiap petak dilengkapi dengan

19
tempat pakan dan tempat minum, serta alas kandang diberi sekam padi setebal 35

cm dan tiap petak diisi dengan ternak ayam broiler sebanyak 4 ekor. Sedangkan,

peralatan yang digunakan adalah timbangan berkapasitas 10 kg dengan kepekaan 5

gram untuk menimbang pakan dan ternak ayam, Alat pemanas yang digunakan

adalah lampu pijar (75 watt) berjumlah 4 buah, ember, sapu lidi, gayung, pisau,

wajan, sekop dan pisau.

Vaksin dan Vitamin,- Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini antara lain

vaksin Medivac ND (Newcastle Disiase) Hitchner B1 produksi PT. Medion,

Bandung. Sedangkan, vitamin yang digunakan adalah vita chick dan vita stress

produksi PT. Medion, Bandung.

Prosedur Penelitian,- Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

Persiapan Kandang,- Persiapan kandang dan peralatan dilakukan 2 minggu

sebelum pelaksanaan penelitian. Semua peralatan kandang, termasuk tempat pakan

dan tempat air minum disanitasi dan penyemprotan kandang dengan menggunakan

larutan antiseptik. Litter yang digunakan adalah sekam padi bersih dan kering. Di

dalam kandang digantung termometer untuk mengontrol suhu kandang, serta

dilengkapi dengan lampu pijar dan kipas angin.

Prosedur Pembuatan Tepung Biji Asam Terfermentasi ,- Tepung Biji asam

yang diolah dari biji asam diperoleh di sekitar wilayah Kabupaten Kupang.

Pembuatan tepung biji asam terfermentasi mengikuti prosedur Ly et al.,(2016) dan

dapat diuraikan sebagai berikut:


1) Biji asam dicuci dan disortir, bila terapung maka dibuang karena biji
asam yang terapung biasanya isi dalamnya telah rusak.

20
2) Setelah dipisahkan biji asam yang rusak, kemudian biji asam yang tidak
rusak diangkat dan ditaruh di wadah lain sebelum disangrai
3) Biji asam disangrai selama 15 menit.
4) Hasil sangrai langsung dimasukan ke dalam air dan dibiarkan selama 12
jam hingga kulitnya terkelupas.
5) Biji asam yang telah dipisahkan dari kulit, kemudian dijemur untuk
digiling menjadi tepung.
6) Timbang 5 kg tepung biji asam dan diletakan diatas hamparan plastik
7) Timbang Saccharomyses cerevisiae sebanyak 15 gram
8) Larutkan 15 gram Saccharomyses cerevisiae dalam 3 liter air, hingga
membentuk larutan Saccharomyces cerevisiae homogen.
9) Campurkan 3 liter larutan Saccharomyses cerevisiae homogen dengan 5
kg tepung biji asam dan diaduk hingga membentuk camputan merata dan
tidak lengket pada tangan bila diremas dan partikel tepung terpisah.
10) Masukan campuran tepung biji asam dengan Saccharomyces cerevivisiae
dalam wadah (ember) plastik berkapasitas 5 kg yang memiliki tutup.
Selanjutnya, ember plastik tersebut ditutup rapat untuk menciptakan
kondisi anaerob sehingga terjadi proses fermentasi. Lamanya fermentasi
dengan Saccharomyces cerevisiae adalah 12 jam (Wea dkk., 2012).
11) Kemudian ember plastik setelah 12 jam dibuka dan dikeluarkan campuran
tepung biji asam yang telah mengalami proses fermentasi oleh
Saccharomyces cerevisiae.
12) Setelah dikeluarkan tepung biji asam hasil fermentasi diangin-anginkan di
atas plastik hingga kering. Campuran kering inilah yang akan digunakan
dalam ransum sesuai level yang ditetapkan.

21
Prosedur Pencampuran Ransum,- Bahan pakan yang akan digunakan untuk
menyusun ransum ditimbang sesuai takaran untuk kebutuhan setiap perlakuan tertera
pada Tabel 2. Setelah selesai penimbangan, maka bahan pakan dicampur mulai dari
porsi bahan pakan terkecil sampai porsi terbesar, sehingga ransum tercampur merata.
Pemakaian TBAF sebanyak 8%, 10% dan 12% pada ransum perlakuan R1, R2, dan
R3 dicampur terdahulu dengan bahan pakan porsi terkecil.
Pemberian Ransum,- Ayam broiler dari umur 1 hari sampai 3 minggu diberi
pakan komersial BR1. Setelah ayam broiler berumur 3 minggu, kemudian
dipindahkan ke petak kandang penelitian, dimana dalam kandang tersebut terdapat 4
ekor dengan berat badan yang relatif seragam. Ayam broiler diberi ransum penelitian
dan penyesuaian terhadap ransum penelitian selama 3 hari.
Persiapan Ternak Ayam,- Ayam broiler umur 1 hari (day old chick), digunakan

sebagai materi pada tahap persiapan. DOC yang baru tiba, terlebih dahulu di timbang

untuk mengetahui berat badan awal lalu diberi larutan gula sebagai sumber energi.

Untuk mencegah penyakit ND dilakukan vaksinasi pada umur 3 hari menggunakan

vaksin Medivac ND (Newcastle Disiase) Hitchner B1.

Pengacakan Ternak Penelitian,- Pengacakan ternak penelitian dilakukan

secara sederhana dengan menggunakan media kertas. Kertas digunting sebanyak 16

lembar, kemudian kertas tersebut diberi nomor sesuai banyaknya perlakuan dan

ulangan. Kertas yang sudah diberi nomor tersebut digulung kemudian dimasukan

dalam kotak dan diundi, setiap petak diberi satu gulungan kertas yang sudah diacak

hingga petak ke 16, kemudian gulungan kertas dibuka dan tuliskan petak yang

mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Setelah itu, tandai setiap kandang sesuai

dengan nomor yang tertera pada kertas yang diambil.

22
Metode Penelitian,- Metode penelitian yang digunakan adalah metode

experiment dengan pola percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),

dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Setiap petak kandang ditempati oleh 4

ekor broiler sebagai unit percobaan sehingga jumlah ayam broiler yang digunakan

adalah 64 ekor. Ransum perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut:

R0: Ransum tanpa penggunaan tepung biji asam terfermentasi (kontrol).

R1: Ransum mengandung 8% tepung biji asam terfermentasi.

R2: Ransum mengandung 10% tepung biji asam terfermentasi.

R3: Ransum mengandung 12% tepung biji asam terfermentasi.

Analisis Data,- Dalam Penelitian ini data akan dianalisis dengan menggunakan

beberapa metode sesuai dengan tujuan penelitian ini:

Untuk menjawab tujuan 1, digunakan rumus sebagai berikut:

IOFCC = Total penerimaan (Biaya ransum + Harga DOC)

Untuk menjawab tujuan 2, digunakan metode anggaran parsial dengan rumus metode

anggaran parsial menurut Soekartawi dkk., (1986) yaitu sebagai berikut:

Keuntungan Tambahan (NI) = Keuntungan Total Kerugian Total


Kerugian Total = TCn + TR0
Keuntungan Total = TC0 + TRn
dimana :
TR0 : Penerimaan tambahan jika menggunakan ransum kontrol (R0)
TC0 : Biaya yang dihemat jika menggunakan ransum kontrol (R0)
TRn : Penerimaan yang hilang akibat penggunaan TBAF setiap
perlakuan ke-n (Rn, n = 1,2 dan 3)
TCn : Biaya tambahan akibat penggunaan TBAF setiap perlakuan
ke-n (Rn, n = 1,2 dan 3)
NI : Keuntungan ataupun kerugian yang diperoleh akibat
penggunaan TBAF pada setiap perlakuan.

23
Untuk menjawab tujuan 3, digunakan rumus menurut petunjuk Boyle (2003)

diperoleh dari:

EPR = Total berat badan (kg/ekor) / Jumlah total ransum yang dikonsumsi (kg/ekor)

Untuk menjawab tujuan 4, digunakan rumus menurut Rasyaf (1995) sebagai berikut :

Nilai Ransum Yang Dikonsumsi( Rp/ekor )


EE =
Nilai PBB (Rp/ekor )

Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran,- Definisi Operasional dari

variabel penelitian adalah sebagai berikut :


1. Income Over Feed and Chick Cost yaitu yaitu keuntungan yang dihitung atas
dasar selisih antara nilai jual ayam (penerimaan) pada akhir penelitian
dengan biaya ransum dan harga pembelian anak ayam, yang dihitung dalam
satuan rupiah.(Rp)
2. Anggaran parsial yaitu anggaran yang disusun tidak secara lengkap,
anggaran yang hanya menyusun bagian anggaran tertentu saja.
3. Biaya Perawatan kesehatan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk
pembelian obat-obatan selama proses produksi yang dinyatakan dalam
rupiah (Rp).
4. Biaya Produksi yaitu sejumlah uang yang dikeluarkan untuk pengadaan bibit
DOC, ransum, peralatan kandang, air, listrik, transportasi dan tenaga kerja
yang dihitung dalam satuan rupiah (Rp).
5. Efisiensi penggunaan ransum (EPR) merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui besarnya PBB yang dihasilkan ayam broiler
akibat mengkonsumsi ransum sebanyak 1 kg.
6. Total Berat Badan adalah jumlah keseluruhan dari ukuran badan ayam
broiler yang sebesar satu satuan, yang diperoleh dari mengkonsumsi ransum
sebanyak satu satuan. (kg)

24
7. Pertambahan Bobot Badan (PBB) merupakan selisih dari bobot akhir
(panen) dengan bobot badan awal sebelum diberi perlakuan.(gram)
8. Konsumsi Ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak,
digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi
hewan tersebut (Tillman dkk., 1991). (kg/ekor)
9. Efisiensi Ekonomi (EE) adalah ratio untuk mengetahui besarnya biaya
ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan 1 satuan nilai PBB.
10. Biaya ransum adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk pengadaan
ransum penelitian, yang diperoleh dari hasil kali total konsumsi ransum
selama periode pengumpulan data dengan harga ransum masing-masing
perlakuan (Rp).
11. Nilai Pertambahan Bobot Badan yaitu nilai yang diperoleh dari hasil kali
antara PBB dengan harga jual ayam/kg bobot hidup yang berlaku di pasar
pada saat penelitian dalam satuan rupiah/kilogram (Rp/kg).

25
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Ternak dan Lokasi Penelitian,- Ternak ayam yang

digunakan dalam penelitian ini adalah strain Hubbard, produksi PT. Wonokoyo

Surabaya umur 1 hari sebagai DOC (Day Old Chick). Ayam tersebut berada dalam

kondisi sehat ditandai oleh kondisi bulu yang bersih, mata jernih dan bergerak lincah

serta tidak terserang penyakit. Kondisi kesehatan ayam tetap baik selama penelitian

berlangsung, karena tidak menunjukkan gejala terserang penyakit tertentu.

Pemeliharaan ayam penelitian selama berumur 42 hari. Pemberian larutan gula

sebagai sumber energi dilakukan pada awal kedatangan DOC selama 24 jam. Hal

tersebut dilakukan untuk mengatasi stres pada saat ternak didatangkan dari

perusahaan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian vitamin dan vaksinasi dengan

Medivac ND (Newcastle Disiase) Hitchner B1 pada umur 3 hari. Pada umur 1-18

hari, ransum yang diberikan pada ternak ayam broiler menggunakan ransum BR1.

Pemberian ransum dan air minum dilakukan secara ad libitum, setelah itu dilakukan

penimbangan seluruh ayam untuk mengetahui berat badan awal.

Pada umur 19 hari, dilakukan pengacakan ke petak kandang perlakuan yang

berjumlah 16 petak dan dilakukan proses adaptasi selama 3 hari. Pada saat

pengacakan, ayam terlihat sedikit stres, setelah pemindahan ternak diberikan ransum

sesuai perlakuan, yakni: 1) ransum basal berbentuk mash (tepung) tanpa tepung biji

asam terfermentasi (TBAF), dan 2) ransum basal dicampur dengan TBAF pada level

8%, 10% dan 12% dan ransum diberikan ad libitum. Demikian pula, air minum

diberikan sepuasnya. Selama masa adaptasi, ayam memberikan respon yang baik

terhadap ransum yang diberikan kepada ternak.

26
Selanjutnya, setelah periode adaptasi berakhir, maka pada hari pertama pada

awal minggu ke-4, ternak diberikan ransum yang sudah ditimbang dan diukur berapa

jumlah ransum yang diberikan. Penimbangan pertambahan bobot badan dilakukan

sekali saja pada akhir minggu, tujuannya agar ternak tidak mengalami stress akibat

penimbangan. Rataan suhu kandang selama masa penelitian pada pagi hari berkisar

antara 21230C dan pada sore hari suhu kandang antara 27290C. Peningkatan suhu

di kandang pada siang hari, dapat diatasi dengan mengatur ventilasi udara kandang,

yaitu dengan mengangkat tirai kandang. Fadilah (2004) menyatakan bahwa suhu

kandang yang ideal untuk pemeliharaan ayam broiler 23260C. Sampai akhir

penelitian ayam berada dalam kondisi aman dan tidak ditemukan masalah yang

mengganggu proses penelitian.

Komposisi Ransum Penelitian,- Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa,

komposisi nutrisi untuk semua ransum relatif sama, di mana kandungan protein dan

energi yang menjadi patokan dalam menyusunan ransum terpenuhi, walapun nampak

serat kasar cenderung meningkat, namun masih pada kisaran yang direkomendasikan.

Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Ransum Penelitian.


Perlakuan
Zat- zat makanan
R0 R1 R2 R3
Bahan kering (%) 85,86 82,14 85,40 80,59
Protein kasar (%) 19,23 19,10 19,06 18,99
Lemak kasar (%) 2,73 3,26 3,29 4,18
Serat kasar (%) 5,20 5,31 5,37 5,89
Abu (%) 8,55 8,48 8,98 9,33
Gross energi (kkal/kg) 4.212,63 4.467,32 4.609,11 4.703,54
Energi metabolisme (kkal/kg)* 3.155,57 3.248,90 3.249,50 3.249,96
Keteranga : Hasil Analisis Proksimat R0R3 di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak
n Politeknik Pertanian Kupang (2017).
(*)Energi Metabolisme dihitung berdasarkan rumus perhitungan energi
metabolisme Cole dan Haresign (1988)

27
Kandungan protein dan energi yang menjadi patokan penyusunan ransum

terpenuhi yaitu protein 1820% dan energi metabolisme 28003200 kkal/kg (SNI,

1997 dan Direktor Bina Produksi, 1997 yang disitasi oleh Sahara dkk., 2012).

Keseimbangan protein dan energi memiliki peranan yang sangat penting dalam

menyusun ransum ayam broiler. Apabila tidak seimbang akan mengakibatkan

kelebihan atau kekurangan asupan energi dan protein dalam tubuhnya (Wahyu, 1997

yang disitasi oleh Gultom dkk., 2012). Pada Tabel 3 perlakuan R0 memiliki

kandungan energi sebesar 3155,57 kkal/kg, diikuti R1 3248,90 kkal/kg, R2 3249,50

kkal/kg dan R3 3249,56 kkal/kg. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF,

perlakuan R1 memiliki kandungan energi lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan R2 dan R3. Dari tabel yang sama menunjukkan bahwa, R0 memiliki

kandungan protein sebesar 19,23, diikuti oleh R1 19,10, R2 19,06 dan R3 18,99.

Protein berperan penting dalam pembentukan jaringan pada ternak ayam broiler,

sehingga terjadi pertumbuhan urat daging dan semua jaringan tubuh lainnya. Pada

perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R1 memiliki kandungan protein yang

lebih besar dari perlakuan R2 dan R3. Kandungan serat kasar meningkat sejalan

dengan semakin banyaknya penggunaan TBAF dalam ransum, sedangkan kandungan

protein cenderung menurun sejalan dengan semakin banyaknya penggunaan TBAF.

Perbedaan komposisi ini dapat disebabkan karena perbedaan zat makanan antara

bahan pakan penyusunan ransum dengan bahan pakan yang digunakan dalam

perhitungan, homogenitas pencampuran ransum dan tingkat ketelitian pengukuran

dalam proses analisis. Perbedaan homogenitas dapat mempengaruhi susunan bahan

pakan dalam ransum ketika dianalisis.

28
Biaya Ransum,- Biaya ransum adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk

pengadaan ransum penelitian, yang diperoleh dari hasil kali total konsumsi ransum

selama periode pengumpulan data dengan harga ransum masing-masing perlakuan.

Pada Tabel 4, harga ransum pada perlakuan R0 lebih tinggi dibandingkan perlakuan

R1, R2 dan R3. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R1 memiliki

harga ransum yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Pada perlakuan

R1,memiliki harga ransum yang lebih tinggi karena sedikitnya penggunaan TBAF

sebesar 8% menggantikan kacang hijau yang memiliki harga paling mahal

dibandingkan bahan pakan lain yang digunakan untuk penyusunan ransum ayam

broiler. Pada perlakuan R3,memiliki harga ransum yang lebih rendah karena

banyaknya penggunaan TBAF sebesar 12% menggantikan kacang hijau yang

memiliki harga paling mahal dibandingkan bahan pakan lain yang digunakan untuk

penyusunan ransum ayam broiler.

Tabel 4. Konsumsi dan Harga Ransum Ayam Broiler setiap Perlakuan Selama
Penelitian.
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi Ransum (kg/ekor)
I 2,207 2,282 2,245 2,010
II 2,362 2,287 2,152 2,290
III 2,317 2,275 2,237 2,207
IV 2,327 2,232 2,197 2,065
Total (kg) 9,213 9,076 8,831 8,572
Rata-rata (kg/ekor) 2,303 2,269 2,208 2,143
Harga ransum (Rp/kg) 8.596 7.908 7.736 7.564
Rata-rata nilai
konsumsi ransum
19.798 17.943 17.081 16.209
selama penelitian
(Rp/ekor)
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)

29
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa, rata-rata konsumsi ransum mulai menurun

yaitu R0 sebesar 2,303 kg/ekor, R1 sebesar 2,269 kg/ekor, R2 sebesar 2,208 kg/ekor

dan R3 sebesar 2,143 kg/ekor. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, konsumsi

ransum pada perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan R2 dan R3. Adanya konsumsi

ransum ayam broiler pada penelitian ini, dapat disebabkan karena adanya perbedaan

level penggunaan TBAF dalam ransum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi level penggunaan TBAF dalam ransum menghasilkan tingkat

konsumsi yang semakin rendah. Dalam hal ini dapat diperlihatkan bahwa, perbedaan

level TBAF juga menyebabkan perbedaan kandungan nutrisi ransum (Tabel 3) yang

turut mempengaruhi konsumsi ransum. Menurut North dan Bell (1990) ransum yang

tinggi kandungan serat kasarnya menyebabkan kurang palatabel, sehingga

menghasilkan konsumsi yang rendah. Demikian pula. Sinurat (1995) menyatakan

bahwa, serat kasar dalam ransum yang terlampau tinggi akan menurunkan konsumsi

ransum.

Pada Tabel 4, nampak bahwa biaya ransum per kg tertinggi diperoleh pada

perlakuan R0 sebesar Rp 19.797,-/ekor , diikuti R1 sebesar Rp 17.943,-/ekor, R2

sebesar Rp 17.081,-/ekor dan R3 sebesar Rp 16.210,-/ekor. Pada perlakuan yang

menggunakan TBAF, perlakuan R1 memiliki biaya ransum yang lebih tinggi dari

perlakuan R2 dan R3. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF dalam ransum,

perlakuan R1 memiliki biaya ransum yang lebih tinggi atau mahal dibandingkan

perlakuan R2 dan R3. Penyebabnya karena tingginya biaya ransum pada perlakuan

R1 karena tingginya harga ransum perlakuan R1 yaitu sebesar Rp 7.908/kg. Selain

itu, tingginya biaya ransum pada perlakuan R1 juga karena tingginya konsumsi ayam

30
broiler terhadap ransum perlakuan R1 yang memiliki harga ransum lebih tinggi

dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Sementara, perlakuan R3 memiliki biaya ransum

yang lebih rendah atau lebih murah dibandingkan perlakuan R2 dan R1 yaitu sebesar

Rp 7.564,-/kg. Penyebab harga ransum pada perlakuan R3 lebih rendah karena

menggunakan TBAF dengan level 12% yang memiliki harga yang lebih murah dari

kacang hijau yang dipakai sebagai bahan baku pakan penyusun ransum untuk ternak

ayam broiler (Tabel 2). Selain itu, rendahnya biaya ransum pada perlakuan R3 juga

karena tingginya konsumsi ayam broiler terhadap ransum perlakuan R1 yang

memiliki harga ransum lebih tinggi dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Berdasarkan

hasil perhitungan biaya ransum, dari semua perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan

R0 memiliki biaya ransum yang lebih tinggi dibandingkan dengan R1, R2 dan R3.

Penerimaan,- Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian bobot badan akhir

dengan harga/kg bobot hidup. Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa, berat badan akhir

pada perlakuan R0 lebih tinggi yaitu sebesar 1,676 kg, diikuti oleh perlakuan R2 :

1,644 kg, R1 : 1,614 kg dan R3 : 1,570 kg.


Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan Selama Penelitian dan Harga Ayam Broiler
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
I 1,612 1,665 1,705 1,472
II 1,740 1,555 1,627 1,642
III 1,697 1,625 1,610 1,610
IV 1,655 1,617 1,635 1,557
Total (kg) 6,704 6,459 6,577 6,281
Rata-rata (kg/ekor) 1,676 1,614 1,644 1,570
Harga ayam broiler
(Rp/kg bobot hidup)
35.000 35.000 35.000 35.000
Penerimaan (Rp/ekor) 58.660 56.490 57.450.325 54.950
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)

31
Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R2 memiliki berat

badan akhir yang lebih tinggi karena kemampuan mengubah ransum dari ternak

ayam broiler pada perlakuan R2 untuk berat badan akhir lebih bagus dibandingkan

perlakuan R1 dan R3. Berbeda dengan perlakuan R2, perlakuan R3 memperoleh berat

badan akhir paling rendah jika dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Besarnya

berat badan akhir turut mempengaruhi nilai penerimaan, karena penerimaan

merupakan hasil perkalian berat badan akhir dengan harga/kg bobot hidup).

Hal ini disebabkan oleh kandungan protein pada perlakuan R3 paling rendah

jika dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Kandungan serat kasar lebih tinggi

pada perlakuan R3. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa, protein kasar adalah zat

makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, sedangkan serat kasar

dapat mengurangi ketersediaan zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan

(Siri et al., 1992). Tingginya serat kasar dan rendahnya protein pada ransum

perlakuan R3 menyebabkan rendahnya PBB pada ternak ayam broiler yang

mengkonsumsi ransum perlakuan R3. Dalam penentuan harga/kg bobot hidup ternak

ayam broiler, diperoleh dari harga yang berlaku di pasar setempat yaitu sebesar Rp

35.000,-/kg bobot hidup dan harga tersebut sama untuk setiap perlakuan.

Pada Tabel 5, penerimaan paling tertinggi pada perlakuan R0 yaitu sebesar Rp

58.660,-/ekor, diikuti oleh R2 : Rp 57.450,-/ekor, R1 : Rp 56.490,-/ekor dan

perlakuan R3 : lebih rendah dari pada ketiga perlakuan lainnya yaitu Rp

54.950,-/ekor. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, penerimaan tertinggi pada

perlakuan R2 karena berat badan akhir yang diperoleh lebih tinggi dari pada

perlakuan R1 dan R3. Perlakuan R3 memperoleh penerimaan paling rendah jika

dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Hal ini, disebabkan karena berat badan

32
akhir yang diperoleh pada perlakuan R3 lebih rendah dari pada perlakuan R1 dan R2.

Berdasarkan hasil perhitungan penerimaan, dari semua perlakuan menunjukkan

bahwa perlakuan R0 memiliki penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

R2, R1 dan R3.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Income Over Feed and Chick Cost,-

Penilaian terhadap Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ini merupakan

barometer untuk melihat seberapa besar pendapatan yang diperoleh atas biaya pakan

dan biaya DOC dalam usaha peternakan. IOFCC diperoleh dengan menghitung

selisih antara penerimaan dengan biaya ransum (feed cost) dan harga pembelian anak

ayam, yang dihitung dalam satuan rupiah. Pada Tabel 6 terlihat bahwa, nilai IOFCC

tertinggi adalah R2 sebesar Rp 31.459,-/ekor , kemudian diikuti secara berturut-turut

oleh ternak ayam broiler yang mendapat perlakuan R0 sebesar Rp 29.862,-/ekor , R3

sebesar Rp 29.741,-/ekor dan R1 sebesar Rp 29.547,-/ekor.

Hasil IOFCC untuk perlakuan dengan penggunaan TBAF, menunjukkan

bahwa perlakuan R2 memiliki nilai IOFCC lebih tinggi dibandingkan perlakuan R3

dan R1 yaitu sebesar Rp 31.459,-/ekor. Hal ini karena penerimaan pada perlakuan R2

lebih tinggi atas pengeluaran terhadap biaya ransum dan biaya doc yang dikeluarkan

untuk perlakuan R2.

33
Tabel 6. Income Over Feed and Chick Cost
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3
Berat Badan Akhir
(kg/ekor)
1,676 1,614 1,644 1,570
Konsumsi Ransum
(kg/ekor)
2,303 2,269 2,208 2,143
Harga ransum
(Rp/kg)
8.596 7.908 7.736 7.564
Harga jual (Rp/ kg
bobot hidup)
35.000 35.000 35.000 35.000
Penerimaan
(Rp/ekor)
58.660 56.490 57.450 54.950
Biaya ransum
(Rp/ekor)
19.798 17.943 17.081 16.209
Biaya doc (Rp/ekor) 9.000 9.000 9.000 9.000
IOFCC(Rp/ekor) 29.862 29.547 31.459 29.741
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)

Pada perlakuan R1, nilai IOFCC paling terendah dari perlakuan R2 dan R3,

karena penerimaan yang diperoleh tidak sesuai atau lebih rendah dari pengeluaran

terhadap biaya ransum dan biaya doc. Pada perlakuan R3, memiliki nilai IOFCC

lebih besar dari perlakuan R1, karena penerimaan yang diperoleh pada perlakuan R3

lebih tinggi dibandingkan pengeluaran terhadap biaya ransum dan biaya doc yang

dikeluarkan untuk perlakuan R3. Berdasarkan hasil IOFCC dari semua perlakuan

menunjukkan bahwa perlakuan R2 memiliki IOFCC lebih tinggi dibandingkan

dengan R0, R3 dan R1. Hal ini tentunya sesuai dengan pendapat Nurhayati dkk.,

(2015) yaitu penggunaan produk terfermentasi dapat meningkatkan nilai IOFCC

Pengaruh Perlakuan terhadap Tambahan Keuntungan,- Untuk

mengetahui perubahan biaya yang dikeluarkan dari setiap perubahan level

penggunaan TBAF dalam ransum perlakuan dan berapa besar keuntungan yang

diperoleh jika dalam penelitian ini digunakan TBAF dalam ransum dengan level

perlakuan R1 8 %, R2 10 %, dan R3 12 %, maka dipakai analisis anggaran parsial.

34
Pada analisis anggaran parsial, jika keuntungan total lebih besar dari pada kerugian

total, menunjukkan bahwa perubahan yang diusulkan itu menguntungkan dan apabila

terjadi sebaliknya, maka perubahan yang diusulkan itu tidak menguntungkan

(Soekartawi dkk., 1986). Pada Tabel 7, Penggunaan TBAF pada level 8% dalam

ransum bassal tidak memberikan tambahan keuntungan tetapi memberikan kerugian

sebesar Rp 4.221,-, jika dibandingkan dengan ransum kontrol yang tidak

menggunakan TBAF.

Tabel 7. Analisis Anggaran Parsial pada Perlakuan R1


Analisis Anggaran Parsial Usaha Ayam Broiler
Perubahan yang ditinjau : Penggunaan TBAF (Tepung Biji Asam Terfermentasi)
8% dalam ransum ayam broiler
Tanggal : Desember 2016
Kerugian Keuntungan
Biaya tambahan (C) : Biaya yang di hemat :
R1 : ransum Ransum tanpa
Rp 17.943 Rp 19.798
mengandung 8% TBAF mengandung TBAF
Tenaga kerja Rp 13.932 Tenaga kerja Rp 10.026
Day Old Chick (DOC) Rp 9.000 Day Old Chick (DOC) Rp 9.000
Obat - obatan Rp 1.781 Obat - obatan Rp 1.781
Air Rp 8.800 Air Rp 8.800
Listrik Rp 6.627 Listrik Rp 6.627
Sekam Rp 2.000 Sekam Rp 2.000
Transportasi Rp 5.000 Transportasi Rp 5.000
Penyusutan kandang Rp 4.948 Penyusutan kandang Rp 4.948
Penyusutan peralatan Rp 4.829 Penyusutan peralatan Rp 4.829
Penerimaan yang hilang Penerimaan tambahan (R)
Penerimaan (TR0) Rp 58.660 Penerimaan (TR1) Rp 56.490
Kerugian total Rp 133.520 Keutungan total (NI1) Rp 129.299
Keuntungan tambahan (NI) :
Rp 129.299 - Rp 133.520 = -Rp 4.221
Sumber : Data Primer Tahun 2016, (Diolah)

Penyebab kerugian ini disebabkan oleh rendahnya keuntungan total (NI).

Keuntungan tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, yaitu tiap pengeluaran

atau biaya yang dihemat sebagai akibat perubahan itu dan Kedua, yaitu tambahan

35
pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul sebagai akibat perubahan tersebut

(Soekartawi et al., 1986). Penyebab rendahnya keuntungan total, karena rendahnya

pendapatan tambahan yang diperoleh sebagai akibat penggunaan TBAF sebesar 8%.

Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan

menggunakan TBAF dengan level 8% dalam ransum ayam broiler, tidak memberikan

tambahan keuntungan.

Pada Tabel 8, Penggunaan TBAF pada level 10% dalam ransum memberikan

kerugian sebesar Rp 2.399,- jika dibandingkan dengan ransum kontrol yang tidak

menggunakan TBAF.

Tabel 8. Analisis Anggaran Parsial pada Perlakuan R2


Analisis Anggaran Parsial Usaha Ayam Broiler
Perubahan yang ditinjau : Penggunaan TBAF (Tepung Biji Asam Terfermentasi)
10% dalam ransum ayam broiler
Tanggal : Desember 2016
Kerugian Keuntungan
Biaya tambahan (C) : Biaya yang di hemat :
R2 : ransum mengandung Ransum tanpa
Rp 17.081 Rp 19.798
10% TBAF mengandung TBAF
Tenaga kerja Rp 13.932 Tenaga kerja Rp 10.026
Day Old Chick (DOC) Rp 9.000 Day Old Chick (DOC) Rp 9.000
Obat - obatan Rp 1.781 Obat - obatan Rp 1.781
Air Rp 8.800 Air Rp 8.800
Listrik Rp 6.627 Listrik Rp 6.627
Sekam Rp 2.000 Sekam Rp 2.000
Transportasi Rp 5.000 Transportasi Rp 5.000
Penyusutan kandang Rp 4.948 Penyusutan kandang Rp 4.948
Penyusutan peralatan Rp 4.829 Penyusutan peralatan Rp 4.829
Penerimaan yang hilang Penerimaan tambahan (R)
Penerimaan (TR0) Rp 58.660 Penerimaan (TR2) Rp 57.450
Kerugian total Rp 132.658 Keutungan total (NI1) Rp 130.259
Keuntungan tambahan (NI) :
Rp 130.259 - Rp 132.658 = -Rp 2.399
Sumber : Data Primer Tahun 2016, (Diolah)

36
Penyebab rendahnya keuntungan total, karena rendahnya pendapatan tambahan yang

diperoleh sebagai akibat penggunaan TBAF sebesar 10%. Dalam hal ini, dapat

diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan menggunakan TBAF dengan

level 10% dalam ransum ayam broiler, tidak memberikan tambahan keuntungan.

Pada Tabel 9, Penggunaan TBAF pada level 12% dalam ransum basal

memberikan kerugian sebesar Rp 4.027,- jika dibandingkan dengan ransum kontrol

yang tidak menggunakan TBAF.

Tabel 9. Analisis Anggaran Parsial pada Perlakuan R3


Analisis Anggaran Parsial Usaha Ayam Broiler
Perubahan yang ditinjau : Penggunaan TBAF (Tepung Biji Asam Terfermentasi)
12% dalam ransum ayam broiler
Tanggal : Desember 2016
Kerugian Keuntungan
Biaya tambahan (C) : Biaya yang di hemat :
R3 : ransum mengandung Ransum tanpa
Rp 16.209 Rp 19.798
12% TBAF mengandung TBAF
Tenaga kerja Rp 13.932 Tenaga kerja Rp 10.026
Day Old Chick (DOC) Rp 9.000 Day Old Chick (DOC) Rp 9.000
Obat - obatan Rp 1.781 Obat - obatan Rp 1.781
Air Rp 8.800 Air Rp 8.800
Listrik Rp 6.627 Listrik Rp 6.627
Sekam Rp 2.000 Sekam Rp 2.000
Transportasi Rp 5.000 Transportasi Rp 5.000
Penyusutan kandang Rp 4.948 Penyusutan kandang Rp 4.948
Penyusutan peralatan Rp 4.829 Penyusutan peralatan Rp 4.829
Penerimaan yang hilang Penerimaan tambahan (R)
Penerimaan (TR0) Rp 58.660 Penerimaan (TR3) Rp 54.950
Kerugian total Rp 131.786 Keutungan total (NI1) Rp 127.759
Keuntungan tambahan (NI) :
Rp 127.759 - Rp 131.786 = -Rp 4.027
Sumber : Data Primer Tahun 2016, (Diolah)

Penyebab kerugian ini disebabkan oleh rendahnya keuntungan total (NI).

Keuntungan tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, yaitu tiap pengeluaran

atau biaya yang dihemat sebagai akibat perubahan itu dan Kedua, yaitu tambahan

37
pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul sebagai akibat perubahan tersebut

(Soekartawi et al., 1986). Penyebab rendahnya keuntungan total, karena rendahnya

pendapatan tambahan yang diperoleh sebagai akibat penggunaan TBAF sebesar 10%.

Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan

menggunakan TBAF dengan level 10% dalam ransum ayam broiler, tidak

memberikan tambahan keuntungan.

Dari hasil analisis anggaran parsial, menunjukkan bahwa perlakuan yang

menggunakan TBAF tidak memberikan tambahan keuntungan tetapi memberikan

kerugian. Perlakuan R2 yang menggunakan TBAF dengan level 10% memberikan

kerugian lebih kecil dibandingkan perlakuan R3 dan R1 yaitu sebesar Rp 2.399,

diikuti oleh perlakuan R3 yang menggunakan TBAF dengan level 12% memberikan

kerugian sebesar Rp 4.027,- dan pada perlakuan R1 yang menggunakan TBAF level

8% dalam ransum ayam broiler, memberikan kerugian sebesar Rp 4.221. Dalam hal

ini, dapat diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan menggunakan

TBAF dengan level 8%, 10% dan 12 % dalam ransum ayam broiler tidak

memberikan tambahan keuntungan, tetapi dari ketiga perlakuan yang menggunakan

TBAF, yaitu R1,R2 dan R3 memberikan penghematan terhadap biaya ransum untuk

ternak ayam broiler.

Pengaruh Perlakuan terhadap Efisiensi Pengunaan Ransum,- Efisiensi

penggunaan ransum (EPR) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk

mengetahui seberapa besar PBB yang dihasilkan sebesar satu satuan (kg/gram)

dengan memanfaatkan ransum yang dikonsumsi sebanyak satu satuan (kg/gram).

Dalam efisiensi penggunaan ransum, hal yang harus diperhatikan adalah berapa

banyak PBB yang dihasilkan pada ternak ayam broiler dari ransum yang dikonsumsi,

38
dimana semakin sedikit PBB yang dihasilkan pada ternak ayam broiler, maka

perlakuan tersebut bisa dikatakan belum efisien dalam menghasilkan suatu PBB pada

ternak ayam broiler. Jika efisiensi penggunaan ransum lebih kecil dari satu (EPR <

1), maka dikatakan belum efisien karena karena untuk menghasilkan PBB sebesar 1

kg maka ransum yang dikonsumsi lebih besar dari 1 kg. Jika efisiensi penggunaan

ransum sama dengan satu (EPR = 1), maka dikatakan efisien karena karena untuk

menghasilkan PBB sebesar 1 kg maka ransum yang dikonsumsi sebesar 1 kg. Jika

efisiensi penggunaan ransum lebih besar dari satu (EPR > 1), maka dikatakan sangat

efisien karena untuk menghasilkan PBB sebesar 1 kg maka ransum yang dikonsumsi

lebih kecil dari 1 kg.

Tabel 10. Efisiensi Penggunaan Ransum Pada Ternak Ayam Broiler


Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3
PBB (kg/ekor) 1,676 1,614 1,644 1,570
Konsumsi ransum (kg/ekor) 2,303 2,269 2,208 2,143
EPR 0,727 0,711 0,744 0,732
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)

Pada Tabel 10, terlihat bahwa nilai EPR setiap perlakuan adalah sebagai
berikut: R0 sebesar 0,727, R1 sebesar 0,711, R2 sebesar 0,744 dan pada R3 sebesar
0,732. Nilai EPR R0 sebesar 0,727 dapat diinterpretasikan bahwa, dengan
menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,727 kg.
Sementara, nilai EPR R1 adalah 0,711 dapat diinterpretasikan bahwa, dengan
menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,711 kg.
Selanjutnya, nilai EPR R2 adalah 0,744 dapat diinterpretasikan bahwa, dengan
menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,744 kg. Pada R3
nilai EPR yang diperoleh adalah 0,732 artinya, dengan menggunakan ransum
sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,732 kg.

39
Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R2 lebih efisien dalam
penggunaan ransum dibandingkan R3 dan R1. Penyebab lebih efisiennya R2 dalam
penggunaan ransum, karena dengan mengkonsumsi ransum 1 kg, maka diperoleh
PBB sebesar 0,744 Kg dan lebih besar dibandingkan R3 dan R1. Keempat perlakuan
di atas tergolong belum efisien karena semuanya memiliki EPR < 1. Namun, diantara
keempat perlakuan tersebut, perlakuan R2 lebih efisien jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain, karena dengan menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka
diperoleh PBB sebesar 0,744 Kg.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Efisiensi Ekonomi,- Efisiensi ekonomi (EE)
merupakan ratio biaya ransum selama periode pengumpulan data dengan nilai
pertambahan berat badan atau nilai jual ternak (penerimaan) selama penelitian. Jika
efisiensi ekonomi lebih besar dari satu (EE > 1) maka dikatakan belum efisien, karena
untuk menghasilkan satu satuan PBB maka dibutuhkan nilai konsumsi ransum harus
lebih dari satu satuan. Jika efisiensi ekonomi lebih kecil dari satu (EE < 1) maka
dikatakan efisien, karena untuk menghasilkan satu satuan PBB maka, dibutuhkan
nilai konsumsi ransum sebesar kurang dari 1 satuan.
Tabel 11. Efisiensi Ekonomi
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
I 0,870 0,900 0,960 0,807
II 1,000 0,880 0,895 0,937
III 1,012 0,930 0,855 0,882
IV 0,920 0,887 0,870 0,857
Total (kg) 3,802 3,597 3,580 3,483
Rata-rata (kg/ekor) 0,951 0,899 0,895 0,871
Harga Ayam
Broiler(Rp/kg bobot 35.000 35.000 35.000 35.000
hidup)
Nilai PBB (Rp/ekor) 33.285 31.465 31.325 30.485
Biaya Ransum
19.798 17.943 17.081 16.209
(Rp/ekor)
0,59477 ........0,57025 0,54528 0,53173
Efisiensi Ekonomi
(0,595) (0,570) (0,545) (0,532)
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)

40
Pada Tabel 11, pada perlakuan R0 diperoleh nilai EE sebesar 0,595 artinya, untuk

menghasilkan nilai PBB sebesar Rp 1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp

595. Pada perlakuan R1 diperoleh nilai EE sebesar 0,570 artinya, untuk menghasilkan

nilai PBB sebesar Rp 1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 570. Pada

perlakuan R2 diperoleh nilai EE sebesar 0,545 artinya, untuk menghasilkan nilai PBB

sebesar Rp 1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 545. Pada perlakuan R3

diperoleh nilai EE sebesar 0,532 artinya, untuk menghasilkan nilai PBB sebesar Rp

1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 532. Dari perlakuan yang

menggunakan TBAF, semuanya efisien tetapi yang paling efisien adalah R3.

Dalam mengadakan suatu usaha ekonomi yang harus diperhatikan adalah

biaya produksi dan penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Kondisi yang mutlak

dipenuhi dalam proses produksi yaitu, ketika ada kemungkinan tidak menghasilkan

produk yang lebih dengan input yang sama dan ada kemungkinan yang menghasilkan

produk dengan jumlah input yang sama. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF,

perlakuan R2 yang memiliki penerimaan lebih tinggi dibandingkan perlakuan R3,

secara ekonomi kurang efisien. Hal ini disebabkan karena untuk memproleh

penerimaan pada perlakuan R2, membutuhkan biaya ransum yang lebih tinggi atau

lebih mahal dibandingkan perlakuan R3. Sama halnya dengan perlakuan R1 yang

memiliki penerimaan yang hampir sama tinggi dengan R2, secara ekonomi tidak

efisien karena untuk menghasilkan penerimaan yang tinggi , membutuhkan biaya

ransum yang tinggi. Pada perlakuan R3 dikatakan lebih efisien secara ekonomi,

karena untuk menghasilkan penerimaan yang hampir sama dengan perlakuan lain,

membutuhkan biaya ransum yang lebih murah dibandingkan perlakuan yang lain.

41
Besaran biaya ransum adalah sekitar 6070% (Kompiang et al., 2001) dan

pakan dinyatakan mempunyai nilai ekonomi, jika biaya yang dikeluarkan untuk setiap

gram pertambahan bobot badan adalah paling rendah (Koni, 2010). Dari pernyataan

ini menegaskan bahwa perlakuan R3 lebih efisien secara ekonomi. Serta, berdasarkan

pendapat Rasyaf (1995) suatu perlakuan dikatakan efisien secara ekonomi, apabila

EE < 1 dan dari perlakuan yang menggunakan TBAF, yang memiliki nilai paling

rendah dari 1 adalah R3. Maka, dapat disimpulkan bahwa perlakuan R3 secara

ekonomi lebih efisien dari pada perlakuan R1 dan R2.


Hubungan EPR, EE, IOFCC dan Anggaran Parsial,- Pada Tabel 12, Pada
perlakuan yang menggunakan TBAF yaitu R2 paling tinggi nilai IOFCC-nya jika
dibandingkan dengan perlakuan R3 dan R1. Tetapi, dari segi efisiensi ekonomi,
perlakuan R3 lebih efisien dibandingkan perlakuan R2 dan R1.
Tabel 12. Rataan EPR, Rataan EE, Rataan IOFCC dan Anggaran Parsial
Parameter
Perlakuan Anggaran
EPR EE IOFCC (Rp)
Parsial (Rp)
R0 0,727 0,595 29.862 -
R1 0,711 0,570 29.547 - 4.221
R2 0,744 0,545 31.459 - 2.399
R3 0,732 0,532 29.741 - 4.027
Sumber : Data Primer Tahun 2016, (Diolah)
Keteranga : EPR (Efisiensi Penggunaan Ransum, EE ( Efisiensi Ekonomi) dan IOFCC
n (Income Over Feed and Chick Cost).

. Penyebab nilai IOFCC R2 paling tinggi karena penerimaan yang diperoleh


sesuai dengan pengeluaran terhadap biaya ransum dan biaya docuntuk perlakuan R2.
Pada analisis anggaran parsial, terlihat bahwa perlakuan yang menggunakan TBAF
tidak memberikan tambahan keuntungan tetapi meningkatkan penghematan terhadap
biaya ransum. Hal ini karena, untuk perlakuan yang menggunakan TBAF, memiliki
penerimaan tambahan yang lebih kecil sebagai akibat dari penggunaan TBAF.

42
Keuntungan bukan dilihat dari seberapa besar penerimaan yang diperoleh, tetapi
seberapa kecil input yang dikeluarkan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.
Pada perlakuan R1, jika dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3 kurang
menguntungkan. Hal ini karena dengan mengeluarkan biaya ransum yang lebih besar
dari R2 dan R3 , perlakuan R1 hanya memperoleh penerimaan yang lebih rendah dari
R2 dan R0. Hasil ini sesuai dengan efisiensi ekonomi yang menegaskan bahwa,
perlakuan R1 kurang efisien dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Selain itu, hal ini
juga sesuai dengan nilai IOFCC perlakuan R1 yang lebih rendah dibandingkan
perlakuan R2 dan R3, karena penerimaan yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan
pengeluaran untuk biaya ransum perlakuan R1.

43
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpukan bahwa :

1) Untuk ransum yang menggunakan TBAF diantara R1,R2 dan R3, perlakuan

R2 yang menggunakan TBAF level 12% memberikan Income Over Feed and

Chick Cost tertinggi yaitu sebesar Rp 31.459,-.

2) Penggunaan TBAF pada level 812% hanya menghemat biaya ransum, tetapi

jika dibandingkan dengan ransum tanpa TBAF, tentunya ransum yang

menggunakan tepung biji asam terfermentasi 812% memberikan kerugian

terkecil pada perlakuan R3 dengan level TBAF 10% yaitu sebesar Rp 2.399,-.

Sementara, kerugian terbesar pada perlakuan R1 dengan level TBAF 8% yaitu

sebesar Rp 4.221,-.

3) Untuk ransum yang menggunakan TBAF, perlakuan R2 lebih efisien dalam

penggunaan ransum karena dengan ransum sebanyak 1 kg menghasilkan nilai

PBB sebesar 0,744.

4) Untuk ransum yang menggunakan TBAF, perlakuan R3 lebih efisien secara

ekonomi dibandingkan ransum perlakuan R1 dan R2.

Saran

Berdasarkan simpulan-simpulan tersebut ternyata penggunaan tepung biji

asam terfermentasi, sangat efisien karena dalam penggunaannya memberikan

penghematan dalam biaya ransum, tetapi untuk penerimaan sangat sedikit yang

diperoleh. Oleh karena itu, paket teknologi tepung biji asam terfermentasi dapat

digunakan oleh peternak dalam usaha ayam broiler.

44
DAFTAR PUSTAKA

Aguskrisno. 2011. Peranan Jamur Ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai fermentasi


roti. Pondok Ilmu. Habitat orang-orang Pengembang Ilmu.
Akhadiarto, S. 2009. Pemanfaatan limbah kulit singkong, kulit pisang dan kulit
kentang sebagai bahan pakan ternak melalui teknik fermentasi. Jurnal
Teknologi Lingkungan. Vol (10) 3:257-263. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta.
Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi ayam petelur. Lembaga Satu Gunung Budi.Bogor.
Anggorodi,R.,1979. Ilmu makanan ternak umum.kanisius, Yogyakarta.
Azizah N., Al-Baarri N. A., dan Mulyani S. 2012. Pengaruh lama fermentasi
terhadap kadar alkohol, ph dan produksi gas pada proses fermentasi
bioetanol dari whey dengan substitusi kulit nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan. Vol. 1 No.2, 2012, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro. Hal 74.
Badan Pusat Statistik. 2016. Data produksi biji asam. Nusa Tenggara Timur.
Bishop, C. E. Dan W. D. Toussaint. 1979. Pengantar analisa ekonomi pertanian.
mutiara. Jakarta.
Boyle, M. 2003. How do you measure feed conversion?. Poultry International.
February, 42(2):20-26.
Downey, W.D. dan Erickson, S.P. 1992. Manajemen Agribisnis. Edisi, 11. Erlangga.
Jakarta.
Eko. P., Cristiyanto.M., Surono., Subrata. A. 1999. Peningkatan nilai gizi biji
shorgum melalui teknologi fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Evans. M., 1985. Nutrient Composition of Feedstuffs for pigs and poultry.
Queensland Department of Primary Industries, Brisbane.
Fadilah, R. Dan Polana, A. 2005. Aneka penyakit pada ayam dan
penanggulangannya. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal: 16-19.
Farida R W, Praptiwi dan Semiadi G.2000. Tanin dan pengaruhnya pada ternak.
Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Vol.06.No.3 2000. Halaman 66-71.
Gultom,S.M., Supratman,H., dan Abun.2012.Pengaruh imbangan energi dan protein
ransum terhadap bobot karkas dan bobot lemak abdominal ayam broiler umur
3-5 minggu. Jurnal Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Hal 2.

45
Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih, M.S., 2000. Meningkatkan Produksi Daging
Unggas. Penebar Swadaya. Yogyakarta.
Ichwan, 2004.Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging.Sagromedia, Jakarta.
Judoamidjojo, Mulyono, A.A. Darwia, dan E.G. Said. 1992. Teknologi fermentasi.
Jakarta: Rajawali Press, Jakarta.
Kadariah, 1988. Evaluasi proyek: analisa ekonomis. edisi dua. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen ternak unggas. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Kompiang, I.P.,Togatorop .M. H. Supriyati dan Jarmani, S. N., 2001. Kinerja ayam
kampung dengan sistem pemberian pakan secara memilik dengan bebas Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): 94-99.

Koni, T. N. I., A. Paga dan A. Jehemat., 2013. Jurnal kandungan protein kasar dan
tanin biji asam yang difermentasi dengan Rhyzopus Oligosporus. PARTNER,
Th. 2013 No. 2, Hal.5.

Koten, B.B.2010. Perubahan antinutrisi pada silase buah semu jambu mete sebagai
pakan dengan menggunakan berbagai tepung gaplek dan lama pemeraman.
Buletin Peternakan Vol. 34 (2): 8285.

Kunaepah, U. 2008 Pengaruh lama fermentasi dan konsentrasi glukosa terhadap


aktivitas antibakteri, polifenol total dan mutu kimia kefir susu kacang merah.
Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
Liang, J., B.Z. Han, M. Nout, and R.J. Hamer., 2008. Effects of soaking germination
and fermentation on phytic acid: total and in vitro soluble zinc
inbrownrice.FooChem110,821828.www.electronicsandbooks.com/eab1/manual
/magazine/F/./789 794.pdf. Unduhan September 2016.
Ly, J., 2015. Upaya optimalisasi potensi biji asam sebagai pakan alternatif lokal
yang bermanfaat bagi perbaikan kinerja reproduksi dan produksi ternak babi.
Paper. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

........ 2016. Evaluasi nilai nutrisi biji asam terfermentasi saccharomyces serevisiae
sebagai suplemen pakan induk dan implikasinya terhadap kinerja induk dan
anak babi pra-sapih. Disertasi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Malang. Hal 9.Hal 44.

46
Ly, J., O. Sjofjan., I. H. Djunaidi dan Suyadi., 2016. Enriching nutritive value of
tamarind seeds by saccharomyces cerevisiae fermentation. Accepted paper in
Journal of Biochemical and Technology, 2016.
Mide, Zain, Muhammad. 2007. Konversi ransum dan income over feed and chick
cost broiler yang diberikan ransum mengandung berbagai level tepung
rimpang temulawak (Curcumin xanthorriza oxb). Skripsi. Jurusan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan. Makassar: Universitas Hasanuddin
Miller, R.L. dan Meiners E,R. 2000, Theeory Mikroeconomy Intermediate,PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Mulyadi, 2005. Akuntansi Biaya. Edisi Kelima. Yogyakarta ;UPPAMP YKPN
Universitas Gajah Mada.
Mulyantini, N. G. A., 2011. Produksi Ternak Unggas. Cetakan ke-1. PT IPB Press.

Murtidjo, M. A. B. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.

...................1994. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.

.................. 2003 Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam. Kanisius, Yogyakarta.

Nafarin M, 2004 : Penganggaran Perusahaan, Jakarta : Salemba empat.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. Ed Rev ke-9.


Washington DC: Academy Pr.
North, M. O. And D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed.
AVI Publishing Co. Westport, New York.
Nurhayati, C. U. Wirawati dan D. D. Putri. 2015. Penggunaan produk terfermentasi
dan kunyit dalam pakan terhadap performans ayam pedaging dan income over
feedand chick cost. Jurnal Zootek. Vol. 35 No. 2 379389.
Pugalenthi, M., V. Vadivel, P. Gurumoorthi and K. Janardhanan.,2004. Comperative
nutritional and antinutritional evaliation of little knows legumes. Tamarindus
indica, Erythrina indica and sesbania bispinosa. Tropical and Subtropical
Agroecosystems, 2004(4):107-12. Unduhan September 2016.

Rasyaf, M.,1995. Pengelolaan Usaha Ayam Broiler Pedaging. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

.................., 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke-23. Penebar Swadaya.


Jakarta.

47
..........., M. 2005. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Kanisius, Yogyakarta

..........., M. 2006. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.

..........., M. 2007. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rofiq, M. N. 2003. Pengaruh pakan berbahan baku lokal terhadap performans villi
usus halus ayam broiler. jurnal sains dan teknologi indonesia,V5.N, Agustus
2003,hal. 190194/Humas-BPT/ANY.

Sahara, E., Sandi, S., dan Muhakka.2011.Performan produksi ayam pedaging dengan
pemanfaatn bungkil biji kapas sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai
dalam ransum. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. Vol.6, No.2. Hal 137.

Samosir, D.J. 1983. Ilmu Ternak Air. PT. Gramedia. Jakarta


Sasongko, W.R. 2006. Mutu karkas ayam potong. Triyanti. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan veteriner, Bogor.
Setiarto, R.H.B dan N. Widhyastuti. 2016. Penurunan kadar tanin dan asam fitat
pada tepung sorgum melalui fermentasi rhizopus oligosporus, lactobasilus
platarum dan saccaromyces cerevisiae.Bidang Mikrobiologi,Pusat Penellitian
Biologi LIPI. Jawa Barat.
Shahim, K.A and Ellazeem, F.A., 2005. Effect of breed, sex and diet and their
interacction on carcas composition and tissue weight distribution of broiler
chickens. Arch Tiers Dummerstorf. 48:612-626.
Shinta, A. 2001. Ilmu Usaha Tani. Metode Analisis Anggaran Parsial. Universitas
Brawijaya, Malang. Buku Halaman 126-127.
Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gajah Mada University
Press.Yogyakarta.
Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, J. Dharma dan T. Haryati. 1995. Tingkat
penggunaan bungkil kelapa fermentasi dan non fermentasi pada ransum itik
petelur. Kumpulan hasil penelitian APBN Tahun Anggaran 1994/1995. Balai
Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Siri S, Tobioka H and Tasaki I. 1992 Effects of dietary cellulose level on nutrient
utilization in chickens. AJAS 5 (4) : 741-746.
Soekartawi,A. Soeharyo; J.L. Dillon; J.B. Hardaker, 1986. Ilmu usahatani dan
penelitian untuk pengembangan petani kecil. UI Press, Jakarta.
...................., 1990. Teori ekonomi produksi dengan pokok bahasan analisis fungsi
cobb-douglas. Rajawali Pers, Jakarta.

48
................... 2001. Analisis Usahatani.UI Press. Jakarta.
Solikin, T., Tanwiriah, W., and Sujana, E. 2016. Final body weight, carcass weight
and income over feed and chick cost of sentul chicken at barokah abadi form
ciamis. Jurnal Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran, Hal 3.

Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. UNNES University Press, Semarang.

Tillman, A.D., Hartadi H. Reksohadirpojo S., Prawirokusumo S., dan Lebdosoekojo


S., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM-Press, Yogyakarta.
Towaha, J.2011. Pengaruh tepung biji asam jawa sebagai pengental cetak textil.
Berita artikel 18 juli 2011. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
(BALITTRI). Badan Litbang Pertanian-Kementrian Pertanian Republik
Indonesia.
Umiyasih, U. dan Y.N. Aggraeni., 2008. Pengaruh fermentasi Saccharomyces
cerevisiae terhadap kandungan nutrisi dan kecernaan ampas pati aren (Arenga
pinnata Merr). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2008. Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2. Grati, Pasuruan 61084.
Hal. 241-247.
Venty, H.M. 2000. Nilai ekonomis ransum kombinasi produk pemasakan urea tepung
putak dengan hijauan dan gamal (gliricidia maculata) dan kayu ende (lannea
grandis) pada domba ekor tipis. Skripsi Fapet Undana Kupang.

Wahyu, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

..............., 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM Press. Fakultas Peternakan. bogor

Wea, R, B.B. Koten Dan Th. N. I. Koni. 2012. Identifikasi Komposisi Tubuh Dan
Performans Produksi Babi Lokal Jantan Yang Mengonsumsi Pakan Olahan Biji
Asam Dalam Ransum Fermentasi. Laporan Politeknik Pertanian Negeri
Kupang.

Widodo. W., 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Universitas


Muhamadiyah Malang Press. Malang.

Wijayanti, R. P. 2011. Pengaruh Suhu Kandang Yang Berbeda Terhadap Performans


Ayam Pedaging Periode Starter. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
Malang.

Yamin. M, 2008. Pemanfaatan ampas kelapa dan ampas kelapa terfermentasi dalam
ransum terhadap efisiensi ransum dan income over feed and chick cost ayam

49
pedaging. Journal Agroland 15 (2) : 135-139. Fakultas Pertanian Universitas
Tadulako, Palu.
Yuwanta, T. 2004. Dasar ternak unggas. Kanisius. Yogyakarta.

50
LAMPIRAN

Lampiran 1. Harga Tepung Biji Asam Terfermentasi (TBAF)


Biaya Harga (Rp/Kg)
Biaya Biji Asam Rp 1.000
Biaya Saccharomyces cerevisiae Rp 300
Biaya Pembuatan
Biaya Sangrai Rp 312,501
Biaya Penggilingan Rp 3.000
Biaya Transportasi Rp 200
Biaya Tenaga Kerja Rp 312,501
Biaya Tepung Biji Asam Terfermentasi (TBAF) Rp 5.125

Lampiran 2. Data Konsumsi Ransum Selama Penelitian


Konsumsi ransum
(gram/ekor) Total
Perlakuan/Ulanga
n Mingg Minggu Minggu
u ke-4 ke-5 ke-6 (gram/ekor (kg/ekor)
)
R0I 620,000 760,000 827,500 2.207,500 2,207
R0II 710,000 827,500 825,000 2.362,500 2,362
R0III 620,000 767,500 930,000 2.317,500 2,317
R0IV 670,000 820,000 837,500 2.327,500 2,327

R1I 652,500 752,500 877,500 2.282,500 2,282


R1II 615,000 777,500 895,000 2.287,500 2,287
R1III 667,500 770,000 837,500 2.275,000 2,275
R1IV 625,000 775,000 832,500 2.232,500 2,232

R2I 665,000 775,000 805,000 2.245,000 2,245


R2II 622,500 702,500 827,500 2.152,500 2,152
R2III 587,500 717,500 932,500 2.237,500 2,237
R2IV 572,500 775,000 850,000 2.197,500 2,197

R3I 545,000 645,000 820,000 2.010,000 2,010


R3II 575,000 795,000 920,000 2.290,000 2,290
R3III 555,000 760,000 892,500 2.207,500 2,207
R3IV 565,000 647,500 852,500 2.065,000 2,065

51
Lampiran 5 Data Pertambahan Bobot Badan Selama Penelitian
Total PBB Selama
Berat Badan (g/ekor)
Perlakuan Penelitian
/ Ulangan Berat Minggu Minggu Minggu
(gram/ekor) (kg/ekor)
Awal ke-4 ke-5 ke-6
ROI 742,500 1.037,500 1.322,500 1.612,500 870,000 0,870
ROII 740,000 1.147,500 1.487,500 1.740,000 1.000,000 1,000
R0III 685,000 1.095,000 1.415,000 1.697,500 1.012,500 1,012
ROIV 735,000 1.105,000 1.425,000 1.655,000 920,000 0,920

R1I 762,500 1.110,000 1.412,500 1.662,500 900,000 0,900


R1II 675,000 1.002,500 1.290,000 1.555,000 880,000 0,880
R1III 695,000 1.052,500 1.340,000 1.625,000 930,000 0,930
R1IV 730,000 1.095,000 1.370,000 1.617,500 887,500 0,887

R2I 745,000 1.072,500 1.407,500 1.705,000 960,000 0,960


R2II 732,500 1.065,000 1.375,000 1.627,500 895,000 0,895
R2III 755,000 1.077,500 1.380,000 1.610,000 855,000 0,855
R2IV 765,000 1.122,500 1.405,000 1.635,000 870,000 0,870

R3I 665,000 960,000 1.197,500 1.472,500 807,500 0,807


R3II 705,000 990,000 1.380,000 1.642,500 937,500 0,9375
R3III 727,500 1.057,500 1.355,000 1.610,000 882,500 0,882
R31V 700,000 985,000 1.290,000 1.557,500 857,500 0,857

52

Anda mungkin juga menyukai