OLEH
saat ini masih tergantung pada produk peternakan, salah satunya adalah ayam broiler.
Populasi ayam ras pedaging di NTT pada tahun 2016 mencapai 2.687.269 ekor (Data
BPS NTT, 2016). Pengembangan pemeliharaan ayam broiler sangat tepat dilakukan,
karena keunggulan yang dimiliki pada ayam broiler yaitu dapat dipanen pada umur
sekitar 45 minggu dengan berat badan antara 1,21,9 kg/ekor dan angka konversi
ransum 2 (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Selain itu, harga ayam broiler
manajemen pemeliharaan yang baik dan terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang baik
dalam ransum baik secara kualitas maupun kuantitas (Ichwan, 2004). Pada usaha
peternakan, ransum merupakan faktor penting, selain bibit dan manajemen. Dalam
* Pembimbing Utama
** Pembimbing Anggota
1
usaha peternakan, besar biaya ransum adalah sekitar 6070% (Kompiang et al.,
2001). Upaya-upaya untuk menekan biaya ransum sangat perlu diterapkan agar dapat
yang umumnya digunakan, memiliki harga yang cukup tinggi. Tingginya harga
itu, diupayakan untuk mencari bahan pakan alternatif yang harganya murah, mudah
didapat, baik kualitasnya dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Upaya-
upaya yang dapat menekan biaya ransum sangat perlu diterapkan agar dapat
2
2004). Fermentasi menggunakan peran mikroba telah dilaporkan mampu
mengeliminasi atau mengurangi senyawa antinutrisi dalam pakan (Liang et al., 2008).
Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu
substrat organik melalui akitivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(Suprihatin, 2010). Tujuan fermentasi memanfaatkan mikroba yang mampu
mengeluarkan enzim dan zat lain yang dapat meningkatkan kandungan protein pakan,
serta menurunkan kadar serat kasar (Akhadiarto, 2009). Menurut Nurhayati dkk.,
(2015) penggunaan produk terfermentasi dapat meningkatkan nilai IOFCC. Selain
itu, fermentasi dapat memperbaiki nilai efisiensi ransum pada ayam broiler
(M.Yamin, 2008). Menurut Koni dkk., (2013), biji asam optimal digunakan sebanyak
7,5% dalam ransum ayam broiler dengan difermentasi menggunakan Rhizopus
Oligosporus. Tannin juga dapat di eliminasi atau dikurangi oleh senyawa etanol atau
alkhohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi . Saccharomyces cerevisiae telah
dilaporkan sebagai salah satu mikroba yang memproduksi etanol atau alkohol oleh
Eko dkk., (1999), sehingga peranannya dapat digunakan dalam fermentasi biji asam.
Setiarto dan Widhyastuti (2016) menyatakan bahwa, Saccharomyces
cerevisiae lebih efektif untuk menghidrolisis tannin dibandingkan menggunakan
Rhizopus oligosporus dengan angka penurunan kadar tannin 30,82% untuk
Saccharomyces cerevisiae dan 29,13% untuk Rhizopus oligosporus. Penggunaan
tepung biji asam terfermentasi (TBAF) dalam ransum ayam broiler, bertujuan untuk
mengantisipasi adanya kenaikan harga bahan baku pakan, seperti kacang hijau.
Adanya penggunaan tepung biji asam terfermentasi untuk mengurangi biaya ransum
yang turun naik (Samosir, 1983). Belum diketahui pengaruh penggunaan TBAF akan
menimbulkan nilai ekonomi yang lebih tinggi atau nilai ekonomi yang lebih rendah.
3
Berdasarkan uraian diatas, maka telah dilakukan penelitian dengan judul Nilai
Ekonomi Penggunaan Tepung Biji Asam Terfermentasi Menggunakan
Saccharomyces Cerevisiae Dalam Ransum Ayam Broiler .
Rumusan Masalah,- Berdasarkan gambaran latar belakang tersebut, maka
1. Seberapa besar income over feed and chick cost (IOFCC) dari penggunaan
keuntungan ?
1. Untuk mengetahui seberapa besar income over feed and chick cost (IOFCC)
ayam broiler.
tambahan keuntungan.
broiler.
4
Manfaat,- Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut :
bersaing.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Broiler,- Ayam broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya
2006). Hasil penelitian Murtidjo (1992), menyatakan bahwa ayam broiler (pedaging)
merupakan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan ternak yang lain. Selain
itu, Ayam broiler merupakan pilihan yang tepat mengingat sifat-sifat keunggulannya,
yaitu tidak memerlukan tempat yang luas dalam pemeliharaannya dan bergizi tinggi
(Murtidjo, 1994). Selain itu, ayam broiler memiliki keunggulan lain yaitu dapat
dipanen pada umur sekitar 45 minggu dengan berat badan antara 1,21,9 kg/ekor
dan angka konversi ransum 2 (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Ayam broiler
merupakan ayam yang memiliki kecepatan tumbuh pesat dalam kurun waktu yang
ayam broiler dapat digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya
keunggulan seperti daging relatif lebih besar, harga terjangkau, dapat dikonsumsi
digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan konsumsi nutrisi yang seimbang
dan tepat (Rasyaf, 2006). Ransum yang diberikan harus mengandung zat-zat gizi
yang lengkap seperti protein, karbohidrat, vitamin, lemak dan mineral yang dapat
menunjang kebutuhan hidup dan pertumbuhan ayam broiler (Ichwan, 2004). Ransum
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, mengganti jaringan yang rusak
dan untuk pertumbuhan suatu ternak atau hewan (Rasyaf, 2006). Ternak unggas tidak
dapat diberi ransum hanya dari satu bahan pakan saja, karena tidak akan melengkapi
6
kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhannya (Mulyantini, 2011). Untuk penyusunan
ransum yang tepat sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap periode pertumbuhan dan
produksi dipengaruhi oleh nilai gizi dari bahan-bahan makanan yang dipergunakan
(Wahju, 2004). Ransum yang tidak diberikan dalam keadaan seimbang tentunya akan
makanan (Anggorodi,1979).
Dua unsur penting dalam penyusunan ransum unggas termasuk broiler adalah
energi dan protein. Keseimbangan protein dan energi memiliki peranan yang sangat
penting dalam menyusun ransum ayam broiler. Apabila tidak seimbang akan
mengakibatkan kelebihan atau kekurangan asupan energi dan protein dalam tubuhnya
(Wahyu, 1997 yang disitasi oleh Gultom dkk., 2012). Bahan ransum sumber energi
umumnya dapat digunakan lebih dari 1070%. Bahan sumber protein pemakaiannya
dalam ransum tentu lebih rendah jika kebutuhan protein kurang dari 20% (Amrullah,
mengandung energi yang berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, jika
sudah terpenuhi kebutuhan energinya, maka ternak ayam broiler akan mengurangi
tingkat konsumsi terhadap ransum tersebut (Shahim dan Ellazeem, 2005). Upaya-
upaya yang dapat menekan biaya ransum sangat perlu diterapkan agar dapat
yang telah dilemahkan atau dimatikan yang diberikan pada ternak yang dapat
vaksinasi merupakan suatu tindikan memasukkan antigen berupa virus yang telah
7
dilemahkan ke dalam tubuh ayam untuk merangsang pembentukan kekebalan agar
ayam tahan terhadap serangan penyakit. Aplikasi vaksinasi pada ayam adalah injek,
air minum, tetes mata atau hidung, semprot atau tusuk sayap (Murtidjo, 2003).
mikroorganisme agen penyakit dalam kedaan hidup, tetapi sudah dilemahkan, yang
akan tumbuh dan berkembang bidak di dalam induk semang yang di vaksin. Vaksin
inaktif merupakan vaksin yang berisi mikroorganisme agen penyakit dalam kedaan
dikenal sebagai asam jawa dari family leguminosa yang tumbuh menyebar di daerah
tropis meliputi: Asia, Afrika dan Amerika Selatan, serta sedang dikembangkan di
Australia (Towaha, 2011). Biji asam merupakan limbah jenis pakan lokal yang
potensial dan menjadi salah satu komoditif unggulan non-kayu sektor kehutanan
NTT. Biji asam adalah hasil buah pohon asam yang potensial, baik secara kualitatif
maupun kuatitatif sebagai pakan. Produksi biji asam NTT tahun 2015 mencapai 778
ton/tahun (Data BPS NTT, 2016). Ditinjau dari segi komposisi nutrisi, biji asam di
NTT mengandung protein 20%, lemak 5,5%, karbohidrat 59%, air 13%, abu 2,4%
dan sisanya berupa albuminoid, globatanin, serta vitamin B (Towaha, 2011 yang
disitasi oleh Ly, 2016). Akan tetapi, biji asam terindikasi mengandung anti-nutrisi
dalam bentuk tanin, fenol bebas, L-dropa dan oligosakarida, di mana konsetrasi
tertinggi ada pada bagian kulit, sedikit pada daging, sehingga biji asam diolah terlebih
dahulu agar dapat dimanfaatkan ternak secara maksimal (Pugalenthi, et al., 2004;
8
Farida dkk., (2000) mengemukakan bahwa, pengaruh tannin pada unggas
yaitu menurunkan daya cerna protein dan dikemukakan lebih lanjut bahwa, tannin
berkorelasi positif dengan nilai daya cerna. Pemanfaatan biji asam terbatas karena
kulit keras dan terindikasi mengandung anti nutrisi tannin sehingga tidak dapat
digunakan langsung secara mentah untuk dikonsumsi ternak (Pugalenthi et al., 2004).
Adanya zat tannin dalam pakan unggas dapat menghambat proses pertumbuhan,
karena tannin dapat mengikat protein pakan pada intestinum yang menyebabkan
penurunan daya cerna dan absorbsi protein (Widodo, 2005). Pengolahan secara fisik
menurunkan kandungan tannin pada biji asam maka dilakukan teknologi pengolahan
sebelum bahan pakan tersebut digunakan sebagai pakan ternak. Salah satu teknologi
yang dilakukan melalui fermentasi. Hasil penelitian Koni dkk., (2013) menyatakan
kadar tannin 0,43% hingga 0,31%. Berbeda dengan biji asam tanpa fermentasi yang
pada suatu substrat organik melalui akitivitas enzim yang dihasilkan oleh
mampu mengeluarkan enzim dan zat lain yang dapat meningkatkan kandungan
protein pakan, serta menurunkan kadar serat kasar (Akhadiarto, 2009). Selain itu,
fermentasi dapat memperbaiki nilai efisiensi ransum pada ayam broiler (M. Yamin,
2008). Secara umum, fermentasi bahan pakan dapat dilakukan dengan menggunakan
9
ragi. Menurut Kunaepah (2008), ada banyak faktor yang mempengaruhi fermentasi
antara lain substrat, suhu, pH, oksigen dan mikroba yang digunakan.
proses fermentasi adalah ragi. Pada umumnya dikenal 3 jenis ragi yaitu ragi tape, ragi
roti, dan ragi tempe. Ragi tape berbentuk padat dengan bentuk bulat pipih berwarna
putih, ragi roti berbentuk butiran, sedangkan ragi tempe berbentuk bubuk. Ragi roti
dan ragi tape mengandung mikroorganisme yang sama yaitu Saccromyces cerevisiae.
Di Indonesia, Saccharomyces cerevisiae lebih dikenal dengan nama ragi roti yang
Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai khamir atau ragi kering aktif yang
digunakan dalam pembuatan anggur, roti dan bir merupakan jenis mikroorganisme
aman yang paling komersial saat ini (Aguskrisno, 2011). Umiyasih dan Aggraeni
dan kecernaan karbohidrat sulit tercerna (serat kasar) serta, mengoptimalkan peranan
asam lemak dan kecernaan lemak pakan bagi peningkatan kinerja produksi dan
reproduksi ternak.
mudah tercerna (available protein) dengan komposisi asam amino yang seimbang
yaitu, mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap alkohol tinggi,
10
tahan terhadap suhu yang tinggi serta mempunyai sifat stabil dan cepat beradaptasi
Income Over Feed and Chick Cost,- Income Over Feed and Chick Cost
barometer untuk melihat seberapa besar biaya ransum dan biaya DOC dalam usaha
penggemukan ternak. Ditinjau dari hubungan antara biaya dan penerimaan, yang
IOFCC itu sendiri adalah perbedaan rata-rata pendapatan (dalam rupiah) yang
diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata
pengeluaran satu ekor ayam selama penelitian (Mide, 2007). Menurut Rasyaf (2003),
yang dihasilkan berupa segi masukkan lebih kecil dengan keluaran lebih besar.
Kadariah (1988) menyatakan bahwa, untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha
semakin baik pula nilai IOFCC-nya (Rasyaf, 2011). Menurut Nurhayati dkk., (2015)
perubahan terhadap beberapa ukuran keuntungan seperti pendapatan bersih dari usaha
11
yang dijalankan (Shinta, 2001). Menurut Nafarin (2004) menyatakan bahwa,
anggaran adalah rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan
secara kuantitatif dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang untuk jangka waktu
tetentu. Anggaran parsial yaitu anggaran yang disusun tidak secara lengkap, anggaran
yang hanya menyusun bagian anggaran tertentu saja. Biasanya dibuat karena
keterbatasan kemampuan, maka yang dapat disusun hanya anggaran operasional saja.
dalam organisasi usahatani atau metode produksi secara hati-hati dan tepat. Langkah
kedua ialah, mendaftar dan menghitung keuntungan dan kerugian yang diakibatkan
oleh perubahan itu. Kerugian dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama, yaitu
pengeluaran atau biaya tambahan yang terjadi karena ada perubahan. Kedua, yaitu
pendapatan kotor atau penghasilan yang hilang dan tidak akan diterima lagi sebagai
kelompok. Pertama, yaitu tiap pengeluaran atau biaya yang dihemat sebagai akibat
perubahan itu. Kedua, yaitu tambahan pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar
PBB yang dihasilkan ayam broiler sebesar satu satuan (kg/gram) dengan
penggunaan ransum sama halnya dengan efisiensi teknis. Menurut Miller dan
12
Meiners (2000), efisiensi teknis (technical efficiency) mensyaratkan adanya proses
produksi yang dapat memanfaatkan input yang sedikit demi menghasilkan output
pakan, vitamin dan obat, bahan bakar, listrik, tenaga kerja dan luas kandang dapat
dikatakan lebih efisien dari peternak lain jika peternak tersebut mampu menggunakan
faktor-faktor produksi lebih sedikit atau sama dengan peternak lain, namun dapat
menghasilkan tingkat produksi yang sama atau bahkan lebih tinggi dari peternak
lainnya. Menurut Wijayanti (2011), bahwa tinggi rendahnya angka konversi pakan
disebabkan oleh adanya selisih yang semakin besar atau kecil pada perbandingan
antara pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dicapai.
selama penelitian dengan nilai pertambahan bobot badan (PBB) atau nilai jual ternak
(penerimaan) selama penelitian. Rasio yang mengukur keluaran atau produksi suatu
sistem atau proses untuk setiap unit masukan disebut efisiensi (Downey dan Erickson,
1992). Usaha yang efisien secara ekonomis adalah usaha yang paling menguntungkan
(Soekartawi, 1990). Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara
13
jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging
atau telur (output) (Rasyaf, 1995). Efisiensi harga atau alokatif menunjukkan
keuntungan yaitu menyamakan nilai produk marginal setiap faktor produksi dengan
harganya. Bila peternak mendapatkan keuntungan yang besar dari usaha ternaknya,
mengalokasikan input usaha ternaknya secara efisien. Konsep yang digunakan dalam
efisiensi ekonomi adalah meminimalkan biaya artinya suatu proses produksi akan
efisien secara ekonomis pada suatu tingkatan output apabila tidak ada proses lain
yang dapat menghasilkan output serupa dengan biaya yang lebih murah. Efisiensi
ekonomi dalam usaha ternak ayam broiler dipengaruhi oleh harga jual produk dan
total biaya produksi yang digunakan. Harga jual produk akan mempengaruhi total
penerimaan. Usaha ternak ayam broiler dapat dikatakan efisien secara ekonomis jika
untuk setiap gram pertambahan bobot badan adalah paling rendah (Koni, 2010). Pada
usaha peternakan ayam, besaran biaya ransum adalah sekitar 6070 % (Kompiang et
al., 2001). Perhitungan nilai ekonomi pada usaha ternak ayam broiler dapat dinilai
dari pemberian ransum. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah berapa besar
biaya ransum sebagai input dan berapa besar nilai pertambahan bobot badan sebagai
output. Kondisi yang mutlak dipenuhi dalam proses produksi yaitu, ketika ada
kemungkinan tidak menghasilkan produk yang lebih dengan input yang sama dan ada
kemungkinan yang menghasilkan produk dengan jumlah input yang sama. Dalam
14
mengadakan suatu usaha ekonomi yang harus diperhatikan adalah biaya produksi dan
dengan biaya produksi, maka keuntungan yang diperoleh semakin besar. Keuntungan
yang diperoleh akan menjadi lebih besar jika biaya produksi ditekan serendah
mungkin.
diukur dalam satuan uang yang telah terjadi, sedang terjadi atau kemungkinan akan
terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya produksi dalam usaha peternakan
meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Menurut Soekartawi (2001), biaya tetap
adalah biaya yang diperuntukkan bagi pembiayaan faktor produksi yang sifatnya
tetap seperti pembelian bibit, penyusutan peralatan usaha produksi maupun pajak atas
usaha; sedangkan biaya tidak tetap ialah biaya yang diperuntukkan bagi pembiayaan
faktor produksi yang sifatnya berubah-ubah dalam satu proses produksi seperti biaya
tenaga kerja maupun sarana produksi seperti pakan, obat-obatan dan tenaga kerja.
15
MATERI DAN METODE PENELITIAN
oleh tiga aspek, yaitu breeding, feeding, dan management (bibit, pakan, dan
antara 60-70 % dari seluruh biaya produksi. Menyadari akan tingginya biaya produksi
yang dialokasikan untuk biaya ransum, maka perlu dicari ransum alternatif misalnya
ransum, maka dapat dipakai bahan baku pakan lokal seperti biji asam. Penggunaan
bahan pakan lokal juga harus tetap memperhatikan aspek efisiensi teknis dan
ayam broiler, baik dari sisi mutu dan jumlah. Selanjutnya, dari aspek ekonomi, biaya
ransum tersebut harus lebih rendah dari ransum yang umum dipakai dalam usaha
Penggunaan biji asam pada ayam broiler harus memperhatikan kaualitas dan
meningkatan mutu dari biji asam tersebut. Terpenuhinya kebutuhan ransum pada
ayam broiler baik dari sisi mutu dan jumlah, berpengaruh terhadap pertambahan
bobot badan yang meningkat pada ternak ayam broiler, dan dengan meningkatnya
pertambahan bobot badan akan sangat berpengaruh terhadap produksi ayam broiler.
Semakin meningkatnya produksi ayam broiler yang dihasilkan dalam suatu usaha
penjualan ayam broiler yang dihasilkan. Tujuan utama usaha peternakan ayam
broiler adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dengan biaya minimal.
16
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan penggunaan pakan perlakuan berupa TBAF,
maka perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : Harga pakan, biaya, penerimaan,
Usaha Peternakan
Ayam broiler
Harga
Bibit Manajemen Ransum Ransum
Bahan Pakan Lokal
: Biji Asam
TBAF
Proses Produksi
Teknis : EPR
(Pemeliharaan)
dan PBB Ekonomi : Anggaran
Parsial, IOFCC dan EE
Ayam broiler
siap jual
Keterangan :
TBAF : Tepung Biji Asam Terfermentasi EE : Efisiensi Ekonomi
PBB : Pertambahan Bobot Badan EPR : Efisiensi Penggunaan
Ransum
Gambar 1. Kerangka pemikiran mengenai nilai ekonomi penggunaan tepung biji asam
terfermentasi dalam ransum ayam broiler.
17
2. Penggunaan TBAF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dalam
keuntungan.
Kandang Ayam Fakultas Peternakan Undana yang berlangsung selama 6 minggu dari
yang berumur 3 minggu strain Hubbard yang diperoleh dari PT. Wonokoyo Jaya
Corporindo, Surabaya.
ransum adalah jagung, dedak padi, kacang hijau, tepung ikan, tepung biji asam
terfermentasi dan minyak kelapa (Tabel 1). Penyusunan ransum penelitian didasarkan
pada tabel kebutuhan nutrisi NRC (1984) untuk ayam pedaging umur 46 minggu
29003200 kkal.
18
Tabel 1. Kandungan Nutrisi dan Harga Bahan Pakan Penyusun Ransum Penelitian
Kandungan Nutrisi
Bahan Pakan Harga (Rp/kg)
EM (kkal/kg) PK (%) LK (%) SK (%)
Jagunga 3.430,00 9,00 3,80 2,50 5.000
Kacang hijaua 2.900,00 24,20 1,10 5,50 25.000
Dedak padib 3.100,00 12,00 1,50 12,90 2.300
Tepung ikana 2.640,00 53,90 4,20 1,00 8.200
TBAFc 2.637,24* 19,20 6,14 9,54 5.125
Minyak kelapaa 8.950,00 0,00 0,00 0,00 15.000
Sumber : a.Murtidjo (1992) b. NRC (1994) c. Ly (2015)
Keterangan : EM (Energi Metabolisme), Protein Kasar (PK), Lemak Kasar (LK), Serat Kasar
(SK) dan *Energi Metabolisme tepung biji asam terfermentasi dihitung
berdasarkan rumus perhitungan energi metabolisme = 0,811 + (0,875MJ) +
(0,076SK) (0,063 x (SK)2). Cole dan Haresign (1988)
Berdasarkan harga pada setiap bahan pakan yang tertera pada Tabel 1, maka
kandungan nutrisi dan harga ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
bersistem litter menggunakan sekam padi, luas kandang terhitung dari kandang saat
fase starter sampai kandang perlakuan yaitu dengan ukuran 5,9 x 6,6 m, sebanyak 16
petak dengan ukuran masing-masing petak 80x80 cm. Setiap petak dilengkapi dengan
19
tempat pakan dan tempat minum, serta alas kandang diberi sekam padi setebal 35
cm dan tiap petak diisi dengan ternak ayam broiler sebanyak 4 ekor. Sedangkan,
gram untuk menimbang pakan dan ternak ayam, Alat pemanas yang digunakan
adalah lampu pijar (75 watt) berjumlah 4 buah, ember, sapu lidi, gayung, pisau,
Vaksin dan Vitamin,- Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
Bandung. Sedangkan, vitamin yang digunakan adalah vita chick dan vita stress
sebagai berikut:
dan tempat air minum disanitasi dan penyemprotan kandang dengan menggunakan
larutan antiseptik. Litter yang digunakan adalah sekam padi bersih dan kering. Di
yang diolah dari biji asam diperoleh di sekitar wilayah Kabupaten Kupang.
20
2) Setelah dipisahkan biji asam yang rusak, kemudian biji asam yang tidak
rusak diangkat dan ditaruh di wadah lain sebelum disangrai
3) Biji asam disangrai selama 15 menit.
4) Hasil sangrai langsung dimasukan ke dalam air dan dibiarkan selama 12
jam hingga kulitnya terkelupas.
5) Biji asam yang telah dipisahkan dari kulit, kemudian dijemur untuk
digiling menjadi tepung.
6) Timbang 5 kg tepung biji asam dan diletakan diatas hamparan plastik
7) Timbang Saccharomyses cerevisiae sebanyak 15 gram
8) Larutkan 15 gram Saccharomyses cerevisiae dalam 3 liter air, hingga
membentuk larutan Saccharomyces cerevisiae homogen.
9) Campurkan 3 liter larutan Saccharomyses cerevisiae homogen dengan 5
kg tepung biji asam dan diaduk hingga membentuk camputan merata dan
tidak lengket pada tangan bila diremas dan partikel tepung terpisah.
10) Masukan campuran tepung biji asam dengan Saccharomyces cerevivisiae
dalam wadah (ember) plastik berkapasitas 5 kg yang memiliki tutup.
Selanjutnya, ember plastik tersebut ditutup rapat untuk menciptakan
kondisi anaerob sehingga terjadi proses fermentasi. Lamanya fermentasi
dengan Saccharomyces cerevisiae adalah 12 jam (Wea dkk., 2012).
11) Kemudian ember plastik setelah 12 jam dibuka dan dikeluarkan campuran
tepung biji asam yang telah mengalami proses fermentasi oleh
Saccharomyces cerevisiae.
12) Setelah dikeluarkan tepung biji asam hasil fermentasi diangin-anginkan di
atas plastik hingga kering. Campuran kering inilah yang akan digunakan
dalam ransum sesuai level yang ditetapkan.
21
Prosedur Pencampuran Ransum,- Bahan pakan yang akan digunakan untuk
menyusun ransum ditimbang sesuai takaran untuk kebutuhan setiap perlakuan tertera
pada Tabel 2. Setelah selesai penimbangan, maka bahan pakan dicampur mulai dari
porsi bahan pakan terkecil sampai porsi terbesar, sehingga ransum tercampur merata.
Pemakaian TBAF sebanyak 8%, 10% dan 12% pada ransum perlakuan R1, R2, dan
R3 dicampur terdahulu dengan bahan pakan porsi terkecil.
Pemberian Ransum,- Ayam broiler dari umur 1 hari sampai 3 minggu diberi
pakan komersial BR1. Setelah ayam broiler berumur 3 minggu, kemudian
dipindahkan ke petak kandang penelitian, dimana dalam kandang tersebut terdapat 4
ekor dengan berat badan yang relatif seragam. Ayam broiler diberi ransum penelitian
dan penyesuaian terhadap ransum penelitian selama 3 hari.
Persiapan Ternak Ayam,- Ayam broiler umur 1 hari (day old chick), digunakan
sebagai materi pada tahap persiapan. DOC yang baru tiba, terlebih dahulu di timbang
untuk mengetahui berat badan awal lalu diberi larutan gula sebagai sumber energi.
lembar, kemudian kertas tersebut diberi nomor sesuai banyaknya perlakuan dan
ulangan. Kertas yang sudah diberi nomor tersebut digulung kemudian dimasukan
dalam kotak dan diundi, setiap petak diberi satu gulungan kertas yang sudah diacak
hingga petak ke 16, kemudian gulungan kertas dibuka dan tuliskan petak yang
mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Setelah itu, tandai setiap kandang sesuai
22
Metode Penelitian,- Metode penelitian yang digunakan adalah metode
dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Setiap petak kandang ditempati oleh 4
ekor broiler sebagai unit percobaan sehingga jumlah ayam broiler yang digunakan
Analisis Data,- Dalam Penelitian ini data akan dianalisis dengan menggunakan
Untuk menjawab tujuan 2, digunakan metode anggaran parsial dengan rumus metode
23
Untuk menjawab tujuan 3, digunakan rumus menurut petunjuk Boyle (2003)
diperoleh dari:
EPR = Total berat badan (kg/ekor) / Jumlah total ransum yang dikonsumsi (kg/ekor)
Untuk menjawab tujuan 4, digunakan rumus menurut Rasyaf (1995) sebagai berikut :
24
7. Pertambahan Bobot Badan (PBB) merupakan selisih dari bobot akhir
(panen) dengan bobot badan awal sebelum diberi perlakuan.(gram)
8. Konsumsi Ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak,
digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi
hewan tersebut (Tillman dkk., 1991). (kg/ekor)
9. Efisiensi Ekonomi (EE) adalah ratio untuk mengetahui besarnya biaya
ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan 1 satuan nilai PBB.
10. Biaya ransum adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk pengadaan
ransum penelitian, yang diperoleh dari hasil kali total konsumsi ransum
selama periode pengumpulan data dengan harga ransum masing-masing
perlakuan (Rp).
11. Nilai Pertambahan Bobot Badan yaitu nilai yang diperoleh dari hasil kali
antara PBB dengan harga jual ayam/kg bobot hidup yang berlaku di pasar
pada saat penelitian dalam satuan rupiah/kilogram (Rp/kg).
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
digunakan dalam penelitian ini adalah strain Hubbard, produksi PT. Wonokoyo
Surabaya umur 1 hari sebagai DOC (Day Old Chick). Ayam tersebut berada dalam
kondisi sehat ditandai oleh kondisi bulu yang bersih, mata jernih dan bergerak lincah
serta tidak terserang penyakit. Kondisi kesehatan ayam tetap baik selama penelitian
sebagai sumber energi dilakukan pada awal kedatangan DOC selama 24 jam. Hal
tersebut dilakukan untuk mengatasi stres pada saat ternak didatangkan dari
perusahaan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian vitamin dan vaksinasi dengan
Medivac ND (Newcastle Disiase) Hitchner B1 pada umur 3 hari. Pada umur 1-18
hari, ransum yang diberikan pada ternak ayam broiler menggunakan ransum BR1.
Pemberian ransum dan air minum dilakukan secara ad libitum, setelah itu dilakukan
berjumlah 16 petak dan dilakukan proses adaptasi selama 3 hari. Pada saat
pengacakan, ayam terlihat sedikit stres, setelah pemindahan ternak diberikan ransum
sesuai perlakuan, yakni: 1) ransum basal berbentuk mash (tepung) tanpa tepung biji
asam terfermentasi (TBAF), dan 2) ransum basal dicampur dengan TBAF pada level
8%, 10% dan 12% dan ransum diberikan ad libitum. Demikian pula, air minum
diberikan sepuasnya. Selama masa adaptasi, ayam memberikan respon yang baik
26
Selanjutnya, setelah periode adaptasi berakhir, maka pada hari pertama pada
awal minggu ke-4, ternak diberikan ransum yang sudah ditimbang dan diukur berapa
sekali saja pada akhir minggu, tujuannya agar ternak tidak mengalami stress akibat
penimbangan. Rataan suhu kandang selama masa penelitian pada pagi hari berkisar
antara 21230C dan pada sore hari suhu kandang antara 27290C. Peningkatan suhu
di kandang pada siang hari, dapat diatasi dengan mengatur ventilasi udara kandang,
yaitu dengan mengangkat tirai kandang. Fadilah (2004) menyatakan bahwa suhu
kandang yang ideal untuk pemeliharaan ayam broiler 23260C. Sampai akhir
penelitian ayam berada dalam kondisi aman dan tidak ditemukan masalah yang
komposisi nutrisi untuk semua ransum relatif sama, di mana kandungan protein dan
energi yang menjadi patokan dalam menyusunan ransum terpenuhi, walapun nampak
serat kasar cenderung meningkat, namun masih pada kisaran yang direkomendasikan.
27
Kandungan protein dan energi yang menjadi patokan penyusunan ransum
terpenuhi yaitu protein 1820% dan energi metabolisme 28003200 kkal/kg (SNI,
1997 dan Direktor Bina Produksi, 1997 yang disitasi oleh Sahara dkk., 2012).
Keseimbangan protein dan energi memiliki peranan yang sangat penting dalam
kelebihan atau kekurangan asupan energi dan protein dalam tubuhnya (Wahyu, 1997
yang disitasi oleh Gultom dkk., 2012). Pada Tabel 3 perlakuan R0 memiliki
perlakuan R2 dan R3. Dari tabel yang sama menunjukkan bahwa, R0 memiliki
kandungan protein sebesar 19,23, diikuti oleh R1 19,10, R2 19,06 dan R3 18,99.
Protein berperan penting dalam pembentukan jaringan pada ternak ayam broiler,
sehingga terjadi pertumbuhan urat daging dan semua jaringan tubuh lainnya. Pada
lebih besar dari perlakuan R2 dan R3. Kandungan serat kasar meningkat sejalan
Perbedaan komposisi ini dapat disebabkan karena perbedaan zat makanan antara
bahan pakan penyusunan ransum dengan bahan pakan yang digunakan dalam
28
Biaya Ransum,- Biaya ransum adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk
pengadaan ransum penelitian, yang diperoleh dari hasil kali total konsumsi ransum
Pada Tabel 4, harga ransum pada perlakuan R0 lebih tinggi dibandingkan perlakuan
R1, R2 dan R3. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R1 memiliki
harga ransum yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Pada perlakuan
R1,memiliki harga ransum yang lebih tinggi karena sedikitnya penggunaan TBAF
dibandingkan bahan pakan lain yang digunakan untuk penyusunan ransum ayam
broiler. Pada perlakuan R3,memiliki harga ransum yang lebih rendah karena
memiliki harga paling mahal dibandingkan bahan pakan lain yang digunakan untuk
Tabel 4. Konsumsi dan Harga Ransum Ayam Broiler setiap Perlakuan Selama
Penelitian.
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi Ransum (kg/ekor)
I 2,207 2,282 2,245 2,010
II 2,362 2,287 2,152 2,290
III 2,317 2,275 2,237 2,207
IV 2,327 2,232 2,197 2,065
Total (kg) 9,213 9,076 8,831 8,572
Rata-rata (kg/ekor) 2,303 2,269 2,208 2,143
Harga ransum (Rp/kg) 8.596 7.908 7.736 7.564
Rata-rata nilai
konsumsi ransum
19.798 17.943 17.081 16.209
selama penelitian
(Rp/ekor)
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)
29
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa, rata-rata konsumsi ransum mulai menurun
yaitu R0 sebesar 2,303 kg/ekor, R1 sebesar 2,269 kg/ekor, R2 sebesar 2,208 kg/ekor
dan R3 sebesar 2,143 kg/ekor. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, konsumsi
ransum pada perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan R2 dan R3. Adanya konsumsi
ransum ayam broiler pada penelitian ini, dapat disebabkan karena adanya perbedaan
level penggunaan TBAF dalam ransum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
konsumsi yang semakin rendah. Dalam hal ini dapat diperlihatkan bahwa, perbedaan
level TBAF juga menyebabkan perbedaan kandungan nutrisi ransum (Tabel 3) yang
turut mempengaruhi konsumsi ransum. Menurut North dan Bell (1990) ransum yang
bahwa, serat kasar dalam ransum yang terlampau tinggi akan menurunkan konsumsi
ransum.
Pada Tabel 4, nampak bahwa biaya ransum per kg tertinggi diperoleh pada
menggunakan TBAF, perlakuan R1 memiliki biaya ransum yang lebih tinggi dari
perlakuan R2 dan R3. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF dalam ransum,
perlakuan R1 memiliki biaya ransum yang lebih tinggi atau mahal dibandingkan
perlakuan R2 dan R3. Penyebabnya karena tingginya biaya ransum pada perlakuan
itu, tingginya biaya ransum pada perlakuan R1 juga karena tingginya konsumsi ayam
30
broiler terhadap ransum perlakuan R1 yang memiliki harga ransum lebih tinggi
yang lebih rendah atau lebih murah dibandingkan perlakuan R2 dan R1 yaitu sebesar
menggunakan TBAF dengan level 12% yang memiliki harga yang lebih murah dari
kacang hijau yang dipakai sebagai bahan baku pakan penyusun ransum untuk ternak
ayam broiler (Tabel 2). Selain itu, rendahnya biaya ransum pada perlakuan R3 juga
memiliki harga ransum lebih tinggi dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Berdasarkan
hasil perhitungan biaya ransum, dari semua perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan
R0 memiliki biaya ransum yang lebih tinggi dibandingkan dengan R1, R2 dan R3.
dengan harga/kg bobot hidup. Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa, berat badan akhir
pada perlakuan R0 lebih tinggi yaitu sebesar 1,676 kg, diikuti oleh perlakuan R2 :
31
Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R2 memiliki berat
badan akhir yang lebih tinggi karena kemampuan mengubah ransum dari ternak
ayam broiler pada perlakuan R2 untuk berat badan akhir lebih bagus dibandingkan
perlakuan R1 dan R3. Berbeda dengan perlakuan R2, perlakuan R3 memperoleh berat
badan akhir paling rendah jika dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Besarnya
merupakan hasil perkalian berat badan akhir dengan harga/kg bobot hidup).
Hal ini disebabkan oleh kandungan protein pada perlakuan R3 paling rendah
jika dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Kandungan serat kasar lebih tinggi
pada perlakuan R3. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa, protein kasar adalah zat
makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, sedangkan serat kasar
(Siri et al., 1992). Tingginya serat kasar dan rendahnya protein pada ransum
mengkonsumsi ransum perlakuan R3. Dalam penentuan harga/kg bobot hidup ternak
ayam broiler, diperoleh dari harga yang berlaku di pasar setempat yaitu sebesar Rp
35.000,-/kg bobot hidup dan harga tersebut sama untuk setiap perlakuan.
perlakuan R2 karena berat badan akhir yang diperoleh lebih tinggi dari pada
dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Hal ini, disebabkan karena berat badan
32
akhir yang diperoleh pada perlakuan R3 lebih rendah dari pada perlakuan R1 dan R2.
Penilaian terhadap Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ini merupakan
barometer untuk melihat seberapa besar pendapatan yang diperoleh atas biaya pakan
dan biaya DOC dalam usaha peternakan. IOFCC diperoleh dengan menghitung
selisih antara penerimaan dengan biaya ransum (feed cost) dan harga pembelian anak
ayam, yang dihitung dalam satuan rupiah. Pada Tabel 6 terlihat bahwa, nilai IOFCC
dan R1 yaitu sebesar Rp 31.459,-/ekor. Hal ini karena penerimaan pada perlakuan R2
lebih tinggi atas pengeluaran terhadap biaya ransum dan biaya doc yang dikeluarkan
33
Tabel 6. Income Over Feed and Chick Cost
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3
Berat Badan Akhir
(kg/ekor)
1,676 1,614 1,644 1,570
Konsumsi Ransum
(kg/ekor)
2,303 2,269 2,208 2,143
Harga ransum
(Rp/kg)
8.596 7.908 7.736 7.564
Harga jual (Rp/ kg
bobot hidup)
35.000 35.000 35.000 35.000
Penerimaan
(Rp/ekor)
58.660 56.490 57.450 54.950
Biaya ransum
(Rp/ekor)
19.798 17.943 17.081 16.209
Biaya doc (Rp/ekor) 9.000 9.000 9.000 9.000
IOFCC(Rp/ekor) 29.862 29.547 31.459 29.741
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)
Pada perlakuan R1, nilai IOFCC paling terendah dari perlakuan R2 dan R3,
karena penerimaan yang diperoleh tidak sesuai atau lebih rendah dari pengeluaran
terhadap biaya ransum dan biaya doc. Pada perlakuan R3, memiliki nilai IOFCC
lebih besar dari perlakuan R1, karena penerimaan yang diperoleh pada perlakuan R3
lebih tinggi dibandingkan pengeluaran terhadap biaya ransum dan biaya doc yang
dikeluarkan untuk perlakuan R3. Berdasarkan hasil IOFCC dari semua perlakuan
dengan R0, R3 dan R1. Hal ini tentunya sesuai dengan pendapat Nurhayati dkk.,
penggunaan TBAF dalam ransum perlakuan dan berapa besar keuntungan yang
diperoleh jika dalam penelitian ini digunakan TBAF dalam ransum dengan level
34
Pada analisis anggaran parsial, jika keuntungan total lebih besar dari pada kerugian
total, menunjukkan bahwa perubahan yang diusulkan itu menguntungkan dan apabila
(Soekartawi dkk., 1986). Pada Tabel 7, Penggunaan TBAF pada level 8% dalam
menggunakan TBAF.
Keuntungan tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, yaitu tiap pengeluaran
atau biaya yang dihemat sebagai akibat perubahan itu dan Kedua, yaitu tambahan
35
pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul sebagai akibat perubahan tersebut
pendapatan tambahan yang diperoleh sebagai akibat penggunaan TBAF sebesar 8%.
Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan
menggunakan TBAF dengan level 8% dalam ransum ayam broiler, tidak memberikan
tambahan keuntungan.
Pada Tabel 8, Penggunaan TBAF pada level 10% dalam ransum memberikan
kerugian sebesar Rp 2.399,- jika dibandingkan dengan ransum kontrol yang tidak
menggunakan TBAF.
36
Penyebab rendahnya keuntungan total, karena rendahnya pendapatan tambahan yang
diperoleh sebagai akibat penggunaan TBAF sebesar 10%. Dalam hal ini, dapat
diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan menggunakan TBAF dengan
level 10% dalam ransum ayam broiler, tidak memberikan tambahan keuntungan.
Pada Tabel 9, Penggunaan TBAF pada level 12% dalam ransum basal
Keuntungan tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, yaitu tiap pengeluaran
atau biaya yang dihemat sebagai akibat perubahan itu dan Kedua, yaitu tambahan
37
pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul sebagai akibat perubahan tersebut
pendapatan tambahan yang diperoleh sebagai akibat penggunaan TBAF sebesar 10%.
Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan
menggunakan TBAF dengan level 10% dalam ransum ayam broiler, tidak
diikuti oleh perlakuan R3 yang menggunakan TBAF dengan level 12% memberikan
kerugian sebesar Rp 4.027,- dan pada perlakuan R1 yang menggunakan TBAF level
8% dalam ransum ayam broiler, memberikan kerugian sebesar Rp 4.221. Dalam hal
ini, dapat diartikan bahwa perubahan yang diusulkan yaitu dengan menggunakan
TBAF dengan level 8%, 10% dan 12 % dalam ransum ayam broiler tidak
TBAF, yaitu R1,R2 dan R3 memberikan penghematan terhadap biaya ransum untuk
penggunaan ransum (EPR) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengetahui seberapa besar PBB yang dihasilkan sebesar satu satuan (kg/gram)
Dalam efisiensi penggunaan ransum, hal yang harus diperhatikan adalah berapa
banyak PBB yang dihasilkan pada ternak ayam broiler dari ransum yang dikonsumsi,
38
dimana semakin sedikit PBB yang dihasilkan pada ternak ayam broiler, maka
perlakuan tersebut bisa dikatakan belum efisien dalam menghasilkan suatu PBB pada
ternak ayam broiler. Jika efisiensi penggunaan ransum lebih kecil dari satu (EPR <
1), maka dikatakan belum efisien karena karena untuk menghasilkan PBB sebesar 1
kg maka ransum yang dikonsumsi lebih besar dari 1 kg. Jika efisiensi penggunaan
ransum sama dengan satu (EPR = 1), maka dikatakan efisien karena karena untuk
menghasilkan PBB sebesar 1 kg maka ransum yang dikonsumsi sebesar 1 kg. Jika
efisiensi penggunaan ransum lebih besar dari satu (EPR > 1), maka dikatakan sangat
efisien karena untuk menghasilkan PBB sebesar 1 kg maka ransum yang dikonsumsi
Pada Tabel 10, terlihat bahwa nilai EPR setiap perlakuan adalah sebagai
berikut: R0 sebesar 0,727, R1 sebesar 0,711, R2 sebesar 0,744 dan pada R3 sebesar
0,732. Nilai EPR R0 sebesar 0,727 dapat diinterpretasikan bahwa, dengan
menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,727 kg.
Sementara, nilai EPR R1 adalah 0,711 dapat diinterpretasikan bahwa, dengan
menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,711 kg.
Selanjutnya, nilai EPR R2 adalah 0,744 dapat diinterpretasikan bahwa, dengan
menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,744 kg. Pada R3
nilai EPR yang diperoleh adalah 0,732 artinya, dengan menggunakan ransum
sebanyak 1 kg maka diperoleh PBB sebesar 0,732 kg.
39
Pada perlakuan yang menggunakan TBAF, perlakuan R2 lebih efisien dalam
penggunaan ransum dibandingkan R3 dan R1. Penyebab lebih efisiennya R2 dalam
penggunaan ransum, karena dengan mengkonsumsi ransum 1 kg, maka diperoleh
PBB sebesar 0,744 Kg dan lebih besar dibandingkan R3 dan R1. Keempat perlakuan
di atas tergolong belum efisien karena semuanya memiliki EPR < 1. Namun, diantara
keempat perlakuan tersebut, perlakuan R2 lebih efisien jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain, karena dengan menggunakan ransum sebanyak 1 kg maka
diperoleh PBB sebesar 0,744 Kg.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Efisiensi Ekonomi,- Efisiensi ekonomi (EE)
merupakan ratio biaya ransum selama periode pengumpulan data dengan nilai
pertambahan berat badan atau nilai jual ternak (penerimaan) selama penelitian. Jika
efisiensi ekonomi lebih besar dari satu (EE > 1) maka dikatakan belum efisien, karena
untuk menghasilkan satu satuan PBB maka dibutuhkan nilai konsumsi ransum harus
lebih dari satu satuan. Jika efisiensi ekonomi lebih kecil dari satu (EE < 1) maka
dikatakan efisien, karena untuk menghasilkan satu satuan PBB maka, dibutuhkan
nilai konsumsi ransum sebesar kurang dari 1 satuan.
Tabel 11. Efisiensi Ekonomi
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
I 0,870 0,900 0,960 0,807
II 1,000 0,880 0,895 0,937
III 1,012 0,930 0,855 0,882
IV 0,920 0,887 0,870 0,857
Total (kg) 3,802 3,597 3,580 3,483
Rata-rata (kg/ekor) 0,951 0,899 0,895 0,871
Harga Ayam
Broiler(Rp/kg bobot 35.000 35.000 35.000 35.000
hidup)
Nilai PBB (Rp/ekor) 33.285 31.465 31.325 30.485
Biaya Ransum
19.798 17.943 17.081 16.209
(Rp/ekor)
0,59477 ........0,57025 0,54528 0,53173
Efisiensi Ekonomi
(0,595) (0,570) (0,545) (0,532)
Sumber : Data primer Tahun 2016, (diolah)
40
Pada Tabel 11, pada perlakuan R0 diperoleh nilai EE sebesar 0,595 artinya, untuk
menghasilkan nilai PBB sebesar Rp 1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp
595. Pada perlakuan R1 diperoleh nilai EE sebesar 0,570 artinya, untuk menghasilkan
nilai PBB sebesar Rp 1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 570. Pada
perlakuan R2 diperoleh nilai EE sebesar 0,545 artinya, untuk menghasilkan nilai PBB
sebesar Rp 1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 545. Pada perlakuan R3
diperoleh nilai EE sebesar 0,532 artinya, untuk menghasilkan nilai PBB sebesar Rp
1.000 maka dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 532. Dari perlakuan yang
menggunakan TBAF, semuanya efisien tetapi yang paling efisien adalah R3.
biaya produksi dan penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Kondisi yang mutlak
dipenuhi dalam proses produksi yaitu, ketika ada kemungkinan tidak menghasilkan
produk yang lebih dengan input yang sama dan ada kemungkinan yang menghasilkan
produk dengan jumlah input yang sama. Pada perlakuan yang menggunakan TBAF,
secara ekonomi kurang efisien. Hal ini disebabkan karena untuk memproleh
penerimaan pada perlakuan R2, membutuhkan biaya ransum yang lebih tinggi atau
lebih mahal dibandingkan perlakuan R3. Sama halnya dengan perlakuan R1 yang
memiliki penerimaan yang hampir sama tinggi dengan R2, secara ekonomi tidak
ransum yang tinggi. Pada perlakuan R3 dikatakan lebih efisien secara ekonomi,
karena untuk menghasilkan penerimaan yang hampir sama dengan perlakuan lain,
membutuhkan biaya ransum yang lebih murah dibandingkan perlakuan yang lain.
41
Besaran biaya ransum adalah sekitar 6070% (Kompiang et al., 2001) dan
pakan dinyatakan mempunyai nilai ekonomi, jika biaya yang dikeluarkan untuk setiap
gram pertambahan bobot badan adalah paling rendah (Koni, 2010). Dari pernyataan
ini menegaskan bahwa perlakuan R3 lebih efisien secara ekonomi. Serta, berdasarkan
pendapat Rasyaf (1995) suatu perlakuan dikatakan efisien secara ekonomi, apabila
EE < 1 dan dari perlakuan yang menggunakan TBAF, yang memiliki nilai paling
rendah dari 1 adalah R3. Maka, dapat disimpulkan bahwa perlakuan R3 secara
42
Keuntungan bukan dilihat dari seberapa besar penerimaan yang diperoleh, tetapi
seberapa kecil input yang dikeluarkan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.
Pada perlakuan R1, jika dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3 kurang
menguntungkan. Hal ini karena dengan mengeluarkan biaya ransum yang lebih besar
dari R2 dan R3 , perlakuan R1 hanya memperoleh penerimaan yang lebih rendah dari
R2 dan R0. Hasil ini sesuai dengan efisiensi ekonomi yang menegaskan bahwa,
perlakuan R1 kurang efisien dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Selain itu, hal ini
juga sesuai dengan nilai IOFCC perlakuan R1 yang lebih rendah dibandingkan
perlakuan R2 dan R3, karena penerimaan yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan
pengeluaran untuk biaya ransum perlakuan R1.
43
PENUTUP
Kesimpulan
1) Untuk ransum yang menggunakan TBAF diantara R1,R2 dan R3, perlakuan
R2 yang menggunakan TBAF level 12% memberikan Income Over Feed and
2) Penggunaan TBAF pada level 812% hanya menghemat biaya ransum, tetapi
terkecil pada perlakuan R3 dengan level TBAF 10% yaitu sebesar Rp 2.399,-.
sebesar Rp 4.221,-.
Saran
penghematan dalam biaya ransum, tetapi untuk penerimaan sangat sedikit yang
diperoleh. Oleh karena itu, paket teknologi tepung biji asam terfermentasi dapat
44
DAFTAR PUSTAKA
45
Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih, M.S., 2000. Meningkatkan Produksi Daging
Unggas. Penebar Swadaya. Yogyakarta.
Ichwan, 2004.Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging.Sagromedia, Jakarta.
Judoamidjojo, Mulyono, A.A. Darwia, dan E.G. Said. 1992. Teknologi fermentasi.
Jakarta: Rajawali Press, Jakarta.
Kadariah, 1988. Evaluasi proyek: analisa ekonomis. edisi dua. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen ternak unggas. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Kompiang, I.P.,Togatorop .M. H. Supriyati dan Jarmani, S. N., 2001. Kinerja ayam
kampung dengan sistem pemberian pakan secara memilik dengan bebas Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): 94-99.
Koni, T. N. I., A. Paga dan A. Jehemat., 2013. Jurnal kandungan protein kasar dan
tanin biji asam yang difermentasi dengan Rhyzopus Oligosporus. PARTNER,
Th. 2013 No. 2, Hal.5.
Koten, B.B.2010. Perubahan antinutrisi pada silase buah semu jambu mete sebagai
pakan dengan menggunakan berbagai tepung gaplek dan lama pemeraman.
Buletin Peternakan Vol. 34 (2): 8285.
........ 2016. Evaluasi nilai nutrisi biji asam terfermentasi saccharomyces serevisiae
sebagai suplemen pakan induk dan implikasinya terhadap kinerja induk dan
anak babi pra-sapih. Disertasi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Malang. Hal 9.Hal 44.
46
Ly, J., O. Sjofjan., I. H. Djunaidi dan Suyadi., 2016. Enriching nutritive value of
tamarind seeds by saccharomyces cerevisiae fermentation. Accepted paper in
Journal of Biochemical and Technology, 2016.
Mide, Zain, Muhammad. 2007. Konversi ransum dan income over feed and chick
cost broiler yang diberikan ransum mengandung berbagai level tepung
rimpang temulawak (Curcumin xanthorriza oxb). Skripsi. Jurusan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan. Makassar: Universitas Hasanuddin
Miller, R.L. dan Meiners E,R. 2000, Theeory Mikroeconomy Intermediate,PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Mulyadi, 2005. Akuntansi Biaya. Edisi Kelima. Yogyakarta ;UPPAMP YKPN
Universitas Gajah Mada.
Mulyantini, N. G. A., 2011. Produksi Ternak Unggas. Cetakan ke-1. PT IPB Press.
47
..........., M. 2005. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Kanisius, Yogyakarta
Rofiq, M. N. 2003. Pengaruh pakan berbahan baku lokal terhadap performans villi
usus halus ayam broiler. jurnal sains dan teknologi indonesia,V5.N, Agustus
2003,hal. 190194/Humas-BPT/ANY.
Sahara, E., Sandi, S., dan Muhakka.2011.Performan produksi ayam pedaging dengan
pemanfaatn bungkil biji kapas sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai
dalam ransum. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. Vol.6, No.2. Hal 137.
48
................... 2001. Analisis Usahatani.UI Press. Jakarta.
Solikin, T., Tanwiriah, W., and Sujana, E. 2016. Final body weight, carcass weight
and income over feed and chick cost of sentul chicken at barokah abadi form
ciamis. Jurnal Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran, Hal 3.
Wahyu, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
..............., 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM Press. Fakultas Peternakan. bogor
Wea, R, B.B. Koten Dan Th. N. I. Koni. 2012. Identifikasi Komposisi Tubuh Dan
Performans Produksi Babi Lokal Jantan Yang Mengonsumsi Pakan Olahan Biji
Asam Dalam Ransum Fermentasi. Laporan Politeknik Pertanian Negeri
Kupang.
Yamin. M, 2008. Pemanfaatan ampas kelapa dan ampas kelapa terfermentasi dalam
ransum terhadap efisiensi ransum dan income over feed and chick cost ayam
49
pedaging. Journal Agroland 15 (2) : 135-139. Fakultas Pertanian Universitas
Tadulako, Palu.
Yuwanta, T. 2004. Dasar ternak unggas. Kanisius. Yogyakarta.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 5 Data Pertambahan Bobot Badan Selama Penelitian
Total PBB Selama
Berat Badan (g/ekor)
Perlakuan Penelitian
/ Ulangan Berat Minggu Minggu Minggu
(gram/ekor) (kg/ekor)
Awal ke-4 ke-5 ke-6
ROI 742,500 1.037,500 1.322,500 1.612,500 870,000 0,870
ROII 740,000 1.147,500 1.487,500 1.740,000 1.000,000 1,000
R0III 685,000 1.095,000 1.415,000 1.697,500 1.012,500 1,012
ROIV 735,000 1.105,000 1.425,000 1.655,000 920,000 0,920
52