Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara
dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima Negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. (WHO, 2017).

Dari kasus insiden tersebut, angka kematian akibat tuberkulosis (TB) menurun 22 % antara tahun 2000 hingga tahun 2015. Namun TB masih menempati
peringkat ke 10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016. Oleh sebab itu, saat ini TB masih menjadi priotitas utama masalah kesehatan di dunia dan
menjadi salah satu tujuan dalam Sustainability Development Goals (SDGs). (WHO, 2016).

Berdasarkan laporan WHO 2017 diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia, namun baru terlaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000
kasus. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TB
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali
lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto
risiko TB misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak
68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. (Riskesdas, 2018).

Resiko penyebaran penyakit TB dipengaruhi oleh berbagai faktor, berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TB dan durasi paparan TB lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampun sosial dan ekonomi) semakin rendah prevalensi TB. (Riskesdas, 2013)
Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Pagelaran, terdapat 71 kasus suspek TB terjaring dari target yang ditetapkan sebanyak 85 kasus, jika
dipersenkan baru 47% cakupan yang berhasil terjaring dari target sebesar 75%. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan evaluasi program
penemuan dan penanggulangan tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pagelaran.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ditemukan adalah mengapa penemuan kasus (case detection rate) tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Pagelaran tahun 2020 masih belum mencapai target?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan umum


Mengevaluasi penyebab tidak tercapainya target yang diharapkan pada program penemuan kasus (case detection rate) tuberkulosis di Puskesmas Pagelaran
tahun 2020.

1.3.2. Tujuan khusus


1. Mengetahui gambaran umum keadaan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Puskesmas Pagelaran tahun 2020 .
2. Mengetahui kemungkinan masalah dari pelaksanaan program penemuan kasus (case detection rate) tuberkulosis di Puskesmas Pagelaran tahun 2020.
3. Mengetahui kemungkinan akar penyebab masalah dari pelaksanaan program penemuan kasus (case detection rate) tuberkulosis di Puskesmas Pagelaran
tahun 2020.
4. Mampu merumuskan alternatif pemecahan masalah dari program penemuan kasus (case detection rate) tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran
tahun 2020 .

1.4. Manfaat

1.4.1. Bagi Evaluator


1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu kedokteran komunitas yang diperoleh selama kuliah.
2. Melatih serta mempersiapkan diri dalam mengatur suatu program khususnya program kesehatan.
3. Mengetahui sedikit banyaknya kendala yang dihadapi dalam mengambil langkah yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
antara lain perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.

1.4.2. Bagi Puskesmas


Dengan adanya evaluasi yang dilakukan serta masukan-masukan serta beberapa saran maka diharapkan dapat menjadi umpan balik positif bagi Puskesmas
Way Kandis, sehingga puskesmas dapat mengetahui besarnya permasalahan khususnya mengenai pelaksanaan program penemuan kasus (case detection
rate) tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran tahun 2020.

1.4.3. Bagi Masyarakat


1. Terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu khususnya bagi penderita Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran tahun 2020.
2. Dengan tercapainya keberhasilan program diharapkan dapat memutuskan rantai penularan Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran tahun 2020.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2011).

2.2. Epidemiologi

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun
2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto
risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. (Kemenkes, 2018).

2.3. Etiologi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa
spesies Mycobacterium antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bias menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan
identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB. Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara
lain adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014):

1. Berbentuk batang dengan panjang 1–1–mikron, lebar 0.2–0.6 mikron


2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa
4. Kuman nampak berbentuk batang warna merah dalam pemeriksaan di bawah mikroskop
5. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4oC sampai -70oC
6. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
7. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit
8. Dalam dahak, pada suhu antara 30–37oC akan mati dalam waktu lebih kurang seminggu
9. Kuman dapat bersifat dorman (tidur/tidak berkembang)

2.4. Perjalanan Alamiah TB

Terdapat empat tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2015):

1. Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
a. Jumlah kasus menular di masyarakat
b. Peluang kontak dengan kasus menular
c. Tingkat daya tular dahak sumber penularan
d. Intensitas batuk sumber penularan
e. Kedekatan kontak dengan sumber penularan
f. Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
g. Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi). Catatan:
Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan
terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.

2. Infeksi

Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi:

a. Reaksi immunologi (lokal) kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen – antibodi.
b. Reaksi immunologi (umum) delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
c. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
d. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi

3. Sakit TB

Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:

a. Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup


b. Lamanya waktu sejak terinfeksi
c. Usia seseorang yang terinfeksi
d. Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Apabila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB
melalui proses reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB paru). Meskipun demikian, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat
menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB ekstra paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).

4. Meninggal Dunia
Faktor risiko kematian karena TB:
a. Akibat dari keterlambatan diagnosis
b. Pengobatan tidak adekuat
c. Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta. Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini
meningkat pada pasien dengan HIV positif.
Gambar 1. Perjalanan Alamiah TB

2.5. Klasifikasi Pasien TB

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi diatas, pasien juga diklasifikasikan menurut (Kemenkes RI, 2014):
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
a. TB paru: Yaitu TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru TB Milier dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis
TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologi yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai
TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. TB ekstra paru: Yaitu TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit,sendi, selaput otak dan
tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB
ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a. Pasien baru TB: Yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari satu
bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: Yaitu pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama satu bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
1. Pasien kambuh: Yaitu pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar–benar kambuh atau karena reinfeksi).
2. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: Yaitu pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow–up): Yaitu pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi
ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
4. Lain–lain: Yaitu pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
a. Monoresistant (TB MR): Resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
b. Poliresistant (TB PR): Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistant (TB MDR): Resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistant (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin dan amikasin.
e. Rifampisin Resistant (TB RR): Resistan terhadap rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


a. Pasien TB dengan HIV positif (Pasien ko–infeksi TB/HIV) adalah pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART
atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
b. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan hasil tes HIV negative sebelumnya atau hasil tes HIV negatif saat diagnosis TB

2.6. Penemuan Pasien TB

1. Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan;
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Keterlibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat
umum, dinilai tidak cost efektif.
2. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
a. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),
b. Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, tempat
pengungsian, asrama, dan panti jompo.
c. Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau
pengobatan pencegahan.
d. Kontak erat dengan pasien TB dan TB resistan obat
3. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis menuju kesehatan
paru (PAL= practical approach to lung health), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu
meningkatkan penemuan kasus TB dilayanan kesehatan, mengurangi terjadinya “miss opportunity” kasus TB dan sekaligus dapat meningkatkan mutu
layanan (Kemenkes RI, 2015; 2016).

Strategi penemuan pasien TB di Indonesia dapat dilakukan secara pasif (di dalam gedung) secara intensif (penguatan jejaring layanan dan kolaborasi layanan
kesehatan) maupun secara aktif (kegiatan di luar gedung) dan masif (cakupan seluas mungkin). Kedua upaya penemuan pasien TB tersebut harus didukung
dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan, terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan sedini mungkin (Kemenkes RI,
2015; 2016).

1. Penemuan pasien TB secara pasif–intensif


Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di dalam fasilitas kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui kegiatan Public– Private Mix (PPM) di
tingkat Kabupaten/Kota dan memperkuat kolaborasi layanan antara layanan TB dengan layanan kesehatan lain yang diselenggarakan di fasyankes
(Kemenkes RI, 2016).
a. Jejaring layanan
Strategi peningkatan penemuan pasien TB di fasyankes melalui kegiatan penguatan jejaring eksternal antar fasyankes yang memberikan layanan
diagnosis TB untuk menghindari terjadinya miss–opportunity yang disebabkan karena keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang
melakukan kontak pertama dengan pasien TB. Kegiatan penguatan jejaring layanan ini merupakan inti dari kegiatan PPM yang bertujuan untuk
memastikan semua pasien TB akan mendapatkan layanan diagnosis yang bermutu dan sesuai standar. Penguatan jejaring layanan juga bertujuan untuk
memastikan bahwa semua pasien TB dapat ternotifikasi dimanapun pasien memilih untuk berobat. Sesuai dengan Permenkes No.67/2016 semua kasus
TB yang ditemukan dan diobati di fasyankes wajib dilaporkan kepada program nasional pengendalian TB. Contoh:
1. Fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM.
2. FKTP tidak mampu melakukan diagnosis kasus TB ekstra paru karena keterbatasan sarana diagnosis akan merujuk ke FKRTL. Hasil diagnosis dari
FKRTL akan dikirim balik ke FKTP untuk tatalaksana selanjutnya.
3. Penerapan sistem notifikasi wajib berupa aplikasi pelaporan berbasis smartphone (WiFi TB) untuk Dokter Praktek Mandiri dan SITT untuk
puskesmas, BP4 dan rumah sakit.

b. Kolaborasi layanan
Strategi peningkatan penemuan pasien TB melalui penguatan jejaring internal antara unit–unit layanan yang mungkin akan menemukan terduga atau
pasien TB misalnya di poliklinik umum, poliklinik paru, poliklinik penyakit dalam dan poliklinik anak. Kegiatan kolaborasi layanan juga bisa berupa
kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB dengan penyelenggaraan layanan kesehatan selain TB yang tersedia di fasyankes, terutama di unit
layanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada populasi kunci yang rentan untuk TB misalnya unit layanan HIV, DM (Diabetes
Mellitus), gizi, lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Penguatan kolaborasi layanan TB secara manajerial juga bisa dilaksanakan dengan
penerapan sistem manajemen layanan kesehatan yang terintegrasi di fasyankes misalnya dengan penerapan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP
(PAL= Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS) (Kemenkes RI,
2016).

Penjaringan terduga TB di faskes harus dapat dilakukan secara aktif oleh semua petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi pelayanan
kepada pasien melalui upaya penapisan batuk yang sistematis kepada pasien yang datang ke faskes. Upaya penemuan pasien TB melalui kolaborasi
layanan harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini (Kemenkes RI, 2015; 2016).

2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat berupa kegiatan–kegiatan penemuan terduga atau pasien TB yang
dilakukan di luar fasyankes melalui beberapa upaya penjangkauan secara aktif oleh petugas kesehatan atau potensi kesehatan masyarakat yang bertujuan
untuk menemukan dan merujuk terduga TB ke fasyankes untuk penegakan diagnosis. Upaya penemuan secara aktif di masyarakat dapat juga dilaksanakan
dengan upaya jemput bola ke masyarakat dengan menghadirkan sarana diagnostik secara langsung ke masyarakat, misalnya dengan mendatangkan sarana
diagnostik yang bersifat mobile ke suatu daerah dalam satu periode tertentu (Kemenkes RI, 2015; 2016). Kegiatan penemuan pasien TB secara aktif harus
terintegrasi dengan gerakan masyarakat dan pendekatan keluarga sehat. Kegiatan ini harus bisa menggerakkan atau melibatkan secara aktif semua potensi
kesehatan masyarakat yang ada di suatu wilayah antara lain: kader kesehatan, kader dari UKBM (posyandu, posbindu, pos TB desa, poskesdes dan
polindes), kader organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok dukungan pasien dan kelompok peduli TB lainnya. Kegiatan
penemuan pasien TB secara aktif berbasis keluarga dan masyarakat dapat berupa:
a. Investigasi kontak
Kegiatan investigasi kontak diselenggarakan melalui kolaborasi antara pemberi layanan kesehatan dengan potensi kesehatan masyarakat. Dilakukan pada
paling sedikit 10–15 orang kontak erat dengan pasien TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah) maupun orang yang berada
di ruangan yang sama dengan pasien TB aktif (detected cases/confirm cases) yang ternotifikasi selama satu periode tertentu, yaitu sekurang–kurangnya
delapan jam sehari selama satu bulan atau lebih (Kemenkes RI, 2016).
Investigasi kontak dilaksanakan untuk semua pasien TB aktif dewasa untuk mendeteksi secara dini kemungkinan penularan kepada kontak serumah atau
kontak eratnya. Investigasi kontak juga dilaksanakan pada pasien TB anak yang ditemukan untuk mencari sumber penularan. Pelaksanaan kegiatan
investigasi kontak harus dicatat dan dilaporkan baik dalam kartu pengobatan pasien TB maupun register pemeriksaan kontak (Kemenkes RI, 2016).

b. Penemuan aktif pada populasi kunci di masyarakat


Penemuan aktif pada populasi kunci di masyarakat dilakukan kepada orang–orang dengan risiko TB seperti anak usia <5 tahun, orang dengan gangguan
sistem imunitas, malnutrisi, lansia, wanita hamil, perokok dan mantan penderita TB yang mengakses layanan di UKBM terkait misalnya di posyandu,
posbindu, polindes dan poskesdes. Kegiatan ini diselenggarakan di daerah–daerah berisiko tinggi untuk TB, misalnya dilaksanakan di daerah KUPAT–
KUMIS (KUmuh PAdaT dan KUmuh MISkin) dan daerah dengan beban TB yang tinggi (di atas angka estimasi insidensi TB nasional). Kegiatan
dilaksanakan dengan dua metode yaitu (Kemenkes RI, 2016):
1. Metode skrining/penapisan gejala pada populasi kunci yang datang ke layanan UKBM.
2. Metode penelusuran terhadap kondisi–kondisi tertentu yang mungkin dipengaruhi oleh terjadinya TB, misalnya pada anak batita/balita dengan grafik
tumbuh–kembang di bawah garis merah, Lansia yang mengalami penurunan berat badan atau pada pasien DM yang tidak terkontrol.
3. Hasil temuan dari UKBM tersebut dirujuk ke fasyankes untuk dilakukan evaluasi penegakan diagnosis.

c. Penemuan di tempat khusus


Penemuan aktif yang dilakukan di tempat khusus yaitu pada lingkungan yang mudah terjadi penularan TB yaitu lapas/rutan, RS Jiwa, tempat kerja,
asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo, panti sosial, tempat kerja, dan tambang. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan
dengan skrining masal tahunan, skrining kesehatan bagi warga baru, kontak dan pemantauan batuk secara rutin. Penemuan aktif ditempat khusus
membutuhkan kolaborasi yang erat antara stakeholder yang terkait. Semua hasil terkait kegiatan penemuan aktif di tempat khusus harus dikelola oleh
puskesmas setempat sebagai penanggung jawab UKM di wilayah tersebut (Kemenkes RI, 2016).

d. Penemuan di populasi berisiko


Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan secara berkala pada anggota masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah atau tempat yang memiliki akses
terbatas ke layanan kesehatan, misalnya:tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dan Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
Upaya ini dilakukan dengan kegiatan jemput bola oleh petugas kesehatan dibantu potensi kesehatan masyarakat. Metode kegiatan bisa dilakukan dengan
mengirimkan sediaan dahak dari suspek TB yang ditemukan selama kegiatan ke fasyankes pemeriksa maupun dengan mendatangkan sarana diagnostik
TB yang bersifat mobile (Kemenkes RI, 2015; 2016).

e. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat


Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader kesehatan yang melakukan skrining gejala pengawasan batuk terhadap orang yang
tinggal di lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk ini bisa
diintegrasikan kepada kegiatan kader kesehatan yang sudah rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan, kegiatan kunjungan rumah
kader jumantik, kader posyandu dan posbindu serta kegiatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang lain. Selain mendukung penemuan
kasus TB, kegiatan ini akan sangat bermanfaat dalam rangka penyampaian edukasi mengenai TB terhadap anggota keluarga dan masyarakat sehingga
akan terbentuk awareness tentang TB di kemudian hari (Kemenkes RI, 2015; 2016).

f. Penemuan aktif berkala


Dilakukan oleh puskesmas pada wilayah yang teridentifikasi sebagai daerah kantung TB. Definisi daerah kantung TB adalah daerah yang memiliki
jumlah pasien yang banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, misalnya pada wilayah RT (Rukun Tetangga) XX yang memiliki
jumlah penduduk 100 jiwa, berdasarkan hasil kegiatan PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis data TB setempat mempunyai penderita TB
berjumlah tiga orang. Hal ini berarti wilayah RT XX mempunyai insidensi TB sebesar 3000/100.000 penduduk (9x angka insidensi TB nasional)
(Kemenkes RI, 2015; 2016).

Pada daerah kantong ini dilakukan upaya penemuan aktif berkala akan dilakukan dengan kegiatan skrining aktif setiap enam bulan sekali sampai tidak
ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala dua kali berturut–turut. Kegiatan penemuan secara aktif berkala akan sangat efektif apabila
dipadukan dengan kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2015; 2016).

g. Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif melalui skrining massal yang dilaksanakan sekali setahun untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan
kasusnya masih sangat rendah. puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining
gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan kesehatan luar gedung. Kegiatan ini juga lebih efektif apabila dipadukan dengan
kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2016).

4. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala utama pasien TB paru yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes RI, 2014).
5. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan, dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu–Pagi–Sewaktu (SPS).
S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes.
S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

6. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan untuk mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis, dimaksudkan untuk menegakkan diangosis pasti TB pada pasien tertentu, misalnya
pasien TB ekstraparu, pasien TB anak, dan pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

7. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil
kesealahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses
penemuan pasien TB dengan resistasi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu Genexpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) di
seluruh provinsi (Kemenkes RI, 2014).

2.7. Diagnosis TB
Semua suspek TB diperiksa tiga spesimen dahak dalam waktu dua hari, yaitu sewaktu–pagi–sewaktu (SPS). Selanjutnya, diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto thorax, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2. Alur Diagnosis TB

2.8. Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip–prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Tidak
diperbolehkan dalam menggunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT–Kombinasi Dosis Tetap (OAT–KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOTS= Directly Observed Treatment Short–course) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap awal (intensif): Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.
b. Tahap Lanjutan: Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.

1. Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian TB di Indonesia:


a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
c. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
d. Kategori Anak: 2HRZ/4HR Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini kedua yaitu kanamycin,
capreomisin, levofloksasin, ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini pertama, yaitu pirazinamid and etambutol.

2. Paduan OAT kategori pertama dan kategori kedua disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT–KDT). Tablet OAT–KDT ini
terdiri dari kombinasi dua atau empat jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.

3. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

4. Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.


a. Kategori satu (2HRZE/ 4H3R3). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1. Pasien baru TB paru BTA positif.
2. Pasien TB paru BTA negatif foto thorax positif
3. Pasien TB ekstra paru

Tabel 1. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori Satu.


Tabel 2. Dosis Paduan OAT–Kombipak untuk Kategori Satu.

b. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

Tabel 3. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori Dua.

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori Dua.


OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori satu yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 5. Dosis KDT untuk Sisipan.

Tabel 6. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan.

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (antara lain kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua (Kemenkes RI, 2014).

2.9. Upaya Pengendalian TB

Strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short–course). Strategi DOTS terdiri dari lima komponen kunci,
yaitu:

1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.


2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan
strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost–effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS,
setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun (WHO, 2015).

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (WHO, 2015).

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS oleh Global Stop TB Partnership,
diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu (WHO, 2015; 2017):

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS


2. Merespon masalah TB–HIV, TB–MDR dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian

Pada tahun 2013 beberapa negara anggota WHO mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah
kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka
insidensi TB berhasil diturunkan mencapai satu kasus TB per satu juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB (pra
eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per
100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1–2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu
ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif bagi pengendalian TB secara global (WHO, 2017).

Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi
global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan (WHO, 2017):

1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk).
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen–komponenya yaitu (Kemenkes RI, 2013; 2016):

1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB


a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi
berisiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient–
centered support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tatalaksana komorbid TB yang lain
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan berisiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.

2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.


a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor,
registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB.

3. Intensifikasi riset dan inovasi


a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian
TB.
Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian TB 2014, kegiatan pengendalian TB terdiri dari beberapa poin, yaitu (Kemenkes RI, 2014):

1. Tatalaksana dan Pencegahan TB


a. Penemuan Kasus TB
b. Pengobatan TB
c. Pemantauan dan hasil Pengobatan TB
d. Pengendalian infeksi pada sarana layanan
e. Pencegahan TB

2. Manajemen Program TB
a. Perencanaan program TB
b. Monitoring dan evaluasi program TB
c. Manajemen logistik program TB
d. Pengembangan ketenagaan program TB
e. Promosi program TB

3. Pengendalian TB komprehensif
a. Penguatan layanan laboratorium TB
b. Public–Private Mix (Keterlibatan semua fasilitas pelayanan kesehatan)
c. Kolaborasi TB–HIV
d. Pemberdayaan masyarakat dan pasien TB
e. Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
f. Manajemen TB resistan obat
g. Penelitian TB

2.10. Pemantauan dan Evaluasi Program

Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara
berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan
tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu interval lebih lama, biasanya enam bulan s/d satu tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh
mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai. Kemajuan dan keberhasilan pengendalian TB dapat dinilai dengan menggunakan dua
indikator yang telah ditetapkan secara nasional yaitu Angka Penemuan Pasien Baru TB BTA (+) (Case Detection Rate = CDR) dan Angka Keberhasilan
Pengobatan (Success Rate = SR).

1. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)


CDR adalah persentase jumlah pasien baru BTA (+) yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA (+) yang diperkirakan ada dalam
wilayah tersebut. CDR menggambarakan cakupan penemuan pasien baru BTA (+) pada wilayah tersebut.

Rumus

CDR= jumlah pasien baru TB BTA ¿ ¿

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA (+) diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB baru BTA (+) dikali dengan jumlah penduduk.
Target CDR program penanggulangan TB nasional minimal 70%.

2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien baru TB BTA (+) yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun
pengobatan lengkap) di antara pasien baru TB BTA (+) yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan
angka pengobatan lengkap dengan target 85%.

Rumus

jumlah pasien baru TB BTA ¿ ¿


BAB III
METODE EVALUASI

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer dan sekunder:

1. Sumber data primer


a. Wawancara dengan koordinator pelaksana program penemuan kasus (case detection rate) TB di Puskesmas Pagelaran.
b. Pengamatan di Puskesmas Pagelaran.

2. Sumber data sekunder


a. Laporan tahunan program di bagian program penemuan kasus (case detection rate) TB puskesmas Puskesmas Pagelaran tahun 2020.
b. Profil Puskesmas Pagelaran dan buku registrasi pasien TB tahun 2020.

3.2 Cara Penilaian dan Evaluasi

3.2.1. Penetapan indikator


Evaluasi dilakukan pada program penemuan kasus (case detection rate) TB Paru BTA (+) di Puskesmas Pagelaran. Adapun sumber rujukan tolak ukur
penilaian yang digunakan adalah:
1. Pedoman Kerja Puskesmas Jilid 2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Tahum 2006.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 44 tahun 2016 tentang Pedoman Manajemen Puskesmas.

3.2.2. Cara analisis


1. Menetapkan indikator dan tolak ukur dari unsur keluaran
Mengetahui atau menetapkan indikator atau tolak ukur atau standar yang ingin dicapai merupakan langkah pertama untuk menentukan adanya
suatu masalah dari pencapaian hasil output. Indikator didapatkan dari berbagai rujukan, rujukan tersebut harus realistis dan sesuai sehingga layak
digunakan untuk mengukur. Tolak ukur juga diperoleh dari rujukan.
2. Membandingkan pencapaian masing–masing indikator keluaran dengan tolak ukurnya
Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian program (output) dengan tolak ukurnya. Jika terdapat kesenjangan antara tolak ukur
dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran maka disebut sebagai masalah.
3. Menetapkan prioritas masalah
Masalah lebih dari satu, tergantung dari indikator yang digunakan sehingga perlu dibuat prioritas masalah. Tujuan menetapkan prioritas masalah
adalah untuk menentukan masalah mana yang akan dipecahkan terlebih dahulu. Jika masalah lebih dari satu, maka penetapan prioritas masalah
dilakukan dengan teknik kriteria matriks. Kriteria ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pentingnya masalah (Importancy/I)
Makin penting masalah tersebut maka akan semakin diprioritaskan untuk diselesaikan. Ukuran pentingnya masalah yaitu:
1. Besarnya masalah (Prevalence/P)
2. Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (Severity/S)
3. Kenaikan besarnya masalah (Rate of Increase /RI)
4. Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of Unmeet Need/DU)
5. Keuntungan sosial karena selesainya masalah (Social Benefit/SB)
6. Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (Public concern/PB)
7. Suasana politik (Political Climate/PC)

b. Kelayakan teknologi (Technical feasibility/T)


Semakin layak teknologi yang tersedia dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah, semakin diprioritaskan masalah tersebut. Kelayakan
teknologi yang dimaksud adalah merujuk pada penguasaan ilmu dan teknologi yang sesuai.

c. Sumber daya yang tersedia (Resources availability/R)


Semakin tersedia sumber daya yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah maka akan semakin diprioritaskan masalah tersebut. Sumber
daya yang dimaksud adalah tenaga (man), dana (money), dan sarana (material). Beri nilai satu (tidak penting) sampai dengan lima (sangat
penting) untuk setiap kriteria yang sesuai. Perhitungan prioritas masalah dilakukan dengan rumus “I x T x R”. Masalah yang dipilih sebagai
prioritas adalah yang memiliki nilai tertinggi.

d. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan


Proses terjadinya masalah atau kerangka prioritas masalah perlu digambarkan terlebih dahulu untuk menentukan penyebab masalah, sehingga
diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi.

e. Identifikasi penyebab masalah


Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan unsur masukan, proses, umpan balik dan lingkungan sebagai faktor yang diperkirakan
berpengaruh terhadap prioritas masalah. Selanjutnya menentukan tolak ukur dari masing–masing unsur tersebut, kemudian bandingkan
pencapaian unsur tersebut dengan tolak ukurnya, kesenjangan yang ada ditetapkan sebagai penyebab masalah.
f. Membuat alternatif jalan keluar
Sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan, maka dibuat alternatif pemecahan masalah. Alternatif tersebut dibuat dengan melihat
kerangka konsep prioritas masalah, sehingga tersususn daftar alternatif pemecahan masalah dengan melihat kondisi dan situasi fasilitas
kesehatan di puskesmas.

g. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah


Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, maka akan dipilih satu cara pemecahan masalah (untuk masing–masing
penyebab masalah) yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Untuk menilai efektifitas jalan keluar, diperlukan kriteria tambahan sebagai
berikut:
1. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude).
Makin besar masalah yang dapat diatasi, makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut.
2. Pentingnya jalan keluar (Importancy).
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelangsungan masalah. Makin baik dan sejalan selesainya masalah, makin penting jalan keluar
tersebut.
3. Sensitifitas jalan keluar (Vulnerability).
Sensitifitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar dalam mengatasi masalah, makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar
tersebut.

Selanjutnya ditetapkan nilai efisiensi (efficiency) untuk setiap alternative jalan keluar. Nilai efisiensi biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang
diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Beri angka satu (biaya
paling sedikit) sampai angka lima (biaya paling besar). Nilai prioritas (P) dihitung untuk setiap alternatif jalan keluar. Jalan keluar dengan nilai P
tertinggi, adalah prioritas jalan keluar terpilih.

M x I xV
P=
C

Keterangan =
P : Priority, M : Magnitude, I : Importancy, V : Vulnerability, C : Cost

3.3 Diagram Fishbone

Diagram cause and effect atau Diagram sebab akibat adalah alat yang membantu mengidentifikasi, memilah, dan menampilkan berbagai penyebab yang
mungkin dari suatu masalah atau karakteristik kualitas tertentu. Diagram ini menggambarkan hubungan antara masalah dengan semua faktor penyebab yang
mempengaruhi masalah tersebut. Jenis diagram ini kadang‐kadang disebut diagram “ Ishikawa" karena ditemukan oleh Kaoru Ishikawa, atau diagram
“fishbone” atau “tulang ikan" karena tampak mirip dengan tulang ikan. Diagram fishbone ini dapat digunakan ketika kita perlu:
1. Mengenali akar penyebab masalah atau sebab mendasar dari akibat, masalah, atau kondisi tertentu.
2. Memilah dan menguraikan pengaruh timbal balik antara berbagai faktor yang mempengaruhi akibat atau proses tertentu
3. Menganalisis masalah yang ada sehingga tindakan paling tepat dapat diambil

Manfaat menggunakan diagram fishbone yaitu:


1. Membantu menentukan akar penyebab masalah dengan pendekatan yang terstruktur.
2. Mendorong kelompok untuk berpartisipasi dan memanfaatkan pengetahuan kelompok tentang proses yang dianalisis.
3. Menunjukkan penyebab paling mungkin dari variasi atau perbedaan yang terjadi dalam suatu proses
4. Meningkatkan pengetahuan tentang proses yang dianalisis dengan membantu setiap orang untuk mempelajari lebih lanjut berbagai faktor kerja dan
bagaimana faktor–faktor tersebut saling berhubungan
5. Mengenali area dimana data seharusnya dikumpulkan untuk pengkajian lebih lanjut

Membuat diagram fishbone memiliki Langkah–langkah untuk menyusun dan menganalisa diagram fishbone sebagai berikut:
1. Identifikasi dan definisikan dengan jelas hasil atau akibat yang akan dianalisis
a. Hasil atau akibat disini adalah karakteristik dari kualitas tertentu, permasalahan yang terjadi pada kerja, tujuan perencanaan, dan sebagainya.
b. Gunakan definisi yang bersifat operasional untuk hasil atau akibat agar mudah dipahami.
c. Hasil atau akibat dapat berupa positif (suatu tujuan, hasil) atau negatif (suatu masalah, akibat). Hasil atau akibat yang negatif yaitu berupa masalah
biasanya lebih mudah untuk dikerjakan. Lebih mudah bagi kita untuk memahami sesuatu yang sudah terjadi (kesalahan) daripada menentukan sesuatu
yang belum terjadi (hasil yang diharapkan) .
d. Kita bisa menggunakan diagram pareto untuk membantu menentukan hasil atau akibat yang akan dianalisis

2. Gambar garis panah horisontal ke kanan yang akan menjadi tulang belakang.
a. Disebelah kanan garis panah, tulis deskripsi singkat hasil atau akibat yang dihasilkan oleh proses yang akan dianalisis
b. Buat kotak yang mengelilingi hasil atau akibat tersebut

3. Identifikasi penyebab–penyebab utama yang mempengaruhi hasil atau akibat.


a. Penyebab Ini akan menjadi label cabang utama diagram dan menjadi kategori yang akan berisi berbagai penyebab yang menyebabkan penyebab
utama.
b. Untuk menentukan penyebab utama seringkali merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Untuk itu kita dapat mencoba memulai dengan menulis daftar
seluruh penyebab yang mungkin. Kemudian penyebab–penyebab tersebut dikelompokkan berdasarkan hubungannya satu sama lain. Tentukan
penyebab berdasarkan urutan proses yang digunakan. Jadi, pada garis horisontal “tulang punggung ikan”, tuliskan semua proses utama dari kiri ke
kanan.
c. Tulis penyebab utama tersebut disebelah kiri kotak hasil atau akibat, beberapa tulis diatas garis horisontal, selebihnya dibawah garis.
d. Buat kotak untuk masing‐masing penyebab utama tersebut.

4. Untuk setiap penyebab utama, identifikasi faktor‐faktor yang menjadi penyebab dari penyebab utama
a. Identifikasi sebanyak mungkin faktor penyebab dan tulis sebagai sub cabang utama
b. Jika penyebab–penyebab minor menjadi penyebab dari lebih dari satu penyebab utama, tuliskan pada semua penyebab utama tersebut.

3.4 Waktu dan Tempat

Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2021 di Puskesmas Pagelaran.


BAB IV
PROFIL PUSKESMAS PAGELARAN

4.1. Geografi
UPT Puskesmas Pagelaran terletak di pekon Panutan kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Wilayah kerja Puskesmas Pagelaran memiliki luas wilayah 2.988,1
Km2. Lokasinya di Pekon Panutan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Adapun batas batas wilayah kerja Puskesmas Pagelaran meliputi :
a. Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Pardasuka.

b. Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Tanggamus

c. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja UPT Puskesmas Bumi Ratu.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan dengan wilayah kerja UPT Puskesmas Bumi Ratu dan Kecamatan Ambarawa

Pada awal tahun 2012 wilayah kerja UPT Puskesmas Pagelaran meliputi 16 pekon (desa), dan berkembang menjadi 19 pekon pada akhir tahun 2012 setelah
pemekaran beberapa pekon. Pada awal tahun 2015, setelah pemekaran Kecamatan Pagelaran Utara dan penambahan UPT Puskesmas Fajar Mulya, terjadi
pembagian wilayah kerja antara UPT Puskesmas di lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Pringsewu, yaitu UPT Puskesmas Pagelaran, UPT Puskesmas
Bumiratu, dan UPT Puskesmas Fajar Mulya, yang menetapkan wilayah kerja UPT Puskesmas Pagelaran meliputi 12 pekon yaitu :
1. Pekon Pagelaran
2. Pekon Panutan
3. Pekon Patoman
4. Pekon Candi Retno
5. Pekon Tanjung Dalam
6. Pekon Way Ngison
7. Pekon Sukaratu
8. Pekon Sukawangi
9. Gemah Ripah
10. Pekon Puji Harjo
11. Pekon Sidodadi
12. Pekon Sumber Rejo

4.2. Demografi

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran berdasarkan data statistik tahun 2020 berjumlah 23.669 jiwa. Dari 23.669 jiwa terdiri dari 11.813 jiwa laki – laki
dan 11.856 jiwa adalah perempuan, hal ini menunjukan laju pertumbuhan penduduk perempuan lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk laki – laki. Dari 5.643 jiwa
sebanyak 2.519 KK tergolong KK miskin ( 44,6%) . Dari 12 pekon yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran, pekon Pagelaran sebagai pekon terpadat yaitu 4.561 jiwa
sedangkan pekon yang mempunyai jumlah penduduk yang paling sedikit adalah Pekon Sukawangi dengan 635 jiwa.
A. Data Penduduk dan Sasaran Program

DATA SASARAN PROGRAM PER WILAYAH UPT PUSKESMAS PAGELARAN THN 2020

IBU Usia Produktif (Umur 15-64 Tahun) Usia Tidak Produktif (65+ tahun)
IBU
NO NAMA DESA JML PDD LAKI-LAKI PEREMPUAN MELAHIRKAN/
HAMIL L P T L P T
NIFAS

1 3 4 6 8 9 10 49 50 51 52 53 54

    23.669 11.813 11.856 438 415 7.921 7.864 15.785 749 852 1.601

1 Pagelaran 4.561 2.277 2.284 84 80 1.527 1.515 3.042 144 164 308

2 Panutan 2.545 1.271 1.274 47 45 852 845 1.697 81 92 173

3 Patoman 3.453 1.724 1.729 64 61 1.156 1.147 2.303 109 124 233

4 Candi Retno 2.541 1.268 1.273 47 45 850 844 1.694 80 92 172

Tanjung
5 1.676 836 840 31 29 561 557 1.118 53 60 113
Dalam

6 Way Ngison 1.447 722 725 27 25 484 481 965 46 52 98

7 Sukaratu 1.728 862 866 32 30 578 574 1.152 55 62 117

8 Sukawangi 635 316 319 12 11 212 212 424 20 23 43


9 Gemah Ripah 1.446 722 724 27 25 484 480 964 46 52 98

10 Puji Harjo 1.223 610 613 23 22 409 407 816 39 44 83

11 Sidodadi 993 495 498 18 17 332 330 662 31 36 67

12 Sumber Rejo 1.421 710 711 26 25 476 472 948 45 51 96

    23.669 11.813 11.856 438 415 7.921 7.864 15.785 749 852 1.601

Tabel 4.1
B. Data Sekolah

Puskesmas Pagelaran memiliki wilayah kerja yang meliputi Kecamatan Pagelaran


yang dimiliki sarana pendidikan formal maupun informal baik milik pemerintah
maupun swasta dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 4.2

Data Sekolah

Di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Pagelaran

Jumlah Siswa Jumlah Kader


Jumlah Guru
No Nama Sekolah Sekolah UKS/ Ket.
L P Sekolah UKS
UKS Dokcil

1. TK 353 359 12 0 0 0

2. SD/MI 1511 1569 19 19 38 19

3. SLTP/ MTs 615 668 9 9 9 9

4. SLTA/MA 118 113 2 2 2 2

5. PT 0 0 0 0 0 0

4.3. Sumber Daya Puskesmas

Tenaga kesehatan merupakan sumber daya manusia yang peranan dan


keberadaannya sangat penting dan berpengaruh terhadap peningkatan pelayanan
kesehatan untuk masyarakat. Tenaga kesehatan merupakan faktor input dalam
pelaksanaan program kesehatan.
Tabel 4.3

Data Sarana Ketenagaan UPT Puskesmas Pagelaran

Kabupaten Pringsewu Tahun 2020

Yang Ada Status


NO Jenis Ketenagaan Kekurangan Ket
Sekarang Kepegawaian

1 Dokter Umum 2 Pns  

Dokter Umum 2 Non Pns

2 Dokter Gigi 1 Pns  

3 S2 Kesehatan Masyarakat 1 Pns

4 Perawat Kesehatan  

a. D III Keperawatan 8 Non Pns

b. D III Keperawatan 11 Pns  

c. Profesi Perawat (Ners) 1 Pns  

5 Bidan  

a. D III Kebidanan 18 Pns

b. D III Kebidanan 8 Non Pns

6 Perawat Gigi 3 Pns  

7 Sanitarian ( DIII Kesling ) 2 Pns  

9 Nutrisionis ( D III Akzi) 2 Pns  

10 S 1 Pranata Laborat kesehatan 1 Pns  

11 Pengelola Obat

a. D 1 Farmasi 1 Pns
Yang Ada Status
NO Jenis Ketenagaan Kekurangan Ket
Sekarang Kepegawaian

b. D III Farmasi 1 Pns

12 Tenaga Administrasi Kesehatan

a. Tenaga admin 5 Pns

b. Petugas Kebersihan 1 Non Pns

c. Sopir Ambulans 1 Non Pns

d. Juru Masak 1 Non Pns

e. Juru Cuci 1 Non Pns

f. Penjaga Malam 1 Non Pns

JUMLAH 72

Sumber Daya Manusia yang terdapat di Puskesmas memegang peranan sangat


penting dan berpengaruh terhadap peningkatan pelayanan kesehatan untuk
masyarakat. Banyak faktor yang dapat dilihat dari tenaga kesehatan yaitu tingkat
pendidikan, profesionalisme dan kopetensinya. Sedangkkan kompetensi untuk
ketenagaan yang terdapat dipuskesmas masih belum memadai untuk program diluar
lingkup pelayanan, seperti kompetensi pengelolaan keuangan baik yang bersumber dari
APBN maupun APBD.

1. Obat dan Bahan Habis Pakai

Obat-obatan dan perbekalan Kesehatan termasuk Bahan Medis Habis Pakai


yang digunakan dalam memberikan pelayanan di Puskesmas Pagelaran merupakan
obat dan Perbekalan Kesehatan yang didistribusi dari Dinas Kesehatan baik berasal
dari Dana DAK Kefarmasian maupun Obat Program. Adapun kebutuhan Obat dan
Perbekalan Kesehatan yang digunakan di Puskesmas sebagaimana dalam lampiran.
2. Peralatan

Untuk menunjang Pelaksanaan kegiatan Program Puskesmas Pagelaran


tahun 2020 memiliki keadaan peralatan kesehatan yang meliputi Aset Tetap baik
berupa Gedung, Peralatan Mesin, Kendaraan, Alat Kesehatan, dll. Secara rinci untuk
peralatan dan aset UPT Puskesmas Pagelaran terdapat dalam Lampiran

3. Sumber Pembiayaan

Dalam menjalankan kegiatan Program Puskesmas Pagelaran tahun 2020


mendapatkan sumber pendanaan dari Dana Kapitasi jaminan Kesehatan Nasional,
Dana Non Kapitasi, Operasional Puskesmas (APBD II Kabupaten Pringsewu) dan
dana BOK serta Retribusi Pasien.

A. Sarana dan Prasarana

1. Sarana Kesehatan

Puskesmas Pagelaran membawahi sebagian wilayah Kecamatan Pagelaran


dengan Jumlah Pekon sebanyak 12 pekon, dan terdapat Sarana Kesehatan lain
selain Puskesmas Pagelaran baik sarana Kesehatan milik Pemerintah maupun
Sarana Kesehatan Swasta. Sarana kesehatan yang ada diwilayah kerja Puskesmas
Pagelaran adalah sebagai berikut :

Tabel 4.4

Data Sarana Kesehatan

Di UPT Puskesmas Pagelaran

Nama Sarana Pemerintah Swasta Jumlah

Rumah Sakit 0 0 0

Puskesmas / Klinik Rawat Inap 0 1 1


Nama Sarana Pemerintah Swasta Jumlah

Bidan Praktek Swasta / BPM 0 8 8

Pengobatan Tradisional 0 0 0

Apotik 0 2 2

Optik 0 0 0

Toko Obat 0 0 0

Laboratorium 0 0 0

Radiologi 0 0 0

Puskesmas Pembantu 2 0 2

Poskesdes 1 0 1

Jumlah 3 11 14

2. Sarana Transportrasi

Sarana transportasi yang dimiliki oleh Puskesmas Pagelaran , terdiri atas :

- Satu unit mobil Ambulance Xpander 1.5L tahun 2020 dengan Kondisi baik

- Satu unit mobil Ambulance Suzuki APV GL tahun 2014 dengan Kondisi baik

- Satu unit mobil Pusling Mitsubishi Colt L300 tahun 2006 dengan Kondisi
Rusak Sedang

- Satu buah Yamaha Vega R tahun 2007 dalam kondisi baik

- Satu buah Suzuki FL 125 SD tahun 2010 dalam kondisi baik

- Sepuluh buah Yamaha Jupiter Z tahun 2016 dalam kondisi baik

- Dua buah Yamaha Jupiter Z tahun 2017 dalam kondisi baik.

3. Sarana Perumahan
Puskesmas Pagelaran tidak memiliki sarana Perumahan untuk Tenaga
Medis dan Paramedis.

4. Data Peran Serta Masyarakat

Puskesmas Pagelaran memiliki partisipasi masyarakat dalam hal membawa


anaknya ke posyandu masih rendah. Adapun Hasil telaah yang telah dilakukan
terhadap perkembangan UKBM di Wilayah Kerja Puskesmas Pagelaran adalah
sebagai berikut :

a. Jenis UKBM : Posyandu Balita

Tabel 4.5

Data Peran Serta Posyandu Balita

Kelurahan/ Jumlah Kader Dukun Bayi Tokoh Masyarakat


Jumlah
No Ket
Desa Posyandu
Dilatih Aktif % Dilatih Aktif % Dilatih Aktif %

1 Pagelaran 5 20 20 100 0 0 0 0 0 0

2 Patoman 4 20 20 100 0 0 0 0 0 0

3 Panutan 4 20 20 100 0 0 0 0 0 0

Gemah
4 2 6 6 100 0 0 0 0 0 0 --
Ripah

Tanjung
5 3 10 10 100 0 0 0 0 0 0
Dalam

6 Puji Harjo 1 5 5 100 0 0 0 0 0 0

7 Sukaratu 3 15 15 100 0 0 0 0 0 0

8 Sukawangi 1 5 5 100 0 0 0 0 0 0

9 Candi Retno 3 15 15 100 0 0 0 0 0 0

10 Sumber Rejo 2 5 5 100 0 0 0 0 0 0

11 Sidodadi 2 5 5 100 0 0 0 0 0 0
Kelurahan/ Jumlah Kader Dukun Bayi Tokoh Masyarakat
Jumlah
No Ket
Desa Posyandu
Dilatih Aktif % Dilatih Aktif % Dilatih Aktif %

12 Way Ngison 2 12 12 100 0 0 0 0 0 0

Jumlah 32 138 138 100 0 0 0 0 0 0

B. Jenis UKBM : Pengobatan Tradisional

Tabel 4.6

Data Pengobatan Tadisional Di Wilayah Kerja Puskesmas Pagelaran

Jumlah Battra
Jumlah Battra di
No Jenis Battra Terbina/Tercatat di
Wilayah Kerja
puskesmas

1 Spa Terapis 0 0

2 Akupuntur 0 0

3 Patah Tulang 0 0

4 Tukang Sunat 0 0

5 Refleksi 1 1

6 Bekam 1 1

7 Pijat Urut 4 4

JUMLAH 6 6

b. Jenis UKBM : Poskestren

Di wilayah UPT Puskesmas Pagelaran ada pekon yang memiliki pondok


pesantren yaitu pekon Patoman, Gemah Ripah.

c. Jenis UKBM : Dana Sehat


Dari 12 Pekon dan Kelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Pagelaran , tidak ada yang memiliki dana sehat UKBM

d. Jenis UKBM : Posyandu Lansia

Dari 12 Pekon yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran. Terdapat 18


Posyandu Lansia untuk kelompok masyarakat dengan Faktor resiko Penyakit tidak
Menular seperti Penyakit Degeneratif diantaranya Diabetes Militus, Penyakit
Jantung, Hipertensi, dll.
BAB V
HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN

5.1. Identifikasi Masalah


Masalah merupakan kesenjangan antara tolak ukur dengan hasil
pencapaian pada unsur keluaran. Proses identifikasi masalah
dilakukan secara bertahap, dimulai dari keluaran (output) program
kerja puskesmas, kemudian apabila ditemukan adanya kesenjangan
antara tolak ukur dengan data keluaran tersebut maka harus dicari
kemungkinan penyebab masalah pada unsur masukan (input, proses,
atau lingkungan). Masalah yang ditemukan pada program pencegahan
dan pemberantasan penyakit menular TB di puskesmas Pagelaran
tahun 2020 adalah sebagai berikut.

Tabel 5.1 Daftar Program Pencegahan dan Pemberantasan TB di


puskesmas Pagelaran tahun 2020

No. Program Target Pencapaian Masalah

1. BTA (+) 75 % 47 % (+)


2. Angka kesembuhan 85 % 100 % (-)
3. Pasien TB yang dites 100 % 100 % (-)
HIV dan hasilnya
diterima oleh pasien

5.2. Penetapan Prioritas Masalah


Berdasarkan tabel 16, program CDR BTA (+) di puskesmas
puskesmas Pagelaran tahun 2020 belum mencapai target. Metode
penentuan prioritas masalah yang digunakan adalah USG, yaitu:

a. Urgency : Menilai ketersediaan waktu untuk pemecahan


masalah yang ada.
b. Seriousness : Melihat pengaruh bahwa masalah tersebut akan
menyebabkan hal yang serius/fatal.
c. Growth : Aspek kemungkinan meluasnya /berkembangnya
masalah / atau kemungkinan timbulnya masalah.

Tabel 5.2 Penentuan prioritas maslah dengan menggunakan metode


USG

Nilai Kriteria Hasil


No Masalah
U S G Akhir
1 BTA (+) 4 4 5 13
2 Angka kesembuhan 3 3 3 9
3 Pasien TB yang dites 3 3 4 10
HIV dan hasilnya
diterima oleh pasien

Keterangan: U (Urgency), S (Seriousness), G (Growth)

Skoring 1: Rendah

Skoring 2: Sedang

Skoring 3: Cukup

Skoring 4: Tinggi

Skoring 5: Sangat tinggi

5.3. Kerangka Konsep Masalah


Pencapaian CDR TB paru kasus baru dengan BTA (+) merupakan
masalah yang memiliki angka prioritas tertinggi dibanding
permasalahan lain. Setelah mengetahui faktor atau masalah dominan,
langkah berikutnya adalah menentukan kerangka konsep sebagai
berikut:
Gambar 3. Konsep Masalah (Nedjaka dkk, 2008)
5.4. Menentukan Penyebab Masalah
Setelah menentukan kerangka konsep masalah, langkah selanjutnya
adalah menentukan penyebab masalah.

Tabel 5.3 Matriks penentuan prioritas penyebab masalah


I
No Daftar Masalah T R IxTxR
P S RI DU SB PB PC
1. Man
Kurangnya
kesadaran
masyarakat untuk
3 3 3 4 4 3 2 3 2 132
memeriksakan
keadaan batuk
lama
Kurangnya
pengetahuan
3 3 3 2 3 3 2 3 2 114
masyarakat
tentang TB paru
Stigma
masyarakat yang
kurang baik 2 3 3 3 4 3 3 3 2 126
terhadap
penderita TB
Kesulitan pasien
dalam
3 3 3 2 3 2 2 3 2 108
mengeluarkan
dahak
2. Method
Pelaporan kasus
baru dari jejaring
3 3 3 2 3 2 2 3 2 108
program TB
masih kurang
3. Material
Media promosi
kesehatan/
penyuluhan 2 2 3 2 2 2 2 3 2 90
mengenai TB
masih kurang
4. Money
Kurangnya
alokasi dana
untuk 3 2 2 2 2 1 1 2 2 52
mensejahterakan
kader
5. Machine
Jumlah kader TB
masih terbatas
2 2 3 3 3 2 2 3 2 102
dan distribusinya
kurang merata

Keterangan:
P = Prevalence
S = Severity
PB = Public concern
RI = Rate of increase
DU = Degree of unmeet need
SB = Social benefit
PC =Political climate
T = Technical feasiability
R = Resources availability

Setelah dilakukan pemilihan prioritas penyebab masalah, didapatkan


penyebab yang paling dominan adalah kurangnya kesadaran masyarakat
untuk memeriksakan keadaan batuk lama.
BAB VI
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

6.1 Menyusun Alternatif Pemecahan Masalah


Pencapaian program CDR TB Paru di wilayah kerja Pagelaran tahun
2020 masih belum mencapai target yang diharapkan yaitu sebesar 75
%. Belum tercapainya CDR TB di wilayah kerja Pagelaran tahun 2020
disebabkan oleh berbagai faktor, setelah dilakukan penentuan prioritas
penyebab masalah, maka penyebab dominan ialah kurangnya kesadaran
masyarakat untuk memeriksakan keadaan batuk lama. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dirumuskan beberapa alternatif pemecahan masalah
yang diharapkan kedepannya program pengendalian penyakit menular
khususnya CDR TB di wilayah kerja Pagelaran tahun 2020 dapat
mencapai target. Beberapa alternatif pemecahan masalah tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 6.1
Alternatif Pemecahan Masalah
Masalah Penyebab Dominan Alternatif
CDR Pagelaran tahun Kurangnya  Penyelenggaraan skrining
2020 sebesar 47% kesadaran TB secara berkala pada
yang belum mencapai masyarakat untuk daerah kantung TB
target yaitu sebesar memeriksakan Penjadwalan rutin
75% keadaan batuk lama. penyuluhan tentang TB
 Penambahan jumlah kader
TB di wilayah kerja
puskesmas secara merata
untuk mendorong
masyarakat melakukan
deteksi TB dan memantau
pengobatan penderita TB
 Koordinasi dengan ketua
RT setempat untuk
mengedukasi warganya
yang batuk lama untuk
memeriksakan dahaknya.

6.2 Menentukan Prioritas Cara Pemecahan Masalah


Berdasarkan tabel 19, terdapat tiga alternatif pemecahan masalah untuk
menyelesaikan masalah CDR TB di Pagelaran tahun 2020, penulis
menggunakan rumus MIV/C untuk memilih prioritas pemecahan
masalah. Rumus tersebut diuraikan dalam tabel 20 di bawah ini.
Daftar penyebab Daftar Alternatif
Urutan Prioritas Daftar Masalah Efektivita
Masalah Jalan Keluar
M I
1 Case Detection Kurangnya Penjadwalan rutin 4 3
Rate TB (+) kesadaran penyuluhan
masyarakat untuk tentang TB
memeriksakan
keadaan batuk
lama
Kurangnya Diadakan
pengetahuan penyuluhan serta
masyarakat penambahan 3 3
tentang TB paru jumlah kader agar
informasi merata
Stigma Koordinasi
masyarakat yang dengan RT
kurang baik supaya jika ada
terhadap warga yang
2 3
penderita TB mengalami batuk
lama untuk segera
memeriksakan
dahaknya
Kesulitan pasien Penyelenggaran
dalam skrinning TB
mengeluarkan secara berkala 4 3
dahak pada daerah
kantung TB
Pelaporan kasus Pengoptimalan
baru dari jejaring kader dalam
program TB menskrining 3 3
masih kurang lokasi bagiannya
masing-masing
Media promosi Menyebarkan
kesehatan/ tentang penyakit
penyuluhan TB melalui media 2 3
mengenai TB social
masih kurang
Kurangnya Penambahan dana
alokasi dana serta cakupan
untuk target pada kader 2 3
mensejahterakan
kader
Jumlah kader TB Mencari kader
masih terbatas yang berdomisili
dan distribusinya di lokasi yang 2 3
kurang merata minim informasi
tentang TB

Keterangan:
P : Prioritas alternatif pemecahan masalah (MIV/C).
M : Magnitude, yaitu besarnya masalah yang dilihat dari morbiditas
dan mortalitas.
I : Importance, yang ditentukan oleh jenis kelompok penduduk yang
terkena masalah/penyakit.
V : Vulnerability, yaitu ada/tersedianya cara–cara pencegahan dan
pemberantasan masalah yang bersangkutan.
C : Cost, yaitu biaya yang diperlukan untuk menanggulangi masalah
tersebut.

Berdasarkan pemilihan prioritas jalan keluar dengan menggunakan


“Criteria Matrix Technic” dengan memperhatikan efektifitas jalan keluar
seperti besarnya masalah yang dapat diselesaikan (magnitude),
pentingnya jalan keluar (importance), sensitivitas jalan keluar
(vulnerability), dan efisiensi jalan keluar (cost), maka didapatkan
prioritas jalan keluar yang pertama adalah menyelenggaraan skrining TB
secara berkala pada daerah kantung TB. Melalui kegiatan aktif-masif ini,
diharapkan dapat meningkatkan temuan kasus baru TB (CDR TB) di
wilayah kerja puskesmas. Kegiatan penemuan secara aktif berkala akan
sangat efektif apabila dipadukan dengan kegiatan penemuan aktif
berbasis keluarga dan masyarakat.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang evaluasi program penemuan kasus (case
detection rate) TB di Pagelaran tahun 2020, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Angka capaian program penemuan kasus (case detection rate) TB di
puskesmas Pagelaran tahun 2020 adalah sebesar 47%. Angka ini
masih dibawah target yang telah ditentukan yaitu sebesar 75%. Hal ini
masih menjadi prioritas masalah dalam pelaksanaan program
pengendalian penyakit menular TB di Puskesmas Pagelaran tahun
2020. Penyebab utama rendahnya angka capaian program penemuan
kasus (case detection rate) TB tahun 2020 adalah karena kurangnya
kesadaran masyarakat untuk memeriksakan keadaan batuk lama.
2. Prioritas pemecahan masalah bagi pemegang program penemuan
kasus (case detection rate) TB tahun 2020 adalah dengan melakukan
skrining aktif berkala pada daerah kantung TB.

7.2. Saran
3. Saran evaluasi program penemuan kasus (case detection rate) TB di
Puskesmas Pagelaran tahun 2020 adalah sebagai berikut.
1. Menyelenggaraan skrining TB secara berkala pada daerah kantung
TB, minimal sebanyak dua kali dalam satu tahun.
2. Mendistribusikan jumlah kader TB di setiap kelurahan secara
merata.
3. Mengoptimalkan tugas dan fungsi kader dalam program
pemberantasan dan pencegahan TB.
4. Mengkoordinasikan dengan RT setempat untuk mengedukasi
warganya tentang pemeriksaan TB.
5. Melakukan penyuluhan rutin TB dengan menggunakan berbagai
media promosi kesehatan yang menarik dan komunikatif sehingga
memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat yang
banyak belum mengetahui mengenai penyakit menular TB paru dan
pencegahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes RI. 2015. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta:

InfoDatin.

Kemenkes RI. 2013. Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. 2016. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta:

InfoDatin.

Kemenkes RI. 2016. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:

Pusat

Data dan Sistem Informasi Kemenkes RI 2016.

Kemenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67

Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Kemenkes

Kemenkes RI. 2018. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta:

InfoDatin.
PAPDI. 2014. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Internal Publishing.

Puskesmas Pagelaran. 2020. Profil Puskesmas PagelaranTahun 2020.

Pringsewu : Puskesmas Pagelaran.

Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementrian

Kesehatan

Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. 2011.

WHO. 2015. Implementing The End TB Strategy: The Essentials. Geneva: WHO

WHO. 2017. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: WHO

WHO. 2018. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: WHO

Anda mungkin juga menyukai