PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara
dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima Negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. (WHO, 2017).
Dari kasus insiden tersebut, angka kematian akibat tuberkulosis (TB) menurun 22 % antara tahun 2000 hingga tahun 2015. Namun TB masih menempati
peringkat ke 10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016. Oleh sebab itu, saat ini TB masih menjadi priotitas utama masalah kesehatan di dunia dan
menjadi salah satu tujuan dalam Sustainability Development Goals (SDGs). (WHO, 2016).
Berdasarkan laporan WHO 2017 diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia, namun baru terlaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000
kasus. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TB
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali
lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto
risiko TB misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak
68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. (Riskesdas, 2018).
Resiko penyebaran penyakit TB dipengaruhi oleh berbagai faktor, berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TB dan durasi paparan TB lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampun sosial dan ekonomi) semakin rendah prevalensi TB. (Riskesdas, 2013)
Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Pagelaran, terdapat 71 kasus suspek TB terjaring dari target yang ditetapkan sebanyak 85 kasus, jika
dipersenkan baru 47% cakupan yang berhasil terjaring dari target sebesar 75%. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan evaluasi program
penemuan dan penanggulangan tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pagelaran.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ditemukan adalah mengapa penemuan kasus (case detection rate) tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Pagelaran tahun 2020 masih belum mencapai target?
1.4. Manfaat
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2011).
2.2. Epidemiologi
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun
2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto
risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. (Kemenkes, 2018).
2.3. Etiologi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa
spesies Mycobacterium antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bias menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan
identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB. Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara
lain adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014):
Terdapat empat tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2015):
1. Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
a. Jumlah kasus menular di masyarakat
b. Peluang kontak dengan kasus menular
c. Tingkat daya tular dahak sumber penularan
d. Intensitas batuk sumber penularan
e. Kedekatan kontak dengan sumber penularan
f. Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
g. Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi). Catatan:
Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan
terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
2. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi:
a. Reaksi immunologi (lokal) kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen – antibodi.
b. Reaksi immunologi (umum) delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
c. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
d. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi
3. Sakit TB
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB
melalui proses reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB paru). Meskipun demikian, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat
menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB ekstra paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).
4. Meninggal Dunia
Faktor risiko kematian karena TB:
a. Akibat dari keterlambatan diagnosis
b. Pengobatan tidak adekuat
c. Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta. Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini
meningkat pada pasien dengan HIV positif.
Gambar 1. Perjalanan Alamiah TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi diatas, pasien juga diklasifikasikan menurut (Kemenkes RI, 2014):
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
a. TB paru: Yaitu TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru TB Milier dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis
TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologi yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai
TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. TB ekstra paru: Yaitu TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit,sendi, selaput otak dan
tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB
ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
1. Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan;
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Keterlibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat
umum, dinilai tidak cost efektif.
2. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
a. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),
b. Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, tempat
pengungsian, asrama, dan panti jompo.
c. Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau
pengobatan pencegahan.
d. Kontak erat dengan pasien TB dan TB resistan obat
3. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis menuju kesehatan
paru (PAL= practical approach to lung health), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu
meningkatkan penemuan kasus TB dilayanan kesehatan, mengurangi terjadinya “miss opportunity” kasus TB dan sekaligus dapat meningkatkan mutu
layanan (Kemenkes RI, 2015; 2016).
Strategi penemuan pasien TB di Indonesia dapat dilakukan secara pasif (di dalam gedung) secara intensif (penguatan jejaring layanan dan kolaborasi layanan
kesehatan) maupun secara aktif (kegiatan di luar gedung) dan masif (cakupan seluas mungkin). Kedua upaya penemuan pasien TB tersebut harus didukung
dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan, terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan sedini mungkin (Kemenkes RI,
2015; 2016).
b. Kolaborasi layanan
Strategi peningkatan penemuan pasien TB melalui penguatan jejaring internal antara unit–unit layanan yang mungkin akan menemukan terduga atau
pasien TB misalnya di poliklinik umum, poliklinik paru, poliklinik penyakit dalam dan poliklinik anak. Kegiatan kolaborasi layanan juga bisa berupa
kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB dengan penyelenggaraan layanan kesehatan selain TB yang tersedia di fasyankes, terutama di unit
layanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada populasi kunci yang rentan untuk TB misalnya unit layanan HIV, DM (Diabetes
Mellitus), gizi, lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Penguatan kolaborasi layanan TB secara manajerial juga bisa dilaksanakan dengan
penerapan sistem manajemen layanan kesehatan yang terintegrasi di fasyankes misalnya dengan penerapan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP
(PAL= Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS) (Kemenkes RI,
2016).
Penjaringan terduga TB di faskes harus dapat dilakukan secara aktif oleh semua petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi pelayanan
kepada pasien melalui upaya penapisan batuk yang sistematis kepada pasien yang datang ke faskes. Upaya penemuan pasien TB melalui kolaborasi
layanan harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini (Kemenkes RI, 2015; 2016).
2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat berupa kegiatan–kegiatan penemuan terduga atau pasien TB yang
dilakukan di luar fasyankes melalui beberapa upaya penjangkauan secara aktif oleh petugas kesehatan atau potensi kesehatan masyarakat yang bertujuan
untuk menemukan dan merujuk terduga TB ke fasyankes untuk penegakan diagnosis. Upaya penemuan secara aktif di masyarakat dapat juga dilaksanakan
dengan upaya jemput bola ke masyarakat dengan menghadirkan sarana diagnostik secara langsung ke masyarakat, misalnya dengan mendatangkan sarana
diagnostik yang bersifat mobile ke suatu daerah dalam satu periode tertentu (Kemenkes RI, 2015; 2016). Kegiatan penemuan pasien TB secara aktif harus
terintegrasi dengan gerakan masyarakat dan pendekatan keluarga sehat. Kegiatan ini harus bisa menggerakkan atau melibatkan secara aktif semua potensi
kesehatan masyarakat yang ada di suatu wilayah antara lain: kader kesehatan, kader dari UKBM (posyandu, posbindu, pos TB desa, poskesdes dan
polindes), kader organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok dukungan pasien dan kelompok peduli TB lainnya. Kegiatan
penemuan pasien TB secara aktif berbasis keluarga dan masyarakat dapat berupa:
a. Investigasi kontak
Kegiatan investigasi kontak diselenggarakan melalui kolaborasi antara pemberi layanan kesehatan dengan potensi kesehatan masyarakat. Dilakukan pada
paling sedikit 10–15 orang kontak erat dengan pasien TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah) maupun orang yang berada
di ruangan yang sama dengan pasien TB aktif (detected cases/confirm cases) yang ternotifikasi selama satu periode tertentu, yaitu sekurang–kurangnya
delapan jam sehari selama satu bulan atau lebih (Kemenkes RI, 2016).
Investigasi kontak dilaksanakan untuk semua pasien TB aktif dewasa untuk mendeteksi secara dini kemungkinan penularan kepada kontak serumah atau
kontak eratnya. Investigasi kontak juga dilaksanakan pada pasien TB anak yang ditemukan untuk mencari sumber penularan. Pelaksanaan kegiatan
investigasi kontak harus dicatat dan dilaporkan baik dalam kartu pengobatan pasien TB maupun register pemeriksaan kontak (Kemenkes RI, 2016).
Pada daerah kantong ini dilakukan upaya penemuan aktif berkala akan dilakukan dengan kegiatan skrining aktif setiap enam bulan sekali sampai tidak
ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala dua kali berturut–turut. Kegiatan penemuan secara aktif berkala akan sangat efektif apabila
dipadukan dengan kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2015; 2016).
g. Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif melalui skrining massal yang dilaksanakan sekali setahun untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan
kasusnya masih sangat rendah. puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining
gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan kesehatan luar gedung. Kegiatan ini juga lebih efektif apabila dipadukan dengan
kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
4. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala utama pasien TB paru yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes RI, 2014).
5. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan, dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu–Pagi–Sewaktu (SPS).
S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes.
S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
6. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan untuk mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis, dimaksudkan untuk menegakkan diangosis pasti TB pada pasien tertentu, misalnya
pasien TB ekstraparu, pasien TB anak, dan pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
2.7. Diagnosis TB
Semua suspek TB diperiksa tiga spesimen dahak dalam waktu dua hari, yaitu sewaktu–pagi–sewaktu (SPS). Selanjutnya, diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto thorax, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis (Kemenkes RI, 2014).
2.8. Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip–prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Tidak
diperbolehkan dalam menggunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT–Kombinasi Dosis Tetap (OAT–KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOTS= Directly Observed Treatment Short–course) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap awal (intensif): Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.
b. Tahap Lanjutan: Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
2. Paduan OAT kategori pertama dan kategori kedua disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT–KDT). Tablet OAT–KDT ini
terdiri dari kombinasi dua atau empat jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
3. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (antara lain kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua (Kemenkes RI, 2014).
Strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short–course). Strategi DOTS terdiri dari lima komponen kunci,
yaitu:
World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan
strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost–effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS,
setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun (WHO, 2015).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (WHO, 2015).
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS oleh Global Stop TB Partnership,
diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu (WHO, 2015; 2017):
Pada tahun 2013 beberapa negara anggota WHO mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah
kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka
insidensi TB berhasil diturunkan mencapai satu kasus TB per satu juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB (pra
eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per
100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1–2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu
ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif bagi pengendalian TB secara global (WHO, 2017).
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi
global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan (WHO, 2017):
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk).
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen–komponenya yaitu (Kemenkes RI, 2013; 2016):
2. Manajemen Program TB
a. Perencanaan program TB
b. Monitoring dan evaluasi program TB
c. Manajemen logistik program TB
d. Pengembangan ketenagaan program TB
e. Promosi program TB
3. Pengendalian TB komprehensif
a. Penguatan layanan laboratorium TB
b. Public–Private Mix (Keterlibatan semua fasilitas pelayanan kesehatan)
c. Kolaborasi TB–HIV
d. Pemberdayaan masyarakat dan pasien TB
e. Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
f. Manajemen TB resistan obat
g. Penelitian TB
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara
berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan
tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu interval lebih lama, biasanya enam bulan s/d satu tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh
mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai. Kemajuan dan keberhasilan pengendalian TB dapat dinilai dengan menggunakan dua
indikator yang telah ditetapkan secara nasional yaitu Angka Penemuan Pasien Baru TB BTA (+) (Case Detection Rate = CDR) dan Angka Keberhasilan
Pengobatan (Success Rate = SR).
Rumus
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA (+) diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB baru BTA (+) dikali dengan jumlah penduduk.
Target CDR program penanggulangan TB nasional minimal 70%.
Rumus
Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer dan sekunder:
Selanjutnya ditetapkan nilai efisiensi (efficiency) untuk setiap alternative jalan keluar. Nilai efisiensi biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang
diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Beri angka satu (biaya
paling sedikit) sampai angka lima (biaya paling besar). Nilai prioritas (P) dihitung untuk setiap alternatif jalan keluar. Jalan keluar dengan nilai P
tertinggi, adalah prioritas jalan keluar terpilih.
M x I xV
P=
C
Keterangan =
P : Priority, M : Magnitude, I : Importancy, V : Vulnerability, C : Cost
Diagram cause and effect atau Diagram sebab akibat adalah alat yang membantu mengidentifikasi, memilah, dan menampilkan berbagai penyebab yang
mungkin dari suatu masalah atau karakteristik kualitas tertentu. Diagram ini menggambarkan hubungan antara masalah dengan semua faktor penyebab yang
mempengaruhi masalah tersebut. Jenis diagram ini kadang‐kadang disebut diagram “ Ishikawa" karena ditemukan oleh Kaoru Ishikawa, atau diagram
“fishbone” atau “tulang ikan" karena tampak mirip dengan tulang ikan. Diagram fishbone ini dapat digunakan ketika kita perlu:
1. Mengenali akar penyebab masalah atau sebab mendasar dari akibat, masalah, atau kondisi tertentu.
2. Memilah dan menguraikan pengaruh timbal balik antara berbagai faktor yang mempengaruhi akibat atau proses tertentu
3. Menganalisis masalah yang ada sehingga tindakan paling tepat dapat diambil
Membuat diagram fishbone memiliki Langkah–langkah untuk menyusun dan menganalisa diagram fishbone sebagai berikut:
1. Identifikasi dan definisikan dengan jelas hasil atau akibat yang akan dianalisis
a. Hasil atau akibat disini adalah karakteristik dari kualitas tertentu, permasalahan yang terjadi pada kerja, tujuan perencanaan, dan sebagainya.
b. Gunakan definisi yang bersifat operasional untuk hasil atau akibat agar mudah dipahami.
c. Hasil atau akibat dapat berupa positif (suatu tujuan, hasil) atau negatif (suatu masalah, akibat). Hasil atau akibat yang negatif yaitu berupa masalah
biasanya lebih mudah untuk dikerjakan. Lebih mudah bagi kita untuk memahami sesuatu yang sudah terjadi (kesalahan) daripada menentukan sesuatu
yang belum terjadi (hasil yang diharapkan) .
d. Kita bisa menggunakan diagram pareto untuk membantu menentukan hasil atau akibat yang akan dianalisis
2. Gambar garis panah horisontal ke kanan yang akan menjadi tulang belakang.
a. Disebelah kanan garis panah, tulis deskripsi singkat hasil atau akibat yang dihasilkan oleh proses yang akan dianalisis
b. Buat kotak yang mengelilingi hasil atau akibat tersebut
4. Untuk setiap penyebab utama, identifikasi faktor‐faktor yang menjadi penyebab dari penyebab utama
a. Identifikasi sebanyak mungkin faktor penyebab dan tulis sebagai sub cabang utama
b. Jika penyebab–penyebab minor menjadi penyebab dari lebih dari satu penyebab utama, tuliskan pada semua penyebab utama tersebut.
4.1. Geografi
UPT Puskesmas Pagelaran terletak di pekon Panutan kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Wilayah kerja Puskesmas Pagelaran memiliki luas wilayah 2.988,1
Km2. Lokasinya di Pekon Panutan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Adapun batas batas wilayah kerja Puskesmas Pagelaran meliputi :
a. Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Pardasuka.
c. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja UPT Puskesmas Bumi Ratu.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan dengan wilayah kerja UPT Puskesmas Bumi Ratu dan Kecamatan Ambarawa
Pada awal tahun 2012 wilayah kerja UPT Puskesmas Pagelaran meliputi 16 pekon (desa), dan berkembang menjadi 19 pekon pada akhir tahun 2012 setelah
pemekaran beberapa pekon. Pada awal tahun 2015, setelah pemekaran Kecamatan Pagelaran Utara dan penambahan UPT Puskesmas Fajar Mulya, terjadi
pembagian wilayah kerja antara UPT Puskesmas di lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Pringsewu, yaitu UPT Puskesmas Pagelaran, UPT Puskesmas
Bumiratu, dan UPT Puskesmas Fajar Mulya, yang menetapkan wilayah kerja UPT Puskesmas Pagelaran meliputi 12 pekon yaitu :
1. Pekon Pagelaran
2. Pekon Panutan
3. Pekon Patoman
4. Pekon Candi Retno
5. Pekon Tanjung Dalam
6. Pekon Way Ngison
7. Pekon Sukaratu
8. Pekon Sukawangi
9. Gemah Ripah
10. Pekon Puji Harjo
11. Pekon Sidodadi
12. Pekon Sumber Rejo
4.2. Demografi
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran berdasarkan data statistik tahun 2020 berjumlah 23.669 jiwa. Dari 23.669 jiwa terdiri dari 11.813 jiwa laki – laki
dan 11.856 jiwa adalah perempuan, hal ini menunjukan laju pertumbuhan penduduk perempuan lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk laki – laki. Dari 5.643 jiwa
sebanyak 2.519 KK tergolong KK miskin ( 44,6%) . Dari 12 pekon yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran, pekon Pagelaran sebagai pekon terpadat yaitu 4.561 jiwa
sedangkan pekon yang mempunyai jumlah penduduk yang paling sedikit adalah Pekon Sukawangi dengan 635 jiwa.
A. Data Penduduk dan Sasaran Program
DATA SASARAN PROGRAM PER WILAYAH UPT PUSKESMAS PAGELARAN THN 2020
IBU Usia Produktif (Umur 15-64 Tahun) Usia Tidak Produktif (65+ tahun)
IBU
NO NAMA DESA JML PDD LAKI-LAKI PEREMPUAN MELAHIRKAN/
HAMIL L P T L P T
NIFAS
1 3 4 6 8 9 10 49 50 51 52 53 54
23.669 11.813 11.856 438 415 7.921 7.864 15.785 749 852 1.601
1 Pagelaran 4.561 2.277 2.284 84 80 1.527 1.515 3.042 144 164 308
3 Patoman 3.453 1.724 1.729 64 61 1.156 1.147 2.303 109 124 233
Tanjung
5 1.676 836 840 31 29 561 557 1.118 53 60 113
Dalam
23.669 11.813 11.856 438 415 7.921 7.864 15.785 749 852 1.601
Tabel 4.1
B. Data Sekolah
Tabel 4.2
Data Sekolah
1. TK 353 359 12 0 0 0
5. PT 0 0 0 0 0 0
4 Perawat Kesehatan
5 Bidan
11 Pengelola Obat
a. D 1 Farmasi 1 Pns
Yang Ada Status
NO Jenis Ketenagaan Kekurangan Ket
Sekarang Kepegawaian
JUMLAH 72
3. Sumber Pembiayaan
1. Sarana Kesehatan
Tabel 4.4
Rumah Sakit 0 0 0
Pengobatan Tradisional 0 0 0
Apotik 0 2 2
Optik 0 0 0
Toko Obat 0 0 0
Laboratorium 0 0 0
Radiologi 0 0 0
Puskesmas Pembantu 2 0 2
Poskesdes 1 0 1
Jumlah 3 11 14
2. Sarana Transportrasi
- Satu unit mobil Ambulance Xpander 1.5L tahun 2020 dengan Kondisi baik
- Satu unit mobil Ambulance Suzuki APV GL tahun 2014 dengan Kondisi baik
- Satu unit mobil Pusling Mitsubishi Colt L300 tahun 2006 dengan Kondisi
Rusak Sedang
3. Sarana Perumahan
Puskesmas Pagelaran tidak memiliki sarana Perumahan untuk Tenaga
Medis dan Paramedis.
Tabel 4.5
1 Pagelaran 5 20 20 100 0 0 0 0 0 0
2 Patoman 4 20 20 100 0 0 0 0 0 0
3 Panutan 4 20 20 100 0 0 0 0 0 0
Gemah
4 2 6 6 100 0 0 0 0 0 0 --
Ripah
Tanjung
5 3 10 10 100 0 0 0 0 0 0
Dalam
7 Sukaratu 3 15 15 100 0 0 0 0 0 0
8 Sukawangi 1 5 5 100 0 0 0 0 0 0
11 Sidodadi 2 5 5 100 0 0 0 0 0 0
Kelurahan/ Jumlah Kader Dukun Bayi Tokoh Masyarakat
Jumlah
No Ket
Desa Posyandu
Dilatih Aktif % Dilatih Aktif % Dilatih Aktif %
Tabel 4.6
Jumlah Battra
Jumlah Battra di
No Jenis Battra Terbina/Tercatat di
Wilayah Kerja
puskesmas
1 Spa Terapis 0 0
2 Akupuntur 0 0
3 Patah Tulang 0 0
4 Tukang Sunat 0 0
5 Refleksi 1 1
6 Bekam 1 1
7 Pijat Urut 4 4
JUMLAH 6 6
Skoring 1: Rendah
Skoring 2: Sedang
Skoring 3: Cukup
Skoring 4: Tinggi
Keterangan:
P = Prevalence
S = Severity
PB = Public concern
RI = Rate of increase
DU = Degree of unmeet need
SB = Social benefit
PC =Political climate
T = Technical feasiability
R = Resources availability
Keterangan:
P : Prioritas alternatif pemecahan masalah (MIV/C).
M : Magnitude, yaitu besarnya masalah yang dilihat dari morbiditas
dan mortalitas.
I : Importance, yang ditentukan oleh jenis kelompok penduduk yang
terkena masalah/penyakit.
V : Vulnerability, yaitu ada/tersedianya cara–cara pencegahan dan
pemberantasan masalah yang bersangkutan.
C : Cost, yaitu biaya yang diperlukan untuk menanggulangi masalah
tersebut.
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang evaluasi program penemuan kasus (case
detection rate) TB di Pagelaran tahun 2020, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Angka capaian program penemuan kasus (case detection rate) TB di
puskesmas Pagelaran tahun 2020 adalah sebesar 47%. Angka ini
masih dibawah target yang telah ditentukan yaitu sebesar 75%. Hal ini
masih menjadi prioritas masalah dalam pelaksanaan program
pengendalian penyakit menular TB di Puskesmas Pagelaran tahun
2020. Penyebab utama rendahnya angka capaian program penemuan
kasus (case detection rate) TB tahun 2020 adalah karena kurangnya
kesadaran masyarakat untuk memeriksakan keadaan batuk lama.
2. Prioritas pemecahan masalah bagi pemegang program penemuan
kasus (case detection rate) TB tahun 2020 adalah dengan melakukan
skrining aktif berkala pada daerah kantung TB.
7.2. Saran
3. Saran evaluasi program penemuan kasus (case detection rate) TB di
Puskesmas Pagelaran tahun 2020 adalah sebagai berikut.
1. Menyelenggaraan skrining TB secara berkala pada daerah kantung
TB, minimal sebanyak dua kali dalam satu tahun.
2. Mendistribusikan jumlah kader TB di setiap kelurahan secara
merata.
3. Mengoptimalkan tugas dan fungsi kader dalam program
pemberantasan dan pencegahan TB.
4. Mengkoordinasikan dengan RT setempat untuk mengedukasi
warganya tentang pemeriksaan TB.
5. Melakukan penyuluhan rutin TB dengan menggunakan berbagai
media promosi kesehatan yang menarik dan komunikatif sehingga
memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat yang
banyak belum mengetahui mengenai penyakit menular TB paru dan
pencegahannya.
DAFTAR PUSTAKA
InfoDatin.
InfoDatin.
Kemenkes RI. 2016. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Pusat
InfoDatin.
PAPDI. 2014. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Internal Publishing.
Kesehatan
WHO. 2015. Implementing The End TB Strategy: The Essentials. Geneva: WHO