oleh :
20089142114
2020
A. Pengertian
a) Pengertian Hygiene
Hygiene berasal dari Bahasa Yunani yang sehat. Jadi hygiene merupakan
suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis. Cara perawatan diri manusia untuk memelihara
kesehatan mereka disebut higiene perorangan.
Selain itu, personal hygiene atau kebersihan diri adalah upaya seseorang
dalam memelihara kebersihan dan kesehatan untuk memperoleh kesejahteraan
fisik dan psikologis (Kasiati & Rosmalawati, 2016)
Personal hygiene adalah suatu tindakan memelihara kebersihan dan
kesehatan kulit seseorang untuk awal dalam perlindungan terhadap organisme
( http://keperawatan.undip.ac.ic.id.diakses pada 18-10-2020 jam 20.00).
sehingga personal hygiene merupakan suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan untuk perlindungan dan kesejahteraan fisik maupun
psikologis.
b) Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal
yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri merupakan kondisi berupa
perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri
berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya (Kasiati & Rosmalawati, 2016).
Nyeri adalah rasa tidak menyenangkan, umumnya karena adanya
perlukaan dalam tubuh, walaupun tidak sebatas itu. Nyeri dapat juga dianggap
sebagai racun dalam tubuh, karena nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan
jaringan atau saraf akan mengeluarkan berbagai mediator seperti H+, K+,
ATP, prostaglandin, bradikinin, serotonin, substansia P, histamin dan sitokain.
Mediator kimiawi inilah yang menyebabkan rasa tidak nyaman dan karenanya
mediator-meditor ini disebut sebagai mediator nyeri (Suwondo, Meliala, &
Sudadi, 2017).
Setiap nyeri hebat jika tidak dikelola dengan baik akan mengubah fungsi
otak kita, sehingga jika lebih dari 3 hari berturut-turut nyeri dibiarkan tanpa
terapi, perlahanlahan proses ini akan menyebabkan gangguan tidur, tidak
dapat berkonsentrasi, depresi, cemas, dan nafsu makan menurun, bahkan jika
berlanjut akan menyebabkan penurunan fungsi imunitas.
B. Fisiologi Nyeri
Terjadinya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf
sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin, yang
tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada vicera, persendian, dinding
arteri, hati dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat
adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi
seperti bradikinin, histamin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang
dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi.
Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis (Kasiati &
Rosmalawati, 2016).
C. Patofisiologi Nyeri
Pada patofisiologi nyeri terdapat 5 proses elektrofisiologik yang terjadi yaitu
transduksi, konduksi, transmisi
a) Transduksi
Proses transduksi diartikan sebagai proses dimana suatu rangsang
noksius (mekanis, thermal atau kimiawi) diubah menjadi aktifitas listrik
pada nosiseptor yang terletak pada ujung-ujung saraf dari serabut C atau
serabut Aß. Nociceptor-nociceptor tersebut tersebar diseluruh tubuh kita
utamanya pada kulit, otot, tulang, jaringan ikat, sendi maupun pada organ-
organ viseral. Aktifasi suatu nosiseptor dimulai dengan depolarisasi ion Ca+
+, yang segera akan diikuti dengan masuknya ion Na+ kedalam sel
menghasilkan potensi aksi. Inilah awal dari perambatan suatu nosisepsi.
Kerusakan sel pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum
menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam
arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam
arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2),
Prostaglandin G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion
H+ dan K+ intrasel memegang peranan penting sebagai aktivator nosiseptor
perifer. Ketiganya juga mengawali terjadinya respon inflamasi dan
sensitisasi perifer yang menyebabkan edema dan nyeri pada tempat yang
rusak. Sebenarnya prostaglanding selain penting pada proses inflamasi juga
mengsensitisasi nociceptor sehingga lebih peka menyababkan nilai ambang
nyeri menurun dan mudah teraktivasi hanya dengan rangsang yang lemah.
Semakin banyak prostaglanding yang terbentuk semakin sensitif nosiseptor
tersebut dan nyeri semakin meningkat. Inilah dasar pemberian obat-obat anti
inflamasi nonsteroid pada penderita yang mengalami perlukaan atau
inflamasi.
b) Konduksi
Konduksi mengacu pada perambatan aksi potensial dari ujung
nosiseptif perifer (nosiseftor) melalui serabut saraf bermielin dan tidak
bermielin. Ujung sentral serabut saraf ini membentuk sinap yang
berhubungan dengan sel second-order neuron di dalam medula spinalis.
Serabut saraf nosiseptif dan non noksious dikelompokkan berdasarkan ada
atau tidaknya mielin, diameter dan kecepatan konduksi. Sekitar 60-70% dari
total sel di ganglion radiks dorsalis medula spinalis adalah neuron dengan
badan sel kecil. Sel saraf dikelilingi oleh sel satelit dan sekitarnya terdapat
sel Schwann. Ukuran badan sel sangat bervariasi dan dendrit adalah serabut
saraf yang membawa impuls meninggalkan neuron. Kelainan neurologis
jarang ditemukan pada dendrit, tetapi sering melibatkan akson. Akson bisa
sangat panjang dan mencapai lebih dari satu meter, dan mampu
menghantarkan impuls dengan kecepatan hingga 100 meter per detik.
Kebanyakan akson dapat terlihat dengan mata biasa. Akson dibungkus oleh
suatu perekat dari campuran lemak dan protein yang disebut mielin yang
dapat meningkatkan kecepatan penghantaran impuls saraf yang berjalan
sepanjang akson.
c) Transmisi
Transmisi mengacu pada transfer rangsang noksious dari nosiseptor
primer menuju sel dalam kornu dorsalis medula spinalis. Saraf sensorik
aferen primer dikelompokan menurut karakteristik anatomi dan
elektrofisiologi. Serabut Aδ dan serabut C merupakan akson neuron unipolar
dengan proyeksi ke distal yang dikenal sebagai ujung nosiseptif. Ujung
proksimal serabut saraf ini masuk ke dalam kornu dorsalis medula spinalis
dan bersinap dengan sel second-order neuron yang terletak dalam lamina II
(substansi gelatinosa) dan dalam lamina V (nukleus proprius).
F. Pengkajian
1. Identitas
Mendapatkan data identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Pengkajian nyeri
Pengkajian pada masalah nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri,
kualitas dan waktu serangan. Pengakajian dapat dilakukan dengan cara
PQRST yaitu:
P (Pemicu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Hal ini berkaitan erat dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat mempengaruhi
peningkatan tahanan terhadap nyeri adalah alkohol, obat-obatan, hipnotis,
gesekan atau gasukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dan
sebagainya. Sedangkan faktor yang dapat menurunkan tahanan terhadap
nyeri adalah kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tak kunjung
hilang, sakit, dan lain-lain.
Q (Quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.
Contoh sensasi yang tajam adalah jarum suntik, luka potong kecil atau
laserasi, dan lain-lain. Sensasi tumpul, seperti ngilu, linu, dan lain-lain.
Anjurkan pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui ; nyeri kepala :
ada yang membentur.
R (Region), daerah perjalanan nyeri. Untuk mengetahui lokasi nyeri,
perawat meminta utnuk menunjukkan semua daerah yang dirasa tidak
nyaman. Untuk melokalisasi nyeri dengan baik dengan lebih spesifik,
perawat kemudian meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik
yang paling nyeri. Hal ini sulit dilakukan apabila nyeri bersifat difusi
(nyeri menyebar kesegala arah), meliputi beberapa tempat atau
melibatkan segmen terbesar tubuh.
S (Severity) adalah keparahan atau intensitas nyeri. Karakteristik paling
subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai
yang ringan, sedang atau parah. Namun makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit
untuk dipastikan. Untuk melihat skala nyeri dapat menggunakan skala
numeric dan visual yaitu sebagai berikut:
a) Skala Numerik Nyeri
Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah di validasi . Berat
ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan
mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik, dari 0
hingga 10, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri,
sedangkan sepuluh (10) , suatu nyeri yang sangat hebat.
Keterangan :
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan
4-6 : nyeri sedang
7-9 : sangat nyeri, tetapi masih bias dikontrol
10 : sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol
b) Skala wajah
Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda ,
menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, juga digunakan
untuk "mengekspresikan" rasa nyeri. Skala ini dapat dipergunakan
mulai anak usia 3 (tiga) tahun.
T (Time) adalah waktu atau lama serangan atau frekuensi nyeri. Perawat
mengajukan pertanyaan utnuk menentukan awitan, durasi dan rangsangan
nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan? Sudah berapa lama nyeri yang
dirasakan? Apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama
setiap hari? Seberapa sering nyeri kembali kambuh?
(NANDA, 2015)
DAFTAR PUSTAKA