Anda di halaman 1dari 99

PENGARUH EKSTRAK ETANOL BIJI MAHONI (Swietenia

mahagoni (L.,) Jacq) TERHADAP PERKEMBANGAN SEL


EPITEL PADA KELENJAR PAYUDARA TIKUS YANG
TELAH DIOVARIEKTOMI

SKRIPSI

OLEH:
ROBBANI SYAH FITRI ANGKAT
NIM 141501094

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGARUH EKSTRAK ETANOL BIJI MAHONI (Swietenia
mahagoni (L.,) Jacq) TERHADAP PERKEMBANGAN SEL
EPITEL PADA KELENJAR PAYUDARA TIKUS YANG
TELAH DIOVARIEKTOMI

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:
ROBBANI SYAH FITRI ANGKAT
NIM 141501094

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim,

Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Etanol

Biji Mahoni (Swietenia mahagoni (L.,) Jacq) Terhadap Perkembangan Sel Epitel

Pada Kelenjar Payudara Tikus Yang Telah Diovariektomi” sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr.

Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt. selaku pembimbing yang telah

memberikan waktu, dan membimbing dengan penuh kesabaran, tulus, ikhlas, serta

nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Ucapan

terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. dan

Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran, arahan, kritik dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian

skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dra. Sudarmi,

M.Si., Apt. selaku penasehat akademik yang telah memberikan arahan dan

bimbingan kepada penulis selama ini, terima kasih juga kepada Bapak Denny

Satria, M.Si., Apt., serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa

perkuliahan.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya yang

tak terhingga dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua, Ayahanda

Djamatun Angkat dan Ibunda Tanna Tumangger dan juga kepada Abangda

Romansyah Angkat, Rudiansyah Angkat dan Abangda tercinta Amir Khan serta

Kakak tercinta Ramadiana Angkat dan Rahmayani Siti Fatimah Angkat yang tak

pernah berhenti memberi doa, kasih sayang, perhatian, dan semangat yang tidak

terhingga kepada penulis demi kelancaran dan kesuksesan dalam penelitian

hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada sahabat-sahabat Nadia, Nikmatul, Oca, Sindy, sahabat Grup AR3 dan

teman-teman mahasiswa/i Farmasi Stambuk 2014 yang selalu memberikan doa

dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyaadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan,

oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis bersedia menerima kritik

dan saran yang membangun pada skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga

skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, 7 Oktober 2019


Penulis,

Robbani Syah Fitri Angkat


NIM141501094

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Robbani Syah Fitri Angkat

Nomor Induk Mahasiswa : 141501094

Program Studi : Sarjana Farmasi

Judul Skripsi : Pengaruh Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia


mahagoni (L.,) Jacq) Terhadap Perkembangan Sel
Epitel Pada Kelenjar Payudara Tikus Yang Telah
Diovariektomi

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah asli karya

sendiri dan bukan plagiat. Apabila di kemudian hari diketahui skripsi saya

tersebut terbukti plagiat karena kesalahan sendiri, maka saya bersedia diberi

sanksi apapun oleh Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya

tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat.

Medan, 7 Oktober 2019


Yang membuat pernyataan,

Robbani Syah Fitri Angkat


NIM 141501094

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH EKSTRAK ETANOL BIJI MAHONI (Swietenia mahagoni
(L.,) Jacq) TERHADAP PERKEMBANGAN SEL EPITEL PADA
KELENJAR PAYUDARA TIKUS YANG TELAH DIOVARIEKTOMI

ABSTRAK

Latar Belakang: Hormon estrogen berperan penting dalam pertumbuhan dan


perkembangan sel epitel kelenjar payudara. Terapi penanganan defisiensi estrogen
dengan Hormon Replacement Therapy (HRT) memiliki risiko besar terhadap
terjadinya kanker. Alternatif penangan lain yang relatif lebih aman yakni terapi
dengan fitoestrogen. Senyawa fitoestrogen jika berinteraksi dengan reseptor
estrogen (ER) mampu meningkatkan ekspresi Ki-67 sehingga memicu terjadinya
proliferasi sel epitel kelenjar payudara tikus yang diovariektomi.
Tujuan: Untuk mengetahui efek estrogenik ekstrak etanol biji mahoni (EEBM)
terhadap perkembangan sel epitel kelenjar payudara tikus yang diovariektomi.
Metode: Uji efek estrogenik perkembangan sel epitel payudara tikus yang
diovariektomi dilakukan dengan metode Imunohistokimia. Metode ini dilakukan
dengan menghitung skor ekspresi Ki-67 dan menghitung skor intensitas warna
dari ekspresi Ki-67 terhadap sel epitel kelenjar payudara tikus yang
diovariektomi. Pengujian efek estrogenik dilakukan pada 30 ekor tikus betina
yang dibagi dalam 6 kelompok yaitu kelompok normal, CMC Na 0,5%, 17-β
estradiol valerate (0,18 mg/kg bb), EEBM 50 mg mg/kg bb, EEBM 100 mg/kg bb,
dan EEBM 200 mg/kg bb. Diberikan secara per oral 14 hari berturut-turut. Data
hasil pengujian dilakukan analisis ANAVA kemudian dilakukan uji Post Hoc
Tukey HSD untuk melihat perbedaan antar perlakuan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian EEBM dengan dosis 50
mg/kg bb, 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb memberikan skor ekspresi Ki-67 dan
intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok estradiol
valerate. Hal ini menunjukkan bahwa EEBM 50 mg/kg bb, EEBM 100 mg/kg bb,
dan EEBM 200 mg/kg bb memiliki efek fitoestrogen terhadap perkembangan sel
epitel kelenjar payudara tikus yang telah diovariektomi.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa EEBM
mempunyai efek dalam peningkatan sel epitel kelenjar payudara tikus yang telah
diovariektomi.

Kata kunci: Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Switenia mahagoni (L.,) Jacq), Ekspresi
Ki-67

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT SEEDS OF MAHOGANY
(Swietenia mahagoni (L,,) Jacq) ON THE DEVELOPMENT OF BREAST
GLAND EPITHELIAL CELLSON THE RATS HAVE
OVARIECTOMIZED

ABSTRACT

Background: The estrogen hormone plays an important role in the growth and
proliferation of breast glandular epithelial cells. Treatment of estrogen deficiency
therapy with Hormone Replacement Therapy (HRT) has a great risk of cancer.
Other alternative the therapy for estrogen deficiency is using with phytoestrogens.
Phytoestrogen compounds when interacting with estrogen receptors (ER) can
increase cell proliferation of breast glandular epithelial.
Objective: To determine the effect of mahoni seeds ethanol extract (MSEE) on
the Proliferation of ovariectomized mammary gland epithelial cells.
Method: The estrogenic effect on proliferation of breast gland epithelical cells of
a ovariectomized rats was prepared by imunohistocemistry using Ki-67 protein to
found out the scores of expresions and color intensity. Then the study of
estrogenic effects was carried out on 30 female rats which were divided into 6
groups: normal group, 0.5% CMC Na, 17-beta estradiol valerate (0.18 mg/kg bw),
MSEE 50 mg mg/kg bw, MSEE 100 mg/kg bw, and MSEE 200 mg/kg bw were
given orally for 14 consecutive. Data from the results were analysed using
ANOVA then continued with Tukey HSD Post Hoc test to see the differences
between the treatments.
Results: The results of the study showed that MSEE doses 50 mg/kg bw, 100
mg/kg bw and 200 mg/kg bw gave a score of Ki-67 expression and a higher color
intensity compared to the estradiol valerate group. This showed that MSEE 50
mg/kg bw, MSEE 100 mg/kg bw, and MSEE 200 mg/kg bw have phytoestrogen
effect on the proliferation of ovariectomized rats breast epithelial cells.
Conclusion: Based on the results of the study it can be concluded that MSEE has
an effect in increasing ovariectomy breast glandular epithelial cells in rats.

Keywords: Ethanol extracts Mahogany seeds (Switenia mahogany (L.,) Jacq), The
expression of Ki-67.

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN....................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah..................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ...................................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
1.5 Manfaat Penelitian....................................................................................... 4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7
2.1 Uraian Tumbuhan ....................................................................................... 7
2.1.1 Sistematika tumbuhan ................................................................................. 8
2.1.2 Kandungan kimia ........................................................................................ 8
2.1.3 Manfaat ........................................................................................................ 9
2.2 Sistem Reproduksi Tikus ............................................................................ 9
2.3 Kelenjar Mammae ..................................................................................... 10
2.4 Post Menstrual (Menopause) ..................................................................... 11
2.4.1 Proses terjadinya menopause .................................................................... 11
2.4.2 Fase klimakterium ..................................................................................... 12
2.4.3 Patofisiologi menopause ........................................................................... 14
2.4.4 Manifestasi klinik menopause ................................................................... 15
2.4.5 Penyebab menopause ................................................................................ 15
2.4.6 Perubahan fisik pada menopause .............................................................. 16
2.5 Resiko Terapi Hormon .............................................................................. 17
2.6 Pertimbangan Terapi ................................................................................. 17
2.6.1 Keuntungan terapi pengganti hormon ....................................................... 17
2.7 Estrogen dan Fitoestrogen ......................................................................... 18
2.7.1 Metabolisme fitoestrogen .......................................................................... 22
2.7.2 Mekanisme kerja fitoestrogen ................................................................... 25
2.8 Kondisi Hormon EstrogenWanita Premenopause ..................................... 27
2.9 Immunohistokimia .................................................................................... 29
2.9.1 Protein Ki-67 ............................................................................................. 30
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 31
3.1 Alat dan Bahan ......................................................................................... 31
3.1.1 Alat ........................................................................................................... 31
3.1.2 Bahan ........................................................................................................ 32
3.2 Prosedur Pembuatan Simplisia .................................................................. 32

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.2.1 Pengumpulan sampel ................................................................................. 32
3.2.2 Identifikasi sampel .................................................................................... 32
3.2.3 Pengelolaan sampel ................................................................................... 32
3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Biji Mahoni .................................... 33
3.3.1 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik ............................................. 33
3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik ......................................................................... 33
3.3.3 Penetapan kadar air ................................................................................... 33
3.3.4 Penetapan sari larut dalam air ................................................................... 34
3.3.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol .................................................... 34
3.3.6 Penetapan kadar abu total .......................................................................... 35
3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam............................................. 35
3.4 Skrining Fitokimia Simplisia Biji Mahoni ................................................ 35
3.4.1 Pemeriksaan alkaloid................................................................................. 35
3.4.2 Pemeriksaan flavonoid .............................................................................. 36
3.4.3 Pemeriksaan glikosida ............................................................................... 36
3.4.4 Pemeriksaan saponin ................................................................................. 37
3.4.5 Pemeriksaan tanin ..................................................................................... 37
3.4.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ............................................................... 37
3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Mahoni .................................................... 37
3.6 Karakterisasi Ekstrak Etanol Biji Mahoni (EEBM) .................................. 38
3.7 Skrining Fitokimia EEBM ........................................................................ 38
3.8 Pembuatan Suspensi Bahan Uji................................................................. 39
3.8.1 Pembuatan suspensi CMC Na 0,5% .......................................................... 39
3.8.2 Pembuatan suspensi 17-β estradiol valerate .............................................. 39
3.8.2.1 Penetapan dosis 17-β estradiol valerate .................................................... 39
3.8.3 Pembuatan suspensi EEBM ...................................................................... 40
3.9 Penyiapan Hewan Percobaan .................................................................... 40
3.10 Pengujian Pengaruh EEBM terhadap Sel Epitel Payudara Tikus ............. 41
3.10.1 Operasi ovariektomi tikus ......................................................................... 41
3.10.2 Pemberian suspensi secara oral ................................................................. 41
3.10.3 Pembedahan serta pengamatan morfologi sel epitel payudara tikus ......... 42
3.10.4 Pengamatan histologi sel epitel payudara tikus......................................... 42
3.10.5 Pembuatan preparat blok paraffin ............................................................. 43
3.10.6 Pengujian ekspresi Ki-67 dengan metode IHC ......................................... 43
3.10.7 Perhitungan intensitas warna ekspresi Ki-67 ............................................ 44
3.11 Analisis Data ............................................................................................. 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 46
4.1 Hasil dan Identifikasi Tumbuhan ............................................................. 46
4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia .................................................................... 46
4.3 Hasil Skrining Fitokimia ........................................................................... 46
4.4 Hasil Uji Ekspresi Ki-67 Sel Epitel Pada Kelenjar Mammae ................... 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 55
5.1 Kesimpulan................................................................................................ 55
5.2 Saran .......................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
LAMPIRAN .......................................................................................................... 61

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL

4.1 Hasil karakterisasi simplisia biji mahoni .................................................. 46


4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia biji mahoni .......................................... 47
4.3 Perhitungan skor ekspresi Ki-67 sel epitel payudara ................................ 50
4.4 Perhitungan skor intensitas warna ekspresi Ki-67 sel epitel payudara ..... 53

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR

1.1 Skema kerangka pikir penelitian ................................................................. 6


2.1 Fase klimaktrium ....................................................................................... 14
2.2 Struktur hormon endogen estrogen .......................................................... 19
2.3 Mekanisme sintesis hormon estrogen ....................................................... 20
2.4 Struktur hormon endogen estrogen dan struktur isoflavon ....................... 21
2.5 Klasifikasi fitoestrogen ............................................................................. 23
2.6 Struktur senyawa genistein dan diadzein ................................................. 24
2.7 Mekanisme kerja fitoestrogen ................................................................... 27
3.1 Gambar allred scoring ............................................................................. 44
4.1 Gambaran mikroskop Ki-67 terhadap sel epitel kelenjar mammae .......... 49
4.2 Grafik rata-rata skor ekspresi Ki-67 sel epitel kelenjar mammae ............. 51
4.3 Grafik rata-rata skor intensitas warna ekspresi Ki-67 .............................. 53

xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat hasil identifikasi tumbuhan .............................................................. 61


2. Surat ethical clearance ............................................................................... 62
3. Karakteristik tumbuhan biji mahoni .......................................................... 63
4. Perhitungan karakterisasi ekstrak etanol biji mahoni ................................ 64
5. Bagan alur penelitian ................................................................................. 67
6. Gambar alat ............................................................................................... 71
7. Gambar hewan percobaan ......................................................................... 72
8. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dan manusia .............................. 73
9. Contoh perhitungan dosis .......................................................................... 74
10. Perhitungan skor ekspresi Ki-67 ............................................................... 76
11. Perhitungan intensitas warna ekspresi Ki-67 ............................................ 77
12. Hasil analisis data statistik ekspresi Ki-67 ................................................ 78
13. Hasil analisis data statistik intensitas warna ekspresi Ki-67 ..................... 83

xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecantikan dan kesuburan adalah dua hal utama yang dianggap penting

dalam kehidupan wanita. Tubuh wanita dipengaruhi oleh keberadaan hormon

estrogen yang sangat berperan dalam keberlangsungan fungsi fisiologis wanita

yaitu mulai dari mengatur siklus menstruasi dan reproduksi hingga berperan

dalam modulasi kepadatan tulang dan transport kolesterol (Jordan, 2004).

Estrogen merupakan hormon kelamin utama pada wanita. Hormon ini

berperan dalam diferensiasi sel, jaringan reproduksi, perlindungan terhadap

osteoporosis, dan sebagai hormon kardioprotektif yang beraksi dengan

meningkatkan kadar HDL dan menurunkan LDL (Ikawati, 2008). Aksi biologi

hormon estrogen diperantarai oleh reseptor estrogen, yang termasuk dalam

golongan reseptor inti (Matthews dkk., 2003).

Kehilangan estrogen dalam jumlah besar berpengaruh besar terhadap

penurunan kualitas hidup wanita karena dapat mempengaruhi keindahan maupun

kesehatan payudara, dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan alat reproduksi

dan dapat menimbulkan gejala lainnya yang kurang menyenangkan pada wanita

menopause (Achadiat, 2003). Oleh karena itu diperlukan asupan estrogen dari luar

tubuh untuk tetap menjaga keberadaan dan fungsi estrogen dalam tubuh.

Penanganan yang biasa diberikan oleh kalangan medis adalah dengan

memberikan terapi hormon pengganti (Hormon Replacement Therapy/HRT) yang

secara efektif berperan dalam mengurangi ketidaknyamanan saat gejala

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menopause menimpa seorang wanita.Terapi penanganan defisiensi estrogen

dengan HRT memiliki resiko besar terhadap terjadinya kanker. Alternatif

penanganan lain yang relatif lebih aman yakni terapi dengan fitoestrogen

(Messina dkk., 2001).

Fitroestrogen termasuk isoflavon, lignin, dan senyawa steroida lain

ditemukan dalam tanaman maupun produk tanaman. Salah satu contoh

fitoestrogen adalah senyawa flavonoid yang banyak terdapat dalam tumbuh-

tumbuhan (Achadiat, 2007). Salah satu tanaman yang mengandung flavonoid

adalah Mahoni (Swietenia mahagoni (L.,) Jacq.). Kandungan senyawa kimia biji

mahoni di antaranya flavonoid, saponin, alkaloid, steroid/ triterpenoid, dan tanin

(Syamsuhidayat dkk., 1991). Senyawa-senyawa tersebut dapat berikatan dengan

reseptor estrogen dan diduga menghasilkan efek estrogenik melalui mekanisme

yang serupa dengan estradiol (Syamsuhidayat dkk., 1991).

Telah dilakukan beberapa penelitian terhadap biji mahoni. Penelitian pada

batang mahoni yang diekstraksi dengan etanol terbukti sebagai antimalaria

Plasmodium falciparum, klon D6 danW2 yang diuji secara in vitro (McKinon dkk.,

1997). Ekstrak n-heksan kulit batang mahoni mengandung triterpenoid dan

menunjukkan nilai LC50 dengan uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) sebesar

3,73 µg/ml, sehingga spesies ini sangat berpotensi sebagai obat (Sukardiman,

2000). Biji mahoni terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escheria

coli dan bakteri Subtilis (Hartati, 2002). Shahidur dkk., (2009) melaporkan bahwa

ekstrak methanol biji Swietenia mahagoni mengandung dua jenis senyawa yang

disebut limonoid, yaitu swietenolid dan 2 hidroksi-3-tigloilswietenolid dan

memiliki aktifitas sebagai antibakteri.

2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Penelitian yang dilakukan Kurniawati (2010) menunjukkan bahwa biji

mahoni dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih 71,30 mg/dl,

diduga biji mahoni mengandung senyawa yang dapat mempengaruhi hormon

insulin. Penurunan kadar glukosa darah diduga karena senyawa aktif ekstrak

etanol biji mahoni seperti flavonoid dan saponin yang bersifat hipoglikemi.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti menduga bahwa ekstrak biji mahoni

mampu mempengaruhi hormon estrogen. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan

untuk menguji efek ekstrak etanol biji mahoni terhadap proliferasi sel epitel

kelenjar payudara tikus betina yang telah diovariektomi untuk melihat pengaruh

ekstrak tersebut terhadap efek hormon estrogen pada tikus betina.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. apakah ekstrak etanol biji mahoni (EEBM) meningkatkan sel epitel kelenjar

payudara tikus yang telah diovariektomi?

b. apakah ada perbedaan efek estrogenik antara ekstrak etanol biji mahoni

(EEBM) dengan 17-beta estradiol terhadap sel epitel kelenjar payudara tikus

yang telah diovariektomi

3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. EEBM dapat meningkatkan sel epitel kelenjar payudara tikus yang telah

diovariektomi

b. tidak ada perbedaan efek estrogenik sel epitel kelenjar payudara antara EEBM

dengan 17-beta estradiol valerate pada tikus yang telah diovariektomi.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan hipotesis di atas, maka tujuan

penelitian ini untuk:

a. mengetahui efek EEBM terhadap peningkatan sel epitel kelenjar payudara

tikus yang telah diovariektomi.

b. mengetahui dosis efektif untuk efek estrogenik sel epitel kelenjar payudara dari

ekstrak etanol biji mahoni menggunakan 17-beta estradiol valerate sebagai

pembanding.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan hipotesis dan tujuan penelitian di atas, maka manfaat

penelitian adalah:

a. memberi informasi kepada masyarakat tentang pengaruh EEBM terhadap

peningkatan sel epitel kelenjar payudara.

b. menambah inventaris tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai efek estrogenik

terhadap sel epitel kelenjar payudara.

4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini menggunakan tikus betina putih yang berumur 8 minggu

dengan berat badan 190-200 g sebanyak 30 ekor. Tikus diaklimatisasi selama 1

minggu untuk menyesuaikan dengan lingkungannya, kemudian dilakukan

ovariektomi yaitu pembedahan dengan pengangkatan pada kedua ovarium.

Penelitian ini memiliki 2 variabel, yaitu variabel bebas dan variabel

terikat.Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat, yang

menjadi variabel bebas dalam penelitian ini yaitu Ekstrak Etanol Biji Mahoni 50,

100, dan 200 mg/kg bb serta waktu pengamatan. Suspensi CMC Na 0,5%

digunakan sebagai kelompok kontrol yang diketahui tidak memiliki efek

estrogenik terhadap sel kelenjar epitel payudara dan juga sebagai zat pensuspensi

untuk membuat suspensi ekstrak etanol biji mahoni dan 17-beta estradiol valerate

yang tidak larut dalam air. 17-beta estradiol valerate 2 mg/hari digunakan sebagai

kelompok pembanding. Sehingga dalam penelitian ini, suspensi CMC Na 0,5%

dan 17-beta estradiol valerate 2 mg/hari tidak termasuk kedalam variabel bebas.

Sedangkan yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah sel

epitel dan ekspresi KI-67 akibat adanya pengaruh dari variabel bebas. Untuk lebih

jelasnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Tikus EEBM 50 mg/kg bb


Tidak
Diovarie EEBM 100 mg/kg bb
ktomi
EEBM 200 mg/kg bb
Normal

Tikus Tikus Jumlah Sel Ekspresi


Diovariektomi Menopause Epitel Protein
Ki-67
CMC Na 0,5%

17-Beta
Estradiol
Vakerate
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian uji efek estrogenik EEBM terhadap tikus
yang telah diovariektomi.

6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Di Indonesia mahoni disebut dengan mahagoni, maoni atau moni

(Prasetyono, 2012). Di Bengali dinamakan (bara mahauni, bara-mahagoni,

mahagni), di Belanda dinamakan (mahoni, mahok), di Jerman dinamakan (Echtes

mahagoni), di Italia dinamakan (mogano), di Malaysia dinamakan (Cheria

mahogany), di Portugis dinamakan (mogno) dan biasa dikenal dengan nama

mahogany (Orwa dkk., 2009).

Tanaman mahoni merupakan pohon penghasil kayu keras yang biasanya

dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk dibuat perabot rumah tangga serta

barang ukiran. Pohon mahoni dapat tumbuh liar di hutan jati atau tempat-tempat

lain yang dekat dengan pantai dan biasanya ditanam di pinggir jalan sebagai

pohon pelindung (Prasetyono, 2012). Tanaman ini berasal dari Hindia Barat dapat

tumbuh subur bila ditanam di pasir payau dekat dengan pantai. Pohon tahunan ini

memiliki tinggi 5-25 m, memiliki akar tunggang, berbatang bulat, banyak cabang

dan kayunya bergetah. Daun pohon mahoni termasuk daun majemuk menyirip

genap, helaian daun berbentuk bulat telur, ujung dan pangkalnya runcing, tepi

daun rata, bentuk tulang daun menyirip yang dapat mencapai panjang 3-15 cm

(Prasetyono, 2012).

Daun yang masih muda akan berwarna merah dan lama-kelamaan akan

berwarna hijau. Bunga mahoni termasuk bunga majemuk yang tersusun dalam

karangan dan keluar dari ketiak daun. Ibu tangkai bunga berbentuk silindris dan

berwarna coklat muda, kelopak bunga lepas satu sama lain, bentuknya seperti

7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sendok dan berwarna hijau. Buah dari mahoni berbentuk kotak, bulat telur,

berlekuk lima dan berwarna coklat. Sedangkan bijinya berbentuk pipih dan

berwarna hitam atau coklat (Prasetyono, 2012).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Biji mahoni (Switenia mahagoni (L.,) Jacq.) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Sapindales

Famili : Meliaceae

Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia mahagoni (L.,) Jacq.

Nama Lokal : Mahoni

2.1.2 Kandungan kimia

Kandungan kimia dari tanaman mahoni yaitu saponin dan flavonoida

(Prasetyono, 2012). Penelitian Mursiti (2004) menyimpulkan adanya senyawa

alkaloid 3,6,7-trimetoksi-4-metil-1,2,3,4-tetrahidro-isoquinolin dalam ekstrak

metanol-asam asetat dari biji mahoni bebas minyak. Sedangkan penelitian Mursiti

(2013) menyimpulkan bahwa isolasi senyawa alkaloid dari biji mahoni dapat

dilakukan dengan menggunakan metanol-larutan asam nitrat. Senyawa alkaloid

dari biji mahoni ekstrak metanol-larutan asam nitrat yang diperoleh diperkirakan

adalah 3,4,5-trietil-6-metoksi-2-metil-1,2-dihidropiridin.

Pada penelitian Falah dkk., (2008) dalam biji mahoni banyak mengandung

tetranortriterpenoid atau limonoid, swietenolid, 8,30-epoxyswieterin asetat,

8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
swietenolid diasetat, augustinolid, dan 3β,6-dihidroksidihidrocarapin. Isolasi dan

identifikasi telah dilaporkan bahwa dalam biji mahoni diketahui adanya

kandungan triterpenoid.

2.1.3 Manfaat

Tanaman mahoni (Switenia mahagoni (L.,) Jacq.) telah digunakan di Asia

dan banyak negara lain untuk mengobati berbagai macam penyakit diantaranya

dapat digunakan sebagai antimikroba, anti-inflamasi, efek antioksidan,

antimutagenik, antikanker, antitumor, dan antidiabetes. Hampir semua bagian

tanaman dari tanaman mahoni dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk

mengobati berbagai macam penyakit pada manusia. Buah dari tanaman mahoni

ini telah digunakan secara komersial sebagai produk untuk perawatan kesehatan,

memperlancar sirkulasi darah dan perawatan kulit. Biji dari tanaman mahoni

dapat digunakan secara signifikan untuk pengobatan. Di Malaysia biji mahoni

telah digunakan secara tradisional untuk mengobati hipertensi, diabetes, dan

sebagai anti-inflamasi. Di Indonesia biji mahoni telah digunakan sebagai obat

tradisional untuk pengobatan diabetes, hipertensi, dan malaria (Moghadamtousi

dkk., 2013).

2.2 Sistem Reproduksi Tikus

Tikus putih sering digunakan sebagai model penelitian karena mudah

diberikan perlakuan dan karena ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan

mencit sehingga lebih mudah dipegang. Pada umur dua bulan, tikus dapat

mencapai berat 200-300 gram (Farris dkk., 1971). Selain itu tikus juga memiliki

daya adaptasi yang baik. Kelebihan lain dari tikus dalam dunia penelitian yaitu

9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penanganan dan pemeliharaannya mudah, umur relatif pendek, sifat reproduksi

menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran tinggi,

interval antara generasi siklus estrus pendek, dan karakteristik setiap fase siklus

jelas (Smith dkk., 1988).

Sistem reproduksi betina terdiri dari dua ovarium dan saluran reproduksi

yang terdiri dari oviduk, uterus, serviks, dan vagina. Pada tikus, terdapat ostium

yang membentuk kapsul disebut bursa ovarium yang menyelubungi ovarium.

Oviduk tikus berbentuk kecil dan menggulung. Uterus terdiri dari dua koruna

yang terpisah sehingga pada tikus dapat terjadi kebuntingan multipel. Vagina

tikus terbuka secara langsung ke eksterior (Kent dkk., 2001).

2.3 Kelenjar Mammae

Payudara (mammae) terdapat dalam fasia superfisialis dinding toraks

ventral yang terdiri dari payudara kanan dan payudara kiri dan berisi glandula

mammae. Pada bagian mammae terdapat sebuah papilla, yang dikeliling oleh

bagian kulit lebih gelap yang disebut areola. Payudara berisi 20 saluran glandula

mammae yang masing masing memiliki saluran dalam bentuk duktus laktiferus

dan bermuara pada papilla mammae (Moore dkk., 2002).

Pada glandula mammae terdapat lobus yang dibentuk oleh lobulus-lobulus

yang masing-masing terdiri dari 10−110 asinus. Lobulus-lobulus ini merupakan

struktur dasar glandula mammae. Payudara wanita berbentuk mendekati lingkaran

yang pada arah kraniokaudal terbentang antara costae II sampai costae VI dan

pada arah melintang terbentang 8 dari tepi lateral sternum sampai linea

medioclavicularis (Moore dkk., 2002).

10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.4 Post Menstrual (Menopause)

2.4.1 Proses terjadinya menopause

Post menstrual atau menopause merupakan proses alamiah yang

akandialami oleh setiap wanita. Pada masa ini, wanita mengalami defisiensi

hormon estrogen yang memiliki peranan dalam regulasi reproduksi, modulasi

kepadatan tulang, transport kolesterol serta stimulasi proliferasi sel epitel kelenjar

payudara (Jordan, 2004). Kekurangan hormon estrogen menimbulkan berbagai

gangguan fungsi fisiologis seperti osteoporosis dan penyakit kardiovaskular

seperti hiperkolesterolemia (Kenny, 2000).

Menurut Prawirohardjo (2008), menopause merupakan suatu akhir proses

biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan hormon estrogen

yang dihasilkan ovarium. Menopause mulai pada umur yang berbeda umumnya

adalah sekitar umur 50 tahun. Menopause adalah haid terakhir, atau saat

terjadinya haid terakhir. Diagnosis menopause dibuat setelah terdapat amenorea

sekurang-kurangnya satu tahun. Berhentinya haid dapat didahului oleh siklus haid

yang lebih panjang, dengan perdarahan yang berkurang (Sastrawinata, 2004). Dari

beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menopause merupakan

berhentinya menstruasi yang permanen, sekurang-kurangnya satu tahun.

Substitusi estrogen dari luar tubuh dengan HRT (Hormon Replacement

Therapy) merupakan upaya yang telah banyak dilakukan. Namun, HRT dapat

menimbulkan cacat fisik, perdarahan, ketergantungan serta risiko kanker payudara

(Beral, 2003). Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif yang aman dan murah

sebagai pengganti HRT, salah satunya adalah dengan fitoestrogen. Fitoestrogen

11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merupakan senyawa pada tumbuhan yang memiliki aktivitas estrogenik sehingga

dapat menggantikan fungsi estrogen (Yildiz, 2005).

2.4.2 Fase klimakterium

Menurut Sastrawinata (2004), klimakterium merupakan masa peralihan

antara masa reproduksi dan masa senium. Bagian klimakterium sebelum

menopause disebut pramenopause dan bagian sesudah menopause disebut

pascamenopause (Gambar 2.1). Klimakterium bukan suatu keadaan patologik,

melainkan suatu masa peralihan yang normal. Fase Klimakterium terbagi dalam

beberapa fase:

a. Pramenopause

Pramenopause yaitu masa 4-5 tahun sebelum menopause, sekitar usia 40

tahun dengan dimulainya siklus haid yang tidak teratur, memanjang, sedikit

atau banyak yang kadang-kadang disertai dengan rasa nyeri. Pada wanita

tertentu telah muncul keluhan vasomotorik atau keluhan sindroma prahaid.

Dari hasil analisis hormonal dapat ditemukan kadar FSH dan estrogen yang

tinggi atau normal. Kadar FSH yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya

stimulasi ovarium yang berlebihan sehingga kadang-kadang dijumpai kadar

estrogen yang sangat tinggi. Keluhan yang muncul pada fase pramenopause ini

ternyata dapat terjadi baik pada keadaan sistem hormon yang normal maupun

tinggi (Sastrawinata, 2004).

b. Menopause

Setelah memasuki usia menopause selalu ditemukan kadar FSH yang

tinggi (> 35 mIU/ml). Pada awal menopause kadar estrogen rendah. Pada

wanita gemuk kadar estrogen biasanya tinggi. Bila seorang wanita tidak haid

12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
selama 12 bulan dan dijumpai kadar FSH > 35 mIU/ml dan kadar estradiol <

30 pg/ml, maka wanita tersebut dapat dikatakan telah mengalami menopause

(Sastrawinata, 2004).

c. Pascamenopause

Pascamenopause yaitu masa 3-5 tahun setelah menopause. Pasca

menopause adalah masa setelah menopause sampai senium yang dimulai

setelah 12 bulan amenorea. Kadar FSH dan LH sangat tinggi (> 35 mIU/ml)

dan kadar estradiol yang rendah mengakibatkan endometrium menjadi atropi

sehingga haid tidak mungkin terjadi lagi. Namun, pada wanita yang gemuk

masih dapat ditemukan kadar estradiol yang tinggi. Hampir semua wanita

pasca menopause umumnya telah mengalami berbagai macam keluhan yang

diakibatkan oleh rendahnya kadar estrogen (Sastrawinata, 2004).

d. Senium

Senium yaitu masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai

keseimbangan baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan

vegetatif maupun psikis.

Gambar 2.1 Fase klimaktrium (Sastrawinata, 2004).

13
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.4.3 Patofisiologi menopause

Proses hipotalamus-pituitari-ovarium mengatur fisiologi reproduksi

selama masa reproduktif. Hormon penstimulasi folikel (follicle stimulating

hormone, FSH) dan luteinizing hormone (LH), diproduksi di pituitary sebagai

respons kepada hormon pelepas gonadotropin (gonadotropin releasing hormone,

GnRH) dari hipotalamus mengatur fungsi ovarium. Genadotropin juga

dipengaruhi oleh umpan balik negatif dari estradiol steroid seks (diproduksi oleh

folikel yang dominan) dan progesteron (diproduksi oleh korpus luteum). Steroid

seks lain adalah androgen, banyak testosteron, dan androstenedion, dilepaskan

oleh stroma ovarium dan kelenjar adrenal (Sukandar, 2008).

Perubahan patofisiologi berkaitan dengan menopause diakibatkan

hilangnya aktivitas folikular ovarium. Ovarium pascamenopause tidak lagi

merupakan tempat utama sintesis estradiol atau progesteron (Sukandar, 2008).

Seiring bertambahnya umur seorang wanita, FSH yang bersirkulasi naik

secara progresif dan inhibisi ovarium berkurang. Menopause dikarakterisasi oleh

peningkatan 10 hingga 15 kali FSH yang bersirkulasi dibandingkan konsentrasi

fase folikular, peningkatan 4 hingga 5 kali LH, dan penurunan 90% estradiol

(Sukandar, 2008).

2.4.4 Manifestasi klinik menopause

Gejala vasomotor (seperti rasa panas di kulit dan keringat pada malam

hari) merupakan gejala jangka pendek yang umum dari berhentinya estrogen,

yang biasanya menghilang setelah 1-2 tahun kemudian berlanjut hingga 20 tahun.

Kekeringan pada vagina juga berkaitan langsung dengan ketidakcukupan

estrogen. Gejala lain termasuk perubahan mood, depresi, insomnia, migren,

14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kesemutan, nyeri sendi, nyeri otot, dan sering urinasi, disebabkan oleh

menopause, tetapi hubungan antara gejala-gejala ini dengan defisiensi estrogen

masih kontroversi. Penyakit jangka panjang yang berkaitan dengan menopause

meliputi kehilangan masa tulang yang cepat, esteoporosis dan penyakit

kardiovaskular (Sukandar, 2008).

2.4.5 Penyebab menopause

Penyebab menopause adalah “matinya” ovarium (burning out). Sepanjang

kehidupan seksual seorang wanita, kira-kira 400 folikel 17 primordial tumbuh

menjadi folikel matang dan berovulasi, dan beratus-ratus dari ribuan ovum

berdegenerasi. Pada usia sekitar 45 tahun, hanya tinggal beberapa folikel-folikel

primordial yang akan dirangsang oleh FSH dan LH, dan produksi estrogen dari

ovarium berkurang sewaktu jumlah folikel primordial mencapai nol. Ketika

produksi estrogen turun di bawah nilai kritis, estrogen tidak lagi menghambat

produksi gonadotropin FSH dan LH. Sebaliknya, gonadotropin FSH dan LH

(terutama FSH) diproduksi sesudah menopause dalam jumlah besar dan kontinu,

tetapi ketika folikel primordial yang tersisa menjadi atretik, produksi estrogen

oleh ovarium turun secara nyata menjadi nol (Guyton, 2011).

2.4.6 Perubahan fisik pada menopause

Beberapa keluhan fisik yang merupakan tanda dan gejala dari menopause :

a. Ketidakteraturan Siklus Haid

Setiap wanita akan mulai mengalami siklus haid yang tidak teratur,

dapat menjadi lebih panjang atau lebih pendek sampai akhirnya berhenti.

Terdapat perdarahan yang datangnya tidak teratur dalam rentang

beberapa bulan kemudian berhenti sama sekali (Baziad, 2003).

15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Gejolak Rasa Panas (hot flushes)

Sekitar 40% wanita mengeluh bahwa siklus haidnya tidak

teratur. Keadaan ini meningkat sampai 60% pada waktu 1-2 tahun

menjelang haid berhenti total atau menopause. Rasa panas ini sering

disertai dengan warna kemerahan pada kulit dan berkeringat (Kasdu,

2002).

c. Kekeringan Vagina

Kekeringan vagina terjadi karena leher rahim sedikit sekali

mensekresikan lendir. Penyebabnya adalah kekurangan estrogen yang

menyebabkan liang vagina menjadi lebih tipis, lebih kering dan

kurang elastis. Alat kelamin mulai mengerut, liang senggama kering

sehingga menimbulkan nyeri pada saat senggama, menahan kencing

terutama pada saat batuk, bersin, tertawa dan orgasme (Northrup,

2006).

d. Menurunnya gairah seks

Wanita mengalami penurunan kadar testosteron mereka selama

pra menopause ini dapat mengakibatkan hilangnya hasrat seksual.

Tetapi bagi sebagian wanita masalah libido terkait dengan kurangnya

hormon estrogen atau menipisnya jaringan vagina (Wijayanti, 2009).

2.5 Risiko Terapi Hormon

American Heart Association tidak menganjurkan terapi hormon pasca

menopause untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner. Percobaan WHI

(Women’s Health Initiative) menunjukkan peningkatan secara umum terhadap

risiko penyakit jantung koroner (paling terlihat dalam 1 tahun) pada wanita pasca

16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menopause normal berusia 50 hingga 79 tahun yang menjalani terapi estrogen-

progesteron dibanding placebo. Bagian estrogen tunggal WHI menunjukkan tidak

ada efek (baik peningkatan maupun penurunan) pada risiko penyakit jantung

koroner (Sukandar, 2008).

2.6 Pertimbangan Terapi

Terapi hormon dikontraindikasikan pada wanita dengan kanker

endometrium atau kanker payudara, pendarahan vaginal yang belum terdiagnosa,

tromboembolisme (termasuk adanya trombofilia), atau penyakit hati aktif.

Kontraindikasi relatif termasuk urine leiomyoma, migren, dan kelainan seizure.

Estrogen oral sebaiknya dihindari pada wanita dengan hipertrigliseridemia,

penyakit hati, dan penyakit kandung empedu. Untuk kasus ini, pemberian dengan

rute transdermal lebih aman. Sebelum pemberian terapi hormon, pengujian

sitologik servikal papanicolaou dan skrining mammografi negatif untuk tumor

diperlukan (Sukandar, 2008).

2.6.1 Keuntungan terapi pengganti Hormon

Keuntungan terapi pengganti hormon yaitu :

a. Meredakan Gejala Menopause

Kebanyakan wanita dengan gejala vasomotor memerlukan terapi

hormone selama kurang dari 5 tahun. Tanpa pengobatan, hot flushes

biasanya menghilang setelah 1 hingga 2 tahun. Umumnya dosis pada

terapi hormon dapat diturunkan dan dihentikan setelah sekitar 2 atau 3

tahun (Sukandar, 2008).

17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Estrogen lebih efektif daripada terapi lain dalam meredakan

symptom vasomotor, dan semua jenis dan rute pemberian sistemik sama

efektifnya pada kondisi bergantung dosis obat. Penghambat selektif

pengambilan kembali serotonin (selective serotonin reuptake inhibitor)

dan venlafaxin dipertimbangkan sebagai obat pilhan pertama untuk rasa

panas di kulit jika terapi hormon dikontra indikasikan. Progesteron

tunggal dapat menjadi pilhan pada wanita dengan sejarah kanker

payudara atau thrombosis vena, tetapi efek sampingnya membatasi

penggunannya (Sukandar, 2008).

Kekeringan vagina yang signifikan akibat atropi vaginal

memerlukan terapi estrogen lokal atau sistemik. Hal ini dapat diatasi

dengan krim, tablet, atau cincin vaginal estrogen topikal. Krim mungkin

lebih efektif (Sukandar, 2008). Terapi bersama progesteron secara

umum tidak diperlukan untuk 17-beta estradiol termikronisasi dosis

rendah, tetapi pemakaian reguler krim estrogen terkonjugasi ekuin dan

sediaan lain dapat memicu proliferasi endometrium pada wanita dengan

kondisi rahim baik yang memerlukan penanganan progesteron

berselang (selama 10 hari setiap 12 minggu) (Sukandar, 2008).

2.7 Estrogen dan Fitoestrogen

Estrogen adalah hormon alami yang dihasilkan oleh ovarium. Ada 3 jenis

estrogen dominan di dalam tubuh yaitu estradiol (17-beta estradiol, E2), estron

(E1), dan estriol (E3) (Katzung, 2010). Estradiol adalah estrogen utama yang

diproduksi oleh ovarium. Estron dibentuk oleh estradiol. Estriol dihasilkan dalam

18
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jumlah besar selama kehamilan dan merupakan produk pemecahan dari estradiol.

Sebelum menopause, estradiol adalah estrogen predominan tubuh, setelah

menopause kadar estrogen menurun sehingga estron menjadi estrogen predominan

(Tagliaferri dkk., 2006). Struktur hormon endogen dan estrogen dapat dilihat pada

Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Hormon Endogen Estrogen (Kim dkk., 1998).

Estradiol terikat kuat pada α-globulin (SHBG/Sex Hormone Binding

Globulin). Estradiol plasma dalam darah dan cairan interstisial terikat pada SHBG

(Sex Hormone Binding Globulin), dari SHBG estradiol berdisosiasi untuk

memasuki sel dan berikatan dengan reseptornya. Ada 2 gen yang mengode dua

isoform reseptor estrogen yaitu alfa dan beta. Kedua reseptor tersebut merupakan

anggota superfamili reseptor steroid, sterol, asam retinoat, dan tiroid. Reseptor

estrogen banyak dijumpai di dalam inti, terikat pada heat-shock protein yang

menstabilkan reseptor (Katzung, 2010). Pada gen manusia yang mengkodekan

ER alfa terdapat pada cabang dari kromosom ke-6, sedangkan gen yang

mengkodekan estrogen resptor beta (ER beta) terletak pada untaian q 22-24 pada

kromosom ke-14 (Faustini dkk., 2000).

19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Meskipun sebagian estron dihasilkan ovarium, kebanyakan estron dan

estriol dibentuk di hati dari estradiol atau dalam jaringan perifer dari

androstenedion dan androgen lain. Pada saat menstruasi, estrogen diproduksi

dalam folikel ovarium oleh sel teka dan granulosa. Pascaovulasi, baik estrogen

maupun progesteron disintesis oleh sel granulosa dan teka yang terluteinisasi dari

korpus luteum (Katzung, 2010).

Mekanisme sintesis hormon estrogen yang dikemukakan oleh Fallek

(1959) disebut sistem 2 sel, mencakup tentang produksi hormon steroid secara

spesifik dan peran reseptor hormon (Gambar 2.3). Reseptor FSH terdapat di sel-

sel granulosa dan diinduksi oleh FSH, sedangkan reseptor LH terdapat di sel-sel

teka. Pada awalnya reseptor LH tidak terdapat di sel-sel granulosa, tetapi

bersamaan dengan perkembangan folikel, FSH memacu munculnya reseptor LH

di sel-sel granulosa. FSH memacu aktivitas enzim aromatase di dalam sel-sel

granulosa. Mekanisme kerja tersebut berhubungan dengan faktor autokrin dan

parakrin yang disekresi oleh sel-sel teka dan granulosa.

Sel teka
Cholesterol

Androstenedion Testosteron

Sel granulosa
Androstenedio Testosteron
n

Estron Estradiol

Gambar 2.3 Mekanisme sintesis hormon estrogen (Fallek, 1959).

20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fitoestrogen merupakan senyawa dari tumbuhan yang memiliki kemiripan

struktur dengan estrogen sehingga dapat menunjukan sifat agonis pada Estrogen

Receptor (ER) (Gambar 2.4). Kemampuan meniru efek estrogen oleh fitoestrogen

didasarkan oleh keberadaan senyawa dengan BM setara dengan estrogen (272

g/mol), cincin fenolik sebagai binding site dan memiliki inti dengan dua gugus

hidroksil dengan jarak 11,0-11,5 Å (Benassayag C, 2002). Terdapat 4 jenis

senyawa fitoestrogen yang terkandung di dalam tanaman antara lain flavonoid,

coumestan, lignan, dan stilben.

17-beta Estriol
estradiol k

Estron
e
Gambar 2.4 Struktur hormon endogen estrogen (Kiri); Struktur Isoflavon
(Kanan) (Kim dkk., 1998).

Menurut Jefferson dkk., (2002), fitoestrogen merupakan dekomposisi

alami yang ditemukan pada tumbuhan yang memiliki banyak kesamaan dengan

bentuk alami estrogen yang paling poten (estradiol). Penggunaan fitoestrogen

diyakini lebih aman dibandingkan dengan terapi hormon pengganti (hormonal

replacement therapy/HRT) karena berasal dari tanaman.

Struktur kimia fitoestrogen yang paling khas adalah adanya cincin fenolik

yang menjadi prasyarat ikatan pada reseptor estrogen (Murkies dkk., 1998).

Cincin fenolik inilah yang menjadikan fitoestrogen dapat bekerja seperti estrogen

di dalam tubuh. Fitoestrogen bersifat paradoxal, artinya mempunyai efek

21
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
estrogenik dan antiestrogenik (antagonis dengan estrogen) tergantung dari kadar

estrogen dalam tubuh. Kadar estrogen yang tinggi akan menyebabkan fitoestrogen

mempunyai efek anti estrogenik dengan cara mengikat reseptor dan mengadakan

blocking terhadap molekul estrogen (Whitten dkk., 2001).

Sebaliknya dalam keadaan defisiensi estrogen seperti yang terjadi pada

menopause, fitoestrogen akan mempunyai efek estrogenik dengan menggantikan

estrogen untuk mengikat reseptor. Kehadiran agen estrogenik dari fitoestrogen

pada tahap awal perkembangan dapat memacu berbagai reaksi di dalam tubuh.

Salah satunya dengan merangsang percepatan pertumbuhan organ reproduksi,

selain itu adanya kemungkinan terjadinya onset pubertas (Hughes dkk., 2004).

Fitoestrogen golongan isoflavonoid dan lignan bersifat antioksidan sehingga dapat

mencegah kanker dan penurunan fungsi reproduksi akibat penuaan (Biben, 2012).

2.7.1 Metabolisme fitoestrogen

Fitoestrogen memiliki tiga kelompok utama yaitu isoflavon, coumestans,

dan lignan (Murkies dkk., 1998; Rishi, 2002). Isoflavon dan lignan merupakan

fitoestrogen yang secara efektif akan bersaing dengan estradiol (E2) untuk

berikatan dengan sel yang memiliki reseptor estrogen pada sitosol (Whitten.,

2001).

Isoflavon merupakan kelompok fitoestrogen yang menarik untuk dipelajari

dalam pandangan kesehatan dan nutrisi. Isoflavon terdiri dari tiga komponen yaitu

diadzein, genistein, dan glistein (Rishi, 2002) (Gambar 2.5). Genistein dan

diadzein merupakan dua komponen utama isoflavon. Genistein merupakan

inhibitor kuat untuk protein tirosin kinase (Akiyama dkk., 1987) dan dapat

mempengaruhi faktor-faktor pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel (Kim

22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dkk., 1998). Aktivitas tirosin kinase berkaitan dengan reseptor sel untuk faktor-

faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan epidermal (Epiderm turunan

platelet/platelet-derived growth factor), insulin, dan faktor pertumbuhan yang

menyerupai insulin (insulin-like growth factor). Oleh karena itu, tirosin kinase

memiliki peranan yang penting dalam proliferasi dan transformasi sel (Akiyama

dkk., 1987). Isoflavon mengalami konversi metabolik kompleks secara enzimatis

yang terjadi dalam saluran pencernaan dan membentuk fenol heterosiklik. Fenol

heterosiklik memiliki kesamaan struktur yang mirip dengan estrogen (Setchell

dkk., 1984).

Gambar 2.5 Klasifikasi fitoestrogen (Rishi, 2002).

Genistein (4,5,7-trihydroxyisoflavon) adalah fitoestrogen golongan

isoflavon yang terdapat di dalam kedelai. Struktur senyawa genistein dan estradiol

(E2) hampir mirip dan mempunyai efek estrogenik (Gambar 2.6). Sebuah

penelitian menyebutkan bahwa genistein dapat menghambat proliferasi sel kanker

payudara secara invitro, dengan cara menghambat kerja enzim tyrosin kinase yang

berkontribusi terhadap proliferasi dan transformasi sel kanker payudara. Pada

manusia, genistein mempunyai efek estrogenik dan anti-estrogenik. Hal ini

23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tergantung pada konsentrasi dari hormon endogen estrogen alami dalam tubuh dan

estrogen reseptor (ER) (Lacy dkk., 2004).

Gambar 2.6 Struktur Senyawa genistein dan diadzein (Kim dkk., 1998).

Metabolisme yang terjadi di dalam usus merubah genistein menjadi

komponen inaktif pethylphenol (Anderson dkk., 1999) dan diadzein dirubah

menjadi equol, dihydrodaidzein, serta O-desmethylangiolensin (O-DMA)

(Anderson dkk., 1999). Metabolit equol diadzein memiliki konsentrasi terbesar

dalam darah dan urin manusia (Anderson dkk., 1999). Genistein dan diadzein

terdapat pada semua makanan asal kedelai sebagai bentuk tidak terkonjugasi

(aglikon) atau sebagai bentuk terkonjugasi (glikosida) (Setchell, 1998). Glikosida

(bentuk terkonjugasi) tersebut terdiri dari 6-O-malonilglikosida, 6-O-

asetilglikosida, dan beta-glikosida. Sejumlah kecil glisetein terkadang juga dapat

ditemukan pada makanan asal kedelai. Malonil dan asetil glikosida merupakan

komponen yang rentan terhadap panas dan dapat dirubah menjadi beta-glikosida

yang lebih stabil (Bames dkk., 1994). Glikosida ini siap dihidrolisa menjadi

aglikon yang aktif secara estrogenik sebagai hasil proses dan pengolahan kedelai

atau sebagai hasil metabolisme mikroflora usus (Setchell, 1998). Hati penting

24
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam metabolisme isoflavon sebagaimana metabolisme hormon steroid. Hati

mengkonjugasi isoflavon aglikon dengan asam glukoronik dan dengan sejumlah

kecil asam sulfat. Tingginya efisiensi konjugasi isoflavon menyebabkan

sedikitnya proporsi isoflavon bebas yang bersirkulasi. Jaringan epitel

gastrointestinal memiliki kapasitas jauh lebih tinggi untuk glukuronidasi isoflavon

daripada jaringan hati walaupun hal tersebut dapat berbeda pada beberapa spesies

(Setchell, 1998).

2.7.2 Mekanisme kerja fitoestrogen

Fitoestrogen mempengaruhi kesehatan manusia lewat mekanisme genomik

dan nongenomik (Darmadi dkk., 2011). Fitoestrogen dapat melewati membran sel

serta berinteraksi dengan reseptor dan enzim, karena fitoestrogen mempunyai BM

kecil. Mekanisme kerja fitoestrogen adalah sebagai berikut:

a. Mekanisme genomik

Mekanisme genomik (aktivasi langsung melalui estrogen reseptor (ER)

melalui mekanisme genomik fitoestrogen melalui 2 cara yaitu pertama

fitoestrogen langsung berikatan dengan reseptor estrogen berupa transkripsi

gen sehingga dapat menimbulkan efek seperti estrogen (efek estrogenik). Dan

yang kedua fitoestrogen tidak langsung berikatan dengan reseptor estrogen

(indirect genomic) dapat mempengaruhi kadar estrogen endogen dalam

sirkulais (mekanisme kompetitif inhibitor) (Sutrisno, 2014). Sitasiwi (2009)

menyatakan bahwa resepor estrogen dalam jaringan tubuh terdiri dari 2

macam, yaitu reseptor alfa (ER alfa) dan reseptor beta (ER beta) dengan tempat

distribusi yang berbeda. Reseptor alfa lebih banyak terdistribusi pada jaringan

penyusun organ reproduksi. Sedangkan reseptor beta terdistribusi di luar

25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jaringan reproduksi. Perbedaan letak reseptor ini menyebabkan perbedaan efek

paparan senyawa estrogenik pada hewan uji. Fitoestrogen yang paling

estrogenik adalah genistein dan metabolit diadzein yaitu equal (Darmadi dkk.,

2011). Genistein memiliki afinitas lebih besar daripada diadzein terhadap ER

beta. Namun efek genistein lebih efektif pada ER alfa daripada ER beta. Hal ini

terjadi karena ikatan reseptor alfa bersifat agonis penuh, dan reseptor beta

agonis parsial (Sutrisno, 2014).

b. Mekanisme nongenomik

Penghambatan tyrosin kinase, penghambatan DNA topoisomerase,

aktivitas antioksidan, penghambatan angiogenesis, rangsangan SHBg, 5-alfa

penghambatan reduktase, 17-beta-OH-steroid-dehydrogenase dan enzim

aromatase (Cassidy, 2003; Duffy, 2007). Konsentrasi yang dibutuhkan untuk

isoflavon mentimulasi aktivitas transkripsi adalah 104 lebih tinggi dari

estradiol, dan aktivitas isoflavon lebih rendah dibandingkan steroid. Dalam

keadaan tedapat estrogen endogen, isoflavon menjadi estrogenik antagonis,

sedangkan ketika tidak ada estrogen isoflavon menjadi estrogenik agonis yang

lemah (Navarro, 2006). Fitoestrogen juga dapat mengatur konsentrasi estrogen

endogen dengan berikatan atau menginaktivasi beberapa enzim seperti P450

aromatase, 5-alfa-reductase, 17-beta-hydroxyesteroid dehydrogenase (17 beta-

OHDH), topoisomerases, dan tyrosine kinase (Marquez dkk., 2015).

Banyak fitoestrogen dikenal sebagai endocrine disruptor compounds

(EDCs). EDCs adalah senyawa alami atau sintesis yang dapat mengubah fungsi

hormonal dengan beberapa mekanisme) stimulasi atau hambatan langsung

sistem endokrin) menyerupai atau memblok respon tubuh pada hormon steroid

26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
endogen) mengubah biosintesis, sekresi, transportasi, ikatan, aksi, degradasi,

atau eliminasi dari hormon endogen yang mampu untuk mempertahankan

homeostasis, reproduksi, perrkembangan dan/atau perilaku (Dickerson dan

Gore, 2007) (Gambar 2.7). Aksinya tersebut dalam tingkat molekuler

dipengaruhi beberapa factor konsentrasi, status reseptor, keberadaan estrogen

endogen, dan tipe organ atau sel target (Setchell, 1998).

Gambar 2.7 Mekanisme Kerja Fitoestrogen (Setchell, 1998).

2.8 Kondisi Hormon Estrogen Wanita Premenopause

Ovulasi yang berhenti mengakibatkan produksi hormon estrogen oleh

aromatisasi androgen di stroma ovarium dan di tempat-tempat ekstragonad masih

berlanjut, tanpa berlawanan dengan produksi progesteron dari korpus luteum.

Kadar estradiol menurun secara signifikan karena penurun produksi folikel pada

menopause, tetapi estron yang diaromatisasi dari androstenedion yang berasal dari

sumber nonfolikel, masih diproduksi dan merupakan sumber utama sirkulasi

estrogen pada wanita pascamenopause (Curran, 2009).

Aromatisasi androgen menjadi estrogen dapat terjadi di jaringan adiposa,

otot, hati, tulang, sumsum tulang, fibroblas, dan akar rambut. Kebanyakan

27
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
konversi androgen menjadi estrogen terjadi di jaringan adiposa, dan sering

diasumsikan bahwa wanita dengan berat badan berlebih (obesitas) yang memiliki

lebih banyak sirkulasi estrogen, seharusnya memiliki lebih sedikit keluhan

vasomotor (Curran, 2009).

Wanita yang memasuki usia 40 tahun sudah memasuki fase menjadi tua.

Pertambahn usia seorang wanita disertai dengan berkurangnya jumlah folikel

dalam ovarium yang dapat menurunkan kemampuannya untuk merespon

rangsangan hormon-hormon hipofisis terutama hormon steroid. Pada waktu

dilahirkan, seorang wanita mempunyai sekitar 750.000 folikel primordial, lalu

mengalami penurunan pada usia 40-44 tahun sampai 8.300 buah. Penurunan

juml;ah folikel primordial tersebut disebabkan oleh 2 hal yaitu proses ovulasi

setiap siklus (menstruasi setiap bulan) dan adanya apoptosis (folikel primordial

yang mati dan terhenti pertanamannya). Proses tersebut terjadi terus-menerus

selama kehidupan seorang wanita, hingga pada usia sekitar 50 tahun (Speroff dkk,

2005).

Semakin bertambah usia, khususnya memasuki masa premenopause,

folikel-folikel itu akan mengalami peningkatan resistensi terhadap rangsangan

gonadotropin. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan folikel, ovulasi, dan

pembentukan korpus luteum dalam siklus ovarium berhenti secara perlahan-lahan.

Pada wanita diatas 40 tahun, 25% diantaranya mengalami siklus haid yang

anovulator. Resistensi folikel terhadap gonadotropin ini mengakibatkan

penurunan produksi estrogen dan peningkatan kadar hormon gonadotropin.

Tingginya kadar horomon gonadotropin ini disebabkan rendahnya estrogen

28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sehingga tidak ada umpan balik negatif dalam poros hipotalamus dan hipofisis

(Speroff dkk., 2005).

Pada wanita pascamenopause estradiol dan estron berasal dari konversi

androgen adrenal di hati, ginjal, otak, kelenjar adrenal dan jaringan adipiose serta

terjadi peningkatan kadar LH dan FSH. Hal ini disebabkan oleh hilangnya

mekanisme umpan balik negatif dari steroid ovarium dan inhibin terhadap

pelepasan gonadotropin (Speroff dkk., 2005). Perbedaan utama antara estrogen

yang langsung disekresi oleh ovarium dengan estrogen yang berasal dari konversi

perifer adalah sebagian besar estrogen yang diproduksi oleh konversi perifer

adalah estron. Estron merupakan estrogen yang sangat lemah dibandingkan

estradiol. Pada konsentrasi yang biasa ditemukan pada wanita pascamenopause,

estron tidak memberikan proteksi terhadap defisiensi estrogen (Heffner dkk.,

2006).

2.9 Imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein,

karbohidrat, dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibodi yang

berikatan terhadap antigen pada jaringan. Nama imnuhistokimia diambil dari

nama “immune” yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah

penggunaan antibodi dan “histo” menunjukkan jaringan secara mikroskopis

(Ramosvora, 2005).

Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan

mengidentifikasi proses proliferasi sel dan apoptosis sel. Imunohistokimia juga

sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan

29
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada berbagai macam jaringan pada

tubuh (Ramosvara, 2005).

Pada imunohistokimia, sediaan jaringan yang diduga mengandung protein

tertentu diinkubasi dalam larutan yang mengandung antibodi terhadap protein

tersebut. Interaksi yang sangat spesifik antar molekul adalah interaksi yang terjadi

antara antigen dan antibodinya. Oleh karena itu, metode yang menggunakan

antibodi berlabel ternyata sangat berguna untuk menentukan dan memperlihatkan

letak protein spesifik yang dapat ditentukan oleh metode ini (Junqueira, 2014).

Metode IHC yang paling standar dan sering digunakan yaitu dengan

menggunakan pereaksi ABC, yaitu pemberian antibodi yang belum di label,

kemudian memberi label biotin untuk berikatan dengan antibodi, dan membentuk

kompleks dengan avidin-biotin peroksidase yang mana warna peroksidase

ditingkatkan dengan DAB (diaminobenzidin) (IHC world, 2011).

2.9.1 Protein Ki-67

Protein Ki-67 adalah suatu protein inti non-histon yang diekspresikan

selama fase aktif siklus sel, kecuali G0. Antigen ini ditemukan pertama kali pada

tahun 1980-an di kota Kiel oleh Gerdes dan kawan-kawan (sehingga disebut „Ki‟).

Metode imunohistokimia dapat digunakan untuk melihat ekspresi Ki-67. Sel yang

mengekspresikan Ki-67 terlihat berwarna coklat (Darmayani, 2016).

30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental.

Penelitian eksperimen (eksperimental) bertujuan untuk mencari pengaruh variabel

lain dalam kondisi yang terkontrol. Penelitian ini meliputi pengumpulan sampel,

identifikasi sampel, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak etanol biji mahoni

(Swietenia mahagoni (L.,) Jacq.), penyiapan hewan percobaan, dan pengujian

efek estrogenik ekstrak etanol biji mahoni (Swietenia mahagoni (L.,) Jacq.)

terhadap perkembangan sel epitel pada kelenjar payudara tikus betina yang telah

diovariektomi. Irisan mammae tikus betina diamati dibawah mikroskop cahaya

dengan di dahului pengecatan Haemotoksilin Eosin (HE). Pengamatan dilakukan

terhadap sel berproliferasi yang di tandai dengan ekspresi Ki-67pada sel epitel

duktus dan lobulus. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program

SPSS (Statistical Product and Service Solution).

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi lemari pengering,

blender (National), rotary evaporator (Heidolph WB 2000), neraca hewan

(Presica GW-1500), alat bedah tikus (Yamaco), neraca listrik (Mettler Toledo),

penangas air, alat mikroskop cahaya (Zeiss), oven, oral sonde, spuit, mortir,

stamfer, gunting, spatula, alat-alat gelas dan alat laboratorium lainnya.

31
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.1.2 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji mahoni

(Swietenia mahagoni (L.,) Jacq). Bahan kimia yang digunakan adalah etanol

96%, CMC Na (Natrium-Carboxy Methyl Cellulose), tablet 17-beta estradiol

valerate. hematoksilin eosin, Monoclonal Mouse Anti-Human Ki-67 Antigen

Clone MIB-1.

3.2 Prosedur Pembuatan Simplisia

3.2.1 Pengumpulan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang

digunakan adalah Biji mahoni (Swietenia mahagoni (L.,) Jacq).

3.2.2 Identifikasi sampel

Identifikasi tanaman biji mahoni dilakukan di Herbarium Medanense

(MEDA) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU.

3.2.3 Pengelolaan sampel

Sampel biji mahoni di bersihkan dari kulit yang membungkusnya lalu

ditimbang dan diperoleh berat basah, kemudian di keringkan di dalam lemari

pengering dengan suhu 30-40˚C. Biji dianggap kering apabila di tumbuk tidak

menggumpal lagi. Kemudian di blender hingga menjadi serbuk diayak lalu serbuk

ditimbang kemudian dimsukkan kedalam wadah plastik tertutup rapat dan

disimpan pada suhu kamar.

32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Biji Mahoni

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,

mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan

kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu

tidak larut dalam asam (Depkes RI, 1995).

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik

Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan mengamati

bentuk dan rasa biji mahoni segar.

3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan

cara meneteskan kloralhidrat diatas kaca objek, kemudiaan diatasnya di letakkan

serbuk simplisia, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dibawah

mikroskop.

3.3.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode destilasi toluen. Alat terdiri

dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan

tabung penerima. Cara kerja :

Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat,

lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30

menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0.05 ml.

Kemudian kedalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah

ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena

mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian

besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap

33
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendinginan dibilas dengan

toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudiaan tabung penerima

dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah

sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air

yang di baca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang

diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (Depkes RI, 1995).

3.3.4 Penetapan sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

air-kloroform (2,5 ml kloroform dan air suling sampai 1 liter) dalam labu

bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan

selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai

kering dalam cawan penguap yang berdasar rata- rata yang telah ditara dan sisa

dipanaskan pada suhu 105˚C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI,

1995).

3.3.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,

kemudian dibiarkan selama 18 jam kemudian disaring cepat untuk menghindari

penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat di uapkan sampai kering dalam cawan

penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan di tara. Sisa dipanaskan

pada suhu 105˚C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam

etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

34
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.3.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah

dipijar dan ditara, kemudian ditarakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang

habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring

melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang

sama. Masukkan filtrat kedalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap,

timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI,

1995).

3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu didihkan dalam 25 ml

asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas. Di

pijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu

yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan

(Depkes RI, 1995).

3.4 Skrining Fitokimia Simplisia Biji Mahoni

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan steroid/triterpenoid.

3.4.1 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian ditambahkan 1

ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk test alkaloid.

Diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalam nya dimasukkan 0,5 filtrat.

35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada masing-masing tabung reaksi :

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan

terbentuk endapan berwarna putih dan kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat akan

terbentuk endapan berwarna coklat-hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Dragendroff akan

terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.

Alkoloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari 3 percobaan

diatas (Depkes RI, 1995).

3.4.2 Pemeriksaan flavonoid

Sampel sebanyak 10 g serbuk di tambahkan 10 ml air panas. Didihkan

selama 5 menit dan di saring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat

ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil

alkohol. Dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna

merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Fransworth, 1966).

3.4.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 gr, lalu disari dengan 30 ml

campuran etanol 96% garis air (7 : 3) dan 10 ml asam klorida 2 N, di refluks

selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 20 ml

air suling dan 20 ml timbal (II) aseatat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit

lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloforoform-isopropanol (3 :

2) sebanyak 3 kali pada kumpulan sari lapisan isopropanol diuapkan pada suhu

tidak lebih dari 50˚C sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol untuk larutan

percobaan. 0,1 ml larutan percobaan diuapkan diatas penangas air pada sisa

36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish, kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml

hati-hati asam sulfat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan,

menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes RI, 1995)

3.4.4 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan kedalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok

kuat- kuat selama 10 menit jika terbentuk busa setinggi 1–10 cm yang stabil tidak

kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam

klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.4.5 Pemeriksaan tanin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 gr, didihkan selama 3 menit dalam

air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambahkan 1–2 tetes

pereaksi besi (III) klorida 1% b/v. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau

kehitaman menunjukkan adanya tanin (farnsworth, 1966).

3.4.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Serbuk simplisia di timbang sebanyak 1 gr, di maserasi dengan 20 ml n-

heksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan sama cawan penguap dan pada

sisanya ditambahkan pereaksi asam sulfat pekat melalui dinding cawan. Apabila

terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau

menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (farnsworth, 1966).

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Mahoni ( EEBM)

Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 96%, dilakukan

dengan cara sebagai berikut: 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok

37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan etanol,

ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang

diaduk. Setelah 5 hari sari disaring, ampas diperas. Ampas ditambah cairan

penyari secukupnya diaduk dan disaring, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak

100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya

selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan. Hasil maserasi yang diperoleh

dikumpulkan dan dipekatkan degan bantuan alat rotary evaporator sehingga

diperoleh ekstrak etanol (Depkes RI, 1995).

3.6 Karakterisasi Ekstrak Etanol Biji Mahoni (EEBM)

Karakterisasi ekstrak etanol biji mahoni yang dilakukan adalah penetapan

kadar air, kadar sari larut dalam air, kadar sari larut dalam etanol, kadar abu total

dan kadar abu tidak larut dalam asam. Adapun cara kerja dari penetapan kadar ini

dilakukan sama seperti cara kerja pada karakterisasi simplisia.

3.7 Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Biji Mahoni (EEBM)

Skrining fitokimia ekstrak etanol biji mahoni meliputi pemeriksaan

senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan

steroid/triterpenoid. Adapun cara kerja skrining fitokimia EEBM yang dilakukan

sama seperti skrining fitokimia yang dilakukan terhadap simplisia.

38
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.8 Pembuatan Suspensi Bahan Uji

Sebelum dilakukan pengujian terhadap hewan percobaan, bahan uji seperti

CMC Na, 17-beta estradiol dan ekstrak yang telah diperoleh dari ekstraksi biji

mahoni dibuat dalam bentuk suspensi untuk diberikan secara oral pada mencit.

3.8.1 Pembuatan suspensi CMC Na 0,5%

Sebanyak 0,5 g CMC Na ditaburkan dalam lumpang yang berisi air suling

panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa yang

transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling,

dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya

dengan air suling hingga 100 ml.

3.8.2 Pembuatan suspensi 17-beta estradiol valerate

Serbuk 17-beta estradiol sebanyak 0,0045 mg dimasukkan kedalam

lumpang, tambahkan suspensi CMC Na 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil

digerus sampai homogen. Sedian suspensi 17-beta estradiol valerate dimasukkan

ke dalam labu ukur 10 ml, kemudian cukupkan dengan suspensi CMC Na 0,5%

sampai garis tanda.

3.8.2.1 Penetapan dosis 17-beta estradiol valerate

Dosis 17-beta estradiol untuk gejala menopause pada manusia adalah 1-2

mg per hari (Callantine dkk, 1975). Obat yang digunakan adalah Progynova®

(Bayer) 2 mg. Perhitungan dosis 17-beta estradiol valerate pada tikus betina putih

adalah sebagai berikut:

Konversi dosis manusia (70 kg) ke dosis tikus betina (200 g) adalah 0,018.

Dosis 17-beta estradiol untuk (200 g) = ( 1-2 mg) x 0,018

= 0,018-0,036 mg/200 g bb

39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
= 0,00009-0,00018 mg/g bb

= 0,09-0,18 mg/kg bb

Dalam penelitian ini dipilih dosis 17-beta estradiol valerate pada tikus yaitu 0,18

mg/kg bb atau setara dengan 0,36 mg/200g bb (Agustini dkk, 2007).

3.8.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol biji mahoni (EEBM)

Dalam pengujian akan digunakan 3 variasi dosis yakni, 50 mg/kg bb; 100

mg/kg bb; dan 200 mg/kg bb. Sejumlah 50 mg, 100 mg, dan 200 mg ekstrak biji

mahoni ditimbang dan dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi

CMC Na 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen hingga 10 ml.

3.9 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih

betina, umur 8 minggu, berat badan 190-200 gr sebanyak 30 ekor,

dikelompokkan dalam 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus.

Sebelum pengujian, terlebih dahulu tikus diaklimatisasi selama 1 minggu dalam

kandang yang baik untuk menyesuaikan dengan lingkungannya.

Penentuan besar sampel dihitung dengan rumus Federer (Depkes RI, 1995)

sebagai berikut.

Keterangan: n = besar sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Kelompok penelitian berjumlah 5 (t = 6), maka:

(n - 1) (t - 1) 15

(n - 1) (6 - 1) 15

(n - 1) (5) 15

40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5n 5 15

5n 20

n 4

Besar sampel ideal menurut perhitungan rumus Federer di atas adalah 4 ekor tikus

atau lebih. Sebagai cadangan, maka 1 ekor tikus ditambahkan pada setiap

kelompok perlakuan untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan

seperti kematian, kegagalan pengambilan sampel, dan lain-lain. Dengan demikian

jumlah tikus betina semua kelompok uji secara keseluruhan adalah 30 ekor.

3.10 Pengujian Pengaruh EEBM TerhadapSel Epitel Payudara Tikus

3.10.1 Operasi ovariektomi tikus

Tikus putih betina diaklimatisasi selama 1 minggu, kemudian ditimbang

pada hari ke-7. Sebanyak 25 ekor tikus diantaranya dilakukan ovariektomi

bilateral dengan mengunakan injeksi ketamin HCl. Tikus diletakkan pada papan

bedah, menghadap kesamping dan rambut tikus dicukur pada bagian atas kaki

belakang (± 1,5 cm diatas kaki 1,5 cm dari tulang belakang). Selanjutnya, tikus di

bedah pada satu sisi tubuh, dan ovarium diambil. Bekas luka dijahit secara aseptik

hingga luka tertutup sempurna. Pembedahan dilanjutkan pada sisi tubuh yang

lainnya. Kemudian dipelihara selama 7 hari untuk mendapatkan efek menopause

(Hogan dkk, 1994).

3.10.2 Pemberian suspensi secara oral

Setelah 7 hari, tikus betina yang telah diovariektomi ditimbang berat

badannya, setelah itu dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri dari 5 ekor tikus.

41
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kemudian, keenam kelompok diberi perlakuan selama 14 hari berturut-turut.

Adapun 6 kelompok tikus tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Kelompok I: tikus sebagai kontrol normal (Tikus tidak diovariektomi)

b. Kelompok II : suspensi Na-CMC 0,5% sebagai kontrol negatif

c. Kelompok III : suspensi 17-β estradiol dosis 0,0045 mg/kg bb sebagai

kontrol positif

d. Kelompok IV : suspensi EEBM dosis 50 mg/kg bb sebagai kelompok

perlakuan 1

e. Kelompok V : suspensi EEBM dosis 100 mg/kg bb sebagai kelompok

perlakuan 2

f. Kelompok VI : suspensi EEBM dosis 200 mg/kg bb sebagai kelompok

perlakuan 3

3.10.3 Pembedahan serta pengamatan morfologi sel epitel payudara tikus

Pada hari ke-15, tikus dikorbankan kemudian diletakkan terlentang,

selanjutnya dinding abdomen dibuka dengan gunting dan dilakukan pengambilan

kelenjar payudara. Dilakukan pengamatan terhadap perkembangan lobulus

kelenjar payudara (Hogan dkk., 1994).

3.10.4 Pengamatan ekspresi ki-67 pada sel epitel kelenjar payudara tikus

Setelah kelenjar payudara dikeluarkan dari tubuh tikus, kelenjar payudara

kemudian dicuci dengan larutan fisiologis 0,9% kemudian dimasukkan dalam

larutan dapar formaldehida 10%. Pembuatan preparat ekspesi Ki-67 dilakukan di

Rumah Sakit Murni Teguh Medan. Hasilnya dapat diamati di bawah mikroskop.

42
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.10.5 Pembuatan preparat blok parafin

Kelenjar payudara yang direndam dalam larutan formaldehida 10%

selanjutnya dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat yaitu diawali

dengan alkohol 70%, kemudian berturut-turut alkohol 80%, alkohol 95%, dan

alkohol absolut. Pada masing-masing proses dilakukan selama 30 menit sampai 1

jam. Tahap selanjutnya adalah pencucian dengan menggunakan larutan xylol yaitu

xylol 1, xylol 2, xylol 3 masing-masing selama 1-2 jam. Proses penanaman,

caranya: sampel direndam dalam campuran xylol dan parafin cair pada suhu 60-

70˚C, dengan perbandingan xylol ; parafin berturut-turut 3 : 1, 1 : 1, dan 1 : 3

masing-masing selama 2 jam, dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku,

kemudian blok parafin dipotong dengan menggunakan alat mikrotom dengan

ketebalan irisan 5-7 µm (Junqueira dkk., 2014).

3.10.6 Pengujian ekspresi ki-67 dengan metode IHC

Langkah-langkah pengerjaan pulasan Ki-67 untuk mengamati proliferasi

sel adalah sebagai berikut: Deparafinasi slide (xylol I, xylol II, xylol III) masing-

masing 5 menit, dilakukan rehidrasi masing-masing 4 menit kemudian dicuci

dengan air mengalir selama 5 menit. Dimasukkan slide ke dalam PT Link Dako

Epitop Retrieval kemudian dilakukan set up pre heat 650C, kemudian running

time 980C selama 15 menit. Waktu yang dibutuhkan proses ini adalah selama

lebih kurang 1 jam. Kemudian dilakukan Pap Pen dan segera dimasukkan dalam

Tris Buffered Saline pH 7,4 selama 5 menit. Dilakukan blocking dengan hidrogen

peroksida, inkubasi selama 5-10 menit, lalu dicuci dalam Tris Buffered Saline pH

7,4 selama 5 menit. Kemudian dilakukan blocking dengan Normal Horse Serum

(NHS) 3% selama 5 menit. Dicuci kembali dengan TBS pH 7,4 selama 5 menit.

43
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diinkubasi dengan antibodi monoklonal MIB-1 (untuk pulasan Ki-67) konsentrasi

0,4 mg/ml pengenceran 1 : 50 selama 1 jam. Dicuci dengan TBS pH 7,4 selama 5

menit. Dako Real Envision Rabbit/Mouse dilabel biotin selama 30 menit. Dicuci

dengan TBS pH 7,4 selama 5-10 menit. Diinkubasi dengan konjugat avidin-

peroksidase suhu kamar selama 30 menit. Dicuci dengan TBS pH 7,4/Tween 20

selama 5-10 menit. Diinkubasi dengan campuran substrat-kromogen solution (20

DAB : 1000 substrat hidrogen peroksida 0,01%) selama 10 menit suhu

kamar. Dicuci dengan air mengalir selama 10 menit lalu dilakukan counterstain

dengan hematoksilin selama 15 menit dan dicuci kembali dengan air mengalir

selama 5 menit. Dimasukkan dalam larutan lithium carbonat selama 2 menit.

Preparat dicuci dengan air mengalir selama 5 menit lalu dilakukan dehidrasi

masing-masing 5 menit. Dilakukan clearing dengan xylol I, xylol II, xylol III

masing-masing selama 5 menit. Dilakukan mounting dan ditutup dengan cover

glass (Hasibuan, 2014).

3.10.7 Perhitungan intensitas warna ekspresi ki-67

Penentuan skor intensitas warna pada preparat sel epitel payudara yang

diberi Ki-67 dapat dihitung dengan metode Allred Scoring (Gambar 3.1).

Skor Proporsi 0-1 1/100-2 1/10-3 1/3-4 2/3-5 1


(SP)

Skor Intensitas 0= negatif 1= lemah 2= Sedang 3= kuat ;


(SI)
Gambar 3.1 Allred Scoring.

44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perhitungan intensitas warna dari ekspresi Ki-67 pada sel epitel payudara

tikus dilanjutkan dengan rumus berikut:

Total Skor (TS) = SP + SI (range 0-8)

Skor Intensitas Warna = Jumlah Sel x Total Skor (TS)

3.11 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS

(Statistical Product and Service Solution). Data dianalisis dengan menggunakan

metode Kolmogorov-smirnov untuk menentukan normalitasnya. Jika data normal,

kemudian dilanjutkan menggunakan metode One Way ANOVA untuk

menentukan perbedaan rata-rata di antara kelompok. Jika terdapat perbedaan,

dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc Tukey HSD untuk melihat

perbedaan nyata antar perlakuan. Tetapi jika data terdistribusi tidak normal maka

digunakan uji Kruskal-Wallis.

45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi di Herbarium Medanense

(MEDA), Universitas Sumatera Utara adalah Biji Mahoni (Swietenia mahagoni

(L.,) Jacq.) kingdom Plantae (Kerajaan Tumbuhan), divisi Spermatophyta

(tumbuhan berbiji), kelas Dicotyledoneae (kelas tumbuhan biji berkeping dua),

ordo Sapindales, family Meliaceae, dan genus Swietenia.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia

Hasil pemeriksaan makroskopik dari biji mahoni (Lampiran 2), adalah

sebagai berikut: berwarna putihberbentuk lonjong dan pipih, lembut dan mudah

dipatahkan, panjang 2 cm, diameter 1 cm dan ketebalan 1 mm, rasa pahit. Hasil

karakterisasi simplisia biji mahoni dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Simplisia Biji Mahoni.


No Parameter Hasil (%)
1. Penetapan kadar air 5,96
2. Penetapan kadar sari larut air 7,81
3. Penetapan kadar sari larut etanol 14,98
4. Penetapan kadar abu total 1,023
5. Penetapan kadar abu total tidak larut dalam asam 1,03

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Tujuan dilakukan skrining fitokimia adalah untuk mengetahui senyawa

metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia. Hasil skrining fitokimia serbuk

simplisia dan EEBM menunjukkan adanya kandungan flavonoid, alkaloid,

46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
glikosida.Hasil skrining fitokimia simplisia biji mahoni dapat dilihat pada Tabel

4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia biji mahoni.


No. Skrining Hasil Tanda
1. Flavonoid Positif +
2. Alkaloid Negatif -
3. Saponin Negatif -
4. Tanin Negatif -
5. Glikosida Positif +
6. Steroid Positif +
Keterangan: (+) : Mengandung golongan senyawa metabolit sekunder
(-) : Tidak mengandung golongan senyawa metabolit sekunder
Hasil pemeriksaan skrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak etanol biji

mahoni mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, glikosida,

dan steroid.

4.4 Hasil Uji Ekspresi Ki-67 Sel Epitel Pada Kelenjar Mammae

Penelitian yang dilakukan oleh Pratama dkk., (2011) mengatakan bahwa

estrogen menstimulasi proliferasi sel epitel kelenjar payudara melalui pengikatan

dengan reseptor estrogen dan induksi transkripsi gen yang dimediasi oleh reseptor

estrogen. Proliferasi sel epitel kelenjar payudara menyebabkan perkembangan

lobus, lobulus, dan duktus payudara. Oleh karena itu, kekurangan estrogen dalam

jumlah besar akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup wanita.

Defisiensi estrogen dapat mempengaruhi keindahan maupun kesehatan payudara

dan memicu terjadinya gangguan kesehatan alat reproduksi. Kekurangan estrogen

pada wanita menopause dapat menyebabkan hot flushes, sulit tidur, berkeringat

malam, gangguan fungsi seksual, kekeringan vagina, penyakit kardiovaskular dan

kekeroposan tulang (Achadiat, 2003).

47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Percobaan secara in vivo penting dilakukan untuk mengetahui efek EEBM

secara sistemik, karena aplikasi penggunaan EEBM di masyarakat pada dasarnya

juga bersifat sistemik meskipun dilakukan secara topikal. Aplikasi EEBM secara

topikal tidak mungkin dilakukan pada percobaan menggunakan tikus karena

anatomi kulit tikus berbeda dengan kulit manusia. Oleh karena itu percobaan ini

aplikasi perlakuan EEBM dilakukan secara per oral dengan dosis yaitu 50 mg/kg

bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb yang merupakan hasil konversi dosis pada

percobaan yang sama (Setchell dkk., 1984).

Fitoestrogen adalah suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki aktivitas

mirip estrogen (Glover dkk., 2006). Selanjutnya menurut Jefferson dkk., (2002)

fitoestrogen merupakan dekomposisi alami yang ditemukan pada tumbuhan yang

memiliki banyak kesamaan dengan estradiol, bentuk alami estrogen yang paling

poten.

Fitoestrogen yang berikatan dengan reseptor estrogen akan mempengaruhi

aktivitas hormonal di dalam tubuh. Apabila terjadi penurunan kadar estrogen di

dalam tubuh, maka terjadi kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat. Jika

tubuh mendapatkan suplai fitoestrogen, misalnya dengan mengkonsumsi produk-

produk yang mengandung fitoestrogen, maka akan terjadi pengikatan fitoestrogen

oleh reseptor estrogen, walaupun afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan

dengan reseptor tersebut (Koswara, 2006)

Dalam penelitian ini dihitung skor ekspresi Ki-67 dan intensitas warna sel

epitel kelenjar payudara untuk melihat terdapat peningkatan proliferasi sel epitel

sehingga dapat menunjukan peningkatan kadar estrogen pada tikus yang telah

48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diovariektomi. Semakin tinggi sel epitel yang berproliferasi maka semakin besar

kadar estrogen yang terdapat pada tikus yang diovariektomi.

Gambar mikroskopik sel epitel kelenjar payudara yang telah diovariektomi

dengan protein Ki-67 dapat dilihat pada Gambar 4.1. Skor ekspresi Ki-67 pada sel

epitel kelenjar payudara yang telah diovariektomi dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Sedangkan untuk skor intensitas warna dari ekspresi Ki-67 dapat dilihat pada

Tabel 4.4. Perhitungan skor ekspresi Ki-67 pada tiap-tiap kelompok perlakuan

dilkukan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40 x dibagi menjadi

10 lapangan pandang. Dihitung persentase sel yang mengeskpresikan Ki-67

(berwarna coklat) dari 200 sel yang diamati dengan bantuan aplikasi Image

Raster.

(1) (2)

(3) (4)
Gambar 4.1 Gambaran Mikroskop Ki-67 pada sel epitel kelenjar payudara
dengan perbesaran 40x.

49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(5) (6)
Gambar 4.1 Lanjutan

Keterangan
1 : Kelompok Normal
2: Kelompok kontrol negatif
3: Kelompok Estradiol
4: Kelompok EEBM 50 mg/kg/bb
5: Kelompok EEBM 100 mg/kg bb
6: Kelompok EEBM 200 mg/kg bb
Panah merah menunjukkan ekspresi Ki-67 yang berwarna coklat.
Tabel 4.3 Perhitungan skor ekspresi Ki-67 sel epitel kelenjar payudara tikus
Rata-rata Skor Ekspresi
No Perlakuan Skor Ekspresi Ki-67 (%)
(% ± SD)
Normal (tanpa 86
1.
diovariektomi) 78, 94 80.71 ± 4.67ab
77,19
8,33
Kontrol negatif
2. 2,35 5.35 ± 2.99a
(CMC Na 0,5 %)
5,38
38,42
3. 17-beta estradiol
42,94 40.21 ± 2.40b
valerate
39,28
52,15
EEBM 50 mg/kg
4. 68,02 54.80 ± 12.11a
bb
44,24
63,16
EEBM 100 mg/kg 67.52 ± 3.95ab
5. 70,87
bb
68,53
74,75
EEBM 200 mg.kg
6. 78,70 76,18 ± 2,18ab
bb
75,11
Keterangan:
a. Sig (p) < 0,05 = ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok 17-beta
estradiol valerate
b. Sig (p) < 0,05 = ada perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif

50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90

Rata-rata Skor Ekspresi


80
70
60
50
Ki-67 40
30
20
10
0
Normal CMC Na 17-β EEBM 50 EEBM EEBM
0,5 % estradiol mg/kg bb 100 mg/kg 200 mg/kg
valerate bb bb
Perlakuan

Gambar 4.2 Grafik rata-rata skor ekspresi Ki-67 sel epitel kelenjar payudara
tikus betina (% ± SD).

Pada Tabel 4.3 terdapat perbedaan skor ekspresi Ki-67 pada masing-

masing kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan tikus normal

menunjukkan skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan kelompok 17-

beta estradiol valerate (sign 0,000; p < 0,05), berbeda signifikan dengan kelompok

EEBM 50 mg/kg bb (sign 0,000; p < 0,05), dan berbeda signifikan dengan

kelompok CMC Na 0,5% (sign 0,000; p < 0,05). Skor ekspresi Ki-67 pada

kelompok perlakuan tikus normal menunjukkan angka tertinggi (80,71 ± 4,67).

Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus normal proliferasi sel sangat cepat.

Pada Tabel 4.3 tikus yang diovariektomi dengan kelompok EEBM 50

mg/kg bb menunjukkan skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan

kelompok normal (sign 0,000; p < 0,05), berbeda signifikan dengan kelompok

EEBM 200 mg/kg bb (sign 0,000; p < 0,05 ), dan berbeda signifikan dengan

kelompok CMC Na 0,5% (sign 0,000; p < 0,05).

Pada Tabel 4.3 tikus yang diovariektomi dengan kelompok EEBM 100

mg/kg bb menunjukkan skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan

kelompok estradiol valerate (sign 0,000 p < 0,05), berbeda signifikan dengan

51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kelompok EEBM 50 mg/kg bb, dan berbeda signifikan dengan kelompok CMC

Na 0,5% (sign 0,000; p < 0,05). Sedangkan pada Tabel 4.3 tikus yang telah

diovariektomi dengan kelompok EEBM 200 mg/kg bb menunjukkan skor ekspresi

Ki-67 yang berbeda signifikan dengan kelompok 17-beta estradiol valerate (sign

0,000 p < 0,05), berbeda signifikan dengan kelompok EEBM 50 mg/kg bb, dan

berbeda signifikan dengan kelompok CMC Na 0,5% (sign 0,000; p < 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian EEBM dengan dosis 50

mg/kg bb, 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb pada tikus yang telah diovariektomi

memberikan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok17-beta

estradiol valerate. Hal ini menunjukkan bahwa EEBM 50 mg/kg bb, EEBM 100

mg/kg bb, dan EEBM 200 mg/kg bb memiliki efek fitoestrogen terhadap

perkembangan sel epitel pada kelenjar payudara tikus yang telah diovariektomi.

Penelitian Supriyati dkk., (2008) mengatakan bahwa perkembangan lobus

kelenjar mammae dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron.

Peningkatan ekspresi reseptor estrogen memberikan dugaan kuat bahwa efek

peningkatan perkembangan kelenjar mammae tersebut tidak hanya disebabkan

oleh efek estrogeniknya tetapi juga kemungkinan oleh adanya mekanisme lain.

Peningkatan ekspresi reseptor estrogen merupakan hal yang penting agar sel-sel

epitel tersebut semakin responsif terhadap estrogen maupun fitoestrogen dan

kemudian dapat berproliferasi. Sehingga penggunaan dan aplikasi EEBM sebagai

fitoestrogen baik dilakukan oleh wanita mengalami defisiensi estrogen yakni

wanita yang mengalami menopause.

52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 4.4 Perhitungan skor intensitas warna ekspresi Ki-67 sel epitel kelenjar
payudara tikus.
Rata-rata Skor Intensitas
No Perlakuan Skor Intensitas Warna Warna
(± SD)
Normal (tanpa 100
1.
diovariektomi) 106 101.3 ± 4,16b
98
52
Kontrol negatif
2. 46 45 ± 7,55a
(CMC-Na 0,5 %)
37
17-beta estradiol 77
3.
valerate 89 87 ± 9,16b
95
93
4. EEBM 50 mg/kg bb 102 94.3 ± 7,09b
88
112
95.3 ± 18,14b
5. EEBM 100 mg/kg bb 76
98
104
6. EEBM 200 mg.kg bb 76 96 ± 17,43b
108
Keterangan:
a. Sig (p) < 0,05 = ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok 17-beta
estradiol valerate
b. Sig (p) < 0,05 = ada perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif
Skor Intensitas Warna

120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
Skor Intensitas Warna
0,00

Perlakuan
Gambar 4.3 Grafik rata-rata skor intensitas warna ekspresi Ki-67 sel epitel
kelenjar payudara tikus betina (% ± SD).

Pada Tabel 4.3 terdapat perbedaan skor intensitas warna ekspresi Ki-67

pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan tikus normal

53
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menunjukkan skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan kelompok

kelompok CMC Na 0,5% (sign 0,01; p < 0,05). Skor ekspresi Ki-67 pada

kelompok perlakuan tikus normal menunjukkan angka tertinggi (101,3 ± 4,16).

Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus normal proliferasi sel sangat cepat.

Sedangkan pada Tabel 4.3 tikus yang diovariektomi dengan kelompok EEBM 50

mg/kg bb menunjukkan skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan

kelompok CMC Na 0,5% (sign 0,01; p < 0,05).

Pada Tabel 4.3 tikus yang diovariektomi dengan kelompok EEBM 100

mg/kg bb menunjukkan skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan

kelompok CMC Na 0,5% (sign 0,01; p < 0,05). Sedangkan pada Tabel 4.3 tikus

yang telah diovariektomi dengan kelompok EEBM 200 mg/kg bb menunjukkan

skor ekspresi Ki-67 yang berbeda signifikan dengan kelompok CMC Na 0,5%

(sign 0,000; p < 0,05).

Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

pertumbuhan sel epitel kelenjar mammae. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5 dan

6 yaitu kelompok tikus yang diberikan perlakuan pada dosis 100 mg/kg bb dan

200 mg/kg bb dengan intensitas warna preparat sel epitel cukup tinggi. Hasil ini

menunjukkan bahwa EEBM mampu menstimulasi perkembangan sel epitel

kelenjar mammae. Secara kualitatif, diamati bahwa kelompok ovariektomi yang

mewakili kondisi menopause, mengalami penyusutan lobus. Bentuk dan tingkat

perkembangan menurun bila dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini sesuai

dengan keadaan menopause pada wanita. Pada keadaan menopause, kelenjar

mammae wanita mengalami pengerutan dan involusi (Leeson, 1986).

54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Telah diteliti pengaruh ekstrak etanol biji mahoni terhadap skor ekspresi

Ki-67 pada sel epitel kelenjar payudara tikus betina yang telah di ovariektomi.

Adapun kesimpulan penelitian ini adalah:

a. EEBM mempunyai efek dalam peningkatan sel epitel pada kelenjar payudara

tikus yang telah diovariektomi.

b. EEBM tidak memiliki perbedaan signifikan efek estrogenik dengan 17-β

estradiol terhadap sel epitel kelenjar payudara tikus yang telah diovariektomi.

EEBM dengan dosis 200 mg/kg bb memberikan efek tertinggi dibandingkan

dengan obat 17-β estradiol valerate dan kontrol CMC Na 0,5%.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan

untuk melihat ekspresi ROS (Reactive Oxygen Species) pada sel epitel kelenjar

payudara menggunakan metode imunohistokimia.

55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C.M. 2003. Fitoestrogen untuk wanita menopause.


http://situskesepro.info/aging/jul/2003/ag01.html. [diakses September
2007].
Agoes C. 2010. Pengelolaan bahan organik: peran dalam kehidupan dan
lingkungan. Yogyakarta: KP4 UGM-BPFE UGM. Halaman 155-169.
Agustini K., Wiryowidado, S., Kusmana, D. 2007. Pengaruh pemberian ekstrak
biji klabet [Trigonella foenum-graecum (L.,)] terhadap perkembangan
kelenjar mammae tikus putih betina galur wistar prepubertal. Jurnal Sains
dan Teknologi. 9(1): 8-16.
Akiyama T., Ishida, J., Nakagawa, S., Ogawara, H., Watanabe, S.I., Ito, N., dkk.
1987. Genistein: a specific inhibitor of tyrosine-spesific protein kinase.
The Journal of Bioloical Chemistry. (262): 5592-5595.
Anderson J.J.B., Anthony M., Messina M., Garner S.C. 1999. Effects of
phytoestrogens on tissues. Nutrition Research Review. (12): 75-116.
Bames, S., Kirk M., Coward, L. 1994. Isoflavones and their conjugates in soy
foods: extraction conditions an analysis by HPLC-mass spectrometry.
Journal of Agricultural and Food Chemistry. (42): 2466-74.
Badziad, Ali. 2003. Endokrinologi ginekologi. Edisi XXIV. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 167.
Benassayag, C., Perrot-Applanat, M., Ferre, F. 2002. Phytoestrogen as modulators
of steroid action in target cells. Journal Chromatograpy B. (777): 233-248.
Beral V. 2003. Breast cancer and hormon replacement therapy in women study.
The Lancet. (362): 413-427.
Biben. 2012. Fitoestrogen: khasiat terhadap sistem reproduksi, non reproduksi dan
keamanan penggunaannya. Seminar Ilmiah Nasional Estrogen Sebagai
Sumber Hormon Alami, 31 Maret 2012. Bandung: [Diakses tanggal 21
September 2013].
Callantine, M.R., Martin, P.L., Bolding, O.T., Warner, P.O., Greaney, M.O. 1975.
Obstetrics & Gynecology. New York: Obstet Gynecol. Halaman 237-41.
Caluwe, E.D., Halamova, K., Damme, P.V. 2010. Tamarindus indica L-A review
of traditional uses. Phytochemistry and Pharmacology. 23(1): 53-83.
Cassidy. 2003. Potensial risks and benefits of phytoestrogen-rich diets.
International Journal For Vitamin and Nutrition Research. 2(73): 120-
126.
Curran, D. 2009. Menopause. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/264088-print. .[Diakses Desember
2009].
Darmayani, P.R. 2016. Indeks mitosis dan indeks proliferasi protein Ki-67 lebih
tinggi pada karsinoma sel basal tipe agresif dibandingkan tipe non agresif.
Tesis. Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana. Denpasar.
Darmadi, T.S.D., Nurdiana., Noramawati, E. 2011. efek ekstrak kacang tunggak
terhadap osteoblas dan osteoklas pada tikus dengan ovariektomi. Jurnal
Kedokteran Brawijaya. 26(3): 151-155.

56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Duffy, J.E., Cardinale, J.B., Prancis, K.E., Mcintyre, P.B., Thebault, E., Loreau,
Michel. 2007. The Fungtional Role of Biodiversity in Ecosystem:
incorporatin Trophic Complexity. Ecoloy Letters. 6(10): 425-429.
Depkes RI. 1995. Materia medika indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 300-306, 321, 325, 333-337.
Dickerson, S.M., Andrea, C.G. 2007. Estrogenic enviromental endocrine-
disrupting chemical effcts on reproductive neuroendocrin function and
dysfunction across the life cycle. Reviews in Endocrine and Metabolic
Disorders. 8(2): 143-159.
Farris, E.J., Griffith, J.Q. 1971. The rat in laboratory investigation. New York:
Hafner Publishing Company. Halaman 19-22.
Farnsworth, N.R. 1966. Biological and phytochemical screening of plants.
Journal of Pharmaceutical Sciences. (55): 260-264.
Faustini, Marco., Rochira, V., Balestrieri, A., Carani, C. 2000. Estrogen
replacement therapy in a man with congenital aromatase deficiency:
effects of different doses of transdermal estradiol on bone mineral density
and hormonal parameters. The Journal of Clinical Endocrinology dan
Metabolism. (85): 1841-1845.
Glover, A., Assinder, S.J. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary
pytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormon
receptor expression. International Journal of Endocrinology. 189: 565-
573.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2011. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi XI.
Penerjemah: Irawati Ramadani dan Indriyani. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC. Halaman 82-93.
Hasibuan, P.A.Z. 2014. Aktivitas antioksidan dan antikanker ekstrak daun
Bangun-bangun (Plectranthus anboinicus (Lour.) Spreng.) terhadap
kanker payudara secara in vitro dan in vivo. Disertasi. Program Studi
Doktor Ilmu Farmasi USU. Medan.
Heffner, L., Schust, D. 2006. At a glance sistem reproduksi. Edisi II. Penerjemah:
Vidhia Umami. Jakarta: Erlangga. Halaman 94-96.
Hogan, B.R., Beddington, F., Constantini, E.L. 1994. Monipulating the mouse
embrio: a laboratory manual. New York: Cold Spring Laboratory Press.
Halaman 198-200.
Hughes, V.A., Roubenoff, R., Wood, M., Frontera, W.R., Evans, W.J., Singh,
M.A.F. 2004. Anthropometric assesment of 10-y changes in body
composition in the elderly. American Journal Clinical Nutrition. (80): 82-
475.
IHC World. 2011. Standar immunohistochemistry staining method avidin biotion
complex (ABC) method. Diunduh dari laman
http://ihcworld.com/protocols/general_IHC/standard_abc_method.htm.
[Diakses pada tanggal 21 Maret 2018].
Jarret, R.J., Graver, H.J. 1968. Changes in oral glucose tolerance during the
menstrual cycle. British Medical Journal. 2(5604): 528-529.
Jefferson, W.N.E.P., Banks, G. Clark., Newbold, R.R. 2002. Assessing estrogenic
activity of phytochemicals using transcriptional activation and immature
mouse uletrophic responses. Journal of Chromatography Analytical
Technologies in the Biochemical and Life Sciences. (12): 179-189.

57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jordan, V.C. 2004. Selective estrogen receptor modulation: concept and
consequences in cancer. The Feinberg School of Medicine. (15): 207-213.
Junqueira. 2014. Histologi dasar. Edisi XII. Jakarta: EGC. Halaman 1-3, 12-13.
Kasdu, D. 2002. Kiat sehat dan bahagia di usia menopause. Jakarta: Puspa
Swara. Halaman 234-240.
Katzung, BG. 2010. Basic and clinical pharmacology. Edisi X. Penerjemah:
Aryandhito Widhi N, Lero Rendy dan Linda Dwijayanthi. Jakarta: EGC.
Halaman 350-358.
Kenny, A.M., Prestwood., Raisz, L.G. 2000. The short term effects of tamoxifen
on bone turnover in older woman. The Journal of Clinical Endocrinology
and Metabolism. (80): 3287-3291.
Kent, G. C., Carr, R.K. 2001. Comparative anatomy of the vetebrates. Edisi IX.
New York: Mc. Graw-Hill Book Company. Halaman 432.
Kim., Peterson, T.G., Barnes, S. 1998. Mechanism of actionof the soy isoflavon
genestein: emerging role of its effect trough transforming growth factor
beta signaling. American Journal Clinical Nutrition. (68): 1418-1425.
Koswara, Sutrisno. 2006. Isoflavon senyawa multi-manfaat dalam kedelai [e-
book]. E-book Pangan. Institut Pertanian Bogor.
Kuiper, G.G.J.M., Lemmen, J.G., Carlsson, B.O., Corton, J.C., Safe, S.H.,
Gustafsson, J.A. 1998. Interaction of estrogenic chemicals and
phytoestrogens with ER-β. Journal of Endocrinology. 139(10): 63-4252.
Kurniawati, D. 2010. Efek Ekstrak Etanol Physalis Minina, Linn., Psidium
guajava, Linn., Swietenia mahagoni, Jacq terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah. Jurnal Medika Planta. 1(2): 55-60.
Lacy, A., O‟Kennedy, R. 2004. Studies on coumarins and coumarin-related
compounds to determine their therapeutic role in the treatment of cancer.
Current Pharmaceutical Design. 30 (10): 205-209.
Leeson, C.R., Leeson, T.S., Paparo, A.A. 1986. Buku ajar histologi. Edisi V.
Penerjemah: Koesparti Siswojo. Jakarta: EGC. Halaman 622.
Marquez, M.E., Soriano, J.B., Rubio, M.C., Lopez-Campos, J.L. 2015.
Differences in the use of spirometry between rural and urban primary care
centers in spain. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. (10): 1633-1639.
Matthews, J., Gustafsson, J. 2003. Estrogen signaling: a subtle balance between
Erα and ERβ. Molecular Interventions. (3): 281-292.
Messina, M.J., Loprinzi, C.L. 2001. Soy for breast cancer survivors: a critical
review of the literature. Journal of Nutrition. (131): 3095S-3108S.
Moghadamtousi, S.Z., dkk. 2013. Biological activities and phytochemicals of
seitenia macrophylla King. Molecules. (18): 10465-10483.
Moore, I.K.L., Agur A.M.R. 2002. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates.
Halaman 345-350.
Murkies, A.L., Wilcox, G., Davis, S.R. 1998. Phytoestrogens . The Journal of
Clinical Endocrinology Metabolism. (83): 297-303.
Mursiti. 2004. Identifikasi senyawa alkaloid bebas minyak (Swietenia
macrophylla King) dan efek biji mahoni terhadap penurunan kadar glukosa
darah tikus (Rattus novergicus). Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.

58
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Mursiti, S., Matsjeh, S., Jumina, Mustofa. 2013. Isolasi, identifikasi, dan elusdiasi
struktur senyawa alkaloid dalam ekstrak metanol-asam nitrat dari biji
mahoni bebas minyak (Swietenia macrophylla King). Jurnal Mipa. 36(2):
169-177.
Navarro, V.J., Senior, J.R. 2006. Drug-related hepatotoxicity. The Journal Of
Medicine. (354): 731-739.
Northrup, C. 2006. Bijak disaat menopause. Bandung: Penerbit Q-Press. Halaman
210-245.
Orwa., dkk. 2009. Caesalpiniasappan Linn. Agroforestry Database 4,0.
http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/Caesalpinia_sappan
pdf (Diakses Januari 2014).
Prasetyono. 2012. Buku pintar Asi ekslusif. Yogya: Diva Press. Halaman 23-27.
Pratama, N.R., Yunita, Erick., Tyas, D.R.A. 2011. Ekstrak kulit pisang kepok
[Musa paradisiacal (L.)] sebagai fitoestrogen pada perkembangan kelenjar
payudara tikus terovariektomi melalui peningkatan ekspresi c-myck.
Jurnal Saintifika. 3(1): 19-26.
Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo. Profi Kesehatan 2008. Halaman 115-126.
Ramosvara, J.A. 2005. Tecnical aspects of immunohistochemistry. Sage Journals.
(42): 405-426.
Rishi, R.K. 2002. Phytoestrogens in health and ilness. Indian Jurnal of
Pharmacology. (34): 311-320.
Sastrawinata, S. 2004. Ilmu kesehatan reproduksi: obstetri patologi. Edisi II.
Jakarta: EGC. Halaman 215-230.
Setchell, K.D.R., Borrieio, S.F., Hulme, P., Kirk, D.N., Axelson, M. 1984. Non
steroidal estrogen of dietary origin: possible roles in hormon dependent
disease. The Journal of Clinical Nutrition. (40): 569-578.
Shahidur, R., Azad, C., Husne-Ara, A., Sheikh Z.R., Mohammad, S.A., Lutfun,
N., dkk. 2009. Antibacterial activity of two limonoids from Swietenia
mahagoni against multiple-drug-resistent (MDR) bactrial strains. Journal
of Natural Medicine. (63): 41-45.
Sitasiwi, J.A., Djaelani, A.M., Mardiati, S.M. 2009. Hubungan kadar hormon
estradiol 17-beta dan tebal endometrium uterus mencit [Mus musculus
(L.)] selama satu siklus estrus. Laporan Penelitian. Semarang: Jurusan
Biologi FMIPA UNDIP.
Smith, B.J., Mangkoewidjojo, S. 1988. pemeliharaan pembiakan dan penggunaan
hewan percobaan di daerah Tropis Indonesia. Jakarta: University Press.
Halaman 25-43.
Speroff, L.F. 2011. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. Edisi VIII.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkin. Halaman 749-857.
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Halaman 53-73.
Sukardiman, P.H. 2000. Penapisan senyawa antikanker dari tanaman obat
Indonesia dengan molekul target enzim DNA topoisomerase. Penelitian
DCRG. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya. (21): 104-111
Supriyati, M.D., Rosa, Adelina., Nawangsari, D.A., Ikawati, Muthi., Edy,
Meiyanto. 2008. modulasi ekspresi c-myc sel epitelial kelenjar payudara

59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tikus oleh ekstrak etanolik kulit Jeruk Keprok (Citrus reticulata).
Prosiding Kongres Ilmiah XVI ISFI. (16): 70-74
Sutrisno., Khairiah, Rahayu., Santoso, Sanarto. 2014. Pengaruh genistein terhadap
ekspresi reseptor estrogen dan pada kultur sel endometriosis. Majalah
Obstetri dan Ginekologi. 2(22): 86-93.
Syamsuhidyat, S.S., Hutapea J.R. 1991. Inventaris tanaman obat di Indonesia.
Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI. Halaman 234-236.
Tagliaferri., Tripathy. 2006. The menopause book. USA: Shambala Publication,
Inc. Halaman 289.
Whitten, P.L., Pattisaul, H.B. 2001. Cross-species and interassay comparison of
phytoestrogen action: enviromental health prespectives suplements.
Environmental Health Perspectives. 109: 234-240.
Wijayanti, Daru. 2009. Fakta penting sekitar reproduksi wanita. Yogyakarta:
Diglosia Printika. Halaman 245-289.
Yildiz, F. 2005. Phytoestrogens in functional foods. Taylor & Francis Ltd. (5):
210-211.

60
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 1. Surat identifikasi tumbuhan

61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 2. Surat ethical clearance

62
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 3. Karakteristik tumbuhan dan biji mahoni

Biji mahoni

Biji mahoni yang sudah dikupas

Serbuk simplisia biji mahoni

63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 4. Perhitungan karakterisasi ekstrak etanol biji mahoni

1. Perhitungan penetapan kadar air


"𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 (𝑚𝑙)"
% Kadar air simplisia = "𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)"

No Berat sampel (g) Volume air (ml)


1 5,049 0,1 ml
2 5,026 0,3 ml
3 5,021 0,5 ml

1. Kadar air =

2. Kadar air =

3. Kadar air =

% Rata – rata kadar air =

2. Perhitungan kadar sari larut dalam air


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔)
% Kadar sari larut dalam air = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)

No Berat sampel (g) Berat sari (g)


1 5,022 0,086
2 5,011 0,073
3 5,065 0,082

1. Kadar sari larut dalam air =

2. Kadar sari larut dalam air =

3. Kadar sari larut dalam air =

% Rata-rata kadar sari larut dalam air =

64
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 4. (lanjutan)

3. Perhitungan kadar sari larut dalam etanol


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔)
% Kadar sari larut lam etanol =𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)

No Berat Sampel (g) Berat Sari (g)


1 5,074 0,170
2 5,072 0,171
3 5,064 0,172

1. Kadar sari larut dalam etanol =

2. Kadar sari larut dalam etanol =

3. Kadar sari larut dalam etanol =

% Rata-rata kadar sari larut dalam etanol =

4. Perhitungan kadar abu total


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 (𝑔)
% Kadar abu total = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 (𝑔)

No Berat sampel (g) Berat abu (g)

1 3,066 0,030
2 3,033 0,034
3 3,054 0,030

1. Kadar abu total =

2. Kadar abu total =

3. Kadar abu total =

% Rata-rata kadar abu total =

65
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 4. (lanjutan)

5. Perhitungan kadar abu simplisia tidak larut dalam asam


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 (𝑔)
% Kadar abu tidak larut dalam asam = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 (𝑔)

No Berat sampel (g) Berat sari (g)


1 3,066 0,027
2 3,033 0,029
3 3,054 0,039
1.Kadar abu tidak larut asam =

2. Kadar abu tidak larut asam =

3. Kadar abu tidak larut asam =

% Kadar abu tidak larut dalam asam =

66
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 5. Bagan alur penelitian

Biji mahoni
D
Dibersihkan dari pengotor
Ditimbang

Berat basah

Dikeringkan pada suhu ± 40ºC


Berat kering

Dihaluskkan
Ditimbang
a.
Serbuk
simplisia

Karakterisasi Simplisia Ekstraksi


Dimaserasi
dengan
etanol 96%
a. Pemeriksaan
makroskopik
b. Penetapan kadar abu Maserat I Ampas
total
c. Penetapan kadar abu Dimaserasi
tidak larut dalam dengan
asam Etanol 96
d. Penetapan kadar sari %
larut dalam air
e. Penetapan kadar sari
larut dalam etanol Maserat II Ampas
f. Pemeriksaan
skrining fitokimia Pengujian Pengaruh
EEBM

Ekstrak etanol biji


mahoni (EEBM)

Hasil

67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 5. Bagan alur penelitian (lanjutan)

Bagan pembuatan ekstrak etanol biji mahoni (EEBM)

Serbuk simplisia
biji mahoni
Dimasukkan kedalam sebuah bejana
Ditambahkan pelarut etanol 96%
Direndam selama 5 hari terlindung dari
cahaya, sambil sesekali diaduk
Disaring dengan kertas saring

Maserat I Ampas
Dicuci ampas dengan
etanol 96%
Disaring dengan kertas
saring hingga diperoleh
100 bagian

Maserat II

Dipindahkan kedalam bejana tertutup


Dibiarkan ditempat sejuk dan terlidung dari
cahaya selama 2 hari
Dienaptuangkan atau disaring

Maserasi

Dipekatkan dengan rotary


evaporator pada suhu 40˚C

Ekstrak kental

68
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 5. Bagan alur penelitian (lanjutan)

Bagan pengujian pengaruh EEBM

30 Tikus

5 Tikus tidak 25 tikus


diovariektomi diovariektomi

Diistirahatkan
selama 14 hari
untuk mendapat
efek menopause
Diberi suspensi
selama 14 hari
berturut-turut

Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok


I (normal) 2 (17-β 3 (Na- 4 (EEBM 5 (EEBM 6 (EEBM
estradiol CMC 0,5 50 mg/kg 100 mg/kg 200
valerate) %) bb) bb) mg/kg bb)

Pembedahan Kelenjar
Payudara

69
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 5. Bagan alur penelitian (lanjutan)

Bagan pengujian pengaruh EEBM terhadap perkembangan sel epitel kelenjar


payudara
Tikus

Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo


kI k 2 (17-β k 3 (Na- k4 k5 k6
(normal) estradiol CMC 0,5 (EEBM (EEBM (EEBM
valerate) %) 50 mg/kg 100 200
bb) mg/kg mg/kg

Didislokasi leher pada


hari ke-15.
Kelenjar
Payudara

Pengujian Ekspresi
Ki-67 dengan
metode IHC

Preparat
Histopatologi

Hasi Diamati dibawah


Mikroskop perbesaran
10x, 40x.

70
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 6. Gambar alat yang digunakan

Rotary evaporator Timbangan analitik

Peralatan Bedah

Spuit dan oral sonde Mikroskop Binokuler

71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 7. Hewan percobaan

72
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 8. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia

(Suhardjono, 1995).
Mencit Tikus Marmut Kelinci Kera Anjing Manusia 70
20 g 200 g 400 g 1,2 kg 4kg 12 kg kg
Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9
(20 g)
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0
(200 g)
Marmut 0,08 0,57 1.0 2,25 5,2 10,2 31,5
(400 g)
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2
(1,2 kg)
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1
(4 kg)
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1
(12 kg)
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0
(70 kg)

73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. Contoh perhitungan dosis

1. Contoh perhitungan dosis EEBM yang akan diberikan pada tikus secara per

oral (p.o)

a. Dosis suspensi EEBM yang akan dibuat adalah 50, 100, 200 mg/ kg bb.

b. Cara pembuatan suspensi EEBM

Timbang 50, 100, 200 mg EEBM, masing-masing dilarutkan dalam 10 ml

suspensi Na-CMC 0,5%.

c. Berapa volume suspensi pada EEBM yang akan diberikan pada tikus ?

Misal : BB tikus 200 gr

Jumlah EEBM dosis 50mg/kg bb = 10 mg

Volume larutan yang diberikan =

Jumlah EEBM dosis 100 mg/kg bb =

Volume larutan yang diberikan =

Jumlah EEBM dosis 200 mg/kg bb =

Volume larutan yang diberikan =

2. Contoh perhitungan dosis estradiol valerate yang akan diberikan pada tikus

secara per oral (p.o)

d. Tiap tablet Progynova mengandung 2 mg estradiol valerate

e. Dosis maksimum untuk manusia dewasa = 1 mg – 2mg

f. Konversi dosis manusia (70 kg) ke dosis untuk hewan uji tikus dikali

0,018

g. Dosis estradiol valrate untuk tikus (200 g) = (1 mg – 2 mg) x 0,018 =

0,018 mg – 0,036 mg.

74
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. Contoh perhitungan dosis (lanjutan)

h. Estradiol valerate yang digunakan = 0,036 mg untuk tikus 200 g

i. Dosis estradiol valerate yang diberikan (mg / kg bb) = 0,036 / 200 g bb =

0,18 mg/ kg bb atau maka

j. Maka dosis estradiol valerate adalah 0,18 mg/ kg bb

Menurut FI edisi III, keseragaman bobot = 20 tablet

k. Maka diambil 20 tablet estradiol valerate, digerus dan ditimbang berat

totalnya = 1447

l. Berat bahan aktif estradiol valerate dalam 20 tablet estradiol valerate

adalah 2 mg x 20 tablet = 40 mg

m. Maka serbuk tablet estradiol valerate yang ditimbang untuk digunakan

maka x = 6,62 mg 7 mg ( mengandung zat aktif

estradiol valerate setara 0,18 mg).

n. Cara pembuatan suspensi estradiol valerate :

Timbang estradiol valerate 7 mg serbuk tablet estradiol valerate

dilarutkan dalam 10 ml larutan suspensi Na- CMC 0,5 %

o. Berapa volume suspensi estradiol valerate yang akan diberikan pada tikus?

p. Misal : BB tikus = 200 gram

Jumlah estradiol valerate dosis 0,18 mg/ kg bb = x 200 g =

0,036mg

q. Volume larutan yang diberikan

75
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 10. Perhitungan Skor Ekspresi Ki-67

Persentase sel epitel payudara tikus yang terekspresi dengan Ki-67 dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah sel epitel yang berekspresi


%= × 100 %
Jumlah sel epitel yang tidak berekspresi

76
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 11. Perhitungan Intensitas Warna Ekspresi Ki-67 Sel Epitel Payudara
Tikus

Penentuan intensitas warna ekspresi Ki-67 pada sel epitel payudara tikus
berdasarkan tabel dibawah ini:

Intensitas Warna Skor


Coklat kuat 3
Coklat sedang 2
Coklat Lemah 1
Tidak ada warna 0

Perhitungan skor intensitas warna ekspresi Ki-67 dengan menggunakan rumus

berikut:

Skor Intensitas Warna = Jumlah Sel x Total Skor

77
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 12. Hasil analisis data statistik ekspresi Ki-67

1. Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statisti
Kelompok Uji c df Sig. Statistic Df Sig.
Normal .315 3 . .892 3 .360

CMC Na .176 3 . 1.000 3 .985


17-Beta Estradiol Valerate .318 3 . .887 3 .344
EEBM 50 mg/kg bb .253 3 . .964 3 .635
EEBM 100 mg/kg bb .267 3 . .951 3 .574
EEBM 200 mg/kg bb .356 3 . .818 3 .158
a. Lilliefors Significance Correction

2. Uji Anova

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 11836.726 5 2367.345 69.798 .000

Within Groups 407.007 12 33.917

Total 12243.733 17

78
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 12. (lanjutan)
3. Uji Deskriptif

95% Confidence
Std. Interval for Mean Minim Maxim
Std.
N Mean Deviatio
Error Lower Upper um um
n
Bound Bound
Normal 3 80.71 4.66409 2.6928 69.1238 92.2962 77.19 86.00
00 1
CMC Na 3 5.353 2.99009 1.7263 -2.0745 12.7811 2.35 8.33
3 3
17-Beta 3 40.21 2.40019 1.3857 34.2509 46.1757 38.42 42.94
Estradiol 33 5
Valerate
EEBM 50 3 54.80 12.11001 6.9917 24.7204 84.8863 44.24 68.02
mg/kg bb 33 1
EEBM 100 3 67.52 3.95299 2.2822 57.7002 77.3398 63.16 70.87
mg/kg bb 00 6
EEBM 200 3 76.18 2.18404 1.2609 70.7612 81.6121 74.75 78.70
mg/kg bb 67 6
Total 18 54.13 26.83691 6.3255 40.7854 67.4768 2.35 86.00
11 2

79
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 12. (lanjutan)
4. Uji Pos Hoc
Multiple Comparisons

Skor KI 67
Tukey HSD
95% Confidence
(I) Mean Interval
Kelompok (J) Kelompok Difference Std. Lower Upper
Uji Uji (I-J) Error Sig. Bound Bound
Normal CMC Na 75.35667* 4.75516 .000 59.3845 91.3289
*
17- Beta 40.49667 4.75516 .000 24.5245 56.4689
Estradiol
Valerate
EEBM 50 25.90667* 4.75516 .002 9.9345 41.8789
mg/kg bb
EEBM 100 13.19000 4.75516 .130 -2.7822 29.1622
mg/kg bb
EEBM 200 4.52333 4.75516 .925 -11.4489 20.4955
mg/kg bb
CMC Na Normal -75.35667* 4.75516 .000 -91.3289 -59.3845
*
17-Beta -34.86000 4.75516 .000 -50.8322 -18.8878
Estradiol
Valerate
EEBM 50 -49.45000* 4.75516 .000 -65.4222 -33.4778
mg/kg bb
EEBM 100 -62.16667* 4.75516 .000 -78.1389 -46.1945
mg/kg bb
EEBM 200 -70.83333* 4.75516 .000 -86.8055 -54.8611
mg/kg bb
17-Beta Normal -40.49667* 4.75516 .000 -56.4689 -24.5245
Estradiol CMC Na *
34.86000 4.75516 .000 18.8878 50.8322
Valerate
EEBM 50 -14.59000 4.75516 .081 -30.5622 1.3822
mg/kg bb

80
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 12. (lanjutan)

EEBM 100 -27.30667* 4.75516 .001 -43.2789 -11.3345


mg/kg bb
EEBM 200 -35.97333* 4.75516 .000 -51.9455 -20.0011
mg/kg bb
EEBM 50 Normal -25.90667* 4.75516 .002 -41.8789 -9.9345
mg/kg bb CMC Na 49.45000* 4.75516 .000 33.4778 65.4222
17-Beta 14.59000 4.75516 .081 -1.3822 30.5622
Estradiol
Valerate
EEBM 100 -12.71667 4.75516 .152 -28.6889 3.2555
mg/kg bb
EEBM 200 -21.38333* 4.75516 .007 -37.3555 -5.4111
mg/kg bb
EEBM 100 Normal -13.19000 4.75516 .130 -29.1622 2.7822
mg/kg bb CMC Na 62.16667* 4.75516 .000 46.1945 78.1389
17-Beta 27.30667* 4.75516 .001 11.3345 43.2789
Estradiol
Valerate
EEBM 50 12.71667 4.75516 .152 -3.2555 28.6889
mg/kg bb
EEBM 200 -8.66667 4.75516 .488 -24.6389 7.3055
mg/kg bb
EEBM 200 Normal -4.52333 4.75516 .925 -20.4955 11.4489
mg/kg bb CMC Na 70.83333* 4.75516 .000 54.8611 86.8055
17-Beta 35.97333* 4.75516 .000 20.0011 51.9455
Estradiol
Valerate
EEBM 50 21.38333* 4.75516 .007 5.4111 37.3555
mg/kg bb
EEBM 100 8.66667 4.75516 .488 -7.3055 24.6389
mg/kg bb
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 12. (lanjutan)

5. Homogenous Subsets

Homogeneous Subsets
Subset for alpha = 0.05
Kelompok Uji N 1 2 3 4
CMC Na 3 5.3533
17-Beta Estradiol Valerate 3 40.2133
EEBM 50 mg/kg bb 3 54.8033 54.8033
EEBM 100 mg/kg bb 3 67.5200 67.5200
EEBM 200 mg/kg bb 3 76.1867
Normal 3 80.7100
Sig. 1.000 .081 .152 .130

82
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 13. Hasil analisis data statistik intensitas warna ekspresi Ki-67
1. Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
nilai intensitas ,194 18 ,072 ,870 18 ,018
warna
a. Lilliefors Significance Correction

2. Uji Anova
ANOVA
nilai intensitas warna
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Between 6516,500 5 1303,300 9,287 ,001
Groups
Within Groups 1684,000 12 140,333
Total 8200,500 17

83
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 13. (lanjutan)

3. Uji Deskriptif
Descriptives
nilai intensitas warna
95%
Confidence
Interval for
Mean
Perlakuan
Lowe
Std. r
Devi Std. Boun Upper Minim
N Mean ation Error d Bound um Maximum
Normal 3 101,3 4,163 2,404 90,99 111,68 98 106
3
CMC Na 0,5 3 45,00 7,550 4,359 26,25 63,75 37 52
%
17-Beta 3 87,00 9,165 5,292 64,23 109,77 77 95
Estradiol
Valerate
EEBM 50 3 94,33 7,095 4,096 76,71 111,96 88 102
mg/kg bb
EEBM 100 3 95,33 18,14 10,477 50,25 140,41 76 112
mg/kg bb 8
200 mg/kg bb 3 96,00 17,43 10,066 52,69 139,31 76 108
6
Total 18 86,50 21,96 5,177 75,58 97,42 37 112
3

84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 13. (lanjutan)
4. Uji Pos Hoc
Multiple Comparisons
nilai intensitas warna
Tukey HSD
(I) (J) perlakuan 95% Confidence
perlakuan Interval
Mean Upper
Differen Std. Lower Boun
ce (I-J) Error Sig. Bound d
*
Normal CMC Na 0,5 % 56,333 9,672 ,001 23,84 88,82
17-Beta Estradiol 14,333 9,672 ,681 -18,16 46,82
Valerate
EEBM 50 mg/kg bb 7,000 9,672 ,975 -25,49 39,49
EEBM 100 mg/kg bb 6,000 9,672 ,987 -26,49 38,49
200 mg/kg bb 5,333 9,672 ,992 -27,16 37,82
*
CMC Na 0,5 Normal -56,333 9,672 ,001 -88,82 -
% 23,84
17-Beta Estradiol -42,000* 9,672 ,010 -74,49 -9,51
Valerate
EEBM 50 mg/kg bb -49,333* 9,672 ,003 -81,82 -
16,84
EEBM 100 mg/kg bb -50,333* 9,672 ,002 -82,82 -
17,84
200 mg/kg bb -51,000* 9,672 ,002 -83,49 -
18,51
17-Beta Normal -14,333 9,672 ,681 -46,82 18,16
*
Estradiol CMC Na 0,5 % 42,000 9,672 ,010 9,51 74,49
Valerate EEBM 50 mg/kg bb -7,333 9,672 ,970 -39,82 25,16
EEBM 100 mg/kg bb -8,333 9,672 ,949 -40,82 24,16
200 mg/kg bb -9,000 9,672 ,931 -41,49 23,49
EEBM 50 Normal -7,000 9,672 ,975 -39,49 25,49
*
mg/kg bb CMC Na 0,5 % 49,333 9,672 ,003 16,84 81,82
17-Beta Estradiol 7,333 9,672 ,970 -25,16 39,82
Valerate
EEBM 100 mg/kg bb -1,000 9,672 1,000 -33,49 31,49
200 mg/kg bb -1,667 9,672 1,000 -34,16 30,82
EEBM 100 Normal -6,000 9,672 ,987 -38,49 26,49
*
mg/kg bb CMC Na 0,5 % 50,333 9,672 ,002 17,84 82,82

85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 13. (lanjutan)

17-Beta Estradiol 8,333 9,672 ,949 -24,16 40,82


Valerate
EEBM 50 mg/kg bb 1,000 9,672 1,000 -31,49 33,49
200 mg/kg bb -,667 9,672 1,000 -33,16 31,82
200 mg/kg Normal -5,333 9,672 ,992 -37,82 27,16
bb *
CMC Na 0,5 % 51,000 9,672 ,002 18,51 83,49
17-Beta Estradiol 9,000 9,672 ,931 -23,49 41,49
Valerate
EEBM 50 mg/kg bb 1,667 9,672 1,000 -30,82 34,16
EEBM 100 mg/kg bb ,667 9,672 1,000 -31,82 33,16

5. Homogenous Subsets

nilai intensitas warna

perlakuan Subset for alpha =


0.05
N 1 2
CMC Na 0,5 % 3 45,00
17-Beta Estradiol 3 87,00
Valerate
EEBM 50 mg/kg bb 3 94,33
EEBM 100 mg/kg bb 3 95,33
200 mg/kg bb 3 96,00
Normal 3 101,33
Sig. 1,000 ,681
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

86
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai