Anda di halaman 1dari 153

TESIS

PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK DAUN PIRDOT


(Saurauia vulcani Korth.) DAN HERBA POGUNTANO (Picria
fel-terrae Lour.) TERHADAP KADAR SOD, HbA1c, EKSPRESI
INSULIN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA

OLEH :
CHEMAYANTI SURBAKTI
NIM 167014007

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

i
Universitas Sumatera Utara
PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK DAUN PIRDOT
(Saurauia vulcani Korth.) DAN HERBA POGUNTANO (Picria
fel-terrae Lour.) TERHADAP KADAR SOD, HbA1c, EKSPRESI
INSULIN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

OLEH:
CHEMAYANTI SURBAKTI
NIM 167014007

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

ii
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK DAUN PIRDOT


(Saurauia vulcani Korth.) DAN HERBA POGUNTANO (Picria
fel-terrae Lour.) TERHADAP KADAR SOD, HbA1c, EKSPRESI
INSULIN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA

OLEH:
CHEMAYANTI SURBAKTI
NIM 167014007

Medan, 22 Januari 2019


Disetujui Oleh:
Komisi Pembimbing, Komisi Penguji,

Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt. Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt.
NIP 195310301980031002 NIP 197506102005012003

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt.
NIP 195103261978022001 NIP 195709091985112001

Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt.


NIP 195310301980031002

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.


NIP 195103261978022001

Mengetahui: Disahkan oleh:


Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Urip Harahap., Apt. Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.
NIP 195301011983031004 NIP 195707231986012001

iii
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Chemayanti Surbakti

Nomor Induk Mahasiswa : 167014007

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Pengaruh Kombinasi Ekstrak Daun Pirdot


(Saurauia vulcani Korth.) dan Herba
Poguntano (Picria fel-terrae Lour.) terhadap
Kadar SOD, HbA1c, Ekspresi Insulin pada
Tikus Hiperglikemia

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Komisi Penguji Tesis pada

hari Selasa tanggal dua puluh dua bulan Januari tahun dua ribu sembilan belas.

Mengesahkan:

Komisi Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt.

Sekretaris Komisi Penguji : Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

Anggota Komisi Penguji : Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt.

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt

iv
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama Mahasiswa : Chemayanti Surbakti

Nomor Induk Mahasiswa : 167014007

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Pengaruh Kombinasi Ekstrak Daun Pirdot


(Saurauia vulcani Korth.) dan Herba
Poguntano (Picria fel-terrae Lour.) terhadap
Kadar SOD, HbA1c, Ekspresi Insulin pada
Tikus Hiperglikemia

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya

sendiri, bukan plagiat dan apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut

plagiat karena kesalahan saya sendiri maka saya bersedia diberi sanksi apapun

oleh Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi USU. Saya tidak akan

menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat.

Medan, 22 Januari 2019


Yang membuat pernyataan,

Chemayanti Surbakti
NIM 167014007

v
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

“PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK DAUN PIRDOT (Saurauia vulcani

Korth.) DAN HERBA POGUNTANO (Picria fel-terrae Lour.) TERHADAP

KADAR SOD, HbA1c, EKSPRESI INSULIN PADA TIKUS

HIPERGLIKEMIA”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara. Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini, penulis telah banyak

mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun

materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Rektor Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi Magister.

2. Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara, yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan Program Studi Magister di Fakultas Farmasi.

3. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. selaku Ketua Program Studi Magister

Farmasi dan Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. selaku Sekretaris Program

Studi Magister Farmasi yang telah banyak memberikan motivasi dan

bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

4. Bapak Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt. dan Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu

vi
Universitas Sumatera Utara
memberikan saran, koreksi dan bimbingan kepada penulis dalam

menyelesaikan tesis ini.

5. Ibu Dr. Marline Nainggolan., M.Si., Apt. dan Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z.

Hasibuan, S.Si, M.Si., Apt. selaku anggota komisi penguji yang telah banyak

memberikan saran, dan koreksi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Magister Farmasi atas

bimbingannya selama penulis menjalani pendidikan.

7. Suami saya Sugih Yarto, S.T. dan anak kami tercinta Dyandra Athaya

Sugema yang telah mendoakan saya tanpa henti serta memberi dukungan dan

semangat kepada penulis dalam menjalani pendidikan, penelitian dan

penyelesaian tesis ini.

8. Rekan-rekan Program Studi Magister Farmasi atas kerjasama, bantuan, doa

dan kekompakannya selama pendidikan dan seluruh teman-teman yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu

mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berharap

adanya kritik dan saran membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, 22 Januari 2019


Penulis,

Chemayanti Surbakti
NIM 167014007

vii
Universitas Sumatera Utara
PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK DAUN PIRDOT
(Saurauia vulcani Korth.) DAN HERBA POGUNTANO (Picria
fel-terrae Lour.) TERHADAP KADAR SOD, HbA1c, EKSPRESI
INSULIN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA

ABSTRAK

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh


ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena
penggunaan yang tidak efektif dari insulin. Hiperglikemia persisten akan
menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas terutama reactive oxygen
species (ROS). Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim yang berperan
sebagai antioksidan dengan menangkap salah satu ROS yaitu anion superoksida.
HbA1c juga merupakan pemeriksaan terbaik untuk menilai risiko terhadap
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah. Daun
pirdot dan herba poguntano digunakan untuk mengobati berbagai penyakit salah
satunya sebagai antidiabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
kombinasi ekstrak daun pirdot dan herba poguntano terhadap kadar SOD, HbA1c,
ekspresi insulin pada tikus yang diinduksi NA dan STZ.
Serbuk simplisia daun pirdot dan herba poguntano diekstraksi dengan
metode maserasi dengan pelarut etanol 96%. Pengujian dilakukan terhadap tikus
jantan, yang terdiri dari 8 kelompok. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif
diberikan Na-CMC 0,5 %, kelompok 2 diberikan EEDP 100 mg/kg bb, kelompok
3 diberikan EEHP 100 mg/kg bb, kelompok 4 diberikan EEDP:EEHP (25:75)
mg/kg bb, kelompok 5 diberikan EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, kelompok 6
diberikan EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb, kelompok 7 sebagai kontrol positif
yang diberikan glibenklamid dosis 0,45 mg/kg bb, dan kelompok 8 sebagai
kelompok normal.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian kombinasi EEDP
dan EEHP menunjukkan efek penurunan kadar glukosa darah (KGD) tikus yang
tidak berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol positif (p < 0,05), dari
hasil pengujian kelompok perlakuan kombinasi 75:25 mg/kg bb yang paling
maksimal menurunkan KGD sebesar 258,5 mg/dL. Kombinasi EEDPP dan EEHP
(75:25) dapat meningkatkan kadar SOD maksimal sebesar 67,75 pg/mL. EEDP
dan EEHP (50:50) mg/kg bb berpengaruh menurunkan konsentrasi HbA1c,
dimana konsentrasi HbA1c pada kelompok yang diberi ekstrak kombinasi sebesar
25,87 ng/mL yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan
kelompok EEDP:EEHP (75:25) dan normal. Ekspresi insulin pada sel beta
Langerhans pankreas EEDP:EEHP (75:25) memiliki persentase ekspresi insulin
tertinggi sebesar 80,00% dengan jumlah ekspresi insulin 160 sel/lapang.

Kata kunci: HbA1c, Insulin, Picria fel-terrae Lour., Saurauia vulcani, Korth.,
SOD.

viii
Universitas Sumatera Utara
TEST COMBINATION STUDY OF EEFECT EXTRACT OF
PIRDOT LEAVES (Saurauia vulcani Korth.) AND
POGUNTANO HERBS (Picria fel-terrae Lour.) AGAINST SOD,
HbA1c LEVELS, INSULIN EXPRESSION IN
HYPERGLYCEMIA RATS

ABSTRACT

Diabetes mellitus (DM) is a chronic disease caused by the body inability


to produce the hormone insulin or because of ineffective use of insulin. Persistent
hyperglycemia will cause increased production of free radicals, especially reactive
oxygen species (ROS). Superoxide Dismutase (SOD) is an enzyme that acts as an
antioxidant by capturing one of the ROS, namely superoxide anion. HbA1c is also
the best test to assess the risk of tissue damage caused by high blood sugar levels.
Pirdot leaves and poguntano herbs are used to treat various diseases, one of which
is antidiabetic. This study aims to determine the effect of the combination of
pirdot leaf extract and poguntano herbs on the levels of SOD, HbA1c, insulin
expression in NA and STZ induced rats.
Pirdot leaf simplicia powder and poguntano herb were extracted using
96% ethanol maceration solvent method. Tests were carried out on male rats,
which consisted of 8 groups. Group 1 as a negative control was given 0.5% Na-
CMC, group 2 was given EEDP 100 mg / kg bw, group 3 was given EEHP 100
mg / kg bw, group 4 was given EEDP: EEHP (25:75) mg / kg bw, group 5 was
given EEDP: EEHP (50:50) mg / kg bw, group 6 was given EEDP: EEHP (75:25)
mg / kg bw, group 7 as positive control given glibenclamide dose 0.45 mg / kg
bw, and group 8 as a normal group.
The results of the statistical analysis showed that the combination of
EEDP and EEHP showed the effect of decreasing blood glucose levels (KGD) in
rats that did not differ significantly compared to the positive control group (p
<0.05), from the results of group testing of combination treatments 75:25 mg / kg
bw the maximum reduces KGD by 258.5 mg / dL. The combination of EEDPP
and EEHP (75:25) can increase SOD levels to a maximum of 67.75 pg / mL.
EEDP and EEHP (50:50) mg / kg bw had an effect on reducing the concentration
of HbA1c, where the concentration of HbA1c in the group given combination
extract was 25.87 ng / mL which showed no significant difference with the EEDP
group: EEHP (75:25) and normal. Insulin expression in Langerhans pancreatic
beta cells EEDP: EEHP (75:25) has the highest percentage of insulin expression at
80.00% with 160 cell / field insulin expression.
Keywords: HbA1c, Insulin, Picria fel-terrae Lour., Saurauia vulcani, Korth.,
SOD.

ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ....................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS ........................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ............................................................ iv

SURAT PERNYATAAN ........................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................. viii

ABSTRACT ............................................................................................... ix

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xviii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xx

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xxi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 6

1.3 Hipotesis ............................................................................. 6

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................. 7

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................. 7

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9

2.1 Diabetes Melitus ................................................................. 9

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ................................ 9

2.1.2 Penyebab Diabetes ............................................... 10

x
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Diagnosis diabetes ................................................ 11

2.1.4 Manajemen Pengobatan Diabetes Melitus ........... 11

2.1.5 Komplikasi Diabetes Melitus ............................... 14

2.1.5.1 Hipoglikemia ............................................ 14

2.1.5.2 Retinopati diabetik ................................... 15

2.1.5.3 Nefropati diabetik ..................................... 15

2.1.5.4 Neuropati diabetik .................................... 15

2.1.5.5 Gangguan pada pembuluh darah .............. 16

2.1.5.6 Gangguan fungsi jantung ......................... 16

2.1.6 Kadar Glukosa ...................................................... 16

2.1.6.1 Penilaian Pengontrolan Glukosa Darah ..... 16

2.1.7 Insulin ................................................................... 17

2.2 Pembentukan Senyawa Oksigen Reaktif pada


Diabetes Melitus ................................................................. 19

2.3 SOD (Superoxide Dismutase) ............................................. 19

2.4 Hemoglobin glikosilat (HbA1c) ......................................... 22

2.4.1 Definisi HbA1c .................................................... 22

2.4.2 Pembentukan HbA1c ............................................ 22

2.4.3 Metode Pemeriksaan ............................................ 24

2.5 Induksi Nicotinamida-Streptozotosin ................................. 25

2.5.1 Mekanisme Streptozotosin Menginduksi


Diabetes Melitus ................................................... 25

2.5.2 Mekanisme Nicotinamida Melindungi Sel Beta


Pankreas ............................................................... 26

2.6 Glibenklamid ...................................................................... 27

2.7 Uraian Tumbuhan ............................................................... 28

xi
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Sistematika Tumbuhan ......................................... 28

2.7.2 Nama Daerah ........................................................ 29

2.7.3 Morfologi Tumbuhan ........................................... 29

2.7.4 Kandungan Kimia ................................................ 31

2.7.4.1 Flavonoida ................................................ 31

2.7.4.2 Tanin ......................................................... 31

2.7.4.3 Saponin ..................................................... 32

2.7.4.4 Steroida/triterpenoida ............................... 32

2.7.4.5 Glikosida .................................................. 32

2.8 Ektraksi ............................................................................... 32

2.9 Metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) .... 34

2.10 Imunohistokimia ................................................................. 36

2.11 Kerangka Teori Penelitian .................................................. 37

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 39

3.1 Alat – alat ........................................................................... 39

3.2 Bahan – bahan .................................................................... 40

3.3 Pembuatan Pereaksi ............................................................ 40

3.3.1 Pereaksi Bouchardat ............................................. 40

3.3.2 Pereaksi Dragendorff ............................................ 40

3.3.3 Pereaksi Mayer ..................................................... 40

3.3.4 Pereaksi Besi (III) Klorida 1% b/v ....................... 41

3.3.5 Pereaksi Molisch .................................................. 41

3.3.6 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M ........................ 41

3.3.7 Pereaksi Asam Klorida 2 N .................................. 41

3.3.8 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N ........................ 41

xii
Universitas Sumatera Utara
3.3.9 Pereaksi Asam Sulfat 2 N ..................................... 41

3.3.10 Pereaksi Liebermann-Burchard ............................ 41

3.3.11 Larutan Kloralhidrat ............................................. 41

3.3.12 Buffer Formalin .................................................... 42

3.4 Penyiapan Sampel .............................................................. 42

3.4.1 Pengumpulan Bahan Tumbuhan .......................... 42

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan ......................................... 42

3.4.3 Pembuatan Simplisia ............................................ 42

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia .................................. 42

3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Organoleptik ...... 43

3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik .................................... 43

3.5.3 Penetapan Kadar Air ............................................ 43

3.5.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air ................. 44

3.5.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol ........... 44

3.5.6 Penetapan Kadar Abu Total ................................. 45

3.5.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam . 45

3.6 Skrining Fitokimia Simplisia .............................................. 45

3.6.1 Pemeriksaan Flavonoid ........................................ 45

3.6.2 Pemeriksaan Alkaloid .......................................... 46

3.6.3 Pemeriksaan Saponin ........................................... 47

3.6.4 Pemeriksaan Tanin ............................................... 47

3.6.5 Pemeriksaan Glikosida ......................................... 47

3.6.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid ........................ 48

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pirdot (EEDP) dan


Ekstrak Etanol Herba Poguntano (EEHP) .......................... 48

xiii
Universitas Sumatera Utara
3.8 Pembuatan Sediaan Uji ....................................................... 48

3.8.1 Sediaan Suspensi Na-CMC 0,5% ......................... 48

3.8.2 Pembuatan Suspensi Glibenklamid ...................... 49

3.8.3 Pembuatan Larutan Nicotinamida (NA) .............. 49

3.8.4 Pembuatan Larutan Streptozotosin (STZ) ............ 49

3.8.5 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Pirdot


(EEDP) dan Ektrak Etanol Herba
Poguntano (EEHP) ............................................... 49

3.9 Penyiapan Hewan Uji ......................................................... 49

3.10 Pengujian Efek Antidiabetes Ekstrak Etanol Daun Pirdot


(EEDP) dan Ekstrak Etanol Herba Poguntano (EEHP) ...... 50

3.10.1 Pengukuran Kadar Glukosa Darah (KGD) ........... 50

3.10.2 Penginduksian Hewan Uji .................................... 50

3.11 Uji Aktivitas Antidiabetes Kombinasi EEDP dan EEHP ... 50

3.12 Penetapan Kadar SOD dan HbA1c...................................... 51

3.12.1 Pengambilan Plasma Darah Tikus ........................ 51

3.12.2 Pembuatan Larutan Uji ......................................... 52

3.12.2.1 Pembuatan Larutan Wash Buffer ............ 52

3.12.2.2 Pembuatan Larutan Standar ................... 52

3.12.2.3 Pembuatan Larutan Antibodi Biotin ...... 52

3.12.2.4 Pembuatan Larutan Horseradish


Peroxidase (HRP)–Streptavidin
Conjugate (SABC)................................ 52

3.12.3 Pengukuran kadar SOD, Insulin dan HbA1c ....... 52

3.13 Pengujian Ekspresi Insulin dengan Metode


Imunohistokimia ............................................................... 53

3.14 Analisis Data ...................................................................... 55

xiv
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 56

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan .............................................. 56

4.2 Karakterisasi Simplisia ....................................................... 56

4.2.1 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia Daun


Pirdot (Saurauia vulcani Korth.) .......................... 56

4.2.2 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Herba


Poguntano ............................................................. 58

4.3 Hasil Ekstraksi .................................................................... 59

4.4 Hasil Skrining Fitokimia .................................................... 59

4.4.1 Hasil Skrining Fitokimia Daun Pirdot .................. 59

4.4.2 Hasil Skrining Fitokimia Herba Puguntano ......... 60

4.5 Hasil Pengujian Aktivitas Antidiabetes Kombinasi


EEDP dan EEHP ................................................................ 60

4.6 Pengaruh Kombinasi EEDP dan EEHP terhadap kadar


SOD pada tikus ................................................................... 80

4.7 Pengaruh Kombinasi EEDP dan EEHP terhadap kadar


HbA1c pada tikus ............................................................... 84

4.8 Ekspresi Insulin dengan Pewarnaan Imunohistokimia ....... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 93

5.1 Kesimpulan ......................................................................... 93

5.2 Saran ................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 95

xv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Kriteria pengendalian DM ........................................................... 17

4.1 Hasil karakterisasi simplisia daun pirdot ..................................... 57

4.2 Hasil karakterisasi simplisia herba poguntano ............................. 58

4.3 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDP .............................. 59

4.4 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEHP .............................. 60

4.5 Hasil pengukuran KGD puasa rata-rata tikus dan KGD


setelah diinduksi NA dan STZ ..................................................... 61

4.6 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-4 ....................................................................................... 64

4.7 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-8 ....................................................................................... 66

4.8 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-12 ..................................................................................... 68

4.9 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-16 ..................................................................................... 70

4.10 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-20 ..................................................................................... 72

4.11 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-24 ..................................................................................... 74

4.12 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus
hari ke-28 ..................................................................................... 76

4.13 Absorbansi standar SOD ............................................................. 80

4.14 Konsentrasi SOD pada darah tikus ............................................. 81

4.15 Absorbansi standar HbA1c ......................................................... 85

4.16 Konsentrasi HbA1c pada darah tikus ........................................... 86

xvi
Universitas Sumatera Utara
4.17 Perhitungan skor ekspresi insulin tikus ………. ......................... 88

4.18 Persentase skor ekspresi insulin pada Pulau Langerhans .......... 89

xvii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ............................................................. 8

2.1 Skema pengaturan glukosa darah ................................................. 18

2.2 Mekanisme pertahanan antioksidan endogen SOD, katalase


dan glutation peroksidase terhadap radikal bebas ........................ 20

2.3 Pembentukan HbA1c ................................................................... 23

2.4 Struktur kimia streptozotosin dan nicotinamida .......................... 25

2.5 Skema aksi sitotoksik streptozotosin dan aksi proteksi


nicotinamida ............................................................................... 27

2.6 Tumbuhan (a) Pirdot; (b) Poguntano ........................................... 30

2.7 Kerangka Teori Penelitian ........................................................... 38

4.1 Grafik KGD tikus pada hari ke-0 ................................................. 61

4.2 Grafik KGD tikus pada hari ke-4 ................................................. 63

4.3 Grafik KGD tikus pada hari ke-8 ................................................. 65

4.4 Grafik KGD tikus pada hari ke-12 ............................................... 67

4.5 Grafik KGD tikus pada hari ke-16 ............................................... 69

4.6 Grafik KGD tikus pada hari ke-20 ............................................... 71

4.7 Grafik KGD tikus pada hari ke-24 ............................................... 73

4.8 Grafik KGD tikus pada hari ke-28 ............................................... 75

4.9 Grafik penurunan KGD ................................................................ 77

4.10 Kurva standar SOD ...................................................................... 81

4.11 Pengaruh kelompok perlakuan terhadap aktivitas SOD .............. 82

4.12 Kurva standar HbA1c .................................................................. 85

xviii
Universitas Sumatera Utara
4.13 Pengaruh kelompok perlakuan terhadap konsentrasi HbA1c .. ... 87

4.14 Gambaran histopatologi pankreas dengan pengecatan


imunohistokimia .......................................................................... 90

xix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan .......... 103

2 Surat hasil identifikasi tumbuhan ............................................... 104

3 Gambar tumbuhan daun pidot .................................................... 106

4 Gambar simplisia dan serbuk simplisia daun pirdot................... 108

5 Gambar makroskopik herba poguntano ..................................... 109

6 Hasil pemeriksaan mikroskopik daun pirdot .............................. 110

7 Hasil pemeriksaan mikroskopik herba poguntano ..................... 111

8. Perhitungan pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia


daun pirdot dan herba puguntano .............................................. 112

9. Contoh perhitungan dosis .......................................................... 117

10. Hasil analisis data statistik pengukuran KGD ........................... 120

11. Gambar alat microplate reader dan reagen SOD ...................... 126

12. Data hasil pengukuran konsentrasi SOD sampel ....................... 127

13. Hasil analisis data statistik pengukuran konsentrasi SOD ........ 128

14. Gambar kit HbA1c dan reagen HbA1c ...................................... 129

15. Data hasil pengukuran HbA1c sampel ...................................... 130

16. Hasil analisis data statistik pengukuran HbA1c ........................ 131

17. Hasil analisis data statistik ekspresi insulin ............................... 132

xx
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

DM Diabetes melitus
ADA American Diabetes Association
IDF International Diabetes Federation
EEDP Ekstrak etanol daun pirdot
EEHP Ekstrak etanol herba poguntano
IHC Immunohistochemistry/Imunohistokimia
i.p. Intraperitoneal
KGD Kadar glukosa darah
NA Nicotinamide
STZ Streptozotosin
SOD Superoxide dismutase
HbA1c Hemoglobin A1c
ROS Reactive oxygen species
CAT Catalase
GSH Glutathione subhidril
GPx Glutathione peroxidase
Ab Antibodi
Ag Antigen
GLUT 2 Glucose transporter 2
GLUT 4 Glucose transporter 4
ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay
DAB Dimetil amino benzaldehid
Na-CMC Natrium Carboxy methyl cellulose
ATP Adenosine triphosphate
NAD Nicotinamide adenine dinucleotide
ADP Adenosine diphosphate
NO Nitric oxide
DNA Deoxyribonucleic acid
AGEs Advanced Glycation End-Products

xxi
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh

ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena

penggunaan yang tidak efektif dari insulin. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar

glukosa dalam darah (Tan dan Rahardja, 2002). Diabetes melitus merupakan

penyakit gangguan metabolik yang terkait dengan sejumlah komplikasi kronis

seperti nefropati, neuropati, retinopati dan kardiomiopati. Kondisi ini merupakan

akumulasi adanya kerusakan berbagai organ, bahkan termasuk penyakit yang

tergolong berisiko tinggi karena dapat menyebabkan kematian sehingga disebut

juga silent killer (Kuzuya et al., 2002).

Berdasarkan data menurut IDF menunjukkan bahwa pada tahun 2017,

jumlah populasi diabetes di dunia 415 juta orang, terjadi kenaikan empat kali lipat

dari 108 juta di tahun 1980. Pada tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan

menjadi 642 juta. Peningkatan jumlah penderita diabetes melitus juga terjadi di

Indonesia. Data pada tahun 2017 yang lalu, menunjukkan bahwa jumlah populasi

diabetes di Indonesia mencapai 10 juta jiwa, diperkirakan pada tahun 2030

prevalensi diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (IDF, 2017).

Keadaan hiperglikemia cenderung menimbulkan efek yang tidak baik bagi

kesehatan tubuh, sebab kadar glukosa darah yang tinggi cenderung mendorong

terbentuknya radikal bebas atau spesies oksigen reaktif melalui mekanisme

oksidasi reduksi dengan mendorong lebih banyak donor elektron ke dalam rantai

transport elektron di mitokondria (Brownlee, 2001). Hiperglikemia persisten

1
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas terutama reactive oxygen

species (ROS). Peningkatan kadar ROS pada diabetes bisa disebabkan oleh

produksi yang meningkat atau penurunan antioksidan nonenzimatik dan enzimatik:

superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT) dan reduced glutathione (GSH).

Tingkat enzim antioksidan sangat mempengaruhi kerentanan berbagai jaringan

terhadap stres oksidatif dan berhubungan dengan perkembangan komplikasi

diabetes (Kangralkar et al., 2010).

Kadar glukosa darah yang baik belum dapat menggambarkan bahwa

regulasi glukosa darah juga sudah baik. Pemantauan status glikemik jangka

panjang penderita DM dapat dilakukan dengan suatu pengukuran protein terglikasi

dalam bentuk Hemoglobin A1c (HbA1c), dimana akan diketahui kualitas

pengendalian glukosa darah jangka panjang (Soegondo dkk, 2004). Kadar HbA1c

yang semakin tinggi menimbulkan komplikasi. Diabetes Control and

Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study

(UKPDS) mengungkapkan bahwa penurunan HbA1c akan banyak sekali

memberikan manfaat. Setiap penurunan HbA1c sebesar 1% akan mengurangi

risiko kematian akibat diabetes sebesar 21%. Menurut American Diabetes

Association (ADA) nilai sasaran kadar HbA1c pada pasien DM dewasa adalah

<7,0% sebagai tanda status kendali metabolik yang baik, pedoman umum untuk

mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular (nefropati, neuropati, retinopati) dan

makrosvaskular (penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit

vaskular perifer) (ADA, 2012).

Hiperglikemia diketahui merupakan penyebab utama peningkatan

konsentrasi radikal bebas pada pasien diabetes, sehingga dengan kontrol glikemik

yang lebih baik maka akan meningkatkan enzim antioksidan. Penelitian yang

2
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh Farah J. dkk (2013) mendapatkan korelasi positif yang signifikan

antara HbA1c dan SOD. Wan Ting Hsu dkk (2006) meneliti pada pasien DM

dengan HbA1c < 8,5 memiliki nilai rerata SOD yang lebih tinggi bila

dibandingkan dengan pasien DM dengan HbA1c ≥ 8,5. Sementara Ahmed dkk

(2016), menyimpulkan bahwa kontrol glikemik yang buruk pada diabetes

berhubungan dengan penurunan SOD.

Pemanfaatan obat tradisional terus meningkat dan berkembang dengan

pesat di masyarakat. Hal ini didukung oleh berbagai faktor dan isu yang

berkembang saat ini berupa sikap kembali ke alam (back to nature). Pemanfaatan

obat tradisional di berbagai daerah merupakan warisan turun temurun berdasarkan

pengalaman/empirik selanjutnya pembuktian ilmiah melalui uji praklinik dan uji

klinik. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan obat tradisional secara

berkelanjutan dan terpadu sehingga kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan

secara maksimal untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.

Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai antidiabetes adalah Pirdot

(Saurauia vulcani Korth.) salah satu tumbuhan liar di hutan Sumatera Utara.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2015), ekstrak etanol daun

pirdot dosis 200 mg/kg bb, menunjukkan hasil yang baik sebagai efek antidiabetes,

Penelitian Farid dkk (2012), diperoleh bahwa genus Saurauia memiliki efek

sebagai antioksidan dan antidiabetes. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa

genus Saurauia mengandung bebeberapa metabolit sekunder seperti, flavonoid,

glikosida, terpenoid, steroid, saponin dan tanin.

Menurut Robertus, 2016, senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun

pirdot diisolasi dengan metode ekstraksi dan pemisahan kromatrografi lapis tipis

menggunakan pengembang n-butanol: asam asetat: air dengan perbandingan 4:1:5

3
Universitas Sumatera Utara
dan penjerap silika gel 60 F254 menghasilkan bercak noda flavonoid yang terisolasi

pada bilangan Rf 0,94 dan menunjukkan flavonoid yang ditelaah adalah golongan

isoflavon. Menurut Brahmachari, 2012, isoflavon bekerja menurunkan glukosa

darah dengan menginhibisi enzim α-glukosidase. Senyawa flavonoid yang

terkandung dalam daun pirdot memiliki potensi dalam penanganan diabetes karena

kemampuannya untuk menghentikan radikal bebas dan mengurangi stres oksidatif,

sehingga dapat mencegah kerusakan atau komplikasi lebih lanjut (Lavle et al.,

2016).

Tanaman poguntano (Picria fel-terrae Lour.) telah digunakan sebagai obat

tradisional merupakan tanaman yang banyak terdapat di Sumatera Utara dan

menjadi tanaman endemik yang digunakan sebagai obat kolik (mulas mendadak),

malaria, antelmintik, diuretik, demam, amenorrhea dan gangguan pada kulit

(Patilaya, dkk., 2012). Daun puguntano di Sumatera Utara umumnya digunakan

sebagai obat diabetes melitus (Sitorus, dkk., 2014) . Golongan senyawa metabolit

sekunder ekstrak etanol poguntano yang teridentifikasi telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti yaitu glikosida (Zou et al., 2005), flavonoid (Huang et al., 1999),

saponin (Fang et al., 2009) dan terpenoid (Wang et al., 2006).

Diduga senyawa cucurbitacin dalam glikosida yang terkandung pada

tumbuhan inilah yang memberikan efek penurunan kadar gula darah pada serbuk

simplisia poguntano tersebut. Menurut Pan, 2017, kemampuan senyawa tersebut

dalam menurunkan kadar gula darah dengan menghambat glukoneogenesis di hati.

Saponin bertindak sebagai antioksidan dengan menangkap superoksida dan

membentuk hidroksiperoksida yang mencegah kerusakan biomolekuler yang

diakibatkan radikal bebas (Khan et al., 2012).

4
Universitas Sumatera Utara
Sibagariang (2017), telah melakukan observasi klinis bahwa terdapat

pengaruh pemberian ekstrak daun poguntano selama 12 minggu terhadap kadar

SOD pada pasien DM tipe 2. Lindarto dkk (2016) juga telah membuktikan bahwa

setelah pemberian ekstrak poguntano (Curanga fel-terrae Lour.) selama 12

minggu efektif menurunkan kadar glukosa darah puasa, HbA1c pada penderita

DM tipe 2.

Penelitian ini menggunakan penginduksi streptozotosin-nicotinamida.

Streptozotosin menyebabkan kematian sel β pankreas melalui proses alkilasi DNA,

meningkatkan produksi stress oksidatif dan nitrit oksida (NO). Penginduksian

nikotinamida berfungsi mengurangi efek sitotoksik streptozotosin sehingga

penginduksi model tersebut memiliki keuntungan yaitu terjadi pengurangan sel β

pankreas (sekitar 40%) dan hiperglikemia yang stabil sehingga tikus hanya akan

menjadi diabetes melitus tipe 2 (Masiello et al., 1998). Kombinasi tumbuhan yang

sudah ada di pasaran Inlacin® yaitu ekstrak Lagerstroemia speciosa dan

Cinnamomum burmanii sudah terbukti berkhasiat dalam perbaikan resistensi

insulin.

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian kombinasi ekstrak etanol daun

pirdot (Saurauia vulcani Korth.) dan herba poguntano (Picria fel-terrae Lour.)

dapat dijadikan alternatif pengobatan diabetes diharapkan agar masing-masing

tumbuhan dapat memperkuat efek farmakologis yang diinginkan sehingga

memberikan hasil yang lebih efektif. Penelitian kombinasi ekstrak tumbuhan ini

untuk mengetahui pengaruh ekstrak kombinasi terhadap kadar SOD, HbA1c dan

jumlah ekspresi insulin pada sel beta pankreas dengan metode ELISA dan

pewarnaan imunohistokimia.

5
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. apakah kombinasi ekstrak etanol daun pirdot (EEDP) dan ekstrak etanol

herba poguntano (EEHP) dapat meningkatkan kadar SOD tikus yang

diinduksi nikotinamida dan streptozotosin?

b. apakah kombinasi EEDP dan EEHP dapat menurunkan HbA1c pada tikus

yang diinduksi nikotinamida dan streptozotosin?

c. apakah kombinasi ekstrak etanol daun pirdot (EEDP) dan ekstrak etanol

herba poguntano (EEHP) dapat meningkatkan jumlah ekspresi insulin pada

sel beta langerhans pankreas tikus yang diinduksi nikotinamida dan

streptozotosin?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini

adalah:

a. EEDP dan EEHP dapat meningkatkan kadar SOD pada tikus yang

diinduksi nikotinamida dan streptozotosin.

b. EEDP dan EEHP terhadap kadar dapat menurunkan HbA1c pada tikus

yang diinduksi nikotinamida dan streptozotosin.

c. EEDP dan EEHP dapat meningkatkan jumlah ekspresi insulin pada sel beta

langerhans pankreas pada tikus yang diinduksi nikotinamida dan

streptozotosin.

6
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. mengetahui efek peningkatan kadar SOD pada tikus yang diinduksi

nikotinamida dan streptozotosin.

b. mengetahui efek penurunan kadar HbA1c pada tikus yang diinduksi

nikotinamida dan streptozotosin.

c. mengetahui efek peningkatan jumlah ekspresi insulin pada sel beta

langerhans pankreas pada tikus yang diinduksi nikotinamida dan

streptozotosin.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. diperoleh bukti ilmiah pengaruh kombinasi estrak etanol daun pirdot dan

herba poguntano terhadap kadar SOD, HbA1c dan jumlah ekspresi insulin

pada sel beta.

b. diperoleh kombinasi estrak etanol daun pirdot dan herba poguntano sebagai

alternatif pengobatan diabetes.

c. menunjang program pemerintah dalam pengembangan obat tradisional dan

dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan masyarakat.

7
Universitas Sumatera Utara
1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Variabel bebas yaitu beberapa variasi konsentrasi ekstrak sedangkan

variabel terikat adalah KGD, SOD, HbA1c dan ekspresi insulin disajikan pada

Gambar 1.1.

Variable bebas Variable terikat Parameter

NA &
STZ

Tikus Kadar KGD tikus


glukosa
Putih darah ↓ (mg/dL)

Ekstrak Kombinasi Kadar SOD


Kadar SOD
EEDP & EEHP ↑ (pg/mL)
100 mg/kg bb

Kadar
Tikus Kadar HbA1c
HbA1c ↓ (ng/mL)
Diabetes
Glibenklamid 0,45
mg/kg bb Persentase
Jumlah
Ekspresi skor
insulin ↑ ekspresi
(%)

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Keterangan:
STZ : Streptozotosin
NA : Nicotinamida
EEDP : Ekstrak etanol daun pirdot
EEHP : Ekstrak etanol herba poguntano

8
Universitas Sumatera Utara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik dimana terdapat

adanya gangguan dalam metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein akibat

penurunan dalam sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya (Triplitt et al.,

2008). Sindrom resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan

sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi

insulin sebagai bentuk kompensasi sel β pankreas. Intoleransi glukosa merupakan

salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi awal suatu diabetes

melitus (Manaf, 2010). Diabetes melitus (DM) mempunyai sindroma klinik yang

ditandai adanya poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan kadar

glukosa darah atau hiperglikemia (kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau

postprandial ≥ 200 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL) (Triplitt et al.,

2008).

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologinya menurut American

Diabetes Association (2012) meliputi:

a. DM tipe 1 adanya destruksi sel β langerhans pada pankreas, umumnya

menjurus ke defisiensi insulin absolut, akibat kelainan autoimun (antibodi

sel islet, antibodi insulin, dan antibodi asam glutamat dekarboksilase).

b. DM tipe 2, bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin

bersama resistensi insulin.

9
Universitas Sumatera Utara
c. Diabetes kehamilan (Diabetes Gestasional) adalah diabetes yang timbul

selama kehamilan. Penderita DM gestasional kebanyakan memiliki

homeostatis glukosa yang normal selama trimester pertama kehamilan dan

mengalami defisiensi insulin relatif pada bulan keempat dan kelima. Pada

umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan.

d. DM tipe lain, akibat defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin,

penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi,

imunologi, sindroma genetik lain. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh

adanya malnutrisi disertai kekurangan protein.

2.1.2 Penyebab diabetes

Diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut

(Waspadji, 2002):

a. Usia diatas 45 tahun

Usia diatas 45 tahun fungsi organ tubuh semakin menurun, hal ini

diakibatkan aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi

berkurang dan sensitifitas sel-sel jaringan menurun.

b. Obesitas

Kegemukan menyebabkan aktivitas jaringan lemak dan otot menurun

sehingga dapat memicu munculnya diabetes melitus tipe 2. Obesitas, berkaitan

dengan resistensi insulin menyebabkan kemungkinan besar gangguan toleransi

glukosa.

c. Pola makan

Pola yang serba instan yang serba instan sangat digemari oleh sebagian

masyarakat. Pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh dapat menjadi

penyebab DM.

10
Universitas Sumatera Utara
d. Riwayat DM pada keluarga

Sekitar 15-20% penderita diabetes tipe 2 mempunyai riwayat keluarga DM,

sedangkan diabetes tipe 1 sebanyak 57 % berasal dari keluarga DM.

e. Kurangnya berolahraga atau beraktivitas

Kurang berolahraga mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang

dapat menurunkan sensitivitas sel terhadap insulin sehingga dapat menyebabkan

DM.

2.1.3 Diagnosis diabetes

Diagnosis DM termasuk salah satu dari berikut ini :

i. Kadar A1c 6,5% atau lebih.

ii. Pada saat puasa (tidak ada asupan kalori minimal 8 jam) kadar glukosa

plasma 126 mg/dL (7,0 mmol/L) atau lebih.

iii. Kadar glukosa plasma selama dua jam 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau

lebih selama uji toleransi glukosa oral menggunakan glukosa yang

ekuivalen dengan 75 gram glukosa anhidrat terlarut dalam air.

iv. Konsentrasi glukosa plasma darah acak 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau

lebih dengan gejala klasik hiperglikemia (Wells et al., 2015).

2.1.4 Manajemen Pengobatan Diabetes Melitus

Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus dimulai dengan

pendekatan non farmakologi, yaitu berupa perencanaan makan/terapi nutrisi

medik, olahraga, dan penurunan berat badan. Bila dengan langkah tersebut sasaran

terapi pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan

obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi

farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab

11
Universitas Sumatera Utara
terjadinya hiperglikemia (Manaf, 2010). Obat yang sering digunakan dalam

mengatasi penyakit diabetes melitus adalah insulin dan non insulin.

1. Insulin (parentral)

Penderita DM tipe 1 sering kali memerlukan insulin eksogen untuk

mengatasi keadaan hiperglikemia. Kebanyakan penderita tipe 2 tidak memerlukan

insulin eksogen untuk kelangsungan hidupnya tetapi insulin eksogen hanya

digunakan untuk mencapai kesehatan optimum. Pada beberapa pasien, insulin

digunakan sebagai alternatif dari terapi hipoglikemik oral.

2. Obat antidiabetik oral

Obat antidiabetik oral digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu:

a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

i. Golongan sulfonilurea

Golongan ini bekerja dengan merangsang produksi insulin pada sel ß

pankreas untuk mempertinggi sekresi insulinnya. Oleh karena itu, obat

golongan sulfonilurea ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe

II yang sel-sel-ß pulau langerhansnya masih dapat berfungsi karena

merangsang sekresi insulin di pankreas. Obat-obat yang termasuk golongan

sulfonylurea seperti klorpropamida, tolbutamid, glibenklamid,

asetoheksamida dan lain-lain (Katzung, 2001).

ii. Meglitinid

Obat ini memodulasi pelepasan insulin dari sel β dengan mengatur efluks

kalium melalui kanal kalium. Terdapat tumpang tindih tempat kerja

molekularnya dengan sulfonilurea karena meglitinid memiliki dua tempat

pengikatan yang sama dengan sulfonilurea dan satu tempat pengikatan

yang berbeda (Nolte dan Karam, 2010).

12
Universitas Sumatera Utara
iii. Derivat D-Fenilalanin

Nateglinid merangsang pelepasan insulin secara cepat dan berlangsung

sementara dari sel β melalui penutupan kanal K+ yang sensitif-ATP. Obat

ini memiliki keuntungan dalam hal keamanan penggunaannya pada pasien

dengan penurunan berat pada fungsi ginjal (Nolte dan Karam, 2010).

b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

i. Biguanida

Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini kerjanya dalam menurunkan kadar

glukosa darah tidak tergantung pada sel β pankreas yang berfungsi.

Metformin bekerja dengan menurunkan glukoneogenesis di hati dan ginjal,

perlambatan absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan

konversi glukosa menjadi laktat oleh enterosit, stimulasi langsung glikolisis

di jaringan dengan peningkatan bersihan glukosa dari darah dan penurunan

kadar glukagon plasma (Nolte dan Karam, 2010).

ii. Thiazolidindion

Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan

meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin

sensitizers) (Nolte dan Karam, 2010).

c) Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan:

i. Glukosidase-inhibitors

Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfa-glukosidase di

mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi

monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih

lambat dan absorbsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan

13
Universitas Sumatera Utara
merata, sehingga puncak kadar glukosa darah dapat dihindarkan (Nolte dan

Karam, 2010).

ii. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers)

Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4

sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon incretin

berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan

hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP (glucose-dependent

insulinotropic polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan dalam

produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan mengurangi

penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga kadar insulin

akan meningkat (Tan dan Rahardja, 2002).

iii. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral

jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal

ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat

yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,

Dapagliflozin, Ipragliflozin (PERKENI, 2015).

2.1.5 Komplikasi Diabetes Melitus

2.1.5.1 Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60

mg/dL. Hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat,

baik sesudah penyuntikan insulin atau karena obat yang meningkatkan insulin

seperti sulfonilurea (Soemadji, 2009). Pada pasien DM tipe 2 jarang terjadi

hipoglikemia berat, lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1. Insiden

hipoglikemia sebagai komplikasi dapat dikurangi dengan meningkatkan

14
Universitas Sumatera Utara
pemantauan glukosa darah. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat, rasa bergetar

disekitar mulut, tremor, pucat, berdebar – debar, lemas, sakit kepala, gangguan

penglihatan, sulit berkonsentrasi, lelah, mengantuk, mudah marah, bingung, kejang

dan koma (Rustama dkk, 2010).

2.1.5.2 Retinopati diabetik

Retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh -

pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina merupakan bagian mata yang

menerima bayangan dan mengirimkan informasi bayangan tersebut ke otak

(Smeltzer et al., 2001). Retinopati diabetik sering tidak bergejala hingga kelaianan

yang berat atau kerusakan retina yang ireversible sudah terjadi (Rustama dkk,

2010). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan

pada usia 20 – 74 tahun. Resikonya 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan

dibandingkan dengan nondiabetes. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat

menjadi 40-50% dan setelah 20 tahun > 90% pasien. Pada diabetes tipe 2 setelah

20 tahun meningkat menjadi 60% (Pandelaki, 2010).

2.1.5.3 Nefropati diabetik

Di Amerika dan Eropa nefropati merupakan penyebab utama gagal ginjal

dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi diantara semua komplikasi

DM. Pada DM tipe 1 sering memperlihatkan tanda – tanda penyakit ginjal setelah

15-20 tahun kemudian, sementara pada DM tipe 2 dapat terkena gagal ginjal dalam

waktu 10 tahun sejak diagnosa DM (Suyono, 2009).

2.1.5.4 Neuropati diabetik

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling

sering ditemukan pada DM. Persentase neuropati meningkat bersamaan dengan

pertambahan usia penderita dan lamanya penyakit DM (Smeltzer et al., 2002).

15
Universitas Sumatera Utara
2.1.5.5 Gangguan pada pembuluh darah

Kerusakan pada pembuluh darah kerena DM akan mengakibatkan masalah

pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah kaki akibatnya

sirkulasi terganggu dan terjadi peningkatakan tekanan darah (hipertensi).

Penyempitan pembuluh darah disebabkan adanya tumpukan lemak pada dinding

pembuluh darah sehingga menyebabkan aterosklorosis (Tobing dkk, 2008).

2.1.5.6 Gangguan fungsi jantung

Gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke

jantung terhambat atau terjadi kekurangan oksigen di otot jantung, timbul angina

pectoris bahkan akhirnya dapat menyebabkan serangan jantung (Tobing dkk,

2008).

2.1.6 Kadar glukosa

Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL.

Hiperglikemi didefenisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110

mg/dL, sedangkan hipoglikemi bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl. Glukosa

difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya diabsorbsi oleh tubulus

ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi kadar ini. Jika glukosa

keluar bersama urin, maka merupakan pertanda DM (Price dan Wilson, 2006).

2.1.6.1 Penilaian Pengontrolan Glukosa Darah

Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada

semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Untuk mengetahui

apakah sasaran terapi telah tercapai dapat digunakan pengukuran kontrol kadar

glukosa darah berdasarkan kadar glukosa darah puasa (PERKENI, 2015). Berikut

ini merupakan kriteria kontrol glukosa darah (pengendalian DM).

16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Kriteria pengendalian DM

Baik Sedang Buruk


Glukosa darah puasa (mg/dL) 80-100 100-125 ≥126
Glukosa darah 2 jam (mg/dL) 80-144 145-179 ≥180
Kadar HbA1c (%) <6,5 6,5-8 >8
Kadar Insulin (mg/dL) <7 - -
Kolesterol Total (mg/dL) <200 200-239 ≥240
Kolesterol LDL (mg/dL) <100 100-129 ≥130
Pria: >40
Kolesterol HDL (mg/dL) - -
Wanita: >50
Trigeliserida (mg/dL) <150 150-199 ≥200
IMT (kg/m2) 18,5- <23 23-25 >25
>130-140/
Tekanan darah (mmHg) ≤130/80 >140/90
>80-90
Sumber: PERKENI, 2015

2.1.7 Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,

dihasilkan oleh sel β pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada

sel β pankreas, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai

kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2010).

Campbell et al., 2004, menyatakan, baik insulin dan glukagon

mempengaruhi glukosa darah melalui berbagai mekanisme. Beberapa mekanisme

tersebut adalah 1) Insulin menurunkan kadar glukosa dengan cara merangsang sel

tubuh (kecuali sel-sel otak) untuk mengambil glukosa dari darah, 2)

memperlambat perombakan glikogen dalam hepar dan 3) menghambat perubahan

asam amino dan asam lemak menjadi gula. Proses dari keduanya diharapkan

mampu memberikan keseimbangan pengaturan glukosa, sehingga tidak terjadi

hiperglikemia. Peran insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sebagian

besar sel. Skema pengaturan glukosa baik di hepar maupun di pankreas dapat

dilihat pada gambar 2.1 berikut ini.

17
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Skema pengaturan glukosa darah (Price dan Wilson, 2006).

Ketika terjadi peningkatan glukosa darah di atas titik normal maka akan

merangsang pankreas untuk mensekresikan insulin yang dihasilkan oleh sel beta

pulau langerhans, sehingga memicu sel-sel hepar untuk segera mengambil

kelebihan glukosa darah. Sel-sel hepar akan mengambil glukosa darah yang

berlebihan jika insulin berikatan dengan reseptor. Insulin akan berikatan dengan

reseptor, sebagai akibatnya kanal akan membuka sehingga dilewati oleh glukosa

darah. Setelah glukosa darah masuk, terjadi fosforilasi awal yang menggunakan

bantuan enzim glukokinase, dimana glukosa akan terjerat sementara di dalam sel-

sel hepar sehingga tidak dapat berdifusi kembali melewati membran sel. Setelah

itu terjadi peningkatan aktivitas enzim-enzim sintesis glikogen, termasuk enzim

glikogen sintase, yang bertanggung jawab untuk polimerisasi dari unit-unit

monosakarida untuk membentuk molekul-molekul glikogen, sehingga glukosa

darah akan normal kembali (Campbell et al., 2004).

18
Universitas Sumatera Utara
Apabila terjadi penurunan glukosa darah di bawah titik normal, maka

pankreas akan merespons dengan cara mengeluarkan glukagon yang dihasilkan

oleh sel alfa pulau langerhans. Glukagon akan mempengaruhi hepar untuk

menaikkan glukosa darah dengan merombak glikogen menjadi glukosa dan

dilepaskan kembali ke dalam aliran darah. Ketika kadar glukosa darah naik hingga

titik normal stimulus untuk pelepasan glukagon berkurang (Muraay et al., 2003).

2.2 Pembentukan Senyawa Oksigen Reaktif pada Diabetes Melitus

Penurunan sekresi dan atau efektivitas kerja hormon insulin mengakibatkan

seluruh glukosa yang dikonsumsi di dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan

kadar glukosa darah disebabkan oleh kerusakan sel-β pankreas sehingga tidak

dapat menghasilkan insulin atau akibat adanya resistensi insulin. Kerusakan

pankreas ini dapat disebabkan oleh meningkatnya senyawa radikal bebas akibat

kadar glukosa darah yang meningkat pada kasus DM. Schalkwijk dan Stehouwer

(2005) menyatakan, bahwa peningkatan stress oksidatif terjadi melalui empat

mekanisme yaitu: melalui jalur sorbitol/polyol pada saraf perifer, jalur

hexosamine, jalur aktivasi protein kinase C (PKC) dan jalur peningkatan produksi

Advanced glycation end products (AGEs) atau dikenal juga glyoxylation pathway.

2.3 SOD (Superoxide Dismutase)

Enzim SOD merupakan enzim antioksidan endogen yang mempunyai

peranan penting secara langsung melindungi sel dari gangguan radikal bebas, dan

secara tidak langsung memelihara keseimbangan oksigen yang bersifat toksik

(Wresdiyati et al., 2002). Pengukuran kandungan enzim antioksidan SOD

merupakan cara untuk mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap radikal bebas.

19
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas SOD tertinggi terdapat

pada hepar, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-

paru, usus, ovarium, dan timus (Haliwell & Gutteridge, 1999).

SOD adalah metaloenzim yang mengkatalis dismutasi radikal anion

superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2) di dalam

mitokondria. Selanjutnya H2O2 di dalam mitokondria akan mengalami

detoksifikasi oleh enzim katalase menjadi senyawa H2O dan O2, sedangkan H2O2

yang berdifusi ke dalam sitosol akan didetoksifikasi oleh enzim glutation

peroksidase (Pandey dan Rizvi, 2010). Mekanisme pertahanan antioksidan

ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme pertahanan antioksidan endogen SOD, katalase dan


glutation peroksidase terhadap radikal bebas (Pandey dan Rizvi, 2010).

Superoksida dismutase (SOD) bekerja dengan cara membersihkan radikal

bebas atau spesies oksigen reaktif (ROS) dengan reaksi enzimatis dan

mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil (Halliwell, 2006). ROS (Reactive

Oxygen Species) merupakan atom atau molekul kecil yang tidak memiliki

20
Universitas Sumatera Utara
pasangan elektron yang siap menerima elektron lain atau mentransfer elektron

yang tidak berpasangannya ke molekul lain. ROS secara normal diproduksi dari

metabolisme sel, namun perubahan dalam jumlah dan sifat ROS dilepaskan pada

berbagai keadaan penyakit. Di antara ROS yang dihasilkan oleh sel-sel hidup, O2•-

merupakan senyawa proinflamasi yang merusak sel. O2•- merusak sel endotel,

meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler dan mempromosikan migrasi neutrofil

pada fokus inflamasi (Afonso et al., 2007).

Konsentrasi ROS diatur oleh keseimbangan antara produksi dan eliminasi

ROS oleh antioksidan. Keseimbangan yang tepat sangat penting untuk sel normal

dan fungsi jaringan. ROS diproduksi pada banyak proses metabolisme termasuk

respirasi mitokondria dan aktivitas enzim (sitokrom P-450, NADPH oksidase,

myeloperoxidase, NO sintase, dan xanthine oxidase). Enzim antioksidan

menangkap ROS yang ada dalam tubuh termasuk; SOD, glutation peroksidase, dan

katalase. Selain itu, antioksidan larut air (glutation, vitamin C, dan asam urat) dan

antioksidan larut lemak (vitamin E, karotenoid, dan bilirubin) sangat penting untuk

melindungi membran sel dan lipoprotein plasma (Afonso et al., 2007).

Enzim SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya peradangan

yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sebenarnya enzim ini telah ada dalam tubuh,

namun memerlukan bantuan zat-zat gizi mineral seperti mangan (Mn), seng (Zn),

dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja. Enzim SOD terdapat dalam semua organisme

aerob, dan sebagian besar berada dalam tingkat subseluler (intraseluler).

Berdasarkan adanya logam yang berperan pada sisi aktif enzim, enzim SOD dapat

dikelompokkan menjadi 3, yaitu Cu/Zn-SOD, Mn-SOD, dan Fe-SOD (Winarsi,

2007). SOD berefek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh pertama dalam

menghadapi serangan radikal bebas. Penurunan kadar SOD berimplikasi pada

21
Universitas Sumatera Utara
beberapa kondisi dan penyakit seperti reumatid artritis, anemia Fanconi, infeksi

saluran pernafasan, katarak dan infertil. Jadi, pengukuran SOD dapat dipakai untuk

membantu menegakkan diagnosis penyakit seperti kanker, jantung koroner,

hepatitis, diabetes, distrofi muscular, abnormalitas hemoglobin, schizophrenia,

depresi, dan down syndrome (Winarsi, 2007).

2.4 Hemoglobin Glikosilat (HbA1c)

2.4.1 Definisi HbA1c

Hemoglobin glikosilat atau HbA1c adalah substraksi dari hemoglobin A

(Hb A) yang mengalami proses glikosilasi. Hemoglobin A paling umum

ditemukan pada orang dewasa dengan 91-95 % dari jumlah total hemoglobin.

Hemoglobin A terdiri atas dua rantai α dan dua rantai β. Sekitar 6% dari total HbA

disebut HbA1. HbA1 terdiri atas tiga fraksi yaitu HbA1a, HbA1b, dan HbA1c.

Sebanyak 70% HbA1c memiliki bentuk terglikosilasi (Emma, 2012).

Glikosilasi adalah proses ketika satu gugus glukosa berikatan kovalen

dengan valin N-terminal rantai β molekul hemoglobin secara ireversibel dan

terjadi secara spontan. Pada orang normal, hemoglobin akan ditemukan

terglikosilasi sebanyak 2-3 %. Jumlah hemoglobin yang terglikosilasi bergantung

pada jumlah glukosa darah yang tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat

dalam waktu yang lama, eritrosit akan tersaturasi dengan glukosa menghasilkan

glikohemoglobin (HbA1c) (Suryathi, 2015).

2.4.2 Pembentukan HbA1c

Pembentukan HbA1c melibatkan proses glikasi nonenzimatik atau disebut

juga Maillard reaction yang terjadi terus menerus secara in vivo. Proses glikasi

nonenzimatik diawali ketika glukosa dalam bentuk rantai terbuka berikatan dengan

22
Universitas Sumatera Utara
N-terminal valin rantai β hemoglobin untuk membentuk senyawa aldimine (Schiff

base) yang tidak stabil. Schiff base melakukan penyusunan membentuk ketoamine

yang lebih stabil yang kemudian menghasilkan produk Amadori (HbA1c).

Pembentukan HbA1c dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Pembentukan HbA1c (Italy, 2009)

Proses glikasi nonenzimatik akan meningkat saat kadar glukosa darah

tinggi pada pasien DM. Pada tahap akhir glikasi, AGE (Advanced glycation end-

product) dapat terbentuk secara ireversibel melalui reaksi oksidasi, dehidrasi dan

siklisasi. Advanced glycation end-product memiliki peranan dalam patogenesis

komplikasi DM seperti retinopati, nefropati, neuropati dan kardiomiopati (Singh et

al., 2014).

Hemoglobin glikosilat dibentuk saat eritrosit matur dan berlangsung

sepanjang waktu hidup eritrosit. Hemoglobin glikosilat memiliki umur yang cukup

panjang yaitu 120 hari sesuai dengan usia eritrosit dan tidak dipengaruhi oleh

fluktuasi glukosa darah harian. Eritrosit yang tua memiliki kadar HbA1c lebih

23
Universitas Sumatera Utara
tinggi daripada eritrosit muda. Hal ini disebabkan karena eritrosit yang tua berada

dalam sirkulasi pembuluh darah lebih lama daripada eritrosit yang masih muda

(Suryathi, 2015).

Kadar HbA1c dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan penyakit

hematologi. Penurunan jumlah eritrosit dapat menyebabkan penurunan kadar

HbA1c. Pasien dengan hemolisis episodik atau kronis, gagal ginjal kronis, anemia

menyebabkan darah mengandung lebih banyak eritrosit muda sehingga kadar

HbA1c dapat dijumpai dalam kadar yang sangat rendah (Suryathi, 2015; WHO,

2011).

2.4.3 Metode Pemeriksaan HbA1c

Menurut Suryathi (2015) terdapat beberapa metode yang sering digunakan

dalam pemeriksaan kadar HbA1c antara lain:

a) Metode Kromatografi Pertukaran Ion ( Ion Exchange Chromatography)

b) Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

c) Metode Agar Gel Elektroforesis

d) Metode Affinity Chromatography

e) Metode Analisis Kimiawi dengan Kolorimetri

f) Metode Spektrofotometri

g) Metode Immunoassay (EIA)

Pemeriksaan HbA1c lebih stabil dalam pemeriksaan kadar glukosa darah

dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa. Pemeriksaan laboratorium yang

menangkap paparan glikemik jangka panjang memberikan penanda yang lebih

baik untuk keberadaan dan tingkat keparahan penyakit daripada pemeriksaaan

konsentrasi glukosa tunggal (WHO, 2011).

24
Universitas Sumatera Utara
2.5 Induksi Nicotinamida-Streptozotosin

Gambar 2.4 Struktur kimia streptozotosin dan nicotinamida (Szkudelski, 2012)

Streptozotosin adalah suatu analog nitrosourea yang sering digunakan

untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Induksi percobaan diabetes

menggunakan streptozotosin sangat mudah untuk dilakukan (Szkudelski, 2012).

Beberapa metode penelitian dengan menggunakan hewan coba telah

dikembangkan untuk mempelajari diabetes melitus atau menguji agen antidiabetes.

Metode ini meliputi kimia, bedah (pankreatektomi) dan manipulasi genetik pada

beberapa spesies hewan. Obat-obatan diabetogenik (penginduksi diabetes) yang

digunakan meliputi monohidrat aloxan, streptozotosin dengan atau tanpa

nicotinamida, nitrolotriasetat besi, ditizona dan serum anti insulin. Induksi

streptozotosin-nicotinamida dilakukan secara intraperitonial (Etuk, 2010).

2.5.1 Mekanisme Streptozotosin Menginduksi Diabetes Melitus

Penyuntikan streptozotosin akan menunjukkan gejala hiperglikemia ringan

dan hilangnya sensitivitas sel β terhadap glukosa. Transportasi streptozotosin ke

dalam sel beta pankreas melalui glucose transporter 2 (GLUT 2), dimana sebagian

nitrosamide dari streptozotosin (methylnitrosourea) berperan toksik terhadap sel β

25
Universitas Sumatera Utara
pankreas (Szkudelski, 2012). Struktur streptozotosin sangat mirip dengan molekul

glukosa sehingga akan ditranspor ke dalam sel oleh glucose transporter 2

(GLUT2), dan akan menyebabkan kerusakan fragmen DNA (Elsner et al., 2000).

Elsner et al (2000), melaporkan bahwa penyebab kematian sel-sel β

pankreas hasil induksi STZ adalah alkilasi DNA. Di samping itu kerusakan DNA

pada sel β diduga juga akibat aktivitas senyawa oksigen reaktif dari nitrit oksida

(NO). Senyawa STZ adalah donor NO yang telah ditemukan sebagai penyebab

kerusakan sel β pulau Langerhans pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas

guanilil siklase. Dalam mitokondria, NO juga akan meningkatkan aktivitas xanthin

oksidase dan menurunkan oksigen yang berdampak pada penghambatan siklus

Krebs, sehingga terjadi pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang

kemudian menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel β dan pada akhirnya

mengakibatkan kerusakan DNA.

2.5.2 Mekanisme Nicotinamida Melindungi Sel Beta Pankreas

Nicotinamida (pyridine-3-carboxamide) adalah amida dari vitamin B3

(Niacin). Efek protektif nicotinamida dalam melindungi sel beta pankreas, telah

dibuktikan. Banyak penelitian in vitro dan in vivo menyimpulkan bahwa

nicotinamida dapat melindungi sel beta pankreas terhadap efek toksik

Streptozotosin (Szkudelski, 2012).

Data dari literatur menyimpulkan bahwa mekanisme proteksi nicotinamida

terhadap kerusakan sel beta pankreas yang ditimbulkan oleh streptozotosin,

melalui 2 mekanisme; yaitu inhibisi PARP-1 dan peningkatan NAD+, dimana

mekanisme lain kurang berperan (Szkudelski, 2012). Mekanisme proteksi

nicotinamida terhadap streptozotosin dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut ini.

26
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Skema aksi sitotoksik streptozotosin dan aksi proteksi nicotinamida
(Szkudelski, 2012)

Keterangan: PARP-1= poly (adenosine triphosphate [ADP]-ribose) polymerase-1,


PRPP= 5-phosphoribosylpyrophosphate, NMN= nicotinamida mononucleotide,
Nampt= nicotinamida phosphoribosyltransferase, Nmnat= nicotinamida/ nicotinic
acid mononucleotide adenyltransferase, ↑ = meningkatkan/ aktivasi, ↓ =
menurunkan/ inaktivasi.

2.6 Glibenklamid

Glibenklamid adalah antidiabetik oral generasi kedua dari golongan

sulfonilurea. Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk: (a) merangsang pelepasan

insulin dari sel-β pankreas, (b) mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan (c)

meningkatkan insulin pada jaringan target dan reseptor. Obat-obat ini terikat pada

protein serum, dimetabolisme oleh hati dan di ekskresikan oleh hati atau ginjal.

Kontra indikasi pemakaian obat-obat ini adalah pada pasien insufiensi hati atau

ginjal karena ekskresi obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat

menimbulkan hipoglikemia (Mycek, 2001).

Mekanisme aksi dari glibenklamid adalah membentuk ikatan dari molekul

obat dengan reseptor pada sel beta. Ikatan yang terbentuk dapat merangsang

27
Universitas Sumatera Utara
keluarnya hormon insulin dari granul-granul sel beta pulau Langerhans pada

pankreas (Pfeifer et al., 1980). Kerjanya dapat bertahan sampai 24 jam.

Pengobatan jangka pendek meningkatkan sekresi insulin dari sel-β pankreas.

Pengobatan jangka panjang meningkatkan efek insulin terhadap jaringan perifer

dan penurunan glukosa darah dari hati (Katzung, 2001). Oleh karena itu, syarat

pemakaian glibenklamid pada penderita diabetes melitus adalah jika pankreas

penderita diabetes masih dapat memproduksi insulin. Efek samping antidiabetik

oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain

gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat, cenderung

meningkatkan berat badan (Pfeifer et al., 1980).

2.7 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, morfologi

tumbuhan dan kandungan tumbuhan.

2.7.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan pirdot adalah sebagai berikut adalah

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Ericales

Famili : Actinidiacae

Genus : Saurauia

Spesies : Saurauia vulcani Korth. (Marpaung, 2016).

28
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah sistematika poguntano (Lestari, 2013):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Asteridae

Ordo : Scrophulariales

Famili : Linderniaceae

Genus : Picria

Spesies : Picria fel-terrae Lour.

Sinonim : Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania amara

R&S., Gratiola amara Roxb., Curanga fel-terrae Lour., Torenia

cardiosepala Benth., Curanga fel-terrae Merr.

2.7.2 Nama Daerah

Pirdot (Saurauia vulcani Korth) dikenal juga dengan nama pirdot (bahasa

Batak), ki leho (bahasa Sunda), lotrok (bahasa Jawa), soyogik (bahasa Manado),

(Balitbang, 2017).

Nama daerah dari Picria fel-terrae Lour. adalah pogun tanoh, pugun tana,

puguntano, poguntano (Dairi), tamah raheut (Sunda), daun kukurang (Maluku) dan

papaita (Ternate), (Anonim, 2009).

2.7.3 Morfologi Tumbuhan

Pirdot mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: berbentuk pohon

namun memiliki dahan yang gampang patah. Daunnya berukuran lebar dengan

lebar 12-15 cm dan panjang 27-29 cm dan memiliki dua sisi warna yang berbeda.

Sisi daun bagian atas berwarna hijau dan sisi daun bagian bawah berwarna

29
Universitas Sumatera Utara
kecoklatan. Pirdot memiliki buah kecil yang jika sudah matang buahnya dapat

dimakan. Buah yang matang berisi lendir bening dan biji-biji kecil halus seperti

biji dalam buah naga (Niel, 2013).

(a)
(b)

Gambar 2.6 Tumbuhan (a) Pirdot; (b) Poguntano

Tumbuhan poguntano merupakan herba tahunan, tinggi lebih dari 40 cm,

batang dengan cabang yang jarang, tegak, segiempat, berbulu halus yang padat.

Daun tunggal berhadapan, bundar telur, pangkal daun membaji sampai

membundar, ujung daun agak melancip, tepi daun beringgitan, berbulu halus.

Pembungaan berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, daun

gagang kecil, berbibir rangkap, gundul bagian luar, bagian dalam ada kelenjar

bulu, bibir atas berwarna coklat kemerah-merahan, bibir bagian bawah berwarna

putih. Buah kapsul lonjong, padat, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji

membulat, diameter sekitar 0,6 mm (Anonim, 2009).

30
Universitas Sumatera Utara
2.7.4 Kandungan Kimia

2.7.4.1 Flavonoida

Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang mengandung

15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C 6-C3-C6,

yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat

atau tidak dapat membentuk cincin ketiga, pada umumnya tersebar luas pada

tumbuhan hijau (Markham, 1988).

Umumnya senyawa flavonoida dalam tumbuhan terikat dengan gula

disebut sebagai glikosida dan aglikon. Flavonoida yang berbeda-beda mungkin

saja terdapat pada satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida.

Oleh karena itu dalam menganalisis flavonoida biasanya lebih baik memeriksa

aglikon yang telah dihidrolisis dibandingkan dalam bentuk glikosida dengan

kerumitan strukturnya (Harborne, 1987). Flavonoida berkhasiat sebagai antifungi,

antioksidan, antibakteri dan antiinflamasi (Robinson, 1995).

2.7.4.2 Tanin

Tanin didefinisikan sebagai makromolekul senyawa fenolik yang larut

dalam air yang mempunyai sifat khusus yaitu kemampuannya mengendapkan

alkaloid, gelatin dan protein lainnya. Metabolit sekunder ini dibagi menjadi 2

kelompok utama yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin dan

senyawa turunannya bekerja dengan jalan menciutkan selaput lendir pada saluran

pencernaan dan di bagian kulit yang luka. Pada perawatan untuk luka bakar, tanin

dapat mempercepat pembentukan jaringan yang baru sekaligus dapat

melindunginya dari infeksi atau sebagai antiseptik. Tanin dapat diidentifikasi

dengan cara penambahan pereaksi ferri klorida, menghasilkan warna hijau

kehitaman atau biru kehitaman (Harborne, 1987).

31
Universitas Sumatera Utara
2.7.4.3 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpenoida dan sterol. Senyawa golongan ini

banyak terdapat pada tumbuhan tinggi, merupakan senyawa dengan rasa yang

pahit dan mampu membentuk larutan koloidal dalam air serta menghasilkan busa

jika dikocok dalam air. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi

tumbuhan atau pada waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti

terpercaya akan adanya saponin (Harborne, 1987).

2.7.4.4 Steroida/triterpenoida

Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentano perhidrofenantren dan merupakan senyawa organik yang berasal dari

hewan dan tumbuhan dan dengan struktur inti molekulnya C27, tetrasiklin dengan

susunan 3 cincin segi enam dan 1 cincin segi lima. Triterpenoid adalah senyawa

yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isopren dan secara biosintesis

diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualen (Harborne, 1987).

2.7.4.5 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan

bagian gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula disebut aglikon. Gula yang

dihasilkan biasanya adalah glukosa, ramnosa dan lain sebagainya. Jika bagian

gulanya adalah glukosa maka disebut glukosida, sedangkan jika bagian gulanya

selain glukosa disebut glikosida (Harborne, 1987).

2.8 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa

aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam

32
Universitas Sumatera Utara
golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoid dan lain-lain. Setelah diketahui

senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia akan memudahkan pemilihan pelarut

dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan

pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan perendaman

menggunakan pelarut yang sesuai dengan sesekali pengadukan pada temperatur

ruangan (Depkes RI, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi

penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses ini

terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) (Depkes RI, 2000).

2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu

pertama 3-5 kali sehingga didapat proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

33
Universitas Sumatera Utara
c. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut air dengan waktu yang

lebih lama (≥30°C) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

d. Infundasi

Infundasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur

terukur (96-98 °C) selama waktu tertentu (15-20 menit), (Depkes RI, 2000).

e. Digesti
Digesti adalah proses maserasi dengan pengadukan kontinu pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50°C (Depkes RI, 2000).

2.9 Metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) atau penetapan kadar

immunosorben taut enzim merupakan uji serologis yang umum digunakan di

berbagai laboratotium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti

teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang

cukup tinggi (Lequin, 2005).

ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva

Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi dalam suatu

sampel dengan menggunakan enzim. Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya

suatu antibodi dengan spesifitas untuk antigen tertentu. Sampel dengan jumlah

antigen yang tidak diketahui dimobilisasi pada suatu permukaan solid (biasanya

berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang nonspesifik (melalui penyerapan

pada permukaan) atau spesifik (melalui penengkapan oleh antibodi lain yang

spesifik untuk antigen yang sama) (Warsito dan Wuryastuti, 2014).

34
Universitas Sumatera Utara
Tes ELISA memiliki 2 teknik dan 4 tipe, yaitu:

1. Teknik kualitatif adalah berdasarkan bahwa tiap antibodi berikatan pada

antigen yg spesifik.

2. Teknik kuantitatif berdasarkan jumlah ikatan antigen-antibodi yang

ditentukan dengan nilai absorbansi. Teknik ini menghubungkan spesifitas

antibodi dengan kepekaan uji enzimatis dengan spektrofotometer biasa

(Marfianti, 2009).

Tipe ELISA, sebagai berikut:

1. Direct ELISA, biasanya digunakan dengan kompetisi dan inhibisi ELISA

digunakan untuk deteksi antigen. Teknik ini mendeteksi dan mengukur

konsentrasi antigen tetapi metode ini mempunyai beberapa kelemahan,

yaitu immunoreaktifitas antibodi kemungkinan akan berkurang akibat

bertaut dengan enzim, penautan enzim signal ke setiap antibodi

menghabiskan waktu, tidak memiliki fleksibilitas dan pemilihan tautan

enzim, larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus

dimurnikan sebelum digunakan dan mahal.

2. Indirect ELISA, antigen terikat pada plate, digunakan untuk mendeteksi

antibodi. Enzim bertindak sebagai penanda, bahkan jika hanya sedikit

antibodi terikat enzim yang tetap terikat, molekul enzim akan

memproduksi berbagai molekul sinyal. Kerugian utama dari metode

indirect ELISA adalah metode imobilisasi antigennya nonspesifik,

sehingga setiap protein pada sampel akan menempel pada lubang plate

mikrotiter, sehingga konsentrasi analit yang kecil dalam sampel harus

berkompetisi dengan protein serum lain saat pengikatan pada permukaan

lubang.

35
Universitas Sumatera Utara
3. Sandwich ELISA, antibodi terikat pada plate, digunakan untuk deteksi

antigen. Keuntungan utama dari metode sandwich ELISA adalah

kemampuan menguji sampel yang tidak murni, dan mampu mengikat

secara selektif antigen yang dikehendaki. Tanpa lapisan pertama antibodi

penangkap, semua jenis protein pada sampel (termasuk protein serum)

dapat diserap secara kompetitif oleh permukaan lempeng, menurunkan

kuantitas antigen yang termobilisasi.

4. Capture ELISA, antihuman antibodi terikat pada plate. Digunakan untuk

deteksi antibodi (Marfianti, 2009).

2.10 Imunohistokimia

Prinsip dari metoda imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi

imunologi dan kimiawi, di mana reaksi imunologi ditandai dengan adanya reaksi

antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai dengan adanya enzim.

Enzim yang digunakan untuk melabel antibodi tersebut dapat berupa enzym

peroksidase, alkali fosfatase, dan β-galaktosidase. Apabila antibodi yang

digunakan di label dengan peroksidase, maka substrat yang digunakan adalah

peroksida. Apabila antibodi dilabel dengan alkalifosfatase, maka substrat yang

digunakan adalah alkalifosfat. Demikian juga halnya apabila antibodi di label

dengan β-galaktosidase maka substrat yang digunakan adalah β-galaktosa. Untuk

menandai adanya suatu reaksi enzimatik maka digunakan suatu indikator warna

(chromogen). Chromogen yang dapat digunakan antara lain α-naftol: berwarna

biru dan DAB: bewarna coklat (Sudiana, K., 2004).

Untuk spesimen uji imunohistokimia dapat digunakan jaringan atau organ

yang disimpan dalam keadaan beku pada suhu 80 ºC dan dibuat sediaan sentuh

36
Universitas Sumatera Utara
ataupun apus darah dan jaringan. Jika dibuat sediaan histopatologis blok parafin

untuk uji imunohistokimia, maka hasil uji imunohistokimia akan terdistorsi oleh

artifact (kotoran) yang diinduksi oleh adanya kristal es. Jaringan atau organ yang

diblok parafin dipotong dengan mikrotom ketebalan ± 5µ yang merupakan

ketebalan optimal untuk sediaan jaringan histopatologis yang akan diuji

imunohistokimia (Warsito dan Wuryastuti, 2014).

2.11 Kerangka Teori Penelitian

Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme

lemak, karbohidrat dan protein yang disebabkan kurangnya sekresi insulin,

kurangnya sensitivitas insulin atau keduanya. Penderita DM yang tidak dapat

mengontrol gula darahnya akan memiliki potensi mengalami komplikasi diabetes

melitus. Salah satu alternatif pengobatan diabetes adalah dengan menggunakan

berbagai tumbuhan terutama yang mengandung senyawa tanin bertindak sebagai

penangkap radikal bebas dan mengaktifkan enzim antioksidan sehingga dapat

memperbaiki keadaan oksidatif patologis pada diabetes. Saponin bertindak sebagai

antioksidan dengan menangkap superoksida dan membentuk hidroksiperoksida

yang mencegah kerusakan biomolekuler yang diakibatkan radikal. Selain itu

senyawa polifenol terutama flavonoid. Flavonoid bersifat antioksidan dan mampu

melindungi sel β pankreas dari reaksi peroksidasi berantai yang disebabkan oleh

ROS, meningkatkan pelepasan insulin. Polifenol dapat mencegah pembentukan

Amadorin product HbA1c, AGEs sehingga dapat menghambat terjadinya

komplikasi diabetes. Kerangka teori penelitian dapat ditunjukkan pada Gambar

2.7.

37
Universitas Sumatera Utara
NA Tikus STZ

EEDP & EEDP &


EEHP Kerusakan sel EEHP
β Pankreas

Tanin Flavonoid Sekresi Insulin ↓ Saponin

Hiperglikemia

SOD ↓ ROS ↑

Stress Oksidatif ↑

HbA1c ↑

AGEs ↑

Komplikasi
DM

Keterangan:
: memicu
: menghambat

Gambar 2.7 Kerangka teori penelitian (Menurut: Lavle et al., 2015, Khan et al.,
2012, Kumari dan Jain, 2012).

38
Universitas Sumatera Utara
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental

yaitu metode yang digunakan untuk mengamati hubungan variabel bebas dengan

variabel terikat. Penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan bahan tanaman,

pembuatan simplisia, pemeriksaan karakteristik simplisia, pembuatan ekstrak

etanol dari tanaman, skrining fitokimia, uji pengaruh pemberian ekstrak terhadap

penurunan kadar glukosa darah tikus yang telah diinduksi nicotinamida dan

streptozotosin, pengujian kadar SOD, HbA1c dan uji ekspresi insulin pada tikus

yang telah diinduksi NA dan STZ. Kemudian dilakukan analisis statistik dengan

menggunakan One Way ANOVA (Analysis of variance) dan dilanjutkan dengan

uji Tukey dengan program SPSS versi 22.0. Penelitian dilakukan di Laboratorium

Farmakognosi, Laboratorium Farmakologi, Laboratorium Patologi Klinik dan

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan

Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Murni Teguh.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari lemari pengering, blender

(Panasonik), oven (Memmert), penangas air, mortir dan stamfer, aluminium foil,

kaca objek, kaca penutup, kertas saring, rotary evaporator, desikator (Iaswerk

Werti), neraca listrik (Mettler Toledo), seperangkat alat destilasi, seperangkat alat

PK air, timbangan hewan, tanur, mikroskop (Olympus), mikrotube, microplate

reade, spuit, oral sonde, glukometer dan strip glukotes (Easy Touch® GCU),

sentrifuse, spatula, vial, pipet tetes, serta alat - alat gelas lainnya.

39
Universitas Sumatera Utara
3.2 Bahan-bahan

Bahan yang digunakan terdiri dari nicotinamida (Brataco-Chem),

streptozotosin (Nacalai Tasque, Kyoto, Jepang), Na-CMC, tablet glibenklamid

(INDOFARMA), etanol 96%, akuades, akuabides, kalium iodida, iodium, bismut

(III) nitrat, raksa (II) klorida, besi (III) klorida, alfa naftol, asam nitrat pekat,

timbal (II) asetat, asam klorida pekat, natrium hidroksida, asam sulfat pekat, asam

asetat anhidrida, kloralhidrat, amil alkohol, HCl 2N, isopropanol, kloroform, asam

nitrat 0,5 N, serbuk magnesium, toluen, n-heksan, asam sitrat, natrium sitrat,

ketamin-hameln (PT. Combiphar) wash buffer, larutan biotin, larutan SABC dan

Kit fine test.

3.3 Pembuatan Pereaksi


3.3.1 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida P dilarutkan dalam air suling secukupnya

kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit, cukupkan dengan air suling

sampai 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.3.2 Pereaksi Dragendorff

Larutan bismut (III) nitrat P 40% b/v dalam asam nitrat P sebanyak 20 mL

kemudian dicampurkan dengan 50 mL larutan kalium iodida P 54,4% b/v,

didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan

dengan air suling secukupnya hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.3.3 Pereaksi Mayer

Larutan raksa (II) klorida P 2,266% b/v sebanyak 60 mL dicampur dengan

10 mL larutan kalium iodida P 50% b/v. Kedua larutan dicampurkan dan

ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 mL (Depkes RI, 1995).

40
Universitas Sumatera Utara
3.3.4 Pereaksi Besi (III) Klorida 1% b/v

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling sampai 100 mL

(Depkes RI, 1995).

3.3.5 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol P dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga

diperoleh larutan 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.3.6 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M

Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam air suling bebas CO2

hingga 100 mL (Depkes RI, 1995)

3.3.7 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 mL asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai

100 mL (Depkes RI, 1995).

3.3.8 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

Sebanyak 8,001 g pellet natrium hidroksida ditimbang, kemudian

dilarutkan dalam air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.3.9 Pereaksi Asam Sulfat 2 N

Larutan asam sulfat pekat sebanyak 9,8 mL ditambahkan air suling sampai

100 mL (Depkes RI, 1995).

3.3.10 Pereaksi Liebermann-Burchard

Campurkan 5 mL asam sulfat pekat dengan 50 mL etanol. Ditambahkan 5

mL asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut (Depkes RI, 1995).

3.3.11 Larutan Kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 mL air

suling (Depkes RI, 1995).

41
Universitas Sumatera Utara
3.3.12 Buffer Formalin

Sebanyak 4 g sodium hydrogen fosfat mono basik dan 6,5 g sodium

hydrogen fosfat dibasik dilarutkan dalam 900 mL aquades, setelah larut kemudian

tambahkan dengan formalin 10 % sebanyak 100 mL (Sudiana, 2004).

3.4 Penyiapan Sampel

3.4.1 Pengumpulan Bahan Tumbuhan

Metode pengumpulan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu

mengambil sampel tumbuhan dengan sengaja dari satu tempat tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Bahan yang

digunakan adalah Pirdot (Saurauia vulcani Korth.) diambil dari desa Sipangan

Bolon, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi

Sumatera Utara. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun Poguntano (Picria

fel-terrae Lour.) yang diambil dari Desa Tiga Lingga, Kabupaten Dairi, Provinsi

Sumatera Utara. Bagian tanaman yang digunakan adalah herba.

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense (MEDAN),

Universitas Sumatera Utara, JL. Bioteknologi No. 1 Kampus USU, Medan dan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Jakarta – Bogor Km. 46

Cibinong 16911 Bogor – Indonesia.

3.4.3 Pembuatan Simplisia

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun pirdot (Saurauia

vulcani Korth) dan herba poguntano (Picria fel-terrae Lour.) yang masih segar.

Daun pirdot (Saurauia vulcani Korth.) dan herba poguntano (Picria fel-

terrae Lour.) disortasi, dicuci hingga bersih, ditiriskan, kemudian dikeringkan

42
Universitas Sumatera Utara
dengan cara diangin-anginkan, selanjutnya ditimbang sebagai berat basah.

Selanjutnya dikeringkan dalam lemari pengering pada temperatur ± 40°C sampai

kering (ditandai bila diremas rapuh), kemudian ditimbang sebagai berat kering.

Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk lalu disimpan dalam wadah

tertutup rapat pada suhu kamar.

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan

organoleptik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam

air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, penetapan

kadar abu tidak larut dalam asam.

3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Organoleptik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, tekstur

dan ukuran serta pemeriksaan organoleptik dengan mengamati warna, rasa dan bau

dari tumbuhan segar, simplisia dan serbuk simplisia daun pirdot dan herba

poguntano (Picria fel-terrae Lour.)

3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun pirdot

(Saurauia vulcani Korth.) dan herba Poguntano (Picria fel-terrae Lour). Serbuk

simplisia ditaburkan pada objek glass yang telah ditetesi larutan kloralhidrat

kemudian ditutup dengan kaca penutup, lalu diamati dibawah mikroskop.

3.5.3 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi. Sebanyak 200

mL toluen dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu ditambahkan 2 mL air suling,

setelah alat dipasang, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan

43
Universitas Sumatera Utara
dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima

dibaca dengan ketelitian 0,05 mL.

Ke dalam labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang

telah ditimbang seksama lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen

mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air

terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik.

Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada

suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan

ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air, dibaca sesuai dengan kadar air yang

terdapat dalam bahan yang diperiksa, kadar air dihitung dalam persen (WHO,

2011).

3.5.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL

air-kloroform (2,5 mL kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu

bersumbat, dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18

jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering

dalam cawan penguap yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada

suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.5.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL

etanol 96% di dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam

pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, setelah itu disaring cepat untuk

menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 mL filtrat diuapkan dalam cawan

44
Universitas Sumatera Utara
penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara sampai kering. Sisa

yang diperoleh dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam

persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah

dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.5.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dimasukkan ke dalam krus porselin

yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselin dipijar perlahan-

lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 500-600°C selama 3 jam

kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 2011).

3.5.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam

25lmL asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap,

kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam

(WHO, 2011).

3.6 Skrining Fitokimia Simplisia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan

senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tannin, glikosida, dan

steroid/triterpenoid.

3.6.1 Pemeriksaan Flavonoid

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 mL metanol lalu

direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat,

45
Universitas Sumatera Utara
filtrat diencerkan dengan 10 mL air suling. Setelah dingin ditambah 5 mL eter

minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan

pada temperatur 40oC. Sisa dilarutkan dalam 5 mL etil asetat, disaring.

Cara Percobaan :

i. 1 mL larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2

mL etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 mL asam klorida 2 N,

didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 mL asam klorida pekat, jika

dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya

flavonoida (glikosida-3-flavonol).

ii. 1 mL larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1

mL etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 mL asam klorida pekat,

terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya

flavonoida (Depkes RI, 1995).

3.6.2 Pemeriksaan Alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 mL

asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji alkaloida:

diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 mL filtrat.

a. filtrat 3 tetes ditambah 2 tetes larutan pereaksi mayer, terbentuk endapan

menggumpal berwarna putih atau kuning

b. filtrat 3 tetes ditambah 2 tetes larutan pereaksi bouchardat, terbentuk

endapan coklat sampai hitam

c. filtrat 3 tetes ditambah 2 tetes larutan pereaksi dragendorff terbentuk warna

merah atau jingga

46
Universitas Sumatera Utara
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit

dua dari tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.6.3 Pemeriksaan Saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok

kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak

kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2N

menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.6.4 Pemeriksaan Tanin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g, dididihkan selama 2 menit

dalam 10 mL air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambahkan 1-2

tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau

kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes RI, 1989).

3.6.5 Pemeriksaan Glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 2 g, lalu disari dengan 20 mL

campuran etanol 95% dengan air (7:2) dan 10 mL asam klorida 2N, direfluks

selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 mL filtrat ditambahkan 25 mL

air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu

disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran isopropanol dan kloroform (2:2),

dilakukan berulang kali sebanyak 2 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada

temperatur tidak lebih dari 500 . Sisanya dilarutkan dalam 2 mL metanol. Larutan

sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 mL larutan percobaan dimasukkan

dalam tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2

mL air dan 5 tetes pereaksi Molisch. Kemudian secara perlahan-lahan

47
Universitas Sumatera Utara
ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin

berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Depkes RI, 1995).

3.6.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 mL n- selama 2 jam,

lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan

beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuk warna biru atau biru

hijau menunjukkan adanya steroid sedangkan warna merah, merah muda atau ungu

menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pirdot (EEDP) dan Ekstrak Etanol
Herba Poguntano (EEHP)

Sebanyak 500 g masing-masing serbuk simplisia daun pirdot dan herba

poguntano dimasukkan ke dalam bejana kemudian ditambahkan pelarut etanol

sampai serbuk simplisia terendam dengan 10 bagian pelarut etanol, ditutup dan

direndam selama 6 jam pertama, kemudian didiamkan selama 18 jam. Dipisahkan

maserat dengan cara disaring. Diulangi proses penyarian sebanyak tiga kali dengan

setengah kali jumlah volume pelarut pada penyarian pertama. Pemekatan ekstrak

dilakukan menggunakan alat rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai

diperoleh ekstrak kental (Depkes RI, 2013).

3.8 Pembuatan Sediaan Uji

3.8.1 Sediaan Suspensi Na-CMC 0,5%

Lumpang dan alu dipanaskan. Ditimbang Na-CMC sebanyak 0,5 g.

Masukkan 20 bagian air panas kedalam lumpang, taburkan Na-CMC diatasnya dan

diamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus

48
Universitas Sumatera Utara
sampai homogen, diencerkan dengan air suling, kemudian dihomogenkan,

dimasukkan kedalam labu tentukur, dicukupkan dengan air suling hingga 100 mL.

3.8.2 Pembuatan Suspensi Glibenklamid

Dosis glibenklamid untuk manusia 5 mg per hari, maka dosis untuk tikus

berat 200 g dikonversikan = 0,018 x 5 mg = 0,09 mg. Dosis per kg berat badan=

1000/200 x 0,09 mg = 0,45 mg/kg bb. Timbang tablet glibenklamid setara 0,45 mg

masukkan dalam lumpang ditambahkan Na-CMC 0,5% gerus sampai homogen

kemudian cukupkan volumenya 10 mL.

3.8.3 Pembuatan Larutan Nicotinamida (NA)

Sebanyak 230 mg nicotinamida dilarutkan dalam 10 mL larutan NaCl 0,9

% (Masiello, 1998).

3.8.4 Pembuatan Larutan Streptozotosin (STZ)

Sebanyak 65 mg STZ dilarutkan dalam 10 mL larutan NaCl 0,9 %

(Masiello, 1998).

3.8.5 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Pirdot (EEDP) dan Ektrak
Etanol Herba Poguntano (EEHP)

Ditimbang masing-masing EEDP dan EEHP dosis 100 mg/kg bb dengan

gelas arloji kemudian dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi

Na-CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen lalu

dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 mL. Volume dicukupkan dengan suspensi

Na-CMC 0,5% sampai garis tanda.

3.9 Penyiapan Hewan Uji

Hewan yang digunakan adalah tikus putih jantan dengan berat badan 180-

200 gram dibagi 8 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 ekor. Sebelum

percobaaan, terlebih dahulu diaklimatisasi selama 2 minggu.

49
Universitas Sumatera Utara
Penentuan besar sampel dihitung dengan rumus Federer sebagai berikut :

(t 1) (n 1) 15

Keterangan :
t = jumlah kelompok perlakuan
n = besar sampel tiap kelompok

3.10 Pengujian Efek Antidiabetes Ekstrak Etanol Daun Pirdot (EEDP) dan
Ektrak Etanol Herba Poguntano (EEHP)

3.10.1 Pengukuran Kadar Glukosa Darah (KGD)

Darah tikus diambil dari ujung ekor, ekor dibersihkan dengan alkohol 70%

kemudian disayat dengan pisau silet dan darah yang keluar ditempelkan pada

kertas strip glukometer yang sudah terpasang pada alatnya kemudian angka yang

tertera dilayar alat tersebut dicatat, bekas luka ujung ekor tikus diberi alkohol 70%.

3.10.2 Penginduksian Hewan Uji

Tikus jantan sebanyak 32 ekor dengan berat badan 180-200 g yang telah

dipuasakan selama 18 jam, ditimbang berat badannya, ditentukan KGD puasa,

diinduksi dengan larutan nicotinamida 230 mg/kg bb secara intraperitonial, setelah

15 menit kemudian diinduksikan larutan streptozotosin 65 mg/kg secara

intraperitonial (Masiello et al., 1998). Tikus diukur kadar glukosa darahnya pada

hari ke-5 (Szkudelski, 2012). Tikus dianggap diabetes apabila kadar glukosa darah

puasa ≥ 200 mg/dL dan dapat digunakan untuk pengujian.

3.11 Uji Aktivitas Antidiabetes Kombinasi EEDP dan EEHP

Uji aktivitas antidiabetes menggunakan kombinasi EEDP dan EEHP yang

diberikan peroral satu kali pemberian setiap harinya. Hewan uji yang digunakan

50
Universitas Sumatera Utara
dalam percobaan ini tikus putih galur wistar yang sudah diinduksi nicotinamida

dan streptozotosin dibagi dalam 8 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri

dari 4 ekor, yaitu:

Kelompok 1 : suspensi Na-CMC

Kelompok 2 : EEDP dosis 100 mg/kg bb.

Kelompok 3 : EEHP dosis 100 mg/kg bb.

Kelompok 4 : kombinasi EEDP dan EEHP dosis 25:75 mg/kg bb.

Kelompok 5 : kombinasi EEDP dan EEHP dosis 50:50 mg/kg bb.

Kelompok 6 : kombinasi EEDP dan EEHP dosis 75:25 mg/kg bb.

Kelompok 7 : glibenklamid dosis 0,45 mg/kg bb sebagai kontrol positif.

Kelompok 8 : normal (tanpa perlakuan)

Masing-masing kelompok diberi sediaan uji secara oral, kemudian

dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke-4, 8, 12, 16, 20, 24, 28

(Krishnasamy, 2016). Pada hari ke-28 hewan uji dianestesi terlebih dahulu

menggunakan ketamin kemudian dibedah, diambil darah 3 - 3,5 mL dari jantung

untuk memperoleh plasma yang digunakan untuk penetapan kadar SOD, HbA1c.

Organ pankreas tikus diambil untuk pemeriksaan ekspresi insulin.

3.12 Penetapan Kadar SOD dan HbA1c

3.12.1 Pengambilan Plasma Darah Tikus

Darah yang didapat disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3000-

4000 rpm hingga terpisah antara supernatan dan endapannya. Lapisan supernatan

diambil dengan menggunakan spuit dan ditampung didalam mikrotube.

51
Universitas Sumatera Utara
3.12.2 Pembuatan Larutan Uji

3.12.2.1 Pembuatan larutan wash buffer

Sebanyak 30 mL wash buffer pekat diencerkan dengan 750 mL akuades

(1:25), kemudian diaduk sampai homogen (Wuhan Fine BioTech, 2013).

3.12.2.2 Pembuatan larutan standar

Sebanyak 1 mL larutan buffer standar dimasukkan ke dalam mikro tube

untuk menghasilkan 1000 pg/mL, 500 pg/mL, 250 pg/mL, 125 pg/mL, 62,5

pg/mL, 31,25 pg/mL dan 15,6 pg/mL larutan standar SOD dan 100 ng/mL, 50

ng/mL, 25 ng/mL, 12,5 ng/mL, 6,25 ng/mL, 3,125 ng/mL dan 1,56 ng/mL larutan

standar HbA1c (Wuhan Fine BioTech, 2013).

3.12.2.3 Pembuatan larutan antibodi biotin

Preparasi 1 jam sebelum pengujian kemudian dihitung volume yang

dibutuhkan untuk larutan pengujian: 0,1 mL/sumur x jumlah sumur (volume total

± 0,1 – 0,2 mL). Dilarutkan larutan deteksi antibodi biotin dengan larutan buffer

antibodi 1:100 dan aduk homogen (Wuhan Fine BioTech, 2013).

3.12.2.4 Pembuatan larutan Horseradish Peroxidase (HRP)-Streptavidin


Conjugate (SABC)

Preparasi 30 menit sebelum pengujian dihitung total volume yang

dibutuhkan untuk larutan pengujian 0,1 mL/sumur x jumlah sumur (volume total

±0,1 – 0,2 mL). Dilarutkan larutan SABC dengan larutan buffer SABC 1:100 dan

aduk homogen (Wuhan Fine BioTech, 2013).

3.12.3 Pengukuran Kadar SOD dan HbA1c dengan Metode ELISA

Disiapkan alat dan bahan, dicuci plate dengan wash buffer 2 kali,

ditambahkan 100 μl standar, sampel dan kontrol nol kedalam masing-masing

sumur, ditutup dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37°C. Dicuci Plate

52
Universitas Sumatera Utara
dengan wash buffer 2 kali tambahkan 100 µl biotin solution kedalam masing –

masing sumur dan diinkubasikan selama 60 menit pada suhu 370C. Dicuci plate

dengan wash buffer 3 kali kemudian ditambahkan 100 µl larutan SABC masukkan

kedalam sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370 terlindung dari

cahaya. Dicuci plate dengan menggunakan wash buffer 5 kali tambahkan 90 µl

TMB substrat pada masing – masing sumur dan diinkubasikan 15–30 menit pada

suhu 37oC, terlindung dari cahaya. Diamati perubahan warna (beberapa larutan

dalam sumur akan berubah menjadi warna biru sesuai dengan konsentrasi).

Ditambahkan 50 µl stop solution pada masing- masing sumur dan diamati

perubahan warna yang munculnya warna kuning. Dibaca serapan dengan

microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan dihitung kadarnya

(Wuhan Fine BioTech, 2013).

3.13 Pengujian Ekspresi Insulin dengan Metode Imunohistokimia

Pengujian ekspresi insulin dengan metode Imunohistokimia, dengan

mengamati dan menghitung ekspresi insulin dengan menggunakan mikroskop.

Prosedur pulasan immunohistokimia insulin di Laboratorium Patologi Anatomi

Rumah Sakit Murni Teguh:

a. Fiksasi, pankreas yang sudah diambil melalui pembedahan difiksasi dalam

larutan buffer formalin 10%.

b. Dehidrasi dilakukan secara bertahap. Pertama dilakukan dehidrasi dalam

larutan alkohol 50%, 70%, 80%, 95%, 100% dengan lama waktu yang sama

untuk setiap kadar alkohol yaitu 90 menit sebanyak 2 kali.

c. Clearing, pankreas dimasukkan kedalam larutan yang berisi xylol selama 90


menit.

53
Universitas Sumatera Utara
d. Infiltrasi, dilakukan dengan memasukkan pankreas kedalam larutan parafin

90 menit dan dilakukan sebanyak 2 kali. Infiltrasi dilakukan di dalam oven

dengan suhu 60°C.

e. Embedding, pankreas dan larutan paraffin dimasukkan kedalam cetakan blok

paraffin dan dibiarkan selama ± 3 jam atau sampai paraffin membeku.

f. Sectioning, blok paraffin yang sudah terbentuk dilakukan pemotongan

dengan rotary microtom. Jaringan dipotong dengan ketebalan 3-4 µm dan

diletakkan diatas objek glass poly-L-lysine, kemudian dibiarkan di inkubator

selama semalam pada suhu 40°C.

g. Deparafinisasi, secara berurutan dimasukkan kedalam larutan xylol, alkohol

100%, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, alkohol 50%, selama

masing masing 90 menit sebanyak 2 kali.

h. Peroxidase blocking dengan 0,3% H2O2 dalam methanol selama 20 menit

i. Preparat dicuci dengan Phosphat Buffer Saline (PBS) 10% sebanyak 3x 5

menit

j. Kemudian dilakukan nonspesifik blocking dengan 10% serum normal

selama 30 menit.

k. Diinkubasi dengan antibodi primer di suhu 4°C selama 18–22 jam

l. Preparat dicuci dengan Phosphat Buffer Saline (PBS) 10% sebanyak 3x

selama 5 menit.

m. Ditetesi dengan antibodi sekunder (universal antibodi) selama 30 menit

n. Kemudian preparat dicuci dengan Phosphat Buffer Saline (PBS) 10%

sebanyak 3x selama 5 menit.

o. Ditetesi dengan Chromogen 3,3-diaminobenzedine selama 5-10 detik.

54
Universitas Sumatera Utara
p. Dicuci dengan aquades, diberi counterstain dengan Hematoxylin Mayer 5-10

detik dilanjutkan cuci dengan air kran mengalir 10-15 menit

q. Dehidrasi dengan dimasukkan kedalam alkohol 80%, alkohol 95%, xylol

sebanyak 2 kali

r. Mounting dengan menggunakan E. Z mount (Lab Vision, Cat#MS-1378-

PO).

Dikatakan mengekspresikan jika memberikan warna coklat tua, coklat

sedang dan coklat muda keunguan, sedangkan yang tidak mengekpresikan

berwarna ungu. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung ekspresi pada

200 sel yang diamati. Pengamatan preparat dilakukan sebanyak lima lapang

pandang yang berbeda untuk tiap preparat (Suarsana et al., 2016).

3.14 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi

22.0. Data dianalisis dengan menggunakan metode Kolmogorov Smirnov untuk

menentukan homogenitas dan normalitasnya. Kemudian dilanjutkan menggunakan

metode One Way ANOVA untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara

kelompok. Jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Tukey HSD untuk

melihat perbedaan nyata antar perlakuan.

55
Universitas Sumatera Utara
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Herbarium Medanense,

Universitas Sumatera Utara dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Bogor - Pusat Penelitian Biologi menyebutkan bahwa sampel yang digunakan

adalah daun pirdot (Saurauia vulcani Korth.) suku Actinidiaceae dan herba

poguntano (Picria fel-terrae Lour.) suku Linderniaceae. Hasil pemeriksaan dapat

dilihat pada Lampiran 2 halaman 104-105.

4.2 Karakterisasi Simplisia

4.2.1 Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Pirdot (Saurauia vulcani Korth.)

Hasil pemeriksaan makroskopik daun pirdot adalah daunnya berukuran

lebar dengan ukuran 14,5 x 32,3 cm bentuk daun menyirip dan memiliki dua sisi

warna yang berbeda, sisi daun bagian atas berwarna hijau dan sisi daun bagian

bawah berwarna kecoklatan. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada

Lampiran 3 halaman 106-108.

Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia daun pirdot dapat dilihat pada

Lampiran 6 halaman 110. Daun pirdot memiliki fragmen pengenal seperti berkas

pembuluh xylem bentuk spiral, kristal kalsium oksalat bentuk raphida, dan stomata

dengan tipe parasitik. Hasil karakterisasi simplisia daun pirdot meliputi penetapan

kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu

yang tidak larut asam yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

56
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia daun pirdot

No Parameter Hasil (%)


1 Penetapan kadar air 6,12
2 Penetapan kadar sari larut air 10,50
3 Penetapan kadar sari larut etanol 14,77
4 Penetapan kadar abu total 7,05
5 Penetapan kadar abu tidak larut asam 0,48

Hasil penetapan kadar air dari simplisia daun pirdot diperoleh 6,12%, hal

ini sesuai dengan standarisasi kadar air simplisia secara umum dengan syarat yaitu

tidak lebih dari 10% (Depkes RI, 1995). Kadar air berhubungan dengan proses

pengeringan, kadar air ditentukan untuk mengetahui bahwa simplisia yang

digunakan tidak ditumbuhi jamur dan aman digunakan.

Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui jumlah material yang

tersisa setelah pembakaran, dari hasil penelitian diketahui bahwa kadar abu total

dan kadar abu tidak larut asam pada simplisia daun pirdot adalah 7,05% dan

0,48%. Abu total terbagi dua yang pertama abu fisiologis adalah abu yang berasal

dari jaringan tumbuhan itu sendiri dan abu non fisiologis adalah sisa setelah

pembakaran yang berasal dari bahan – bahan dari luar (seperti pasir dan tanah)

yang terdapat pada permukaan simplisia. Kadar abu tidak larut asam untuk

menentukan jumlah silika, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara

melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1992).

Penentuan kadar sari larut air untuk mengetahui kadar senyawa kimia

bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia daun pirdot yang hasilnya

diperoleh 10,50%, sedangkan kadar sari larut etanol digunakan dilakukan untuk

mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non

polar hasilnya adalah 14,77%. Perhitungan karakterisasi dapat dilihat pada

Lampiran 8 halaman 112-116.

57
Universitas Sumatera Utara
4.2.2 Hasil Karakterisasi Simplisia Herba Poguntano

Hasil pemeriksaan makroskopik herba puguntano (Picria fel-terrae Lour.)

adalah daun berwarna hijau muda sampai hijau tua, berbentuk bulat telur, tepi

daun beringgit, ukuran daun 2x4 cm, dengan tekstur permukaan daun kasar,

berkerut-kerut dan berbulu, dengan batang berwarna coklat muda hingga coklat

tua, ukuran batang 20-30 cm serta batang bercabang tunggal. Hasil pemeriksaan

makroskopik dan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 7 halaman 109,

111. Hasil karakterisasi simplisia herba poguntano dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil karakterisasi simplisia herba poguntano

No. Parameter Hasil (%)


1 Penetapan kadar air 5,09
2 Penetapan kadar sari larut air 18,45
3 Penetapan kadar sari larut etanol 13,20
4 Penetapan kadar abu total 8,43
5 Penetapan kadar abu tidak larut asam 0,55

Standarisasi simplisia menurut Depkes RI (2000) adalah pemenuhan

terhadap persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi penetapan nilai untuk

berbagai parameter produk sehingga dapat terjamin mutu dalam penyimpanan.

Terpenuhinya standar mutu bahan ekstrak tidak terlepas dari pengendalian proses,

artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin produk terstandar.

Penelitian ini hanya melakukan karakterisasi pada simplisia saja sedangkan

ekstrak tidak dilakukan, dimana dengan bahan baku terstandar dan proses yang

terkendali/terstandar, maka akan diperoleh produk/bahan ekstrak terstandar tanpa

penerapan pengujian atau pemeriksaan. Namun hal tersebut tidak dapat dibiarkan

untuk masa depan era globalisasi. Pengujian atau pemeriksaan persyaratan

parameter standar umum ekstrak mutlak harus dilakukan dengan berpegang pada

manajemen pengendalian mutu eksternal oleh badan formal atau/dan badan

58
Universitas Sumatera Utara
independen (Depkes RI, 2000). Perhitungan hasil karakterisasi simplisia dapat

dilihat pada Lampiran 8 halaman 118-122.

4.3 Hasil Ekstraksi

Hasil ekstraksi dari simplisia daun pirdot sebanyak 500 gr yang dimaserasi

dengan pelarut etanol 96% diperoleh hasil ekstrak kental 82,597 g. Hasil ekstraksi

dari simplisia herba poguntano sebanyak 500 gr yang dimaserasi dengan pelarut

etanol 96% diperoleh hasil ekstrak kental 94,385 g.

4.4 Hasil Skrining Fitokimia

4.4.1 Hasil Skrining Fitokimia Daun Pirdot

Hasil skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia daun pirdot (Saurauia

vulcani Korth.) dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa

metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya. Hasil skrining fitokimia dapat

dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDP

No Pemeriksaan Simplisia EEDP


1 Alkaloid - -
2 Flavonoid + +
3 Glikosida + +
4 Saponin + +
5 Tanin + +
6 Steroida/triterpenoid + +
Keterangan: (+) positif : mengandung golongan senyawa
(-) negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Pemeriksaan golongan senyawa flavonoida dengan penambahan serbuk

magnesium dan asam klorida pekat menghasilkan larutan yang berwarna merah

(Depkes RI, 1995). Penambahan FeCl3 memberikan warna hijau kehitaman yang

59
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan adanya golongan senyawa tanin (Depkes RI, 1989). Sampel dengan

penambahan akuades panas dan dikocok kuat menghasilkan busa yang stabil

kemudian ditambah HCl 2 N, menunjukkan adanya golongan senyawa saponin

(Depkes RI, 1995). Pemeriksaan golongan senyawa glikosida dengan penambahan

pereaksi Molisch dan asam sulfat pekat membentuk cincin ungu (Depkes RI,

1995). Pemeriksaan golongan senyawa triterpenoida/steroida dengan penambahan

beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard menghasilkan warna merah muda

atau ungu yang menunjukkan golongan senyawa triterpenoida (Harborne, 1987).

4.4.2 Hasil Skrining Fitokimia Herba Poguntano

Hasil skrining dari simplisia dan ekstrak etanol herba puguntano dapat

dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.4 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEHP

No Pemeriksaan Simplisia EEHP


1 Alkaloid - -
2 Flavonoid + +
3 Glikosida + +
4 Saponin + +
5 Tanin + +
6 Steroida/triterpenoid + +
Keterangan: (+) positif: mengandung golongan senyawa
(-) negatif: tidak mengandung golongan senyawa

4.5 Hasil Pengujian Aktivitas Antidiabetes Kombinasi EEDP dan EEHP

Pengukuran rata-rata KGD dilakukan pada tikus yang sebelumnya sudah

dipuasakan selama 18 jam, selanjutnya KGD hasil pengukuran disebut dengan

rata-rata KGD normal atau rata-rata KGD sebelum diinduksi NA dan STZ. Hasil

uji normalitas diperoleh nilai signifikan 0,200 pada α = 0,05 yang menunjukkan

tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara kelompok kontrol, kelompok uji

dan kelompok pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa hewan coba yang

60
Universitas Sumatera Utara
digunakan dalam kondisi fisiologis yang homogen, yakni dalam kadar glukosa

darah normal sehingga dapat digunakan sebagai hewan uji. Hasil pengukuran

KGD dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil pengukuran KGD puasa rata-rata tikus dan KGD setelah diinduksi
NA dan STZ

KGD puasa KGD setelah


(mg/dL) diinduksi NA &STZ
No. Kelompok Perlakuan
Mean ± SEM, (mg/dL)
n=4 Mean ± SEM, n=4
1. Na-CMC 0,5 % 78,75 ± 0,750 333,00 ± 1,780
2. EEDP 100 mg/kg bb 77,75 ± 1,652 341,50 ± 4,573
3. EEHP 100 mg/kg bb 80,75 ± 1,377 347,50 ± 1,323
4. EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 78,75 ± 1,109 340,50 ± 1,708
5. EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 78,75 ± 1,109 335,00 ± 2,799
6. EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 79,00 ± 1,080 333,50 ± 2,754
7. Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 78,00 ± 1,581 336,75 ± 2,689

Tikus diinduksi larutan nikotinamida 230 mg/kg BB dan STZ dosis 65

mg/kg bb secara intraperitoneal, diukur KGD pada hari ke-4 hingga hari ke-28.

Tikus yang telah memiliki KGD ≥ 200 mg/dL selanjutnya disebut tikus diabetes

(hari ke-0) yang ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik KGD tikus pada hari ke-0

61
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Gambar 4.1 terlihat bahwa rata-rata KGD setelah diinduksi

nicotinamida 230 mg/kg BB dan STZ dosis 65 mg/kg bb untuk semua hewan

percobaan menghasilkan KGD ≥ 200 mg/dL. Hal ini menunjukkan bahwa tikus

yang digunakan untuk percobaan dalam keadaan hiperglikemia. Hasil tes

homogenitas diperoleh p = 0,200 pada α = 0,05 yang menunjukkan data normal

dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara kelompok kontrol,

kelompok uji, dan kelompok kontrol pembanding (Lampiran 10 halaman 120). Hal

ini menunjukkan bahwa hewan coba yang digunakan dalam kondisi fisiologis yang

homogen, yakni tikus sudah dalam kondisi diabetes sehingga dapat digunakan

sebagai hewan uji.

Pemberian perlakuan dimulai setelah tikus positif diabetes (hari ke-0),

kemudian setiap hari diberi sediaan uji pada masing-masing kelompok uji selama

27 hari, dan dilakukan pengukuran KGD pada hari ke- 4, 8, 12, 16, 20, 24 dan 28.

Data KGD (mg/dL) masing-masing kelompok tikus, dihitung rata-rata KGD antar

individu, kemudian dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA dan

dilanjutkan uji Post Hoc Tukey HSD untuk melihat beda signifikan antar

perlakuan. Hasil pengukuran KGD rata-rata hari ke-4 sampai ke-28 dapat dilihat

dibawah ini:

a. Pengamatan Hari ke 4

Data kelompok hari ke-4 menunjukkan penurunan KGD jika dibandingkan

dengan KGD pada hari ke-0, kecuali kontrol negatif terjadi kenaikan KGD.

Suspensi EEDP 100 mg/kg bb terjadi penurunan KGD menjadi 310,75 mg/dL;

EEHP 100 mg/kg bb menjadi 324,25 mg/dL; sedangkan kombinasi suspensi EEDP

dan EEHP (25:75) mg/kg bb memberikan penurunan KGD menjadi 340,5 mg/dL;

EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb menjadi 296 mg/dL; EEDP dan EEHP (75:25)

62
Universitas Sumatera Utara
mg/kg bb menjadi 293 mg/dL; suspensi glibenklamid menjadi 295,75 mg/dL;

sedangkan pada kelompok normal (tanpa perlakuan) menunjukkan KGD dalam

kisaran normal yaitu 85 mg/dL. Penurunan KGD rerata terbesar terjadi pada EEDP

dan EEHP (75:25) mg/kg bb, kemudian glibenklamid 0,45 mg/kg bb, sedangkan

yang terkecil pada Na-CMC, yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Grafik KGD tikus pada hari ke-4

Berdasarkan perhitungan statistik pada hari ke-4 pada Tabel 4.6, kelompok

hewan uji yang diberikan suspensi EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb,

EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP

(75:25) mg/kg bb, memiliki nilai signifikan < 0,05 jika dibandingkan dengan

kelompok hewan uji yang diberikan Na-CMC dan kelompok normal. Hal ini

menunjukkan bahwa pemberian kelima suspensi tersebut, memberikan efek yang

berbeda nyata/signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol Na-CMC

dan kelompok normal. Pemberian EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb,EEDP:EEHP

(50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb memiliki nilai signifikan > 0,05

jika dibandingkan dengan kelompok pembanding glibenklamid. Hal ini

63
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok

tersebut terhadap kelompok glibenklamid.

Tabel 4.6 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-4

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-4 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 337,00 ± 1,581 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 310,75 ± 3,728 0,000a
0,131b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 324,25 ± 1,750 0,049a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 308,25 ± 3,473 0,000a
0,057
0,000c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 296,00 ± 2,345 0,000a
1,000
0,000c
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 293,00 ± 3,536 0,000a
0,996
0,000c
Glibenklamid0,45 mg/kg bb 295,75 ± 2,955 0,000a
-
0,000c
Normal (Tanpa Perlakuan) 85,00 ± 0,913 0,000a
0,000b
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

b. Pengamatan Hari ke 8

Dibandingkan hari ke-4, hari ke-8 terjadi perubahan KGD rata-rata sebagai

berikut: kontrol negatif terjadi peningkatan KGD menjadi 340,75; EEDP 100

mg/kg bb terjadi penurunan KGD menjadi 282,75 mg/dL; EEHP 100 mg/kg bb

menjadi 294,25 mg/dL; kombinasi suspensi EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb

64
Universitas Sumatera Utara
memberikan penurunan KGD menjadi 285,00 mg/dL; EEDP dan EEHP (50:50)

mg/kg bb menjadi 258,75 mg/dL; EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb menjadi

252,00 mg/dL; glibenklamid menjadi 256,25 mg/dL; sedangkan pada kelompok

normal (tanpa perlakuan) menunjukkan KGD dalam kisaran normal yaitu 85,75

mg/dL. Perbedaan penurunan KGD terbesar terjadi pada EEDP dan EEHP (75:25)

mg/kg bb; glibenklamid 0,45 mg/kg bb, sedangkan yang terkecil kontrol negatif

yang dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Grafik KGD tikus pada hari ke-8

Berdasarkan perhitungan statistik pada hari ke-8 pada Tabel 4.7, kelompok

hewan uji yang diberikan suspensi EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb,

EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP

(75:25) mg/kg bb, memiliki nilai signifikan < 0,05 jika dibandingkan dengan

kelompok hewan uji yang diberikan Na-CMC dan kelompok normal. Hal ini

menunjukkan bahwa tiap kelompok perlakuan tersebut memiliki efek yang

berbeda signifikan menurut statistik jika dibandingkan dengan kelompok kontrol

Na-CMC dan kelompok normal.

65
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.7 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-8

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-8 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 340,75 ± 1,377 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 282,75 ± 3,425 0,000a
0,000b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 294,25 ± 1,493 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 285,00 ± 1,871 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 258,75 ± 4,385 0,000a
0,998
0,000c
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 252,00 ± 3,416 0,000a
0,964
0,000c
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 256,25 ± 3,301 0,000a
-
0,000c
Normal (Tanpa Perlakuan) 85,75 ± 2,496 0,000a
0,000b
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

Pemberian EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP (75:25) mg/kg

bbmemiliki nilai signifikan > 0,05 jika dibandingkan dengan kelompok

pembanding glibenklamid. Hal ini menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang nyata antara tiap kelompok perlakuan tersebut dengan kelompok

glibenklamid. Kelompok glibenklamid belum menyamai kelompok normal dengan

nilai signifikan < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok

glibenklamid dan kelompok normal.

66
Universitas Sumatera Utara
c. Pengamatan Hari ke 12

Data KGD pada hari ke-12 menunjukkan penurunan dibandingkan hari ke-

8 sebagai berikut: kontrol negatif terjadi kenaikan KGD menjadi 345,25; EEDP

100 mg/kg bb terjadi penurunan KGD menjadi 250,25 mg/dL; EEHP 100 mg/kg

bb menjadi 259,25 mg/dL; kombinasi suspensi EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb

memberikan penurunan KGD menjadi 251,50 mg/dL; EEDP dan EEHP (50:50)

mg/kg bb menjadi 223,25 mg/dL; EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb menjadi

214,50 mg/dL; glibenklamid menjadi 218,50 mg/dL; sedangkan pada kelompok

normal (tanpa perlakuan) menunjukkan KGD dalam kisaran normal yaitu 85,75

mg/dL. Penurunan KGD terbesar terjadi pada EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb

dan glibenklamid 0,45 mg/kg bb, sedangkan yang terkecil adalah kontrol negatif.

Gambar 4.4 Grafik KGD tikus pada hari ke-12

Berdasarkan perhitungan statistik menunjukkan bahwa pemberian EEDP

100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb, EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP

(50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb, memiliki nilai signifikan < 0,05

jika dibandingkan dengan kelompok Na-CMC dan kelompok normal. Hal ini

67
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa tiap kelompok perlakuan tersebut memiliki perbedaan yang

signifikan terhadap kelompok kontrol Na-CMC dan kelompok normal yang dapat

dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-12

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-12 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 345,25 ± 0,946 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 250,25 ± 3,038 0,000a
0,000b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 259,25 ± 1,652 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 251,50 ± 1,555 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 223,25 ± 4,270 0,000a
0,917
0,000c
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 214,50 ± 3,663 0,000a
0,965
0,000c
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 218,50 ± 2,872 0,000a
-
0,000c
Normal (Tanpa Perlakuan) 85,75 ± 2,287 0,000a
0,000b
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

Pemberian EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb dan EEDP:EEHP (75:25) mg/kg

bb memiliki nilai signifikan > 0,05 terhadap kelompok pembanding glibenklamid.

Hal ini menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap

kelompok glibenklamid.

68
Universitas Sumatera Utara
d. Pengamatan Hari ke 16

Penurunan KGD rerata hari ke-16, kontrol negatif terjadi kenaikan KGD

menjadi 350,00 mg/dL; EEDP 100 mg/kg bb terjadi penurunan KGD menjadi

217,25 mg/dL; EEHP 100 mg/kg bb menjadi 228,50 mg/dL; kombinasi suspensi

EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb memberikan penurunan KGD menjadi 216,00

mg/dL; EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb menjadi 186,25 mg/dL; EEDP dan

EEHP (75:25) mg/kg bb menjadi 175,00 mg/dL; glibenklamid menjadi 178,50

mg/dL; sedangkan pada kelompok normal menunjukkan KGD dalam kisaran

normal yaitu 88,00 mg/dL. Penurunan KGD terbesar terjadi pada kelompok

kombinasi EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb dan glibenklamid 0,45 mg/kg bb,

sedangkan yang terkecil pada kontrol negatif yang dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Grafik KGD tikus pada hari ke-16

Berdasarkan perhitungan statistik menunjukkan bahwa pemberian EEDP

100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb, EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP

(50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb memiliki nilai signifikan < 0,05

jika dibandingkan dengan kelompok hewan uji yang diberikan Na-CMC dan

69
Universitas Sumatera Utara
kelompok normal. Hal ini menunjukkan bahwa tiap kelompok perlakuan tersebut

menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kelompok kontrol Na-CMC dan

normal. Data statistik dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-16

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-16 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 350,00 ± 0,707 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 217,25 ± 3,838 0,000a
0,000b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 228,50 ± 1,041 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 216,00 ± 2,160 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 186,25 ± 4,498 0,000a
0,532
0,000c
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 175,00 ± 3,629 0,000a
0,985
0,000c
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 178,50 ± 2,598 0,000a
-
0,000c
Normal (Tanpa Perlakuan) 88,00 ± 1,414 0,000a
0,000b
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

Pemberian EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb dan EEDP:EEHP (75:25) mg/kg

bb memiliki nilai signifikan > 0,05 terhadap kelompok pembanding glibenklamid.

Hal ini menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap

kelompok glibenklamid.

70
Universitas Sumatera Utara
e. Pengamatan Hari ke 20

Gambar 4.6 Grafik KGD tikus pada hari ke-20

Hasil penurunan KGD rerata hari ke-20 yang ditunjukkan pada Gambar

4.6, kontrol negatif terjadi penurunan KGD menjadi 345,75 mg/dL; pemberian

suspensi EEDP 100 mg/kg bb terjadi penurunan KGD menjadi 181,50 mg/dL;

EEHP 100 mg/kg bb menjadi 191,50 mg/dL; kombinasi suspensi EEDP dan EEHP

(25:75) mg/kg bb memberikan penurunan KGD menjadi 182,50 mg/dL; EEDP dan

EEHP (50:50) mg/kg bb turun menjadi 153,00 mg/dL; EEDP dan EEHP (75:25)

mg/kg bb turun menjadi 137,75 mg/dL; glibenklamid menjadi 141,25 mg/dL;

sedangkan pada kelompok normal (tanpa perlakuan) menunjukkan KGD dalam

kisaran normal yaitu 84,50 mg/dL. Penurunan KGD terbesar terjadi pada

kelompok kombinasi EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb dan glibenklamid 0,45

mg/kg bb.

Perhitungan statistik pada Tabel 4.10 menunjukkan bahwa pemberian

EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb, EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb,

EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb menunjukkan

71
Universitas Sumatera Utara
perbedaan yang nyata terhadap kelompok kontrol Na-CMC dan kelompok normal.

Pemberian suspensi EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb dan EEDP:EEHP (75:25)

mg/kg bb memiliki nilai signifikan > 0,05 terhadap kelompok pembanding

glibenklamid. Hal ini menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan

terhadap kelompok glibenklamid.

Tabel 4.10 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-20

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-20 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 345,75 ± 0,854 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 181,50 ± 3,379 0,000a
0,003b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 191,50 ± 1,443 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 182,50 ± 1,936 0,000a
0,002b
0,000c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 153,00 ± 5,050 0,000a
0,0126
0,000c
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 137,75 ± 3,816 0,000a
0,988
0,000c
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 141,25 ± 2,720 0,000a
-
0,000c
Normal (Tanpa Perlakuan) 84,50 ± 1,443 0,000a
0,000b
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

72
Universitas Sumatera Utara
f. Pengamatan Hari ke 24

Penurunan KGD rerata hari ke-24, kontrol negatif terjadi kenaikan KGD menjadi

349,00 mg/dL; pemberian suspensi EEDP 100 mg/kg bb terjadi penurunan KGD

menjadi 145,75 mg/dL; EEHP 100 mg/kg bb menjadi 154,00 mg/dL; kombinasi

suspensi EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb memberikan penurunan KGD

menjadi 146,50 mg/dL; EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb menjadi 123,50

mg/dL; EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb menjadi 105,75 mg/dL; glibenklamid

menjadi 111,75 mg/dL; kelompok normal (tanpa perlakuan) menunjukkan KGD

dalam kisaran normal yaitu 84,50 mg/dL. Penurunan KGD terbesar terjadi pada

kelompok kombinasi EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb dan kelompok

glibenklamid 0,45 mg/kg bb yang ditunjukkan pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Grafik KGD tikus pada hari ke-24

Berdasarkan perhitungan statistik terhadap uji beda variasi perlakuan

tampak bahwa pemberian EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb,

EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP

73
Universitas Sumatera Utara
(75:25) mg/kg bb menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kelompok

kontrol Na-CMC dan kelompok normal. Pemberian EEDP:EEHP (50:50) mg/kg

bb dan EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan terhadap kelompok glibenklamid. Hasil statistika

terhadap uji beda variasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini.

Tabel 4.11 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-24

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-24 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 349,00 ± 0,707 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 145,75 ± 2,926 0,000a
0,025b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 154,00 ± 1,683 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 146,50 ± 2,217 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 123,50 ± 4,873 0,000a
0,091
0,000c
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 105,75 ± 3,119 0,000a
0,776
0,000c
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 111,75 ± 1,601 0,000a
-
0,000c
Normal (Tanpa Perlakuan) 84,50 ± 2,723 0,000a
0,000b
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

74
Universitas Sumatera Utara
g. Pengamatan Hari ke 28

Hari ke-28, terjadi penurunan kembali KGD pada kelompok Na-CMC

(kontrol negatif) menjadi 346,25 mg/dL; EEDP 100 mg/kg bb menjadi 104,25

mg/dL; EEHP 100 mg/kg bb menjadi 112,75 mg/dL; kombinasi suspensi EEDP

dan EEHP (25:75) mg/kg bb menjadi 103,00 mg/dL; EEDP dan EEHP (50:50)

mg/kg bb menjadi 93,50 mg/dL; EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb menjadi

75,25 mg/dL; glibenklamid menjadi 80,50 mg/dL; kelompok normal (tanpa

perlakuan) menunjukkan KGD dalam kisaran normal yaitu 85,00 mg/dL.

Penurunan KGD terbesar terjadi pada kelompok kombinasi EEDP dan EEHP

(75:25) mg/kg bb glibenklamid 0,45 mg/kg bb (kontrol positif) yang ditunjukkan

pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Grafik KGD tikus pada hari ke-28

Berdasarkan perhitungan statistik pada Tabel 4.12. pada hari ke-28

pemberian suspensi EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb, kombinasi

EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb, EEDP:EEHP

75
Universitas Sumatera Utara
(75:25) mg/kg bb menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap

kelompok kontrol Na-CMC.

Tabel 4.12 Hasil KGD rata-rata dan uji beda variasi perlakuan tikus hari ke-28

KGD rata-rata setelah perlakuan (mg/dL) ±


Kelompok Perlakuan SEM
Hari ke-28 P
Kontrol Na-CMC 0,5 % 346,25 ± 2,594 -
0,000b
0,000c
EEDP 100 mg/kg bb 104,25 ± 2,562 0,000a
0,000b
0,000c
EEHP 100 mg/kg bb 112,75 ± 1,887 0,000a
0,000b
0,000c
EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb 103,00 ± 2,041 0,000a
0,000b
0,001c
EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb 93,50 ± 4,406 0,000a
0,028b
0,252
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb 75,25 ± 2,839 0,000a
0,829
0,178
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 80,50 ± 1,323 0,000a
-
0,913
Normal (Tanpa Perlakuan) 85,00 ± 1,683 0,000a
0,913
-
Keterangan :
a
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol Na-CMC
b
berbeda signifikan dengan kelompok pembanding glibenklamid
c
berbeda signifikan dengan kelompok normal

Pemberian EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb, kombinasi

EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan terhadap kelompok glibenklamid dan kelompok normal, tetapi

EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb hanya memiliki perbedaan yang signifikan

terhadap kelompok normal. Kelompok hewan coba yang diberi kombinasi

76
Universitas Sumatera Utara
EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb memiliki nilai signifikan > 0,05 terhadap

kelompok pembanding glibenklamid dan kelompok normal. Hal ini menyatakan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kelompok glibenklamid

dan normal. Grafik penurunan KGD dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Grafik penurunan KGD

Setelah dihitung penurunan KGD dari kelima kelompok tersebut dari awal

perlakuan hingga hari ke-28 diperoleh bahwa EEDP 100 mg/kg bb turun sebesar

237,25 mg/dL, EEHP 100 mg/kg bb turun sebesar 234,75 mg/dL; kombinasi

suspensi EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb turun sebesar 237,50 mg/dL; EEDP

dan EEHP (50:50) mg/kg bb turun sebesar 241,50 mg/dL; EEDP dan EEHP

(75:25) mg/kg bb turun sebesar 258,25 mg/dL; glibenklamid turun sebesar 256,25

mg/dL, dapat disimpulkan bahwa yang memberikan penurunan KGD dari paling

besar adalah EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb > glibenklamid > EEDP dan

EEHP (50:50) mg/kg > EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb > EEDP 100 mg/kg >

EEHP 100 mg/kg bb. Suspensi kombinasi EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb

77
Universitas Sumatera Utara
yang paling mendekati kekuatan efek glibenklamid 0,45 mg/kg BB dan

menurunkan KGD lebih optimal.

Pada hari ke-28 beberapa kelompok perlakuan telah mencapai penurunan

KGD normal (p>0,05), kecuali kelompok kontrol negatif yang tidak mencapai

KGD ke level normal (p<0,05). Hal ini disebabkan karena penginduksian STZ,

STZ merupakan senyawa kimia yang bersifat diabetogenik yang merusak sel β

pankreas secara langsung. Sitotoksisitas STZ menyebabkan pelepasan radikal

bebas yang memicu stres oksidatif intraseluler. STZ menembus sel β Langerhans

melalui transporter glukosa GLUT 2. Aksi STZ intraseluler menghasilkan

perubahan DNA sel β pankreas (Goud, dkk., 2015).

Alkilasi DNA Alkilasi atau masuknyagugus metil dari streptozotosin ke

dalam molekul DNA ini akan menyebabkan kerusakan fragmentasi DNA.

Kerusakan DNA tersebut nantinya akan mengaktifkan poly adenosine diphosphate

(ADP)-ribosylation. Proses ini akan mengakibatkan penghabisan Nicotinamide

adenine dinucleotide (NAD+) seluler, lebih lanjut akan terjadi pengurangan

adenosine triphosphate (ATP) dan akhirnya akan menghambat sekresi dan sintesis

insulin. Nicotinamida yang merupakan prekusor langsung dari NAD+ dan sebagai

inhibitor poly ADP ribose, akan menghambat kerusakan fragmentasi DNA

berlebih yang dapat menyebabkan hepatotoksik sehingga tikus hanya akan menjadi

diabetes melitus tipe 2 (Szkudelski, 2012).

Menurut Robertus (2016) kandungan ekstrak etanol daun pirdot seperti

flavonoid golongan isoflavon memiliki aktivitas antidiabetes. Senyawa flavonoid

golongan isoflavon diduga menurunkan glukosa darah dengan menginhibisi enzim

α-glukosidase sehingga mengurangi penyerapan glukosa, mengatur aktivitas enzim

yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, dan menghambat penguraian

78
Universitas Sumatera Utara
polisakarida menjadi monosakarida (Oishi et al., 2007). Senyawa saponin

memiliki potensi aktivitas antidiabetes terhadap sekresi insulin yang disebabkan

modulasi saluran kalsium dan peremajaan sel-β pankreas. Selain itu EEDP dan

EEHP juga memiliki kandungan metabolit sekunder lain seperti tanin, dan

saponin, senyawa-senyawa tersebut kemungkinan berperan terhadap penurunan

KGD tikus. Menurut El Barky, et al. (2017) dan Lavle, et al. (2016) saponin

terbukti memiliki potensi sebagai obat alternatif dalam menurunkan kadar glukosa

darah pasien yang menderita diabetes dengan mengaktivasi sintesis glikogen,

menekan aktivitas disakarida, memodulasi sinyal insulin, meregenerasi kerja

insulin, meningkatkan pelepaskan insulin dari sel beta, menghambat

glukoneogenesis, menghambat aktivitas α-glucosidase, dan meningkatkan ekspresi

GLUT 4. Tanin memiliki sifat astrigen yang dapat menghambat penyerapan gula

pada permukaan usus halus sehingga dengan demikian dapat menurunkan kadar

gula darah (Nasi, dkk., 2015).

Poguntano juga diketahui mengandung senyawa kimia berupa flavonoid,

tannin, glikosida (Sitorus, 2014; Harahap, 2013) dimana senyawa-senyawa

tersebut diketahui memiliki efek dalam menurunkan gula darah. Golongan

cucurbitacin dalam glikosida berperan menurunkan kadar gula darah dengan

menghambat glukoneogenesis di hati. (Pan, 2017). Flavonoid bekerja dengan

menurunkan aldoctase-reductase, regenerasi sel pankreas, meningkatkan

pelepasan insulin dan meningkatkan uptake ion Ca2+ (Mohan, 2013). Selain

flavonoid menginhibisi enzim α-glukosidase atau pencegahan absorpsi glukosa

dan memperbaiki toleransi glukosa (Brahmachari, 2011). Tanin meningkatkan

penyerapan glukosa melalui mediator dari jalur signaling insulin dan translokasi

GLUT 4, menghambat adipogenesis dan meningkatkan aktivitas insulin, inhibitor

79
Universitas Sumatera Utara
alami α-amilase dan α-glucosidase, sehingga mencegah hiperglikemia postprandial

(Kumari, 2012).

4.6 Pengaruh Kombinasi EEDP dan EEHP terhadap kadar SOD pada tikus

Pemeriksaan pengaruh ekstrak kombinasi EEDP dan EEHP terhadap kadar

SOD dilakukan secara kuantitatif dengan metode ELISA yang dibaca absorbansi

dengan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm. Metode ini

berdasarkan pada prinsip pengukuran antigen atau antibodi yang baik secara relatif

maupun kuantitatif. Kadar SOD terhadap perlakuan EEDP 100 mg/kg bb, EEHP

100 mg/kg bb, EEDP:EEHP (25:75) mg/kg bb, EEDP:EEHP (50:50) mg/kg bb,

EEDP:EEHP (75:25) mg/kg bb diperoleh hasil dengan pengukuran absorbansi

dengan adanya penambahan larutan standar 1000 pg/ml; 500 pg/ml; 250 pg/ml;

125 pg/ml; 62,5 pg/ml; 31,25 pg/ml; 15,625 pg/ml. Nilai absorban setiap

konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Absorbansi standar SOD

Konsentrasi Standar SOD (pg/ml) Absorbansi (450 nm)


15,625 0,007
31,25 0,076
62,5 0,268
125 0,797
250 1,465
500 1,904
1000 2,535

Berdasarkan tabel tersebut diperoleh kurva standar seperti ditunjukkan pada

Gambar 4.10. Kurva standar didapat dari hubungan berbagai konsentrasi standar

dengan absorbansi yang terbentuk. Dari kurva kalibrasi ini diperoleh nilai r2. Nilai

r2 berkisar antara 0 sampai 1 yang menunjukkan seberapa dekat nilai perkiraan

80
Universitas Sumatera Utara
untuk analisis regresi yang mewakili data yang sebenarnya. Dari kurva standar

diperoleh persamaan garis regresi y = 0,6408 ln(x) – 2,0866 dengan nilai r2 =

0,951.

Gambar 4.10 Kurva standar SOD

Aktivitas SOD dihitung dengan mensubstitusikan nilai absorban (y) sampel

pada panjang gelombang 450 nm ke dalam persamaan garis regresi logaritma y = a

ln(x) + b, yang diperoleh dari kurva standar SOD sehingga diperoleh nilai kadar

SODnya (x). Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 127.

Tabel 4.14 Konsentrasi SOD pada darah tikus

Kelompok Perlakuan Rata-rata konsentrasi SOD


(pg/ml)
Na-CMC 41,30 ± 0,285bc
EEDP 100 mg/kg bb 60,64 ± 0,740ac
EEHP 100 mg/kg bb 57,83 ± 1.687abc
EEDP&EEHP (25:75) mg/kg bb 61,14 ± 0.753ac
EEDP&EEHP (50:50) mg/kg bb 65,14 ± 0,428a
EEDP&EEHP (75:25) mg/kg bb 67,75 ± 3,339a
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 67,01 ± 0,938a
Normal 68,17 ± 1,267a

Keterangan :

81
Universitas Sumatera Utara
a : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok Na-CMC
b : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok glibenklamid
c : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok normal

Hasil aktivitas SOD kemudian dilakukan analisis statistika menggunakan

One Way Analysis of Variant (ANOVA) didapatkan perbedaan hasil pengukuran

yang signifikan (p) < 0,05 antar kelompok perlakuan. Hasil uji konsentrasi SOD

pada plasma darah tikus dapat dilihat pada Tabel 4.14.

Hasil analisis variansi (ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antar kelompok perlakuan terhadap aktivitas SOD (pg/ml) dengan nilai

signifikansi (p) < 0,05. Hasil analisis variansi dapat dilihat pada Lampiran 13

halaman 128. Perbedaan rata-rata konsentrasi SOD pada setiap perlakuan dapat

dilihat pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Pengaruh kelompok perlakuan terhadap konsentrasi SOD

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa rata-rata nilai konsentrasi SOD pada

kelompok kontrol negatif (CMC Na) adalah 41,30 ± 0,285 pg/ml memiliki

konsentrasi SOD paling rendah dibandingkan kelompok lain. Hal ini menunjukkan

82
Universitas Sumatera Utara
bahwa pemberian nicotinamida dan streptozotosin sebagai pemicu stres oksidatif

yang akan menurunkan daya tahan antioksidan dalam tubuh dengan menunjukkan

penurunan level SOD (Ghasemi et al., 2014). Pemberian nicotinamida

kemungkinan mempengaruhi terhadap kadar SOD yang diperiksa, dimana

nicotinamida merupakan prekusor langsung dari NAD+ dan sebagai inhibitor poly

ADP ribose, yang berdampak meningkatnya kadar ATP di dalam sel sehingga

mengurangi kerusakan sel. Pengukuran SOD berkaitan dengan hal tersebut karena

nicotinamida dapat memperbaiki kerusakan sel yang akan berdampak pada kadar

SOD.

Perlakuan pemberian EEDP dan EEHP memberikan pengaruh secara

signifikan terhadap peningkatan konsentrasi SOD yaitu kelompok EEDP 100

mg/kg bb (60,64 ± 0,740 pg/ml), EEDP&EEHP (25:75) mg/kg bb (61,14 ±0.753

pg/ml). Kedua kelompok tersebut menunjukkan perbedaan nyata (p) < 0,05 dengan

kelompok kontrol negatif dan kelompok normal, tetapi tidak berbeda nyata dengan

kelompok glibenklamid. Konsentrasi SOD tikus normal (non-diabetes) yaitu

sebesar 68,17± 1,267 pg/ml. Menurut Winarsi (2012), aktivitas tersebut lebih

tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas tikus diabetes saat awal (kontrol).

Tingginya aktivitas SOD tikus normal dikarenakan kadar glukosa darahnya yang

normal sehingga tidak memicu produksi radikal bebas yang berlebih.

Konsentrasi SOD pada kelompok kombinasi EEDP dan EEHP (50:50)

mg/kg bb sebesar 65,14 ± 0,428 pg/ml, EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb 67,75

± 3,339 pg/ml menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol

normal dan glibenklamid. Glibenklamid merupakan obat diabetes generasi kedua

sulfunilurea yang dapat menurunkan kadar glukosa darah sehingga kondisi

hiperglikemia dapat dikendalikan. Mekanisme penurunan kadar glukosa darah

83
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan cara merangsang sekresi hormon insulin, meningkatkan

pengambilan glukosa dari darah ke jaringan, oksidasi glukosa, dan aktivasi sintesis

glikogen di hati dan jaringan adiposa. Sehingga, pemberian glibenklamid dapat

meningkatkan konsentrasi SOD tikus diabetes.

Peningkatan konsentrasi SOD secara signifikan pada kelompok perlakuan

EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg selama 28 hari membuktikan bahwa pemberian

ekstrak kombinasi tersebut mampu meningkatkan kadar SOD tikus diabetes.

Peningkatan konsentrasi tersebut berkaitan dengan hasil penelitiaan sebelumnya,

bahwa kandungan senyawa kimia dalam tumbuhan pirdot dan poguntano seperti

flavonoid, tanin, dan saponin, dari berbagai jenis tanaman diketahui memiliki efek

sebagai antioksidan. Dembinska-Kiec et al., 2008 menyatakan bahwa flavonoid

bekerja sebagai antioksidan dengan cara meningkatkan kadar SOD. Dilaporkan

pula bahwa flavonoid bekerja sebagai radical scavenger, untuk radikal oxygen

singlet dan lipid peroksidasi (Zhang et al., 2011). Tanin bertindak sebagai

penangkap radikal bebas dan mengaktifkan enzim antioksidan sehingga dapat

memperbaiki keadaan oksidatif patologis pada diabetes (Kumari, 2012). Saponin

bertindak sebagai antioksidan dengan menangkap superoksida dan membentuk

hidroksiperoksida yang mencegah kerusakan biomolekuler yang diakibatkan

radikal bebas (Khan, 2012).

4.7 Pengaruh Kombinasi EEDP dan EEHP terhadap kadar HbA1c pada tikus

Pengukuran HbA1c dilakukan menggunakan Rat HbA1c Kit dengan metode

ELISA, yang dibaca absorbansi dengan microplate reader pada panjang

gelombang 450 nm. Metode ini berdasarkan pada prinsip pengukuran antigen atau

antibodi yang baik secara relatif maupun kuantitatif. Kadar HbA1c diperoleh hasil

84
Universitas Sumatera Utara
dengan pengukuran absorbansi dengan adanya penambahan larutan standar 100

ng/ml; 50 ng/ml; 25 ng/ml; 12,5 ng/ml; 6,25 ng/ml; 3,125 ng/ml; 1,562 ng/ml.

Nilai absorban setiap konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.15 sebagai berikut.

Tabel 4.15 Absorbansi standar HbA1c

Konsentrasi Standar HbA1c (pg/ml) Absorbansi (450 nm)


1,562 0,123
3,125 0,223
6,25 0,355
12,5 0.500
25 0,808
50 1,290
100 2,123

Berdasarkan tabel tersebut diperoleh kurva standar seperti ditunjukkan


pada Gambar 4.12.

Gambar 4.12 Kurva standar HbA1c

Kadar HbA1c dihitung dengan mensubstitusikan nilai absorban (y) sampel

pada panjang gelombang 450 nm ke dalam persamaan garis regresi logaritma y =

ax+b, yang diperoleh dari kurva standar HbA1c sehingga diperoleh nilai

konsentrasi HbA1cnya (x) dapat dilihat pada Lampiran 15 halaman 130.

85
Universitas Sumatera Utara
Hasil konsentrasi HbA1c kemudian dilakukan analisis statistika

menggunakan One Way Analysis of Variant (ANOVA) didapatkan perbedaan hasil

pengukuran yang signifikan (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Hasil uji HbA1c

pada plasma darah tikus dapat dilihat pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16 Konsentrasi HbA1c pada darah tikus

Kelompok Perlakuan Rata-rata konsentrasi HbA1c ± SEM


(ng/ml)
Na-CMC 68,52 ± 1,301bc
EEDP 100 mg/kg bb 32,53 ± 0,535abc
EEHP 100 mg/kg bb 38,87 ± 0,794abc
EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb 31,49 ± 0,235abc
EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb 25,87 ± 1,142a
EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb 26,76 ± 0,678a
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 26,08 ± 0,945a
Normal 25,73 ± 1,377a
Keterangan :
a : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok Na-CMC
b : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok glibenklamid
c : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok normal

Hasil analisis variansi (ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antar kelompok perlakuan terhadap konsentrasi HbA1c (ng/ml) dengan

nilai signifikansi p < 0,05. Rata-rata nilai konsentrasi HbA1c dapat dilihat pada

Gambar 4.13. Hasil menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif (CMC-Na)

adalah 68,52 ± 1,301 ng/ml menunjukkan peningkatan HbA1c dibandingkan

kelompok normal. Hal ini disebabkan oleh adanya efek diabetogenik dari STZ

yang menyebabkan nekrosis sel 𝛽-pankreas penyebab terjadinya hiperglikemia

(Ramachandran, 2013). Pada saat kadar gula darah tinggi, proses glikasi

nonenzimatik akan meningkat, dimana glikasi itu sendiri akan menyebabkan

konsentrasi radikal bebas juga meningkat yang memicu peningkatan kadar HbA1c

(Mali, 2017).

86
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.13 Pengaruh kelompok perlakuan terhadap konsentrasi HbA1c

Pemberian secara oral EEDP 100 mg/kg bb, EEHP 100 mg/kg bb dan

EEDP&EEHP (25:75) mg/kg bb mampu menurunkan kadar HbA1c pada tikus

hiperglikemia, tetapi belum menyamai penurunan kadar HbA1c pada kelompok

glibenklamid. Kadar HbA1c pada kelompok kombinasi EEDP dan EEHP (50:50)

mg/kg bb sebesar 25,87 ± 1,142 ng/ml, EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb

sebesar 26,76 ± 0,678 ng/ml, glibenklamid sebesar 26,08 ± 0,945, ketiga kelompok

tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata terhadap kelompok

glibenklamid dan kelompok normal. Hasil analisis variansi dapat dilihat pada

Lampiran 16, halaman 131. Maka, dapat disimpulkan bahwa yang memberikan

penurunan HbA1c dari paling besar adalah EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg >

glibenklamid > EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb > EEDP dan EEHP (25:75)

mg/kg bb > EEDP 100 mg/kg > EEHP 100 mg/kg bb. Suspensi kombinasi EEDP

dan EEHP (75:25) mg/kg dan EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg memiliki efek

penurunan HbA1c yang sama.

87
Universitas Sumatera Utara
Penurunan HbA1c menunjukkan efek glukosa darah yang menurun dengan

meningkatnya sekresi insulin karena adanya regenerasi sel 𝛽-pankreas. Flavonoid

menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menghambat enzim α-glukosidase

yang terdapat pada usus halus. Penghambatan pada enzim α-glukosidase

menyebabkan penurunan laju pencernaan karbohidrat menjadi monosakarida yang

dapat diserap oleh usus halus, sehingga menurunkan hiperglikemia. Penurunan

hiperglikemia berkontribusi pada menurunnya kadar HbA1c (Raydian, 2017).

Lindarto, dkk (2016) juga telah mengemukakan bahwa setelah pemberian ekstrak

poguntano (Curanga fel-terrae Lour.) dapat menurunkan kadar gula darah puasa,

HbA1c pada penderita DM tipe 2.

4.8 Ekspresi Insulin dengan Pewarnaan Imunohistokimia

Penelitian ini dilakukan pengamatan pulau langerhans serta sebaran sel β

pankreasnya dari preparat yang telah dibuat dengan menggunakan pewarnaan

imunohistokimia. Skor ekspresi insulin pada tikus dapat dilihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17 Perhitungan skor ekspresi insulin tikus

Kelompok Perlakuan Rerata skor ekspresi dalam/


lapang pandang ± SEM
K1 Na-CMC 15,10 ± 0.920bc
K2 EEDP 100 mg/kg bb 62,00 ± 2,205abc
K3 EEHP 100 mg/kg bb 56,00 ± 1,825abc
K4 EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb 67,00 ± 2,144abc
K5 EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb 141,00 ± 3,374ac
K6 EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb 160,00 ± 2,683ab
K7 Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 133,00 ± 3,018abc
K8 Normal 170,00 ± 2,520ab

Keterangan :
a : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok Na-CMC
b : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok glibenklamid
c : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok normal

88
Universitas Sumatera Utara
Perhitungan skor ekspresi insulin pada tiap-tiap kelompok perlakuan

dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali dan dibagi

menjadi 5 lapang pandang. Hasil pengamatan skor ekspresi insulin dari pewarnaan

imunohistokimia dengan menghitung persentase sel yang mengekspresikan insulin

(berwarna coklat) dari 200 sel yang diamati dengan bantuan aplikasi Image Raster

yang disajikan pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18 Persentase skor ekspresi insulin pada Pulau Langerhans

Kelompok Perlakuan Rerata skor ekspresi


insulin (%)
K1 Na-CMC 7,55
K2 EEDP 100 mg/kg bb 31,00
K3 EEHP 100 mg/kg bb 28,00
K4 EEDP dan EEHP (25:75) mg/kg bb 33,50
K5 EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb 70,50
K6 EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb 80,00
K7 Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 66,62
K8 Normal 85,00

Tabel 4.18 menunjukkan bahwa skor ekspresi sel β Langerhans pankreas

yang imunoreaktif terhadap insulin antara ke delapan kelompok perlakuan

menunjukkan perbedaan yang signifikan (p) < 0,05 yang dapat dilihat pada

Lampiran 17, halaman 132. Penurunan ekspresi insulin dari sel beta Langerhans

pankreas yang imunoreaktif terhadap antibodi insulin menandakan berkurangnya

sintesis insulin oleh sel-sel tersebut, sehingga pemberian antibodi terhadap insulin

(pewarnaan imunohistokimia) hanya bereaksi dengan sel-sel yang masih

menghasilkan insulin. Pengamatan dengan teknik pewarnaan imunohistokimia

menghasilkan insulin dalam pulau Langerhans yang ditunjukkan dengan sel yang

sitoplasmanya terwarnai coklat yang tersebar diluar sel tersebut yang dapat dilihat

pada gambar 4.14.

89
Universitas Sumatera Utara
K K
1 2

K K
3 4

K K
5 6

K K
7 8
Gambar 4.14. Gambaran histopatologi pankreas dengan pengecatan
Imunohistokimia. Ket: Perbesaran 10 x 40. K1=Na-CMC, K2=EEDP 100 mg/kg
bb, K3=EEHP 100 mg/kg bb, K4=EEDP&EEHP (25:75) mg/kg bb, K5=
EEDP&EEHP (50:50) mg/kg bb K6= EEDP&EEHP (75:25) mg/kg bb, K7=
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb, K8= Normal, (→) = menunjukkan reaksi positif Ag
terhadap Ab insulin pada sel beta yang berwarna coklat.

90
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengamatan preparat yang ditunjukkan pada Gambar 4.14 terhadap

potongan jaringan pankreas khususnya pada sel beta yang diwarnai dengan

imunohistokimia dilakukan secara deskriptif dengan melihat populasi dan tampilan

kadar reaksi Ag dan Ab sel beta yang mengalami perubahan.

Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna terhadap

perbaikan sel β pankreas pada tiap kelompok. Perlakuan kelompok K2, K3, dan

K4 mengalami peningkatan ekspresi insulin yang signifikan dibandingkan dengan

kelompok Na-CMC, tetapi belum mampu menyamai skor ekspresi insulin

kelompok normal dan glibenklamid. Kelompok K5 dan K6 menunjukkan

peningkatan ekspresi insulin yang signifikan dibandingkan dengan kelompok K1.

Secara statistik, ekspresi insulin pada kelompok K5 tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan (p) > 0,05 terhadap kelompok K7, tetapi kelompok K6

menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok K7, dimana persentase

skor ekspresi insulin pada kelompok K7 berjumlah 80,0 % lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok kontrol K7 66,62 %. Hal tersebut menunjukkan

bahwa kerja glibenklamid lebih terfokus pada stimulasi hormon insulin untuk

menurunkan kadar glukosa darah pada tahap awal, tetapi pada kelompok perlakuan

kombinasi K6 menunjukkan ekspresi sel beta langerhans pankreas yang

imunoreaktif terhadap insulin sudah kembali meningkat, akibat regenerasi sel beta

langerhans pankreas (warna coklat lebih banyak). Sel beta langerhans pankreas

merupakan golongan sel stabil yang mampu berproliferasi sepanjang hidupnya,

sehingga sel beta Langerhans pankreas kembali mensintesis insulin (Erwin dkk,

2013).

Pemeriksaan ekspresi insulin pada sel β pankreas pada penelitian ini

menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan yang

91
Universitas Sumatera Utara
diberikan ekstrak dibandingkan dengan kontrol negatif. Perbedaan yang bermakna

pada kontrol negatif disebabkan sel β pada jaringan pankreas mengalami

kerusakan akibat induksi STZ. Kerusakan sel β yang tinggi dan sekresi insulin

menjadi sangat sedikit (Erwin dkk, 2013). Menurut Suarsana et al., (2010),

kerusakan sel β menyebabkan produksi insulin berkurang sehingga ketika hormon

insulin dideteksi pada sel β menggunakan pewarnaan imunohistokimia, sel β

jumlahnya sangat sedikit. Penurunan sintesis insulin menandakan kerusakan sel

beta Langerhans pankreas oleh induksi streptozotosin (Schnedl et al., 2006).

Perubahan-perubahan pada sejumlah sel yang ditimbulkan oleh zat yang

mempunyai efek sitotoksik yakni pengecilan pulau-pulau Langerhans pankreas,

pengurangan jumlah sel beta dan degranulasi. Salah satu mekanisme streptozotosin

menyebabkan terjadinya DM berkaitan dengan pembentukan radikal bebas

diantaranya NO, O2, dan H2O2 yang dapat menyebabkan fragmentasi DNA sel

akibat sitotoksik streptozotosin. Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat

pendek hanya dalam satuan mikrodetik. Oleh karena itu, radikal bebas sangat

reaktif dan dapat menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel antara lain

kerusakan membran sel, protein, dan DNA (Utomo et al., 1991).

92
Universitas Sumatera Utara
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian diperoleh kesimpulan :

a. Kombinasi EEDP dan EEHP mampu meningkatkan kadar SOD, dari hasil

pengujian EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg bb dan (75:25) mg/kg

menunjukkan efek yang tidak berbeda secara signifikan terhadap kontrol

positif (p) > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa EEDP dan EEHP (50:50)

mg/kg bb dan (75:25) mg/kg memiliki potensi meningkatkan kadar SOD.

b. Kombinasi EEDP dan EEHP mampu menurunkan kadar HbA1c, dimana

pengujian kelompok EEDP dan EEHP (50:50) mg/kg menurunkan kadar

HbA1c paling tinggi sebesar 25,87 ng/mL yang menunjukkan tidak terdapat

perbedaan yang signifikan (p) > 0,05 dengan kelompok EEDP dan EEHP

(75:25) mg/kg bb dan kelompok normal. Hal ini menunjukkan bahwa EEDP

dan EEHP (50:50) mg/kg dan EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb memiliki

efek penurunan HbA1c yang sama.

c. Kombinasi EEDP dan EEHP dapat meningkatkan jumlah ekspresi insulin,

dengan persentase skor ekspresi insulin tertinggi pada pemberian kombinasi

EEDP dan EEHP (75:25) mg/kg bb sebesar 80,00 % dengan jumlah ekspresi

sebesar insulin 160 sel/lapang, menunjukkan bahwa EEDP dan EEHP

(75:25) mg/kg tidak memiliki perbedaan yang signifikan/ menyamai dengan

kelompok normal.

93
Universitas Sumatera Utara
5.2 Saran

Dari kesimpulan penelitian ini, disarankan peneliti selanjutnya untuk:

a. Melakukan uji terhadap mekanisme kerja kedua ekstrak tersebut.

b. Melakukan uji lanjutan pengaruh induksi nicotinamida terhadap pemeriksaan

SOD.

94
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Afonso, V., Champy R., Mitrovic, D., Collin P., Lomri, A. (2007). Reactive
Oxygen Species and Superoxide Dismutases: Role in Joint Diseases. Joint
Bone Spine. Vol. 74(4): 324-329.

Ahmed, M.A., Al-Barshomy, S., Al-Kobaty, S. (2016). Study of Malondialdehyde


as Oxidative Stress and Superoxide Dismutase as Enzymatic Antioxidant in
Type II Diabetes Mellitus Patients With and without Peripheral Neuritis.
International Journal of Advanced Research. Vol. 4(6): 788-793.

American Diabetes Association (ADA). (2012). Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care Journal. Vol. 35(1): 64-71.

Anonim. (2009). Picria fel-terrae Lour. Diakses tanggal 20 Februari 2018.


http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?doosid=459.

Balitbang. (2017). Mengenal Pirdot Pohon Penghasil Obat dari Sumatera Utara.
LHK Aek Nauli. Diakses tanggal 20 Februari 2018.
http://aeknauli.org/mengenal-pirdot-pohon-penghasil-obat-dari-sumatera-
utara/.

Brahmachari, G. (2012). Bio-Flavonoids with Promising Antidiabetic Potentials: A


Critical Survey. Opportunity, Challenge and Scope of Natural Products in
Medicinal Chemistry. Research Signpost. Hal. 187-212.

Brownlee, M. (2001). Biochemistry And Molecular Cell Biology Of Diabetic


Complications. Nature 414. United State. Hal. 813.

Campbell, N.A., Reece, J.B., and Mitchell, L.G. (2004). Biologi. Penerjemah:
Manalu, W. Edisi Kelima, Jilid III. Jakarta: Erlangga. Hal. 18-19.

Dembinska-kiec, A., Mykkanen, D., Kiec-Wilk, B and Mykkanen, H. (2008).


Antioxidant Phytochemicals againts Type-2 Diabetes. British Journal of
Nutrition. 99(1):109–117.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 28-30, 32-33, 840.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 323-325.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Hal. 10-11, 16.
Depkes RI. (2013). Suplemen III Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta:
Kementerian Kesehatan. Republik Indonesia. Hal. 106-107.

95
Universitas Sumatera Utara
Lindarto, D., Santi, S., Zein, U. and Saragih, A.(2016). The Effect of Dhalwasan -
1 (Curanga fel-terrae (Lour.) Extract Versus Metformin on the Metabolic
and Inflammatory Characteristic of Patients with Newly Diagnosed Type 2
Diabetes Mellitus. Asian Journal of Pharmaeutical and Clinical Research.
Vol. 9(1): 225-228.

El Barky, A.R., Hussein, S.A., Alm-Eldeen, A.E., Hafez, Y.A. and Mostafa, T.M
(2017). Saponin and theirs Potential Role in Diabetes Mellitus. Review
Diabetes Management. Vol. 7(1): 148-158.
Elsner, M., Guldbakke, B., Tiedge, M., Munday, R. and Lenzen, S. (2000).
Relative Importance of Transport and Alkylation for Pancreatic Beta-cell
Toxicity of Streptozotocin. Diabetalogia. 43: 1528-1533.
Emma, J.G. (2012). HbA1c (glycated haemoglobin). Ann Clin Biochemistry. Hal.
1, 9-10.
Etuk, E.U. (2010). Animal Models for Studying Diabetes Mellitus. Agriculture
and Biology Journal of North America. Vol. 1(2): 130-134.
Erwin, E., Etriwati, E., Muttaqien, M., Pangestiningsih, T. W., dan Widyarini, S.
(2013). Ekspresi Insulin Pada Pankreas Mencit (Mus Musculus) Yang
Diinduksi dengan Streptozotocin Berulang. Jurnal Kedokteran
Hewan, Vol. 7(2): 97-100.

Fang, H., Ning, D.S. and Liang, X.Y. (2009). Studies on Technology Optimization
for Extracting Triterpenoid Saponins from Picria fel-terrae by Multi-
Target Grading Method. J Chin Med Mater. Vol. 32(12): 1902-1905.

Farah, J., Rizvi, H.A., Aziz, F. and Akhtar, Y. (2013). Effect of Glycemic Control
on Lipid Profile, Platelet Indices and Antioxidant Enzymes (Catalase and
Superoxide dismutase) Activities in Type 2 Diabetics. International Journal
of Advanced Research. Vol. 1(7): 207-215.

Farid, I., Saidus, R., Akter, R., Bakar, M.A., Abdullah A.M and Ahmed, N.U.
(2012). Antidiabetic and Antioxidant Effect with Phytochemical Screening
of Ethanol Extract of Saurauia roxburghii. Pharma Science Monitor. Vol.
3(4): 2601-2612.

Ghasemi, A., Khalifi, S. and Jedi, S., (2014). Streptozotocin-Nicotinamide-


Induced Rat Model. Acta Physiologica Hungarica, 101(4): 408–420.

Krishnasamy, G., Muthusamy, K., Chellapan, R.D. and Subbiah, N. (2016).


Antidiabetic, Antihyperlipidaemic, and Antioxidant Activity of Syzygium
Densiflorum Fruits in Streptozotocin and Nicotinamide-Induced Diabetic
Rats. Pharmaceutical Biology. 54(9): 1716-1726.

Goud, B.J., Dwarakanath, V., dan Swamy, B.K. (2015). Streptozotocin-A


Diabetogenic Agent in Animal Models. Human Journals. 3(1): 253-269.

96
Universitas Sumatera Utara
Haliwell, B. and Gutteridge, J.M.C. (1999). Free Radical in Biology and Medicine.
England: Oxford University Press. Ed 3. Hal. 105-220.

Harahap, U., Patilaya, P., Marianne, Yuliasmi, S., Hufsori, I.D., Prasetyo, E.B., et
al. (2013). Profil Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Puguntano [Curanga fel-
terrae (merr.) Lour.] yang Berpotensi sebagai Antiasma. Seminar Nasional
Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Hal. 422-
426.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan


Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 6-7, 70-72, 74, 102.

Harfina, F., Bahri S. and Saragih, A. (2012). Pengaruh Serbuk Daun Puguntano
(Curanga fel-terraeMerr.) pada Pasien Diabetes Mellitus. Journal of
Pharmaceutics and Pharmacology. Vol. 1(2): 112 – 118.

Huang, Y., De Bruyne, T., Apers, S., Ma, Y., Pieters, L. and Vlietnck, A. (1999).
Flavonoids Glucuronides from Picria fel-terrae. Phytochemistry. Vol.
52(8): 1701-1703.

International Diabetes Federation (IDF). (2017). Diabetes. Diakses tanggal 10


Februari 2018. http://www.idf.org/.

Italy P.M. (2009). Advanced Glycation End Products (Ages) and their Receptors
(Rages) in Diabetic Vascular Disease. Medicographia. Vol. 31: 257–258.

Kangralkar, V.A., Patil S.D. and Bandivadekar, R. (2010). Oxidative Stress and
Diabetes: A Review. International Journal of Pharmaceutical
Applications. Vol 1, Issue 1. Hal. 38-45.

Katzung, B.G. (2001). Farmakologi Dasar Dan Klinis. Jakarta: Salemba Medika.
Hal. 671, 676.
Khan, A.A., Naqvi, T.S, and Naqvi. M.S. (2012). Indentification of Phytosaponin
as Novel Biodynamic Agents: An Updated Overview. Asian J.Exp. Biol.
Sci 3(3): 459-467.

Kim, S., Jun, S.S., Hyun, J.K., Fisher, K.C., Mi, J.M and Han, K.C. (2007).
Streptozotocin-Induced Diabetes Can be Reversed by Hepatic Oval Cell
Activation through Hepatic Transdifferentiation and Pancreatic Islet
Regeneration. Laboratory Investigation. Vol. 87: 702-712.

Kim, J.H., Kang, M.J., Choi, H.N., Jeong, S.M., Lee, Y.M., Kim, J.I. (2011).
Quercetin Attenuates Fasting and Postprandial Hyperglycemia in Animal
Models of Diabetes Mellitus. Nutr Res Pract. Vol. 5: 107–11.

Kumari, M. and Jain, S. (2012). Tannins: An Antinutrient with Positive Effect to


Manage Diabetes. Research Journal of Recent Sciences. Vol. 1(12): 70-73.

97
Universitas Sumatera Utara
Kuzuya, T., Nakagawa, J.S., Kanazawa, Y., Yasuhito, I., Masachi, K., Kisihio, N.,
et al. (2002). Diabetes Research and Clinical Practice. Journal of the
International Diabetes Federation. Vol.55(1): 65-85.

Lab Vision, Cat#MS-1378-PO. Mouse antiinsulin. Immunohistochemistry product.


Thermo Fisher Scientific Inc, Kalamazo, MI 49008.

Lavle, N., Shukla, P., and Panchal, A. (2016). Role of Flavonoids and Saponins in
the Treatment of Diabetes Mellitus. J Pharm Sci Bioscienctific Res. 6(4):
535-541.

Lequin, R.M. (2005). Enzyme Immunoassay (EIA)/Enzyme-Linked


Immunosorbent Assay (ELISA). Clinical Chemistry. Vol. 51(12): 2415-
2418.
Lestari, P. (2013). Efek Kombinasi Ekstrak Aktif Daun Poguntano (Picria fel-
terrae Lour.) dengan Doxorubicin Terhadap Sel Kanker Payudara Secara
In Vitro. Tesis. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Hal. 21.

Lindarto, D., Syafril S., Zein U., and Saragih, A., (2016). The Effect of
Dhawalsan-1 (Curanga fel-terrae [Lour.]) Extract Versus Metformin on the
Metabolic and Inflammatory Characteristics of Patients with Newly
Diagnosed Type 2 Diabetes Mellitus. Asian Journal of Pharmaceutical and
Clinical Research. Vol. 9: 225-228.

Mali, K.K., Dias, R.J., Havaldar, V.D., and Yadav, S.J. (2017). Antidiabetic Effect
of Garcinol on Streptozotocin-induced Diabetic Rats. Indian Journal of
Pharmaceutical Sciences. Hal: 467.

Manaf, A. (2010). Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Editor:


Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jilid ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1896.

Marfianti, E. (2009). Perbedaan Kadar Resistin Obesitas dengan Resistensi Insulin


dan Obesitas Tanpa Resistensi Insulin. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Indonesia. Vol 1(1): 1-9.

Markham, K.R. (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB. Hal. 23,
47.

Marpaung, Natalia C. (2016). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun


Pirdot (Saurauia Vulcani Korth) Terhadap Staphylococcus Aureus dan
Escherichia Coli. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Hal. 5.

Masiello, P., Broca, C., Gross, R., Roye, M., Manteghetti, M., Hillaire, B.D., et al.
(1998). Experimental NIDDM: Development of a New Model in Adult

98
Universitas Sumatera Utara
Rats Administered Streptozotocin and Nicotinamide. Diabetes. Vol 47(2):
224.

Mohan, S. and Nandhakumar, L. (2013). Role of Various Flavonoids: Hypotheses


on Novel Approach to Treat Diabetes. J Med Hypotheses Ideas. Vol 8(1):
1-6.

Muraay, R.K., Graner, D.K., Rodwel, P.A. and Victoe, W. (2003). Biokimia
Harper. Jakarta: EG. Hal. 44.

Mycek, M.J., Harvey, R.A. dan Champe, C.C. (2001). Farmakologi Ulasan
Bergambar. Lippincottt’s Illustrated Reviews: Pharmacology. Penerjemah.
Azwar Agoes. Edisi kedua. Jakarta: Widya Medika. Hal. 259.

Niel, N. (2013). Khasiat Daun Pirdot. Diakses tanggal 20 Februari 2018.


http://www.parapatnews.com/2013/07/

Nolte, M. S. dan Karam, J. H. (2010). Hormon Pankreas & Obat Antidiabetes.


Editor: Katzung, B. G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit
Buku kedokteran EGC. Hal: 704-709.

Oishi, Y., Sakamoto, T., and Udagawa, H. (2007). Inhibition of Increases in Blood
Glucose and Serum Neutral Fat By Momordica Charantia Saponin
Fraction. Biosci. Biotechnol. Biochem. 71(3): 735-740.

Pan Y.Z., Zhang, Y. (2017). Cucurbitacin Inhibits Hepatic Gluconeogenesis


through Activation of Stat3 Signaling. Int Journal Clin Exp Med. 10(2):
2582-2589.

Pandelaki, K. (2010). Retinopati Diabetik. Jakarta: Interna Publishing. Hal. 86-87.

Pandey, K.B. dan Rizvi, S.I. (2010). Markers of Oxidative Stress in Erythrocytes
and Plasma During Aging in Humans. Oxidative Medicine and Cellular
Longevity. 3(1): 2-12.
Patilaya, P. (2015). Aktivitas Antelmentik dari Ekstrak Etanol Daun Poguntano.
Universitas Sumatera Utara.

Perkeni. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia. Jakarta : PB PERKENI.
Pfeifer, M.A., Halter, J.B., Graf, R. and Porte, D.Jr. (1980). Potentiation of Insulin
Secretion to Non-Glucose Stimuli in Normal Man by Tolbutamide, Journal
of Diabetes. 29: 335–340.
Price, S.A. dan Wilson L.M. (2006). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi IV. Buku 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal.
576, 582.

99
Universitas Sumatera Utara
Ramachandran, S., Rajasekaran, A. and Adhirajan, N.(2013). In Vivo and In Vitro
Antidiabetic Activity of Terminalia paniculata Bark: An Evaluation of
Possible Phytoconstituents and Mechanisms for Blood Glucose Control in
Diabetes. Journal Hindawi Publishing. ISRN Pharmacology. Vol. 2(1): 1-
10.
Raydian, U.A., Kurniawaty, E., dan Ramkita, N. ( 2017). Efek Antihiperglikemik
pada Daun Sukun. Medula. Vol. 7(4): 118-122.

Robertus, Sormin. (2016). Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Flavonoid


Kandungan Daun Pirdot (Saurauia Vulcani Korth). Skripsi. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan. Hal.
45.

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Kosasih


Padmawinata. Edisi VI. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 72, 157, 191.

Rustama, D.S., Subardja, D., Oentario, M.C., Yati, N.P., Satriono, dan Harjantien,
N. (2010). Diabetes Mellitus. Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta. Hal. 125.
Schalkwijk, C.G. and Stehouer, C.D.A. (2005). Vascular Complications in Diaetes
Mellitus the role of endothelial disfunction. Rev. Clinical Science. 109:
143-159.

Schnedl, O. and Standl, E. (2006). Impaired Glucose Tolerance, Diabetic and


Cardiovascular Diseases. Endocrinology Practice. Vol. 12:16-19.

Sibagariang, E.H. (2017). Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Puguntano (Curanga


Fel-Terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kadar Superoxide Dismutase (SOD)
pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Tesis. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Hal. 40

Singh, V.P., Bali, A., Singh, N., and Jaggi, A.S. (2014). Advanced Glycation End
Products and Diabetic Complications. J. Physiol Pharmacol Korean. Vol.
18: 1–14.

Sitorus, P., Harahap, U., and Pandapotan M. (2014). Isolation of β-sitosterol from
n-Hexane Extract of Picria fel-terrae Lour. Leave and Study of Its
Antidiabetic Effect in Alloxan Induced Diabetic Mice. International
Journalof PharmTech Research. Vol. 6(1): 137-141.

Sitorus, P. (2015). Characterization Simplisia and Ethanolic Extract of Pirdot


(Saurauia Vulcani, Korth) Leaves and Study of Antidiabetic Effect in
Alloxan Induced Diabetic Mice. International Journal of ChemTech
Research. Vol. 8(6):789-794.

100
Universitas Sumatera Utara
Smeltzer., Suzanne, C. dan Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Penerjemah: Agung Waluyo, dkk. Edisi 8, Vol. 1,2. Jakarta: EGC.
Hal. 25, 26.

Soegondo, S., Pradana, S., Slamet, S. dan Sarwono, W. (2002). Penatalaksanaan


Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 1-16.
Soemadji, D.W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5 Jilid 3, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1892.
Suarsana, I.N., Priosoeryanto, B.P., Bintang, M. dan Wresdiyati, T. (2010). Profil
Glukosa Darah dan Ultrastruktur Sel Beta Pankreas Tikus yang Diinduksi
Senyawa Aloksan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 15(2): 118-123.

Suarsana, N., Utama, I.H. dan Kardena, I.M. (2016). Immunohistochemical


Expression of Insulin and Glucagon, Superoxide Dismutase and Catalase
Activity in Pancreas in Hyperglycaemia Condition. Asian Journal of
Biochemistry, 11(4): 177-185.

Sudiana, Ketut. (2004). Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia. Jakarta:


CV. Sagung Seto. Hal.27.

Suryathi. (2015). Hemoglobin Glikosilat yang Tinggi Meningkatkan Prevalensi


Retinopati Diabetik Proliferatif. Disertasi. Bali: Universitas Udayana
Denpasar.
Suyono, S. (2009). Patofisiologi Diabetes Melitus, Dalam: Soegondo, S.,
Soewondo, P., dan Subekti, I. (Eds.), Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta: FKUI. Hal. 148-153.
Syamsudin dan Darmono. (2011). Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta:
UI-Press. Hal. 76.
Szkudelski, T. (2012). Streptozotocin-Nicotinamide Induced Diabetes in the Rat.
Characteristics of the Experimental Model. Experimental Biology and
Medicine. Vol. 237(5): 481.
Tan, H.J. dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan
Efek Sampingnya. Edisi V. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hal. 536,
568.
Thuan, N.D., Ha, D.T., Thuong, P.T., Na, M.K., Lee, J.P., Lee, J.H., et al. (2007).
A Phenylpropanoid Glycoside with Antioxidant Activity from Picria tel-
ferae. Archives of Pharmacal Research. Vol. 30(9): 1062-1066.

Tobing, A., Mahendra, Krisnatuti, D., dan Alting. (2008). Care Your Self Diabetes
Melitus. Jakarta: Gramedia PustakaUtama

101
Universitas Sumatera Utara
Triplitt, C.L., Reasner, C.A., dan Isley, W.L. (2008). Diabetes Mellitus. Editor:
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G., dan
Posey, L.M. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Seventh
edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc. Hal.
1205.
Utomo, H., Hanafiah, A.,Oen, L.H., Suyatna, F.D. dan Asikin, N. (1991). Radikal
Bebas, Peroxide Lipid dan Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Medika.
5:373-379.
Wang, L.S., Li, S.H., Zou, J.M., Guo, Y.J. and Sun, H.D. (2006).Two New
Terpenoids from Picria fel-terrae. J Asian Nat Prod Res. 8(6):491-4.

Warsito, R. dan Wuryastuti, H. (2014). Antibodi & Immunohistokimia.


Yogyakarta: Rapha Publishing. Hal. 1-3, 69, 85.
Waspadji. (2002). Gambaran Klinis Diabetes Melitus. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 7-8.
Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., and Dipiro, C. V. (2015).
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. United State: McGraw-Hill
Education. Hal. 161-170.

Winarsi, W. (2007). Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.


Hal. 13-15.

Winarsi, H., Wijayanti, S.P.M. dan Purwanto, A., (2012). Aktivitas Enzim
Superoksida Dismutase, Katalase, dan Glutation. MKB. Volume 44 No. 1.

World Health Organization. (2011). Quality Control Methods For Medicinal Plant
Material. Switzherland: WHO. Hal. 19-25.
World Health Organization. (2011). Use of Glycated Haemoglobin (HbA1C) in the
Diagnosis of Diabetes Mellitus. Geneva: Abbreviated Report of a WHO
Consultation. Hal. 6.
Wresdiyati, T., Mamba, K., Adnyane, I.K.M., and Aisyah, U.S. (2002). The Effect
of Stress Condition on the Intracellular Antioxidant Copper, Zinc-
Superoxide DisMutase in the Rat Kidney: An Immunohistochemical Study.
Hayati. Vol. 9: 85-88.
Wuhan Fine Biotech. (2013). Rat HbA1c ELISA Kit. Fine Test. Eastlake High-
tech Development District, Wuhan, Hubei, China. ER1030.
Zhang, M., Cao, J., Chen, X., and Wang, Q. (2011). Flavonoid Contents and Free
Radical Scavenging Activity of Extract from Leaves, Stem, Rachis, and
Roots of Dryopteris Erithrosora. Iranian Journal of Pharmaceutical
Research. 11(3): 991–997.

Zou, J.M., Wang, L.S., Niu, X.M, Sun, H.D., Guo Y.J. (2005). Phenylethanoid
glycosides from Picria fel terrae Lour. J Integr Plant Biol. Vol. 47(5): 632-
636.

102
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan

Lampiran 2. Surat hasil identifikasi tumbuhan

103
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (lanjutan)

104
Universitas Sumatera Utara
105
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Gambar tumbuhan daun pidot

106
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Lanjutan.

Permukaan atas daun pirdot

Permukaan bawah daun pirdot

107
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Gambar simplisia dan serbuk simplisia daun pirdot

Simplisia daun pirdot

Serbuk simplisia daun pirdot

108
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Gambar makroskopik herba poguntano

B C
Keterangan: A: herba puguntano segar, B: simplisia herba puguntano, C: serbuk
simplisia herba puguntano

109
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia pirdot

Gambar mikroskop simplisia daun pirdot


Keterangan :
Perbesaran 10 x 40
a. Stomata tipe parasitik
b. Berkas pembuluh xylem berbentuk spiral
c. Kristal kalsium oksalat berbentuk raphida

110
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia poguntano

Keterangan:
Perbesaran 10 x 40
a = Penebalan xylem bentuk spiral
b = Stomata tipe diasitik
c = Stomata tipe anomositik
d = Trikoma
e = Kristal Ca oksalat bentuk prisma
f = Kelenjar labiat
Sumber: Sitorus, 2014

111
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Perhitungan pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia daun pirdot
dan herba puguntano

% = Kadar air simplisia = x 100%

1. Perhitungan kadar air serbuk simplisia


A. Perhitungan kadar air serbuk simplisia daun pirdot

No. Berat sampel (g) Volume awal (mL) Volume akhir (mL)
1. 5,0025 2,35 2,70
2. 5,0012 2,35 2,60
3. 5,0050 2,18 2,50

a. Kadar air = x 100% = 6,99%

b. Kadar air = x 100% = 4,99 %

c. Kadar air = x 100% = 6,38%

% Rerata kadar air = = 6,12%

B. Perhitungan kadar air serbuk simplisia herba poguntano

No. Berat sampel (g) Volume awal (mL) Volume akhir (mL)
1. 5,0009 2,40 2,65
2. 5,0025 2,10 2,40
3. 5,0030 2,28 2,50

a. Kadar air = x 100% = 4,99%

b. Kadar air = x 100% = 5,99 %

c. Kadar air = x 100% = 4,29%

% Rerata kadar air = = 5,09%

112
Universitas Sumatera Utara
2. Perhitungan kadar sari larut air serbuk simplisia

% = Kadar sari larut dalam air = x x 100%

A. Perhitungan kadar sari larut air serbuk simplisia daun pirdot


Kadar sari larut dalam air
No. Berat sampel (g) Berat sari (g)
(%)
1. 5,0422 0,1123 11,13
2. 5,0542 0,0889 8,79
3. 5.0160 0,1161 11,58
a. Kadar sari larut dalam air = 100% = 11,13 %

b. Kadar sari larut dalam air = 100% = 8,79%

c. Kadar sari larut dalam air = 100% = 11,58%

% Rerata kadar sari larut dalam air = = 10,50%

B. Perhitungan kadar sari larut air serbuk simplisia herba poguntano


Kadar sari larut dalam air
No. Berat sampel (g) Berat sari (g)
(%)
1. 5,0118 0,1935 19,30
2. 5,0129 0,1814 18,09
3. 5.0120 0,1800 17,96
a. Kadar sari larut dalam air = 100% = 19,30%

b. Kadar sari larut dalam air = 100% = 18,09%

c. Kadar sari larut dalam air = 100% = 17,96%

% Rerata kadar sari larut dalam air = = 18,45%

113
Universitas Sumatera Utara
3. Perhitungan kadar sari larut etanol serbuk simplisia

% = Kadar sari larut dalam etanol = x x 100%

A. Perhitungan kadar sari larut etanol serbuk simplisia daun pirdot


Kadar sari larut dalam air
No. Berat sampel (g) Berat sari (g)
(%)
1. 5,0110 0,1483 14,80
2. 5,0545 0,1511 14,95
3. 5,0013 0,1456 14,56
a. Kadar sari larut dalam etanol = 100% = 14,80%

b. Kadar sari larut dalam etanol = 100% = 14,95%

c. Kadar sari larut dalam etanol = 100% = 14,56%

% Rerata kadar sari larut dalam etanol = = 14,77%

B. Perhitungan kadar sari larut etanol serbuk simplisia herba poguntano


Kadar sari larut dalam air
No. Berat sampel (g) Berat sari (g)
(%)
1. 5,0180 0,1362 13,56
2. 5,0184 0,1314 13,10
3. 5,0180 0,1296 12,92
a. Kadar sari larut dalam etanol = 100% = 13,58%

b. Kadar sari larut dalam etanol = 100% = 13,10%

c. Kadar sari larut dalam etanol = 100% = 12,92%

% Rerata kadar sari larut dalam etanol = = 13,20%

114
Universitas Sumatera Utara
4. Perhitungan kadar abu total

% Kadar abu total = 100%

A. Perhitungan kadar abu total serbuk simplisia daun pirdot


No. Berat sampel (g) Berat abu (g) Kadar abu total (%)
1. 2,0052 0,1437 7,17
2. 2,1035 0,1475 7,01
3. 2,0087 0,1400 6,97

a. Kadar abu total = 100% = 7,17%

b. Kadar abu total = 100% = 7,01%

c. Kadar abu total = 100% = 6,97%

% Rerata kadar abu total = = 7,05%

B. Perhitungan kadar abu total serbuk simplisia herba poguntano


No. Berat sampel (g) Berat abu (g) Kadar abu total (%)
1. 2,0221 0,1791 8,86
2. 2,0025 0,1610 8,04
3. 2,0056 0,1682 8,39
a. Kadar abu total = 100% = 8,86%

b. Kadar abu total = 100% = 8,04%

c. Kadar abu total = 100% = 8,39%

% Rerata kadar abu total = = 8,43%

115
Universitas Sumatera Utara
5. Perhitungan kadar abu tidak larut asam serbuk simplisia

% Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100%

A. Perhitungan kadar abu tidak larut asam serbuk simplisia daun pirdot
No. Berat sampel (g) Berat abu (g) Kadar abu tidak larut asam (%)
1. 2,0056 0,0090 0,40
2. 2,0371 0,0091 0,45
3. 2,0282 0,0119 0,59

a. Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100% = 0,40%

b. Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100% = 0,45%

c. Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100% = 0,59%

% Rerata = = 0,48%

B. Perhitungan kadar abu tidak larut asam serbuk simplisia herba poguntano
No. Berat sampel (g) Berat abu (g) Kadar abu tidak larut asam (%)
1. 2,0221 0,0088 0,44
2. 2,0056 0,0128 0,64
3. 2,0025 0,0112 0,56

a. Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100% = 0,44%

b. Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100% = 0,64%

c. Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100% = 0,56%

% Rerata = = 0,55%

116
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. Contoh perhitungan dosis

Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia

Dosis pada hewan yang dicari


Dosis
yang Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
diket
20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2,0 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,3 4,2 9,21 17,8 56,0
Marmot 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,06 2,4 4,5 14,2
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0

(Syamsudin dan Darmono, 2011)

1. Contoh perhitungan volume larutan nicotinamida

- Dosis pemberian secara intraperitonial: 230 mg/kg BB

- Konsentrasi larutan nicotinamida yang dibuat = 230 mg/10 mL = 23 mg/mL

- Jumlah nicotinamida yang diberikan untuk tikus (misal BB tikus= 200 g)

adalah= x 200 = 46 mg

- Volume larutan nicotinamida yang diberikan untuk tikus adalah

= x 1 mL = 2 mL

2. Contoh perhitungan volume larutan streptozotosin

- Dosis pemberian secara intraperitonial: 65 mg/kg BB

- Konsentrasi larutan STZ yang dibuat = 65 mg/10 mL = 6,5 mg/mL

- Jumlah STZ yang diberikan untuk tikus (misal BB tikus= 200 g) adalah

x 200 g = 13 mg

117
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

- Volume larutan STZ yang diberikan untuk tikus adalah

= x 1 mL = 2 mL

3. Contoh perhitungan volume suspensi glibenklamid

- Dosis Manusia = 5 mg

- Nilai konversi dosis manusia ke dosis tikus = 0,018

- Dosis untuk tikus dikonversikan = 0,018 x 5 mg = 0,09 mg

- Maka, dosis untuk 200 gram tikus = 0,09 x = 0,45 mg

- Menurut FI edisi III keseragaman bobot = 20 tablet, maka diambil 20 tablet

glibenklamid, ditimbang berat totalnya = 4.010 mg kemudian digerus.

- Berat bahan aktif glibenklamid dalam 20 tablet glibenklamid adalah 5

mg/tab x 20 tab = 100 mg

- Serbuk tablet glibenklamid yang digunakan :

= x 4010 mg

= 18,045 mg ≈ 18 mg

- Cara pembuatan suspensi glibenklamid :

Ditimbang 18 mg serbuk tablet glibenklamid dimasukkan ke dalam lumpang dan

ditambahkan larutan Na CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai

homogen, volume dicukupkan hingga 10 mL.

- Suspensi glibenklamid yang diberikan untuk tikus 200 g adalah:

= x 10 mL = 2 mL

118
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

4. Contoh perhitungan dosis kombinasi EEDP dan EEHP

- Dosis suspensi ekstrak kombinasi EEDP dan EEHP yang akan dibuat adalah

50:50 mg/kg bb:

- Ditimbang masing-masing esktrak sebanyak 100 mg, kemudian masing-

masing ekstrak dilarutkan dalam 10 mL larutan Na-CMC 0,5%

- Dosis dan volume suspensi yang diberikan untuk tikus 200 g adalah

EEDP = x 200 gr = 20 mg

EEHP =

Volume pemberian = x 10 mL = 2 mL (diberikan 1 ml EEDP dan 1

ml EEHP).

119
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. Hasil analisis data statistik pengukuran KGD
1. Uji Deskriptif

95% Confidence
Std. Interval for Mean
N Mean Std. Error Minimum Maximum
Deviation Lower Upper
Bound Bound
Na-CMC 0,5% 4 333.00 3.559 1.780 327.34 338.66 328 336
EEDP 100 mg/kg bb 4 341.50 9.147 4.573 326.95 356.05 330 352
EEHP 100 mg/kg bb 4 347.50 2.646 1.323 343.29 351.71 344 350
EEDP&EEHP (25:75) 4 340.50 3.416 1.708 335.06 345.94 337 345
KGD awal EEDP&EEHP (50:50) 4 335.00 5.598 2.799 326.09 343.91 330 342
EEDP&EEHP (75:25) 4 333.50 5.508 2.754 324.74 342.26 328 340
Glibenklamid 4 336.75 5.377 2.689 328.19 345.31 330 343
Normal 4 83.25 2.630 1.315 79.07 87.43 81 86
Total 32 306.38 85.926 15.190 275.40 337.35 81 352
Na-CMC 0,5% 4 337.00 3.162 1.581 331.97 342.03 333 340
EEDP 100 mg/kg bb 4 310.75 7.455 3.728 298.89 322.61 302 320
EEHP 100 mg/kg bb 4 324.25 3.500 1.750 318.68 329.82 320 328
EEDP&EEHP (25:75) 4 308.25 6.946 3.473 297.20 319.30 301 316
Hari ke-4 EEDP&EEHP (50:50) 4 296.00 4.690 2.345 288.54 303.46 292 301
EEDP&EEHP (75:25) 4 293.00 7.071 3.536 281.75 304.25 286 302
Glibenklamid 4 295.75 5.909 2.955 286.35 305.15 288 302
Normal 4 85.00 1.826 .913 82.09 87.91 83 87
Total 32 281.25 76.886 13.592 253.53 308.97 83 340
Na-CMC 0,5% 4 340.75 2.754 1.377 336.37 345.13 338 344
EEDP 100 mg/kg bb 4 282.75 6.850 3.425 271.85 293.65 275 291
EEHP 100 mg/kg bb 4 294.25 2.986 1.493 289.50 299.00 291 298
EEDP&EEHP (25:75) 4 285.00 3.742 1.871 279.05 290.95 281 290
Hari ke-8 EEDP&EEHP (50:50) 4 258.75 8.770 4.385 244.79 272.71 250 270
EEDP&EEHP (75:25) 4 252.00 6.831 3.416 241.13 262.87 245 261
Glibenklamid 4 256.25 6.602 3.301 245.75 266.75 249 265
Normal 4 85.75 4.992 2.496 77.81 93.69 79 91
Total 32 256.94 71.307 12.605 231.23 282.65 79 344
Na-CMC 0,5% 4 345.25 1.893 .946 342.24 348.26 344 348
EEDP 100 mg/kg bb 4 250.25 6.076 3.038 240.58 259.92 243 257
EEHP 100 mg/kg bb 4 259.25 3.304 1.652 253.99 264.51 255 263
EEDP&EEHP (25:75) 4 251.50 3.109 1.555 246.55 256.45 249 256
Hari ke-12 EEDP&EEHP (50:50) 4 223.25 8.539 4.270 209.66 236.84 215 234
EEDP&EEHP (75:25) 4 214.50 7.326 3.663 202.84 226.16 207 224
Glibenklamid 4 218.50 5.745 2.872 209.36 227.64 212 226
Normal 4 85.75 4.573 2.287 78.47 93.03 81 91
Total 32 231.03 68.542 12.117 206.32 255.74 81 348
Na-CMC 0,5% 4 350.00 1.414 .707 347.75 352.25 349 352
EEDP 100 mg/kg bb 4 217.25 7.676 3.838 205.04 229.46 209 226
EEHP 100 mg/kg bb 4 228.50 2.082 1.041 225.19 231.81 226 231
EEDP&EEHP (25:75) 4 216.00 4.320 2.160 209.13 222.87 212 222
Hari ke-16 EEDP&EEHP (50:50) 4 186.25 8.995 4.498 171.94 200.56 177 197
EEDP&EEHP (75:25) 4 175.00 7.257 3.629 163.45 186.55 168 185
Glibenklamid 4 178.50 5.196 2.598 170.23 186.77 173 185
Normal 4 88.00 2.828 1.414 83.50 92.50 84 90
Total 32 204.94 69.728 12.326 179.80 230.08 84 352

120
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. (Lanjutan)

95% Confidence
Std. Interval for Mean
N Mean Std. Error Minimum Maximum
Deviation Lower Upper
Bound Bound
Na-CMC 0,5% 4 345.75 2.217 1.109 342.22 349.28 344 349
EEDP 100 mg/kg bb 4 181.50 6.758 3.379 170.75 192.25 174 189
EEHP 100 mg/kg bb 4 191.50 2.887 1.443 186.91 196.09 188 195
EEDP&EEHP (25:75) 4 182.50 3.873 1.936 176.34 188.66 179 188
Hari ke-20 EEDP&EEHP (50:50) 4 153.00 10.100 5.050 136.93 169.07 142 165
EEDP&EEHP (75:25) 4 137.75 7.632 3.816 125.61 149.89 131 148
Glibenklamid 4 141.25 5.439 2.720 132.60 149.90 137 149
Normal 4 84.50 2.887 1.443 79.91 89.09 81 88
Total 32 178.34 75.344 13.319 151.18 205.51 81 357
Na-CMC 0,5% 4 349.00 4.163 2.082 342.38 355.62 344 354
EEDP 100 mg/kg bb 4 145.75 5.852 2.926 136.44 155.06 139 152
EEHP 100 mg/kg bb 4 154.00 3.367 1.683 148.64 159.36 150 158
EEDP&EEHP (25:75) 4 146.50 4.435 2.217 139.44 153.56 143 153
Hari ke-24 EEDP&EEHP (50:50) 4 123.50 9.747 4.873 107.99 139.01 114 135
EEDP&EEHP (75:25) 4 105.75 6.238 3.119 95.82 115.68 99 112
Glibenklamid 4 111.75 3.202 1.601 106.66 116.84 109 115
Normal 4 84.50 5.447 2.723 75.83 93.17 77 90
Total 32 153.84 82.073 14.509 124.25 183.43 77 360
Na-CMC 0,5% 4 346.25 5.188 2.594 337.99 354.51 340 351
EEDP 100 mg/kg bb 4 104.25 5.123 2.562 96.10 112.40 99 110
EEHP 100 mg/kg bb 4 112.75 3.775 1.887 106.74 118.76 108 117
EEDP&EEHP (25:75) 4 103.00 4.082 2.041 96.50 109.50 100 109
Hari ke-28 EEDP&EEHP (50:50) 4 93.50 8.813 4.406 79.48 107.52 83 103
EEDP&EEHP (75:25) 4 75.25 5.679 2.839 66.21 84.29 69 81
Glibenklamid 4 80.50 2.646 1.323 76.29 84.71 78 84
Normal 4 85.00 3.367 1.683 79.64 90.36 83 90
Total 32 127.31 91.898 16.245 94.18 160.45 69 366
Na-CMC 0,5% 4 78.75 1.500 .750 76.36 81.14 77 80
EEDP 100 mg/kg bb 4 77.75 3.304 1.652 72.49 83.01 74 81
EEHP 100 mg/kg bb 4 80.75 2.754 1.377 76.37 85.13 78 84
EEDP&EEHP (25:75) 4 78.75 2.217 1.109 75.22 82.28 76 81
Normal EEDP&EEHP (50:50) 4 78.75 2.217 1.109 75.22 82.28 76 81
EEDP&EEHP (75:25) 4 79.00 2.160 1.080 75.56 82.44 76 81
Glibenklamid 4 78.00 3.162 1.581 72.97 83.03 74 81
Normal 4 85.00 3.651 1.826 79.19 90.81 81 89
Total 32 79.59 3.271 .578 78.41 80.77 74 89

121
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. (Lanjutan)

2. Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances


Levene Statistic df1 df2 Sig.
KGD Awal 1.409 7 24 0.248
Hari ke-4 1.605 7 24 0.182
Hari ke-8 1.142 7 24 .371
Hari ke-12 1.863 7 24 .121
Hari ke-16 1.605 7 24 .182
Hari ke 20 2.875 7 24 .025
Hari ke 24 2.605 7 24 .038
Hari ke-28 2.524 7 24 .043
Normal 1.535 7 24 .203

3. Uji ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 228244.000 7 32606.286 1227.531 .000
KGD awal Within Groups 637.500 24 26.563
Total 228881.500 31
Between Groups 182545.000 7 26077.857 882.748 .000
Hari ke-4 Within Groups 709.000 24 29.542
Total 183254.000 31
Between Groups 156815.375 7 22402.196 665.000 .000
Hari ke-8 Within Groups 808.500 24 33.688
Total 157623.875 31
Between Groups 144912.219 7 20701.746 685.536 .000
Hari ke-12 Within Groups 724.750 24 30.198
Total 145636.969 31
Between Groups 182545.000 7 26077.857 882.748 .000
Hari ke-16 Within Groups 709.000 24 29.542
Total 183254.000 31
Between Groups 162751.219 7 23250.174 683.619 .000
Hari ke-20 Within Groups 816.250 24 34.010
Total 163567.469 31
Between Groups 192028.469 7 27432.638 855.877 .000
Hari ke-24 Within Groups 769.250 24 32.052
Total 192797.719 31
Between Groups 228254.875 7 32607.839 1228.553 .000
Hari ke-28 Within Groups 637.000 24 26.542
Total 228891.875 31
Between Groups 155.969 7 22.281 3.043 .019
Normal Within Groups 175.750 24 7.323
Total 331.719 31

122
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. (Lanjutan)

4. Uji Tukey

KGD awal
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N 1 2 3
Normal 4 83.25
Na-CMC 0,5% 4 333.00
EEDP&EEHP (75:25) 4 333.50
EEDP&EEHP (50:50) 4 335.00
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 336.75 336.75
EEDP&EEHP (25:75) 4 340.50 340.50
EEDP 100 mg/kg bb 4 341.50 341.50
EEHP 100 mg/kg bb 4 347.50
Sig. 1.000 .317 .106

Hari ke-4
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N 1 2 3 4 5 6
Normal 4 85.00
EEDP&EEHP (75:25) 4 293.00
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 295.75 295.75
EEDP&EEHP (50:50) 4 296.00 296.00
EEDP&EEHP (25:75) 4 308.25 308.25
EEDP 100 mg/kg bb 4 310.75
EEHP 100 mg/kg bb 4 324.25
Na-CMC 0,5% 4 337.00
Sig. 1.000 .993 .057 .998 1.000 1.000

Hari ke-8
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
Normal 4 85.75
EEDP&EEHP (75:25) 4 252.00
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 256.25
EEDP&EEHP (50:50) 4 258.75
EEDP 100 mg/kg bb 4 282.75
EEDP&EEHP (25:75) 4 285.00
EEHP 100 mg/kg bb 4 294.25
Na-CMC 0,5% 4 340.75
Sig. 1.000 .720 .141 1.000

123
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. (Lanjutan)

Hari ke-12
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
Normal 4 85.75
EEDP&EEHP (75:25) 4 214.50
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 218.50
EEDP&EEHP (50:50) 4 223.25
EEDP 100 mg/kg bb 4 250.25
EEDP&EEHP (25:75) 4 251.50
EEHP 100 mg/kg bb 4 259.25
Na-CMC 0,5% 4 345.25
Sig. 1.000 .358 .325 1.000

Hari ke-16
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N 1 2 3 4 5 6
Normal 4 85.00
EEDP&EEHP (75:25) 4 293.00
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 295.75 295.75
EEDP&EEHP (50:50) 4 296.00 296.00
EEDP&EEHP (25:75) 4 308.25 308.25
EEDP 100 mg/kg bb 4 310.75
EEHP 100 mg/kg bb 4 324.25
Na-CMC 0,5% 4 337.00
Sig. 1.000 .993 .057 .998 1.000 1.000

Hari ke-20
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N
1 2 3 4 5
Normal 4 84.50
EEDP&EEHP (75:25) 4 137.75
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 141.25 141.25
EEDP&EEHP (50:50) 4 153.00
EEDP 100 mg/kg bb 4 181.50
EEDP&EEHP (25:75) 4 182.50
EEHP 100 mg/kg bb 4 191.50
Na-CMC 0,5% 4 345.75
Sig. 1.000 .988 .129 .274 1.000

124
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. (Lanjutan)

Hari ke-24
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N
1 2 3 4 5
Normal 4 84.50
EEDP&EEHP (75:25) 4 105.75
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 111.75 111.75
EEDP&EEHP (50:50) 4 123.50
EEDP 100 mg/kg bb 4 145.75
EEDP&EEHP (25:75) 4 146.50
EEHP 100 mg/kg bb 4 154.00
Na-CMC 0,5% 4 349.00
Sig. 1.000 .801 .109 .466 1.000

Hari ke-28
Tukey HSD a
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N
1 2 3 4 5
EEDP&EEHP (75:25) 4 75.25
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 80.50
Normal 4 85.00 85.00
EEDP&EEHP (50:50) 4 93.50 93.50
EEDP&EEHP (25:75) 4 103.00 103.00
EEDP 100 mg/kg bb 4 104.25 104.25
EEHP 100 mg/kg bb 4 112.75
Na-CMC 0,5% 4 346.25
Sig. .178 .317 .106 .178 1.000

KGD normal
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN
N 1 2
EEDP 100 mg/kg bb 4 77.75
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 78.00
Na-CMC 0,5% 4 78.75 78.75
EEDP&EEHP (25:75) 4 78.75 78.75
EEDP&EEHP (50:50) 4 78.75 78.75
EEDP&EEHP (75:25) 4 79.00 79.00
EEHP 100 mg/kg bb 4 80.75 80.75
Normal 4 85.00
Sig. .764 .055

125
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 11. Gambar alat microplate reader dan reagen SOD

Gambar microplate reader

Gambar reagen SOD

126
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 12. Data hasil pengukuran konsentrasi SOD sampel
∆OD
Perlakuan OD1 OD2 Rerata OD Koreksi Kadar (pg/ml)
(Rerata OD-Koreksi)
Na-CMC 0.539 0.297 0.418 0.108 0.31 42.10
Na-CMC 0.455 0.357 0.406 0.108 0.298 41.32
Na-CMC 0.539 0.257 0.398 0.108 0.29 40.80
Na-CMC 0.434 0.368 0.401 0.108 0.293 41.00
EEDP 100 mg/kg bb 0.692 0.624 0.658 0.108 0.55 61.22
EEDP 100 mg/kg bb 0.675 0.593 0.634 0.108 0.526 58.97
EEDP 100 mg/kg bb 0.671 0.619 0.645 0.108 0.537 59.99
EEDP 100 mg/kg bb 0.665 0.675 0.67 0.108 0.562 62.38
EEHP 100 mg/kg bb 0.672 0.66 0.666 0.108 0.558 61.99
EEHP 100 mg/kg bb 0.598 0.576 0.587 0.108 0.479 54.80
EEHP 100 mg/kg bb 0.562 0.626 0.594 0.108 0.486 55.40
EEHP 100 mg/kg bb 0.611 0.661 0.636 0.108 0.528 59.16
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.627 0.685 0.656 0.108 0.548 61.03
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.691 0.657 0.674 0.108 0.566 62.77
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.67 0.654 0.662 0.108 0.554 61.61
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.612 0.66 0.636 0.108 0.528 59.16
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.692 0.716 0.704 0.108 0.596 65.78
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.701 0.673 0.687 0.108 0.579 64.06
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.727 0.683 0.705 0.108 0.597 65.88
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.702 0.688 0.695 0.108 0.587 64.86
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.688 0.7 0.694 0.108 0.586 64.76
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.796 0.824 0.81 0.108 0.702 77.61
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.705 0.703 0.704 0.108 0.596 65.78
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.787 0.563 0.675 0.108 0.567 62.87
Glibenklamid 0.701 0.727 0.714 0.108 0.606 66.82
Glibenklamid 0.736 0.708 0.722 0.108 0.614 67.65
Glibenklamid 0.703 0.681 0.692 0.108 0.584 64.56
Glibenklamid 0.728 0.742 0.735 0.108 0.627 69.04
Normal 0.708 0.786 0.747 0.108 0.639 70.35
Normal 0.745 0.713 0.729 0.108 0.621 68.40
Normal 0.756 0.72 0.738 0.108 0.63 69.37
Normal 0.734 0.65 0.692 0.108 0.584 64.56

Contoh perhitungan kadar SOD :


• Kelompok Na-CMC

ΔOD = Rerata OD– Koreksi


= 0,418 - 0,108
= 0,310
kadar SOD : y = 0,6408 ln(x) – 2,0866
0,6408 ln (x) = 0,310 + 2,0866
ln (x) = 3,7400
x = 42,10 pg/ml

127
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 13. Hasil analisis data statistik pengukuran konsentrasi SOD

1. Uji Deskriptif

95% Confidence
Std. Interval for Mean
N Mean Std. Error Minimum Maximum
Deviation Lower Upper
Bound Bound
Na-CMC 0,5% 4 41.30500 .571635 .285818 40.39540 42.21460 40.800 42.100
EEDP 100 mg/kg bb 4 60.64000 1.480473 .740236 58.28424 62.99576 58.970 62.380
EEHP 100 mg/kg bb 4 57.83750 3.374417 1.687209 52.46805 63.20695 54.800 61.990
EEDP&EEHP (25:75) 4 61.14250 1.506682 .753341 58.74503 63.53997 59.160 62.770
EEDP&EEHP (50:50) 4 65.14500 .856719 .428359 63.78177 66.50823 64.060 65.880
EEDP&EEHP (75:25) 4 67.75500 6.679693 3.339847 57.12612 78.38388 62.870 77.610
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 67.01750 1.876955 .938477 64.03085 70.00415 64.560 69.040
Normal 4 68.17000 2.534916 1.267458 64.13638 72.20362 64.560 70.350
Total 32 61.12656 8.813141 1.557958 57.94909 64.30404 40.800 77.610

2. Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig.


3.753 7 24 .007

3. Uji ANOVA
Sum of Mean
df F Sig.
Squares Square
Between Groups 2193.386 7 313.341 35.071 .000
Within Groups 214.429 24 8.935
Total 2407.815 31

4. Tukey

Subset for alpha = 0.05


PERLAKUAN N
1 2 3 4 5
Na-CMC 0,5% 4 41.30500
EEHP 100 mg/kg bb 4 57.83750
EEDP 100 mg/kg bb 4 60.64000 60.64000
EEDP&EEHP (25:75) 4 61.14250 61.14250 61.14250
EEDP&EEHP (50:50) 4 65.14500 65.14500 65.14500
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 67.01750 67.01750 67.01750
EEDP&EEHP (75:25) 4 67.75500 67.75500
Normal 4 68.17000
Sig. 1.000 .766 .093 .074 .834

128
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 14. Gambar kit HbA1c dan reagen HbA1c

Gambar kit HbA1c

Gambar reagen HbA1c

129
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 15. Data hasil pengukuran HbA1c sampel
Perlakuan OD1 OD2 Rerata OD Koreksi ∆OD Kadar (ng/mL)
Na-CMC 1.329 1.423 1.376 0.096 1.280 65.889
Na-CMC 1.527 1.445 1.486 0.096 1.390 72.086
Na-CMC 1.328 1.402 1.421 0.096 1.325 68.424
Na-CMC 1.498 1.412 1.408 0.096 1.312 67.692
EEDP 100 mg/kg bb 0.812 0.721 0.767 0.096 0.671 31.562
EEDP 100 mg/kg bb 0.786 0.782 0.784 0.096 0.688 32.537
EEDP 100 mg/kg bb 0.771 0.579 0.811 0.096 0.715 34.030
EEDP 100 mg/kg bb 0.685 0.865 0.775 0.096 0.679 32.023
EEHP 100 mg/kg bb 0.908 0.932 0.920 0.096 0.824 40.199
EEHP 100 mg/kg bb 0.965 0.835 0.900 0.096 0.804 39.072
EEHP 100 mg/kg bb 0.861 0.851 0.856 0.096 0.760 36.593
EEHP 100 mg/kg bb 0.898 0.922 0.910 0.096 0.814 39.635
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.752 0.780 0.766 0.096 0.670 31.523
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.736 0.786 0.761 0.096 0.665 31.241
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.796 0.758 0.777 0.096 0.681 32.143
EEDP & EEHP (25:75) mg/kg bb 0.801 0.715 0.758 0.096 0.662 31.072
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.586 0.746 0.666 0.096 0.570 25.889
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.648 0.654 0.651 0.096 0.555 25.044
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.695 0.747 0.721 0.096 0.625 28.988
EEDP & EEHP (50:50) mg/kg bb 0.649 0.601 0.625 0.096 0.529 23.579
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.594 0.830 0.712 0.096 0.616 28.481
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.682 0.668 0.675 0.096 0.579 26.396
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.667 0.703 0.685 0.096 0.589 26.959
EEDP & EEHP (75:25) mg/kg bb 0.651 0.657 0.654 0.096 0.558 25.213
Glibenklamid 0.665 0.679 0.672 0.096 0.576 26.227
Glibenklamid 0.696 0.626 0.661 0.096 0.565 25.607
Glibenklamid 0.691 0.735 0.713 0.096 0.617 28.537
Glibenklamid 0.622 0.642 0.632 0.096 0.536 23.974
Normal 0.621 0.635 0.628 0.096 0.532 23.748
Normal 0.554 0.794 0.674 0.096 0.578 26.340
Normal 0.675 0.571 0.623 0.096 0.527 23.466
Normal 0.672 0.784 0.728 0.096 0.632 29.382

Contoh perhitungan kadar HbA1c :


• Kelompok Na-CMC

ΔOD = Rerata OD– Koreksi


= 1,693 - 0,096
= 1,280
kadar HbA1c : y = 0,01775(x) + 0,11047
1,280 = 0,01775(x) + 0,11047

x =

x = 65,889 ng/ml

130
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 16. Hasil analisis data statistik pengukuran HbA1c

1. Uji Deskriptif

95% Confidence
Std. Interval for Mean
N Mean Std. Error Minimum Maximum
Deviation Lower Upper
Bound Bound
Na-CMC 0,5% 4 68.52275 2.603414 1.301707 64.38014 72.66536 65.889 72.086
EEDP 100 mg/kg bb 4 32.53800 1.071427 .535713 30.83312 34.24288 31.562 34.030
EEHP 100 mg/kg bb 4 38.87475 1.589225 .794613 36.34594 41.40356 36.593 40.199
EEDP&EEHP (25:75) 4 31.49475 .470508 .235254 30.74607 32.24343 31.072 32.143
EEDP&EEHP (50:50) 4 25.87500 2.284232 1.142116 22.24028 29.50972 23.579 28.988
EEDP&EEHP (75:25) 4 26.76225 1.357341 .678671 24.60242 28.92208 25.213 28.481
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 26.08625 1.890085 .945043 23.07870 29.09380 23.974 28.537
Normal 4 25.73400 2.754582 1.377291 21.35085 30.11715 23.466 29.382
Total 32 34.48597 13.880283 2.453711 29.48159 39.49034 23.466 72.086

2. Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig.


1.150 7 24 .366

3. Uji ANOVA
Sum of Mean
df F Sig.
Squares Square
Between Groups 5885.851 7 840.836 232.814 .000
Within Groups 86.679 24 3.612
Total 5972.530 31

4. Tukey

Subset for alpha = 0.05


PERLAKUAN N
1 2 3 4
Normal 4 25.73400
EEDP&EEHP (50:50) 4 25.87500
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 4 26.08625
EEDP&EEHP (75:25) 4 26.76225
EEDP&EEHP (25:75) 4 31.49475
EEDP 100 mg/kg bb 4 32.53800
EEHP 100 mg/kg bb 4 38.87475
Na-CMC 0,5% 4 68.52275
Sig. .993 .993 1.000 1.000

Lampiran 17. Hasil analisis data statistik ekspresi insulin

131
Universitas Sumatera Utara
1. Uji Deskriptif
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound Minimum Maximum
Na-CMC 0,5% 20 15.10000 4.115439 .920240 13.17392 17.02608 10.000 24.000
EEDP 100 mg/kg bb 20 62.00000 9.862209 2.205257 57.38434 66.61566 41.000 78.000
EEHP 100 mg/kg bb 20 56.00000 8.162817 1.825261 52.17968 59.82032 39.000 68.000
EEDP&EEHP (25:75) 20 67.00000 9.591663 2.144761 62.51096 71.48904 48.000 85.000
EEDP&EEHP (50:50) 20 141.00000 15.092696 3.374829 133.93640 148.06360 113.000 168.000
EEDP&EEHP (75:25) 20 160.00000 12.000000 2.683282 154.38383 165.61617 137.000 181.000
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb
20 133.00000 13.498538 3.018365 126.68249 139.31751 110.000 158.000

Normal 20 170.00000 11.271763 2.520443 164.72465 175.27535 153.000 188.000


Total 160 100.51250 54.773517 4.330227 91.96032 109.06468 10.000 188.000

2. Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig.

4.171 7 152 .000

3. Uji ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 458898.175 7 65556.882 549.810 .000
Within Groups 18123.800 152 119.236
Total 477021.975 159

4. Uji Tukey
Subset for alpha = 0.05
PERLAKUAN N 1 2 3 4 5
Na-CMC 0,5% 20 15.10000
EEHP 100 mg/kg bb 20 56.00000
EEDP 100 mg/kg bb 20 62.00000 62.00000
EEDP&EEHP (25:75) 20 67.00000
Glibenklamid 0,45 mg/kg bb 20 133.00000
EEDP&EEHP (50:50) 20 141.00000
EEDP&EEHP (75:25) 20 160.00000
Normal 20 170.00000
Sig. 1.000 .663 .833 .291 .081

132
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai