1
HALAMAN PENGESAHAN
2
KATA PENGANTAR
3
DAFTAR ISI
4
DAFTAR TABEL
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
6
preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki puskesmas,
begitupun dengan Kota Jambi yang terletak di Provinsi Jambi. Salah satu
puskesmas yang ada di Kota Jambi dari sekian banyak puskesmas yang ada
adalah Puskesmas Kenali Besar.
Puskesmas kenali besar merupakan salah satu puskesmas yang ada di Kota
Jambi yang terletak di wilayah kelurahan Kenali Besar kecamatan Alam Barajo
Provinsi Jambi. Tepatnya berada di ujung perbatasan Kota Jambi dengan
Kabupaten Muaro Jambi. Wilayah kerja puskesmas kenali besar meliputi 2
kelurahan, yaitu Kelurahan Kenali Besar dan Kelurahan Bagan Pete dengan luas
wilayah kerja adalah 29.18 km².
Puskesmas Kenali Besar adalah Puskesmas Non Perawatan yang didirikan
pada tahun 1991 dengan luas 650 M². Puskesmas ini telah mengalami rehabilitasi
fisik bangunan pada tahun 2009 dan terakhir pada tahun 2018 puskesmas ini
direhabilitasi lagi sehingga Puskesmas Kenali Besar menjadigedunglantai
bertingkat dua. Terdapat 112 RT yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kenali
Besar dengan total jumlah penduduk sebanyak 44.547 jiwa dengan rincian
sebanyak 22.535 jiwa laki-laki dan 22.012 jiwa perempuan. Rata-rata penduduk
di wilayah kerja puskesmas tersebut mempunyai pekerjaan sebagai pegawai
negeri sipil (PNS) dan pedagang, dengan mayoritas penduduk nya menganut
agama Islam.
Puskesmas Kenali Besar memiliki sumber daya tenaga sebanyak 56 orang.
Dimana sebanyak 51 orang bertugas pada puskesmas kenali besar, 3 orang
bertugas di Puskesmas Pembantu Simpang Rimbo dan 2 orang di Puskesmas
Pembantu Bagan Pete. Selain itu, Puskesmas Kenali Besar satu Puskesmas
Pembantu, satu Pusling dan satu Homecare yang juga berperan dalam
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Puskesmas Kenali Besar, untuk
menunjang kelancaran dari penyelenggaraan upaya kesehatan. Berdasarkan hasil
survey awal yang dilakukan di Puskesmas Kenali Besar hampir setiap hari
7
dipenuhi oleh pasien baik mereka yang hanya sekedar ingin memeriksa
kesehatannya maupun mereka yang ingin berobat. Penyakit yang diderita pun bisa
dibilang kompleks, mulai dari masalah kesehatan ibu dan anak, penyakit menular
dan penyakit tidak menular.
Salah satu penyakit yang sering diderita oleh penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Kenali Besar adalah demam berdarah dengur (DBD). Penyakit ini
sering muncul pada saat akhir musim panas dan di awal musim hujan. Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes SPP, nyamuk
yang paling cepat berkembang di dunia dan telah menginfeksi banyak orang
setiap tahunnya. DBD memiliki gejala serupa dengan Demam Dengue, nemun
DBD memiliki gejala lain berupa sakit/nyeri pada ulu hati terus-menerus,
pendarahan pada hidung, mulut, giusi atau memar pada kulit. Penyakit DBD
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah
penderita nya semakin meningkat dan penyebarannya semakin luas, penyakit
DBD merupakan penyakit menular yang pada umumnya menyerang pada usia
anak-anak umur kurang dari 15 tahun dan juga bisa menyerang pada orang
dewasa.
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Jambi Tahun 2017 dikeyahui
bahwa Wilayah Kerja Puskesmas Kenali Besar Merupakan Puskesmas yang
memiliki kasus DBD tertinggi urutan ke-3 dengan jumlah kasus 9. kasus DBD di
tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan
laporan bulanan Puskesmas Kenali Besar diketahui pada tahun 2018 kasus DBD
di Puskesmas Kanali mengalami peningkata menjadi10 kasus, lalu kembali
mengalami penigkatan pada tahun 2019 (Januari- Agustus) sebanyak 21 Kasus
DBD dengan 1 kasus meninggal. Tingginya angka kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Kenali Besar tentunya merupakan salah satu masalah yang harus
diatasi, maka salah satu upaya untuk mengatasi DBD ialah dengan melakukan
surveilance faktor risiko DBD.
8
Peningkatan jumlah kejadian DBD diduga kuat berhubungan dengan
faktor perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) yang masih buruk. Hal ini dapat terlihat dengan angka bebas
jentik di Indonesia hingga tahun 2015 sebesar 52,54% yang jauh dari target
pemerintah yaitu ≥95%. Kondisi ini diperburuk dengan fakta bahwa belum ada
obat dan vaksin yang dinilai efektif untuk penyakit DBD, sehingga perilaku PSN
dinilai penting dilakukan untuk mencegah penularan DBD. Penelitian sebelumnya
yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan dan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan Kejadian DBD di desa Tatelu Kecamatan Dimembe
Kabupaten Minahasa Utara membuktikan bahwa terdapat hubungan tindakan
PSN dengan kejadian DBD dilokasi tersebut. Hasil yang sama juga didapatkan
pada penelitian yang dilakukan di Desa Sojo Merto Kecamatan Reban Kabupaten
Batang.
Pemerintah Indonesia melalui Dinas Kesehatan telah mensosialisasikan
kepada masyarakat stentang upaya pengendalian vektor DBD yang dapat
dilakukan secara mandiri oleh masyarakat di rumah. Program tersebut dikenal
dengan sebutan Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup, Menguras dan
Mendaur Ulang Plus (PSN 3M Plus ). PSN 3M Plus memberikan penjelasan
tentang perilaku menghilangkan sarang nyamuk vektor DBD dan langkah untuk
mengurangi kontak atau gigitan nyamuk Aedes. Mengingat bahwa sarang nyamuk
Aedes banyak terdapat di dalam rumah sehingga tindakan ini dinilai perlu
dilakukan oleh masyarakat untuk menekan angka kejadian DBD.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas diperoleh rumusan masalah masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan surveillance penyakit Demam Bedarah Dengue
(DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kenali Besar?
9
2. Apa saja faktor risiko penyebab terjadinya Demam Bedarah Dengue
(DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kenali Besar?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengatahui pelaksanaan surveillance penyakit Demam Bedarah
Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kenali Besar
2. Untuk mengetahui faktor risiko penyebab terjadinya Demam Bedarah
Dengue (DBD) di wilayah kerja puskesmas Kenali Besar.
D. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di bidang Pengendalian Penyakit Menular untuk
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Kenali Besar. Adapun
ruang lingkup penelitian ini untuk menganalisis system informasi pencatatan dan
pelaporan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan memberikan usulan
rancangan system informasi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Sumber
data berasal dari laporan hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD).
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manajemen Surveilance Epidemiologi
1. Definisi Surveilance
Menurut Najmah (hal 173; 2015) data yang didapat dari kegiatan surveilans
ini dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan suatu tindakan
pencegahan terhadap penyakit tertentu serta cara penanggulangannya. Surveilans
dapat diartikan sebagai suatu proses yang sistematik yang meliputi kegiatan
pengumpulan, analisis, serta inteerpretasi, dari data kesehatan yang didapat, dan
berguna untuk suatu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian dari praktik
kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan waktu pengambilan data.
11
penderitan manusia.Variabel ini dipengaruhi oleh penyebaran, distribusi,
dan perjalanan penyait sertakondisi, berbagai pola perilaku, dan berbagai
keyakinan
b. Tempat
Variabel tempat berkaitan dengan lokasi sumber penyakit secara
geografis, lokasisaat terjadinya infeksi atau terjadinya cedera dan
pengklasteran kasus.Distribusi penyakit menurut tempat dinyatakan
menurut suatu lokasi yang dibatasioleh batas-batas alam atau batas
administrasi pemerintahan. Batas alami memelikiarti dalam kaitannya
dengan pemahaman etiologi penyakit.
c. Waktu
Variabel waktu dijawab melalui investigasi dan penelitian terhadap
semua aspekelemen waktu yang berhubungn dengan penyebab, kejadian
luar biasa,penyebaran, distribusi, dan perjalan penyakit serta
kondisi.Distribusi kejadian penyakit ini dinyatakan dalam bulanan atau
tahunan. Ada 2macam perubahan dalam distribusi penyakit yang dapat
diidentifikasi menurutwaktu yaitu :
1) Seculer trends, yaitu perubahan atau variasi frekuensi kejadian
penyakit dalamjangka panjang
2) Cyclic change, perubahan yang terjadi secara periodic dalam satu
tahun, ataulebih. Fluktuasi jangka pendek sering ditemukan dalam
epidemik penyakit
3. Langkah Langkah Surveilance Epidemiologi
Adapun langkah-langkah dari surveilans epidemiologi adalah sebagai
berikut:
a. Perencanaan surveilans
Perencanaan kegiatan surveilans dimulai dengan penetapan tujuan
surveilans, dilanjutkan dengan penentuan definisi kasus, perencanaan
12
perolehan data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme
penyebarluasan informasi.
b. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk
memproses data selanjutnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi
epidemiologi yang dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus dan
dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang
bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang
diperoleh dari kegiatan survei Pengumpulan data dilakukan dengan
mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang dianggap
penderita malaria atau population at risk melalui kunjungan rumah (active
surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan sarana
pelayanan kesehatan yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari,
laporan bulanan Puskesmas desa dan Puskesmas pembantu, laporan
petugas surveilans di lapangan, laporan harian dari laboratorium dan
laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan lain (pasive surveillance).
Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari unit kesehatan sendiri dan
dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan dari Pustu,
Posyandu, Barkesra, Poskesdes Proses pengumpulan data diperlukan
sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara umum pencatatan di
Puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar
gedung. Sedangkan pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil
pencatatan dengan menggunakan formulir tertentu, misalnya form W1
Kejadian Luar Biasa (KLB) , form W2 (laporan mingguan) dan lain-lain.
c. Pengolahan dan penyajian data
Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam
bentuk tabel, grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart,
peta/map area). Penggunaan komputer sangat diperlukan untuk
13
mempermudah dalam pengolahan data diantaranya dengan menggunakan
program (software) seperti epi info, SPSS, lotus, excel dan lain-lain.
d. Analisis data
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi
karena akan dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi
serta tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini
menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan
lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit. Data
yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data
bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan
atau penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit dengan faktor
resiko yang berhubungan dengan kejadian.
e. Penyebarluasan informasi
Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ketingkat atas maupun ke
bawah. Dalam rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang
terkait dan masyarakat juga menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk
diperlukan informasi yang informatif agar mudah dipahami terutama bagi
instansi diluar bidang kesehatan . Penyebarluasan informasi yang baik
harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan
dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya
pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan
informasi yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang
disampaikan kepada atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan
pertemuan, membuat suatu tulisan di majalah rutin, memanfaatkan media
internet yang setiap saat dapat di akses dengan.
f. Umpan balik
Kegiatan umpan balik dilakukan secara rutin biasanya setiap bulan
saat menerima laporan setelah diolah dan dianalisa melakukan umpan
balik kepada unit kesehatan yang melakukan laporan dengan tujuan agar
14
yang mengirim laporan mengetahui bahwa laporannya telah diterima dan
sekaligus mengoreksi dan memberi petunjuk tentang laporan yang
diterima. Kemudian mengadakan umpan balik laporan berikutnya akan
tepat waktu dan benar pengisiannya. Cara pemberian umpan balik dapat
melalui surat umpan balik, penjelasan pada saat pertemuan serta pada saat
melakukan pembinaan/suvervisi. Bentuk dari umpan balik bisa berupa
ringkasan dari informasi yang dimuat dalam buletin (news letter) atau
surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan yang
dilaporkan atau berupa kunjungan ke tempat asal laporan untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya. Laporan perlu diperhatikan
waktunya agar terbitnya selalu tepat pada waktunya, selain itu bila
mencantumkan laporan yang diterima dari eselon bawahan, sebaliknya
yang dicantumkan adalah tanggal penerimaan laporan
g. Investigasi penyakit
Setelah pengambilan keputusan perlunya mengambil tindakan maka
terlebih dahulu dilakukan investigasi/penyelidikan epidemiologi penyakit
malaria. Dengan investigator membawa ceklis/format pengisian tentang
masalah kesehatan yang terjadi dalam hal ini adalah penyakit malaria dan
bahan untuk pengambilan sampel di laboratorium. Setelah melakukan
investigasi penyelidikan kemudian disimpulkan bahwa benar-benar telah
terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria yang perlu mengambil
tindakan atau sebaliknya.
h. Tindakan penanggulangan
Tindakan penanggulangan yang dilakukan melalui pengobatan segera
pada penderita yang sakit, melakukan rujukan penderita yang tergolong
berat, melakukan penyuluhan mengenai penyakit malaria kepada
masyarakat untuk meningkatkan kesadaran agar tidak tertular penyakit
atau menghindari penyakit tersebut, melakukan gerakan kebersihan
lingkungan untuk memutuskan rantai penularan.
15
i. Evaluasi data sistem surveilans
Program surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk dapat
dilakukan evaluasi manfaat kegiatan surveilans. Sistem dapat berguna
apabila memenuhi salah satu dari pernyataan berikut:
1) Apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan dan
mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus.
2) Apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemik kejadian kasus
di wilayah tersebut.
3) Apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang
besarnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kejadian
penyakit di wilayah tersebut.
4) Apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor
resiko yang berhubungan dengan kasus atau penyakit
5) Indikator surveilans Indikator surveilans meliputi:
a). Kelengkapan laporan.
b). Jumlah dan kualitas kajian epidemiologi dan rekomendasi yang
dapat dihasilkan.
c). Terdistribusinya berita epidemiologi lokal dan nasional.
d). Pemanfaatan informasi epidemiologi dalam manajemen
program kesehatan.
e). Meningkatnya kajian Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)
penyakit (Depkes RI, 2003).
4. Indicator Surveilance
a. Akurasi
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil
mungkinterjadi hasil negative palsu. Aspek akurasi lainnya adalah
spesifisitas, yakni sejauh manaterjadi hasil positif palsu. Pada umumnya
laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan“false alarm” (peringatan
palsu) Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaranlaporan awam
16
ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi
peningkatan kasus/outbreak. Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor:
(1) kemampuan petugas; (2) infrastruktur laboratorium. Surveilans
membutuhkan pelatihan petugas.
b. Standar, seragam, reliabel, kontinu
Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam
sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem surveilans
yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten
atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi
kecenderungan. Pelaporan rutin data penyakit yang harus dilaporkan
(reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
c. Representatif dan lengkap
Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu
representatif dan lengkap keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data
surveilans dapat menemui kendala jika penggunaan kapasitas tenaga petugas
telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagi
antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.
d. Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam
organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan
dan terfokus format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna
dibuang. Sistem surveilans yang buruk biasanya terjebak untuk menambah
sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak berguna,
dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat
diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans,
maupun pemangku surveilans lainnya Untuk memelihara komitmen perlu
pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap level
operasi.
17
e. Penggunaan (uptake)
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun
pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data
surveilans merupakan masalah di banyak Negara berkembang dan beberapa
negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun
network dan komunikasi yang baik antarapeneliti, pembuat kebijakan, dan
pengambil keputusan.
18
Angka
kematian
kasar
1 C Jumlah kasus kematian
(Crude CDR= x 100 %
. DR jumlah populasi yang berisiko meninggal
Death
Rate/CD
R)
Angka
kematian
ibu
Jumlah kasus kematian ibu akibat kehamilan, nifas , dan persalinan
(Maternal MMR= x100%
jumlah kelahiran hidup
Mortality
Rate/MM
R)
Angka Angka
kematian kematian
2
ibu, neonatal ∑ Kematian bayi di bawah 28 hari
. NMR= x1.000
neonatal, (Neonatal ∑ Kelahiran hidup
dan bayi Mortality
Rate)
Angka
kematian
bayi ∑ Kematian bayi di bawah≤ 1 tahun
IMR= x 1.000
(Infant ∑ Kelahiranhidup
Mortality
Rate)
Angka Angka
3 ∑ Angka kematian yang terjadi dalam klmpk umur dan jenis kelamin
kematian kematian AKS= x 1.000
. Estimasi ∑ populasi pada klmpk umur dan jenis kelamin
spesifik spesifik
∑ Individu yang sakit
Prevalensi Prevalensi= x 1.000
∑ Populasi yang berisiko
∑ Kasus baru
Prevalens Insidensi Insidensi= x 1.000
4 ∑ Populasi yang berisiko
i dan Insidensi ∑ Orang yang mendapatkan penyakit
. IK = x 1.000
Insidensi kumulatif ∑Orang yang bebas dari penyakit dalam populasi yang berisiko
Laju ∑ Kasus baru penyakit
LI = x 1.000
insidensi ∑ Orang dalam populasi yang berisiko x lamanya masing−masing risiko
a
Terdapat empat serotipe virus yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4. Ke empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah
Indoneia. Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut akan
menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus tersebut. Infeksi
Dengue mempunyai masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari, biasanya 4-7 hari.
3. Cara Penularan
Siklus penularan terjadi pada saat nyamuk Aedes betina terinfeksi virus
dengue pada saat dia menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase
demam akut (viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam
timbul. Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita
yang sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama
21
hidupnya. Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah
nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika
nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka
gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3-4
hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak,
yang ditandai demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan
berbagai tanda atau gejala lainnya.
Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal penyakit tampak
dan berlangsungselama kurang lebih 5 hari. Saat-saat tersebut penderita dalam
masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan,
jika penderita tidak terlindung terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Hal
tersebut merupakan bukti pola penularan virus secara vertikal dari nyamuk-
nyamuk betina yang terinfeksi ke generasi selanjutnya.
5. Diagnosis Laboratorium
22
Terdapat 3 golongan dalam diagnosis laboratorium Dengur :
a Isolasi dan identifikasi virus
Keberhasilan cara ini sangar bergantung kepada kecepatan dan
ketepatan pengambilan bahan, juga pengolahan dan pengirimannya. Isolasi
dapat dilakukan pada nyamuk, biakan sel atau bayi mencit. Waktu yang
diperlukan cukup lama yaitu 7-14 hari sehingga tidak dapat digunakan
untuk panduan terapi. Disamping itu biaya untuk hal ini relatif mahal dan
hanya dilakukan di laboratorium tertentu saja.
b Deteksi antigen
Hal ini berguna dalam mendeteksi atau mencari bagian tertentu dari
virus dengue yang menimbulkan penyakit baik berupa peptida maupun
asam nukleat. Metode yang digunakan bisa immunofluorecence,
mmunoperoxydase, atau polymerase chain reaction (PCR). Dua metode
pertama bisanya tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah antigen
yang sangat sedikit di dalam sirkulasi.metode PCR sangat sensitif dan
spesifik sekali sehingga dapat mendeteksi viremia oleh viruss Dengue pada
hari kedua demam.
c Uji serologi
Tes serologi merupakan jenis pemeriksaan yang paling sering
dilakukan. Uji serologis klasik adalah uji hambatan, hemaglutinasi, uji
pengikatan komplemen dan uji netralisasi. Sedangkan untuk uji yang lebih
modern adalah enzyme linked immunoserbent assay (ELISA), immunoblot
dan immunochromatography.
Uji netralisasi merupakan uji yang terbaik, akan tetapi tekniknya sulit
sehingga jarang dipakai. Uji hambatan hemaglutinasi dan uji pengikatan
komplemen lebih mudah dilakukan tetapi tidak spesifik. Untuk diagnosis
cepat pada fase akut dapat digunakan metode enzyme linked
immunoserbent assay (ELISA), immunoblot dan immunochromatography.
6. Definisi Kasus
23
a. Kasus Tersangka DBD
7. Derajat DBD
a. Derajat I
Demam yang disertai gejala klinis tidak khas, satu-satunya gejala
perdarahan adalah uji Torniquet positif
b. Derajat II
Gejala yang timbul pada DBD derajat I, ditambah perdarahan spontan,
biasanya dalam bentuk perdarahan di bawah kulit (petekie) atau bentuk
perdarahan lainnya.
24
c. Derajat III
Adanya tanda-tanda kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi
yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (≤ 20 mmHg) atau
hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab yang membuat
penderita menjadi gelisah.
d. Derajat IV
Syok, yang ditandai dengan tidak terabanya nadi dan tekanan darah.
(Depkes RI, 2005)
8. Pengobatan
Sampai saat ini belum ada obat ataupun vaksin untuk DBD. Prinsip dasar
pengobatan adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran
plasma (Depkes RI, 2005). Pengobatan bersifat simptomatif dan suportif.
Penderita dianjurkan beristirahat saat sedang demam. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah penderita DBD masuk ke fase syok. Pertolongan pertama yang
dilakukan adalah memberi minum penderita sebanyak mungkin, memberi obat
penurun panas golongan parasetamol, kompres dengan air hangat. Apabila
penderita tidak dapat minum atau muntah–muntah, pasang infus cairan Ringer
Laktat atau NaCl dan segera rujuk ke rumah sakit.
Pengobatan pasien DBD derajat I–II, sama dengan pengobatan pada penderita
demam dengue, tetapi dengan monitoring yang ketat akan terjadinya kebocoran
plasma. Penderita dapat dirawat dengan pemberian cairan intravena selama 12–
14 jam. Pasien yang menunjukkan kenaikan kadar hematokrit, jumlah trombosit
< 50.000/mm3, atau menunjukkan tanda-tanda perdarahan spontan selain
petekie, harus dirawat secara intensif. (Depkes RI, 2009)
9. Prognosis
25
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya
baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat
ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi
dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada
orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa
prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih
ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi
sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk.
26
disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung
jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah
kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan
penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan
memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat
anemik, demam timbul karena infeksi sekunder.
C. Faktor yang Berhubungan dengan DBD
1. Faktor Pejamu (Host)
a. Umur
27
karena tidak adanya yang bertanggung jawab untuk membersihkan tempat
penampungan air di sekolah (Pranoto dkk, 1995).
b. Status Gizi
28
infeksi virus dengue lebih berat. Pembentukan antibodi spesifik terhadap
antigen yang masih kurang menyebabkan produksi interferon (IFN) oleh
makrofag tidak dapat menghambat replikasi dan penyebaran infeksi ke sel
yang belum terkena.Selain itu, antibodi terhadap virus DEN di dalam tubuh
akan membentuk antibody dependent enhacement (ADE) yang meningkatkan
infeksi dan replikasi virus sehingga meyebabkan manifestasi yang lebih berat
(Elmy dkk, 2009).
Status gizi ini pula juga dapat berhubungan dengan jenis kelamin,
dimana Kerja hormon dipengaruhi oleh adanya protein spesifik yang disebut
reseptor. Reseptor hormon glikoprotein yaitu folicle stimulating hormone
(FSH) dan luteinizing hormone (LH) terdapat di membran plasma sel gonad.
Aktivasi FSH dan LH yang dipengaruhi hipotalamus dapat ditekan oleh
steroid gonad sehingga pada anak hormon estrogen sangat rendah. Estrogen
mempengaruhi penimbunan lemak di tubuh. Sehingga rendahnya estrogen
pada anak perempuan menyebabkan leptin yang dihasilkan oleh sel lemak
dalam tubuh masih sedikit. Leptin merupakan protein hormon yang
mengatur berat badan. Sehingga anak perempuan cenderung memiliki berat
badan kurang dengan imunitas rendah akan rentan terhadap penyakit karena
memiliki imunitas selular rendah sehingga respon imun dan memori
imunologik belum berkembang sempurna. Pada status gizi buruk/kurang
terjadi penurunan imunitas dengan berkurangnya jumlah sel T-helper dan
terganggunya fagositosis serta memori imunologik belum sempurna sehingga
pusat respon imun tubuh yaitu limfosit T tidak dapat memproduksi sitokin
dan mediator sebagai pertahanan tubuh (Elmy.S dkk, 2009)
c. Perilaku
29
yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku
masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air). Tindakan
pembersihan sarang nyamuk meliputi tindakan masyarakat menguras air
kontainer secara teratur seminggu sekali, menutup rapat kontainer air bersih,
dan mengubur kontainer bekas seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang
bekas lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga menjadi sarang
nyamuk (dikenal dengan istilah tindakan ‘3M’) dan tindakan abatisasi atau
menaburkan butiran temephos (abate) ke dalam tempat penampungan air
bersih dengan dosis 1 ppm atau 1 gram temephos SG dalam 1 liter air yang
mempunyai efek residu sampai 3 bulan.(Fathi, 2005).
30
Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara
teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembangbiak didalamnya, yang dikenal dengan istilah 3M. Adapun
pemilihan waktu pengurasan tempat penampungan air seminggu sekali ini
berkaitan dengan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dimana perkembangan
dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-8 hari, tetapi dapat
lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Depkes R1, 2004).
Sehingga dapat dikatakan bahwa pengurasan tempat-tempat penampungan
air kurang dari seminggu sekali sangat efektif untuk memutuskan siklus
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti ini (Sofia dkk, 2014).
31
b. Vector Penyakit
32
berupa bintik pendarahan, kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah
darah dan kesadaran menurun (Widoyono, 2008: 60-63).
b Diagnosa
33
Berdasarkan patokan tersebut, 87% penderita DBD dapat didiagnosa
dengan tepat setelah dilakukan uji silang dengan pemeriksaan serologis di
laboratorium (Fitriyani, 2007: 3).
c Vector Penularan
1) Jenis vector
Vektor penularan penyakit DBD adalah nyamuk Aedes. Di Indonesia
dikenal dua jenis nyamuk Aedesyaitu Aedes aegyptidan Aedes
albopictus. Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
(Knight and Stone, 1997) disajikan dalam Tabel 1. (Soedarto, 2012:
62-63) :
Tabel 2. Klasifikasi Nyamuk Aedes
34
Class Insecta Insecta
Order Diptera Diptera
Famili Culicidae Culicidae
Subfamili Culicinae Culicinae
Genus Aedes Aedes
Species Aedes aegypti Aedes albopictus
2) Morfologi
Nyamuk Aedes aegyptidikenal aktif menggigit, terutama pada pagi
atau sore hari, dalam beberapa menit bisa terjadi gigitan kepada
beberapa orang sehingga nyamuk ini tergolong mempunyai daya tular
yang sangat aktif. Menurut Soedarmo (1988), ciri-ciri nyamuk Aedes
aegyptiadalah sebagai berikut. Badan kecil, nyamuk Aedes
aegyptidewasa berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-
rata nyamuk lain, warna hitam dengan bintik-bintik putih dibadan,
kaki, dan sayapnya.
a). Hidup di dalam dan sekitar rumah, dengan jarak terbang 50-100
mil (Kesumawati, 2009).
b). Menggigit dan menghisap darah terutama pada siang hari.
c). Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dan di tempat
yang gelap.
d). Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di
sekitar rumah.
3) Siklus hidup
Aedes aegyptimengalami metamorfosis yang sempurna melalui
empat stadium, yaitu telur, larva , pupa, dan dewasa. Tiga stadium
mulai dari telur, larva atau jentik, dan pupa dalam air, sedangkan
nyamuk dewasa adalah serangga terbang yang aktif mencari darah
(Bismi Rahma Putri, 2009: 3).
35
Berikut ini adalah empat stadium nyamuk Aedes aedyptipada siklus
hidupnya yaitu:
a). Stadium TelurTelur Aedes aegyptiberwarna hitam dan gelap
dengan ukuran 0,80 mm, bentuk oval dan menempel pada dinding
tempat penampungan air. Telur sangat sensitif pada suhu rendah.
Telur tidak dapat hidup pada suhu 10oC, tetapi dapat tahan
terhadap kekeringan. Telur dapat bertahan lebih dari satu tahun
pada suhu 21oC. Telur sering menetas secara bersamaan menjadi
jentik pada suhu optimum 25o-27oC di dalam air (Bismi Rahma
Putri, 2009: 3).
b). Stadium Jentik/LarvaPerkembangan jentik dipengaruhi oleh suhu
air, kepadatan populasi dan tersedianya makanan. Jentik akan
menjadi pupa atau kepompong dalam waktu 4-8 hari pada suhu
20o-30oC, dan akan mati pada suhu 10oC dan suhu 36oC, serta
dapat bertahan pada tanah yang lembab selama 13 hari. Secara
mikroskopis jentik Aedes aegyptidapat dikenal dari gerakannya
yang cepat dan membengkok-bengkokan tubuh, bergerak
menghindari cahaya bila di soroti cahaya atau senter dan sangat
tahan lama dibawah permukaan air ditempat perindukannya
(Fitriyani, 2007: 4).
c). Stadium Pupa/KepompongLarva/jentik menjadi kepompong
memerlukan waktu sekitar 1,5-2,5 hari. Beberapa pupa atau
kepompong dapat hidup pada temperatur air 47oC selama 5 menit
dan 82-100% dapat hidup pada temperatur 4,5oC selama 24 jam
(Bismi Rahma Putri, 2009: 3).
d). suhu 36oC jika terpapar terus-menerus. Suhu yang baik untuk
nyamuk dewasa adalah 26oC. Variasi lamanya umur nyamuk
dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, makanan, dan aktivitas
reproduksi. Pada suhu 10oC dan kelembaban relatif 100%,
36
nyamuk dewasa dapat hidup selama 30 hari tanpa makan dan
minum. Nyamuk betina mulai menghisap darah pada hari kedua
atau ketiga setelah menjadi nyamuk dewasa. Umur nyamuk betina
dewasa dapat bertahan hidup selama 102 hari
37
Kelompok umur akan berpengaruh terhadap penularan penyakit. Beberapa
penelitian yang telah dilakuakn menunjukan bahwa kelompok umur yang
paling banyak diserang DBD adalah kelompok <15 tahun, yang sebagian
besar merupakan usia sekolah.
d. Kondisi sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi akan mempengaruhi perilaku manusia dalam
mempercepat penularan penyakit DBD, seperti kurangnya pendingin
ruangan (AC) di daerah tropis membuat masyarakat duduk-duduk diluar
rumah pada pagi dan sore hari. Waktu pagi dan sore tersebut
merupakansaat nyamuk Aedesaegyptimencari mangsanya.
e. Tingkat kepadatan penduduk.
Penduduk yang padat akan memudahkan penularan DBD karena berkaitan
dengan jarak terbang nyamuk sebagai vektornya. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian epidemi DBD banyak terjadi pada
daerahyang berpenduduk padat.
f. Imunitas
Imunitas adalah daya tahan tubuh terhadap benda asing atau sistem
kekebalan. Jika sistem kekebalan tubuh rendah atau menurun, maka
dengan mudah tubuh akan terserang penyakit.
g. Status gizi
Status gizi diperoleh darinutrisi yang diberikan. Secara umum kekurangan
gizi akan berpengaruh terhadap daya tahan dan respons imunologis
terhadap penyakit.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang diklasifikasikan atas empat komponen yaitu
lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologi dan lingkungan
sosial.
a Lingkungan Fisik
38
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim yang terdiri dari curah
hujan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, sinar
matahari,dan ketinggian tempat. Lingkungan fisik berpengaruh langsung
terhadap komposisi spesies vektor habitat perkembangan nyamuk sebagai
vektor, populasi, longivitas dan penularannya.
1) Curah Hujan
Curah hujan mempunyai kontribusi dalam tersedianya habitat
vektor.Curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk. Pengaruh curah hujan terhadap vektor
bervariasi, tergantung pada jumlah curah hujan, suhu udara,
kelembaban udara, frekuensi hari hujan, keadaan geografis dan
tempat penampunan air yang merupakan sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk. Di Asia Tenggara Di temukan
hubungan yang kuat antara curah hujan dan insident dengue.
Biasanya puncak transmisidiketahui pada bulan-bulan dengan
curah hujan tinggi dengan temperatur tinggi, karena pada
prinsipnya habitat laarva Aedes aegyptiadalah tersedianya water
storage container. Pada beberapa tempat penyakit Denguedatang
sebelum tiba musim hujan dan meningkat saat peralihan musim
(Fitriyani, 2007: 5).
2) Kelembaban Udara
Kelembaban nisbi merupakan faktor yang membatasi bagi
pertumbuhan, penyebaran dan umur nyamuk. Hal ini erat
kaitannya dengan sistem pernafasan trakea, sehingga nyamuk
sangat rentan terhadap kelembaban rendah. Spesies nyamuk yang
mempunyai habitat hutan lebih rentan terhadap perubahan
kelembaban dari pada spesies yang mempunyai habitat iklim
kering (Fitriyani, 2007: 5-6).
39
3) Temperatur Udara
Temperatur udara merupakan salah satu pembatas antara
penyebaran hewan. Suhu berpengaruh pada daur hidup,
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya.
Adaptasi suatu spesies terhadap keadaan suhu udara yang tinggi
dan rendah akan mempengaruhi sebaraan geografis spesies
tersebut. Siklus gonotropik atau perkembangan telur, umur dan
proses pencemaran nyamuk dipengaruhi oleh temperatur. Kondisi
lingkungan dengan temperatur 27o-30oC dalam waktu yang lama
akan mengurangi populsi vektor (Fitriyani, 2007: 5).
4) Kecepatan Angin
Kecepatan angin secara tidak langsung mempengaruhi suhu udara
dan kelembaban udara. Pengaruh langsung dari kecepatan angin
yaitu kemampuan terbang. Apabila kecepatan angin 11-14
m/detik akan menghambat aktivitas terbang nyamuk. Nyamuk
Aedes aegyptimempunyai jarak terbang paling efektif 50-100 mil
atau 81-161 km (Fitriyani, 2007: 6).
5) Sinar Matahari
Pada umumnya sinar matahari berpengaruh terhadap aktivitas
nyamuk dalam mencari makan dan beristirahat. Spesies nyamuk
mempunyai variasi dalam pilihan intensitas cahaya untuk aktivitas
terbang, aktivitas mengigit dan pilihan tempat istirahat (Fitriyani,
2007: 6).
6) Ketinggian Tempat
Nyamuk Aedes aegyptisebagai vektor penyakit DBD hidup pada
ketinggian 0-500 meter dari permukaan dengan daya hidup yang
tinggi, sedangkan pada ketinggian 1000 meter dari permukaan
laut nyamuk Aedes aegyptiidealnya masih bisa bertahan hidup.
Ketinggian 1000-1500 meter dari permukaan laut pada daerah
40
Asia Tenggara merupakan batas penyebaran nyamuk Aedes
aegypti. Namun di daerah Amerika Latin nyamuk masih bisa
bertahan pada ketinggian 2200 meter dari permukaan laut dengan
suhu 17oC (Bismi Rahma Putri, 2009: 5).
b Lingkungan Kimia
Air adalah materi yang sangat penting dalam kehidupan. Tidak ada
satupun makhluk hidup yang dapat hidup tanpa air. Air merupakan
habitat nyamuk pradewasa. Air berperan penting terhadap
perkembangbiakan nyamuk. Penyakit dapat dipengaruhi oleh perubahan
penyediaan air. Salah satu diantaranya adalah infeksi yang ditularkan
oleh serangga yang bergantung pada air (water related insect vector)
seperti Aedes aegyptidapat berkembangbiak pada air dengan pH normal
6,5-9 ( Fitriyani, 2007: 6).
c Lingkungan Biologi
41
3) Stratifikasi sosial berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, etnis
dansebagainya.
4) Kemiskinan, biasanya berkaitan dengan malnutrisi, fasilitas yang
tidak memadai, secara tidak langsung merupakan faktor penunjang
dalam proses penyebaran penyakit menular.
5) Keberadaan dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
42
BAB III
HASIL
A. Gambaran Umum Lokasi
1. Data Umum
a. Data Geografis
43
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, Jumlah KK dan RT di
Wilayah Kerja Puskesmas Kenali Besar Tahun 2018
JumlahPenduduk Kepala
Kelurahan Keluar RT
Laki-laki Perempuan N
ga
Kenali Besar 16.342 16.108 32.250 7.929 73
Bagan Pete 6.393 5.904 12.297 3.334 39
Jumlah 22.535 22.012 44.547 11.263 112
1) Lingkungan
a). Sarana Pendidikan
Tabel 4. Data Sarana Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Kenali Besar
Kota Jambi tahun 2018
Sarana Pendidikan Kenali Besar Bagan Pete
TK 20 9
SD / MI 9 4
SLTP / MTS 4 1
SLTA / MAN 4 1
44
Pengangkut/ Jasa 152 121
Pensiunan 220 190
ABRI 319 145
Sopir 148 202
Montir 107 47
Penjahit 257 123
Pengusaha 126 75
2) Agama
Penduduk penganut agama :
Islam : 45.519
Kristen Protestan : 1850
Kristen Katolik : 861
Budha : 41
Hindu : 36
45
3) Sarana dan Prasarana Kesehatan
Tabel 7. Data Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kenali Besar
Kota Jambi tahun 2017
Sarana Kesehatan Kenali Besar Bagan Pete
Puskesmas 1 0
Puskesmas Pembantu 1 1
Poskesdes 0 0
Posyandu Balita 21 14
Posyandu Usila 1 1
Puskemas Keliling 0 0
Praktek Bidan/ Perawat 16 8
Swasta
Klinik Pengobatan Swasta 1 0
Pengobatan Tradisional 29 4
70 28
2. Data Khusus
1) Sumber daya tenaga
Tabel 8. Data Ketenagaan Puskesmas Kenali Besar tahun 2018
46
Asisten Terapis gigi dan mulut 1
Ahli Teknologi Lab. Medik 1
Ahli Teknologi Lab. Medik 3
Ahli Madya Farmasi 2
Asisten Ahli Madya Farmasi 1
Gizi 1
Asisten Gizi 1
Kesehatan Lingkungan 2
Administrasi 2
51 5
Puskesmas Kenali Besar memiliki sumber daya tenaga sebanyak 51
orang. Dimana sebanyak 51 orang bertugas pada Puskesmas Kenali Besar, 3
orang bertugas di Puskesmas Pembantu Simpang Rimbo 2 orang di Pustu
Bagan Pete. Berdasarkan analisis beban kerja, jumlah pegawai lebih dari
cukup memadai untuk kebutuhan, sedangkan ditinjau dari kualitas dan
keterampilan masih perlu adanya peningkatan pengembangan wawasan dan
keterampilan dengan mengikutsertakan pegawai dalam pendidikan dan
pelatihan-pelatihan di masa yang akan datang. Berdasarkan tingkat
pendidikannya, tingkat pendidikan pegawai di Puskesmas Kenali Besar sangat
variatif dan rata – rata masih berpendidikan di bawah sarjana muda.
2) Sumber daya sarana
47
Lantai 2 : Ruang Kepala Puskesmas, Ruang TU dan Bendahara, Poli
Anak, Poli Tumbang dan Imunisasi, Poli KB dan Kespro,
Laboratorium, Ruang Akreditasi dan Gudang.
Puskesmas Kenali Besar memiliki 1 (satu) Puskesmas Pembantu dan 1
(satu) Pusling dan 1 (Home Care) yang juga berperan dalam
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Puskesmas Kenali Besar, untuk
menunjang kelancaran dari penyelenggaraan upaya kesehatan, Puskesmas
Kenali Besar juga dilengkapi oleh beberapa sarana diantaranya :
1) Kendaraan roda 4 (Empat) sebanyak : 3 unit
2) Kendaraan roda 2 (Dua ) sebanyak : 4 unit
3) Komputer : 14 unit
4) Laptop : 3 unit
3. Penduduk Sasaran
48
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada pengumpulan data
dilakukan dengan cara menerima laporan dari masyarakat, ketua RT, kunjungan
pasien ke puskesmas, laporan dari petugas kesehatan lain, serta kunjungan yang
dilakukan dari petugas kesehatan puskesmas kenali besar. Selanjutnya petugas
puskesmas melakukan kunjungan kerumah penderita penyakit DBD untuk
melakukan wawancara kepada orang tua atau keluarga pasien untuk mengetahui
faktor risiko dan data pribadi pasien. Petugas juga memberikan bubuk abate
kepada warga sekitar untuk mencegah perkembangan jentik.
2. Pengelolahan data
3. Pelaporan data
49
b. Jumlah dan kualitas data
50
sebanyak 80 orang. Yang terdiri dari 20 kasus dan 60 kontrol. Di rt Namun
dalam penelitian ini ada bebrapa warga yang tidak lagi berdomisili di wilayah
yang tercatat, sehingga kami mengalami kekurangan responden, di satu sisi lain
kami menemukan kasus-kasus demam berdarah dangue yang tidak tercata oleh
oleh pihak puskesmas yang terletak di RT 42 ada 5 kasus, dan di RT 20 satu
kasus. Hal ini membuat cukup dari beberapa responden yang menolak dan
pindah domisili tersebut dan pengumpulan data ini berakhir pada tanggal 27
oktober 2019. Setelah pengumpulan data dilakukan maka dilanjutkan dengan
pengolahan data kedalam bentuk yang lebih informative atau berupa
informasi.Informasi merupakan kegiatan dari pengolahan suatu data dalam
bentuk tertentu yang lebih berarti dari suatu kejadian ataupun
peristiwa.Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak computer.
b. Pengetahuan
51
c. Tindakan
Terdapat 1 soal tindakan di mana obsinya ada dua yaitu terdiri dari A dan
B, jika benar mendapat poin 2 dan jika salah mendapat poin 1, karena dalam
menentukan poin di sini nilai minimal kami adalah 1.
Terdapat 7 soal, yang terdiri dari beberapa soal dengan obsi a, b, c dan d,
dan juga ada yang a, dan b saja. Setiap jawaban yang benar akan di berikan
nilai 2 dan jawaban yang salah akan di berikan nilai 1.
3. Analisis
a. Cut of point
1) Pengetahuan
a). Jumlah skor terendah = scoring terendah / jumlah pertanyaan x
100%
4
= x 100 %
13
= 30,7 %
b). Jumlah skor tertinggi = scoring tertinggi / jumlah pertanyaan x
100%
12
= x 100 %
13
52
= 92,3 %
c). Range (R) = Skor tertinggi- skor terendah
= 92,3% – 30,7%
= 61,6 %
d). Interval (I) = Range (R) / Kategori (K)
= 61,6% / 2
= 30,8 %
e). Kriteria penilaian = skor tertinggi – interval
= 92,3 % – 30,8%
= 67,5%
Sehinggadidapatkankriteriasebagaiberikut :
Baik = jika skor≥ 67,5 %
Kurang baik = jika skor¿ 67,5 %
b. Tindakan
Untuk tindakan karena hanya ada satu pertanyaan jawab benar dan salah,
jika benar mendapat nilai 2 dan jika salah mendapat nilai 1, sehinga kami
langsung menganalisis
53
Baik = jika skor 2
Kurang baik = jika skor 1
54
= 85.8% / 2
= 42.9 %
e) Kriteria penilaian = skor tertinggi – interval
= 100 % – 42.9%
= 57.1%
b. Tindakan
55
Dalam hasil analisis variabel tindakan ini, dari 1 pertanyaan dengan
jumlah seluru responden 80 yang terdiri dari 20 kasus dan 60 kontrol di dapat
hasilnya yaitu sebanyak 9 responden atau 11.25% responden tindakanya
buruk, dan 71 responden atau 88.75% tindakannya baik.
c. Tindakan PSN
Dalam hasil analisis variabel Prilaku PSN ini, dari 7 pertanyaan dengan
80 jumlah responden, yang terdiri dari 20 kasus dan 60 kontrol, di dapat lah
hasil yaitu, sebanyak 38 responden atau 47.5% prilaku PSN nya kurang baik,
sementara 42 responden atau 52.5% prilaku PSn nya baik.
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for .545 .195 1.526
pengetahuan1 (1.00 /
2.00)
For cohort Responden = .860 .665 1.113
KONTROL
For cohort Responden = 1.577 .723 3.439
KASUS
N of Valid Cases 80
Dari data tabel di atas di dapat di ketahui bahwa OR 0,545 hal ini
menunjukan bahwa pengetahuan menjadi pelindung atau protektifnya,
bukan menjadi penyebab atau factor resiko, hal ini di sebabkan
56
keterbatasan jumlah responden dan jumlah kasus yang berbanding 1:3
dengan control nya.untuk value control 0.860 dan value kasus 1.577 jadi
untuk pengetahuan kasus memang benar masih kurang baik terlihat dari
besarnya value kasus.
b. Tindakan
Tabel 13. analisis faktor risiko tindakan
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
For cohort 1.392 1.203 1.610
Responden =
KONTROL
N of Valid Cases 80
c. Perilaku PSN
Tabel 14 analisis faktor risiko perilaku PSN
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for .875 .318 2.409
PRILAKUSPSN2
57
(KURANG BAIK /
BAIK)
For cohort .967 .750 1.247
Responden =
KONTROL
For cohort 1.105 .518 2.360
Responden =
KASUS
N of Valid Cases 80
Ini menunjukan bahwa orang melakukan prilaku PSN
mendapat perlindungan sebesar Or 0,875 dari pada orang yang tidak
menerapkan prilaku PSN dari seluru responden, tetapi di lihat dari
control dan kasus, bahwa ada perbedaan, kaontrol dengan value nya
0.967 dan value kasus 1.105 hal ini menunjukan bahwa kasus untuk
prilaku PSN nya memang kurang baik.
58
9. Rt 42 terdiri dari 5 kasus
10. Rt 44 terdiri dari 1 kasus
11. Rt 55 terdiri dari 1 kasus
12. Rt 56 terdiri dari 1 kasus
13. Rt 61 terdiri dari 1 kasus
14. RT 71 terdiri dari 1 kasus
Dari data yang didapat Rt 42 terdapat 5 kasus lebih banyak yang terkena DBD
dibandingkan dengan RT yang lain.
E. Kasus Pertriwulan
1. Tahun 2016
Gambar 1 Trend Kasus DBD Triwulan 1,2,3 dan 4 Tahun 2016
25
20
15
Column2
10
0
Triwulan1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
59
4.5
4
3.5
3
2.5
2 Column2
1.5
1
0.5
0
Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
60
kasus DBD, dan kembali mengalami penurunan pada triwulan ke-3 yaitu
sebanyak 3 (20%) dan kembali mengalami kenaikan pada triwulan ke-4 yaitu
sebanyak 5 (33,3%) kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Kenali Besar pada
tahun 2018.
4. Tahun 2019
Gambar 4 Trend Kasus DBD Triwulan 1,2 dan 3 Tahun 2019
20
18
16
14
12
10
Column2
8
6
4
2
0
Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3
Pada saat melakukan survei tim menemukan 6 kasus baru dengan rincian 5
kasus yang berasal dari RT 42 dan 1 kasus dari RT 20. 6 kasus tersebut sebelumnya
tidak tercatat di Puskesmas Kenali Besar, sebagian besar kasus baru ini diperoleh
saat tim menemui ketua RT untuk menanyakan alamat kasus yang yang terdaftar di
puskesmas yang berada di RT tersebut, selain itu penemuan kasus baru juga
diperoleh melalui informasi dari responden yang datanya tercatat di Puskesmas
Kenali Besar. Setelah Tim menelusuri lokasi kasus baru tersebut dan melakukan
wawancara kepada kasus baru tersebut. Berdasarkan hasil wawancara diketahui
61
bahwa pada kasus baru tersebut tidak berobat ke puskesmas Kenali Besar melainkan
kasus tersebut berobat ke Praktek Dokter Umum dan Rumah sakit sehingga
kemungkinan hal ini yang menyebabkan kasus tersebut tidak terdata di puskesmas
Kenali Besar.
62
Gejala awal demam berdarah dengue antara lain: demam tinggi mendadak
berlangsung sepanjang hari, nyeri kepala, nyeri saat menggerakan bola mata dan
nyeri punggung, kadang disertai adanya tanda-tanda perdarahan, pada kasus yang
lebih berat dapat menimbulkan nyeri ulu hati, perdarahan saluran cerna, syok,
hingga kematian. Masa inkubasi demam berdarah 3 s/d 14 hari tetapi pada umumnya
4 s/d 7 hari.
Beberapa upaya pertolongan awal terhadap penderita dapat dilakukan antara lain
tirah baring (bedrest), perbanyak asupan cairan/ banyak minum sekurangnya 2 liter
per hari, kompres hangat, bila demam tinggi dapat diberikan obat pereda demam
(antipiretik) seperti parasetamol. Bila 2-3 hari gejala semakin memburuk seperti
pasien tampak makin lemas, muntah-muntah, gelisah atau timbul pendarahan
spontan seperti mimisan, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna dan lain
sebagainya diharapkan agar segera dibawa ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan setempat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Surat edaran Menteri
Kesehatan RI nomor PV.02.01/Menkes/721/2018 tanggal 22 November 2018 perihal
Kesiapsiagaan Peningkatan Kasus DBD. Dalam surat tersebut Menteri Kesehatan
menghimbau pemerintah daerah untuk:
63
3. Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional penanggulangan
DBD (Pokjanal DBD) pada berbagai tingkatan RT/RW, desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
4. Meningkatkan kapasitas sumber daya pencegahan dan pengendalian DBD,
meliputi peningkatan kapasitas SDM, biaya serta bahan dan peralatan.
5. Menerbitkan Surat Edaran Gubernur kepada Bupati/Walikota dalam
rangka kesiapsiagaan peningkatan kasus DBD.
Pencegahan demam berdarah yang paling efektif dan efisien sampai saat ini
adalah kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M
Plus, yaitu : 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan
tempat penampungan air seperti: bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutup, yaitu menutup
64
rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti: drum, kendi, toren air, dan
lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang
bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk
penular Demam Berdarah. Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala
bentuk kegiatan pencegahan lainnya seperti:
65
yang mengetahui mengenai DBD, informasi tersebut didapatkan setelah adanya
kasus yang timbul melalui tetangga, keluarga,ataupun televisi.
66
BAB IV
PEMBAHASAN
Hasil dari analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dan kejadian DBD dimana nilai p value = 0,245 dan nilai OR
= 0,545 (95% CI = 0,195-1,526). Orang yang meimiliki tingkat pengetahuan
yang baik menjadi faktor protektif atau pencegah untuk kejadian DBD
dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah.
Artinya, pengetahuan tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian
DBD, tetapi pengetahuan menjadi faktor protektif/pencegah terhadap kejadian
DBD.
Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Pantouw, berdasarkan
hasil analisis bivariat yang dilakukan didapatkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan dan tindakan pencegahan DBD dengan p
value = 0,128. Pengetahuan yang baik belum mempunyai peranan penting untuk
tindakan yang baik, karena sangat sulit untuk mengubah perilaku seseorang. Hal
ini juga bisa terjadi, bahwa seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru
terlebih dahulu tanpa mengetahui makna dari rangsangan yang diterimanya.
Artinya tindakan seseorang tidak harus didasari dengan pengetahuan dan sikap.
Tetapi, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Umboh dkk,
dimana didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ranotana Weru Kota Manado
dengan p-value = 0,004. Uji hubungan ini juga menghasilkan nilai OR = 5,571
(CI 95% 1,904-17,203). Artinya orang yang memiliki tingkat pengetahuan
rendah beresiko 5,571 kali untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi.
67
2. Tindakan atau Perilaku Menggantung Pakaian
68
3. Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
69
Banyak ditemukan kasus yang terkena DBD pada Keluruhan Kenali Besar
rumah mereka yang dekat dengan rawa sehingga memungkinkan nyamuk
berkembang biak. Nyamuk-nyamuk tersebut menyebabkan penyakit demam
terutama demam berdarah. Ditambah lagi dengan lingkungan sekitar seperti
adanya sampah yang memungkinkan menjadi genangan air sehingga menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk.Karena nyamuk Aedes aegypti hidup di air
yang bersih. Nyamuk-nyamuk tersebut menyebabkan penyakit demam terutama
demam berdarah.
Berdasarkan observasi yang kami lakukan penyebab DBD juga bisa akibat
kebiasaan menggantung pakain sehingga menjanji sarangnya nyamuk. Menurut
penelitian Widyana kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah mem-punyai
risiko terkena penyakit DBD 4,8 kali dari pada yang mempunyai kebiasaan tidak
menggantung pakaian
Dari beberapa kasus yang di observasi banyak yang terkena DBD akibat
tempat penampungan air misalnya mereka menggunakan bak mandi dan mereka
jarang membersihkan bak mandi sehingga menjadi tempatnya nyamuk. Tempat
perkembang biakkan utama jentik Aedes aegypti pada tempat-tempat
penampungan air di dalam atau di luar rumah atau sekitar rumah,biasanya tidak
melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perkembang biakkan nyamuk ini
berupa genangan air yang tertampung di suatutempat atau bejana dan tidak dapat
berkembang-biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.
4. Curah Hujan
70
Curah hujan yang tinggi akan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk
alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar ruangan selain di sampah-sampah
kering seperti botol bekas, kaleng-kaleng juga potongan bambu sebagai pagar
sering dijumpai di rumah-rumah desa serta daun-daunan yang memungkinkan
menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang baik untuk bertelurnya
Aedes aegypti (Prihatnolo, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kennet F
(1993) dalam Sitorus (2003), mengatakan bahwa sebanyak 120% peningkatan
kasus DBD diikuti dengan curah hujan bulanan lebih dari 300 mm, Kennet juga
menyatakan bahwa ± 2-3 bulan setelah hujan lebat maka akan terjadi KLB DBD.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di akhir musim hujan kejadian DBD
akan meningkat karena genangan air hujan berpotensi menjadi tempat yang
potensial untuk perkembangbiakkan larva nyamuk Aedes aegypti.
71
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian kasus DBD yang berada di Wilayah Puskesmas
Kenali Besar Kota Jambi Tahun 2019, didapatkan bahwasanya:
a. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan kejadian
DBD dimana nilai p value = 0,245 dan nilai OR = 0,545 (95% CI =
0,195-1,526).
b. Tidak ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian DBD dimana nilai p-value = 0,64 dan OR = 1,392 (95% CI =
1,203-1,610).
c. Bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku PSN
dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kenali Besar Kota
Jambi dengan p value = 0,796 dan OR = 0,875 (95% CI = 0,381-
2,409.
4.2 Saran
Dalam mewujudkan eliminasi atau mengurangi kasus DBD di suatu
wilayah, perlunya program Pencegahan dan Penanggulangan DBD yang
baik dari Puskesmas. Puskesmas Kenali Besar harus meningkatkan
pelaksanaan program P2P yang ada agar masyarakat secara mandiri dapat
mengaplikasikan upaya pencegahan dbd semaksimal mungkin dan
penanggulangan yang tepat agar mengurangi kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Kenali Besar di waktu yang akan datang.
72
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia. Dirjen P2M
dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
2. Depkes RI (2005) Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
3. Depkes RI (2009) Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa(KLB) Penyakit Menular dan Keracunan, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
4. Elmy S. Arhana BNP. Suandi IKG. Sidiartha IGL. Obesitas sebagai faktor
risiko sindrom syok dengue. Denpasar : UNUD; 2009: 238243
5. Fathi, dkk. Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan
Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. 2015;2(1): 1-10
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Modul Pengendalian
Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
7. Lubis I, Suharyono, Bukusue, N. Wabah Tersangka Demam Berdarah (DHF)
di Gorontalo. Majalah Kesehatan Masyarakat, 1997;VII:8-10.
8. Nelli, S.Hubungan status gizi dengan kejadian renjatan pada penderita anak
demam berdarah dengue pada periode Januari – Juni 2006 di RSUD Dr.
Djamil Padang. Padang : UNAND; 2007
9. Permatasair, YD. Dkk. Hubungan Status Gizi, Umur, Dan Jenis Kelamin
Dengan Derajat Infeksi Dengue Pada Anak. 2015; 2(1):24-28
10. Pranoto, Munif A. Kajian Tempat Perindukan Vektor dengan Pengetahuan
dan sikap Masyarakat terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota
Batam, Depkes RI, Jakarta, 1995.
11. Purnama, Sang Gede. 2016. Buku Ajar Penyakit Berbasis Lingkungan.
12. Riyanto, Agus. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha
Medika; 2011
73
13. Soedarmo SPS. Garna H. Hadinegoro SRS. Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta : IDAI; 2008:155-181
14. Sofia, dkk. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Keluarga
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Aceh Besar. 204;
13(1):30-38
15. Sucipto C.D. Vektor penyakit tropis; seri kesehatan lingkungan. Gosyen
Publishing, 2011: 45-55
16. T, Gama, A dan R, Betty F. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam
Berdarah Dengue Di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. 2010 ; 5(2) :1-9
17. Tamza, BR. Dkk. Hubungan Faktor Lingkungan Dan Perilaku Dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Wilayah Kelurahan Perumnas
Way Halim Kota Bandar Lampung. 2013; 2(2)
18. Wiradharma, Danny. 1999. Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue. Jurnal
Kedokteran Trisakti. Vol 18 No 2
19. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit
Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. ISSN 2442-7659.
20. Dinas Kesehatan Kota Jambi. Profil Kesehatan UPTD Puskesnas Kenali Besar
Tahun 2018.
21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014
Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat Bab 1 Pasal 1
22. Dinas Kesehatan Kota Jambi. Profil Kesehatan Kota Jambi Tahun 2017.
23. Priesley, F., Reza, M., Rusjdi, S.R. Hubungan Perilaku Pemberantasan
Sarang Nyamuk Dengan Menutup, Menguras, Mengubur dan Mendaur Ulang
(PSN M Plus) Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kelurahan Andalas. Jurnal Kesehatan Andalas 2018; 7(21).
24. Hasan, A., Ayubi, D. Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
dan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Oktober, 2017; 2(2): 86-90.
74
25. Pantouw, R.G., Siagian, I., Lampus, B.S. Hubungan Perilaku dan Sikap
Masyarakat Dengan Tindakan Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kelurahan Tuminting. Jurnal Kedokteran Komunikasi dan tropik.
Desember, 2016; 4(4): 217-221
26. Ayun, L.L., Pawenang, E.T. Hubungan Antara Faktor Lingkungan Fisik dan
Perilaku dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)di Wilayah Kerja
Puskesmas Sekaran, Kecamatan Gunung Pati, Kota Semarang. Public Health
Perspective Journal. 2017; 2(1): 97-104
27. Sofia., Suhartomo., Wahyuningsih, N.E. Hubungan Kondisi Lingkungan
Rumah dan Perilaku Keluarga Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. April,
2014; 13(1): 30-38
75
LAMPIRAN
76