Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

DAMPAK PANDEMI COVID DALAM LAYANAN


KEPERAWATAN PASIEN ODHA DI TINJAU DARI SISI
KONSELING TEST HIV/AIDS
Dosen Penanggung Jawab : Aan Dwi Sentana, M. Kep

DI SUSUN OLEH :

1. ALMAS FILZAH
2. GAMAR
3. HENDRA PRATAMA YUDHA
4. HERI KUSWANDI PUTRA
5. LUKMAN WAHID
6. MAHFUZOH
7. NI MADE WIWIK ARYANTI
8. SANG AYU MADE WAHYUDIANI

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Sistem Keperawatan
HIV/AIDS yang di berikan oleh dosen pengajar ,Dalam makalah ini penyusun
membahas tentang “ Dampak Pandemi Covid Dalam Layanan Keperawatan
Pasien ODHA Di Tinjau Dari Sisi Konseling Test HIV/AIDS “.
Dalam pembuatan makalah ini, penyusun menyadari adanya berbagai
kekurangan, baik dalam isi materi maupun penyusunan kalimat. Namun demikian,
perbaikan merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini sangat penyusun harapkan.
Akhir kata kami ucapkan banyak terimakasih, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin

Mataram, Agustus 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Masalah...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pandemi Covid-19......................................................................................7
B. Definisi HIV/AIDS....................................................................................9
C. Definisi ODHA........................................................................................10
D. Definisi VCT (Voluntary Conselling and Testing)...................................10
1. Tahapan dan Proses Dalam VCT........................................................10
2. Manfaat Melakukan VCT...................................................................12
E. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pelayanan Konseling Test
HIV/AIDS................................................................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................17
B. Saran.........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama pandemi Covid 19, program kesehatan esensial

mengalami kendala termasuk penanganan HIV/AIDS. Di Indonesia

masih banyak yang tidak mengetahui status HIV-nya, dan banyak pula

yang putus pengobatan antiretroviral (ARV). Sejak pandemi ini ada

ketakutan dari mereka yang berperilaku berisiko untuk tes HIV.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki

kerentanan Human Immunodeficiency Virus (HIV) karena dampak

perubahan kehidupan sosial maupun ekonomi. Penularan HIV umumnya

terjadi akibat perilaku manusia, sehingga menempatkan individu dalam

situasi yang rentan terhadap infeksi. Infeksi HIV merupakan salah satu

penyakit menular yang dikelompokan sebagai faktor yang dapat

mempengaruhi kematian Ibu dan Anak. HIV yaitu sejenis virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS adalah sindroma

dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat

menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Amirudin, Rosita,

and Trianita 2019).

VCT atau voluntary counselling and testing diartikan sebagai

konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan

untuk membantu pencegahan, perawatan, dan pengobatan bagi penderita

HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di puskesmas atau rumah sakit maupun

klinik penyedia layanan VCT. HIV/AIDS masih menjadi persoalan

1
kesehatan global yang signifikan, terutama di negara-negara berkembang

seperti Indonesia. WHO memperkirakan terdapat sekitar 35 juta orang di

seluruh dunia yang menderita HIV dan kurang lebih 19 juta di antaranya

tidak tahu bahwa mereka terinfeksi HIV.

Selama pandemi Covid-19, program kesehatan esensial

mengalami kendala termasuk penanganan HIV/AIDS dalam kegiatan

konseling test HIV/AIDS. Di Indonesia, masih banyak yang tidak

mengetahui status HIV-nya, dan banyak pula yang putus pengobatan

antiretroviral (ARV). Berdasarkan masalah di atas penulis tertarik untuk

membahas tentang dampak pandemi covid terhadap pelayanan konseling

test pada pasien ODHA.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu yang di maksud dengan VCT ?

2. Apa itu ODHA ?

3. Apa itu penyakit HIV/AIDS ?

4. Bagaimana dampak adanya pandemi covid-19 terhadap pelayanan

konseling HIV/AIDS di tempat pelayanan kesehatan ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui yang di maksud dengan VCT

2. Untuk mengetahui apa itu ODHA

3. Untuk mengetahui apa itu penyakit HIV/AIDS

4. Untuk mengetahui bagaimana dampak adanya pandemi covid-19

2
terhadap pelayanan konseling HIV/AIDS di tempat pelayanan

kesehatan ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandemi Covid-19

Dunia sedang dihebohkan dengan munculnya Pandemi Corona

Virus Disease (Covid-19), yang membawa dampak signifikan ke

perubahan dunia. Mulai dari  aspek ekonomi, sosial, hingga kehidupan

sehari-hari, hampir tak ada yang bisa berkelit dari kemunculan

virus Covid-19 ini, tidak terkecuali terhadap pelayanan publik sejak

virus corona pertama kali muncul akhir Desember 2019 lalu.

Sejak diumumkan kasus positif virus Covid-19 di Indonesia pada

2 Maret 2020 lalu, pemerintah meningkatkan langkah-langkah dalam

menangani pandemi global dari Covid-19. Sebelum itu, pemerintah juga

telah meningkatkan kesiagaan banyak rumah sakit dan peralatan yang

sesuai dengan standar internasional, termasuk pada anggaran yang

secara khusus dialokasikan bagi segala upaya pencegahan dan

penanganan.

Sejak awal Maret 2020, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh

pemerintah pusat dan daerah. Mulai dari membatasi hubungan sosial

(social distancing), menghimbau untuk bekerja di rumah (work from

home) bagi sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN), meniadakan

kegiatan ibadah, dan meminta masyarakat untuk tetap di rumah serta

mengurangi aktivitas ekonomi di luar rumah. Kebijakan tersebut

bermaksud baik, namun dampak dari kebijakan tersebut memiliki resiko

4
tinggi, hingga akhir Maret 2020 kebijakan pemerintah bukan

hanya social distancing  tapi dilanjutkan dengan Physical

Distancing, dan juga pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial

Berskala Besar (PSBB).

Dengan banyaknya instansi penyelenggara layanan publik yang

membatasi layanan, menginisiasi layanan online bahkan sampai

meniadakan pelayanan sementara, menjadi satu fenomena yang harus

dilakukan. Pembatasan pelayanan publik ini mulai dilakukan oleh

pemerintah sejak pertengahan bulan Maret 2020 ini, dimulai dengan

meliburkan anak sekolah dengan meminta untuk belajar di rumah dan

menutup beberapa tempat pelayanan kesehatan.

Dengan berlakunya WFH bagi pegawai-pegawai yang bergerak

dalam pelayanan publik termaksud layanan kesehatan yang dibatasi

bahkan ada yang di tutup sementara karena peningkatan kasus,

menyebabkan pelayanan publik menjadi terhambat, karena pada

akhirnya beberapa bidang pelayanan tidak dapat melayani masyarakat

secara langsung, sama halnya juga terjadi pada pelayanan konseling

HIV/AIDS yang menjadi terhambat karena adanya pandemi covid ini,

yang seharusnya bisa secara langsung melakukan konseling akan tetapi

harus di tunda bahkan harus di batalkan karena kadang adanya

penutupan sementara layanan kesehatan di akibatnya adanya

peningkatan kasus, atau bahkan para pasien ODHA sendiri yang dengan

sengaja tidak mau datang untuk konseling ke pelayanan kesehatan di

karenakan takut dengan adanya covid-19 ini.

5
B. Definisi HIV / AIDS

HIV atau human immunodeficiency virus disebut sebagai

retrovirus yang membawa materi genetik dalam asam ribonukleat

(RNA) dan bukan asam deoksibonukleat (DNA). HIV disebut retrovirus

karena mempunyai enzim reverce transcriptase yang memungkinkan

virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke

dalam bentuk DNA.(Widyanto & Triwibowo, 2013).

AIDS atau acquired immunodeficiency syndrome didefinisikan

kumpulan penyakit dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh

yang berat dan merupakan stadium akhir infeksi HIV (Widyanto &

Triwibowo, 2013). Kerusakan progresif pada system kekebalan tubuh

menyebabkan ODHA amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-

macam penyakit (Rendy & Margareth, 2012).

AIDS disebabkan oleh HIV yaitu suatu retrovirus pada manusia

yang termasuk dalam keluarga lentivirus. secara genetik HIV dibedakan

menjadi dua, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-

2. Keduanya merupakan virus yang menginfeksi sel T-CD4 yang

memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV. (Widyanto &

Triwibowo, 2013). AIDS disebabkan oleh HIV yang dikenal dengan

retrovirus yang di tularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat

terhadap limfosit T. (Rendy & Margareth, 2012).

6
C. Definisi ODHA

ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS, sebagai

pengganti istilah penderita yang mengarah pada pengertian bahwa orang

tersebut sudah secara positif didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS. Di

Indonesia, istilah ODHA telah disepakati sebagai istilah untuk

mengartikan orang yang terinfeksi positif mengidap HIV/AIDS

(Nurbani, 2013).

D. Definisi VCT (Voluntary Conselling And Testing)

VCT adalah voluntary conselling and testing atau bisa diartikan

sebagai konseling dan tes HIV sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan

untuk membantu pencegahan, perawatan, serta pengobatan bagi

penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di puskesmas atau rumah

sakit maupun klinik penyedia layanan VCT. HIV/AIDS masih menjadi

persoalan kesehatan global yang signifikan, terutama di negara-negara

berkembang. Adanya VCT sangat berperan dalam mencegah

penyebaran penyakit tersebut.

1. Tahapan dan Proses dalam VCT

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization


(WHO) telah meluncurkan panduan VCT yang berguna dalam
mendeteksi dan menangani HIV secara global. Pedoman tersebut
kemudian diterapkan di berbagai negara, khususnya negara
berkembang.

Pada prinsipnya VCT bersifat rahasia dan dilakukan secara


sukarela. Artinya hanya dilakukan atas inisiatif dan persetujuan

7
seseorang yang datang pada penyedia layanan VCT untuk diperiksa.
Hasil pemeriksaan pun terjaga kerahasiaannya.

Setelah menandatangani persetujuan tertulis, maka VCT dapat


segera dilakukan. Adapun proses utama dalam penanganan HIV/AIDS
melalui VCT adalah sebagai berikut :

a. Tahap Konseling Pra Tes


Tahap ini dilakukan pemberian informasi tentang HIV dan
AIDS. Kemudian konselor memulai diskusi dan klien diharapkan
jujur menceritakan kegiatan sebelumnya yang dicurigai dapat
berisiko terpapar virus HIV, seperti pekerjaan atau aktivitas sehari-
hari, riwayat aktivitas seksual, penggunaan narkoba suntik, pernah
menerima transfusi darah atau transplantasi organ, memiliki tato
dan riwayat penyakit terdahulu.

b. Tes HIV

Setelah klien mendapatkan informasi yang jelas melalui


konseling pra tes, maka konselor akan menjelaskan mengenai
pemeriksaan yang bisa dilakukan, dan meminta persetujuan klien
untuk dilakukan tes HIV. Setelah mendapat persetujuan tertulis,
maka tes dapat dilakukan. Bila hasil tes sudah tersedia, hasil tes
akan diberikan secara langsung (tatap muka) oleh konselor.

c. Tahapan Konseling Pasca Test

Setelah menerima hasil tes, maka klien akan menjalani


tahapan post konseling. Apabila hasil tes negatif, konselor tetap
akan memberi pemahaman mengenai pentingnya menekan risiko
HIV/AIDS. Misalnya, melakukan hubungan seksual dengan lebih
aman dan menggunakan kondom. Namun, apabila hasil tes positif,
maka konselor akan memberikan dukungan emosional agar
penderita tidak patah semangat. Konselor juga akan memberikan

8
informasi tentang langkah berikutnya yang dapat diambil, seperti
penanganan dan pengobatan yang perlu dijalani. Termasuk pula
cara mempertahankan pola hidup sehat, serta bagaimana agar tidak
menularkan ke orang lain.

Pada tahapan-tahapan berikutnya, peran konselor adalah untuk


lebih mendukung dan membangun mental penderita agar tetap
semangat hidup, dan juga membantu perawatan medis yang umum
dilakukan. Selain itu, konselor juga akan memberi saran agar klien
mendorong pasangan seksual untuk turut diperiksa.

2. Manfaat Melakukan VCT

Infeksi HIV/AIDS harus diwaspadai, karena infeksi HIV tidak


memiliki gejala awal yang jelas, sehingga tanpa pengetahuan yang
cukup penyebaran HIV akan semakin sulit dihindari. Oleh karena itu,
VCT perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk segera mendapat
informasi mengenai HIV, juga agar penderita HIV bisa dilakukan
deteksi sedini mungkin dan mendapat pertolongan kesehatan yang
dibutuhkan. Hal ini sangat membantu sebagai langkah pencegahan
dan pengendalian HIV/AIDS.

Kendati belum terdapat pengobatan yang dapat mengentaskan


HIV/AIDS secara tuntas, namun sebaiknya tidak berkecil hati karena
sudah tersedia pengobatan antiretroviral (ARV) yang digunakan untuk
menekan perkembangan virus HIV dalam tubuh penderita, sehingga
mampu meningkatkan kualitas hidup dan daya tahan tubuh penderita
infeksi HIV agar dapat beraktivitas seperti biasa. Mayoritas orang
yang mengalami HIV/AIDS adalah anak-anak muda. Dengan berbagai
penyebab utama, seperti perilaku seksual berisiko yakni sering
berganti pasangan seksual dan tidak menggunakan kondom sebagai
pengaman, melakukan tindik/tato, atau menggunakan narkoba melalui
jarum suntik.

9
Bagi semua kalangan, terutama mulai sejak masa remaja, perlu
diadakan pendidikan dan pemahaman HIV/AIDS agar terhindar dari
aktivitas yang memicu penyakit tersebut. Tidak perlu takut untuk
menjalani VCT, langkah ini justru dapat membantu meningkatkan
pengetahuan mengenai pencegahan dan penanganan HIV/AIDS. Juga
dapat membantu untuk semakin mengurangi stigma dan diskriminasi
terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

E. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pelayanan Konseling Test

HIV/AIDS

Adanya kebijakan pembatasan sosial di masa pandemi COVID-19

menjadi dilema tersendiri bagi upaya penanggulangan HIV AIDS.

Selain stigma dan upaya pencegahan melalui penggunaan kondom, ada

masalah dilematis yang muncul selama pandemi COVID-19 yang

berdampak pada pelayanan konseling test HIV/AIDS , antara lain

seperti :

1. Kurang optimalnya sosialisasi dan edukasi pencegahan HIV AIDS

yang biasanya dilakukan secara massal dengan keterbatasan media

edukasi digital

2. Penundaan pelaksanaan mobile VCT atau konseling tes HIV/AIDS

pada populasi berisiko, dikarenakan sumber daya yang terbatas dan

dialihkan untuk penanggulangan COVID-19

3. Penutupan beberapa fasilitas kesehatan untuk sementara yang

seharusnya bisa menjadi tempat konseling test HIV/AIDS akan

tetapi harus di tutup karena adanya peningkatan kasus covid-19

10
yang dimana membuat kegiatan konseling test harus di tunda atau

bahkan batal di lakukan.

4. Adanya ketakutan tersendiri yang di rasakan oleh orang-orang

berisiko HIV/AIDS atau ODHA untuk memeriksakan diri atau

pergi melakukan konseling test HIV/AIDS di layanan kesehatan

karena adanya pandemi Covid-19 ini, dengan berdalih takut tertular

Covid-19 dan memilih untuk menunda atau bahkan batal

memeriksakan diri.

5. Keterbatasan akses antiretroviral therapy (ART) dan risiko

kerentanan ODHIV atau ODHA yang lebih besar terinfeksi

COVID-19.

Tanpa atau dengan adanya pandemi COVID-19, persoalan HIV

AIDS ini bagaikan bom waktu yang dapat meledak kapanpun. Estimasi

infeksi baru HIV setiap tahun sebanyak 46.000 kasus. Oleh sebab itu,

hal ini perlu mendapat perhatian khusus, serta diperlukan langkah-

langkah yang konkret untuk menurunkan jumlah insiden infeksi HIV

baru terutama pada populasi berisiko di kelompok usia muda. Menurut

Centers for Disease Control and Prevention, program kesehatan sekolah

dapat membantu remaja mengadopsi sikap dan perilaku seumur hidup

yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan mereka, termasuk

perilaku yang dapat mengurangi risiko penularan HIV dan Infeksi

Menular Seksual (IMS) lainnya.

Dampak dari pandemi COVID-19 menjadi dasar perubahan

kebijakan pemerintah Indonesia terutama pada sektor kesehatan. Salah

11
satu kebijakan tersebut adalah pembentukan Gugus Tugas Percepatan

Penanganan COVID-19 melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun

2020 tanggal 13 Maret 2020. Langkah pemerintah dalam penanganan

COVID-19 dinilai sudah cukup baik, namun alangkah lebih baik jika

seimbang dengan upaya penanggulangan HIV AIDS yang juga

merupakan masalah penting dan global. Sama halnya dengan

pemanfaatan teknologi informasi untuk skrining mandiri gejala dan

pemetaan kasus COVID-19, pemanfaatan teknologi digital ini juga

dapat diterapkan untuk membantu dalam program penanggulangan HIV

AIDS. Misalnya, untuk edukasi dan skrining mandiri deteksi gejala HIV

AIDS, serta pengembangan aplikasi berbasis mobile untuk pemetaan

kasus yang memudahkan petugas lapangan atau LSM dalam melakukan

upaya penjangkauan dan pendampingan ART pada masa pandemi

COVID-19 ini. Sebetulnya, pada tahun 2013, telah diluncurkan Aplikasi

Digital AIDS yang dirancang atas kerjasama Kementerian Kesehatan

dengan Indonesia AIDS Coalition (IAC). AIDS Digital berisi informasi

layanan terdiri dari Tes HIV, terapi ARV, kelompok dukungan ODHA,

pencegahan vertikal, layanan jarum suntik steril, layanan methadone,

dan layanan IMS. Selain itu juga ada direktori online dari lembaga yang

bekerja untuk program penangulangan AIDS seperti Kementerian

Kesehatan, Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS, LSM, dan

juga jaringan populasi kunci. Namun, sayangnya di saat kebutuhan saat

ini yang serba digital, Aplikasi Digital AIDS justru tidak lagi dapat

diakses dan dimanfaatkan.

12
Pada sektor kebijakan, saat ini telah ada 143 Peraturan Daerah

yang mengatur tentang penanggulangan HIV AIDS yang diterbitkan

Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia tetapi perlu

dikaji ulang implementasinya dan pelaksanaannya di masa pandemi

COVID-19. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan yang tidak hanya

normatif namun juga menyelesaikan akar persoalan. Tanpa langkah

konkret untuk menurunkan insiden kasus HIV dari lintas sektoral, maka

penyebaran HIV AIDS di Indonesia akan terus terjadi sebagai bom

waktu yang kelak bermuara pada ledakan AIDS.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pandemi COVID-19 menjadi dilema tersendiri bagi upaya

penanggulangan HIV AIDS khususnya dalam kegiatan konseling test

HIV/AIDS dimana karena covid-19 sosialisasi dan edukasi pencegahan

HIV AIDS yang biasanya dilakukan secara massal menjadi kurang

optimal bahkan tidak bisa di lakukan, penundaan pelaksanaan mobile

VCT atau konseling tes HIV/AIDS pada populasi berisiko, dikarenakan

sumber daya yang terbatas dan dialihkan untuk penanggulangan

COVID-19, penutupan beberapa fasilitas kesehatan untuk sementara

yang seharusnya bisa menjadi tempat konseling test HIV/AIDS akan

tetapi harus di tutup karena adanya peningkatan kasus covid-19 yang

dimana membuat kegiatan konseling test harus di tunda atau bahkan

batal di lakukan, adanya ketakutan tersendiri yang di rasakan oleh

orang-orang berisiko HIV/AIDS atau ODHA untuk memeriksakan diri

atau pergi melakukan konseling test HIV/AIDS di layanan kesehatan

karena adanya pandemi Covid-19 ini, dengan berdalih takut tertular

Covid-19 dan memilih untuk menunda atau bahkan batal memeriksakan

diri, dan keterbatasan akses antiretroviral therapy (ART) dan risiko

kerentanan ODHIV atau ODHA yang lebih besar terinfeksi COVID-19.

14
B. Saran

Hasil makalah ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu

keperawatan mengenai konseling test HIV/AIDS dimasa pandemi covid-

19 seperti ini, sehingga dapat menjadi acuan agar dapat meningkatkan

pelayanan kesehatan khususnya pada ODHA sehingga masalah ini tidak

terbengkalai dan dapat tetap bisa di tangani walaupun sedang adanya

pandemi covid-19 seperti ini agar tidak terjadinya bom waktu yang

sewaktu waktu bisa terjadinya peningkatan kasus yang lebih banyak lagi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Besral, Utomo, B., & Zani, A. P. (2004). Potensi Penyebaran HIV dari Pengguna
NAPZA Suntik ke Masyarakat Umum. Makara Kesehatan 8 (2). 53-58.

Handajani, Y. S., Djoerban, Z., & Irawan, H. (2011). Quality of Life People Living
with HIV/AIDS : Outpatient in Kramat 128 Hospital Jakarta. The
Indonesian Journal of Internal Medicine. Acta Medica Indonesia. 310-
316.

Haroen, H., Juniarti, N., & Windari, C. (2008). Kualitas Hidup Wanita Penderita
AIDS dan Wanita Pasangan Penderita AIDS di Kabupaten Bandung Barat.
Jurnal Ilmiah Keperawatan. 10 (18). 1-16.

https://pasca.uns.ac.id/s3ikm/2021/06/05/dilematis-penanggulangan-hiv-aids
selama-pandemi-covid-19-akankah-three-zero-2030-terwujud/. (di akses
tanggal 21 agustus 2021, jam : 17.00 wita)

Kotze, M., Visser, M., Makin, J., Sikkema, K., & Forsyth, B. (2012). Psikosocial
Variables Associated With Coping of HIV- Positive Women Diagnosed
During Pregnancy in Shouth Afrika. AIDS Behav. 17. 489 – 507.
Nasronudin. (2007). HIV dan AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinik dan
Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Nursalam. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, Lorraine, M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proes-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Rachmawati. (2013). Kualitas Hidup Orang Dengan HIV/AIDS yang Mengikuti
Terapi Anti Retro Viral Di Kabupaten Malang. Jurnal Sains dan Praktik
Psikologi. 1. 46- 62.
Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Widyanto, F. C., & Triwibowo, C. (2013). Trend Disease. Jakarta: CV. Trans
Info Media.

16

Anda mungkin juga menyukai