EPIDEMIOLOGI PMS/AIDS
“Pencegahan HIV/AIDS Pada Penasun”
Universitas Andalas
Oleh:
Kelompok 6
Shelsa Irfa Zadzkia 1711213032
Nindy Fadhilla A 1711212015
Khuntum Khaira Ummah 1711212037
Debora Fitri Darwin 1611212029
Aulia Habibi 1711212054
Mivtahurrahimah 1711211041
Arief Ramdhoni 1811216011
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga dapat menyelesaikan makalah “Pencegahan HIV/AIDS Pada Penasun”.
Makalah ini ditulis guna menyelesaikan tugas mata kuliah Epidemiologi
PMS/AIDS.
Penyusunan tugas ini dilaksanakan atas bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan hormat dan terima
kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi PMS/AIDS yang telah
membimbing dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kelompok 6
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
1.3 Tujuan.............................................................................................................6
1.3.1.Tujuan Umum..........................................................................................6
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
BAB III..................................................................................................................27
PENUTUPAN........................................................................................................27
3.1 Kesimpulan...................................................................................................27
3.2 Saran.............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28
3
BAB I
PENDAHULUAN
HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel kekebalan tubuh manusia
sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai penyakit
antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang
tubuh kita itulah yang disebut AIDS Maka, selama bertahun-tahun orang dapat
terinfeksi HIV sebelum akhirnya mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling
sering ditemukan pada penderita AIDS adalah sejenis radang paru-paru yang
langka, yang dikenal dengan nama pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan
sejenis kanker kulit yang langka yaitu kaposi’s sarcoma (KS). Biasanya penyakit
ini baru muncul dua sampai tiga tahun setelah penderita didiagnosis mengidap
AIDS. Seseorang yang telah terinfeksi HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik
dia akan sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.
Cara penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, penggunaan obat suntik,
ibu ke anak-anak dan lain-lain. Mengenai penyakit HIV/AIDS, penyakit ini telah
menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping
belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan penyakit ini juga memiliki
“window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam
perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti
fenomena gunung es (iceberg phenomena).
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa
cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan
cukup besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar
penyebaran mengalami perlambatan. HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak
ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan
penyakit dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi
yang tepat antara berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat
4
kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda
awal terjadinya AIDS.
1.3 Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui upaya pencegahan penularan HIV AIDS pada penasun.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
menjadi 41%, namun prevalensi HIV pada kelompok penasun masih menempati
posisi tertinggi diantara kelompok berisiko lainnya (Kemenkes, 2012).
7
dan penganan HIV/AIDS, belum lagi adanya penolakan dari pihak keluarga
mereka sendiri termasuk dalam dukungan terhadap layanan yang ditujukan
terhadap penasun.
8
melalui cara-cara seksual atau vertikal (ibu ke anak). Hal ini terungkap dalam
acara Sosialisasi dan Diskusi Penanggulangan Dampak Buruk Napza yang
diadakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS ( KPA ) Kabupaten Badung, yang
diadakan di Badung pada hari Jumat 17 Nopember 2017. Acara ini diawali
dengan pemaparan materi dari para ekspert dan praktisi sesuai kompetensi dan
dilanjutkan diskusi. Balai Besar POM di Denpasar diundang sebagai salah satu
peserta dan dihadiri langsung oleh Plt. Kepala Balai Besar POM di Denpasar.
Pada kesempatan itu, Plt Ka Balai menyampaikan upaya-upaya yang dilakukan
oleh Badan POM dalam mencegah penyimpangan pendistribusian produk-produk
Narkotika dan Psikotropika yang digunakan dalam terapi dari jalur legal ke jalur
illegal. Disampaikan juga aturan mengenai Obat-Obat Keras Tertentu ( OOT ) dan
masalah yang lagi ramai seperti penjualan salah satu produk obat batuk, yang
berpotensi mendorong munculnya penyalahgunaan baru.
9
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes
HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan
(FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap
kabupaten/kota.
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat melakukan
tes HIV.
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ketingkat
Puskemas. 5
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat
umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan
memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya
pencegahan melalui layanan PIMS dan PTRM
10
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian
kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket
pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV
11
dari infeksi HIV dan mau mengakses layanan kesehatan terkait HIV-AIDS
yang dibutuhkan. LASS juga mengupayakan berhentinya peredaran jarum
suntik bekas di kalangan Penasun serta lingkungannya dengan mendorong
mekanisme penukaran jarum bekas pakai dengan jarum steril.
2. Terapi rumatan opioida dan dan Terapi Ketergantungan Napza Lainnya
Tidak semua Penasun memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan serta
kebutuhan Napza suntik yang dipakai. Banyak Penasun melewati tahapan-
tahapan penggunaan Napza suntik yang berbeda pada waktu yang berbeda-
beda dalam hidupnya. Pada sebagian orang di berbagai penjuru dunia,
mengisap opium atau heroin, atau menyuntik heroin, tidak harus menjadi
kecanduan terhadap zat-zat tersebut. Bagi sebagian besar orang yang
menggunakan jenis Napza suntik di atas, terdapat sebuah periode waktu
dimana menggunakan Napza suntik tanpa berakibat kecanduan, sebab
ketergantungan dapat terbentuk apabila Napza suntik digunakan secara teratur
selama beberapa waktu tertentu.
Periode ini bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun.
Penggunaan yang teratur saja tidak dapat langsung dikategorikan sebagai
ketergantungan, sebab perlu memenuhi kriteria ketergantungan sesuai
Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM IV). Oleh karena
itu, pendekatan terapi pun hendaknya bervariasi pula. Kita perlu mengetahui
lebih banyak tentang siapa si Penasun itu, bagaimana mereka menggunakan
Napza suntik, apa saja situasi dan kondisi sosial mereka, serta alternatif apa
saja yang dapat ditawarkan secara realistis di dalam situasi dan kondisi sosial
mereka.
Pemahaman yang komprehensif tentang penggunaan Napza suntik dan
Penasun sangat dibutuhkan agar pendekatan terapi ketergantungan Napza
suntik dapat berlangsung dan bermanfaat. Identifikasi dini para Penasun perlu
dilakukan secara tidak menyolok di lingkungan masyarakat. Semakin berhasil
upaya menggambarkan ketergantungan Napza suntik sebagai sebuah penyakit
dan Penasun memandang layanan terapi sebagai layanan yang bersifat rahasia
dan penuh perhatian, maka akan semakin besar pula kemungkinan para
Penasun berupaya memperoleh layanan tersebut atas inisiatif mereka sendiri.
12
Fokus terapi ketergantungan Napza suntik adalah menyediakan
berbagai jenis pilihan, yang dapat mendukung proses pemulihan melalui
berbagai keterampilan yang diperlukan dan mencegah kekambuhan (relapse).
Tingkatan layanan bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa
intensif terapi diperlukan. Bentuk terapi ketergantungan Napza suntik antara
lain adalah:
a. Terapi Rumatan Opioida
Terapi Rumatan Opioida merupakan salah satu metode dalam
terapi adiksi terhadap narkotika jenis opioida suntik. Metode ini
dikembangkan untuk Penasun yang telah mengalami
ketergantungan menahun, mengalami kekambuhan kronis dan
sudah pernah menjalani terapi ketergantungan Napza.
Menilik kepada kondisi tersebut, Terapi Rumatan Opioida
berfokus pada pengurangan dampak buruk dari penyuntikan
Napza melalui penyediaan narkotik opioida sintetis yang
digunakan secara oral dengan pengawasan tenaga medis agar
Penasun bisa berhenti menyuntik serta mengurangi risiko terpapar
infeksi melalui peralatan menyuntik yang terkontaminasi virus
dan bakteri. Selanjutnya melalui terapi ini Penasun juga
mendapatkan kesempatan untuk melakukan proses pemulihan atas
adiksinya dengan metode rumatan serta penyediaan dukungan
psikososial melalui proses konseling. Terapi Rumatan Opioida
lazimnya menggunakan 2 (dua) jenis opioida sintetis sebagai
substitusi yaitu Metadona melalui Terapi Rumatan Metadona
(TRM) dan Buprenorfina melalui Terapi Rumatan Buprenorfina
(TRB).
1) Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM)
Tujuan PTRM adalah untuk mengurangi dampak buruk
kesehatan, sosial dan ekonomi bagi Penasun, khususnya
untuk:
13
a) Mengurangi risiko tertular atau menularkan HIV serta
penyakit lain yang ditularkan melalui darah (Hepatitis
B dan C).
b) Memperkecil risiko overdosis dan penyulit kesehatan
lain.
c) Mengurangi dorongan dan kebutuhan pecandu untuk
melakukan tindak kriminal.
d) Memberi konseling rujukan dan perawatan.
e) Membantu Penasun menstabilkan hidupnya dan
kembali ke komunitas umum.
14
(polydrug use), menyuntikkan tablet atau disaring
terlebih dahulu.
e) Mengurangi dorongan dan kebutuhan pecandu untuk
melakukan tindak kriminal.
f) Memberi konseling rujukan dan perawatan.
g) Membantu Penasun menstabilkan hidupnya dan
kembali ke komunitas umum.
c. Terapi Ketergantungan Napza Lainnya
Fokus terapi ketergantungan Napza lainnya bagi Penasun
adalah menyediakan berbagai jenis pilihan yang dapat mendukung
proses pemulihan melalui berbagai keterampilan dan mencegah
kekambuhan (relapse). Tingkatan layanan bervariasi, tergantung
dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi yang diperlukan.
Terapi ketergantungan Napza lainnya pada Penasun bertujuan
untuk:
a) Menghentikan penggunaan Napza suntik apapun;
b) Meningkatkan kesehatan Penasun dengan menyediakan dan
memberikan terapi ketergantungan Napza lainnya serta
perawatan kesehatan umum;
c) Memberi ruang untuk menangani berbagai masalah psikososial
di dalam hidup Penasun;
d) Meningkatkan kualitas hidup Penasun baik secara psikologis,
medis maupun sosial; dan
e) Menurunkan angka kematian karena overdosis dan
menurunkan angka kriminalitas.
15
hanya sebagai langkah pertama menuju program terapi jangka
panjang (rehabilitasi, program terapi rumatan substitusi). Bila
hanya dilakukan detoks kemungkinan relaps sangat besar. Variasi
terapi detoks sangat luas, antara lain: ultra rapid detoxification
(hanya 6 jam), home based detoxification, detoks rawat inap dan
detoks rawat jalan.
d. Terapi terhadap Kondisi Gawat Darurat
Penasun sering menunjukkan perilaku yang dapat
menyebabkan kegawatan baik bagi dirinya maupun bagi orang
sekitarnya. Kondisi paranoid, halusinasi, agresif, dan agitasi akut
memerlukan pertolongan profesional dengan segera.
e. Terapi Komordibitas Fisik dan Psikiatri
Banyak Penasun yang juga menderita gangguan jiwa,
seperti: skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan kepribadian anti
sosial, depresi berat sampai percobaan bunuh diri. Gangguan
diagnosis ganda tersebut memerlukan terapi yang terintegrasi
dengan terapi ketergantungan Napza suntik.
f. Terapi Rawat Jalan
Merupakan terapi yang membebaskan Penasun untuk tidak
tinggal menginap di rumah sakit. Modifikasi terapi rawat jalan
untuk Penasun sangat luas, seperti terapi rawat jalan intensif, terapi
rawat jalan seminggu sekali. Terapi ini tidak restriktif dan sering
memberikan hasil paling baik bagi orang yang telah bekerja dan
memiliki lingkungan sosial dan keluarga yang stabil. Layanan ini
dapat dilakukan oleh layanan kesehatan formal ataupun
masyarakat. Layanan dapat meliputi pendidikan kesehatan terkait
penggunaan Napza suntik, pemberian terapi medis, konseling
individu, konseling kelompok, konseling keluarga, psikoterapi,
evaluasi psikologi dan evaluasi sosial serta program kelompok
dukungan (support group) berdasarkan program 12 langkah
maupun program lain.
16
g. Rehabilitasi Rawat Inap
Bila detoksifikasi/terapi sindrom putus zat dan terapi rawat
jalan berulang kali gagal, maka pasien perlu dipertimbangkan
untuk mengikuti terapi rawat inap (yang juga disebut dengan istilah
rehabilitasi). Banyak metode yang digunakan dalam terapi rawat
inap antara lain Therapeutic Community, dan The 12-Step
Recovery Program. Lama terapi umumnya 12-24 bulan. Sasaran
utama dari terapi rawat inap adalah abstinence atau sama sekali
tidak menggunakan Napza suntik (drug free). Dalam kedua
program tersebut, umumnya mantan Penasun (yang benar-benar
telah bersih, recovering addict) diikutsertakan dalam kegiatan
terapi di samping tenaga profesional yang terlatih.
17
b) Manfaat melakukan tes HIV.
c) Persetujuan melakukan pemeriksaan HIV melalui
penandatanganan informed consent oleh klien.
2) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status sero HIV
klien.
3) Sesi konseling pasca tes untuk memberikan intervensi psikis
dan informasi layanan lanjutan sesuai kebutuhan, membantu
klien melakukan perencanaan ke depan terkait hasil tes
termasuk perubahan perilaku berisiko tinggi menjadi perilaku
berisiko rendah.
b. Pencegahan, Diagnosis dan Terapi untuk Hepatitis
Penggunaan Napza suntik beserta perilaku berisiko yang
menyertainya berdampak pada tingginya risiko infeksi yang
menular lewat darah. Selain HIV, virus Hepatitis juga dapat
menular lewat kontak langsung dengan darah orang yang telah
terinfeksi sebelumnya. Virus Hepatitis terdiri dari berbagai jenis,
namun yang paling sering terjadi sebagai dampak buruk dari
penggunaan peralatan suntik adalah Hepatitis B dan Hepatitis C.
Hingga saat ini belum ada vaksin pencegahan untuk Hepatitis C.
18
2.4.1 Komunikasi, Informasi dan Edukasi pada Penasun dan pasangan
seksualnya
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan bagian dari
kegiatan penjangkauan. KIE dikembangkan untuk menyediakan informasi
mengenai HIV dan AIDS dan penyedia layanan terkait, pengurangan dampak
buruk Napza suntik, risiko penularan HIV (penggunaan bersama peralatan
menyuntik dan hubungan seksual), kesehatan reproduksi dan isu lain yang
berhubungan dengan permasalahan kesehatan Penasun. Media KIE dapat berupa
media massa elektronik, media cetak yang mudah diakses atau dibagikan pada
Penasun di tempat-tempat mereka berkumpul.
Prinsip-Prinsip Pelaksanaan
a) Keterlibatan Penasun dalam proses pembuatan dan pengembangan
media informasi sangat penting.
b) Kesinambungan penyampaian informasi penting untuk memastikan
tingkat pengetahuan Penasun dan pasangannya. Media informasi
yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan pesan pencegahan
antara lain:
1) Kampanye informasi terarah, yaitu kampanye untuk menjangkau
Penasun yang rentan secara praktis termasuk cara memanfaatkan
layanan-layanan perawatan. Metode ini dapat dilakukan dengan
tahapan:
Penjajakan situasi lokal untuk mengidentifikasi:
- Sikap, pengetahuan, dan perilaku berisiko
- Media informasi yang akan digunakan
- Sumber daya lokal
Hasil penjajakan digunakan sebagai dasar pengembangan
materi tentang strategi-strategi pengurangan risiko infeksi
HIV.
2) Diskusi interaktif kelompok Penasun
Diskusi dua arah merupakan metode yang efektif untuk
menyampaikan pesan maupun informasi, terutama bila dilakukan
19
secara informal dan akrab. Pemberian informasi di dalamnya
mengacu kepada situasi keseharian yang dihadapi oleh Penasun.
20
pada saat jumlah anggota dan kebutuhan sudah tidak dapat dipenuhi secara
menyeluruh oleh KDS. Kelompok Penggagas berperan mengoordinasi,
mengakomodir aspirasi dan kebutuhan dari KDS-KDS yang dilayani,
menumbuhkan kesadaran kritis, mengayomi, dan membimbing KDS-KDS dengan
menjunjung nilai kesetaraan serta sebagai pelaku advokasi dengan melibatkan
KDS dalam proses.
Fungsi Kelompok Penggagas untuk mencegah/mengantisipasi terjadinya
konflik antar KDS, memberikan dukungan kepada KDS, memberikan kesempatan
kepada KDS untuk dapat tumbuh bersama secara sehat, memastikan pemakaian
dana yang diberikan KP untuk digunakan semestinya, dan menjadi wadah dan
saluran informasi untuk semua KDS yang dilayani.
Peran dari Dukungan sebaya adalah untuk mencapai mutu hidup yang
lebih baik bagi Odha dan Ohidha. Peran Dukungan sebaya tersebut antara lain :
a. Membantu Odha dan Ohidha agar tidak merasa sendiri dalam
menghadapi masalah.
b. Menyediakan kesempatan untuk bertemu orang lain dan berteman.
c. Menolong menjadi lebih percaya diri dan merasa kuat.
d. Berfungsi sebagai wadah untuk melakukan kegiatan.
e. Mempertemukan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda,
serta menambah saling pengertian dan toleransi.
f. Saling membantu berbagi sumber daya, ide, dan informasi, misalnya
tentang pengobatan terbaru atau layanan dukungan setempat.
g. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keadaan yang dihadapi
anggota kelompok dengan memberi wajah yang manusiawi pada
Odha.
h. Memberi suara yang lebih kuat untuk melakukan perubahan
(advokasi).
Selain peran di atas, dukungan sebaya juga memiliki peran dalam
mengurangi dampak sosial ekonomi HIV dan AIDS pada Odha dan keluarganya.
Program mitigasi dampak diberikan kepada mereka yang kurang beruntung yang
membutuhkan dukungan. Penyediaan kesempatan pendidikan, pelayanan
kesehatan, gizi, dan akses pada bantuan ekonomi merupakan komponen utama
21
program ini untuk orang terinfeksi HIV yang kurang beruntung dan yang
terdampak AIDS, anak yatim, orang tua tunggal, dan janda, untuk mendapatkan
akses dukungan peningkatan pendapatan, pelatihan keterampilan, dan program
pendidikan peningkatan kualitas hidup. Hal ini dilakukan melalui kerja sama
antara Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, dan dukungan
sebaya. Kriteria penentuan kebutuhan mitigasi perlu dikembangkan untuk
mengidentifikasi program yang tepat bagi mereka yang memerlukan (lingkup,
dana, lama dan sasaran).
Keefektivitasan dukungan sebaya diyakini berasal dari berbagai proses
psikososial seperti yang dijelaskan oleh Mark Salzer pada tahun 2002, yaitu
dukungan sosial, pengetahuan pengalaman, teori pembelajaran sosial, teori
perbandingan sosial, dan prinsip menolong sebagai bagian dari terapi.
a. Dukungan sosial adalah adanya interaksi psikososial yang positif
dengan orang lain dimana terjadi saling percaya dan perhatian.
Hubungan positif berkontribusi terhadap penyesuaian positif dan
penyangga terhadap stres dan kesulitan dengan menawarkan dukungan
emosional (kepercayaan diri, kedekatan, dan kepastian), dukungan
instrumental (barang dan jasa), dan dukungan informasi (saran,
bimbingan, dan umpan balik).
b. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman adalah informasi spesifik
dan perspektif dari seseorang melalui pengalaman hidup tertentu
seperti penyalahgunaan zat, kecacatan fisik, penyakit kronis dan
mental, atau kejadian yang menyebabkan trauma seperi perang,
bencana alam, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau
penahanan di penjara. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman
cenderung unik dan pragmatik dan ketika dibagi dengan orang lain
dalam membantu menyelesaikan masalah dan meningkatkan mutu
hidup.
c. Teori belajar sosial mengandalkan kesebayaan, karena mereka telah
mengalami dan bertahan dari suatu kejadian yang relevan. Teman
sebaya adalah model yang lebih kredibel bagi orang lain. Interaksi
22
dengan rekan sebaya yang berhasil mengatasi atau mengalami penyakit
cenderung menyebabkan perubahan perilaku yang positif.
d. Perbandingan sosial berarti bahwa seseorang lebih nyaman
berinteraksi dengan orang lain yang membagi karakteristik yang umum
dengan diri mereka, seperti penyakit mental, untuk membangun
perasaan bahwa mereka normal. Dengan berinteraksi dengan orang
lain yang dirasa lebih baik dari mereka, rekan sebaya memberikan
perasaan optimis dan memberikan tujuan hidup.
e. Prinsip menolong sebagai bagian dari terapi mengusulkan bahwa ada
empat manfaat yang signifikan kepada mereka yang memberikan
dukungan sebaya yaitu:
1) Peningkatan rasa kompetensi interpersonal sebagai hasil dari
membuat dampak pada kehidupan orang lain,
2) Mengembangkan rasa kesetaraan karena memberi dan menerima
antara dirinya sendiri dan orang lain,
3) Rekan sebaya yang membantu mendapat pengetahuan personal
yang baru sementara membantu rekan sebaya, dan
4) Orang yang menolong menerima persetujuan sosial dari orang
yang mereka bantu
23
2.6 Pemulihan Adikasi Berbasis Masyarakat (PABM) dan Layanan
Kesehatan Dasar
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) adalah program yang telah
dirumuskan oleh pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
yang dibentuk atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia No 75 Tahun
2006, sebagai pelaksana program Harm Reduction (pengurangan dampak buruk).
Dari sekian banyaknya landasan hukum yang telah dirumuskan oleh Pemerintah,
maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah serius menanggapi permasalahan yang
terjadi dimasyarakat hingga saat ini, mengingat semakin tingginya jumlah korban
Narkotika dari tahun ke tahun dibandingkan dengan terbatasnya panti-panti
rehabilitasi, baik yang dikelola oleh pemerintah atau swasta, menuntut kita untuk
menciptakan berbagai alternatif terapi dan rehabilitasi.
PABM adalah salah satu bentuk kepedulian masyarakat dalam upaya
melaksanakan Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang telah
dikeluarkan atas dasar hukum. Dengan adanya Program PABM ini, diharapkan
dapat menjadi pilihan alternatif bagi para penyalahgunaan NAPZA yang ingin
pulih dari ketergantungannya terhadap narkotika, dan sebagai sarana untuk
memperbaiki diri melalui pendekatan kelompok dan religi, agar fungsi sosial
mereka dapat kembali seperti sediakala, mengingat masalah dan kebutuhan
mereka yang berbeda.
24
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) yang dilaksanakan di
rumah-rumah rehabilitasi sosial milik organisasi Komunitas Penasun dan Layanan
Alat Suntik Steril (LASS) yang tersedia di Puskesmas dan Satelit milik LSM
pelasana program terkait. Sesuai Permenkes nomor 55 tahun 2015 tentang
Program Pengurangan Dampak Buruk Napza Suntik, maka LASS akan diperkuat
dengan layanan konseling Perubahan Perilaku Penasun dan dukungan program
psikososial. Sedangkan PABM membutuhkan penguatan konsep layanan yang
komprehensif dan sistem Monitoring dan evaluasi.
PABM memberi perhatian khusus pada strategi rehabilitasi sosial dan medis
terkait masalah adiksi, penapisan dampak buruk pada kualitas kesehatan,
perawatan, dan dukungan pengobatan terhadap penyakit komorbiditas. Saat ini
semua program Yankes bidang pengurangan dampak buruk Napza suntik
berlangsung di 18 provinsi dan 68 kab/kota di bawah supervisi langsung KPA
Provinsi/Kab/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota dengan pelibatan
peran pemantauan lintas sektoral.
25
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Pemakaian alat suntik secara bergantian sangat umum terjadi di kalangan
penasun. Jika salah satunya terinfeksi HIV, dia dapat menularkan virus ini kepada
siapapun yang memakai peralatan suntik bergantian bersamanya. Penggunaan
alat bergantian juga menularkan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan penyakit
lain. Darah yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan
bersama dengan narkoba saat pengguna berikutnya memakai semprit tersebut. Ini
adalah cara termudah untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi
langsung dimasukkan pada aliran darah orang lain.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini,pembaca dapat memahami bagaimana upaya
pencegahan HIV dan AIDS pada penasun, sehingga kita bisa terhindar dari HIV
dan AIDS.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amalia Eka Cahyani, dkk. 2015. Gambaran Perilaku Berisiko HIV pada Pengguna Napza
Suntik di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 10(1)
Inggariwatia; Sudarto Ronoatmodjob. 2018. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi
HIV pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013–2014. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia : Jakarta
Sumini, Suharyo hadisaputro, Anies, Budi Laksono,Muchlis AU Sofro.2017 Faktor Risiko
yang Berpengaruh terhadap Kejadian HIV/AIDS pada Pengguna Napza Suntik. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas : Semarang
http://www.integrasi-edukasi.org/lowongan-staf-asistensi-teknis-program-di-komisi-
penanggulangan-aids-nasional/
http://spiritia.or.id/cdn/files/dokumen/laporan-penelitian-peran-dukungan-
sebaya_5c34c1090765a.pdf
27