Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PMS/AIDS
“Pencegahan HIV/AIDS Pada Penasun”

Universitas Andalas

Oleh:
Kelompok 6
Shelsa Irfa Zadzkia 1711213032
Nindy Fadhilla A 1711212015
Khuntum Khaira Ummah 1711212037
Debora Fitri Darwin 1611212029
Aulia Habibi 1711212054
Mivtahurrahimah 1711211041
Arief Ramdhoni 1811216011

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga dapat menyelesaikan makalah “Pencegahan HIV/AIDS Pada Penasun”.
Makalah ini ditulis guna menyelesaikan tugas mata kuliah Epidemiologi
PMS/AIDS.
Penyusunan tugas ini dilaksanakan atas bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan hormat dan terima
kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi PMS/AIDS yang telah
membimbing dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Padang, 01 Maret 2020

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5

1.3 Tujuan.............................................................................................................6

1.3.1.Tujuan Umum..........................................................................................6

1.3.2 Tujuan Khusus :.......................................................................................6

BAB II......................................................................................................................6

PEMBAHASAN......................................................................................................6

2.1 Epidemiologi HIV/AIDS pada Penasun.........................................................6

2.2 Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS pada Penasun........................................7

2.3 Program Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Penasun............................9

2.3.1 Pencegahan HIV/AIDS Melalui Herm Reduction...................................9

2.3.2 Strategi Kebutuhan KDS di Program Pencegahan................................10

2.3.3. Program Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun..........................12

2.4 Strategi Edukasi dan Komunikasi Penasun..................................................19

2.4.1 Komunikasi, Informasi dan Edukasi pada Penasun dan pasangan


seksualnya.......................................................................................................19

2.4.2 Promosi Kondom Untuk Penasun dan Pasangan Seksualnya................20

2.4.3 Pencegahan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS)...............21

BAB III..................................................................................................................27

PENUTUPAN........................................................................................................27

3.1 Kesimpulan...................................................................................................27

3.2 Saran.............................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel kekebalan tubuh manusia
sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai penyakit
antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang
tubuh kita itulah yang disebut AIDS Maka, selama bertahun-tahun orang dapat
terinfeksi HIV sebelum akhirnya mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling
sering ditemukan pada penderita AIDS adalah sejenis radang paru-paru yang
langka, yang dikenal dengan nama pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan
sejenis kanker kulit yang langka yaitu kaposi’s sarcoma (KS). Biasanya penyakit
ini baru muncul dua sampai tiga tahun setelah penderita didiagnosis mengidap
AIDS. Seseorang yang telah terinfeksi HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik
dia akan sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.

Cara penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, penggunaan obat suntik,
ibu ke anak-anak dan lain-lain. Mengenai penyakit HIV/AIDS, penyakit ini telah
menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping
belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan penyakit ini juga memiliki
“window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam
perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti
fenomena gunung es (iceberg phenomena).

Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa
cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan
cukup besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar
penyebaran mengalami perlambatan. HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak
ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan
penyakit dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi
yang tepat antara berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat

4
kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda
awal terjadinya AIDS.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS pada penasun ?
2. Apa saja factor risiko penularan HIV/AIDS pada penasun?
3. Apa saja program pencegahan penularan HIV/AIDS pada penasun?
4. Bagaimana strategi edukasi dan komunikasi penasun ?
5. bagaimana kebutuhan program kelompok dukungan sebaya dalam
program pencegahan penasun ?
6. bagaimana pemulihan adikasi berbasis masyarakat (PABM) dan layanan
kesehatan dasar ?

1.3 Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui upaya pencegahan penularan HIV AIDS pada penasun.

1.3.2 Tujuan Khusus :


1. untuk mengetahui epidemiologi HIV/AIDS pada penasun
2. untuk mengetahui factor risiko penularan HIV/AIDS pada penasun
3. untuk mengetahui program pencegahan penularan HIV/AIDS pada
penasun
4. untuk mengetahui strategi edukasi dan komunikasi penasun
5. untuk mengetahui kebutuhan program kelompok dukungan sebaya
dalam program pencegahan penasun
6. untuk mengetahui pemulihan adikasi berbasis masyarakat (PABM) dan
layanan kesehatan dasar

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Epidemiologi HIV/AIDS pada Penasun


Peningkatan kasus baru Human Immuno deficiency Virus (HIV) yang
disebabkan oleh pengguna Napza suntik (penasun) cukup besar. Penasun
mendorong laju epidemi HIV dibeberapa Negara di dunia (Mathers,et al, 2007;
UNAIDS & WHO, 2007). HIV dapat menyebar dengan cepat diantara pengguna
Napza suntik dan dapat meningkatkan prevalensi HIV dari yang pada awalnya
masih 0 menjadi meningkat hingga 20- 50% (Emmanuel, 2009). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathers, et al pada tahun 2007 diperkirakan
terdapat 15,9 juta penasun di seluruh dunia, dan 3 juta diantaranya terinfeksi HIV
(Mathers,et al, 2007).
Akhir tahun 2011 United Nations Office Drug on Crime (UNODC)
memperkirakan terdapat 14 juta orang penasun di seluruh dunia, dari 14 juta
penasun diperkirakan terdapat 1,6 juta hidup dengan HIV, mewakili prevalensi
global HIV sebesar 11,5% diantara orangorang yang menyuntikkan Napza
(UNODC, 2013). Di Indonesia, epidemi HIV secara sangat mengejutkan melonjak
cepat sekali dengan infeksi baru di kalangan penasun pada tahun 1998/1999.
Sharing peralatan suntik yang terkontaminasi HIV mendorong laju epidemi
HIV di Indonesia. Berdasarkan hasil survei sentinel pada penasun di sebuah
program ketergantungan obat di Jakarta mengindikasikan peningkatan prevalensi
HIV dari yang awalnya mendekati 0 pada tahun 1995 meningkat menjadi 50%
pada tahun 2002 (Kemenkes, 2007). Tahun 2006, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia memperkirakan dari 220.000 penasun yang hidup di
Indonesia, sekitar 63% merupakan penyumbang dari semua infeksi HIV, 55%
diantaranya terinfeksi melalui praktik penyuntikkan dan 8% penularan melalui
seksual oleh penasun (Kemenkes,2007).
Hasil Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2007, prevalensi
rata-rata HIV pada penasun di Bandung, Surabaya, Medan dan Jakarta yaitu 43%-
56%. Hasil STBP tahun 2011, prevalensi HIV di kalangan penasun telah menurun

6
menjadi 41%, namun prevalensi HIV pada kelompok penasun masih menempati
posisi tertinggi diantara kelompok berisiko lainnya (Kemenkes, 2012).

2.2 Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS pada Penasun


Pemakaian alat suntik secara bergantian sangat umum terjadi di kalangan
penasun. Jika salah satunya terinfeksi HIV, dia dapat menularkan virus ini kepada
siapapun yang memakai peralatan suntik bergantian bersamanya.  Penggunaan
alat bergantian juga menularkan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan penyakit
lain. Darah yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan
bersama dengan narkoba saat pengguna berikutnya memakai semprit tersebut. Ini
adalah cara termudah untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi
langsung dimasukkan pada aliran darah orang lain.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penasun menjadi salah satu


populasi yang memiliki risiko tinggi untuk menularkan HIV. Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya tahun 2010
melaporkan bahwa penasun tidak hanya menyumbang kasus HIV di Indonesia
melalui perilaku menyuntik yang tidak aman, yaitu perilaku penggunaan alat
suntik bekas pakai atau tidak steril, selain itu juga melalui perilaku seksualnya
yang berisiko (Tambunan, 2010).

Berdasarkan hasil analisis Survei Cepat Perilaku Penasun (SCPP) tahun


2011 sebagian besar penasun pernah berbagi alat suntik (64%). Penasun yang
tidak mengakses program cenderung akan berperilaku berbagi alat suntik. Hal ini
terlihat dengan lebih banyaknya proporsi penasun yang tidak mengakses program
Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril (LJASS) (56%) pernah berbagi alat suntik
dari pada yang mengakses program LJASS (44%). Penasun yang tidak mengaskes
program berisiko 1,2 kali lebih besar untuk berbagi alat suntik dibandingkan
dengan mereka yang mengakses program (Rachman, 2013).

Populasi penasun memiliki model populasi tersembunyi (hidden


population), mereka tidak tampak di permukaan dan selalu berpindah-pindah,
sehingga jejaring mereka juga menyebar dan sulit diidentifikasi. Mereka sering
dianggap sebagai pelaku tindak kriminal sehingga semakin menyulitkan untuk
dijangkau dan tersentuh layanan kesehatan, khususnya dalam upaya pencegahan

7
dan penganan HIV/AIDS, belum lagi adanya penolakan dari pihak keluarga
mereka sendiri termasuk dalam dukungan terhadap layanan yang ditujukan
terhadap penasun.

Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS pada


pengguna napza suntik yaitu status IDU 7. Menikah, memiliki jumlah pasangan ≥
2 orang, menyuntik napza > 6 kali, status tidak bekerja IDU yang menikah
cenderung berbagi jarum suntik dan telah menggunakan napza > 5 tahun serta
tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan pasangan lain, yang
dapat dilakukan 2-3 kali dalam sebulan karena dipengaruhi penggunaan napza
diluar rumah (di spot). Frekuensi menyuntik napza di pengaruhi oleh jenis napza
haroin yang dipakai, dan pengaruh pemakaian napza suntik ditempat membeli
napza cenderung IDU mencari pasangan lain dengan PSK atau pacar

Variabel yang pengaruhnya paling besar terhadap infeksi HIV di kalangan


Penasun adalah sikap sharing jarum suntik, sikap konsisten tidak sharing jarum
suntik dalam berbagai keadaan mampu melindungi Penasun dari HIV, sebaliknya
perilaku sharing jarum suntik walaupun hanya sesekali meningkatkan risiko
infeksi HIV. Lama menjadi penasun disamping faktor risiko infeksi HIV
mempengaruhi juga perilaku sharing jarum suntik di kalangan Penasun.

2.3 Program Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Penasun


2.3.1 Pencegahan HIV/AIDS Melalui Herm Reduction
Harm reduction merupakan suatu strategi praktis yang bertujuan untuk
mengurangi konsekuensi negatip dari penyalahgunaan  Narkoba, termasuk di
dalamnya suatu spektrum strategi dari penggunaan yang lebih aman, menuju
penggunaan yang diatur, hingga abstinensia. Prinsip utama dalam harm
reduction adalah pengurangan dampak buruk, yang paling utama adalah HIV,
Hepatitis B & C, dan over dosis. Dampak buruk lain seperti gangguan medis dan
psikis, terlibat dalam tindak kriminal dan anti sosial, timbulnya biaya sosial dan
biaya ekonomi penyalahunaan Narkoba.
Tujuan harm reduction itu sendiri adalah mempertahankan hidup dan
produktifitas penasun hingga mereka bisa melakukan pemulihan atau keluar dari
penyalahgunaan Narkoba serta melindungi masyarakat dari penularan HIV

8
melalui cara-cara seksual atau vertikal (ibu ke anak). Hal ini terungkap dalam
acara Sosialisasi dan Diskusi Penanggulangan Dampak Buruk Napza yang
diadakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS ( KPA ) Kabupaten Badung, yang
diadakan di Badung pada hari Jumat 17 Nopember 2017. Acara ini diawali
dengan pemaparan materi dari para ekspert dan praktisi sesuai kompetensi dan
dilanjutkan diskusi. Balai Besar POM di Denpasar diundang sebagai salah satu
peserta dan dihadiri langsung oleh Plt. Kepala Balai Besar POM di Denpasar.
Pada kesempatan itu, Plt Ka Balai menyampaikan upaya-upaya yang dilakukan
oleh Badan POM dalam mencegah penyimpangan pendistribusian produk-produk
Narkotika dan Psikotropika yang digunakan dalam terapi dari jalur legal ke jalur
illegal. Disampaikan juga aturan mengenai Obat-Obat Keras Tertentu ( OOT ) dan
masalah yang lagi ramai seperti penjualan salah satu produk obat batuk, yang
berpotensi mendorong munculnya penyalahgunaan baru.

2.3.2 Strategi Kebutuhan KDS di Program Pencegahan

Strategi Pemerintah terkait dengan Program Pengendalian HIV-AIDS dan


PIMS

1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini :

a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat,


penawaran tes HIV perlu dilakukan kepada semua pasien yang
datang ke layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat inap
serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV
rutin dilakukan pada ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga
binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS, pasangan tetap
ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS,
waria, LSL dan penasun.
c. Kabupaten/kota dapatmenetapkan situasi epidemi di daerahnya
dan melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan
monitoring & evaluasi serta surveilans berkala.

9
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes
HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan
(FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap
kabupaten/kota.
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat melakukan
tes HIV.
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ketingkat
Puskemas. 5
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat
umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan
memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya
pencegahan melalui layanan PIMS dan PTRM

2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta


perawatan kronis

a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap


(KDT-Fixed Dose Combination-FDC), di dalam satu tablet
mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari pada jam yang
sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa
menelan obat.
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah
CD4 dan apapun stadium klinisnya pada:  kelompok populasi
kunci, yaitu : pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza
suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain  populasi khusus,
seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien koinfeksi TB-HIV,
pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis B dan C), ODHA yang
pasangannya HIV negative (pasangan sero- diskor), dan
bayi/anak dengan HIV (usia<5tahun).  semua orang yang
terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi meluas

10
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian
kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket
pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV

3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk


early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat
untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalam
perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem
rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.
4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring
klinis yang dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.
5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait
layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS

2.3.3. Program Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun


1. Layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta
dukungan psikososial
Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dengan Konseling Perubahan
Perilaku diarahkan sebagai upaya promosi kepada Penasun agar berhenti
menggunakan Napza. Meski demikian, perlu disadari bahwa menghentikan
penggunaan Napza tidak mudah dilakukan secara cepat. Pada Penasun yang
belum dapat berhenti menggunakan Napza, upaya promosi disertai juga
dengan mendorong penggunaan alat suntik steril.
LASS dengan konseling perubahan perilaku serta dukungan
psikososial dilakukan melalui kegiatan penjangkauan dan pendampingan,
konseling pengurangan risiko dan penyediaan paket pencegahan melalui alat
suntik steril kepada Penasun. LASS menyediakan peralatan suntik steril
termasuk jarum suntik berikut tabung atau sempritnya dan kapas beralkohol.
Penyediaan peralatan tersebut disertai dengan pemberian informasi tentang
dampak buruk Napza dan HIV-AIDS, rujukan kepada layanan medis, hukum
dan sosial dalam rangka peningkatan kesadaran terhadap perilaku berisiko
serta dukungan terhadap perubahan perilaku pada Penasun sehingga terhindar

11
dari infeksi HIV dan mau mengakses layanan kesehatan terkait HIV-AIDS
yang dibutuhkan. LASS juga mengupayakan berhentinya peredaran jarum
suntik bekas di kalangan Penasun serta lingkungannya dengan mendorong
mekanisme penukaran jarum bekas pakai dengan jarum steril.
2. Terapi rumatan opioida dan dan Terapi Ketergantungan Napza Lainnya
Tidak semua Penasun memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan serta
kebutuhan Napza suntik yang dipakai. Banyak Penasun melewati tahapan-
tahapan penggunaan Napza suntik yang berbeda pada waktu yang berbeda-
beda dalam hidupnya. Pada sebagian orang di berbagai penjuru dunia,
mengisap opium atau heroin, atau menyuntik heroin, tidak harus menjadi
kecanduan terhadap zat-zat tersebut. Bagi sebagian besar orang yang
menggunakan jenis Napza suntik di atas, terdapat sebuah periode waktu
dimana menggunakan Napza suntik tanpa berakibat kecanduan, sebab
ketergantungan dapat terbentuk apabila Napza suntik digunakan secara teratur
selama beberapa waktu tertentu.
Periode ini bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun.
Penggunaan yang teratur saja tidak dapat langsung dikategorikan sebagai
ketergantungan, sebab perlu memenuhi kriteria ketergantungan sesuai
Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM IV). Oleh karena
itu, pendekatan terapi pun hendaknya bervariasi pula. Kita perlu mengetahui
lebih banyak tentang siapa si Penasun itu, bagaimana mereka menggunakan
Napza suntik, apa saja situasi dan kondisi sosial mereka, serta alternatif apa
saja yang dapat ditawarkan secara realistis di dalam situasi dan kondisi sosial
mereka.
Pemahaman yang komprehensif tentang penggunaan Napza suntik dan
Penasun sangat dibutuhkan agar pendekatan terapi ketergantungan Napza
suntik dapat berlangsung dan bermanfaat. Identifikasi dini para Penasun perlu
dilakukan secara tidak menyolok di lingkungan masyarakat. Semakin berhasil
upaya menggambarkan ketergantungan Napza suntik sebagai sebuah penyakit
dan Penasun memandang layanan terapi sebagai layanan yang bersifat rahasia
dan penuh perhatian, maka akan semakin besar pula kemungkinan para
Penasun berupaya memperoleh layanan tersebut atas inisiatif mereka sendiri.

12
Fokus terapi ketergantungan Napza suntik adalah menyediakan
berbagai jenis pilihan, yang dapat mendukung proses pemulihan melalui
berbagai keterampilan yang diperlukan dan mencegah kekambuhan (relapse).
Tingkatan layanan bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa
intensif terapi diperlukan. Bentuk terapi ketergantungan Napza suntik antara
lain adalah:
a. Terapi Rumatan Opioida
Terapi Rumatan Opioida merupakan salah satu metode dalam
terapi adiksi terhadap narkotika jenis opioida suntik. Metode ini
dikembangkan untuk Penasun yang telah mengalami
ketergantungan menahun, mengalami kekambuhan kronis dan
sudah pernah menjalani terapi ketergantungan Napza.
Menilik kepada kondisi tersebut, Terapi Rumatan Opioida
berfokus pada pengurangan dampak buruk dari penyuntikan
Napza melalui penyediaan narkotik opioida sintetis yang
digunakan secara oral dengan pengawasan tenaga medis agar
Penasun bisa berhenti menyuntik serta mengurangi risiko terpapar
infeksi melalui peralatan menyuntik yang terkontaminasi virus
dan bakteri. Selanjutnya melalui terapi ini Penasun juga
mendapatkan kesempatan untuk melakukan proses pemulihan atas
adiksinya dengan metode rumatan serta penyediaan dukungan
psikososial melalui proses konseling. Terapi Rumatan Opioida
lazimnya menggunakan 2 (dua) jenis opioida sintetis sebagai
substitusi yaitu Metadona melalui Terapi Rumatan Metadona
(TRM) dan Buprenorfina melalui Terapi Rumatan Buprenorfina
(TRB).
1) Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM)
Tujuan PTRM adalah untuk mengurangi dampak buruk
kesehatan, sosial dan ekonomi bagi Penasun, khususnya
untuk:

13
a) Mengurangi risiko tertular atau menularkan HIV serta
penyakit lain yang ditularkan melalui darah (Hepatitis
B dan C).
b) Memperkecil risiko overdosis dan penyulit kesehatan
lain.
c) Mengurangi dorongan dan kebutuhan pecandu untuk
melakukan tindak kriminal.
d) Memberi konseling rujukan dan perawatan.
e) Membantu Penasun menstabilkan hidupnya dan
kembali ke komunitas umum.

b. Terapi Rumatan Buprenorfina (TRB)


Terapi Rumatan Buprenorfina (TRB) merupakan
salah satu alternatif dalam pengurangan dampak buruk
Napza yang menggunakan opioida. Secara farmakologis
buprenorfina adalah opioida agonis parsial yang memiliki
efek opioida yang lebih lemah sehingga gejala putus zat
bersifat lebih ringan dan memiliki risiko overdosis yang
lebih rendah.
Tujuan TRB adalah untuk mengurangi dampak
buruk kesehatan, sosial dan ekonomi bagi Penasun,
khususnya untuk:
a) Mengurangi risiko tertular atau menularkan HIV serta
penyakit lain yang ditularkan melalui darah (Hepatitis
B dan C).
b) Memperkecil risiko overdosis dan masalah kesehatan
lainnya.
c) Mengalihkan dari zat yang disuntikkan ke zat yang
tidak disuntikkan.
d) Mengurangi penggunaan Napza suntik yang berisiko,
misalnya memakai peralatan suntik bergantian,
memakai bermacam-macam Napza suntik bersama

14
(polydrug use), menyuntikkan tablet atau disaring
terlebih dahulu.
e) Mengurangi dorongan dan kebutuhan pecandu untuk
melakukan tindak kriminal.
f) Memberi konseling rujukan dan perawatan.
g) Membantu Penasun menstabilkan hidupnya dan
kembali ke komunitas umum.
c. Terapi Ketergantungan Napza Lainnya
Fokus terapi ketergantungan Napza lainnya bagi Penasun
adalah menyediakan berbagai jenis pilihan yang dapat mendukung
proses pemulihan melalui berbagai keterampilan dan mencegah
kekambuhan (relapse). Tingkatan layanan bervariasi, tergantung
dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi yang diperlukan.
Terapi ketergantungan Napza lainnya pada Penasun bertujuan
untuk:
a) Menghentikan penggunaan Napza suntik apapun;
b) Meningkatkan kesehatan Penasun dengan menyediakan dan
memberikan terapi ketergantungan Napza lainnya serta
perawatan kesehatan umum;
c) Memberi ruang untuk menangani berbagai masalah psikososial
di dalam hidup Penasun;
d) Meningkatkan kualitas hidup Penasun baik secara psikologis,
medis maupun sosial; dan
e) Menurunkan angka kematian karena overdosis dan
menurunkan angka kriminalitas.

Jenis Layanan Terapi Ketergantungan Napza Lainnya Pada Penasun:


a) Detoksifikasi dan Terapi Putus
Zat Detoksifikasi (sering disebut terapi detoks) adalah suatu
bentuk terapi awal untuk mengatasi gejala-gejala lepas Napza
suntik (withdrawal state), yang terjadi sebagai akibat penghentian
penggunaan Napza suntik. Detoks bukan terapi tunggal, namun

15
hanya sebagai langkah pertama menuju program terapi jangka
panjang (rehabilitasi, program terapi rumatan substitusi). Bila
hanya dilakukan detoks kemungkinan relaps sangat besar. Variasi
terapi detoks sangat luas, antara lain: ultra rapid detoxification
(hanya 6 jam), home based detoxification, detoks rawat inap dan
detoks rawat jalan.
d. Terapi terhadap Kondisi Gawat Darurat
Penasun sering menunjukkan perilaku yang dapat
menyebabkan kegawatan baik bagi dirinya maupun bagi orang
sekitarnya. Kondisi paranoid, halusinasi, agresif, dan agitasi akut
memerlukan pertolongan profesional dengan segera.
e. Terapi Komordibitas Fisik dan Psikiatri
Banyak Penasun yang juga menderita gangguan jiwa,
seperti: skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan kepribadian anti
sosial, depresi berat sampai percobaan bunuh diri. Gangguan
diagnosis ganda tersebut memerlukan terapi yang terintegrasi
dengan terapi ketergantungan Napza suntik.
f. Terapi Rawat Jalan
Merupakan terapi yang membebaskan Penasun untuk tidak
tinggal menginap di rumah sakit. Modifikasi terapi rawat jalan
untuk Penasun sangat luas, seperti terapi rawat jalan intensif, terapi
rawat jalan seminggu sekali. Terapi ini tidak restriktif dan sering
memberikan hasil paling baik bagi orang yang telah bekerja dan
memiliki lingkungan sosial dan keluarga yang stabil. Layanan ini
dapat dilakukan oleh layanan kesehatan formal ataupun
masyarakat. Layanan dapat meliputi pendidikan kesehatan terkait
penggunaan Napza suntik, pemberian terapi medis, konseling
individu, konseling kelompok, konseling keluarga, psikoterapi,
evaluasi psikologi dan evaluasi sosial serta program kelompok
dukungan (support group) berdasarkan program 12 langkah
maupun program lain.

16
g. Rehabilitasi Rawat Inap
Bila detoksifikasi/terapi sindrom putus zat dan terapi rawat
jalan berulang kali gagal, maka pasien perlu dipertimbangkan
untuk mengikuti terapi rawat inap (yang juga disebut dengan istilah
rehabilitasi). Banyak metode yang digunakan dalam terapi rawat
inap antara lain Therapeutic Community, dan The 12-Step
Recovery Program. Lama terapi umumnya 12-24 bulan. Sasaran
utama dari terapi rawat inap adalah abstinence atau sama sekali
tidak menggunakan Napza suntik (drug free). Dalam kedua
program tersebut, umumnya mantan Penasun (yang benar-benar
telah bersih, recovering addict) diikutsertakan dalam kegiatan
terapi di samping tenaga profesional yang terlatih.

3. Layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis


Paket komprehensif bagi pengurangan dampak buruk pada
Penasun dirancang sebagai intervensi berkesinambungan yang
mengikuti tahapan perkembangan HIV-AIDS. Komponen-komponen
sebelumnya lebih menekankan pada upaya pencegahan. Komponen ini
sebagai upaya diagnosis untuk menentukan status keterpaparan
terhadap infeksi HIV dan hepatitis, sehingga bisa menjadi landasan
untuk rencana pengobatan dan perawatan bagi mereka yang terpapar
dan upaya pengurangan risiko bagi yang belum terinfeksi. Upaya
diagnosis status kesehatan pada Penasun mencakup:
a. Konseling dan Tes HIV
Layanan ini merupakan pintu masuk layanan kesehatan lanjutan
terkait HIV-AIDS dengan tahapan sebagai berikut:
1) Sesi konseling pra tes untuk memberikan informasi yang
lengkap dan tepat sesuai kebutuhan klien, termasuk :
a) Pemahaman tentang HIV-AIDS, cara penularan dan
pencegahan, pengobatan dengan terapi (ARV) maupun
pengobatan infeksi oportunistik termasuk TB, Hepatitis dan
IMS.

17
b) Manfaat melakukan tes HIV.
c) Persetujuan melakukan pemeriksaan HIV melalui
penandatanganan informed consent oleh klien.
2) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status sero HIV
klien.
3) Sesi konseling pasca tes untuk memberikan intervensi psikis
dan informasi layanan lanjutan sesuai kebutuhan, membantu
klien melakukan perencanaan ke depan terkait hasil tes
termasuk perubahan perilaku berisiko tinggi menjadi perilaku
berisiko rendah.
b. Pencegahan, Diagnosis dan Terapi untuk Hepatitis
Penggunaan Napza suntik beserta perilaku berisiko yang
menyertainya berdampak pada tingginya risiko infeksi yang
menular lewat darah. Selain HIV, virus Hepatitis juga dapat
menular lewat kontak langsung dengan darah orang yang telah
terinfeksi sebelumnya. Virus Hepatitis terdiri dari berbagai jenis,
namun yang paling sering terjadi sebagai dampak buruk dari
penggunaan peralatan suntik adalah Hepatitis B dan Hepatitis C.
Hingga saat ini belum ada vaksin pencegahan untuk Hepatitis C.

2.4 Strategi Edukasi dan Komunikasi Penasun


Sejumlah survei dan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar Penasun
aktif berhubungan seksual dengan pasangan tetap, pasangan tidak tetap atau
pasangan komersial. Dengan pola perilaku seks yang berisiko, perilaku
penggunaan Napza suntik dan tingkat prevalensi HIV yang tinggi pada Penasun
mengakibatkan penularan melalui hubungan seks ke pasangan seksualnya menjadi
sangat mungkin. Upaya mempromosikan perilaku seks yang aman dibagi menjadi
3 yaitu:
1) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang diarahkan khusus
kepada Penasun dan pasangan seksualnya,
2) Promosi kondom untuk Penasun dan pasangan seksualnya, dan
3) Pencegahan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS).

18
2.4.1 Komunikasi, Informasi dan Edukasi pada Penasun dan pasangan
seksualnya
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan bagian dari
kegiatan penjangkauan. KIE dikembangkan untuk menyediakan informasi
mengenai HIV dan AIDS dan penyedia layanan terkait, pengurangan dampak
buruk Napza suntik, risiko penularan HIV (penggunaan bersama peralatan
menyuntik dan hubungan seksual), kesehatan reproduksi dan isu lain yang
berhubungan dengan permasalahan kesehatan Penasun. Media KIE dapat berupa
media massa elektronik, media cetak yang mudah diakses atau dibagikan pada
Penasun di tempat-tempat mereka berkumpul.
Prinsip-Prinsip Pelaksanaan
a) Keterlibatan Penasun dalam proses pembuatan dan pengembangan
media informasi sangat penting.
b) Kesinambungan penyampaian informasi penting untuk memastikan
tingkat pengetahuan Penasun dan pasangannya. Media informasi
yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan pesan pencegahan
antara lain:
1) Kampanye informasi terarah, yaitu kampanye untuk menjangkau
Penasun yang rentan secara praktis termasuk cara memanfaatkan
layanan-layanan perawatan. Metode ini dapat dilakukan dengan
tahapan:
 Penjajakan situasi lokal untuk mengidentifikasi:
- Sikap, pengetahuan, dan perilaku berisiko
- Media informasi yang akan digunakan
- Sumber daya lokal
 Hasil penjajakan digunakan sebagai dasar pengembangan
materi tentang strategi-strategi pengurangan risiko infeksi
HIV.
2) Diskusi interaktif kelompok Penasun
Diskusi dua arah merupakan metode yang efektif untuk
menyampaikan pesan maupun informasi, terutama bila dilakukan

19
secara informal dan akrab. Pemberian informasi di dalamnya
mengacu kepada situasi keseharian yang dihadapi oleh Penasun.

2.4.2 Promosi Kondom Untuk Penasun dan Pasangan Seksualnya


Sejumlah penelitian di Indonesia telah menunjukkan bahwa sebagian besar
Penasun laki-laki secara seksual aktif berhubungan seks dengan pasangan seksual
tetap atau tidak tetap. Salah satu cara yang diketahui efektif untuk melakukan
pencegahan penularan HIV bagi mereka yang telah aktif secara seksual adalah
melalui penggunaan kondom yang konsisten. Penggunaan kondom secara
konsisten ini sangat didorong bagi Penasun yang telah diketahui HIV positif agar
tidak menularkan HIV kepada pasangan seksualnya.
2.4.3 Pencegahan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pencegahan penularan IMS dilakukan melalui pemberian informasi yang
lengkap dan tepat mengenai kesehatan reproduksi dan seksual, penularan dan cara
penanganan IMS, manfaat kondom sebagai alat pencegahan, promosi serta
rujukan ke layanan pengobatan IMS

2.5 Kebutuhan Program Kelompok Dukungan Sebaya dalam Program


Pencegahan Penasun
2.5.1 Peran Dukungan Sebaya terhadap Mutu Hidup Odha
Kelompok dukungan sebaya (KDS) adalah suatu kelompok di mana dua
atau lebih orang yang terinfeksi atau terpengaruh langsung oleh HIV berkumpul
dan saling mendukung. Anggota KDS adalah orang dengan HIV/AIDS (Odha)
dan orang yang hidup dengan Odha (Ohidha), atau gabungan dari Odha dan
Ohidha. Awalnya suatu kelompok dapat berupa gabungan Odha dengan latar
belakang yang berbeda dan adanya kebutuhan untuk membuat kelompok yang
lebih spesifik, seperti kelompok khusus Odha saja, atau dengan latar belakang
tertentu (Waria, IDU, Perempuan, dll), atau gabungan Odha dan Ohidha.
Kelompok Penggagas adalah kelompok atau wadah pengambil dan
pelaksana inisiatif atau gagasan untuk mencapai mutu hidup Odha dan Ohidha
yang lebih baik dengan cara melayani pembentukan, penguatan, dan
pengembangan KDS sesuai prinsip kesetaraan. Inisiatif pembentukan KP dimulai

20
pada saat jumlah anggota dan kebutuhan sudah tidak dapat dipenuhi secara
menyeluruh oleh KDS. Kelompok Penggagas berperan mengoordinasi,
mengakomodir aspirasi dan kebutuhan dari KDS-KDS yang dilayani,
menumbuhkan kesadaran kritis, mengayomi, dan membimbing KDS-KDS dengan
menjunjung nilai kesetaraan serta sebagai pelaku advokasi dengan melibatkan
KDS dalam proses.
Fungsi Kelompok Penggagas untuk mencegah/mengantisipasi terjadinya
konflik antar KDS, memberikan dukungan kepada KDS, memberikan kesempatan
kepada KDS untuk dapat tumbuh bersama secara sehat, memastikan pemakaian
dana yang diberikan KP untuk digunakan semestinya, dan menjadi wadah dan
saluran informasi untuk semua KDS yang dilayani.
Peran dari Dukungan sebaya adalah untuk mencapai mutu hidup yang
lebih baik bagi Odha dan Ohidha. Peran Dukungan sebaya tersebut antara lain :
a. Membantu Odha dan Ohidha agar tidak merasa sendiri dalam
menghadapi masalah.
b. Menyediakan kesempatan untuk bertemu orang lain dan berteman.
c. Menolong menjadi lebih percaya diri dan merasa kuat.
d. Berfungsi sebagai wadah untuk melakukan kegiatan.
e. Mempertemukan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda,
serta menambah saling pengertian dan toleransi.
f. Saling membantu berbagi sumber daya, ide, dan informasi, misalnya
tentang pengobatan terbaru atau layanan dukungan setempat.
g. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keadaan yang dihadapi
anggota kelompok dengan memberi wajah yang manusiawi pada
Odha.
h. Memberi suara yang lebih kuat untuk melakukan perubahan
(advokasi).
Selain peran di atas, dukungan sebaya juga memiliki peran dalam
mengurangi dampak sosial ekonomi HIV dan AIDS pada Odha dan keluarganya.
Program mitigasi dampak diberikan kepada mereka yang kurang beruntung yang
membutuhkan dukungan. Penyediaan kesempatan pendidikan, pelayanan
kesehatan, gizi, dan akses pada bantuan ekonomi merupakan komponen utama

21
program ini untuk orang terinfeksi HIV yang kurang beruntung dan yang
terdampak AIDS, anak yatim, orang tua tunggal, dan janda, untuk mendapatkan
akses dukungan peningkatan pendapatan, pelatihan keterampilan, dan program
pendidikan peningkatan kualitas hidup. Hal ini dilakukan melalui kerja sama
antara Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, dan dukungan
sebaya. Kriteria penentuan kebutuhan mitigasi perlu dikembangkan untuk
mengidentifikasi program yang tepat bagi mereka yang memerlukan (lingkup,
dana, lama dan sasaran).
Keefektivitasan dukungan sebaya diyakini berasal dari berbagai proses
psikososial seperti yang dijelaskan oleh Mark Salzer pada tahun 2002, yaitu
dukungan sosial, pengetahuan pengalaman, teori pembelajaran sosial, teori
perbandingan sosial, dan prinsip menolong sebagai bagian dari terapi.
a. Dukungan sosial adalah adanya interaksi psikososial yang positif
dengan orang lain dimana terjadi saling percaya dan perhatian.
Hubungan positif berkontribusi terhadap penyesuaian positif dan
penyangga terhadap stres dan kesulitan dengan menawarkan dukungan
emosional (kepercayaan diri, kedekatan, dan kepastian), dukungan
instrumental (barang dan jasa), dan dukungan informasi (saran,
bimbingan, dan umpan balik).
b. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman adalah informasi spesifik
dan perspektif dari seseorang melalui pengalaman hidup tertentu
seperti penyalahgunaan zat, kecacatan fisik, penyakit kronis dan
mental, atau kejadian yang menyebabkan trauma seperi perang,
bencana alam, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau
penahanan di penjara. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman
cenderung unik dan pragmatik dan ketika dibagi dengan orang lain
dalam membantu menyelesaikan masalah dan meningkatkan mutu
hidup.
c. Teori belajar sosial mengandalkan kesebayaan, karena mereka telah
mengalami dan bertahan dari suatu kejadian yang relevan. Teman
sebaya adalah model yang lebih kredibel bagi orang lain. Interaksi

22
dengan rekan sebaya yang berhasil mengatasi atau mengalami penyakit
cenderung menyebabkan perubahan perilaku yang positif.
d. Perbandingan sosial berarti bahwa seseorang lebih nyaman
berinteraksi dengan orang lain yang membagi karakteristik yang umum
dengan diri mereka, seperti penyakit mental, untuk membangun
perasaan bahwa mereka normal. Dengan berinteraksi dengan orang
lain yang dirasa lebih baik dari mereka, rekan sebaya memberikan
perasaan optimis dan memberikan tujuan hidup.
e. Prinsip menolong sebagai bagian dari terapi mengusulkan bahwa ada
empat manfaat yang signifikan kepada mereka yang memberikan
dukungan sebaya yaitu:
1) Peningkatan rasa kompetensi interpersonal sebagai hasil dari
membuat dampak pada kehidupan orang lain,
2) Mengembangkan rasa kesetaraan karena memberi dan menerima
antara dirinya sendiri dan orang lain,
3) Rekan sebaya yang membantu mendapat pengetahuan personal
yang baru sementara membantu rekan sebaya, dan
4) Orang yang menolong menerima persetujuan sosial dari orang
yang mereka bantu

23
2.6 Pemulihan Adikasi Berbasis Masyarakat (PABM) dan Layanan
Kesehatan Dasar
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) adalah program yang telah
dirumuskan oleh pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
yang dibentuk atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia No 75 Tahun
2006, sebagai pelaksana program Harm Reduction (pengurangan dampak buruk).
Dari sekian banyaknya landasan hukum yang telah dirumuskan oleh Pemerintah,
maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah serius menanggapi permasalahan yang
terjadi dimasyarakat hingga saat ini, mengingat semakin tingginya jumlah korban
Narkotika dari tahun ke tahun dibandingkan dengan terbatasnya panti-panti
rehabilitasi, baik yang dikelola oleh pemerintah atau swasta, menuntut kita untuk
menciptakan berbagai alternatif terapi dan rehabilitasi.
PABM adalah salah satu bentuk kepedulian masyarakat dalam upaya
melaksanakan Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang telah
dikeluarkan atas dasar hukum. Dengan adanya Program PABM ini, diharapkan
dapat menjadi pilihan alternatif bagi para penyalahgunaan NAPZA yang ingin
pulih dari ketergantungannya terhadap narkotika, dan sebagai sarana untuk
memperbaiki diri melalui pendekatan kelompok dan religi, agar fungsi sosial
mereka dapat kembali seperti sediakala, mengingat masalah dan kebutuhan
mereka yang berbeda.

24
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) yang dilaksanakan di
rumah-rumah rehabilitasi sosial milik organisasi Komunitas Penasun dan Layanan
Alat Suntik Steril (LASS) yang tersedia di Puskesmas dan Satelit milik LSM
pelasana program terkait. Sesuai Permenkes nomor 55 tahun 2015 tentang
Program Pengurangan Dampak Buruk Napza Suntik, maka LASS akan diperkuat
dengan layanan konseling Perubahan Perilaku Penasun dan dukungan program
psikososial. Sedangkan PABM membutuhkan penguatan konsep layanan yang
komprehensif dan sistem Monitoring dan evaluasi.
PABM memberi perhatian khusus pada strategi rehabilitasi sosial dan medis
terkait masalah adiksi, penapisan dampak buruk pada kualitas kesehatan,
perawatan, dan dukungan pengobatan terhadap penyakit komorbiditas. Saat ini
semua program Yankes bidang pengurangan dampak buruk Napza suntik
berlangsung di 18 provinsi dan 68 kab/kota di bawah supervisi langsung KPA
Provinsi/Kab/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota dengan pelibatan
peran pemantauan lintas sektoral.

25
BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Pemakaian alat suntik secara bergantian sangat umum terjadi di kalangan
penasun. Jika salah satunya terinfeksi HIV, dia dapat menularkan virus ini kepada
siapapun yang memakai peralatan suntik bergantian bersamanya.  Penggunaan
alat bergantian juga menularkan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan penyakit
lain. Darah yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan
bersama dengan narkoba saat pengguna berikutnya memakai semprit tersebut. Ini
adalah cara termudah untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi
langsung dimasukkan pada aliran darah orang lain.

Harm reduction merupakan suatu strategi praktis yang bertujuan untuk


mengurangi konsekuensi negatip dari penyalahgunaan  Narkoba, termasuk di
dalamnya suatu spektrum strategi dari penggunaan yang lebih aman, menuju
penggunaan yang diatur, hingga abstinensia. Prinsip utama dalam harm
reduction adalah pengurangan dampak buruk, yang paling utama adalah HIV,
Hepatitis B & C, dan over dosis. Dampak buruk lain seperti gangguan medis dan
psikis, terlibat dalam tindak kriminal dan anti sosial, timbulnya biaya sosial dan
biaya ekonomi penyalahunaan Narkoba.Tujuan harm reduction itu sendiri adalah
mempertahankan hidup dan produktifitas penasun hingga mereka bisa melakukan
pemulihan atau keluar dari penyalahgunaan Narkoba serta melindungi masyarakat
dari penularan HIV melalui cara-cara seksual atau vertikal (ibu ke anak).

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini,pembaca dapat memahami bagaimana upaya
pencegahan HIV dan AIDS pada penasun, sehingga kita bisa terhindar dari HIV
dan AIDS.

26
DAFTAR PUSTAKA

Amalia Eka Cahyani, dkk. 2015. Gambaran Perilaku Berisiko HIV pada Pengguna Napza
Suntik di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 10(1)
Inggariwatia; Sudarto Ronoatmodjob. 2018. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi
HIV pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013–2014. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia : Jakarta
Sumini, Suharyo hadisaputro, Anies, Budi Laksono,Muchlis AU Sofro.2017 Faktor Risiko
yang Berpengaruh terhadap Kejadian HIV/AIDS pada Pengguna Napza Suntik. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas : Semarang
http://www.integrasi-edukasi.org/lowongan-staf-asistensi-teknis-program-di-komisi-
penanggulangan-aids-nasional/
http://spiritia.or.id/cdn/files/dokumen/laporan-penelitian-peran-dukungan-
sebaya_5c34c1090765a.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai