Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MATAKULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

“KONSEP DAN MANAJEMEN HIV/AIDS”

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Dosen Pembimbing :

Ns.Frana Adrianur, S. Kep., M. Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2019

i
TUGAS MATAKULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

“KONSEP DAN MANAJEMEN HIV/AIDS”

Disusun Oleh :

Andi rahmawan

Endro susilowati

Yusma ahadiah
Sutarto

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Atas rahmat dan hidayahnya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, Shalawat serta salam
semoga selalu terhaturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW,
Para Keluarga,Sahabatnya dan para pengikutnya yang tetap istiqamah hingga
akhir Zaman. Dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen-Dosen
yang telah memberi kami Masukan dan arahan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan


HIV/AIDS yang tak lain adalah sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah
tersebut.

Penulis mengharapkan adanya saran dan masukan dari pembaca demi


kesempurnaan Makalah ini bila dalam makalah ini terjadi kesalahan yang tidak
diketahui oleh penulis. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca baik itu sebagai acuan maupun sebagai masukkan dan juga semoga
makalah ini dapat bermanfaat pula bagi penulis.

balikpapan, 03 september 2019

Kelompok

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan....................................................................................................3
C. Sistematika Penulisan.............................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
TINJAUAN TEORI...........................................................................................................4
A. Konsep Dasar Penyakit..........................................................................................4
B. Peran Perawat dalam Penanggulangan HIV/AIDS...............................................11
C. Manajemen Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS............................................12
BAB IV............................................................................................................................23
PENUTUP.......................................................................................................................23
A. Kesimpulan..........................................................................................................23
B. Saran....................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus HIV/AIDS masih menjadi perhatian dunia dikarenakan angka
kejadian kasus yang terus meningkat. Pada tahun 2015, Indonesia
menduduki peringkat kedua yang diestimasikan sebagai penyumbang
ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) terbanyak di Asia Tenggara setelah
India (60%) yaitu sebesar 20% (WHO, 2016). Indonesia mengalami
kenaikan kejadian insiden HIV menjadi 41.250 orang pada tahun 2016
yang sebelumnya yaitu sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen PP
dan PL Kemenkes RI, 2014).
Tingginya kasus HIV memerlukan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV. Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS adalah masih tingginya stigma terhadap
orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Bentuk stigma diantaranya tidak
bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual oleh ODHA, tidak
membolehkan anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau
menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan menolak untuk
tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. Stigma
berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang mempercayai
bahwa penyakit HIV merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak
dapat diterima masyarakat yang tergambar dalam pandangan negatif
sebagai akibat dari perasaan takut berlebihan jika berada dekat dengan
ODHA(Shaluhiyah, Musthofa, and Widjanarko 2015).
Munculnya stigma dapat disebabkan karena kurangnya keterlibatan
masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS seperti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS. Akibatnya,
banyak masyarakat yang kurang mendapatkan informasi yang tepat
mengenai HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme penularan HIV/AIDS.

1
Perilaku diskriminatif pada ODHA tidak hanya melanggar hak asasi
manusia, melainkan juga sama sekali tidak membantu upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS (Wati et al. 2017).
Adanya stigma pada ODHA akan mengakibatkan berbagai dampak
seperti isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dalam
berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia
kerja, dan layanan kesehatan. Tingginya penolakan masyarakat dan
lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan
sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan status (Maman et
al. 2009).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stigma pada
ODHA di masyarakat. Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan mengenai HIV/AIDS merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya pengurangan stigma. Orang yang memiliki
pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan
pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan
stigma terhadap ODHA (Shaluhiyah dkk, 2015) Selain pengetahuan yang
kurang, pengalaman atau sikap negatif terhadap penularan HIV dianggap
sebagai faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma. Pendapat
tentang penyakit AIDS merupakan penyakit kutukan akibat perilaku
amoral juga sangat mempengaruhi orang bersikap dan berperilaku
terhadap ODHA (Daromis, 2011).
Hal tersebut didukung oleh Situmeang, dkk (2017) bahwa prevalensi
remaja yang mempunyai stigma terhadap ODHA sebesar 71,63%,
prevalensi remaja yang memiliki pengetahuan kurang tentang HIV/AIDS
sebesar 49,10%. Pengetahuan yang kurang tentang HIV 1,210 kali lebih
berisiko mempunyai stigma terhadap ODHA dibandingkan dengan
pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS. Akan tetapi, berbeda dengan
hasil penelitian Badawi (2015) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS

2
dengan stigma masyarakat pada ODHA di Kecamatan Dewantara
Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian Shaluhiyah, dkk (2015) juga menyimpulkan faktor yang
mempengaruhi stigma terhadap ODHA di Kabupaten Grobogan adalah
sikap keluarga terhadap ODHA dan persepsi responden terhadap ODHA.
Keluarga dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan
empat kali lebih besar memberikan stigma terhadap ODHA, sedangkan
responden dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan
dua kali lebih besar dalam memberikan stigma terhadap ODHA. Hal itu
juga didukung olehpenelitian yang dilakukan Li Li (2007) bahwa terdapat
hubungan antara sikap prasangka pribadi dengan stigma terkait HIV dalam
pengaturan pelayanan kesehatan di Cina.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui peran perawat dalam penanggulangan HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui manajemen pelayanan penanggulangan HIV/AIDS

C. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan sistematika
sebagai berikut:
BAB I - PENDAHULUAN:Memuat latar belakang penulisan, tujuan
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II - TINJAUAN TEORI: Mencakup konsep dasar penyakit yang
terdiri dari pengertian, penyebab, manifestasi klinis, web of caution (woc),
pemeriksaan penunjang dan komplikasi. Juga memuat tentang peran
perawat dalam penanggulangan HIV/AIDS dan manajemen pelayanan
penanggulangan HIV/AIDS
BAB III - PENUTUP: Mencakup kesimpulan dan saran

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
AIDS singkatan dari Acquired Immuno Defeciency Syndrome.
Acquiredberarti diperoleh, karena orang hanya menderita bila
terinfeksi HIV dari orang lain yang sudah terinfeksi, Immuno berarti
sistem kekebalan tubuh, Defeciency berarti kekurangan yang
menyebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh dan Syndromeberarti
kumpulan gejala atau tanda yang sering muncul bersama tetapi
mungkin disebabkan oleh satu penyakit atau mungkin juga tidak yang
sebelum penyebabnya infeksi HIV ditemukan. Jadi, AIDS adalah
kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan system kekebalan
tubuh yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV(Gallant. J, 2010).
Orang dengan HIV dan AIDS yang sering disingkat ODHA
adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV dan AIDS. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. HIV memiliki sifat retrovirus yang berarti
virus yang dapat menggunakan sel tubuhnya sendiri untuk
memproduksi kembali dirinya(Kemenkes RI,2014).

2. Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yaitu suatu virus yang
masuk ke dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang
organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini juga
bisa dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen
di dalam darah, dan penularan masa perinatal (Bararah & Jauhar,
2013),

4
Penyebab AIDS adalah golongan retrovirus RNA yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sel target virus ini terutama
sel limfosit karena mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut
Cluster of Differentiation Four (CD4). Virus HIV hidup dalam darah,
saliva, semen, air mata dan mudah mati di luar tubuh. HIV dapat juga
ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel gelia jaringan otak.
Walau sudah jelas dikatakan HIV sebagai penyakit AIDS, asal usul
virus ini masih belum diketahui secara pasti. Virus ini sebelumnya
dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Badan
kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) kemudian
memberikan nama HIV sesuai dengan hasil penemuan International
Committee on Toxonomy of Viruses pada tahun 1986 (Kadiandagho,
2015).
HIV yang dahulu disebut Human T Limfotrofic Virus-III(HTLV-
III) atau Lymphadenopathy Associated Virus(LAV), adalah suatu
retrovirus manusia sitopatik dari famili Lentivirus. Retrovirus
mengubah Ribonukleat Acid(RNA) menjadi Deoksiribonukleat Acid
(DNA) setelah masuk ke dalam sel. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus
sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh
dunia. (Sylvia, 2005).

3. Tanda dan Gejala


Penyakit ini disertai kumpulan gejala (syndrome) antaralain gejala
infeksi dan penyakit oportunistik yang timbul akibatmenurunnya daya
tahan tubuh penderita. Menurunnya kekebalanmenjadikan penderita
rentan terhadap infeksi oportunistikdimana infeksi mikroorganisme
yang dalam keadaan normalbersifat apatogen. Pada penderita AIDS
mikroorganisme yangbersifat apatogen dapat menjadi patogen
(Kadiandagho, 2015).
Adapun yang termasuk gejala mayor yaitu:
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

5
2) Diare kronik berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan Neorologis
5) Demensia atau HIV ensepalopati
Gejala minor :
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisata yang gatal
3) Adanya Herpes Zoster Multisegmental dan atau berulang
4) Kandidiasis orofariengeas15
5) Herpes Simpleks kronik progresif
6) Limfadenopati Generalisata (pembesaran kelenjar getahbening)
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin.

4. Web Of Caution (WOC)


Terlampir
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan
gejala klinis melalui 4 fase:
a. Fase1 :Terinfeksi HIV
Rentangwaktusejak virus HIV
masukkedalamtubuhsampaiantiboditerhadap HIV
menjadipositifdisebut window period. Lama window period antara
15 harisampai 6 bulan. Dalamfaseiniumumnyaseseorang yang
telahterinfeksi HIV masihtampak dan merasasehat-sehatsaja,
tanpamenunjukkangejalaapapunbahwaiasudahtertular HIV
akantetapi orang ini juga sudahmenularkan HIV pada orang lain
(Katiandagho, 2015).
b. Fase2 :Gejala-gejalamulaiterlihat
Dalamfaseiniumumnyagejala-gejalamulainampak,
sepertihilangnyaseleramakan, gangguan pada ronggamulut dan
tenggorokan, diare, pembengkakankelenjar, bercak-bercakdikulit,
demamsertakeringatberlebihan di

6
malamharitetapigejaladiatasbelumdapat di
jadikanpatokanbahwaituadalah AIDS, karenaitumasihgejala-
gejalaumum  danharus di periksakankedokteruntukhasil yang
lebihspesifik (Katiandagho, 2015).

c. Fase3 :Penyakit AIDS


Dalamfaseini HIV benar-benarmenimbulkan AIDS.
Sistemkekebalantubuhsemakinmenurunsehinggatidakadalagiperla
wananterhadappenyakit yang menyerangtermasukkanker dan
infeksi. Perwujudanpenyakit yang
menyerangtubuhseseorangtergantung pada virus, bakteri,
jamuratau  protozoa yang menyebabkaninfeksi, sehingga orang
tersebutakanmenderitapenyakit yang parah (Katiandagho, 2015).
d. Fase4 :PenderitaMeninggalkarena salah satuPenyakit
Sebagaimana yang
telahkitapahamibahwatanpasistemkekebalantubuh yang
baiksulitbagiseseoranguntukmempertahankanhidupnyadariseranga
npenyakit. Seseorangbisabertahanhidupterhadapberbagaipenyakit
pada tahapan AIDS, tetapihanyaberlangsungselama 1-2
tahaunsaja, selanjutnyapenderitaakanmeninggal dunia
karenapenyaktataukomplikasi daribeberapapenyakit yang iaderita
(Nurarif& Kusuma, 2015).

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Serologis
1) Tes antibody serum: Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan Enzim Linked Immuno Sorbent Assay(ELISA).
2) Tes blot western: Mengonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit:Penurunanjumlah total
4) Sel T4 helper:Indikator system imun

7
5) T8 (sel supresor sitopatik): Rasio terbalik (2 : 1) atau lebih
besar dari sel suppressor pada sel helper (T8 ke T4)
mengindikasikan supresi imun
6) P24 (Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus
(HIV): Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi
progresi infeksi
7) Kadar Ig: Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal
atau mendekati normal
8) Reaksi rantai polimerase: Mendeteksi DNA virus dalam jumlah
sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
9) Tes PHS:Pembungkushepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif
b. Budaya
Histologis, pemeriksaansitologis urine, darah, feces, cairan
spina, luka, sputum, dan sekresi,
untukmengidentifikasiadanyainfeksi:parasit, protozoa, jamur,
bakteri, viral.
c. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
d. Tes lainnya
1) Sinar X Dada: Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial
dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
2) Tes Fungsi Pulmonal: Deteksi awal pneumonia interstisial
3) Skan Gallium: Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan
bentuk pneumonia lainnya
4) Biopsis: Diagnosa lain dari sarcoma kaposi
5) Brankoskopi/ pencucian trakeobronkial: Dilakukan dengan
biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru.

8
6. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV
oral, ginggivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus
(HIV), leukoplakia oral, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat.
b. Neurologik
1) Kompleks dimensia AIDS, karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
2) Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/
ensefalitis. Dengan efek sakit kepala, malaise, demam, paralise,
total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi
sistemik, dan maranik endokarditis.
4) Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora
normal, limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.

9
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus,
virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek
nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan
dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi skunder
dan sepsis.
f. Sensorik
1) Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek
kebutaan.
2) Pendengaran: Otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.

10
B. Peran Perawat dalam Penanggulangan HIV/AIDS
1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver )
Pada peran ini dapat dilakukan perawat dengan
mempertahankan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutukhan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan mengunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar
bisa direncakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan
tingkat kebutuhan manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan dari hal ini
yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
2. Peran sebagai advokat (pembela pasien)
Peran perawat sebagai advokat pada pasien HIV/AIDS yaitu
dapat melakukan perawatan dalam membantu pasien, keluarga dalam
menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi ha
katas pelayananyang sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan
hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
Dalamsebuahpenelitiandidapatkanhasilbahwaanggapanpersepsi
negatif dan diskriminasiitusendiriternyataterjadi di tenagakesehatan,
didalampenelian yang dilakukan di Belgiatersebut di
katakanbahwaterjaditindakanpembiaran,
menundatindakanbahkanmenolaknya. Hal inimenunjukkanbahwa
stigma negatifdapatmemudarkan mental pelayankesehatan(Arrey et al.
2017).
Dalampenelian lain yang dilakukan di Kenya
dikarenakanadanyapersepsinegatifternyataberdampak pada
penurunanpenghasilandalamkeluarga yang mengalami HIV.
Namundalampenelitianini di

11
dapatkansebuahsolusiuntukmengatasimasalahekonomitersebut, antara
lain adalahdenganmenjalanusahamikrofinansial.
Dimanausahamikrofinansialinidapatmeningkatkanpendapatandarikelua
rgatersebutsebesar 16-22 persen(Ngala 2017).
3. Peran sebagai educator (pendidik)
Peran perawat sebagai educator pada pasien HIV/AIDS yaitu,
perawat membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan pengetahuan yang
diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari kllien setelah
dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Peran sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari : dokter, ahli gizi, farmasi, dan lainnya
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan selanjutnya.
5. Peran perawat sebagai konsultan (penasihat)
Dalam peran ini, perawat sebagai tempat konsutasi terhadap
masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran
ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan
pelayanan keperawatan yang diberikan.

C. Manajemen Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS


1. Ruang Lingkup Pelayanan
a. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat
dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV AIDS
berkelanjutan. Pelayanan VCT berkualitas bukan hanya membuat
orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun juga efektif
dalam pencegahan terhadap HIV. Layanan VCT dapat digunakan

12
untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi
tentang pencegahan HIV AIDS.

b. Care, Support and Treatment (CST)


Layanan perawatan yang tersedia meliputi konseling dan tes
HIV untuk tujuan screening dan diagnostik. Antiretroviral therapy
merupakan komitmen jangka panjang dan kepatuhan terapi adalah
hal yang paling penting dalam menekan replikasi HIV dan
menghindari terjadinya resistensi. Pasien dianjurkan untuk
melakukan konseling antiretroviral (ARV). Konseling ini yang
terpenting adalah factor adheren atau kepatuhan untuk minum obat.
Isi dari konseling ini tentang minum obat tepat awaktu, tepat dosis
dan tepat penggunaan obat. Pasien diajarkan membuat pengingat
untuk minum obat misalnya alamdi telpon selluler. Pasien yang
terbuka kepada keluarga tentang statusnya, maka keluarga yang
menjadi pendamping minum obat (PMO) untuk mendukung
kepatuhan minum obat.
c. Infeksi Menular Seksual (IMS)
Tatalaksana IMS di klinik kulit dan kelamin, pengobatan
paliatif, akses kepada obat-obat HIV termasuk obat untuk infeksi
opportunistic, antiretroviral, intervensi terhadap Prevention Of
Mother To Child HIV Transmission (PMTCT) yang fokus di klinik
kebidanan dan anak, dukungan gizi, serta mengurangi stigma dan
diskriminassi dengan mangadakan sosialisasi dan training tentang
pelayanan HIV/AIDS kepada petugas kesehatan.
Pemilihan obat untul IMS harus sesuai dengan pedoman
penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Kemenkes RI tentang
kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu
angka kesembuhan yang tinggi, harga murah, toksisitas dan
toleransi yang masih dapat diterima, diberikan dosis tunggal, cara

13
pemberian peroral dan tidak merupakan kontra indikasi pada ibu
hamil atau ibu menyusui.

d. Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)


Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan tersedia
untuk klien yang berusia produktif, mempunyai istri atau suami.
Dalamsebuahpenelitianterdapatsebuahkejadian yang
unikdimanapenelitianinidilakukan pada pencangkokan organ liver
pada anak yang non-HIV dariibu yang positif HIV, daripenelianitu
di dapatkanbahwatidakterdapattanda HIV pada
penemeriksaansetelahpencangkokantersebut,
walauhalinimenunjukkanbahwasanyatidakterjadipernyebaran HIV
melaluipencangkokan organ tersebut, namunhalinimasihharus di
awasi dan di lakukanpenelitianlebihlanjut(Botha et al. 2018).

2. Batasan Operasional
a. Pelayanan VCT
1) Penerimaan klien
2) Konseling pra testing HIV AIDS
3) Konseling Pra testing HIV AIDS dalam keadaan khusus
b. Informed consent
c. Testing HIV dalam VCT

3. Landasan Hukum
a. Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular
b. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

14
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002
tentang pedoman penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit
Menular Seksual
d. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/SK/XII/2009
tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit
TB dan HIV.
e. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tenagh Nomor 5 Tahun 2009
tentang Penangggulangan HIV dan AIDS.

4. Tata Laksana Pelayanan


a. Konseling Pre testing
1) Penerimaan klien :
a) Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama,
sehingga nama tidak ditanyakan
b) Pastikan klien tepat waktu dan tidak menunggu
c) Buat catatan rekam medic klien dan pastikan setiap klien
mempunyai kodenya sendiri

Kartu periksa konseling dan testing dengan nomor kode dan


ditulis oleh konselor. Tanggung jawab klien dalam konselor:

a. Bersama konselor mendiskusikan hal-hal terkait tentang


HIV AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan
pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau
positif
b. Sesudah melaksanakan konseling lanjutan diharapkan
dapat melindungi diri dan keluarganya dari penyebaran
infeksi
c. Untuk klien yang dengan HIV positif memberitahu
pasangan atau keluarganya akan status dirinya dan rencana
kehidupan lebih lanjut

15
2) Konseling Pre testing
a) Periksa ulang nomor kode dalam formulir
b) Perkenalan dan arahan
c) Menciptakan kepercayaan klien pada konselor, sehingga
terjalin hubungan baik dan terbina saling memahami
d) Alasan kunjungan
e) Penilaian resiko agar klien mengetahui factor resikodan
menyiapkan diri untuk pre test
f) Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau
tidak terinfeksi
g) Konselor membuat keseimbangan antara pemberian
informasi, penilaian resiko dan merespon kebutuhan emosi
klien
h) Konselor VCT membuat penilaian system dukungan
i) Klien memberikan persetujuan tertulis sebelum tes HIV
dilakukan

b. Informed consent
1) Semua klien sebelum menjalani tes HIV harus memberikan
persetujuan tertulis
Aspek penting dalam persetujuan tertulis adalah :
a) Klien diberi penjelasan tentang resiko dan dampak sebagai
akibat tindakan dan klien menyetujuinya
b) Klien mempunyai kemampuan mengerti/memahami dan
menyatakan persetujuannya
c) Klien tidak dalam terpaksa memberikan persetujuannya

16
d) Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan
karena keterbatasan dalam memahami, maka konselor
berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi

2) Informed consent pada anak


Bahwa anak memiliki keterbatasan kemampuan berfikir
dan menimbang ketika dihadapkan dengan HIV AIDS. Jika
mungkin anak didorong untuk menyertakan orang tua atau
wali, namun apabila anak tidak menghendaki, maka layanan
VCT disesuaikan dengan kemaampuan anak untuk menerima
dan memproses serta memahami informasi hasil testing HIV
AIDS. Dalam melakukan testing HIV pada anak dibutuhkan
persetujuan orang tua / wali.

3) Batasan umur untuk persetujuan


Anak berumur dibawah 12 tahun orang tua / wali yang
menandatanganiinformed consent, jika tak mempunyai orang
tua / wali maka kepala institusi, kepalapuskesmas, kepala
rumah sakit, kepala klinik atau siapa yang bertanggungjawab
atasdiri anak harus menandatangani informed consent. Jika
anak dibawah umur 12tahun memerlukan testing HIV maka
orangtua atau wali harus mendampingi secarapenuh

4) Persetujuan orang tua untuk anak


Orang tua dapat memberikan persetujuan konseling dan
testing HIV AIDSuntuk anaknya. Namun sebelum meminta
persetujuan, konselor melakukanpenilaian akan situasi anak,
apakah melakukan tes HIV lebih baik atau tidak. Jikaorang tua
bersikeras ingin mengetahui status anak, maka konselor
melakukankonseling dahulu dan apakan orang tua akan

17
menempatkan pengetahuan atan statusHIV anak untuk
kebaikan atau merugikan anak. Jika konselor ragu maka
bimbinglahanak untuk didampingi tenaga ahli. Anak senantiasa
dibeitahu betapa penting hadirnya seseorang yang bermakna
dalam kehidupannua untuk mengetahui kesehatandirinya.

c. Testing HIV dalam VCT


Prinsip testing HIV adalah terjaga kerahasiaannya. Testing
dimaksudkan untukmenegakkan diagnose. Penggunaan testing
cepat (rapid testing) memungkinkan klienmendapatkan hasil
testing pada hari yang sama.Tujuan testing adalah :
1) Untuk menegakkan diagnosis
2) Pengamanan darah donor (skrining)
3) Untuk surveilans
4) Untuk penelitian

Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas,


hindariterjadinya kesalahan baik teknis (technical error), manusia
(human error) dan administratif (administrative error).

Bagi pengambil sampel darah harus memperhatikan hal-hal


berikut:

1) Sebelum testing dilakukan harus didahului dengan konseling


dan informed consent
2) Hasil testing diverifikasi oleh dokter patologi klinis
3) Hasil diberikan dalam amplop tertutup
4) Dalam laporan pemeriksaan ditulis kode register
5) Jangan memberi tanda menyolok terhadap hasil positif atau
negatif
6) Meski sampel berasal dari sarana kesehatan yang berbeda tetap
dipastikan telahmendapat konseling dan menandatangani
informed consent

18
d. Konseling pasca testing
Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing:
1) Periksa ulang seluruh hasil klien dalam rekam medic. Lakukan
sebelum bertemu klien
2) Sampaikan kepada klien secara tatap muka
3) Berhati-hati memanggil klien dari ruang tunggu
4) Seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil tes
dengan cara verbalmaupun non verbal di ruang tunggu
5) Hasil test harus tertulis

Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing


1) Penerimaan klien
- Memanggil klien dengan kode register
- Pastikan klien hadir tepat waktu dan usahakan tidak
menunggu
- Ingat akan semua kunci utama dalam penyampaian hasil
testing
2) Pedoman penyampaian hasil negative
- Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
- Gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks yang aman
- Kembali periksa reaksi emosi yang ada
- Buat rencana tindak lanjut
3) Pedoman penyampaian hasil positif
- Perhatikan komunikasi non verbal saat klien memasuki
ruang konseling
- Pastikan klien siap menerima hasil
- Tekankan kerahasiaan
- Lakukan penyampaian secara jelas dan langsung
- Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang
hasil

19
- Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil
- Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
- Ventilasikan emosi klien
4) Konfidensialitas
Penjelasan secara rinci pada saat konseling pretes dan
persetujuan dituliskandan dicantumkan dalam catatan medic.
Berbagi konfidensialitas adalah rahasiadiperluas kepada orang
lain, terlebih dahulu dibicarakan kepada klien. Orang lainyang
dimaksud adalah anggota keluarga, orang yang dicintai, orang
yang merawat,teman yang dipercaya atau rujukan pelayanan
lainnya ke pelayanan medik dankeselamatan klien. Selain itu
juga disampaikan jika dibutuhkan untuk kepentinganhukum.
5) VCT dan etik pemberitahuan kepada pasangan
Dalam konteks HIV AIDS, WHO mendorong
pengungkapan status HIV AIDS.Pengungkapan bersifat
sukarela, menghargai otonomi dan martabat individu
yangterinfeksi, pertahankan kerahasiaan sejauh mungkin
menuju kepada hasil yang lebihmenguntungkan individu,
pasangan seksual dan keluarga, membawa keterbukaanlebih
besar kepada masyarakat tentang HIV AIDS dan memenuhi
etik sehinggamemaksimalkan hubungan baik antara mereka
yang terinfeksi dan tidak.
6) Isu-isu gender
Gender adalah sama pentingnya dengan memusatkan
perhatian terhadappenggunaan kondom, dengan konsistensi
tetap bertahan menggunakan kondom merupakan bentuk
perubahan perilaku.

e. Pelayanan Dukungan Berkelanjutan


1) Konseling Lanjutan

20
Salah satu layanan yang ditawarkankepada klien adalah
konseling lanjutansebagai bagian layanan VCT apapun hasil
testing yang diterima klien. Namun karenapersepsi klien
berbeda-beda terhadap hasil testing maka konseling lanjutan
iniseebagai pilihan jika dibutuhkan klien untuk menyesuaikan
diri dengan status HIV
2) Kelompok Dukungan VCT
Layanan ini dapat ditempat layanan klinik VCT dan di
Masyarakat. Konseloratau kelompok ODHA akan membantu
klien baik dengan hasil positif maupunnegative untuk
bergabung dalam kelompok ini. Kelompok ini dapat diikuti
olehpasangan dan keluarga.
3) Pelayanan Penanganan Manajemen Kasus
Tahapan dalam manajemen kasus, adalah identifikasi,
penilaian kebutuuhanpengembangan rencana tidak individu,
rujukan sesuai kebutuhan dan tepat sertakoordinasi tindak
lanjut.
4) Perawatan dan Dukungan
Setelah diagnosis ditegakkan dengan HIV positif maka
klien dirujuk denganpertimbangan akan kebutuhan rawatan dan
dukungan. Kesempatan ini digunakanklien dan klinisi untuk
menyusun rencana dan jadwal pertemuan konselingselanjutnya
dimana membutuhkan tindakan medic lebih lanjut, seperti
terapiprofilaksis dan akses ke ART.
5) Layanan Psikiatrik
Banyak pengguna Zat psikoaktif saat menerima hasil
positif testing HIV,meskipun dudah dipersiapkan terlebih
dahulu, klien dapat mengalami goncanganyang berat, seperti
depresi, panic, kecemasan yang hebat, agresif bahkan bunuh
diri.Bila terjadi hal demikian maka perlu dirujuk ke fasilitas
layanan psikiatrik.

21
6) Konseling Kepatuhan Berobat
Dibutuhkan waktu untuk memberikan edukasi dan
persiapan gunameningkatkan kepatuha sebelum dimulai terapi
ARV. Sekali dimulai harus dilakukanmonitoring terus menerus
yang dinilai oleh dokter, jumlah obat dan divalidasidengan
daftar pertanyaan kepada pasien.konseling ini membantu klien
mencari jalankeluar dari kesulitan yang mungkin timbul dari
pemberian terapi dan mempengaruhikepatuhan.
7) Rujukan
Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan
antara masyarakatdan rujukan yang sesuai dengan
kebutuhannya serta memastikan rujukan darimasyarakat ke
pusat VCT.
Sistem rujukan dan alur :
a) Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan.
Jika dokter mencurigai seseorang menderita HIV, maka
doktermerekomendasikan klien dirujuk ke konselor yang
ada di RS
b) Rujukan antar sarana kesehatan
c) Rujukan klien dari sarana kesehatan ke sarana kesehatan
lainnya
Rujukan ini dilakukan secara timbale balik dan berulang
sesuai dengankebutuhan klien.
d) Rujukan klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana
kesehatan rujukan. Darisarana kesehatan lainnya kesarana
kesehatan dapat berupa rujukan medic klien,rujukan
specimen, rujukan tindakan medic lanjut atau spesialistik.

22
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal
dengan istilah AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya
kelainan yang kompleks dalam sistem pertahanan selular tubuh dan
menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme
oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini merupakan penyakit
kelamin, yang pada mulanya dialami oleh kelompok kaum homoseksual.
AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat.
Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan
oleh komunitas kaum homoseksual.

B. Saran
1. Saran Bagi Institusi/Pemerintah
Melalui hak yang dimiliki oleh pemerintah untuk membuat
kebijakan, agar sekiranya dapat menyentuh kepada seluruh lapisan
masyarakat sehingga dalam penerapan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah mudah dilaksanakan dan dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat. Pemerintah bersama jajarannya selalu sigap dalam
menangani masalah HIV/AIDS sehingga penularannya dapat dicegah
sehingga tidak banyak jatuh korban yang berujung kepada kematian.
Pemerintah bisa menjadi tauladan bagi masyarakat sehingga perilaku
yang berisiko HIV/AIDS dapat dicegah. Selain itu agar kiranya
pemerintah selalu memperhatikan alokasi dana dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan terhadap penderita HIV/AIDS.

23
2. Saran Bagi Mahasiswa Perawat
Mahasiswa keperawatan mengikuti organisasi keagamaan yang
ada, karena merupakan potensi untuk sosialisasi dan promosi tentang
pencegahan HIV/AIDS. Selain itu mahasiswa membiasakan perilaku
yang dapat mencegah terinfeksi HIV/AIDS, baik saat di klinik maupun
dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa menambah wawasan terbaru
mengenai perkembangan penularan HIV/AIDS, agar dapat secara
kontinyu memahami pencegahan HIV/AIDS, dan upaya promotif
melalui organisasi-organisasi kemahasiswaan mengenai
penanggulangan HIV/AIDS karena dengan demikian akan menambah
wawasan tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS di masyarakat
dan menghindari terjadinya stigma dan diskriminasi pada orang
dengan HIV/AIDS (ORHA)

3. Saran Bagi Masyarakat


Kegiatan pengabdian perawat kepada masyarakat seperti
penyuluhan kesehatan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS
perlu dilakukan secara kontinyu terutama oleh pihak atau dinas yang
terkait karena melihat masih rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS. Selain
bentuk penyuluhan, perlu juga dikembangkan program HIV/AIDS
yang melibatkan pihak sekolah atau kampus, puskesmas, pemerintah,
kecamatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Katiandagho, Desmon, 2015, Epidemiologi HIV-AIDS, In Media, Bogor.

Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama. Buku Pegangan Paliatif Care HIV-AIDS.

Prince, Sylvia dan Lorraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Volume 1. Jakarta: EGC.

Seymour Jane. 2004. Paliative Care Nursing. New York: Two Pen Plaza.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC.

Sudoyo AW, dkk. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Pusat
Penerbitan.

Weller, Barbara. 2005. Kamus Saku Perawat. Jakarata: EGC

Yuswana, TA. 2004. Perawatan Penderita Terminal. Surabaya: Psychiatry


Update.

Arrey, Agnes Ebotabe, Johan Bilsen, Patrick Lacor, and Reginald Deschepper.
2017. “P E R C E P T I O N S OF S T I G MA AN D DISCRIMINATION
IN HEALTH CARE SETTINGS TOWARDS SUB-SAHARAN AFRI C AN
M I GR AN T W OM E N LI V IN G W I T H H I V / A ID S I N B E L G
IU M : A QU A L I T A T IV E STUDY.” 578–96.

Botha, Jean et al. 2018. “Living Donor Liver Transplant from an HIV-Positive
Mother to Her HIV-Negative Child : Opening up New Therapeutic Options.”
0(July):13–19.

Ngala, Consolata Oloo. 2017. “Microfinance and Income Levels of AIDS

25
Affected Households : A Quasi-Experimental Survey.” (January).

Shaluhiyah, Zahroh, Syamsulhuda Budi Musthofa, and Bagoes Widjanarko. 2015.


“Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan HIV / AIDS Public Stigma to
People Living with HIV / AIDS.” (3):333–39.

Wati, Novi Sulistia, Kusyogo Cahyo, Ratih Indraswari, and Fakultas Kesehatan.
2017. “PENGARUH PERAN WARGA PEDULI AIDS TERHADAP
PERILAKU PENGARUH PERAN WARGA PEDULI AIDS TERHADAP
PERILAKU DISKRIMINATIF PADA ODHA.” 5(April):198–205.

26

Anda mungkin juga menyukai