Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

PERAN DOKTER PADA KASUS


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK FK UNIVERSITAS JEMBER I

DOKTER MUDA ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL

(Periode 1 Oktober – 10 November 2018)

Pembimbing:
dr. H. Edi Suyanto, Sp. F, SH, MH. Kes

DEPARTEMEN/INSTALASI ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL (IKF-ML) RSUD dr. SOETOMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Peran Dokter pada Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
telah disetujui dan disahkan oleh Departemen / Instalasi Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FK Unair RSUD dr. Soetomo Surabaya, pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat : Departemen / Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
Unair RSUD dr. Soetomo Surabaya
Penyusun : DM Universitas Jember Kelompok I
(Periode 1 Oktober – 10 November 2018)
1. Asis Fitriana (132011101005)
2. Davina Amalia (122011101042)
3. Muhammad Nur Arifin (122011101023)
4. Anindhita Dyah Sekartaji (132011101086)
5. Andyn Robioleny S. (132011101040)
6. Erdito Muro Suryono (122011101030)

Surabaya, Oktober 2018

Koordinator Pendidikan Pembimbing

dr. Nily Sulistyorini, Sp.F dr. H. Edi Suyanto, Sp. F, SH, MH. Kes
NIP. 198204152009122002 NIP. 196104011990031002

i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam melaksanakan tugas dan profesinya seorang dokter sering kali


dimintai bantuan oleh kepolisian untuk melaksanakan pemeriksaan dan perawatan
korban tindak pidana. Bermacam-macam tindak pidana terhadap manusia yang
tentunya dilakukan juga oleh manusia, jadi dalam hal ini manusia sebagai pelaku
dan korban, dan tidak menutup kemungkinan korban tersebut adalah pasien kita.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No: 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pada tanggal 22
September 2004 yang merupakan hukum publik yang memuat ancaman penjara
atau denda bagi yang melanggarnya maka masyarakat khususnya kepala rumah
tangga terutama kaum lelaki sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam
rumah tangga, demikian juga seorang dokter yang juga disebabkan tugas dan
profesinya harus menangani korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kasus KDRT menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Usaha
penghapusan KDRT mengalami berbagai rintangan, dari segi budaya terutama di
Indonesia karena kejadian KDRT merupakan urusan intern rumah tangga dan
memalukan jika diketahui orang banyak dan KDRT tidak dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga perlu ditutup rapat-rapat.
Data Komisi Nasional Perempuan menunjukan bahwa pada awal tahun
2004 menunjukan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan berbasis
gender yang menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus yang
dilaporkan ke lembaga pengadaan layanan tersebut. Pada tahun 2002 angka itu
meningkat menjadi 5.163 kasus dan tahun 2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan
tahun 2006, catatan dari Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
Kamala Chandrakirana menunjukan kekerasan terhadap perempuan (KTP)
sepanjang tahun 2006 mencapai 22.512 kasus, dan kasus terbanyak adalah
kekerasan rumah tangga sebanyak 16.709 kasus atau 76%.
Negara wajib memberikan (how to respect) perlindungan (how to protect)
dan pemulihan (how to full fill) terhadap hak asasi warganya terutama hak rasa
aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan serta diskriminasi. Pada tanggal 22
september 2004 mengesahkan UU no 23 tahun 2004, undang-undang anti
kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksudkan untuk menyelesaikan,
meminimalisasi, menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang
mengalami kekerasan rumah tangga menurut UU no. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Secara khusus, UU diatas memberikan perlindungan kepada perempuan
yang mayoritas menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Seiring dengan
itu pula, mekanisme hukum untuk menjerat pelaku telah disediakan. Akan tetapi,
tindakan ini tidak cukup. Kenapa demikian kondisinya, jawabannya kembali
kepada kultur atau mind set masyarakat Indonesia yang masih menganggap
permasalahan kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah internal keluarga
sehingga sangat sedikit mereka yang menjadi korban berani bersuara. Korban
kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan untuk melaporkan kejadian yang
menimpa dirinya karena tidak tahu kemana harus mengadu.
Permasalahan lain muncul dalam pembuktian kasus-kasus KDRT, yaitu
adanya keterangan saksi korban sebagai alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 55
UU PKDRT yang berbunyi, “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan
seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.” Akan tetapi
pasal tersebut ternyata dibatasi oleh penjelasan pada Pasal 55, yaitu “Alat bukti
yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami istri
adalah pengakuan terdakwa”. Artinya, dalam UU PKDRT tersebut hanya
mengakui “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti yang sah lainnya, selain
keterangan seorang saksi korban. Hal ini sangat merugikan korban, karena kalau
tidak ada pengakuan terdakwa, kasus tidak bisa dilanjutkan ke persidangan,
padahal jarang sekali terdakwa mau mengakui perbuatannya. Meskipun kasus
KDRT yang dilakukan tidak di depan publik, tetapi dalam pembuktiannya
memungkinkan alat-alat bukti lain seperti yang telah diatur dalam Pasal 184 Ayat
(1) KUHAP. Jaksa yang masih berpegang pada KUHAP seringkali meminta
penyidik melengkapi berkas perkara dengan keterangan saksi lain yang
mengetahui peristiwa KDRT tersebut. Sempat terjadi perdebatan antar aparat
penegak hukum, dalam hal ini penyidik dan jaksa tentang pembuktian kasus.
Karena kasus KDRT biasanya terjadi di ruang privat, sehingga tidak diketahui
oleh orang lain maka sulit bagi penyidik untuk mendapatkan saksi yang
mengetahui kejadian tersebut selain saksi korban. Untuk memenuhi kelengkapan
berkas perkara, penyidik dapat meminta visum et repertum psychiatricum kepada
psikiater dan menghadirkannya sebagai saksi ahli. Berkaitan dengan visum et
repertum tersebut, Abdul Mu’in Idries dalam bukunya Abdul Wahid menyatakan
bahwa korban harus bertindak cepat, khususnya pada korban yang mengalami
kekerasan seksual, maka paling lambat dua hari atau 2 x 24 jam sejak terjadinya
peristiwa tersebut, karena untuk menentukan ada tidaknya sperma dalam tubuh
korban. Apabila dalam kasus KDRT korban mengalami kekerasan fisik seperti
misalnya, penganiayaan, pemukulan dan yang lainnya, maka adanya visum et
repertum yang diberikan oleh dokter dapat banyak membantu dalam hal
pembuktian kasus.
Banyaknya permasalahan dalam UU PKDRT dan praktik pelaksanaannya,
maka referat ini mengangkat tema “Peran Dokter dalam Kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT).”

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari keluarga?
2. Apa definisi dari kekerasan?
3. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
4. Apa saja faktor – faktor pemicu terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga?
5. Bagaimana tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dipandang dari aspek
hukum?
6. Bagaimana peranan Dokter dalam menyikapi korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga?

C. Tujuan
1. Umum
Agar masyarakat secara umum dapat memahami yang termasuk tindak
pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengetahui sanksi pidana
dari tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2. Khusus
1. Mengetahui definisi dari keluarga
2. Mengetahui definisi dari kekerasan
3. Mengetahui penyebab terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah
tangga
4. Mengetahui dampak dari kekerasan dalam rumah tangga
5. Mengetahui aspek hukum dari kekerasan dalam rumah tangga
6. Mengetahui peran dokter pada kasus kekerasan dalam rumah tangga

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi keluarga

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga “kulawarga” yang
berarti “anggota” “kelompok kerabat”. Keluarga adalah lingkungan dimana
beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti
(nuclear family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya.
Menurut UU No. 23 tahun 2004 keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, suami istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus, keatas
atau kebawah sampai dengan derajat ketiga.1

Menurut friedman dan suprajitno, mendefinisikan bahwa keluarga adalah


kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan ketertarikan aturan
dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan
bagian dari keluarga.

B. Definisi kekerasan

Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,
dilakukan secara aktif atau dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh
pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik maupun psikis) yang
tidak dikehendaki oleh korban. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap
perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan dan
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.2

Macam kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan


psikologis:

1. Definisi kekerasan fisik (WHO): tindakan fisik yang dilakukan terhadap


orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual, dan
psikologi. Tindakan ini antara lain berupa memukul, menendang, menampar,
menikam, menembak, mendorong (paksa), menjepit.

2. Definisi kekerasan psikologi (WHO): penggunaan kekuasaan secara sengaja


termasuk memaksa secara fisik terhadap orang lain atau kelompok yang
mengakibatkan fisik, mental, spiritual, moral dan pertumbuhan sosial.
Tindakan kekerasan ini antara lain berupa kekerasan verbal,
memarahi/penghinaan, pelecehan dan ancaman.3

C. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga


UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004
Pasal 1 angka 1 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa1 :

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut UU no 23 tahun 2004 pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi1:

a. Suami istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana
orang yang dimaksud huruf karena hubungan darah, perkawinan (mertua,
menantu, ipar, besan) persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap
dalam rumah tangga; dan atau.
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
Jadi dalam hal ini, pelaku maupun korban adalah orang – orang yang
tinggal dan menetap dalam rumah tangga itu.

D. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud:
1,4

1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan korban meninggal,
sehingga pelaku bisa dituntun dengan KUHP (Kitap Undang – Undang
Hukum Pidana).
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya makian, ancaman
cerai, tidak memberi nafkah, penghinaan, menakut-nakuti, melarang
bergaul/beraktifitas di luar rumah.
3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual menurut pasal 8 UU Ri No 23 Tahun 2004 meliputi:

a. Pemaksaan hunungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang


menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap salah seorang
dalam rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu. Misalkan melacurkan istri.
Penelantaran rumah tangga seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, dan
pemeliharaan terhadap orang tersebut. Misalnya tinggalkan anak dan istri tanpa
memberi nafkah.

E. Faktor - Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya KDRT, yaitu faktor internal dan
eksternal.
1. Faktor Internal Kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT) dapat terjadi
sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota
keluarga di antara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministik dan eksploitatif
terhadap anggota keluarga yang lemah.
2. Faktor Eksternal Kekarasan dalam rumah-tangga (KDRT) muncul sebagai
akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orang-tua atau
kepala keluarga, yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota
keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian hukuman fisik dan
psikis yang traumatik baik kepada anaknya, maupun pasangannya
(Manumpahi, et al., 2016)
Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi akibat beberapa hal
pemicunya, antara lain:

1. Ketergantungan ekonomi
Ketergantungan istri dalam hal ekonomi terhadap suami memaksakan istri
untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa tertekan
bahkan perlakuan keras yang dilakukan kepadanya oleh suami enggan
untuk melaporkan demi kelangsungan hidup dan rumah tangganya.
2. Kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa telah tertanam sedemikian rupa
dalam keluarga dan masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami sehingga
harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memilikinya. Hal
ini menyebabkan suami merasa berkuasa dan bertindak sewenang-wenang
terhadap istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Kekerasan dilakukan biasanya sebagai pelampiasan dari ketersinggungan
dan kekecewaan karena tidak terpenuhinya dan dengan kekerasan tersebut
diharapkan istrinya mau memenuhi keinginannya.
4. Persaingan
Perimbangan antara suami-istri sangat diperlukan baik dalam pendidikan,
pergaulan, pekerjaan dan penghasilan. Kalau suami merasa kalah dalam
hal-hal tersebut akan memicu konflik dalam rumah tangga sementara si
istri tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustrasi
Biasanya terjadi pada pasangan-pasangan yang:
a. Masih muda, belum siap kawin
b. Belum mempunyai penghasilan tetap
c. Masih hidup menumpang pada orang tua

Yang sering terjadi pelampiasannya dengan mabuk-mabukkan, memakai


narkoba atau perbuatan negatif lainnya.

F. Aspek Hukum Dan Ketentuan Pidanan Dalam KDRT

Semakin besarnya peranan lembaga – lembaga sosial dalam menanamkan


kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada
korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang – undangan
di Indonesia. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Terhadap Perempuan, Undang – Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang
memberikan perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga –
lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan terhadap perempuan. Bahkan
dalam rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak
lerlepas dari peran lembaga sosial.

a. UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga


UndangUndang No 23 Tahun 2002 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan
tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan,
perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.
UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan:
 Penghormatan hak asasi manusia
 Keadilan dan kesetaraan gender
 Nondiskriminasi
 Perlindungan korban

UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapuan kekerasan dalam rumah tangga


bertujuan:
 Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
 Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
 Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
 Memelihara keutuhan numah tangga yang harmonis dan sejahtera.4

b. Peraturan Presiden No 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan


lethadap Perempuan
Peraturan Presiden No 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekeraan
terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Komnas
Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No. 181
Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak
berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan. Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip
negara hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi
manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya kekerasan terhadap perempuan.5

Ketentuan pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang
Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai
berikut:4
UU Nomor 23 tahun 2004 pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 tahun
atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipadana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau
denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau kegiatan sehari-harian,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp. 5.000.0000,- (lima juta upiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (sembilan
juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidanakan Penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan Perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam
juta rupiah)

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47


Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- (dua
belas juta rupiah) atau paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

UU Nomor 23 Tahun 2004 pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50


Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku


dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-
hak tertentu dari pelaku,
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.5
G. Alat Bukti dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Pasal 55 menyatakan: “Sebagai salah satu alat
bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti
yang sah lainnya.Penjelasan Pasal 55 menegaskan bahwa: “Alat bukti yang sah
lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami istri adalah
pengakuan terdakwa.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana khususnya
Pasal 184 menyatakan:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Pasal 1 angka 26menyatakan: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”Pasal 1
angka 27menyatakan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dan pengetahuannya itu.”
Wujud ancaman kekerasan ini bisa berupa; ancaman akan ditembak, diancam
akan dibunuh, diancam akan dibacok, diancam akan ditenggelamkan, diancam
akan dibakar dan lain sebagainya. Adanya ancaman kekerasan ini biasanya
dibuktikan oleh adanya saksi yang melihat atau bila korban segera melapor dan
diperiksakan ke ahli/psikiater maka psikiater dapat mendeskripsikan kondisi
psikis korban pada saat peristiwa terjadi. Dalam hal ini ahli atau psikiater akan
lebih mudah mendskripsikan keadaan psikis korban dalam hal setelah kejadian
korban segera melapor atau meminta bantuan.
Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti
yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus untuk mengetahui apakah
suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke
pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan. 10 Pembuktian di
dalam perkara-perkara yang menyangkut kejahatan (tindak pidana) dalam rumah
tangga kadang-kadang sangat sulit, kecuali kalau kejahatan tersebuttelah diketahui
oleh orang banyak, selain anggota rumah tangga tersebut.hal ini dapat terjadi
karena kejahatan-kejahatan tersebut sering ditutup-tutupi oleh korban, maupun
anggota rumah tangga (keluarga) yang lain.
Tindak pidana (kejahatan) dalam rumah tangga, apabila tidak berakibat fatal
terhadap korban, pada umumnya diselesaikan secara kekeluargaan, namun
kadang-kadang juga diselesaikan melalui jalur hukum.Untuk membuktikan
kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, diperlukan adanya sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah. Agar hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP).

Penjelasan Pasal 183 KUHAP menyebutkan, dimana syarat pembuktian menurut


cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusan yang tertera dalam
undang-undang, seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan
pidana kepadanya, apabila :
a) kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti”
b) dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan
“memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Pada tindak pidana yang terjadi dalam rumah tangga, alat bukti yang paling
mudah didapat adalah “keterangan saksi.”Akan tetapi mengenai orang yang
menjadi saksi dalam tindak pidana ini, pada umumnya adalah keluarga, sedarah
atau semenda dalam garis lurus saudara, suami atau isteri.Padahal orang-orang
tersebut menurut Pasal 168 KUHAP, tidak dapat didengar dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi. Walaupun alat bukti saksi sulit didapat, tetapi
Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dapat membuktikan dakwaannya, masih dapat
mencari dan menggunakan alat-alat bukti yang lain. Dalam kasus kekerasan
rumah tangga, untuk memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti, maka korban
sendiri dapat bersaksi dan alat bukti lain, yaitu visum et repertum. 12

H. Peranan Dokter menyikapi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam pasal 21 UU RI No 23 Tahun 2004 disebutkan: 6

1. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepeda korban, tenaga kesehatan


harus:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
b. Membuat lapotan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang
memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti
2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemeriktah daerah atau masyarakat.

Pasal 40 UU RI No 23 Tahun 2004:

1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar


profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Maka jelas di sini bahwa dalam kasus KDRT seorang dokter harus:

a. Memberikan pelayana kesehatan terhadap korban termasuk memeriksa dan


mengobati serta merawat korban baik di rumah sakit ataupun klinik milik swasta
ataupun pribadi.
b. Membuat visum et repertum atas dasar SPVR (Surat Permohonan Visum
et Repertum) dari pihak kepolisian.
c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Untuk membuat Visum et Repertum jika memungkinkan tergantung atau seuai


dengan keahlian/spesialisasinya. Misalkan kekerasan fisik oleh dokter bedah,
kekerasan mata oleh dokter mata, kekerasan psikis oleh psikiater, kekerasan
seksual oleh dokter obstetri dan ginekologi.
Hal ini akan sulit dilakukan di daerah terpencil karena dokter spesialis tidak
banyak sehingga dokter umum pun diperbolehkan melakukannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan
terhadap perempuan karena korban KDRT pada umumnya adalah perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan berarti kekerasan yang melanggar hak asasi
perempuan berarti juga kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Dengan
dikeluarkannya UU PKDRT No.23 Tahun 2004, masalah KDRT tidak lagi
menjadi masalah privat tetapi sudah menjadi masalah publik.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologisdan atau penelantaran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara hukum dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk-bentuk KDRT tidak hanya terbatas pasa kekerasan fisik saja, namun dapat
berupa kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran. Siklus KDRT terbagi menjadi
3 fase dan dapat terjadi berulang-ulang. Aspek hukum terkait dengan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga ini yaitu UU No.23 Tahun2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Sedangkan ketentuan pidana terhadap pelanggara KDRT diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

B. Saran
Setelah mengkaji beberapa aspek tentang kekerasab dalam rumah tangga maka
kami menyarankan:
1. Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga, teman atau melapor ke
LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai apa yang sudah dialaminya.
Korban dapat berceritra dengan pihak yang dianggapnya mampu untuk menjaga
dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi. Bagi masyarakat yang
mengetahui adanya tindakan kekerasan diharapkan dapat membantu. Masyarakat
mengadakan kesepakatan antar warga untuk mengatasi masalah-masalah
kekerasab dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui
penyuluhan warga. Masyarakat dapat membantu korban untuk melaporkan kepada
ketua RT dan polisi.
2. Bagi instansi terkait seperti LSM, LBH, dan Kepolisian
Agar dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban kekerasan. Hal tersebut
diharapkan dapat membantu korban-korban untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang
Perlindungan Anak.

2. POLRI. Buku Pegangan Pusat Pelayanan Terpadu POLRI. Jakarta : 2005.


http://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/index.html

3. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004, Tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

4. Pangemaran Diana Ribka. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam


Keluarga. Hasil Penelitian di Jakarta : Program Studi Kajian Wanita Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. 2008. www.komnasperempuan.com

5. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2005 tentang Penyelenggaran dan


Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.

6. Hariadi A, Hoediyanti, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal,


Edisi 7 Tahun 2011. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai