Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)


KETERKAITAN KONFLIK PEMILIHAN BUPATI DI POSO DENGAN
SARA

Disusun Oleh :

Artanti Aulia B 104118007

Hilman Farellio S 104118015

Nathanael Soarota 104118021

Kevin Candra 104118024

Dayan Aditiya S.W 104118095

Gusti Mahendra 104118119

Riko Hasahatan P 104118139

Rofiah 104218004

FAKULTAS PERENCANAAN INFRASTRUKTUR


UNIVERSITAS
PERTAMINA JAKARTA
2020
UNIVERSITAS PERTAMINA| 2020
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, Makalah Pendidikan Kewarganegaraan yang berjudul „‟ Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Keterkaitan Konflik Pemilihan Bupati di Poso
dengan SARA„‟ dapat diselesaikan tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).
Dalam pengerjaan makalah ini, para penyusun mengucapkan terimakasih sebesar-
besarnya kepada Bapak Dr. Imam Moesta‟in, S.H, MM., selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memaparkan materi pembelajaran mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan dengan baik. Dan tak lupa kami juga ucapkan terimakasih
kepada berbagai pihak yang telah turut serta membantu kelancaran dalam penyusunan
makalah ini.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam
menyusun makalah ini. Oleh karena itu, para penyusun memohon maaf jika terdapat
kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan maupun penyusunan makalah ini.

Jakarta, 28 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1

1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................................1

BAB II TEORI DASAR............................................................................................................2

BAB III STUDI KASUS...........................................................................................................3

3.1 Jalannya Konflik Pemilihan Bupati di Poso......................................................................3

3.2 Dampak Konflik Pemilihan Bupati di Poso......................................................................4

BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................................5

4.1 Persaingan Politik Etis di Poso.........................................................................................5

4.2 Peranan Pemerintah dalam Upaya Penyelesaian Konflik.................................................6

4.3 Hak Asasi Manusia (HAM) yang Dilanggar pada Konflik di Poso.................................7

BAB V PENUTUP.....................................................................................................................9

5.1 Kesimpulan........................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10
UNIVERSITAS PERTAMINA| 2020
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara Kesatuan yang didalamnya memiliki
banyak sekali suku, ras, agama, etnis budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman yang
dimiliki bangsa Indonesia tersebut tak semerta-merta memberikan keindahan dan kebaikan
bagi bangsa ini. Banyak sekali pemahaman yang berbeda dan sedikit menyimpang dari
nilai - nilai Pancasila sehingga hal tersebut berdampak pada adanya beberapa konflik yang
terjadi antar saudara sebangsa. Memang sejatinya sebagai warga negara kita memiliki hak
dan kewajiban yang harus dipertahankan terutama untuk kepentingan bela negara. Sikap
toleransi merupakan suatu hal yang penting yang harus ditanamkan oleh setiap warga
negara Indonesia demi mewujudkan ketentraman di negara ini. Jangan sampai keegoisan
menguasai dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia bagi antar umat manusia.
Selama 75 tahun Indonesia merdeka, dalam perjalanannya kita tahu bahwa terdapat
berbagai macam tantangan berupa konflik antar saudara sebangsa yang bertentangan
dengan nilai Pancasila seperti kasus bom Bali, pembunuhan Munir, kerusuhan 1998, kasus
rasisme terhadap warga Papua di Surabaya, dan masih banyak lagi.
Namun pada kasus kali ini kami akan mengangkat masalah tentang kerusuhan yang
ada di Poso pasca pemilihan Bupati yang di latar belakangi karena perbedaan agama. Pada
kasus ini konflik terjadi dan melibatkan antara umat Islam dan Kristen sehingga
menyebabkan pertumpahan darah. Kasus ini terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama
yaitu mulai dari desember 1998 hingga pertengahan tahun 2000 dan terbagi dalam
beberapa fase konflik. Oleh sebab itu dari kasus ini, hendaknya kita dapat menanamkan
nilai-nilai Pancasia sejak dini, agar kita dapat berkehidupan bermasyarakat dengan damai
dan tentram sesuai dengan aturan maupun pedoman yang sudah terkandung dalam nilai-
nilai Pancasila

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini antara lain :
1. Bagaimana persaingan elit politik di Poso?
2. Bagaimana peranan pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik di Poso?
3. Apa saja hak asasi manusia (HAM) yang dilanggar pada konflik di Poso?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari makalah ini antara lain :
1. Mengetahui bagaimana persaingan elit politik di Poso
2. Mengetahui peranan pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik di Poso
3. Mengetahui apa saja hal asasi manusia (HAM) yang dilanggar pada konflik di Poso
1
UNIVERSITAS PERTAMINA| 2020
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB II TEORI DASAR

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang menjadi pandangan hidup


bangsa, dan sebagai ideologi negara. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila
merupakan kristalisasi nilai - nilai yang diakui dan terdapat tekad untuk
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (Aminullah, 2018). Pancasila sebagai
ideologi negara memiliki ajaran-ajaran yang mengandung nilai-nilai luhur dari budaya
bangsa dan memiliki dasar secara universal yang tidak dapat dirubah oleh perjalanan waktu
(Octavian, 2018).
Nilai - nilai dalam Pancasila memiliki 5 nilai, yaitu ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Kelima nilai tersebut merupakan dasar yang
bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia, yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari dan kehidupan kenegaraan. Berikut makna nilai-nilai pada setiap butir Pancasila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai pada sila pertama yaitu sebagai manusia wajib menjalankan perintahnya dan
menjauhi larangan - Nya. Masyarakat berhak memluk agama dan kepercayaan
masing-masing dan menjalankan ajaran agama masing-masing.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua menjelaskan bahwa sesama manusia memiliki derajat yang sama di
hadapan hukum.
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ketiga yaitu Indonesia adalah satu yang bulat dan tidak dapat terpecahkan.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/perwakilan
Pada sila keempat menjelaskan mengenai demokrasi, kebersamaan dalam mengambil
keputusan dan kejujuran.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima menjelaskan tentang adanya kemakmuran yang merata bagi seluruh
rakyat, dan kekayaan yang digunakan untuk kebahagiaan bersama dan melindungi
yang lemah. (Aminullah, 2018)
Nilai - nilai Pancasila sangat berkaitan dengan masalah hak asasi manusia (HAM),
yang mana sumber hak asasi manusia di Indonesia berasal dari nilai - nilai Pancasila,
sehingga pelaksanaan hak asasi manusia harus memperhatikan ketentuan dalam Pancasila.
Hal ini dikarenakan tidak ada hak yang dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan
hak orang lain. Apabila dalam pelaksanaan hak tidak memerhatikan hak orang lain maka
akan terjadi benturan atau kepentingan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hak asasi manusia di Indonesia diantaranya yaitu, hak asasi pribadi meliputi hak
menyatakan pendapat dan kebebasan memeluk agama, hak asasi ekonomi meliputi hak
membeli, menjual dan memanfaatkannya, hak asasi politik yaitu hak memilih dan dipilih
(Wijayanto, 2018).

2
BAB III STUDI KASUS

3.1 Jalannya Konflik Pemilihan Bupati di Poso


Konflik SARA ini yang terjadi di Poso melibatkan kelompok Muslim dan Kristen,
dan sudah berlangsung tiga kali, awalnya kerusuhan ini terjadi pada bulan Desember 1998,
yang dengan cepat diatasi oleh pihak keamanan setempat yang diikuti dengan komitmen
keduabelah pihak agar konflik ini tidak terulang lagi. Kerusuhan pertama ini terjadi di Poso
kota dan selanjutnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso.
Konflik kedua terjadi April 2000, pada kerusuhan ini ada dua oknum yang diduga
kuat bermain dibelakang kasus ini, yaitu Herman Parimon dan Yahya Patiroyan beragama
Kristen. Keduanya merupalan pemerintah Kabupaten Poso. Tidak lama setelah kerusuhan
terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. Konflik ini masih terus berlanjut
dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001, dan kelima pada November 2001.

Terdapat beberapa pola kerusuan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso
berdasarkan intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap
memperlihatkan perbedaan yang sangant mendasar. Pertama, kerusuhan yang bermula di
Poso kota itu sendiri. Kedua, kerusuhan yang terjadi dipusat kota diikuti dengan mobilitas
masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso. Ketiga, kerusuhan selalu di tandai
dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, bahkan senjata api. Selain
itu bukti mengatakan bahwa pada kerusuhan April 200 diinformasikan 6 korban tewas
disebabkan oleh senjata api. Keempat, kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak.
Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen
dan kemudian menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua bermula dari
perkelahian dua kelompok dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu
dengan latar belakang agama. Urutan kejadian pada kasus ini :
a. Pembunuhan Ahmad Ridwan oleh Roy Runtu Bisalemba didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan Ramadhan.
b. Pengusiran terhadap suku - suku pendatang seperti Bugis, Jawa, dan Gorontalo pada
kerusuhan ketiga.
c. Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslik didaerah pedalaman kabupaten
yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan Gerakan Kristenisasi
secara paksa.
d. Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol - simbol perjuangan
keagamaan kristiani pada kerusuhan ketiga.
e. Pembakaran rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan ketiga.
Pada kerusuhan kesatu dan kedua terjadi aksi saling bakar rumah penduduk antara
pihak Kristen dan Islam.
f. Terjadi pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid dan sarana pendidikan kedua
belah pihak.
g. Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku Flores, Toraja dan
Manado.
h. Adanya pelatihan militer Kristen di desa Kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan
sebelum kerusuhan yang ketiga.
3.2 Dampak Konflik Pemilihan Bupati di Poso
Dampak - dampak yang terjadi pada konflik ini adalah :
1. Dampak Sosial - Budaya
a. Dianutnya kembali budaya “pengayau” oleh masyarakat pedalaman.
b. Dilanggarnya nilai - nilai keagamaan yang dianut kedua belah pihak.
c. Runtuhnya bingkai “suntuwu maroso” yang telah lama dianut masyarakat Poso.
2. Dampak Sosial - Hukum
a. Terjadinya disintegrasi masyarakat Poso kedalam kelompok merah dan
kelompok putih.
b. Hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.
c. Runtuhnya stabilitas keamanan.
d. Adanya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan kepada pelaku.

3. Dampak Sosial - Politik


a. Terhentinya roda pemerintahan
b. Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap kelompok lain.
c. Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok dalam mencapai tujuannya.

4. Dampak Sosial - Ekonomi


a. Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi masyarakat.
b. Meninggalkan tempat asal besar - besaran penduduk muslim Poso.
c. Terhentinya roda perekonomian.
d. Rawan pangan.
e. Peningkatan jumlah pengangguran serta kelangkaan kesempatan kerja.
BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Persaingan Politik Etis di Poso


Pada masa sebelum diterapkannya demokrasi dan desentralisasi di Kabupaten Poso
untuk pembagian kekuasaan Bupati, Sekwilda dan Ketua DPRD Poso diatur oleh
pemerintah pusat, termasuk dalam distribusi kekuasaan berdasarkan agama dan selalu
berimbang (Hasrullah, 2007: 89). Dalam rotasi tersebut dikenal dengan istilah power
sharing yang dilakukan untuk menghormati keragaman agama di Kabupaten Poso. Berikut
tabel jabatan bupati di Poso.
Tabel 4.1 Bupati yang menjabat di Poso periode 1967-2004
Bupati Asal Agama
Drs. Galib Lahasido (1967 - 1973) Islam
Drs. R.P.M Koeswandi (1973 - 1984) Kristen
Soegiono (1984 - 1988) Islam
Drs. J.W. Sarapang (1988 - 1989) Kristen
Arief Patanga (1989 - 1999) Islam
Drs Abdul Muin Pusadan (1999 - 2004) Islam
Sumber: Muin, H. A. (2008: 44)
Pada tabel tersebut terlihat jabatan Bupati di Poso selalu dirotasi berdasarkan dua
agama dominan di Poso yaitu Islam dan Kristen. Rotasi power sharing ini dimulai pada
jabatan bupati periode tahun 1967 - 1973 yang dipegang oleh Galib Lahasido dari
kelompok Islam, kemudian pada masa pemerintahan Presiden Soeharto jabatan bupati
digantikan oleh Koewandi (1973 - 1984) yang diangkat dari kelompok Kristen, setelah
periode jabatan Bupati Koewandi habis maka diganti dari tokoh kelompok Islam yaitu
Bupati Soegiono (1984 - 1988), kemudian pengakatan Bupati berdasarkan rotasi agama di
Poso terjadi begitu seterusnya sampai rotasi power sharing ini berakhir pada periode
Bupati Arief Patanga tahun 1999, yaitu ketika mulai diterapkannya sistem demokrasi dan
desentralisasi di Indonesia. Sistem demokrasi ini telah membawa perubahan ditatanan
pemerintahan Kabupaten Poso karena pada masa demokratisasi ini komposisi penduduk
berdasarkan SARA tidak lagi menjadi formula politik dalam mengatur power sharing, yang
berlaku adalah kelompok siapa yang memiliki banyak massa dan pendukung maka
kelompok itulah yang akan berkuasa. (Winarti dan Puspitasari, 2012: 95).
Ketika jabatan Bupati Arief Patanga pada tahun 1998 akan selesai pada masa
jabatannya. Sejak itu persaingan jabatan bupati berlangsung sangat sengit Pada bulan Juni
1999, Gubernur Sulawesi Tengah H.B. Paliudju mengeluarkan surat pemberhentian Arief
Patanga dari jabatan Bupati Poso dan mengangkat wakil Gubernur Sulawesi Tengah yaitu
Haryono sebagai pejabat sementara, dengan tugas utama mempersiapkan proses pemilihan
Bupati Poso (Surahman, 2007: 186). Setelah itu muncul lah nama - nama kandidat calon
Bupati Poso yang beredar di masyarakat Poso yang masing-masing mewakili kelompok
politik lokal di Poso, antara lain Abdul Malik Syahadap, Abdul Muin Pusadan, Akram
Kamarudin, Mas‟ud Kasim (mewakili kelompok Islam), Damsyik Ladjalani, Eddy F.
Bungkundapu dan Yahya Patiro (mewakili kelompok Kristen). Kemudian dilakukan
penjaringan calon Bupati Poso, dari beberapa nama yang diajukan, tiga lolos seleksi yaitu,
Abdul Muin Pusadan (kelompok Islam), Mas‟ud Kasim (kelompok Islam) dan Eddy
Bungkundapu (kelompok Kristen). Pemilihan Bupati dilangsungkan pada 30 Oktober 1999
dengan menghasilkan terpilihnya Abdul Muin Pusadan (kelompok Islam) sebagai Bupati
Kabupaten Poso dengan memperoleh 16 suara, sementara Mas‟ud Kasim (kelompok
Islam) memperoleh 13 suara dan Eddy Bungkundapu (kelompok Kristen) 10 suara.
Semenjak pemilihan dan pelantikan bupati, situasi di Poso kembali memanas ketika
persoalaan power sharing menjadi tuntutan utama dalam mekanisme pembagian kekuasaan
politik berdasarkan agama di Poso. Saat Bupati terpilih yaitu Abdul Muin Pusadan yang
merupakan dari kelompok Islam, maka elit Kristen menuntut untuk diangkatnya Sekwilda
dari kalangan komunitas Kristen. Namun yang diangkat oleh Bupati Abdul Muin Pusadan
(kelompok Islam), Sekwildanya diangkat dari kelompok Islam. Hal ini membuat elit lokal
tidak puas, khususnya dari elit politik Kristen yang kecewa karena tidak mendapat jatah
kekuasaan (Hasrullah, 2009 : 80). Kelompok Kristen menganggap bahwa birokrasi yang
ada di pemerintahan Poso tidak mencerminkan aspirasi warga Kristen, banyaknya birokrasi
muslim yang berkuasa dipemerintahan dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap
warga Kristen. Sebaliknya kelompok Islam menganggap bahwa komposisi birokrasi yang
ada sudah sangat aspiratif, oleh sebab itu tidak boleh dirubah-rubah (Wahid dan Ihsan,
2004: 188).
Jika aspirasi masyarakat yang terakumulasi diabaikan begitu saja oleh pemerintah
daerah, yakni aspirasi yang menghendaki Drs. Damsyik Ladjalani menjadi Sekwilda Poso,
kondisi kota Poso yang pernah digunjang kerusuhan bernuasa SARA (1998), bakal rusuh
kembali dan akan terjadi kerusuhan yang bernuasa SARA yang lebih besar, bahkan lebih
hal ini telah dikonfirmasikan kepada beberapa tokoh agama dan dikonfirmasikan kepada
beberapa tokoh agama dan masyarakat Poso (dikutip dari Harian Mercusuar, Palu, Edisi
Sabtu 15 April 2000 dalam Damanik, 2003: 23).

4.2 Peranan Pemerintah dalam Upaya Penyelesaian Konflik


Salah satu upaya perdamaian yang paling berarti dan berpengaruh adalah Deklarasi
Damai Malino I pada desember 2001. Upaya damai ini bermula dari inisiatif pendeta A.
Tobondo yang menghubungi Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Susilo
Bambang Yudhoyono), Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat (Jusuf Kalla) dan
Menteri Pertahanan (Abdul Jalil), untuk segera mengupayakan perdamaian di Poso
(Purwanto, 2007: 95). Keinginan tersebut direspon oleh pemerintah pusat melalui Menko
Kesra Jusuf Kalla yang ditunjuk menjadi pemimpin mediator dalam upaya damai di Poso.
Menindak lanjuti keinginan damai, kemudian Yusuf Kalla menginisiasi pertemuan
dimulai pada tanggal 18-20 hari di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang
diikuti oleh 75 peserta, dengan rincian 25 peserta dari kelompok putih (Islam), 25 peserta
dari kelompok merah (Kristen) dan 25 peserta sisanya sebagai mediator diantaranya adalah
Menkokesra Yusuf kalla, Gubernur Sulawesi Selatan HZB Palaguna, Gubernur Sulawesi
Tengah Aminudin Ponulele, Pangdam VII/ Wirabuana yaitu Mayjen Ahmad Yahya dan
Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Zainal Abidin Ishak, kemudian dari peninjau
diantaranya dari perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yaitu Din Syamsudin,
Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) diwakili oleh pendeta Natan Setiabudi, J. Likuada
dari KWI, dari kantor Polkam Mayjen Bambang Sutedjo dan perwakilan dari Mabes TNI
adalah Mayjen Suwisma (Wahid dan Ihsan, 2004: 203).
Hasil pertemuan tersebut akhirnya dihasilkan 10 poin kesepakatan yang dituangkan
dalam Deklarasi Malino I, yang isinya dikutip dari Awaludin (2009, 55- 56) adalah sebagai
berikut :

 Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.


 Menaati semua bentuk dan upaya penegakkan hokum dan mendukung pemberian
sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
 Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
 Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan darurat sipil
serta campur tangan pihak asing.
 Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan
menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi
terciptanya kerukunan hidup bersama.
 Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap
warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tingal secara damai dan
menghormati adat istiadat setempat.
 Semua hak - hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah,
sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
 Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
 Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh.
 Menjalankan syariat agama masingmasing dengan cara dan prinsip saling
menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk
undang-undang maupun peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.

4.3 Hak Asasi Manusia (HAM) yang Dilanggar pada Konflik di Poso
Adapun konflik Poso ini telah melanggar hak asasi manusia yang tertuang dalam
UUD 1945 Pasal 28 A – 28 J, diantaranya adalah sebagai berikut :

 Pasal 28 E ayat (1)


Pada konflik yang terjadi di Poso telah melanggar pasal 28 E ayat 1 yang
berbunyi „‟Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya„‟. Hal ini dibuktikan dari adanya pemaksaan agama Kristen kepada
masyarakat Islam didaerah pedalaman kabupaten Poso terutama di daerah Tentena
dusun III, Salena, Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang memperkuat dugaan
bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang
mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
 Pasal 28 H ayat (1)
Pada konflik yang terjadi di Poso telah melanggar pasal 28 H ayat 1 yang
berbunyi, „‟Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, ….„‟. Hal
ini dibuktikan dari pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, dan
Kasintuvu. Selain itu, pembakaran rumah penduduk muslim oleh kelompok merah
(Kristen) pada kerusuhan ketiga pada bulan Mei – Juni tahun 2000. pembakaran
rumah penduduk antara pihak Kristen dan Islam pada kerusuhan kesatu dan kedua,
serta pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid dan sarana pendidikan kedua
belah pihak.
 Pasal 28 A ayat (1)
Pada konflik yang terjadi di Poso telah melanggar pasal 28 A ayat 1 yang
berbunyi, „‟Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya„‟. Hal
ini dibuktikan dari Pembunuhan Ahmad Ridwan oleh Roy Runtu Bisalemba
didalam Masjid Pesantren Darusalam pada bulan Ramadhan.
 Pasal 28 B ayat (2) dan 28 I ayat (2)
Pada konflik yang terjadi di Poso telah melanggar pasal 28 B ayat 2 yang
berbunyi, „‟…., Hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi„‟ dan pasal
28 I ayat 2 yang berbunyi „‟Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar
apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut„‟.
Kedua hal ini dibuktikan dari pemusnahan dan pengusiran terhadap suku - suku
pendatang seperti Bugis, Jawa, dan Gorontalo pada kerusuhan ketiga.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Konflik Poso sebenarnya adalah konflik realistik yaitu, perebutan kekuasaan politik
antar elit politik lokal di Poso yang kemudian massa dilibatkan dengan identitas agama dan
etnis dengan tujuan untuk memobilisasi massa dalam memperoleh kekuasaan. Ketika
konflik menyentuh ranah agama membuat pertikaian menjadi konflik non realistik
bernuansa SARA dan menjadikan konflik terjadi berkepanjangan. Mudahnya massa
termobilisasi dalam konflik komunal di Poso, dipengaruhi juga oleh permasalahan historis
yang dimanfaatkan oleh elit politik lokal melalui isu berupa kecemburuan sosial - ekonomi
dan sosial - politik antara penduduk pribumi yaitu etnis Pamona, Mori dan Lore (mayoritas
beragama Kristen) yang merasa termarjinalkan terhadap kehadiran dari etnis Jawa, Bugis
dan Makassar (mayoritas beragama Islam).

Upaya perdamaian yang sangat berpengaruh hasilnya dalam menghentikan konflik


Poso adalah setelah turun tangannya pemerintah pusat melalui Menko Kesra Jusuf Kalla
yang ditunjuk menjadi pemimpin mediator dalam upaya damai di Poso.
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah. (2018). Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Jurnal Ilmiah IKIP Mataram, 620-628.

Hasrullah. (2009). Dendam Konflik Poso. Jakarta: Gramedia.

Muin, H. A. (2008). Sumber-sumber Konflik di Poso dan Penanganannya Dalam Konflik


Komunal: Studi Kasus Poso 1998-2007. Tesis Magister pada Program Magister
Studi Pembangunan Alur Studi Pertahanan Sekolah Arsitektur Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan Intitut Teknologi Bandung: tidak diterbitkan. Didapat
dari https://core.ac.uk/download/pdf/267825143.pdf diakses pada tanggal 24
Oktober 2020 pukul 16.18 WIB.

Octavian, W. A. (2018). Urgensi Memahami dan Mengimplementasikan Nilai-nilai

Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari sebagai Sebuah Bangsa. Jurnal Bhineka

Tunggal Ika, Vol 5, No 2, 123-128.

Wahid, A.Y. dan Ihsan, B. (2004). SBY dan Resolusi Konflik: Langkah-langkah
penyelesaian Konflik di Aceh, Atambua, Papua, Poso dan Sampit. Jakarta: Relawan
Bangsa. Didapat dari https://core.ac.uk/download/pdf/267825143.pdf diakses pada
tanggal 24 Oktober 2020 pukul 16.18 WIB
Wijayanto, D. F. (2018). Implementasi Nilai Hak Asasi Manusia dalam Sila Pancasila. Lex

Scientia Law Review, Vol 2, No.2, 227-240.

Winarti, M. dan Puspitasari, R. (2012). “Pelajaran dari Kasus Konflik di Poso Sulawesi
Tengah”, dalam Prosiding International Seminar Social Movement Historical
Perpective. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso
http://beritakawanua.com/berita/Nusantara/kenangan-pahit-desember-1998-kerusuhan-
poso-meletus#sthash.VZgyrjdi.U8cfpkMG.dpbs
https://www.kompasiana.com/fakhira79538/5e2f78e7097f3602e1363f52/mengenang-
konflik-komunal-poso

Anda mungkin juga menyukai