Anda di halaman 1dari 21

STUDI KRITIS LEGISLASI HUKUM ISLAM

DI BIDANG HUKUM PERKAWINAN


MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Legislasi


Hukum Keluarga Islam di Melayu Nusantara I Pada Program
Studi Pascasarjana Hukum Keluarga Islam
IAIN Bone

Oleh:

DESI ARISANTI
NIM. 741302021001

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan syukur atas kehadirat Allah swt., yang senantiasa memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dalam

waktu yang telah direncanakan. Shalawat dan salam tidak lupa penulis

kirimkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw., serta segenap keluarga dan

sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini

dapat terselesaikan tidak terlepas dari berbagai dukungan dan bantuan dari

berbagi pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Dr. Hamzah, S.Sy., M.Sy, selaku dosen mata kuliah Legislasi Hukum

Keluarga Islam di Melayu Nusantara I yang telah memberikan tugas ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, keluarga,

serta teman-teman yang tidak mungkin disebutkan satu persatu atas doa dan

motivasinya dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan di

dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan diterima

dengan senang hati untuk perbaikan lebih lanjut serta mohon maaf apabila

dalam pelaksanaan kegiatan terdapat sikap yang kurang berkenan. Penulis

berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang

membutuhkan.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Watampone, 21 Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Dan Sejarah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan 3

B. UU No. 1 Tahun 1974 Produk Hukum Nasional Dalam

Masyarakat Pluralisme 6
C. Aspek-Aspek Pembaruan Hukum Dalam UU No. 1 Tahun 1974 10

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 16

B. Saran 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

merupakan usaha pemerintah yang wajib dipatuhi untuk menjamin hak dasar

manusia dalam mencapai kebahagiaan di dalam sebuah institusi bernama

keluarga. Keluarga yang diinginkan adalah keluarga sakinah, keluarga

maslahah.1 Perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi atau privat, tetapi

memiliki dimensi sosial kemasyarakatan yang membutuhkan keterlibatan

pemerintah.2 Namun, kehadiran Undang-undang Perkawinan ini masih

mendapatkan komentar kritis dari para ahli, terutama terkait prinsip patriakat

yang masih mendominasi.3

Prinsip patriakat memberi efek baik secara langsung maupun tidak

langsung terhadap pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Pertama, kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu aspek yang perlu

diperhatikan untuk diminimalisir dengan hadirnya Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004. Kedua, fokus pada perlindungan anak, sebagaimana

perkawinan memiliki maqasid syariah sebagai hifzl Nasl (menjaga

keturunan), diberlakukan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 20146. Namun,

Undang-Undang Perkawinan menyatakan dengan istilah pemeliharaan dan

1
Khoiruddin Nasution, “Membangun Keluarga Bahagia (Smart)”, Al-Ahwal 1, No. 1,
2008, h. 16.
2
Khoiruddin Nasution, “Draf Undang-Undang Perkawinan Indonesia: Basis Filosofis
Dan Implikasinya Dalam Butir-Butir UU”, UNISIA 48, No. 2, 2003, h. 41.
3
Khoiruddin Nasution, “Islam Membangun Masyarakat Bilatral Dan Implikasinya
Terhadap Hukum Keluarga Islam Indonesia”, Al-Mawarid 17, No. 1, 2007, h. 100.

1
2

pendidikan anak. Sementara Kompilasi Hukum Islam (KHI)

menuliskan istilah hadhanah.4

Terlepas dari pro dan kontra terhadap isi Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dikarenakan konfigurasi sosial politik

yang terjadi, pemerintah telah dan tetap berusaha melakukan pembaruan

hukum, baik terkait perkawinan, pemberdayaan perempuan, maupun

perlindungan anak. Perspektif yang diperhatikan tidak hanya legal formal,

namun juga aspek sosial, ekonomi, kesehatan, psikologi, budaya,

komunikasi, infomasi dan teknologi dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang dan sejarah UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan?

2. Bagaimana UU No. 1 Tahun 1974 produk hukum nasional dalam

masyarakat pluralisme?

3. Bagaimana aspek-aspek pembaruan hukum dalam UU No. 1

Tahun 1974?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui latar belakang dan sejarah UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

2. Untuk mengetahui UU No. 1 Tahun 1974 produk hukum nasional

dalam masyarakat pluralisme.

3. Untuk mengetahui aspek-aspek pembaruan hukum dalam UU No.

1 Tahun 1974.

4
Khoiruddin Nasution, “Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga Islam
Indonesia”, Al-’Adalah 8, No. 1, 2016, h. 10.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Dan Sejarah UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan merupakan inisiatif pemerintah atau

negara yang bertujuan untuk melakukan unifikasi hukum nasional di bidang

perkawinan. Tanggapan yang muncul dari berbagai pihak bertujuan untuk

menghapus semua pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran

Islam. Umat Islam memberikan reaksi keras, misalnya ormas-ormas Islam,

tokoh-tokoh Islam dan demonstrasi mahasiswa. Materi konflik berangkat

dari substansi hukum yang bertentangan dengan hukum Islam. Di samping

itu, ada dugaan bahwa undang-undang tersebut disusun orang-orang aktivis

agama tertentu dengan sasaran menjalankan misi agama tertentu. Umat

Islam menganggap bahwa kegiatan perkawinan adalah ibadah, sehingga

pemerintahan wajib menjamin pelaksanaan ibadah warga negaranya, sesuai

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Substansi konflik juga bersifat ideologis,

karena ada beberapa pasal dari Undang-Undang Perkawinan itu yang jelas-

jelas menyimpang dari ajaran agama Islam dan karena itu Undang-Undang

Perkawinan yang saat ini masih berlaku perlu dilakukan perubahan karena

sudah tidak sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat Islam. Jalan

keluar dari konflik tersebut adalah kompromi dengan mengeluarkan pasal-

pasal yang bertentangan dengan Islam, namun kewenangan perkawinan

tetap dalam kompetensi peradilan agama. 5

5
Abdul Latif and Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2018, h. 25.

3
4

Secara umum, prinsip pokok dalam hukum Islam adalah, pertama,

meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kedua, memberikan

kemudahan dan menolak kesukaran. Pembaharuan hukum keluarga di

negara Muslim lainnya, terutama Turki dan Mesir, pada masa modern,

memberikan kontribusi pembaharuan di Indonesia. Usaha pembaharuan ini

diawali pada tahun 1960-an, yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 ini. Namun, perlu juga diketahui, bahwa pada awal Indonesia

merdeka sudah ada aturan pencatatan nikah yang hanya berlaku untuk

daerah Pulau Jawa dan Madura yang dikeluarkan pada tahun 1946.

Kemunculan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilatarbelakangi

oleh empat tujuan, yaitu:

1. Membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak,

2. Membatasi poligami,

3. Membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena), dan

4. Membangun persamaan hak untuk suami dan istri. 6

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari 14 Bab dan 67

Pasal sudah mengakomodir kebutuhan dan permasalahan yang terdapat

dalam keluarga. Rincian Bab sebagai berikut:

a Bab I: Dasar Perkawinan

b Bab II: Syarat-Syarat Perkawinan

c Bab III: Pencegahan Perkawinan

d Bab IV: Batalnya Perkawinan

e Bab V: Perjanjian Perkawinan

f Bab VI: Hak dan Kewajiban Suami Istri


6
Khoiruddin Nasution, “Poligamy in Indonesian Islamic Family Law”. Jurnal Syariah 16,
No. 2, 2008, h. 40.
5

g Bab VII: Harta Benda dalam Perkawinan

h Bab VIII: Putusnya Perkawinan dan Akibatnya

i Bab IX: Kedudukan Anak

j Bab X: Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

k Bab XI: Perwalian

l Bab XII: Ketentuan-Ketentuan Lain

m Bab XIII: Ketentuan Peralihan

n Bab XIV: Ketentuan Penutup

Metode penetapan wajib pencatatan perkawinan, pencatatan talaq,

dan pencatatan ruju’ berdasarkan pada takhshish al-qadla, siyasah

syar’iyah, dan qiyas (analogi) terhadap al-Baqarah (2): 282 dan al-Talak

(65): 2. Metode penetapan pembatasan kebolehan poligami pada an-Nisa‘

(4): 3 dan dihubungkandengan an-Nisa‘ (4): 129, dan siyasah syar’iyah.

Metode penetapan batasan umur minimal boleh kawin didasarkan pada

inspirasi pandangan Syaukani, yang mengatakan bahwa kasus perkawinan

‘Aisyah adalah sebagai pengecualian.

Metode penghapusan hak ijbar dalam perkawinan didasarkan pada

pandangan Ibn Shubrumah. Metode keharusan perceraian di Pengadilan

Agama didasarkan pada pandangan Az-Zahiri dan Syiah Imamiyah, yang

menetapkan bahwa perceraian, sama dengan perkawinan, hanya terjadi

dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi. Hal yang penting untuk

diperhatikan, bahwa dalam menetapkan status hukum satu masalah, dalam

kasus-kasus tertentu hanya dengan menggunakan salah satu metode

pembaharuan di atas. Namun, dalam banyak kasus metode yang digunakan

adalah kumpulan dari dua atau lebih metode pembaruan. Variatifnya


6

metode pembaharuan hukum ini berkorelasi positif dengan dinamika

perkembangan hukum keluarga itu sendiri (sustainable).

B. UU Nomor 1 Tahun 1974 Produk Hukum Nasional Dalam Masyarakat

Pluralisme

Sebenarnya yang menjadi plolemik dalam UUP ini adanya redaksi

pasal demi pasal yang memberi kesan membuka kran selebar-lebarnya bagi

warganya untuk memilih pasangannya masing-masing.

Meskipun UU Perkawinan ini telah berlaku selama 41 tahun sejak,

seperti telah disinggung di atas, bukan berarti tidak ada masalah dalam hal

pelaksanaannya. Permasalahan tersebut antara lain adalah tentang

perkawinan beda agama. UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit

tentang perkawinan beda agama. UU perkawinan juga tidak melarang

perkawinan beda agama. Diantara pasal yang menjadi perdebatan adalah:

Pasal 2 UU Perkawinan menyatakan bahwa:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Sah atau tidaknya perkawinan

ditentukan olehhukum agama masing-masing calon mempelai.

Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan

persyaratan formil administratif.7

Menjadi titik point perdebatannya adalah pencatatan yang boleh

dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Bagi beragama Islam, dan

Kantor catatan Sipil bagi diluar agama islam. Sehingga “boleh” menikah
7
Abdul Rahman. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan Perkawinan Beda Agama dan
Implikasinya, Yogyakarta, 2011, h. 45.
7

beda agama asalkan dicatat. Problem perkawinan antar agama di Indonesia

menjadi krusial karena menyentuh persoalan teologis yang memang sangat

sensitif.

Mengutip tulisan Abdurrahman dalam Kompendium Bidang Hukum

Perkawinan, ada beberapa cara yang ditempuh oleh mereka yang akan

melakukan perkawinan beda agama, yaitu:

Pertama; Salah satu dari pasangan mengikuti keyakinan agama

pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya tersebut. Ada

dua bentuk perpindahan keyakinan agama yang dilakukan pasangan untuk

dapat melangsungkan pernikahan dengan pasangannya, yaitu:

1. Perpindahan agama hanya berupa proforma untuk memenuhi

persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan

dicacatkan secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan

tersebut berlangsung yang bersangkutan kembali kepada

keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan aturan

agamanya. Kasus perkawinan beda agama dengan cara seperti ini

banyak terjadi yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap

kehidupan rumah tangga dan keluarga di kemudian hari.

2. Pernikahan yang benar-benar secara tulus melakukan peralihan

keyakinan agamanya dan menjalankan ajarannya untuk

seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan keluarga mereka.

3. Masing-masing pasangan tetap mempertahankan keyakinan

agamanya. Pernikahan dilangsungkan menurut masing-masing

agama, bisa jadi di pagi hari pernikahan berlangsung menurut

keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau sore

harinya melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya.


8

Pernikahan dengan cara seperti ini juga banyak dilaksanakan

dengan konsekuensi masing-masing pasangan yang hidup

bersama dalam perkawinan tersebut tetap menjalankan

keyakinan agama masing-masing.

Tidak adanya pengaturan perkawinan beda agama secara tegas dan

eksplisit dalam Undang-undang Perkawinan termasuk pencatatannya

mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum. Apabila benar-benar

terjadi kasus seperti itu, maka status hukum perkawinan tersebut menjadi

tidak jelas.

Menurut Ichtianto, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disusun berdasarkan Pancasila sebagai cita hukum Nasional,

berlaku bagi seluruh penduduk Indoensia, menggantikan hukum perkawinan

lama.8 Pada bagian lain ia menyatakan bahwa UUP tidak mengandung

unifikasi hukum. Dari segi Ilmu Hukum Pasal 2 ayat (1) UUP melahirkan

hatah antar hukum perkawinan Agama dalam Sistem hukum nasional

Indonesia.

Kemudian hal ini ditegaskan dalam kesimpulan tulisannya Ichtianto

menyatakan bahwa sebagai undang-undang yang dibentuk berdasarkan dan

bercita hukum Pancasila UUP memberikan kekuatan berlaku hukum

perkawinan agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Tidak ada

perkawinan yang dilangsungkan di luar hukum Agama.

Ichtianto sendiri berpendapat bahwa negara Indoensia berkewajiban

mengatur perkawinan campuran sesama warga negara Indonesia yang

hukum perkawinannya berlainan yang telah ditunaikan dengan adanya Bab


8
Ichtianto, Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan UU
Perkawinan, Proyek Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman RI Tahun 1994/1995, h. 1.
9

XII bagian ketiga Perkawinan Campuran dalam UUP yang dibentuk dan

disusun berdasar Pancasila yang terdapat pluralisme di bidang perkawinan

perlu ada norma hukum perkawinan campuran (antara lain perkawinan

campuran antar pemeluk agama yang berbeda) sebagai norma hatah.

Untuk mendukung pendapatnya tersebut Ichtianto mengemukakan

sejumlah alasan sebagai berikut:

1. Negara Pancasila adalah dibentuk dan didirikan oleh rakyat

Indonesia yang menganut berbagai agama.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut

agamanya dan kepercayaan itu (Pasal 29 ayat (2) UUD 1945)

dan mengakui pemelukan agama-agama, sehingga di Indonesia

ada pluralistis agama.

3. Hak asasi beragama adalah hak asasi yang paling asasi.

4. Negara berkewajiban mengatur hubungan hukum rakyat

penduduk Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.

5. Negara Pancasila berkewajiban mengatur hukum perkawinan

antara warga negaranya yang memeluk agama yang sama dan

yang memeluk agama yang berbeda.

6. Indonesia, karena ada pluralistis agama, maka ada pluralistis

hukum perkawinan Pasal 2 ayat (1).9

C. Aspek-Aspek Pembaruan Hukum Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974

9
Ichtianto, Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan UU
Perkawinan, h. 198-200.
10

Peraturan yang ada dalam KHI untuk bidang hukum perkawinan

tidak lagi hanya terbatas pada hukum subtantif saja yang memang

seharusnya menjadi porsi dari kompilasi, akan tetapi sudah cukup banyak

memberikan peraturan tentang masalah prosedural yang seharusnya

termasuk dalam porsi undang-undang perkawinan. Walaupun pada

dasarnya, ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan memiliki kesamaan yang termuat dalam KHI. Adapun

perbedaan (hal-hal baru) yang termuat dalam KHI merupakan sebagai

kemajuan dari pengembangan hukum keluarga di Indonesia.

Sebagai pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam

Undang-Undang Perkawinan, maka KHI tidak boleh lepas dari misi yang

diemban oleh undang-undang tersebut, kendatipun cakupannya hanya

terbatas bagi kepentingan umat Islam, antara lain, kompilasi mutlak harus

mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi

oleh umat Islam.

1. Pencatatan Perkawinan

Pasal 5 KHI menyebutkan “agar terjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.

Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 1954. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa

Indonesia, maka kata harus yang tercantum dalam pasal 5

tersebut bermakna wajib begitu juga dalam hukum Islam.

Dengan demikian menurut KHI, perkawinan yang tidak dicatat

dan dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak


11

mempunyai kekuatan hukum.10 Pasal 5 tersebut dikuatkan pasal

7, yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan

dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Sehingga dapat dikatakan bahwa, pencatatan perkawinan

merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang

melangsungkan perkawinan.

Pencatatan perkawinan yang dimaksudkan dalam KHI harusnya

berkaitan dengan sah tidaknya suatu perkawinan yang

dilaksanakan, karena pencatatan perkawinan tersebut berkaitan

dengan hubungan keperdataan, yakni perkawinan yang tidak

dicatat oleh pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan

hukum menurut hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga

tidak sah perkawinan tersebut menurut hukum Islam. Hal itu

dilakukan agar setiap orang yang berkaitan dengan terjadinya

perkawinan tersebut dapat dijamin hak-haknya menurut

peraturan perundangan-undangan di Indonesia.

2. Talik Talak

Dalam KHI pasal 45 disebutkan bahwa kedua calon mempelai

dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk talik

talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum

Islam. Artinya KHI membenarkan cara lain bagi seorang isteri

untuk dapat bercerai dari suaminya, yaitu melalui institusi talik

talak. Meskipun cara perceraian yang paling umum dilakukan

dalam ikatan perkawinan orang-orang Islam Indonesia adalah

melalui institusi talak. Pembaharuan terhadap hukum keluarga

10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 343.
12

tersebut dilakukan mengingat, merupakan hal yang biasa bagi

suami mengucapkan talik talak pada saat memulai suatu

perkawinan, dimana ia mengajukan syarat bahwa, jika ia

menyakiti isterinya atau tidak menghiraukannya selama jangka

waktu tertentu, maka pengaduan isteri terhadap pengadilan

agama akan menyebabkan isteri tersebut terceraikan.

3. Menikahkan wanita hamil karena zina

KHI juga menganut pembaruan dengan lintas mazhab (intra-

doctrinal reform). Pembaruan model ini dapat diperhatikan pada

ketentuan bolehnya menikahkan wanita hamil karena zina dengan

pria yang menghamilinya (Pasal 53 ayat (1) KHI) dan anak yang

dilahirkannya menjadi anak yang sah. Akibatnya, anak tersebut

memiliki hubungan nasab pada keduanya tanpa harus melihat

terlebih dahulu apakah anak zina yang dikandungnya itu lahir

setelah atau sebelum enam bulan dari hari pernikahannya (Pasal

99 huruf a KHI). Konsekuensi hukumnya, anak yang lahir

tersebut mendapatkan kewarisan dari keduanya dan dari keluarga

keduanya tanpa memperhitungkan apakah ia lahir setelah enam

bulan atau sebelumnya terhitung dari hari pernikahannya.11

Ketentuan tentang status hukum anak zina tanpa

mempertimbangkan kapan kelahirannya yang tertuang dalam

Pasal 99 huruf a KHI ini bersumber dari mazhab Hanafi,

sedangkan umat Islam Indonesia pada umumnya menganut

mazhab Syafi’i. Hal ini menunjukkan adanya pembaruan dengan

11
Saiful Ibad dan Rasito, Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia
(Studi Kasus di Kota Jambi), Kontekstualiata, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 21 No. 1
Juni 2006, h. 101,
13

lintas mazhab. Meskipun ketentuan pasal ini menganut mazhab

Hanafi, para penyusun Kompilasi Hukum Islam tetap

memasukkan dalam pasal KHI. Alasan mereka adalah bahwa

dalam hal ini, pendapat mazhab Hanafi lebih memberikan

kemaslahatan hukum bagi masyarakat muslim Indonesia. Bagi

mereka, berpindah mazhab boleh dilakukan asalkan dalam satu

rangkaian hukum.

4. Persetujuan untuk dilangsungkannya pernikahan

Pembaruan model lintas mazhab (intra-doctrinal reform) juga

terjadi pada ketentuan mengenai keharusan adanya persetujuan

untuk dilangsungkannya pernikahan. Jika ternyata perkawinan itu

tidak didasarkan atas persetujuan kedua mempelai, maka dapat

dibatalkan (Pasal 71 huruf a dan f KHI). Ketentuan dalam pasal

ini tidak membedakan antara wanita yang masih perawan dan

wanita yang sudah janda bagi calon mempelai wanita. Keduanya

dianggap sama dalam aspek hukumnya.12

Para ulama fiqh sepakat bahwa calon mempelai pria tidak dapat

dipaksa untuk menikah dan pernikahannya didasarkan atas

kehendak dan persetujuannya. Akan tetapi, para ulama fiqh

membedakan status hukum bagi calon mempelai wanita antara

yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi mazhab Hanafi,

persetujuan calon mempelai wanita baik yang masih perawan

maupun yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat

dilangsungkannya pernikahan. Bagi mazhab ini, wali tidak

menjadi rukun nikah. Dengan demikian, wali tidak berhak


12
Saiful Ibad dan Rasito, Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia
(Studi Kasus di Kota Jambi), h. 103.
14

memaksa terhadap calon mempelai wanita untuk dinikahkan.

Mazhab Maliki dan Syafi’i membedakan calon mempelai wanita

dewasa antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi

kedua mazhab ini, persetujuan dari calon mempelai wanita

dewasa yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat

dilangsungkan pernikahannya. Sedangkan calon mempelai wanita

dewasa yang masih perawan tidak perlu dimintai persetujuannya

terlebih dahulu. Walinya dapat saja memaksanya untuk

menikahkan dengan pria yang sebanding (kafa’ah) dengannya.

Ketentuan dalam Pasal 71 huruf d dan f KHI ini sejalan dengan

pandangan mazhab Hanafi dan pasal ini meninggalkan pandangan

mazhab utama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu

mazhab syafi’i.

5. Usia minimal yang diperbolehkan kawin.

Pembaruan selanjutnya yang terdapat dalam KHI dapat dilihat

pada ketentuan usia minimal yang diperbolehkan kawin, yaitu 19

tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita (Pasal 15 ayat (1)

KHI) serta kedua calon mempelai yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua masingmasing

karena dianggap belum mandiri secara hukum (Pasal 15 ayat (2)

KHI). Para ulama fiqh tidak menentukan batas usia minimal bagi

sah dan dapat dilangsungkannya perkawinan. Mereka juga tidak

mensyaratkan dewasa (baligh) sebagai syarat sah dan dapat

dilangsungkannya perkawinan. Bahkan, mereka memandang

bahwa nikahnya anak perempuan yang masih kecil dengan anak

laki-laki yang masih kecil adalah sah.


15

Pembatasan umur pernikahan dalam KHI dimaksudkan agar

tujuan dari pernikahan dapat tercapai. Selain itu, hal yang belum

dibahas dalam kitab fiqh klasik adalah ketentuan mengenai status

anak yang lahir dari rahim istrinya, tetapi hasil dari pembuahan di

luar rahim melalui proses inseminasi buatan. (Pasal 99 huruf b

KHI).

6. Harta bersama dalam perkawinan

Pasal 85-97 tidak menyebutkan mengenai proses terjadinya harta

bersama, seperti yang diatur pasal 35 Undang-Undang Nomor1

Tahun 1974. Akan tetapi, pasal 1 huruf f dirinci bahwa harta

kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama

dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut

harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama

siapapun. Harta bersama suami isteri pada dasarnya tidak dikenal,

karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fiqh.

Konsep harta bersama dalam perkawinan meruakan produk

hukum Adat yang tereduksi dari nilai-nilai kearifan lokal sebagai

bentuk keseimbangan hak antara suami isteri dalam kehidupan

perkawinan. Pasal-pasal selanjutnya dari kompilasi memberikan

pengaturan cukup rinci mengenai masalah harta bersama ini, yang

diperoleh selama perkawinan, oleh karenanya, dimiliki secara

bersama oleh keduanya.

7. Talak dan lian

Pembaruan juga dapat dilihat dalam ketentuan mengenai talak dan

li'ān yang dapat diakui jika dinyatakan di depan sidang


16

Pengadilan Agama (Pasal II7 dan 128 KHI). Sebagai

konsekuensinya talak jatuh terhitung sejak dinyatakan di depan

sidang Pengadilan Agama (Pasal 123 KHI). Dengan begitu iddah

talak raj'i terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama

yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 153 ayat (4)

KHI).
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Historisitas (latar belakang dan tujuan) lahirnya Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terlihat dari empat hal, yaitu: (1)

membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak, (2) membatasi

poligami, (3) membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena),

dan (4) membangun persamaan kedudukan suami dan istri.

2. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur

dalam tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, segala tindakan dan

perbuatan yang dilakukan oleh warga negara, termasuk yang

menyangkut urusan perkawinan, harus taat dan tunduk serta tidak

bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan yang ada dalam KHI untuk bidang hukum perkawinan tidak

lagi hanya terbatas pada hukum subtantif saja yang memang seharusnya

menjadi porsi dari kompilasi, akan tetapi sudah cukup banyak

memberikan peraturan tentang masalah prosedural yang seharusnya

termasuk dalam porsi undang-undang perkawinan.

B. Saran

Sebagai penulis, merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan

makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca yang bersifat membangun untuk memperbaiki kesalahan,

kekeliruan dan kekurangan dalam makalah ini., khususnya dari Bapak dosen

yang telah membimbing kami dan para mahasiswa/i demi kesempurnaan

makalah ini, agar kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.

16
Daftar Pustaka

Ali, Abdul Latif and Hasbi. Politik Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2018.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Ichtianto. Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan


UU Perkawinan. Proyek Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI
Tahun 1994/1995.

Nasution, Khoiruddin. “Draf Undang-Undang Perkawinan Indonesia: Basis


Filosofis Dan Implikasinya Dalam Butir-Butir UU”. UNISIA 48. No. 2.
2003.

Nasution, Khoiruddin. “Islam Membangun Masyarakat Bilatral Dan Implikasinya


Terhadap Hukum Keluarga Islam Indonesia”. Al-Mawarid 17. No. 1.
2007.

Nasution, Khoiruddin. “Membangun Keluarga Bahagia (Smart)”. Al-Ahwal 1.


No. 1. 2008.

Nasution, Khoiruddin. “Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga


Islam Indonesia”. Al-’Adalah 8. No. 1. 2016.

Nasution, Khoiruddin. “Poligamy in Indonesian Islamic Family Law”. Jurnal


Syariah 16. No. 2. 2008.

Rahman, Abdul. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan Perkawinan Beda


Agama dan Implikasinya. Yogyakarta. 2011.

Rasito Saiful Ibad. Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia
(Studi Kasus di Kota Jambi). Kontekstualiata. Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan.Vol. 21 No. 1 Juni 2006.

Anda mungkin juga menyukai