Anda di halaman 1dari 22

ASPEK KEMUNDURAN DI MASA ALI HINGGA

MASUKNYA PEMERINTAHAN
BANI UMAYYAH

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah


Pendidikan Islam Klasik Hingga Modern Pada Program
Studi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana
IAIN Bone

Oleh

AZHARI AMIRUDDIN
NIM. 861082021029

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa,

karena atas berkat dan limpahan Rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan

makalah tepat waktu. Berikut ini Penulis mempersembahkan sebuah makalah

yang serba kekurangan setidaknya dapat memberikan manfaat yang besar bagi

kita untuk mempelajari Ilmu tersebut. Dalam penyusunanya penulis

memperoleh banyak Bantuan dari berbagai pihak karena itu penulis

mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada dosen pembimbing.

Dari sinilah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan

sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Melalui

kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon

pemakluman bila mana isi makalah ini terdapat tulisan yang kurang sempurna

dan kurang berkenan di mata pembaca. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir

kata berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca terutama

Penulis.

Watampone, 13 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Faktor Kemunduran Pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib 4

B. Sejarah Singkat Awal Berdirinya Dinasti Bani Umayyah 11

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 18

B. Saran 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara garis besar, Nourouzzaman Shiddiqie membagi sejarah Islam

ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern. 1

Perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad

saw. (571-632 M), periode Khulafa al-Rasyidin (632-661 M), periode

kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah

(750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-

sekarang).

Di antara periodenisasi sejarah tersebut, salah satu babakan sejarah

yang menarik dan unik untuk diketahui adalah kekhalifahan pada masa

dinasti Bani Ummayyah (661-750 M), yaitu dinasti yang berkuasa setelah

berakhir masa Khulafau al-Rasyidin.

Hal tersebut disebabkan atas beberapa alasan, di antaranya; Pertama,

pada masa ini menjadi masa transisi dari sistem kekhalifahan yang dipilih

berdasarkan musyawarah (demokratis) menjadi sistem monarchiheridetis

(kerajaan turun temurun). Kedua, Sebelum terbentuk dinasti ini terlebih

dahulu diawali dengan peristiwa politik antara Ali bin Abi Thalib dengan

Muawiyah bin Abi Sofyan, yang berujung pada persoalan teologi dan

lahirnya sekte-sekte dalam Islam (dari masalah politik ke masalah teologi),

dan Ketiga, dikarenakan sosok Muawiyah bin Abi Sofyan yang

“kontroversial” dalam catatan sejarah. Di satu sisi ia adalah sahabat Nabi

yang berjasa dalam penyebaran Islam, ia dikenal juga sebagai gubernur

1
Nourouzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Yogjakarta: Nur Cahaya, 1983,
h. 65.

1
2

Damaskus yang berhasil pada masa Khulafau al-Rasyidin, tetapi di sisi lain,

tidak sedikit juga yang menilai negatif kepadanya, dikarenakan

perseteruannya dengan Ali bin Abi Thalib pada perang Siffin dan proses

tahkim.

Dalam berbagai literatur sejarah, banyak ditemukan stigma negatif

yang telah melekat dan terbangun terhadap dinasti ini, terutama terhadap

sosok Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai pendiri dan khalifah pertama, juga

terhadap proses berdirinya dinasti ini. Tetapi tidak sedikit juga, ahli sejarah

yang telah berusaha memaparkan dan menggambarkan secara adil dan

proposional serta berimbang mengenai masa kekahalifahan ini. Oleh karena

itu, suka atau tidak suka terhadapnya, dinasti Umayyah adalah dinasti yang

telah ditakdirkan menjadi pelanjut peradaban Islam setelah masa Khulafa al-

Rasyidin. Banyak prestasi yang diraih pada masa pemerintahan dinasti ini,

di antaranya dalam bidang politik, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Itu

sebabnya masa ini termasuk dalam era kejayaan Islam setelah masa Khulafa

al-Rasyidin.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, penulis

buat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana faktor kemunduran pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib?

2. Bagaimana sejarah singkat awal berdirinya dinasti Bani

Umayyah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui perkembangan/kemajuan dan kemunduran

dinasti Ali Ibn Abi Thalib.


3

2. Untuk Mengetahui perkembangan/kemajuan dan kemunduran

dinasti Bani Umayyah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor Kemunduran Pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib

1. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Ibn Abi Thalib

Setelah terjadinya pembunuhan yang menyebabkan Usman Ibn

Affan wafat, penduduk ibukota Madinah al-Munawwarah yang

didukung tiga pasukan dari Mesir, Bashrah, dan Kufah memaksa Ali

menjadi khalifah keempat. Menurut Mahmudunnasir bahwa yang

pertama membai’at Ali menjadi khalifah adalah Abdullah Ibn Saba.

Melihat yang datang hanyalah rakyat biasa, tidak ada para pembesar

yang berpengaruh, Ali berkata “urusan ini bukanlah urusan kalian”, ini

adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Sura

bersama para pejuang perang Badar. Pada mulanya Ali menolak

dibai’at, namun setelah didesak massa dan memikirkan akibat anarki

tanpa pimpinan serta tidak ada sahabat lain yang bersedia menjadi

khalifah. Akhirnya ia menerima dibai’at di masjid Nabawi pada tanggal

25 Dzulhijjah 35 H/24 Juni 656 M dalam suasana yang masih kacau.

Terhadap pengangkatan Ali menjadi khalifah, ada sekelompok

kecil masyarakat yang tidak menerimanya, mereka adalah Bani

Umayyah. Hal ini disebabkan karena adanya dendam masa lalu antara

Bani Umayyah dan Bani Hasim sebelum datangnya Islam,2 dan ketika

Nabi dan sahabat hijrah ke Madinah untuk menyebarkan Islam, banyak

pemuda-pemuda dan keluarga Umayyah yang tewas dalam

peperarangan melawan Islam.

2
Taha Husein, Fitnatul Kubra, Mekah: Darul Maarif, 1964, h. 13.

4
5

2. Keberhasilan yang Dicapai Masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib

Selama menjabat khalifah, tidak banyak yang bisa diperbuat

oleh Ali. Keadaan negara sedang mengalami keterpurukan akibat ulah

pemerintahan Utsman yang dikendalikan kaum kerabatnya sehingga

menghantarkan pada terbunuhnya khalifah ketiga itu. Selain Kufah dan

Madinah yang menginginkan Ali, masyarakat Bashrah menginginkan

Thalhah Ibn Ubaidillah, masyarakat Mekah menginginkan Zubair Ibn

Awwam. Sementara itu, Muawiyah Ibn Abi Sufyan tidak membai’at

Ali dan secara terbuka mengumumkan dirinya sebagai khalifah karena

merasa dirinya lebih berhak dan lebih pantas menggantikan Utsman.

Walaupun begitu, setelah dibai’at menjadi khalifah, Ali Ibn Abi Thalib

segera mengeluarkan beberapa keputusan berkaitan dengan masalah

politik, yaitu:

a Memecat para pejabat yang diangkat Utsman, termasuk di

dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya.

b Mengambil tanah yang telah dibagikan Utsman kepada

keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan yang benar.

c Memberikan tunjangan kepada kaum Muslimin yang diambil

dari Baitul Mal, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar.

Pemberian dilakukan secara merata tanpa membedakan sahabat

yang lebih dahulu masuk Islam dan yang masuk belakangan.

d Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan

kepentingan umat.

e Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai

pusat pemerintahan.
6

Berbagai kebijakannya itu benar dan baik, namun

momentumnya kurang tepat. Banyak di antara pendukung dan kerabat

Ali di antaranya Mughirah Ibn Syu’bah dan Ibn Abbas menasehatinya

supaya beliau menangguhkan tindakan-tindakan radikal itu sampai

situasi stabil. Beliau tidak menghiraukannya karena watak dan

pembawaannya yang tegas dalam bertindak, suka berterus terang, dan

lebih berjiwa militer daripada berjiwa sebagai negarawan. Dia tidak

takut celaan siapa pun pada saat melakukan tugas, menjalankan

kebenaran. Sikap keterusterangan Ali ternyata merupakan kekurangan

sebagai penguasa. Akibat kebijakannya itu, munculah pemberontakan-

pemberontakan yang menguras tenaga dan fikiran Ali. Pemberontakan

yang terpenting ada tiga yaitu tantangan dari Thalhah Ibn Ubaidillah,

Zubair Ibn Awwam, Aisyah janda Rasulullah dalam perang Unta (Harb

al-Jamal); tantangan dari Muawiyah Ibn Abi Sufyan dalam perang

Shiffin; dan tantangan dari kaum Khawarij dalam perang Nahrawan.

3. Perang Unta (Harb al-Jamal)

Ketika pelaksanaan pembai’atan khalifah Ali Ibn Abi Thalib,

Zubair Ibn Awwam dan Thalhan Ibn Ubaidillah mengangkat bai’at

dengan terpaksa. Keduanya mengajukan syarat bahwa khalifah akan

menegakkan keadilan terhadap para pembunuh khalifah Utsman.

Sementara itu, Ibn al-Atsir mengemukakan bahwa Thalhah dan Zubair

ketika membai’at Ali meminta imbalan agar diangkat menjadi gubernur

di Yaman dan Irak. Namun, Ali yang mengetahui karakter mereka,

menolaknya dengan tegas; mereka merasa kecewa kemudian minta izin

kepada khalifah untuk melaksanakan Umrah ke Mekah. Dalam

perjalanan, Thalhah dan Zubair bertemu Aisyah yang telah


7

melaksanakan Umrah di Mekah serta berhasil menghasutnya. Mereka

bertiga lalu mengumpulkan kekuatan di Mekah dan bersatu dengan dua

mantan gubernur masa Utsman dengan membawa harta negara yang

banyak untuk menghadapi Ali menuntut bela darah Utsman.

Selanjutnya mereka menuju Bashrah menghimpun kekuatan dan

sempat menawan gubernur Bashrah yang diangkat Ali yaitu Utsman

Ibn Hanief. Ali masih berusaha menempuh jalan damai, namun atas

pengaruh Abdullah Ibn Zubair yang berambisi menjadi khalifah di

pihak Thalhah cs dan di pihak Ali ada Abdullah Ibn Saba sang munafik

yang memancing perkelahian tanpa seizin Ali maka pertempuran kedua

belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi.

Peperangan sesama kaum muslim yang pertama dalam sejarah

Islam ini menelan korban dari kedua belah pihak sebanyak 10.000 jiwa,

terjadi di Khoraibah dekat Bashrah pada tanggal 10 Jumadil Akhir 35

H/4 Desember 656 M. Peristiwa itu disebut dengan perang Unta (Harb

al-Jamal) atau Battle of Camel karena Ummul Mukminin Aisyah sejak

berangkat dari Mekah sampai ke pertempuran berada dalam sekedup

(al-Hawdaj) yang dipikul unta. Sementara itu, pasukan besar yang

dipimpinnya mengendarai kuda dan unta. Kemenangan berada di pihak

Ali, Thalhah dan Zubair terbunuh dalam peperangan ini dan Aisyah

dipulangkan kembali ke Madinah al-Munawwarah dengan penuh

hormat, diiring oleh pasukan pengawal yang dipimpin saudaranya

sendiri, Muhammad Ibn Abi Bakar.

4. Perang Shiffin

Muawiyah merupakan salah seorang gubernur yang dipecat

khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Kedudukannya sudah kuat di Syria, sejak
8

diangkat gubernur oleh Umar Ibn Khattab dilanjutkan pada masa

Utsman Ibn Affan hingga wafatnya. Beliau tidak mau menyerahkan

jabatannya sebagai gubernur Damaskus, bahkan menuduh Ali terlibat

dalam pembunuhan Utsman, karena salah satu pemuka pemberontak

adalah Muhammad, anak angkat Ali Ibn Abi Thalib.3 Ali tetap

memperlihtakan kesukaannya pada perdamaian, berkali-kali dikirimnya

surat dan diutusnya delegasi kepada mu'awiyah yaitu Jarir Ibn Abdullah

Albajali, meminta supaya Mu'awiyah membai'atnya dan bersatu

dengannya, akan tetapi Mu'awiyah tidak menghiraukan ajakannya.

Kemudian Muawiyah menentang Ali dengan membawa angkatan

perang, mengadakan perlawanan yang didukung oleh sejumlah mantan

pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. 4 Ali

mengambil tindakan keras dan kontak senjata tidak bisa dihindari lagi

demi menjaga kesetabilannya sebagai seorang khalifah. Kedua

angkatan perang bertemu di puing kota Shiffin yang dibangun oleh

orang-orang Roma dekat sungai Eufrat pada bulan Shafar 37 H/ Mei

658.5 Perang ini akhirnya dikenal dengan nama perang Shiffin (Battle

of Shiffin).

Dalam perang itu, tentara Ali berhasil mendesak tentara

Mu'awiyah sehingga kemenangan sudah ada di depan mata. Tetapi

tangan kanan Mu'awiyah, Amr Ibn al-Ash yang terkenal sebagai orang

licik meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Pada

mulanya Ali menolak permintaan damai itu karena sudah mencium

kelicikan di balik ajakan tersebut, namun karena desakan sebagian


3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: UI-Press,
1984, h. 94.
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, h. 40.
5
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, Terj. Said Jamhuri, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h. 5.
9

pengikutnya terutama para ahli Qurra seperti al-Asy'ats Ibn Qais,

Masud Ibn Fudaki al-Tamimi dan Zaid Ibn Husein al-Tha’i mengatakan

bahwa menolak perbuatan damai adalah tercela, apalagi yang mengajak

damai adalah sesama Muslim. Dengan sangat tepaksa, Ali

memerintahkan Al-Asytar al-Nakhi, komandan pasukannya, untuk

menghentikan peperangan. Perdamaian antara kedua belah pihak

dilakukan dengan jalan musyawarah, dalam sejarah Islam dan Ilmu

Kalam dikenal dengan arbitrase atau tahkim. Musyawarah dilakukan

pada bulan Ramadlan 37 H/658 M di suatu tempat antara Syiria dan

Irak. Muawiyah mengutus Amr Ibn Ash, seorang politisi yang

mempunyai kecakapan berunding, sementara Ali mengutus Abu Musa

al-Asy’ari yang netral. Politik Amr Ibn Ash membuat Mu'awiyah

memperoleh kemenangan moral praktis telah mengurangi status Ali

sebagai Khalifah yang berkuasa. Keputusan tahkim bahwa Ali

diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan

mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali. Akibat

keputusan tahkim itu, pasukan Ali pecah menjadi dua kelompok yaitu

yang tetap setia pada Ali dan kaum Khawarij memilih keluar dari

pasukan Ali. Walaupun demikian, Ali tidak mau melepaskan

jabatannya, beliau tetap menjabat khalifah di Kufah sampai wafat

dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam al-Muradi. Sementara itu,

Muawiyah menjadi khalifah di Damaskus sebagai realisasi hasil

keputusan tahkim. Sejak saat itu, terjadi dualisme kepemimpinan dalam

kekhilafahan Islam.

5. Perang Nahrawan
10

Kaum khawarij menentang keras penyelesaian perang Shiffin

melalui tahkim, mereka menginginkan perang tetap dilanjutkan,

terlebih hasil keputusannya sangat mengecewakan. Mereka mulai

melakukan propaganda untuk menentang Ali, dengan semboyan yang

amat terkenal “Tidak ada hukum selain Allah”. Mereka beranggapan

bahwa di luar kelompoknya adalah kaum Kufur dan kaum Bid’ah. Ali

berhasil menumpas mereka pada pertempuran tahun 38 H/659 M di

suatu tempat bernama Nahrawan, terletak di pinggir sungai Tigris (al-

Dajlah).

Kekalahan Khawarij dalam perang Nahrawan, menambah

kebencian mereka terhadap Ali. Mereka yakin bahwa Muawiyah dan

Amr Ibn Ash merupakan pangkal perpecahan umat Islam. Oleh karena

itu, terjadilah komplotan untuk mengakhiri Ali, Mu'awiyah dan Amru

Ibn Ash karena doktrin Khawarij bahwa mereka itu kafir dan wajib

dibunuh. Komplotan pembunuh itu: 1) Abdurrahman Ibn Muljam al-

Muradi memilih membunuh Ali Ibn Abi Thalib di Kufah, 2) Amr Ibn

Bakar al-Tamimi memilih membunuh Amr Ibn Ash di Fusthat, dan 3)

Hujaj Ibn Abdillah memilih membunuh Umayah Ibn Abi Sufyan di

Damaskus. Mereka serempak melakukan pembunuhan pada dini hari

saat shalat Subuh tanggal 17 Ramadlan tahun 40 H/661 M. Pada

peristiwa pembunuhan itu, yang berhasil dibunuh hanyalah Ali Ibn Abi

Thalib, dalam perjalanan menuju Mesjid Agung di Kufah. Dua hari

sejak peristiwa penusukan pedang yang dilakukan berulang kali oleh

Abdurrahman Ibn Muljam al-Muradi, khalifah Ali Ibn Abi Thalib wafat

pada tanggal 19 Ramadlan 40 H/661 M dalam usia 63 tahun. Dengan

wafatnya khalifah Ali Ibn Abi Thalib maka berakhirlah masa


11

pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, digantikan oleh Dinasti Bani

Umayyah.

B. Sejarah Singkat Awal Berdirinya Dinasti Bani Umayyah

1. Pembentukan Dinasti Bani Umayyah

Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu

Sufyan pada tahun 41H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga

pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang

politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam

pada zaman Khalifah Usman bin Affan cukup mengantarkan dirinya

mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi

Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali bin Thalib dapat dikalahkan

oleh Umayyah dalam pertempuran diKarbala. Kekuasaan dan kejayaan.

Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan

sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah

bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsibin Abdi Manaf

bertemu dengan Nabi Mu-hammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan

Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim, sedangkan keturunan Umayyah

disebutdengan keluarga Umayyah. Oleh karena itu, Muawiyah

dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah. 6

Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempu-

nyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan

kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu

Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan

6
Souyb Joesoes, Sejarah Daulah Umaiyyah II di Cordovai, Jakarta: Bulang Bintang,
1997, h. 7.
12

Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah

memang begitu kental dengan kekuasaan.7

Hal ini berlanjut pada masa khulafa’ al-rasyidin, Yazid bin Abi

Sufyan ditunjuk olehAbu Bakar memimpin tentara Islam untuk

membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gu-

bernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah

menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid

wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah.

Setelah Umar wafat dan digantikan Usman, maka kerabatnya dari Bani

Umayyah banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.

Pada masa Usman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada

Muawiyah semakin mengakar dan menguat.

Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membu-

atnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena

penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan

yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi.

2. Perkembangan Politik

Dinasti Umayyah yang beribukota di Damaskus, Syria

merupakan awal mula munculnya Negara Islam yang berbentuk

monarchiheridetis (kerajaan turun temurun) dengan pemerintahannya

yang bersifat otokratis (kekuasaan yang tidak terbatas), kecuali pada

masa Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz (99-101 H/717-720 M). Hal ini

menandai berakhirnya Negara Islam di Madinah-Kufah yang berbentuk

khilafah (semacam republik) dengan pemerintahannya mengambil

bentuk Devine Democracy (Demokrasi Suci) atau Theo Democracy

7
Abu A’la Al-Maududi dan Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta:
Kota Kembang, 1993, h. 282.
13

(Demokrasi Ketuhanan) yang dikepalai masing-masing seorang

khalifah (kepala negara) dari al-Khulafa al-Rasyidun (khalifah-khalifah

yang terbimbing) yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibn Khattab,

Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib.

Pergantian bentuk negara bermula dari pengangkatan Yazid Ibn

Muawiyah menjadi putera mahkota tatkala Muawiyah masih hidup.

Sebenarnya, ide penobatan Yazid tersebut bukanlah berasal dari diri

Muawiyah, namun berasal dari Mughirah Ibn Syu’bah, gubernur Kufah

yang hendak dipecat karena mempunyai kesalahan. Atas idenya itu

Mughirah Ibn Syu’bah tidak jadi dipecat oleh Muawiyah dari

jabatannya. Sejak saat itu, Penduduk Irak membai’at Yazid, tetapi di

Madinah mendapat rintangan dari Husein Ibn Ali Ibn Abi Thalib,

Abdullah Ibn Zubair, Abdur Rahman Ibn Abi Bakar dan Abdullah Ibn

Umar Ibn Khattab. Akhirnya penduduk Madinah membai’at Yazid,

setelah diancam oleh Muawiyah yang akan memenggal leher bagi

orang yang berdiri saat pembai’atan. Dengan demikian, jabatan

khalifah yang dipilih atas dasar syura (demokrasi) berubah menjadi

turun temurun.

Walaupun telah terjadi pergeseran dan pergantian bentuk negara

dan pemerintahan Islam tersebut, dinasti Bani Umayyah yang berkuasa

kurang lebih 90 tahun (41-132 H/661-750 M), tetap meneruskan

peranan kekuasaan Islam sebelumnya sebagai Negara Adikuasa Dunia.

Kekuasaan Islam pada masa ini wilayahnya telah sampai di belahan

Barat, Andalusia (Spanyol) di benua Eropa, dan di belahan Timur, Sind

(bagian terbesar Pakistan) di anak benua India; secara tidak langsung

membuka jalan bagi tersebarnya ajaran Islam.8


8
Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 966.
14

Dinasti Umayyah yang berlangsung 90 tahun itu dipimpin oleh

14 orang khalifah yaitu:

1) Muawiyah Ibn Abi Sufyan (41-61 H/661-680 M),

2) Yazid Ibn Mu’awiyah (61-64 H/680-683 M),

3) Mu’awiyyah II Ibn Yazid (64-65 H/683-684 M),

4) Marwan Ibn al-Hakam (65-66H/684-685 M),

5) Abd al-Malik Ibn Marwan (66-86 H/685-705 M),

6) Al-Walid Ibn Abd al-Malik (86-97 H/705-715 M),

7) Sulaiman Ibn Abd al-Malik (97-99 H/715-717 M),

8) Umar Ibn Abd al-‘Azis (99-102 H/717-720 M),

9) Yazid II Ibn Abd al-Malik (102-106 H/720-724 M),

10) Hisyam Ibn Abd al-Malik (106-126 H/724-743 M),

11) Al-Walid II Ibn Yazid (126-127 H/743-744 M),

12) Yazid III Ibn al-Walid Ibn Abd al-Malik (127 H/744 M),

13) Ibrahim Ibn al-Walid Ibn Abd al-Malik (127 H/744), dan

14) Marwan II Ibn Muhammad (127-133 H/744-750 M).9

Dari ke-14 khalifah dinasti Bani Umayyah itu, lima orang

tercatat sebagai khalifah-khalifah besar yakni: 1) Muawiyah Ibn Abi

Sufyan (41-61 H/661-680 M), 2) Abd al-Malik Ibn Marwan (66-86

H/685-705 M), 3) Al-Walid Ibn Abd al-Malik (86-97 H/705-715 M), 4)

Umar Ibn Abd al-‘Azis (99-102 H/717-720 M), dan 5) Hisyam Ibn Abd

al-Malik (106-126 H/724-743 M).10 Tiga khalifah terbesar, Muawiyah,

Abdul Malik, dan Hisyam merupakan administrator kelas satu, dalam

pemerintahannya suka menggunakan praktik-praktik pemerintahan

gaya Yunani dan Persia.

9
C.E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993, h. 25.
10
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, h. 61.
15

3. Perkembangan Kebudayaan Islam

Dinasti Umayyah sebagai Negara Adikuasa di zamannya, mulai

menimbulkan benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam walaupun

lebih banyak memusatkan perhatian kepada kebudayaan Arab. Adapun

perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam pada masa dinasti

Bani Umayyah yang merupakan embrio bagi kemajuan peradaban

Islam pada masa sesudahnya, meliputi:


a Pembukuan Ilmu
Dalam kitab al-Fihrs karya Ibn Nadim dinyatakan bahwa

Muawiyah memerintahkan kepada Ubaid Ibn Syaryah al-

Jurhumi, seorang ahli sejarah yang hidup sampai zaman Abd

Malik Ibn Marwan, untuk membukukan ilmu sejarah.

Karyanya yaitu Kitab al-Amsal dan Kitab Muluk wa Akhbar

al-Madli. Pengarang Kitab al-Amsal yang lainnya yang

hidup pada masa Muawiyah adalah Muhammad Ibn Husain

dan Shuhara

b Pembidangan Ilmu
Ilmu pengetahuan terbagi dalam dua bidang besar, yaitu

ilmu-ilmu baru dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu baru meliputi

a. Al-Ulum al-Islamiyah yaitu ilmu-ilmu al-Quran, al-Fiqh,

al-Ulum al-Lisaniyah, al-Tarikh, dan al-Jughrafi. b. Al-Ulum

al-Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh

kemajuan Islam seperti ilmu-ilmu thib, filsafat, ilmu pasti

dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa

Persia dan Romawi. Sementara itu, ilmu-ilmu alam adalah

ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliyah dan Khulafa al-

Rasyidin seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah, dan


16

amsal. Pada masa dinasti Bani Umayyah, ilmu-ilmu

Jahiliyah itu telah dijadikan ilmu-ilmu Islam dan memulai

penyalinan ilmu-ilmu Asing.

c Arsitektur Sipil
Beberapa kota baru atau pembaharuan kota lama dibangun

dengan berbagai gedung bergaya Persia, Romawi, dan Arab

yang dijiwai semangat Islam yaitu: a) Damaskus ibukota

Dinasti Umayyah, dulunya ibukota kerajaan Romawi Timur,

terdapat gedung-gedung yang indah dan bernilai seni,

kotanya yang indah dan teratur dengan jalan-jalan yang

rimbun, kanal-kanal bersimpang siur sebagai pengairan, dan

taman-taman rekreasi yang menakjubkan; b) Kairawan

sebagai ibukota baru di wilayah Afrika bergaya arsitektur

Islam, terdapat berbagai gedung, masjid, taman rekreasi,

daerah dagang, daerah industri, dan daerah militer; c)

Kordova, kota lama di Andalusia yang dibangun kembali


dengan gaya Islam, terdapat 113.000 rumah rakyat, 430

istana besar kecil, 6300 rumah pegawai negeri, 3.873 masjid,

900 tempat pemandian, 8.455 toko besar dan kecil serta

jembatannya yang masih ada hingga sekarang; d) Kota-kota

satelit Kordova yang indah dan ajaib, lengkap dengan segala-

galanya yang bergaya seni seperti kordova yaitu al-Qashr al-

Kabir (kota besar), kota al-Zahra, kota Zahirah, kota

Granada, dan kota al-Hamra.11

d Arsitektur Masjid

11
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 177.
17

Masjid-masjid yang indah, besar, dan kecil dibangun di

seluruh kota-kota wilayah Islam, yang terpenting di

antaranya: a) Masjid Damaskus, dibangun oleh khalifah al-

Walid Ibn Abd al-Malik dengan arsiteknya Abu Ubaidah Ibn

Jarrah. B) Masjid Kairawan, dibangun pada masa khalifah

Hisyam Ibn Abd al-Malik oleh Aqabah (gubernur Afrika). c)

Masjid Qordova, salah satu bangunan terbagus dan memiliki

keindahan tersendiri. d) Masjid al-Aqsa (al-Quds) di

Jerusalem, dibangun pada masa Abd al-Malik.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah

sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarki (sistem

pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah

diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan

pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin

sebelumnya, yaitu khulafaur rasyidin. Pada masa Daulah Bani Umayyah

banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa

Khalifah Usman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga kekuasaan

Islam betul-betul sangat luas. Apabila menemui kesulitan dalam

melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-Hadits. Karena

banyaknya hadits palsu, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan

sanad alHadits, yang akhirnya menjadi ilmu hadits dengan segala cabang-

cabangnya.

B. Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan

bagi para pembaca umumnya sehingga memberi sumbangsi. Selain itu,

penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk

memperbaiki kesalahan, kekeliruan dan kekurangan dalam makalah ini.

Sehingga menjadi masukan bagi penulis untuk pembuatan makalah-

makalah selanjutnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al- Maududi, Abu A’la dan Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Yogyakarta: Kota Kembang. 1993.

Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.

1993.

Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1992.

Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.

Husein, Taha. Fitnatul Kubra. Mekah: Darul Maarif. 1964.

Joesoes, Souyb. Sejarah Daulah Umaiyyah II di Cordova. Jakarta: Bulang

Bintang. 1997.

Lewis, Bernard. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah. Terj. Said Jamhuri.

Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1994.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1, Jakarta: UI-

Press. 1984.

Shiddiqie, Nourouzzaman. Pengantar Sejarah Muslim. Yogjakarta: Nur

Cahaya. 1983.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2003.

Anda mungkin juga menyukai