Anda di halaman 1dari 25

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Makalah Pada Mata Kuliah Sejarah
Pendidikan Islam Klasik hingga Modern Semester 2 Program Studi
Pendidikan Agama Islam

Oleh
Zakiah Khairunnisa Y
861082021009

Dosen pembimbing
Dr. Ridhwan, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt. yang telah
senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad saw. yang menjadi teladan para umat manusia yang merindukan
keindahan surga. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Sejarah
Pendidikan Islam Klasik hingga Modern yang berjudul “Pendidikan Islam pada
Masa Bani Umayyah”.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak terlepas dari berbagai hambatan dan
kesulitan yang pada dasarnya memberikan hikmah tersendiri bagi penulis. Oleh
karena itu, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Untuk itu, penulis harapkan masukan dan kritikan untuk perbaikan
makalah selanjutnya. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua orang. Amīn

Watampone, 4 Juni 2022

Zakiah Khairunnisa Y.
NIM. 861082021009

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Pembentukan Pemerintahan Bani Umayyah 3

B. Sistem Pendidikan yang Diterapkan P ada Pemerintahan

Bani Umayyah 7

BAB III PENUTUP 19

A. Simpulan 19

B. Saran 20

DAFTAR RUJUKAN 21

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang paling utama bagi warga

suatu negara, karena maju dan keterbelakangan suatu negara akan ditentukan oleh

tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan warga negaranya. Salah satu bentuk

pendidikan yang mengacu kepada pembangunan tersebut yaitu pendidikan agama

adalah modal dasar yang merupakan tenaga penggerak yang tidak ternilai

harganya bagi pengisian aspirasi bangsa, karena dengan terselenggaranya

21
2

pendidikan agama secara baik akan membawa dampak terhadap pemahaman dan

pengamalan ajaran agama.1

Pendidikan Islam bersumber kepada al-Qur’an dan Hadits adalah untuk

membentuk manusia yang seutuhnya yakni manusia yang beriman dan bertaqwa

terhadap Allah Swt, dan untuk memelihara nilai-nilai kehidupan sesama manusia

agar dapat menjalankan seluruh kehidupannya, sebagaimana yang telah ditentukan

Allah dan Rasul-Nya, demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat atau dengan

kata lain, untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu memanusiakan

manusia, supaya sesuai dengan kehendak Allah yang menciptakan sebagai hamba

dan khalifah di muka bumi.

Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan

sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah

Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke

dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern. Kemudian

perinciannya dapat dibagi lima periode, yakni periode Nabi Muhammad SAW

(571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan

Daulah Bani Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M)


1
dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).2

Pendidikan Islam di zaman Nabi Muhammad SAW merupakan periode

pembinaan pendidikan Islam, dengan cara membudayakan pendidikan Islam

dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Setelah itu

dilanjutkan pada periode Khulafa ar Rasyidin dan Bani Umayyah yang merupakan

periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuaan yang ditandai dengan

1
Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam (Cet. V; Jakarta: Pustaka al-Husna,
1988), h.12.
2
Suwedi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 15.

21
3

berkembangnya ilmu-ilmu Naqliah dan Aqliah.3 Melalui makalah ini penulis

mencoba untuk menggambarkan tentang pendidikan Islam pada masa Bani

Umayyah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka rumusan

masalah yang dijadikan sebagai sub bahasan yaitu:

1. Bagaimana proses pembentukan pemerintahan Bani Umayyah?

2. Bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan pada pemerintahan Bani

Umayyah?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah

di atas adalah:

1. Untuk mengetahui proses pembentukan pemerintahan Bani Umayyah.

2. Untuk mengetahui sistem pendidikan yang diterapkan pada pemerintahan

Bani Umayyah.

3
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 21.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukan Pemerintahan Bani Umayyah

Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Muawwiyah

Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy

keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750

M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi

Syam bin Manaf. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke

Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya.4

Pada awalnya implementasi dari terjadinya perang shiffin berimplikasi

terhadap pergulatan politik di dunia Islam, dan terjadinya perang shiffin tersebut

diawali dari terjadinya polemik antara Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah. Padahal

jika ditinjau dari garis keturunan keduanya masih satu garis keturunan. Dalam

peristiwa inilah Ali Bin Abi Thalib mengalami kekalahan secara politik dari pihak

Muawiyah dengan perantara jalan arbitrase (tahkim), sehinga kekalahan Ali

secara politis ini mampu dimanfaatkan oleh Muawiyah yang mendapat

kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.5

Selain kesepakatan arbitrase menimbulkan dianggap merugikan bagi pihak

Ali r.a itu sendiri, juga menimbulkan problem perpecahan dikalangan umat Islam

yang diawali oleh keluarnya sejumlah besar pendukung dan simpatisan Ali r.a

dalam menentang terhadap keputusan Ali (Golongan khawarij). Bahkan Golongan

Khawarij tersebut yang diceritakan bahwa mereka bersumpah di depan Ka’bah

bahwa mereka akan membersihkan komunitas Islam dari tiga tokoh yang terlibat
4
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.
27.
5
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak akar-akar
Sejarah,Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 34.
3
4

dalam arbitrase tersebut, yaitu Ali bin abi thalib, Muawiyah bin abu sofyan, dan

Amr Bin Ash. Untuk melancarkan misi tersebut pihak Khawarij mengirimkan tiga

orang yaitu Abdullah Bin Muljam yang berangkat ke Kuffah untuk membunuh

Ali bin abi thalib, al-Baraq Ibn Abdillah AtTamimi berangkat ke Syam untuk

membunuh Muawiyah, dan Amr ibn Bakr At-Taimi berangkat ke Mesir untuk

membunuh Amr bin Al-Ash. Ketiga orang tersebut-lah diduga sebagai penyebab

perpecahan dikalangan umat Islam.6 Akhirnya pada Tanggal 24 Januari 661 M,

ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju mesjid Kuffah, Ia terkena hantaman

pedang beracun didahinya yang diayunkan oleh Abd al-Rahman ibn Muljam.

Sejak itulah kekuasaan seluruhnya beralih ke tangan Muawiyah.

Sesudah wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib, berarti habislah masa

kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Kemudian golongan Syiah, yang terdiri dari

masyarakat Arab, Irak dan Iran mencoba mengangkat Hasan ibn Ali untuk

menggantikan kedudukan ayahnya sehinga terjadilah pembaiatan oleh Qois ibn

Saad dan diikuti oleh masyarakat Irak yang berkhianat membuat kekacauan

sampai masuk ke rumah Hasan serta melanggar kehormatan bahkan berani

merampas harta bendanya.7 Ditambah lagi dengan persoalan yang urgen bahwa

pihak Muawiyah tidak setuju dengan pembaiatan tersebut maka Muawiyah

mengirim tentara untuk menyerang kota Irak. Dengan merambaknya persoalan-

persoalan dan peperangan yang lebih besar lagi di kalangan umat Islam, maka

Hasan ibn Ali mengajukan syarat-syarat kepada Muawiyah.

Syarat-syarat tersebut segera dipenuhi Muawiyah dengan cara mengirimkan

selembaran kertas yang ditandatangani terlebih dahulu. Supaya Hasan menuliskan

syarat-syarat yang dikehendakinya kemudian mengumumkan bahwa Hasan akan

6
Yusnadi, “Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah”, At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah
Prodi Pendidikan Agama Islam, Vol. 12, No. 02, Desember 2020, h. 165.
7
Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, h.33.
5

taat dan patuh kepada Muawiyah dan akan mengundurkan diri serta menyerahkan

jabatan kepada pihak Muawiyah. Lebih lanjut dalam pengambilalihan jabatannya

tersebut dibuktikan dengan dibaiatnya Muawiyah sebagai khalifah yang

disaksikan oleh Hasan dan Husen. Dengan demikian, secara resmi penerimaan

Muawiyah ibn Abi Sofyan sebagai khalifah setelah Hasan ibn Ali mendapat

dukungan dari kaum Syi’ah dan telah dipegangnya beberapa bulan lamanya

sehingga peristiwa kesepakatan antara Hasan ibn Ali dengan Muawiyah ibn Abi

Sofyan lebih dikenal dengan peristiwa “Am al Jamaah” dan sekaligus menjadikan

batas pemisah antara masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) dengan masa Dinasti

Umayyah (661-750 M).8

Sesudah itu Muawiyah masuk ke kota Kufah pada bulan Rabiul akhir tahun

41 H, sedangkan Hasan dan Husen pergi dan tinggal di Madinah sampai wafatnya

pada tahun 50 H. Namun dalam versi yang lain menyatakan bahwa al-Hasan wafat

akibat kemungkinan diracun oleh harem-haremnya (selir-selirnya). Kemudian

Husain (adik laki-laki Hasan) yang hidup di Madinah yang konsisten tidak mau

mengakui kekuasaan yang dipegang oleh Muawiyah sekaligus penggantinya yaitu

Yazid. Suatu saat pada tahun 680 ia pergi ke Kuffah untuk memenuhi seruan

penduduk Irak, yang telah menobatkan sebagai Khalifah yang sah setelah Ali dan

Hasan. Sehingga Akhirnya pada tanggal 10 Muharam 61 H. Yang tidak berselang

lama Umar anak Ibn Abi Waqas (komando pasukan Muawiyah) dating dengan

membawa 4000 pasukan, mengepung pasukan Husain yang berjumlah 200 orang

dan membantai rombongan tersebut di daerah Karbala karena mereka tidak mau

menyerah.9

Dengan demikian peristiwa tersebut bagi kaum Syiah sebagai hari-hari

kepedihan dan penyesalan. Perayaan kepedihan tersebut diadakan setahun sekali


8
Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, h.34.
9
Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, h.36.
6

yang diselenggarakan dalam dua babak, yang pertama disebut asyuara (Hari

kesepuluh) di Kazimain (dekat Bagdad) untuk mengenang pertempuran itu, dan

empat puluh hari berikutnya di Karbala yang disebut “pengambilan kepala”. 10

Walaupun dengan menggunakan berbagai cara dan strategi yang kurang baik yaitu

dengan cara kekerasan, diplomasi dan tipu daya serta tidak dengan pemilihan

yang demokrasi Muawiyah tetap dianggap sebagai pendiri Dinasti Umayyah yang

telah banyak melakukan kebijakan-kebijakan yang baru dalam bidang politik,

pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya. Menurut Maidir dan Firdaus,

selama memerintah Muawiyah tidak mendapatkan kritikan oleh pemuka dan

tokoh umat Islam, kecuali setelah ia mengangkat anaknya Yazid menjadi putra

mahkota.

Sebelum adanya peristiwa tersebut kondisi secara umum tetap stabil dan

terkendali sehingga Muawiyah dapat melakukan beberapa usaha untuk

memajukan pemerintahan dan perkembangan Islam.11 Sehingga Muawiyah yang

menjadi khalifah pertama yang berkuasa dalam pemerintahan dinasti Umayyah

merubah sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi menjadi monarchiheridetis

(kerajaan turun temurun). Hal ini tercermin ketika suksesi kepemimpinan

Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada

anaknya. Muawiyah bermaksud menerapkan monarki yang ada di Persia dan

Bizantium, walaupun dia tetap menggunakan istilah khalifah namun

pelaksanaannya banyak interpretasi baru dalam jabatan tersebut.

B. Sistem Pendidikan yang Diterapkan pada Pemerintahan Bani Umayyah

10
Philip K. Hitti, History Of Arabic (Bandung: Sinar Baru, 1984), h.237.
11
Firdaus dan Maidir Harun, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I; Padang: IAIN-IB Press,
2001), h. 81.
7

Secara essensial pendidikan Islam pada masa Dinasti umayyah hampir

sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Walaupun demikian,

ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Pada masa ini pola pendidikan

telah berkembang, sehingga peradaban Islam sudah bersifat internasional yang

meliputi tiga Benua, yaitu sebagian Eropa, sebagian Afrika dan sebagian besar

Asia yang kesemuanya itu di persatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa

resmi negara. Dengan kata lain Periode Dinasti Umayyah ini merupakan masa

inkubasi. Dimana dasar-dasar dari kemajuan pendidikan dimunculkan, sehingga

intelektual muslim berkembang.12

1. Ciri-ciri Umum Pendidikan pada masa Bani Umayyah

Adapun Corak pendidikan pada Dinasti Umayyah yang dikutip dari Hasan

Langgulung yaitu;

a. Bersifat Arab

Pada periode ini pendidikan masih didominasi orang-orang arab,

karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara

politis, agama dan budaya. Meskipun hal ini tidak semuanya diterapkan pada

semua pemerintahan Dinasti Umayyah hal ini terbukti dengan masa Muawiyah

yang membangun pemerintahannya yang mengadopsi kerangka pemerintahan

Bizantium, dan dalam bidang keilmuan lainnya yang mengadopsi sebagaian

dari negara-negara taklukan.13

b. Berusaha meneguhkan dasar-dasar agama Islam yang baru

muncul

Hal ini berawal dari pandangan mereka bahwa Islam adalah agama,

negara, sekaligus sebagai budaya, maka wajar dalam periode ini banyak

melakukan penaklukan wilayah-wilayah dalam rangka menyiarkan dan

12
Yusnadi, “Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah”, h. 165.
13
Yusnadi, “Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah”, h. 167.
8

memperkokoh ajaran Islam. Hal ini terbukti ketika pada masa pemerintahan

Umar bin abd Aziz pernah mengutus 10 orang ahli Fiqh ke Afrika utara untuk

mengajarkan anak-anak disana.14

c. Prioritas pada ilmu-ilmu Naqliyah dan Bahasa

Pada periode ini pendidikan Islam memprioritaskan pada ilmu-ilmu

naqliyah seperti baca tulis al-Quran, pemahaman fiqih dan tasyri, kemudian

dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut yaitu ilmu

bahasa, seperti nahwu, sastra. Kecenderungan naqliyah dan Bahasa dalam

aspek budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama bahwa

pendidikan pada masa ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama

bertujuan untuk mengukuhkan dasar-dasar agama.15

d. Menunjukkan perhatian pada bahan tertulis sebagai media

komunikasi

Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya

kepentingan penulisan. Pada permulaannya penulisan dirasa penting ketika saat

itu Nabi Muhammad saw. hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang

diturunkan. Atas dasar itu, beliau mengangkat orang-orang yang tahu menulis

untuk memegang jabatan ini. Ibrahim bin al-ibyari dalam ensiklopedia al-

Qur’an mencatatkan sedikitnya ada dua puluh empat penulis Rasulullah saw.

Diantaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin

Abi Thalib, Sa'ad bin Abi Waqqas, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Zaid bin

Tsabit, Khalid bin al Walid dan Amr bin al-Ash.

Pada masa Umayyah tugas penulisan menulis banyak dan terbagi

dalam lima bidang, yaitu: penulis surat-surat, penulis harta, penulis tentara,

penulis polisi dan penulis hakim. Penulis surat - surat adalah yang paling tinggi
14
Yusnadi, “Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah”, h. 167.
15
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 32.
9

pangkatnya sehingga posisi ini tidak diberikan kecuali kepada keluarga dan

teman-temannya. Penulisan Bahasa Arab itu bertambah penting ketika

pengaraban kantor di negeri-negeri Islam pada masa Abd. Malik bin Marwan.

Al-Walid mengikuti jejak ayahnya Abd. Malik dan dirubahnya penulisan

dewan-dewan di Mesir ke dalam Bahasa Arab yang sebelum itu dalam bahasa

resmi Mesir.16

e. Membuka jalan pengajaran Bahasa-bahasa asing

Keperluan untuk belajar bahasa asing dirasakan sangat perlu sejak

kemunculan Islam yang pertama kali walaupun hanya dalam ruang lingkup

terbatas. Hal ini terjadi sebagai akibat dari interaksi Islam dengan negeri-negeri

lain dan semakin meluasnya daerah kekuasaan orang-orang Islam ke luar

kawasan semenanjung Arabia. Sehubungan dengan itu, Nabi saw. telah

mengajak para sahabatnya untuk belajar bahasa-bahasa asing di luar bahasa

Arab sampai beliau bersabda: "Barang siapa yang mempelajari bahasa suatu

kaum, pasti akan selamat dari kejahatannya ".

Keperluan ini semakin dirasakan penting ketika Islam dipegang oleh

Dinasti Umayyah dimana wilayah Islam sudah semakin meluas sampai ke

Afrika Utara dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang jelas-jelas bahasa

sehari-hari mereka bukanlah bahasa Arab.17 Dengan demikian pengajaran

bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan Islam masa itu dalam

rangka memenuhi universalitas agama Islam ( rahmatan lil 'alamin ).

2. Tempat dan Lembaga-lembaga Pendidikan pada Masa Bani Umayyah

16
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 33.
17
Suwedi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h.42.
10

Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Perluasan

negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan,

bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama

yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar dan

berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa

kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam),

dan Fistat (Mesir). Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid

seorang demi seorang. Baik di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada

tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh

pelajar bersama-sama.18

Adapun tempat dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa

Bani Umayyah adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan Kuttab, yaitu tempat belajar menulis. Pada masa awal Islam

sampai pada era Khulafaur Rasyidin dalam pendidikan di Kuttab secara

umum tidak dipungut bayaran alias gratis, akan tetapi pada masa dinasti

umayyah ada di antara pejabat yang sengaja menggaji guru dan

menyediakan tempat untuk proses belajar mengajar. Adapun materi

yang diajarkan adalah baca tulis yang pada umumnya diambil dari

syair-syair dan pepatah Arab.

b. Pendidikan Masjid, yaitu tempat pengembangan ilmu pengetahuan

terutama yang bersifat keagamaan. Pada pendidikan masjid ini terdapat

dua tingkatan yaitu menegah dan tinggi. Materi pelajaran yang ada

seperti al-Qur’an dan tafsirnya, hadis dan fiqh serta syariat Islam.

c. Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan

murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan

18
Rahimi, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah”, Heuristik: Jurnal
Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 1, Februari 2021, h. 48.
11

memprogramkan arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun

badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan

kaidah bahasa arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang

mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan

ulama juga pergi kesana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.

d. Pendidikan Perpustakaan, pemerintah Dinasti Umayyah mendirikan

perpustakaan yang besar di Cordova pada masa khalifah Al Hakam ibn

Nasir.

e. Majelis Sastra, yaitu suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah

untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan.

f. Bamaristan, yaitu rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta

tempat studi kedokteran.

g. Madrasah Makkah, sahabat yang pertama kali mengajar di sini adalah

Mu’adz bin Jabal yang mengajarkan Al Qur’an dan Fiqh. Pada masa

khalifah Abdul Malik bin Marwan, Abdullah bin Abbas pergi ke

Mekkah, lalu beliau mengajar di Masjidil Haram dengan mengajarkan

Tafsir, Fiqh dan Sastra. Abdullah bin Abbaslah yang kemudian terkenal

sebagai pendiri madrasah Mekkah dan dikenal di seluruh negeri Islam.

h. Madrasah Madinah, madrasah ini lebih masyhur dari madrasah-

madrasah lainnya, dikarenakan disinilah pusat berkumpulnya para

pembesar sahabat-sahabat Nabi. Madrasah ini pada masa khulafa al-

Rasyidin dipimpin oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin

Tsabit dan Abdullah bin Umar.

i. Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu

Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli

Fiqih dan ahli Hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik
12

termasyhur dalam ilmu Hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli Fiqh, juga

ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli Tasawuf. Ia bukan saja

mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga

mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid

Basrah.

j. Madrasah Kufah, ulama sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin Abi

Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah

politik dan urusan pemerintahan sedangkan Abdullah bin Mas’ud

sebagai guru agama di Kufah. Beliau adalah seorang ahli tafsir, fiqh,

dan banyak meriwayatkan hadits.

Madrasah inilah yang melahirkan Abu Hanifah, pendiri mazhab hanafi.

k. Madrasah Damsyik dan Palestina (Syam), Setelah negeri Syam (Syria)

menjadi sebagian negara Islam dan penduduknya banyak memeluk

agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah Umar

bin Khattab sehingga mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri ini,

yaitu Muaz bin Jabal, Ubadah dan Abu Darda’. Madrasah ini

melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’iy

yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah.

l. Madrasah Fistat (Mesir), sahabat yang pertama kali mendirikan

madrasah ini dan menjadi guru di Mesir adalah Abdurrahman bin Amr

bin Al-Ash. Madrasah ini melahirkan Abdullah bin Lahi’ah dan Al-lais

bin Said yang dikenal sebagai ulama yang mempunyai mazhab

tersendiri dalam bidang fiqh sebagaimana al-Auza’iy di Syam.19

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Daulah

Bani Umayyah

19
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusurti Jejak Era Rasullah Sampai
Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2007), h. 62
13

Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam pada masa ini berjalan

seperti di zaman permulaan Islam, hanya ada sedikit peningkatan sesuai dengan

perkembangan Daulah Islamiyah sendiri. Pendidikan Islam pada masa bani

Umayyah termasuk dalam periode pertumbuhan pendidikan Islam yang

berlangsung sejak Nabi Muhammad saw wafat sampai masa akhir bani Umayyah.

Sehingga karena masih dalam masa pertumbuhan, maka hanya ada sedikit

kemajuan. Kemajuan ini hanya diwarnai dengan berkembangnya ilmu-ilmu

Naqliyah yaitu filsafat dan ilmu eksakta disamping juga ilmu-ilmu agama yang

sudah berkembang sebelumnya.20

Pada masa Khalifah Rasyidin dan Umayyah sebenarnya telah ada tingkat

pengajaran, hampir sama seperti masa sekarang. Tingkat pertama ialah Kuttab,

tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Alquran serta belajar

pokok-pokok Agama Islam. Setelah tamat al-Qur’an mereka meneruskan

pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan

tingkat tinggi. Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama besar, sedangkan

pada tingkat tinggi tenaga pengajarnya merupakan ulama yang mempunyai

kedalaman ilmu dan masyhur kesalehannya.

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam

keadaan sederhana, yaitu: (a) Belajar membaca dan menulis, (b) Membaca al-

Qur’an dan menghafalnya, (c) Belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara

wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Adapun Ilmu-ilmu yang diajarkan pada

tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: (a) al-Qur’an dan tafsirannya. (b) Hadis

dan mengumpulkannya. (c) Fiqh (tasri’).21

Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:

20
Firdaus dan Maidir Harun, Sejarah Peradaban Islam, h. 80.
21
Firdaus dan Maidir Harun, Sejarah Peradaban Islam, h. 81
14

a. Ilmu agama, seperti: al-Qur’an, Hadis, dan Fiqh. Proses pembukuan

Hadis terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah

hadis mengalami perkembangan pesat. Perkembangan ilmu fiqih ini

berkembang pesat ketika masa pemerintahan bani umayyah II di

Andalusia, sehingga di antaranya lahir 4 mazhab besar yakni, Imam

Maliki, Imam Syafi’I, Imam Hanafi dan Imam Hambali.

b. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang

perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi

berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.

c. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari

bahasa, nahwu, shorof, dan lain-lain.

d. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari

bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan

ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

e. Ilmu kimia, kedokteran dan astrologi, dalam ilmu pengobatan awalnya

masih bersumber pada pengobatan tradisional yang diterapkan Nabi,

yang di antaranya adalah mengeluarkan darah dengan gelas (bekam).

Kemudian pengobatan ilmiah Arab banyak yang bersumber dari

Yunani, sebagian dari Persia. Adapun daftar dokter pertama pada masa

Dinasti Umayyah ditempati oleh al-Harits ibn Kaladah (w. 634), yang

berasal dari Thaif, yang kemudian menuntut ilmu ke Persia.

f. Perkembangan seni rupa, prestasi lukis yang gemilang dalam bidang ini

ditunjukan dengan munculnya “Arabesque” (Dekorasi orang arab),

hampir semua motif Islam menggunakan motif tanaman atau garis-garis

geometris. Sehingga apa yang kita sebut dengan seni rupa Islam adalah

unsur gabungan dari berbagai sumber motif, dan gaya, sedangkan seni
15

rupa seperti patung merupakan hasil kejeniusan arsitik masyarakat

taklukan yang berkembang dibawah kekuasaan Islam dan disesuaikan

dengan tuntutan Islam.

g. Perkembangan musik, terjadi pada masa khalifah yang kedua yaitu

Yazid, dimana menurut Philip K. Hitti Yazid dikenal sebagai seorang

penulis lagu yang memperkenalkan nyanyian dan alat musik ke istana

Damaskus. Ia memulai praktek penyelenggaraan pestival-pestival besar

di istana dalam rangka memeriahkan pesta kerajaan. Kemudian Yazid II

penerus umar mengembangkan musik dan puisi ke halayak umum

melalui hababah dan Salamah. Hisyam (724-743), Walid (705- 715)

bahkan mengundang penyanyi dan musisi ke istana.22

4. Gerakan-gerakan Ilmiah pada Masa Bani Umayyah

Berikut ini gerakan-gerakan ilmiah yang muncul saat itu, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Jaih Mubarak:

a. Penyempurnaan Tulisan al-Qur’an

Al-Quran yang telah dikodifikasi pada masa Abu Bakar dan Utsman

ibn Affan ditulis tanpa titik. Menurut salah satu riwayat, ulama yang pertama

kali memberikan baris dan titik pada huruf-huruf al Quran adalah Hasan al-

Bashri (642-728 M) atas perintah Abd. Malik ibn Marwan. Beliau

menginstruksikan kepada al-Hajjaj untuk menyempurnakannya, dan Hasan al-

Bashri dibantu oleh Yahya Ibn Ya'mura (murid Abu al-Aswad al-Duwali).

Sedangkan dalam riwayat lain. dikatakan bahwa yang pertama kali membuat

barid dan titik pada huruf-huruf al Quran adalah Abu al-Aswad al-Duwali.23

b. Penulisan Hadits

22
Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 104.
23
Rahimi, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah”, h. 50.
16

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan

(tadwin) hadits. Beliau memerintahkan kepada Walikota Madinah Abu Bakar

Bin Muhammad bin Amr Ibn Hajm (117 H) yang ada dalam hapalan-hapalan

penghafal hadits. Atas perintah khalifah, pengumpulan hadits mulai dilakukan

oleh ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn

Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri (guru Imam Malik). Akan tetapi, buku hadits

yang dikumpulkan oleh Iman al-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada

kita. Dalam sejarah tercatat bahwa ulama yang pertama membukukan hadits

adalah Imam al-Zuhri.24

c. Teologi Islam (Ilmu Kalam)

Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah

berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem

pemikiran Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang

kemudian terkenal dengan sebutan Ilmu Kalam. Semula Ilmu Kalam bertujuan

untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja

dimasukan untuk merusak akidah Islam (Zuhairini, 2004:86). Kemudian

berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola

pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan.25

Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran aliran teologis Islam

yang berawal dari pertentangan politis di tubuh umat Islam sendiri yang

bibitnya muncul semenjak khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa

tahkim yang dimenangkan oleh Mu'awiyah secara licik. Aliran-aliran yang

muncul saat itu adalah Khawarij dan Murji'ah.

d. Gerakan Ijtihad

24
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Cet.
I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 41.
25
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, h. 42.
17

Dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa

sahabat dan seterusnya, dan karena adanya interaksi dengan budaya-budaya

bangsa lain, pola kehidupan masyarakat muslim banyak terjadi perubahan dan

banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Masalah-masalah baru

tersebut mendorong para sahabat untuk menetapkan ketentuan hukum yang

sifatnya baru pula.

Sebenarnya secara umum Nabi Muhammad saw. telah memberikan

pedoman bagaimana cara memberikan keputusan hukum terhadap masalah-

masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Petunjuk Nabi

Muhammad saw. dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah

pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam al Quran, jika tidak

ada dicari dalam Sunnah atau Hadits, dan jika tidak ada terdapat dalam

keduanya maka gunakan akal pikiran (ijtihad) untuk memberikan ketentuan

hukum.26

Namun demikian, ternyata dalam prakteknya mereka mengalami

kesulitan, karena pada umumnya ayat-ayat al-Quran hanya memberikan

petunjuk petunjuk yang bersifat umum. Penjelasan yang rinci terdapat dalam

hadits Rasulullah namun tentunya tidak semua sahabat mengetahuinya secara

lengkap. Kesulitan tersebut menjadi lebih nampak jika sesuatu perkara terjadi

pada daerah yang jauh dari sahabat atau kebetulan sahabat atau tabi'in yang

menanganinya tidak mengetahui hadits yang sesuai. Dengan demikian

dimungkinkan akan timbul berbagai macam keputusan hukum yang berbeda

dalam masalah yang sama.

26
Rahimi, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah”, h.51.
18
19

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang paling utama bagi warga

suatu negara, karena maju dan keterbelakangan suatu negara akan ditentukan oleh

tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan warga negaranya. Kekuasaan Bani

Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan

Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur

sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang

berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah

pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb

bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf. Pertumbuhan dan perkembangan

pendidikan Islam pada masa ini berjalan seperti di zaman permulaan Islam, hanya

ada sedikit peningkatan sesuai dengan perkembangan Daulah Islamiyah sendiri.

Pola pendidikan pada masa Bani Umayyah melanjutkan pendidikan

semasa Khulafa ar Rasyiddin, walaupun ada sisi perbedaan dan perkembangan

tersendiri. Perkembangan tempat-tempat perkembangan pendidikan Islam pada

masa Bani Umayyah ada tiga macam yaitu: 1) Kuttab, 2) Mesjid, 3) Masjelis

Sastra. Disamping itu, pada Masa Bani Umayyah juga telah melaksanakan

pendidikan dengan tingkat-tingkat sebagai berikut:1) Tingkat pertama, 2) Tingkat

menengah, 3) Tingkat tinggi, di mana kurikulumnya telah disesuaikan dengan

tingkatannya masing-masing.

Walaupun demikian pada periode Bani Umayyah ini dapat disaksikan

adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab,

tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan

19

21
20

praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada

umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan

atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.

B. Saran

Dengan dibuatnya makalah ini, penulis mengharapkan agar pembaca dapat

mengetahui dan memahami lebih mendalam tentang pendidikan Islam pada masa

Bani Umayyah. Selain itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca

yang sangat membantu dan bermanfaat demi kelancaran penyusunan makalah

selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Cet. I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Firdaus dan Maidir Harun. Sejarah Peradaban Islam. Cet. I; Padang: IAIN-IB
Press, 2001.
K. Hitti, Philip. History Of Arabic. Bandung: Sinar Baru, 1984.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusurti Jejak Era Rasullah
Sampai Indonesia. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2007.
Rahimi. “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah”. Heuristik:
Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 1, Februari 2021.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004.
Suwedi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Suwedi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Suwito dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2005.
Syalabi, Ahmad. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Cet. V; Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1988.
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak akar-
akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Cet. I; Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Yusnadi. “Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah”. At-Ta’dib: Jurnal
Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam, Vol. 12, No. 02, Desember 2020.
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

21

Anda mungkin juga menyukai