Disusun oleh :
Vineke Vidiyani Soromi
NIM : 2018 10047
Kelas : 1 A
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya membuka dengan luas kritik dan saran dari
pembaca untuk dapat menyempurnakan makalah ini dan untuk penyusuanan selanjutnya yang
lebih baik lagi. Terima kasih.
Penyusun
INFEKSI NOSOKOMIAL
A. PENDAHULUAN
Istilah infeksi pada umumnya digunakan untuk mengartikan penumpukan dan
pelipatgandaan bakteri, serta mikro organisme lain dalam jaringan atau pada permukaan tubuh
tempat mereka dapat menyebabkan efek merugikan. Jika respon tuan rumah kecil atau tidak
ada, biasanya disebut kolonisasi. Sepsis berarti hadirnya radang, pembentukan nanah, dan
tanda kesakitan lain dalam luka yang dikolonisasi oleh mikroorganisme serta dalam jaringan
yang padanya infeksi itu telah menyebar.
Nosokomial berasal dari kata Nosos yang berarti penyakit dan kooeo yang berarti
merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat penyakit atau rumah sakit, sehingga
nosokomial berarti yang berhubungan dengan rumah sakit dan infeksi nosokomial berarti
infeksi yang berasal dari atau terjadi di rumah sakit .
Infeksi Nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada penderita yang dirawat di
rumah sakit dan merupakan penyebab penyakit kesakitan dan kematian terutama pada
penderita dengan imuno compromise. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan
menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi
penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam
tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection,
sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal
dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Siregar, 2004).
Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya
membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,5-0,6
kg per tempat tidur rumah sakit perhari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini
paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam kategori untuk masing-
masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum
pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminasi
antrauma (Injuri) (KLMNH, 1995).
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan
perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-
kebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan dilingkungan rumah sakit.
Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen
Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan insilasi
pengelolaan limbah rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari sumber
bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit pemerintah telah
dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk disempurnakan.
Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan
permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. (Depkes RI, 1992).
B. DEFINISI
Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections atau Hospital-Acquired Infections) adalah
suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan infeksi itu
tidak ditemukan/diderita pada saat pasien masuk rumah sakit
Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan kematian. Infeksi
nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat
dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif
lainnya.
Infeksi oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami immuno compromise yang
dirawat di rumah sakit, infeksi biasa berasal dari luar dan dari dalam penderita sendiri yang
disebabkan oleh kerusakan barier mukosa.
Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan medik yang lain
bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari makanan, minuman atau ventilasi,
kateter dan alat endoscope ataupun tindakan invasif yang lain.
Infeksi Nosokomial mempunyai angka kejadian 2 – 12% (rata-rata 5%) dari semua
penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1-2 % dari semua kasus yang dirawat
di rumah sakit di USA 1,5 juta pertahun dan meninggal 15.000 orang.
Organisasi utama yang menyebabkan infeksi nosokomial meliputi Pseudomonas
aeruginosa (13%), Staphylococcus aereus (12%), staphylococcus koagulase-negatif (10%),
Candida (10%), enterococci (9%), dan enterobacter (8%). Di negara berkembang angka
kejadian infeksi Nosokomial belum bayak diketahui dengan pasti (Siregar, 2004).
Kejadian dan berbagai efek infeksi rumah sakit, pada dasarya bergantung pada
mikrorganisme, tuan rumah (pasien dan staf), lingkungan dan pengobatan.
Walaupun sebenarnya, setiap infeksi dapat diperoleh dari pasien atau staf rumah
sakit, ada beberapa organisme patogen tertentu yang terutama berkaitan dengan infeksi
rumah sakit dan beberapa yang jarang menyebabkan infeksi dalam lingkungan lain.
Peranan mereka sebagai penyebab infeksi rumah sakit, bergantung pada patogenitas aau
virulensi (kemampuan dari spesies atau strain menyebabkan penyakit), dan pada jumlah
mereka, juga bergantung pada ketahanan pasien, dan karena banyak pasien dalam rumah
sakit yang resistensinya kurang, disebabkan oleh penyakit atau pengobatan mereka,
organisme yang relatif tidak berbahaya pada orang sehat dapat menyebabkan penyakit
dalam rumah sakit. Organisme oportunistik demikian (misalnya Pseudomonas aeruginosa)
biasanya resisten terhadap banyak antibiotik dan mampu tumbuh dengan subur dibawah
kondisi yang di dalamnya kebanyakan organisme penyebab penyakit tidak dapat
berkembang.
Pada pasien yang sangat rentan, pasien yang menglami transplantasi, pasien yang
terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan pasien yang memerlukan
kemoterapi yang diperpanjang, beberapa mycobacteria, fungi (misalnya, Candida
albicans, Aspergilli, dan Cryptococcus neoformans), virus (misalnya, Herpes simplex dan
cytomegalovirus) dan protozoa (misalnya, Pneumocystis carinii) adalah penyebab infeksi
berat dan sering menimbulkan kematian. Cryptosporidia adalah penyebab diare berat pada
pasien dengan infeksi HIV.
Perjangkitan infeksi (infeksi epidemik) dapat disebabkan oleh agen (zat, kekuatan
atau prinsip yang dapat menimbulkan efek) penyakit infeksi tertentu, biasanya disebabkan
masuknya pasien terinfeksi atau hadirnya suatu pembawa dalam ruang perawatan.
Perjangkitan infeksi ini dapat juga terjadi melalui kesalahan luar biasa dalam suplai aseptis
atau steril (misalnya kontaminasi tetes mata atau cairan infus).
karakteristik mikroorganisme
resistensi terhadap zat-zat antibiotika
tingkat virulensi
banyaknya materi infeksius
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu
sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.
a. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat.
Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri
patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut
mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli
paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih
berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangren
Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung
dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah
serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.
Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus,
Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan
air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri
gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru,
dan peritoneum.
b. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk
virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan
endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan
dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan
melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama
seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,
penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial
adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster
virus, juga dapat ditularkan.
c. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa
maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat
antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans,
Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.
d. Infection by direct or indirect contact
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan penyebab
infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan
staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum
suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril,
tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross
infection.
3. Lingkungan
Tempat ketika pasien ditangani mempunyai suatu pengaruh penting pada kemungkinan
infeksi yang diperolehnya serta pada sifat infeksi demikian. Suatu keragaman
mikroorganisme yang luas, termasuk strain virulen, mungkin ditemui dalam rumah sakit
tempat banyak orang, termasuk beberapa dengan infeksi, dikumpulkan. Organisme ini
kemungkinan mencakup sebagian besar bakteri resisten antibiotika yang dapat tumbuh
dengan subur yang penggunaan antibiotika ditujukan untuk penindasan bakteri yang peka.
Berbagai lokasi rumah sakit yang berbeda mempunyai bahaya infeksi tersendiri.
Dalam meja bedah, terdapat suatu bahaya khusus infeksi luka karena pemaparan sering
dalam beberapa jam dan jaringan yang rentan, dan kehadiran sejumlah kemungkinan sumber
manusia serta benda mati. Dalam ruangan, pasien dapat terpapar pada kontaminan untuk
beberapa minggu, luka bedah terbuka, biasanya dilindungi oleh suatu bentuk tutup.
Walaupun hal ini tidak sempurna pada banyak pasien, terutama pasien dengan drainase
(suatu bahan kasa atau selang karet untuk mengeluarkan cairan keluar dari suatu luka atau
rongga).
1) Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan hiegene dari tangan. Tetapi
pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti
kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung
tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien
dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah: memakai sarung tangan
ketika akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin,
membrane mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi, dan segera mencuci
tangan setelah melepas sarung tangan.
Desinfeksi
Kebanyakan rumah sakit telah menetapkan suatu kebijakan untuk menggunakan
disinfektan, tetapi masih mungkin menemukan disinfektan yang tidak tepat digunakan pada
konsentrasi yang tidak memadai. Disinfektan mahal dan tidak efektif masih digunakan, sedang
zat yang lebih murah atau lebih efektif ada tersedia, atau digunakan apabila suatu disinfektan
tidak dibutuhkan sama sekali. Diperlukan suatu standarisasi disinfektan nasional dan suatu
kebijakan disinfektan yang baik, hendaknya sungguh-sungguh meningkatkan keefektifan biaya
disinfektan dalam rumah sakit.
Seleksi Disinfektan
Sifat Antimikroba
Apabila sesuai dengan persyaratan lain, disinfektan yang digunakan sebaiknya bersifat
bakterisidal (membunuh bakteri) daripada bakteriostatik (menghentikan atau merintangi
pertumbuhan bakteri), aktif terhadapsuatu rentang mikroba yang luas dan tidak cepat
inaktivasi. Manufaktur dapat menyuplai informasi tentang sifat-sifat disinfektan, tetapi
uji anti mikroba secara bebas (dilakukan sendiri) juga diperlukan.
Sifat-sifat lain
Sifat-sifat disinfektan yang dipilih harus dipertimbangkan menyangkut aseptabilitas, juga
aktivitas antibakteri. Stabilitas, toksisitas, dan sifat korosif perlu dikaji oleh apoteker
rumah sakit dengan bantuan informasi yang relevan, diperoleh dari manufakturnya.
Aseptabilitas dan sifat membersihkan, hendaknya dikaji oleh personel pengawas rumah
sakit atau pengguna. Harga, jelas penting sipertimbangkan, sebab penggunaannya cukup
banyak di rumah sakit. Untuk mengurangi harga, ada baiknya pengadaan dilakukan
dengan kontrak untuk satu atau dua disinfektan yang pada umumnya dapat diterima.
Antibiotik terdiri dari senyawa sintetik (Yakni, zat kemoterapi antimikroba) dan zat
yang diproduksi secara alami (antibiotika). Jika seseorang pasien diketahui atau dicurigai
menderita suatu infeksi klinisis, wajib menetapkan organisme apa yang diketahui atau
mungkin bertanggungjawab dan apada antibiotika mana organisme itu akan atau mungkin
sensitif.
Dalam infeksi yang sangat parah, terutama septikaemia (suatu penyakit sistemik
akibat mikroorganisme dan racunnya dalam aliran darah), endokarditis (endocarditis= radang
endokardium=lapisan endotel/ sel gepeng dari lumen jantung ditambah jaringan ikat
dibawahnya), osteomielitis (radang pada pasien dengan pertahanan alami yang lemah atau
pada pasien yang menerima obat imunosuprsif atau steroid, kemoterapi wajib bertujuan
membunuh organisme penyebab infeksi, yakni cairan jaringan harus megandung lebih dari
”konsentrasi minimal bakterisidal” (KMB) antibiotika. Untuk mencapai ini obat wajib
diberikan melalui rute yang tepat, misalnya, obat yang tidak diabsorpsi dari usus halus
mestinya tidak diberikan per oral, kecuali kerja lokal dalam usus besar diperlukan.
Strain yang resisten antibiotika dari organisme tertentu adalah umum dalam
rumah sakit. Staphylocuccus aureus dan basilus Gram negatif tertentu penyebab infeksi rumah
sakit, telah menjadi semakin bertambah resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan.
Organisme resisten ini dapat terjadi karena salah satu akibat berikut, yaitu sebagai akibat
seleksi strain yang pada hakikatnya resisten oleh penggunaan antibiotika yang ekstensif dan
sering sembarangan atau oleh mutasi bakteri yang sebelumnya sensitif, dan seleksi setelah
terpapar pada berbagai antibiotika. Beberapa organisme resisten, terutama basilus Gram
negatif, dapat memindahkan resisten antibiotik ke bakteri yang lain. Mengingat sejumlah
besar antibiotika yang tersedia, diperlukan pedoman tentang penggunaannya.
Pola resistensi antibiotik secara tetap berubah di rumah sakit maka perlu untuk mengubah
suatu kebijakan, sebagai respon terhadap perubahan dalam resistensi.
Contoh Kebijakan Antibiotik yang digunakan dalam Suatu Rumah Sakit Umum
Penisilin Ampisilin dan turunannya
Flukloksasilin Gentamisin
Penggunaan yang tidak dibatasi Tetrasiklin Sefuroksim
Eritromisin Kotrimoksazol (Timetoprim)
Metronidazol
Penggunaan yang dibatasi Azlosilin Vankomisin
(dengan nasihat dari dokter Seftazidim Kloramfenikol
penyakit infeksi atau Netilmisin Siprofloksasin
mikrobiologis) Klindamisin
Tidak direkomendasikan dan tidak Semua sefalosproin lain
disediakan dalam rumah sakit Amikasin
Tobramisin
Ureidopenisilin
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah
sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik
padat maupun cair. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang
terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan.
Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.
Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut: Limbah yang berkaitan dengan
pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium
yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi
penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan
tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan
obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik. Limbah
farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch
yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat- obat yang dibuang
oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi
bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat- obatan.
Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan
medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari
penggunaan medis atau riset radio nukleida. (Arifin. M, 2008).
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah
non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal
dari kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari
ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan
makanan, sayur dan lain-lain).
2. Limbah padat
Limbah cair
Limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha atau kegiatan yang berwujud cair (PP 82
thn 2001). Jenis-jenis limbah cair dapat digolongkan berdasarkan pada :
a. Sifat Fisika dan Sifat Agregat . Keasaman sebagai salah satu contoh sifat limbah dapat diukur
dengan menggunakan metoda Titrimetrik
c. Anorganik non Metalik contohnya Amonia (NH3-N) dengan metoda Biru Indofenol
f. Sifat Khusus contohnya Asam Borat (H3 BO3) dengan metoda Titrimetrik
Limbah padat
Limbah padat berasal dari kegiatan industri dan domestik. Limbah domestik pada
umumnya berbentuk limbah padat rumah tangga, limbah padat kegiatan perdagangan,
perkantoran, peternakan, pertanian serta dari tempat-tempat umum. Jenis-jenis limbah padat:
kertas, kayu, kain, karet/kulit tiruan, plastik, metal, gelas/kaca, organik, bakteri, kulit telur, dll
Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau
beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak
atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk
limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi
karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan
penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah
satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat
diketahui termasuk limbah B3.
Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal
dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur
aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested
aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak
mengandung padatan organik.
Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan
gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api,
gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala
akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia
dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam
tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut.
Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit
atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang
diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau
mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat
asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
Sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam peraturan pemerintah No.18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, limbah B3 terbagi atas dua
macam yaitu yang spesifik dan yang tidak spesifik.
Perbedaan pokok antara limbah B3 spesifik dan tidak spesifik terletak pada cara
penggolongannya. Pada limbah spesifik digolongkan kedalam jenis industri, sumber
pencemaran, asal limbah, dan pencemaran utama sedangkan pada limbah tidak spesifik
penggolongannya atas dasar kategori dan bahan pencemar
Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat gangguan
karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh
pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang
paling rentan Kedua, karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu
kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga, pengunjung /
pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan akan
semakin besar. Keempat, masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi
bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke
lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu lingkungan menjadi turun kualitasnya, dengan
akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut.
Oleh karena itu, rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang baik
dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit (Kusnoputranto.H, 1993).
Berikut adalah tabel yang menyajikan contoh sistem kondisifikasi limbah rumah sakit
dengan menggunakan warna :
Bangsal/Unit
Klinik Kuning
Kotor/Terinfeksi Merah
Dapur
1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah
klinik dan yang lain untuk bukan klinik
2. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai limbah klinik
3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan
perlu dinyatakan aman sebelum dibuang (Depkes RI, 1992).
Pengelolaan limbah
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan
kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :
1. Pemisahan Limbah
- Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan
kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H,
1995).
2. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan
kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan
mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan
ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.
3. Penanganan Limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian
diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas
Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama
telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai.
Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak
sebelum diangkut ketempat pembuangan.
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian
bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa keinsenerator.
Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan dinas pekerja
umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan
dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah)
dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada
hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk (Bambang Heruhadi, 2000).
Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator
berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi
dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi
rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan
melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator
modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya
menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk
farmasi yang tidak terpakai lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :
4. Bakteremia (CRBSI)
Infeksi ini berisiko tinggi. Karena dapat menyebabkan kematian.
Organisme penyebab infeksi : Terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan
antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida.
Penyebaran : Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum
suntik, kateter urin dan infus.
Penyebab : Panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan prosedur invasif, dan
perawatan dari pemasangan kateter atau infus.
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Charles., 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Buku kedokteran EGC, Jakarta.
Hermawan Guntur, 2004. Perspektif Masa Depan Imunologi-Infeksi. Sebelas Maret University
Press, Surakarta.
Soeparman, dkk., 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Parhusip, 2005. Jurnal Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Serta
Pengendalian di BHG. UPF. Paru RS. Dr. Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan.
e-USU Repsoitory.
Anonim, 2011. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal, availalbe at http://spiritia.or.id/,
diakses tanggal 13 Februari 2011.
BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta.
Arifin.M, 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI, Jakarta.
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum. Jakarta
Slamet Riyadi. 2000. Loka Karya Alternatif Ekologi Pengelolaan Sanitasi dan Sampah. Alkatiri,
S. 2009. Efektivitas Hasil Pengelolan Air Limbah Rumah Sakit. UnAir.
Sarwanto, Setyo. 2009. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan Rumah Sakit :
Limbah Rumah Sakit Belum Dikelolah Dengan Baik . Jakarta : UI.
Kusnoputranto, H. 1993. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya terhadap lingkungan
dan kesehatan dalam Seminar Rumah Sakit. Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan
Lingkungan, Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.