BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
purna jeneng yaitu mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus
harta benda dan keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala
berlaku pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
1
Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. Hal 73.
2
Hilman Hadikusuma. 2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. CV Bandar Maju. Hal
1.
2
anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris. Sebaliknya dalam sistem
adalah mereka yang ada pada garis ibu. Pada sistem parenatal / bilateral
yaitu sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis ayah dan ibu sehingga
Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum waris adat di
hukum kewarisan yakni hukum kewarisan KUH Perdata, Islam, dan Adat.4
3
Haniam Maria. 2015. “ Mengenal Sistem Kekerabatan Patrilineal dan Matrilineal”.
http://www.kompasiana.com. Diakses tanggal 8 April 2016, pukul 0.35
4
Soerjono Soerkanto. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal
12.
3
II KUH Perdata. Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300 pasal,
yang dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan pasal 1130 KUH
dua macam yaitu ditentukan oleh undang-undang, pada hal ini mewaris
Dalam pasal 832 KUH Perdata yang ditentukan sebagai ahli waris adalah
para keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama.5
dalam hal atau keadaan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an
Islam , diantaranya bagian separuh anak laki-laki sama dengan bagian dua
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua
maka bagi merek 2/3 dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dari ibu bapak,
tentang ahli waris yaitu ahli waris dipandang beragama islam apabila
5
Obbie Afri Gultom. 2014.” Ketentuan Waris BW”. http://www.gultomlawconsultants.com.
Diakses tanggal 8 April 2016, pukul 0.55
4
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa
Dalam hal mengenai kedudukan ahli waris, hukum adat melihatnya atas
pengaturan hukum waris adat, terutama terhadap penetapan ahli waris dan
yaitu sistem yang menetukan bahwa para ahli waris mewaris harta
waris. Sistem kewarisan mayorat yaitu sistem yang mentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini
6
Nurul Fajrien. 2014. “ Studi Komparatif Pembagian Waris Anak Perempuan Antara Hukum
Waris Islam Dengan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata”. Hasil Penelitian Fundamental
DIKTI, Pontianak.
5
ada dua macam yaitu mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki
keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan
dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Undang-undang tidak
waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota
Kedudukan ahli waris dalam hal ada anak laki-laki dan perempuan
dua orang anak perempuan. Jika dalam keluarga hanya ada anak
disebut dengan dzul faraa’idh. Dzul faraa’idh yaitu ahli waris yang sudah
ditentukan dalam Al- Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu
rincian masing-masing ahli waris dzul- faraa’idh ini dalam Al- Quran
tertera dalam surat An- Nisaa ayat 11, 12, dan 176.9
Menentukan ahli waris dalam hukum adat tidak lepas dari sistem
7
Eman Suparman. 2007. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan Bw.
Bandung. PT Refika Aditama. Hal. 43
8
ibid. hal 30
9
Sajuti Thalib. 2000. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 118.
6
sekali tidak mewaris. Titik tolak anggapan tersebut adalah emas kawin
yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara
itu hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta
anak dengan keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan
adalah yang paling penting dalam kehidupnnya, misalnya pancer laki- laki
10
Eman Supatman. Op. cit. Hal 45.
11
Asri Thaher. 2006. “ Sistme Pewarisan Kekerabatan Patrilineal dan Perkembangannya di
Kecamatan Banuhampu Pemerinthan Kota Agam Propinsi Sumatera Barat”. Hasil Penelitian
Fundamental DIKTI, Semarang.
12
Eman Suparman. Op.cit. hal 60
7
bapaknya. Anak dalam kaitan ini adalah anak laki-laki dan perempuan
tuanya. Anak laki laki yang mewarisi semua harta warisan, keturunan,
membayar hutang orang tua, dan melakukan upacara kematian ngaben jika
orang tua meninggal, sebab anak laki-laki sebagai garis purusa (sistem
(clan, soroh atau marga), maka anak perempuan tidak memiliki kewajiban
suatu pemberian sama rata atau memilih untuk tidak menikah sepanjang
13
I Putu Angga. 2014. “Hak Waris Anak Perempuan Terhadap Garta Guna Kaya Orang
Tuanya Menurut Hukum Waris Adat Bali”. Artikel Ilmiah Penelitian Fundamental DIKTI, Jember
8
dari clan atau kerabat ayah kandungnya namun membawa pihak laki-laki
mewaris sebagai ahli waris ialah hanya keturunan laki - laki dari pihak
peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa
bersebarangan dengan Hukum Adat Bali dan juga hukum agama hindu.
untuk mengingkari hukum yang berlaku dinegara ini. Hukum adat Bali
14
Desy Erina. 2013. “ Pembagian Waris Bagi Wanita Dalam Hukum Waris Adat Bali setelah
Dikeluarkannya Putusan Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010”. Hasil
Penelitian Fundamental DIKTI, Yogyakarta.
15
Luh Putu Anggreni.2016. Kesetaraan Dalam Hukum Adat Bali http://www.balisruti.com/
Diakses tanggal 25 Februari 2016,pukul 23.00
9
Bali yang diatur di Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali No.
Bali yaitu : “ sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan
Wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusha setelah dipotong
1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum
wanita Bali yang pindah ke agama orang lain, mereka tidak berhak atas
hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa
16
Gek Ela Kumala Parwita, 2011, Diskriminasi DiBalik Hukum Adat, Balisruti, edisi Februari
2011, Bali.
17
Hukum Online. 2012.”Hak Waris Anak Perempuan Menurut Adat Bali”.
http://www.hukumonline.com Diakses Tanggal 12 Mei 2016, pukul 9. 22
10
sebagai pilihan hukum, sehingga putusan ini bisa digunakan atau tidak.
B. Permasalahan
Bali ?
11
Penglipuran Bali ?
C. Tujuan
Bali.
Penglipuran Bali.
Manfaat dan kegunaan yang ingin di capai penulis dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
12
1. Secara Teoritis
hukum, khususnya pada bidang hukum waris adat dimasa yang akan
Penglipuran.
2. Secara Praktis
a. Bagi penulis
c. Bagi Masyarakat
ini.
E. Metode Penelitian
teliti maka tidak akan lepas dari metode penelitian yang dipakai oleh
1. Metode Pendekatan
memperoleh data- data yang akurat hal ini dapat dilakukan dengan cara
18
Mohammad Nazir. 2011. Metode Penelitian. Bogor. Penerbit. Ghalia Indo. Hal. 53
15
2. Lokasi Penelitian
merupakan salah satu desa adat yang berada dalam lingkungan Desa
Bali. Yang mana secara garis besar seorang ahli waris perempuan di
3. Jenis Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam hal ini adalah data
yang akurat dan relevan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis.
a. Data Primer
b. Data Sekunder
c. Data Tersier
sebagai berikut :
a. Wawancara
19
Fakultas Hukum UMM. 2012 Pedoman Penilisan Hukum. hal 18
20
ibid
21
ibid
17
Wawancara adalah proses tanya jawab lisan antara dua orang atau
Penglipuran.
22
Ali. 2015. “Pengertian Wawancara, Tujuan Wawancara, Jenis Wawancara
“.http://www.informasiahli.com/ Diakses tanggal 6 Maret 2016,pukul 23.00
18
b. Metode Kepustakaan
Nomor 3019).
lain sebagainya.
data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis,
23
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti.
Bandung. Hal 172.
20
Penglipuran.
F. Sistematika Penulisan
empat bab yang terdiri dari sub bab yang bertujuan untuk mempermudah
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi kajian – kajian teori- teori hukum yang mendukung
24
Suparno.(etal.,). 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang. UNM. Hal 28.
21
Penglipuran Bali.
4. BAB IV PENUTUP