Anda di halaman 1dari 9

31

ADOPSI
(DITINJAU SECARA KULTURAL DAN TEOLOGIS)

1. Pendahuluan
Kelahiran anak adalah suatu dambaan yang sangat dinanti-nantikan dalam
keluarga. Dari sudut kekristenan, anak dipandang sebagai pemberian (berkat) dari Tuhan,
manusia atau keluarga hanyalah sebagai alamat dari berkat tersebut. Hal ini juga sesuai
dengan pandangan adat atau budaya orang Batak: anak adalah “palumean” (pemberian)
dari Tuhan; di samping sebagai generasi penerus dalam keluarga.
Oleh karena itu, anak yang lahir dalam keluarga melalui ikatan perkawinan, tidak
dilihat sebagai tujuan perkawinan, tetapi sebagai hasil perkawinan; dan ini-pun bukan
satu-satunya. Apabila anak dilihat hanya sebagai tujuan, maka mereka seolah-olah barang
yang diproduksi begitu saja, dan ketika tujuan tersebut sudah tercapai, tidak perlu lagi
dihiraukan. Dan sebaliknya, apabila perkawinan tidak menghasilkan anak (keturunan),
maka perkawinan itu dianggap gagal. Pemahaman yang demikian sangat tidak mendidik
dan tidak kristiani.
Memang harus diakui, dalam budaya Batak sebuah keluarga yang belum
mempunyai anak, pada umumnya dipandang kurang sempurna; bahkan antara anak laki-
laki dan anak perempuan masih sering dibeda-bedakan. Di beberapa keluarga masalah ini
ternyata masih sangat berpotensi untuk menciptakan keretakan dalam perkawinan.
Demikian halnya dengan pemahaman kekristenan, tujuan perkawinan dalam
keluarga bukanlah semata-mata hanya untuk memperoleh anak atau keturunan, tetapi
anak hanyalah salah satu dari hasil perkawinan dan buah cinta kasih dari pasangan suami-
isteri. Maka bagi pasangan yang belum mendapat anak, tetapi sangat mendambakan
kehadiran seorang anak, maka adopsi anak adalah langkah alternatif.

2. Pengertian

a. Etimologi Dan Terminologi


Secara etimologi, adopsi berasal dari kata “adoptie” (bhs Belanda) dan
“adopt”,”adoption” (bhs Inggris), artinya pengangkatan anak.1 Dalam bahasa
Yunani disebut “huiostesia” atau “huiostesias” artinya pengangkatan anak atau
1
Muderis Zeini, Adopsi (Suatu Tinjauan dari Tiga Sistim Hukum), (Jakarta: Sinar Grafika 1995), hlm. 4.
32

pemungutan anak.2 Dalam bahasa Arab disebut dengan “tabbani”, dimana menurut
Prof. Mahmud Yunus, pengertian Tabbani adalah untuk mengambil anak angkat3.
Secara terminologi, dalam Ensiklopedi Umum disebutkan, adopsi adalah proses
pengangkatan anak atau terjadinya hubungan antara orang tua yang mengadopsi
dengan anak yang diadopsi. Hal ini diatur dalam peraturan dan perundang-undangan
pencatatan sipil. Sebelum satu keluarga melakukan adopsi anak, calon orang tua yang
hendak mengadopsi, haruslah terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat atau ketentuan
yang berlaku, hal ini dilakukan untuk menjamin kesejahteraan anak yang diadopsi.4

b. Kultural (Hukum Adat)


Sebagai konsekwensi dari keanekaragaman suku dan budaya yang ada di
Indonesia, mengakibatkan adanya perbedaan tentang cara mengadopsi anak.
Menurut Soerojo Wighjodipoerjo, secara garis besar dan pada umumnya setiap
budaya di dalam hukum adatnya, tentang cara pengangkatan anak adalah sebagai
berikut:5
1). Mengangkat anak dari luar keluarga, yaitu mengadopsi anak oleh orang tua angkat
yang dari keluarga lain, dan kemudian menjadi bagian dari keluarga yang
mengadopsi.
2). Mengangkat anak dari kalangan keluarga sendiri, yaitu mengadopsi anak dari
salah satu keluarga yang masih ada hubungan kekeluargaan.
3). Mengangkat anak dari keluarga dekat, yaitu mengadopsi anak keponakan atau
anak dari abang/kakak kadung. Biasanya hal ini terjadi karena keluarga yang
mengadopsi anak itu belum dikaruniai Tuhan anak.
Memang harus diakui, pengangkatan anak di tiap-tiap daerah, masih
mempunyai peraturan yang berbeda-beda; sebagai representasi suku yang dimaksud,
dalam tulisan ini kami mengangkat tiga budaya atau suku, yaitu :

1). Batak Toba.


2
Barelay M. Newman Jr, Kamus Yunani Indonesia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1991), hlm. 176.
3
Mahmud Yunus, Adopsi Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kak Haji Mas Agung, 1986), hlm. 25.
4
James. F Childress and John Macquarrie (ed) Dictionari of Christians Ethis, (Philadelpia: The
Westminster Press, 1967), hlm. 110.
5
Soerojo Wighjodipoerjo, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, (Jakarta: Kak Haji Mas Agung:
1987), hlm. 118-119
33

Adopsi dalam bahasa Batak Toba disebut “anak na niain”. Pengangkatannya


dilakukan sebagai berikut:
a). Yang meng“ain” anak, haruslah keluarga yang tidak mempunyai anak laki-
laki.
b). Anak yang di“ain”, haruslah dari keluarga dekat (saudara).
c). Harus dirajahon dengan cara adat yang telah ditentukan, acara tersebut
dihadiri oleh dongan tubu, hula-hula dan boru (dalihan na tolu) atau keluarga
dekat.
Pada masa sekarang, syarat di atas sudah tidak berlaku mutlak, khususnya
bagi masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan (perantauan). Hal ini disebabkan
karena sudah banyak keluarga yang mengadopsi anak justru dari suku lain.

2). Batak Simalungun.


Di daerah Simalungun, pengangkatan anak disebut “anduhon”, yaitu adopsi
terhadap anak yang berasal dari kalangan keluarga, yang dilakukan dalam suatu
upacara makan bersama. Upacara ini dilakukan dan dihadiri banyak orang, yaitu
anak boru, anak boru jabu beserta saudara dari ayah dan ibu. Dalam hal ini anak
laki-laki dan perempuan boleh “dianduhon” (diadopsi). Selain itu, ada juga yang
disebut “tondok”, artinya memelihara, memungut anak yang berasal dari keluarga
yang tidak diketahui siapa orang tuanya.6

3). Daerah Minang Kabau.


Adopsi dilakukan dengan cara mengangkat anak dari satu keluarga yang
bukan dari garis keturunan istri. Kemudian anak tersebut dimasukkan menjadi
suku dari si-ibu yang mengadopsi anak. Pengangkatan anak di Minang Kabau
dilakukan untuk mencegah punahnya suatu kerabat (garis keturunan), yaitu
dengan cara mengadopsi anak perempuan.7

c. Teologis

1). Dalam Perjanjian Lama.

6
Bastian. T, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hlm. 105.
7
Muderis Zeini, Op-Cit, hlm. 9.
34

Dalam Perjanjian Lama tidak ditemukan suatu hukum yang mengatur


tentang adopsi8; namun ada tiga kegiatan yang sesuai dengan jiwa adopsi anak
dalam PL.
a). Eliezer orang Damsyaik oleh Abraham (Kej 15: 2).
b). Musa oleh putri Firaun (Kel 2: 10).
c). Genubath oleh Firaun raja Mesir (I Raja 11: 20).
Dalam kebiasaan Yahudi, seorang budak juga sering “diadopsi” dari para
calo, orang yang mengadopsi harus mengeluarkan sejumlah uang tebusan, dan
budak itu harus tunduk dan mengabdi kepada tuannya yang baru.
Bagi yang mengadopsi anak, biasanya lebih mengutamakan anak laki-laki
dibanding dari anak perempuan, hal ini disebabkan karena anak laki-laki dianggap
sebagai ahli waris dan penerus garis keturunan dalam keluarga. Sedangkan anak
perempuan biasanya dipandang sebagai pembantu, karena dianggap sebagai
pelengkap dari pekerjaan laki-laki.
Dalam sejarah Israel, Allah membuat perjanjian dengan Israel, sekaligus
membuat Israel menjadi umat-Nya; hal ini terlihat dari perkataan “anak-Ku”
(Hosea 11: 1; Kel 4: 22; Maz 2: 7). Dalam konteks kerajaan Israel, misalnya pada
peristiwa penahbisan seorang raja, diberi dekrit yang berisi kata-kata “Ilahi”, yang
menyangkut martabat dan janji pemerintahan. Sebutan anak-Ku kepada seorang
raja, misalnya kepada Daud, bukan karena adanya perkawinan Ilahi, tetapi oleh
karena jabatannya sebagai raja yang diurapi Tuhan. Dalam hal ini raja berstatus
sebagai anak Tuhan dan Tuhan sebagai Bapanya (bnd. 2 Sam 7: 14; Maz 85: 26).

2). Perjanjian Baru


Dalam PB, kata adopsi berasal dari kata “hoiostesia” (bhs Yunani), artinya
pengangkatan anak. Paulus mengingatkan agar orang Kristen yang melakukan
adopsi, tidak menggunakan anak sebagai alat tukar-menukar; namun harus
dijadikan sebagai ucapan syukur kepada Allah (Gal 4: 5-7). Pandangan PB
mengenai adopsi, dipengaruhi oleh cara pengangkatan anak oleh orang Romawi,
yaitu:9
8
F.D. “Adoption”, Dalam Interpresters Dictionary Bible, A.G. Butrick (ed), (New York: Abigdon Press,
1973), hlm. 48.
9
Lih. Donald Guthrie, Theologi PB I, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995), hlm. 150-151. Guthrie:
Bahwa dalam pernyataan ini terdapat prinsip prioritas, bahwa manusia lebih penting dari benda dan misi
35

a). Anak adopsi kehilangan hak dalam keluarga lama dan kemudian mendapat hak
dalam keluarga yang baru (yang mengadopsi).
b). Menjadi ahli waris ayah barunya, sedangkan kelahiran anak kandung tidak
mempengaruhi status dan haknya dalam keluarga barunya.
c). Cerita kehidupan lama dari anak yang diadopsi, diganti dengan cerita
perjalanan hidup yang baru dalam keluarga yang mengadopsi.
d). Posisinya dalam hukum, anak adopsi mutlak menjadi anak dari ayah barunya
(bnd. Yes 14: 29).
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, bahwa dengan adopsi yang dilakukan
Yesus kepada manusia, maka setiap orang percaya turut dipindahkan kepada
keluarga kerajaan Allah.
Secara Teologis, adopsi merupakan tindakan Allah terhadap orang-orang
percaya, dengan memberi mereka Roh Kudus “roh dari adopsi” (Gal 4: 5; Efs 1:
5). Yesus adalah penjelmaan Allah, Ia disebut Anak Allah, dan setiap orang yang
percaya kepada-Nya, baik laki-laki maupun perempuan, ia telah “diadopsi”
menjadi anak-anak Allah (Gal 3: 28). Manusia diadopsi menjadi anak-Nya adalah
oleh kasih karunia Allah, dengan demikian maka pengertian adopsi secara
teologis, sangat erat hubungannya dengan pembenaran.10

3. Masalah-Masalah Dalam Adopsi

a. Alasan Dan Tujuan Melakukan Adopsi


Ada beberapa hal yang mendasar, yang dapat dijadikan sebagai alasan dan
tujuan melakukan adopsi.11
1) Adanya mitos yang menyatakan: bahwa dengan adanya anak di dalam satu
keluarga, akan dapat “memancing” kelahiran dari anak sendiri.
2) Untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan generasi penerus dalam
keluarga.
3) Rasa belaskasihan terhadap anak terlantar atau yang orang tuanya tidak
mampu memelihara anaknya.

Yesus yang didasarkan yang lebih realistis mengenai keadaan manusia sebagaimana adanya.
10
J.D.Douglas, The Consise, Dictionari of the Christian tradition, (Bandervein: tp, 1989), hlm. 235.
11
Djaja S Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 4.
36

4) Tidak mempunyai anak, tetapi ingin mempunyai anak.


5) Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
6) Untuk menambah dan mendapatkan tenaga kerja.

b. Prosedur Dan Hukum Adopsi Di Indonesia

1). Prosedur Administrasi Pengangkatan Anak.


Dalam hal pengangkatan anak, sabagaimana yang diutarakan Djaja S.
Meliala; yang mengadopsi anak perlu meminta penetapan ke pengadialan negeri,
dan untuk itu diperlukan beberapa syarat sebagai berikut12:
a) Akta kelahiran dari anak tersebut.
b) Akta perkawinan dan surat nikah dari orang tua kandung.
c) Akta perkawinan dan surat nikah dari orang tua angkat.
d) Surat keterangan perjanjian dari orang tua angkat.
e) Surat keterangan perjanjian penyerahan anak dari orang tua kandung
kepada orang tua angkat, yang disaksikan oleh dua orang saksi dari kedua-
belah pihak, dan diketahui oleh Kepala Desa.

2). Hukum Negara Yang Mengatur Adopsi.


a) Hukum yang mengatur tentang adopsi telah ada sejak masa penjajahan.
Dalam Pasal 5 Staatsblad tahun 1917, No. 129, mengatur tentang siapa saja
yang boleh mengadopsi anak. Pasal 8-10, mengatur tentang tata cara
pengangkatan anak (khusus Pasal 10, pengangkatan anak harus dilakukan
dengan akte notaris). Pasal 11,12,13,14 menyangkut masalah akibat hukum
pengangkatan anak. Pasal 14 menyatakan, dengan terjadinya pengangkatan
anak, maka status anak yang bersangkutan berubah menjadi seorang anak
yang sah. Pasal 15, mengatur tentang pembatalan suatu adopsi. Pengangkatan
anak tidak dapat dibatalkan hanya oleh yang bersangkutan itu sendiri.13

b) Hukum perundang-undangan di Indonesia sesudah kemerdekaan tentang


adopsi, diatur dalam Undang-undang Negara RI No. 4, thn 1978. Pasal 12
ayat 3 menyatakan: untuk kepentingan kesejahteraan anak, maka
pengangkatan anak yang dilakukan di luar hukum adat dan kebiasaannya,
12
Djaja S Meliala, Op-Cit, hlm. 5.
13
Munderis Zeini, Op-Cit, hlm. 31-32.
37

maka pengangkatan anak dilakukan berdasarkan Peraturan dan Perundang-


undangan yang berlaku (PP).14

3). RPP HKBP


Hukum yang mengatur adopsi anak dalam Gereja HKBP hanya ditemukan
di dalam RPP HKBP (hukum siasat Gereja), sebagai berikut: Sakrament
Baptisan Kudus dapat dilakukan kepada anak yang diadopsi, setelah ada surat
keputusan dari pengadilan negeri tentang anak yang diadopsi tersebut15.

c. Beberapa Permasalahan Yang Sering Timbul Dalam Pengadopsian Anak

1). Bagi Anak Angkat.


Dalam hukum adat yang terdapat di tiap daerah di Indonesia, belum ada
keseragaman dalam hal mengadopsi anak, khususnya masalah pembagian harta
warisan bagi anak angkat. Masalah yang lain yang sering timbul adalah
menyangkut masalah psikologis, anak yang diadopsi sering dinomorduakan
dalam keluarga. Orang tua angkat sering memperlakukannya dengan tidak
manusiawi. Oleh sebab itu apabila terjadi seperti hal yang di atas, maka si-anak
yang diadopsi berhak melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

2). Bagi Orang Tua Angkat.


Pada umumnya yang menjadi kekawatiran orang tua angkat kepada anak
angkatnya adalah, apabila si anak berusaha untuk mencari tahu identitas dirinya,
maka orang tua angkat kawatir akan kehilangan kasih sayang dari anak yang
diadopsi. Lebih lagi apabila si anak meminta kembali kepada orang tua
kandungnya. Oleh karena itu, orang tua angkat lebih baik menceritakan identitas
si-anak secara jujur, dengan melihat situasi yang tepat untuk menceritakannya.16.

3). Motivasi Melakukan Adopsi.


Dalam hal ini, motivasi melakukan adopsi yang patut untuk
dipermasalahkan adalah, apabila motivasi itu telah menyimpang ke arah yang
negatif, seperti tujuan eksploitasi.

14
Djaja S. Meliala, Op-Cit, hlm. 114-118.
15
HKBP, RPP HKBP, (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 1987), hlm. 23
16
Kartini-Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja Yang Bermasalah, (Jakarta: CV Rajawali, 1985),
hlm. 22.
38

4. Pandangan Etika Kristen Tentang Adopsi


Menurut teologi Kristen, bahwa Allah mengangkat setiap orang yang percaya
menjadi anak-anak-Nya. Pengangkatan ini terjadi semata-mata karena anugerah Allah.
Allah sendirilah yang berinisiatif dan bukan karena kelebihan yang ada pada diri manusia.
Dalam kekristenan masalah adopsi merupakan pengakuan iman manusia kepada Tuhan.
Tuhanlah yang melakukan adopsi kepada manusia, dengan menunjukkan kuasa-Nya dan
kasih-Nya melalui penebusan Kristus di kayu Salib. Dengan peristiwa tersebut, maka
setiap orang yang percaya, telah menjadi anak-anak-Nya sesuai dengan kemurahan
kehendak-Nya (Efs 1: 5).
Dari segi etika Kristen, segala bentuk eksploitasi anak haruslah ditentang, sebab di
hadapan Tuhan semua manusia adalah sama (Gal 3: 28), termasuk anak yang diadopsi
dan orang tua yang mengadopsi. Juga harus diperhatikan, bahwa mengadopsi anak
bukanlah menjadikan anak itu sesuka hati sendiri, tapi hendaklah anak tersebut dikasihi,
dihargai sebagaimana ia juga adalah manusia ciptaan Tuhan, yang selalu dikasihi dan
dipelihara oleh Tuhan. Dengan demikian setiap anak yang diadopsi, mempunyai hak atas
pemeliharaan dan hak azasinya sebagaimana layaknya manusia. Di samping itu, anak
yang diadopsi juga wajib menaati, menghormati orang tua yang mengadopsinya.
Anak yang diadopsi janganlah dibiarkan dan diajari berdosa. Ungkapan ini
khususnya ditujukan bagi orang tua angkat. Adalah tidak benar pendapat yang
menyatakan: bahwa orang tua angkat akan kehilangan kasih sayang anak, apabila kepada
sianak tersebut dijelaskan mengenai identitas dirinya yang sebenarnya. Orang tua perlu
menjelaskan secara terbuka masalah yang sebenarnya kepada si-anak. Namun demikian
haruslah diperhatikan, yaitu apakah si-anak tersebut sudah cukup mampu untuk menerima
penjelasan itu.17

5. Kesimpulan

a. Adopsi biasanya dilakukan oleh keluarga yang belum memiliki anak (keturunan),
tetapi ingin mempunyai anak, hal ini dilakukan untuk menyambung generasi penerus
dalam keluarga.

17
Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1988), hlm. 347.
39

b. Adopsi dilindungi dan diatur dalam suatu undang-undang/peraturan pemerintah,


dengan demikian, masyarakat Kristen hendaklah melakukan adopsi sesuai dengan
prosedur dan hukum yang berlaku.

c. Jika anak yang diadopsi berusaha mencari tau tentang jati dirinya (identitasnya),
orang tua yang mengadopsi anak tersebut perlu menjelaskan jati diri yang sebenarnya
dari sianak yang diadopsi, dengan memperhatikan apakah sianak tersebut sudah
cukup matang dan mampu untuk menerima penjelasan tersebut.

d. Secara teologis, adopsi dilakukan Allah Bapa terhadap manusia, yaitu dengan cara
penebusan Kristus di kayu Salib. Allah sendirilah yang berinisiatif menjadikan
manusia menjadi anak-Nya. Ia memelihara dan selalu mengasihi manusia yang telah
ditebus dengan darah Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus. Kemudian Ia memberi mereka
Roh Kudus, dan kehidupan yang kekal. Dengan demikian setiap keluarga Kristen
yang melakukan adopsi anak, hendaklah meneladani kasih Allah; seperti mengasihi,
memelihara, tidak membedakannya dengan anak kandung, sampai dengan memberi
hak warisan yang patut dia terima sebagai anak.

e. Dalam setiap budaya yang ada di Indonesia khususnya budaya Batak, anak yang
diadopsi akan berubah status kepemilikan dari keluarga lama kepada keluarga baru
yang mengadopsi. Demikian halnya dengan pemahaman teologis, manusia yang telah
di“adopsi” atau ditebus oleh Tuhan melalui Yesus Kristus, telah menjadi anak-anak
Allah dan wajib menaati hukum Allah. Sebaliknya, manusia yang telah mendapat
pembenaran oleh Allah, akan berhak menerima segala berkat dan kebahagiaan
kerajaan Allah hingga kehidupan yang selama-lamanya.

f. Bagi orang Kristen, mengadopsi anak tidak disalahkan, sejauh adopsi tersebut
memang bertujuan baik dan benar, bukan dengan tujuan eksploitasi.

Anda mungkin juga menyukai