ADOPSI
(DITINJAU SECARA KULTURAL DAN TEOLOGIS)
1. Pendahuluan
Kelahiran anak adalah suatu dambaan yang sangat dinanti-nantikan dalam
keluarga. Dari sudut kekristenan, anak dipandang sebagai pemberian (berkat) dari Tuhan,
manusia atau keluarga hanyalah sebagai alamat dari berkat tersebut. Hal ini juga sesuai
dengan pandangan adat atau budaya orang Batak: anak adalah “palumean” (pemberian)
dari Tuhan; di samping sebagai generasi penerus dalam keluarga.
Oleh karena itu, anak yang lahir dalam keluarga melalui ikatan perkawinan, tidak
dilihat sebagai tujuan perkawinan, tetapi sebagai hasil perkawinan; dan ini-pun bukan
satu-satunya. Apabila anak dilihat hanya sebagai tujuan, maka mereka seolah-olah barang
yang diproduksi begitu saja, dan ketika tujuan tersebut sudah tercapai, tidak perlu lagi
dihiraukan. Dan sebaliknya, apabila perkawinan tidak menghasilkan anak (keturunan),
maka perkawinan itu dianggap gagal. Pemahaman yang demikian sangat tidak mendidik
dan tidak kristiani.
Memang harus diakui, dalam budaya Batak sebuah keluarga yang belum
mempunyai anak, pada umumnya dipandang kurang sempurna; bahkan antara anak laki-
laki dan anak perempuan masih sering dibeda-bedakan. Di beberapa keluarga masalah ini
ternyata masih sangat berpotensi untuk menciptakan keretakan dalam perkawinan.
Demikian halnya dengan pemahaman kekristenan, tujuan perkawinan dalam
keluarga bukanlah semata-mata hanya untuk memperoleh anak atau keturunan, tetapi
anak hanyalah salah satu dari hasil perkawinan dan buah cinta kasih dari pasangan suami-
isteri. Maka bagi pasangan yang belum mendapat anak, tetapi sangat mendambakan
kehadiran seorang anak, maka adopsi anak adalah langkah alternatif.
2. Pengertian
pemungutan anak.2 Dalam bahasa Arab disebut dengan “tabbani”, dimana menurut
Prof. Mahmud Yunus, pengertian Tabbani adalah untuk mengambil anak angkat3.
Secara terminologi, dalam Ensiklopedi Umum disebutkan, adopsi adalah proses
pengangkatan anak atau terjadinya hubungan antara orang tua yang mengadopsi
dengan anak yang diadopsi. Hal ini diatur dalam peraturan dan perundang-undangan
pencatatan sipil. Sebelum satu keluarga melakukan adopsi anak, calon orang tua yang
hendak mengadopsi, haruslah terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat atau ketentuan
yang berlaku, hal ini dilakukan untuk menjamin kesejahteraan anak yang diadopsi.4
c. Teologis
6
Bastian. T, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hlm. 105.
7
Muderis Zeini, Op-Cit, hlm. 9.
34
a). Anak adopsi kehilangan hak dalam keluarga lama dan kemudian mendapat hak
dalam keluarga yang baru (yang mengadopsi).
b). Menjadi ahli waris ayah barunya, sedangkan kelahiran anak kandung tidak
mempengaruhi status dan haknya dalam keluarga barunya.
c). Cerita kehidupan lama dari anak yang diadopsi, diganti dengan cerita
perjalanan hidup yang baru dalam keluarga yang mengadopsi.
d). Posisinya dalam hukum, anak adopsi mutlak menjadi anak dari ayah barunya
(bnd. Yes 14: 29).
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, bahwa dengan adopsi yang dilakukan
Yesus kepada manusia, maka setiap orang percaya turut dipindahkan kepada
keluarga kerajaan Allah.
Secara Teologis, adopsi merupakan tindakan Allah terhadap orang-orang
percaya, dengan memberi mereka Roh Kudus “roh dari adopsi” (Gal 4: 5; Efs 1:
5). Yesus adalah penjelmaan Allah, Ia disebut Anak Allah, dan setiap orang yang
percaya kepada-Nya, baik laki-laki maupun perempuan, ia telah “diadopsi”
menjadi anak-anak Allah (Gal 3: 28). Manusia diadopsi menjadi anak-Nya adalah
oleh kasih karunia Allah, dengan demikian maka pengertian adopsi secara
teologis, sangat erat hubungannya dengan pembenaran.10
Yesus yang didasarkan yang lebih realistis mengenai keadaan manusia sebagaimana adanya.
10
J.D.Douglas, The Consise, Dictionari of the Christian tradition, (Bandervein: tp, 1989), hlm. 235.
11
Djaja S Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 4.
36
14
Djaja S. Meliala, Op-Cit, hlm. 114-118.
15
HKBP, RPP HKBP, (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 1987), hlm. 23
16
Kartini-Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja Yang Bermasalah, (Jakarta: CV Rajawali, 1985),
hlm. 22.
38
5. Kesimpulan
a. Adopsi biasanya dilakukan oleh keluarga yang belum memiliki anak (keturunan),
tetapi ingin mempunyai anak, hal ini dilakukan untuk menyambung generasi penerus
dalam keluarga.
17
Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1988), hlm. 347.
39
c. Jika anak yang diadopsi berusaha mencari tau tentang jati dirinya (identitasnya),
orang tua yang mengadopsi anak tersebut perlu menjelaskan jati diri yang sebenarnya
dari sianak yang diadopsi, dengan memperhatikan apakah sianak tersebut sudah
cukup matang dan mampu untuk menerima penjelasan tersebut.
d. Secara teologis, adopsi dilakukan Allah Bapa terhadap manusia, yaitu dengan cara
penebusan Kristus di kayu Salib. Allah sendirilah yang berinisiatif menjadikan
manusia menjadi anak-Nya. Ia memelihara dan selalu mengasihi manusia yang telah
ditebus dengan darah Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus. Kemudian Ia memberi mereka
Roh Kudus, dan kehidupan yang kekal. Dengan demikian setiap keluarga Kristen
yang melakukan adopsi anak, hendaklah meneladani kasih Allah; seperti mengasihi,
memelihara, tidak membedakannya dengan anak kandung, sampai dengan memberi
hak warisan yang patut dia terima sebagai anak.
e. Dalam setiap budaya yang ada di Indonesia khususnya budaya Batak, anak yang
diadopsi akan berubah status kepemilikan dari keluarga lama kepada keluarga baru
yang mengadopsi. Demikian halnya dengan pemahaman teologis, manusia yang telah
di“adopsi” atau ditebus oleh Tuhan melalui Yesus Kristus, telah menjadi anak-anak
Allah dan wajib menaati hukum Allah. Sebaliknya, manusia yang telah mendapat
pembenaran oleh Allah, akan berhak menerima segala berkat dan kebahagiaan
kerajaan Allah hingga kehidupan yang selama-lamanya.
f. Bagi orang Kristen, mengadopsi anak tidak disalahkan, sejauh adopsi tersebut
memang bertujuan baik dan benar, bukan dengan tujuan eksploitasi.