Perubahan Sosial
Oleh Abdul Syukur
Pendahuluan
Perubahan sosial yang tengah berlangsung di masyarakat Indonesia
dewasa ini adalah hal sangat menarik untuk dianalisis. Hal ini bukan saja karena
kegelisahan yang telah lama dialami masyarakat, tetapi juga karena kemauan
seluruh rakyat untuk mencari dan menemukan format kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan dan perkembangan
kehidupan yang sangat deras.
Ada banyak teori yang dapat digunakan untuk menganalisis berbagai
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, salah satunya seperti yang
dikemukakan oleh T.B. Bottomore (1972 : 308 – 310). Menurutnya terdapat
empat kerangka tentang perubahan sosial yakni: pertama, perubahan dapat
dibedakan antara perubahan endogen dan perubahan eksogen, artinya perubahan
sosial dari masyarakat tersebut dan juga berasal dari luar, kedua, kondisi-kondisi
apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan, ketiga, bagaimanakah kecepatan
dari proses perubahan sosial itu?, dan keempat, sampai seberapa jauhkah proses
perubahan sosial bersifat kebetulan atau disengaja atau dikehendaki?
Tulisan ini mencoba menganalisis perubahan politik sebagai salah satu
wujud dari perubahan sosial yang tengah berlangsung di masyarakat kita terutama
pasca Orde Baru.
Pembahasan
Pasca kemerdekaan tahun 1945 Indonesia mengalami dua babakan sejarah
politik kenegaraan yang menentukan. Pertama, rezim Orde Lama di bawah
Soekarno (1945 – 1965) dan yang kedua rezim Soeharto pada era Orde Baru
(1965 – 1998). Kedua rezim itu terutama pada paruh kedua dari kekuasaannya
memperagakan pola pemerintahan yang otoriter dan bahkan cenderung totaliter,
yang mengundang revolusi perlawanan dan peruntuhan, serta di belakang hari
meninggalkan trauma politik yang buruk dalam perjalanan bangsa ini.
Pada masa Orde Baru rezim Soeharti bahkan mendemonstrasikan
kekuasaan yang represif dan cenderung totaliter karena memperoleh dukungan
yang total dan sangat efektif dari Golkar, birokrasi, ABRI dan kelompok-
kelompok masyarakat yang telah terlumpuhkan dan menjadi unsur pengabdi yang
setia kepada penguasa. Peragaan politik yang sentralistik itu dilakukan dengan
memposisikan dan memfungsikan negara dengan idiom-idiom sakralnya yakni
Pancasila, UUD 1945, dan pembangunan secara eksporatif.
Negara di bawah rezim Orde Baru dan ambisi besar Soeharto telah
tumbang dan berkembang menjadi raksasa besar yang tangan-tangan
kekuasaannya menjangkau keseluruh relung kehidupan rakyat. Kenyataan politik
menunjukkan bahwa sebagian besar elemen-element dan aspek-aspek kehidupan
masyarakat dan bangsa benar-benar dicengkeram oleh gurita kekuasaan negara.
Negara telah menentukan mati-hidupnya apapun yang ada di bumi Nusantara ini.
Para aktor politik dan kekuatan politik yang dominan (baca: Golkar, birokrasi, dan
ABRI di bawah kendali Soeharto) benar-benar malang-melintang memainkan
kartu-kartu kekuasaan atas nama negara yang serba disakralkan itu. Kekuasaan
negara akhirnya menjadi identik dengan Soeharto dengan institusi-institusi politik
pendukungnya yang setia dan penuh pengkhidmatan.
Momentum keruntuhan Orde Baru dengan jatuhnya Soeharti pada 21 Mei
1998 oleh gerakan mahasiswa dan kepeloporan reformasi Dr. Amien Rais telah
memunculkan tekad politik yang kuat di masyarakat agar kedaulatan rakyat benar-
benar ditumbuhkan dan diwujudkan kembali dalam kehidupan ketatanegaraan
secara keseluruhan setelah lama hilang di negeri tercinta ini. Semangat untuk
membangun civil society atau masyarakat madani makin meluas, kendati masih
terbatas pada letupan-letupan aspirasi. Tuntutan ini sesungguhnya merupakan
suara rakyat secara sungguh-sungguh dan reformatif sesuai dengan asas
kedaulatan rakyat yang pilihan bangsa Indonesia sejak memproklamasikan diri
para 17 Agustus 1945.
Absolutisame Negara
Dalam sejarah pemikiran politik modern di dunia Barat dikenal paham
absolutisme tentang negara. Paham ini memandang negara sebagai institusi yang
serba menentukan, yang memiliki kekuasaan mutlak dan hampir tidak terbatas.
Negara dikonstruksikan sebagai institusi serba ideal. Hobbes dan Hegel termasuk
pemikir yang menganut paham absolutisme tentang negara itu.
Bagi Thomas Hobbes (1588-1679), kekuasaan negara harus absolut agar
mampu menciptakan ketentraman, kebebasan, dan rasa takut di kalangan warga
negara. Pemikiran filosof dari Inggris ini didasari oleh asumsi tentang manusia
yang selalu dikuasai oleh asumsi dan hawa nafsunya yang mengalahkan akal budi.
Dengan emosi dan nafsunya yang kuat, manusia tidak dapat meminta
pertanggungjawaban secara moral, kecuali dengan kekuasaan yang secara objektif
mampu mengendalikan naluri buruk itu. Kekuasaan pengendali yang objektif itu
tidak lain negara, yang mampu membuat manusia menjadi merasa takut.
Pandangan Hobbes sering disebut sebagai paham positivisme tentang
negara hukum formal. Hobbes menghendaki negara menunjukkan (1) kekuatan
tanpa tanding sehingga dapat memastikan dan memaksakan ketaatan para warga
negaranya terhadap peraturan-peraturan yang dibuatnya, dan (2) menetapkan
tatanan hukum untuk ditaati dan bila ada warga negara yang tidak menaatinya
dapat dihukum mati. Dengan posisi dan peran negara yang absolut itu, Hobbes
memandang bahwa negara itu bebas untuk memberikan pertanggungjawaban
kemanapun negara itu menerapkan peraturan yang dikehendakinya (Magnis
Suseno, 1995 : 10-11).
Pandangan absolutisme negara dikemukakan pula oleh G.W.F Hegel
(1770-1831). Pemikir dan filosof Jerman yang terkenal itu memandang negara
sebagai subjek dihadapan warga negara atau masyarakat sebagai objek. Hegel
berpendapat bahwa negara itu dibutuhkan untuk mengatasi egoisme masyarakat
modern dan sebagai penertib hukum dari kekacau-balauan (Magis Suseno, 1992:
120).
Hegel memandang negara sebagai wujud dari idea kesusilaan, yang
merupakan suatu titik temu antara idealitas dan realitas. Negara adalah substansi
kesusilaan yang telah sadar akan dirinya, yang telah menjadikan keluarga dan
masyrakat menjadi suatu sistesa yang berada di dalamnya. Bago filosof yang
pemikiran filsafatnya tergolong paling sukar dimengerti ini, kekuasaan negara
adalah kekuasaan kesusilaan, yang berarti meniadakan keputusan-keputusan
perorangan (Hadiwijono, 1980: 1030).
Dalam pandangan Mac Iver, Hegel termasuk pemikir yang sangat memuji
fungsi negara, yang berbeda dengan Spencer yang cenderung meremehkan fungsi
negara. Mac Iver (1988: 13), memang melihat fungsi negara itu sangat besar.
Negara mengatur hubungan-hubungan lahir yang penting dalam kehidupan
manusia. Negara menyokong atau mempergunakan hidup kemasyarakatan.
Negara memberikan pembatasan-pembatasan atau kekeluassan-kekeluasaan pada
masyarakat. Negara memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan masyarakat
atau sebaliknya bahkan menghancurkan hidup kemasyarakatan manusia terletak
pada negara. Bagi Iver (1988 : 28), negara adalah sebagai persetambatan yang
bertindak melalui hukum yang direalisasikan oleh suatu pemerintah, yang untuk
keperluannya itu diperlengkapi dengan kekuasaan untuk memaksa dan dalam
satuan kehidupan yang dibatasi secara teritorial, mempertegak syarat-syarat lahir
yang umum-mutlak dari suatu ketertiban sosial.
Kemutlakan posisi dan fungsi negara membuat institusi politik yang satu
ini menjadi milik kekuatan pemaksa. Max Weber (1964-1920) bahkan
menyatakan bahwa negara merupakan satu-satunya institusi politik yang memiliki
monopoli keabsahan untuk melakukan paksaan fisik kepada warga masyarakat
(Weber, 1978 : 54). Weber mengaitkan fungsi otoritas legal-rasional pada negara,
yakni suatu kewenangan yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat
peraturan yang diundangkan resmi dan diatur secara impersonal oleh negara.
Negara bagi Weber lebih dilihat sebagai sarana politik yakni sarana asosiasi
politik formal dan memiliki monopoli menggunakan kekuatan fisik.
Indonesia pada era Demokrasi Terpimpin di bawah rezim Soekarno
maupun era kekuasaan Soeharto pada masa Orde Baru, secara hegemonik dan
empiris-sosiologis mempraktekkan kekuasaan negara yang sangat dominan
dengan fungsinya yang nyaris mutlak sebagaimana faham absolutisme Hobbes
dan Hegel. Absolutisme posisi dan fungsi negara itu dapat dicermati dalam
beberapa gejala sosiologi-politik pada dua era kekuasaan yang otoritarian itu.
Pertama, kekuasaan negara yang diimplementasikan secara efektif dan
relatif melalui peran pemerintah (eksekutif) sangat superior dan menentukan
hampir seluruh proses dan keputusan politik yang serba mengatasi dan
mendominasi denyet kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Posisi
dan fungsi eksekutif yang superior itu menurut para ahli hukum tatanegara dan
pakar politik didukung oleh UUD 1945 yang lebih memberikan porsi kekuasaan
yang besar kepada Presiden sebagai kepala eksekutif.
Pemerintah dengan segala kepentingan dan otoritasnya bahkan identik
dengan negara. Siapa melawan pemerintah berarti melawan negara. Hampir
seluruh institusi kenegaraan seperti lembaga legislatif dan yudikatif, termasuk
partai-partai politik, ABRI, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan,
mensubordinasikan kepada kekuasaan pemerintah yang mengatasnamakan dan
mengidentitaskan diri negara itu. Institusi negara menjadi sangat konkret yakni
pemerintah, dan Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar dan nyaris tidak
terbatas sehingga benar-benar menjalankan fungsinya secara efektif dan konkret
sebagai kepala pemerintah (eksekutif), Panglima Tertinggi ABRI, dan Kepala
Negara. Negara itu bahkan seakan identik dengan Soekarno (pada era Orde Lama)
dan Soeharto (pada era Orde Baru), yang tidak boleh terbantah dan “titahnya”
adalah hukum negara. Bersikap kritis dan melawan kekuasaan keduanya, berarti
subversif dan menentang negara, sehingga ganjarannya adalah penjara.
Kedua, negara yang mengalami perwujudan yang konkret dalam kekuatan
Soekarno maupun Soeharto, secara budaya bahkan mengalami pengokohan secara
budaya dengan ditumbuhkannya mitos-mitos kekuasaan yang bersifat paham
religio-magis di sekitar kedua tokoh itu. Soekarno dengan sosok Pemimpin Besar
Revolusi dan mitos “Eracakra” yang melekat dalam dirinya menghadirkan
kharisma kekuasaan yang superior, sehingga nyaris menjadi sebuah legenda
sampai saat ini. Sementara Soeharto yang mengembangkan simbol-simbol dan
idiom-idiom budaya Jawa tidak kalah adikuasanya dalam menghadirkan
kekuasaan negara yang identik dengan dirinya. Soeharto bahkan menampilkan diri
sebagai pemegang tafsir tunggal tentang negara dan Pancasila, yang diselimuti
oleh idiom-idiom Kejawen yang antikritik. Siapa melawan negara, yang
sebenarnya mengkritik Soeharto akan digebuk, yang mengisyaratkan fungsi
negara yang memiliki kekuatan memaksa secara fisik sebagaimana paham Weber
tentang negara.
Dominasi negara melalui tangan besi Soekarno dan Soeharto,
menunjukkan wajahnya yang bersifat sakral dan sarat mitos relegio-magis,
sehingga negara makin superior dihadapan rakyat. Dengan paham kekuasaan Jawa
yang dimasyarakatkan secara nasional, rakyat bahkan seakan dididik secara
budaya-politik untuk menghamba atau mengabdi kepada negara, yang berarti
mengabdi kepada penguasa yang memposisikan dan memerankan diri sebagai
raja. Dua Presiden Indonesia itu dikonstruksikan secara budaya sebagai pemilik
pulung, sehingga kekuasaannya yang hegemonik itu laksana dewaraja dalam
struktur kekuasaan masyarakat tradisional.
Ketiga, khusus pada era Soeharto, negara yang menjadi serba elitis sering
menjelma dalam diri Soeharto sebagai presiden, di lain waktu dalam sosok
kekuasaan ABRI di mana dirinya sebagai Jendral Besar dan Panglima Tertinggi
ABRI, sehingga memperoleh legitimasi dan kekuatan yang efektif untuk
memainkan fungsi sebagai kekuatan pemaksa secara fisik dan sekaligus palang
pintu keberadaan negara yang paling utama. Pasca keruntuhan Soeharto dengan
rezim Orde Barunya itu, kini masih tampak bahwa para pejabat tinggi ABRI
mengesankan diri sebagai pemilik utama dari negara, yang sering tampil
mengidentikkan diri sebagai personifikasi negara. Gejala itu tumbuh bersamaan
dengan gejala militerisme yang telah berlangsung lama melalui Dwi-Fungsi ABRI
dan kekuasaan Soeharto yang militeristik itu. Dominasi negara melalui ABRI ini
telah makin memperlemah posisi sipil dan warga negara di hadapan militer dan
negara, yang pada akhirnya melahirkan ketimpangan dalam kehidupan kenegaraan
jika diukur dari tuntutan demokrasi yang dibangun di atas asas kedaulatan rakyat.
Keempat, pada era Orde Baru, negara juga mengejewantahkan dalam
birokrasi pemerintah yang dari hari ke hari makin tumbuh menjadi mesin
kekuasaan yang regulatif. Dengan dukungan mesin politik ABRI dan Golkar,
birokrasi di Indonesia bukan saja telah memperagakan rezim penguasa otoritarian-
birokratik, sekaligus telah menghadirkan birokratisme. Birokratisme adalah suatu
bentuk kekuasaan birokrasi pemerintah yang telah merasuk ke dalam budaya
masyarakat selain sebagai gejala politik sehingga melahirkan para pejabat negara
yang benar-benar berkuasa atas masyarakat. Tidak ada satu kegiatan
kemasyarakatan yang bebas dari pengaruh birokrasi, bahkan kehadiran pejabat
menjadi penentu keabsahan suatu kegiatan masyarakat. Akibat buruk dari gejala
birokratisme ialah lahirnya perilaku penyimpangan dari para pejabat negara yang
menyengsarakan kehidupan rakyat tetapi nyaris tanpa kontrol dari institusi negara
maupun masyarakat. Melalui mitos dan ideologi pembangunan, para birokrat dan
mesin birokrasi bahkan memperoleh legitimasi untuk bertindak sewenang-wenang
kepada rakyat seperti dalam berbagai kasus penggusuran tanah rakyat atas nama
“untuk pembangunan”. Pada fungsi birokrasi yang superior inilah dapat
diletakkan meraja-lelanya praktik KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) maupun
penyimpangan pembangunan secara kolosal pada era Orde Baru. Semua
penyimpangan itu berlangsung di atas segel demi kepentingan negara.
Kelima, negara pada masa Orde Baru juga memiliki tangan kekuasaan
yang bernama Golongan Karya (Golkar), yang bersama ABRI dan birokrasi,
menjadi alat paling efektif dari kekuasaan Soeharto. Dari satu pemilu ke pemilu
lain, Golkar yang mengaku sebagai golongan fungsional dan bukan sebagai partai
politik kendati fungsinya melebihi partai politik, benar-benar menjadi alat paling
absah dari kekuasaan pemerintah Orde Baru yang menguasai seluruh proses
politik dan kosakata tentang negara. Partai politik berlambang pohon beringin ini
menjadi pusat berhimpun para elit politik yang penuh ambisi dan sikap
oportunistik dalam mengakumulasikan kekuasaan, sehingga selalu dapat
bertambah karena serba menguntungkan. Manipulasi politik menjadi mainan
sehari-hari dari mesin politik yang satu ini, sehingga pemilu selalu dimenangkan
secara mutlak. Golkar telah memporak-porandakan bangunan dan rumah besar
Indonesia melalui praktek-praktek politiknya yang diwarnai kecurangan.
Beruntung partai pemerintah semasa Orde Baru ini tidak terkena gelombang
reformasi 21 Mei 1998, sehingga sampai saat ini tetap hidup dan bahkan dengan
jiwa arogansi politik yang masih kental. Kendati para kader atau elit Golkar kini
selalu menyatakan telah mereformasi diri, tetapi watak dan perilaku politik gaya
Orde Baru tampaknya sulit hilang dan masih dipertontonkan oleh para elit politisi
Golkar, sehingga perubahan di tubuh organisasi politik yang satu ini hanyalah
artifisial.
Indonesia pada dua era yang penuh keangkuhan itu, lebih-lebih pada masa
Orde Baru, menurut para ilmuwan politik memang mempraktekkan negara
otoriter yang bercorak “Otoriterisme Birokratik” dan “Korporatisme Negara”
yang cukup kental. Rezim “Otoriterisme Birokratik” menurut Guillermo
O’Donnell sebagaimana dikutip Mas’oed (1989 : 10) memiliki sifat-sifat: (1)
Pemerintah dipegang oleh militer, tidak dipegang oleh diktator pribadi, melainkan
sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan “teknokrat” sipil; (2) Rezim
otoriterisme birokratik didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama
negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional; (3) Pengambilan
keputusan dalam rezim otoriterisme birokratik bersifat birokratik-teknokratik,
sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang
memerlukan suatu proses bergaining yang lama diantara berbagai kelompok
kepentingan; (4) Massa didemobilisasikan, dan (5) Untuk mengendalikan oposisi,
pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif.
Negara bercorak “korporalis” ditandai oleh suatu proses bofrontal dan
segmenter (Mas’oed, 1989 : 14-15). Proses yang “bofrontal” dalam Korporalisme-
Negara ditandai oleh (1) statisasi, bahwa negara menundukkan dan menguasai
organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan (2) privatisasi, bahwa negara
membuka beberapa lembaganya untuk menyampaikan kepentingan masyarakat
sipil secara terorganisasi. Proses “segmenter” ditandai oleh (1) negara
memusatkan proses statisasi pada organisasi-organisasi kelas bawah, seperti kelas
buruh, dan (2) memprivatisasikan lembaganya hanya bagi kepentingan kelas-atas
yang dominan.
Dengan mesin-mesing kekuasaan yang demikian efektif dan dominatif itu,
negara pada rezim Orde Lama dan Orde Baru telah mendemonstrasikan
kekuasaannya yang sangat hegemonik di hadapan rakyat dan institusi-institusi
sosial kemasyarakatan lainnya, sehingga sulit membongkar tatanan yang salah-
kaprah dan telah berlangsung lama itu. Persoalannya ialah, kenapa Indonesia baik
pada era Demokrasi Terpimpin khususnya pada masa Orde Baru menunjukkan
praktek negara yang otoriter?
Herbert Feith mencoba mencari penjelasan tentang fenomena Indonesia
yang menjadi negara otoriter pada konflik elit sedangkan Hary J. Benda mencari
hubungan pada faktor kebudayaan Indonesia (Mas’oed, ibid: 6). Pada era
Soekarno, menurut Herbert Feith, otoriterisme berkembang karena kemenangan
kelompok solidarity makers yang diwakili Soekarno atas kelompok administrator
yang diwakili Mohammat Hatta dalam konflik elit di Indonesia. Sementara
menurut Harry J. Benda, yang menggunakan pendekatan kebudayaan, bahwa
penyebab munculnya otoriterisme itu jauh berakar dalam sejarah bangsa Indonesia
yang bercorak kebudayaan feodal.
Mas’oed mencoba melihat fenomena negara otoriter dalam kehidupan
politik bangsa Indonesia itu pada dinamika kapitalisme domestik dan
internasional dan diwujudkan dalam struktur ekonomi dan politik, sehingga
menggambarkan dinamika ekonomi-politik. Otoriterisme bangkit kembali di
Indonesia pada era Orde Baru dapat dilihat kaitannya dengan dua faktor: (1)
struktur-struktur politik yang mendorong munculnya kembali politik yang
didominasi eksekutif, yakni politik kepartaian-kepartaian yang sentrifugal (cerai-
berai) dan tidak efektif, badan legislatif yang lemah, kepresidenan yang kuat dan
patriominal, Angkatan Darat yang berpengaruh kuat dalam politik dan ekonomi,
serta birokrasi yang semakin terpusat; dan (2) kritis-kritis politik dan ekonomi
yang diwarisi rezim terdahulu dan yang meledakkan masa pergolakan 1965-1966
(Mas’oed, ibid: 198).
Kecenderungan pengoperasian negara yang otoriter di Indonesia bahkan
menampilkan citra negara yagn totaliter. Dalam sistem politik yang totaliter itu
rakyat melalui mesin politik yang represif dan monolitik dituntut bahkan dipaksa
untuk melakukan konsensus dan dukungan total terhadap negara. Andarian (1992
: 290) memberikan catatan tentang rezim totalitarianisme dibangdingkan dengan
rezim demokrasi sebagai berikut:
“Jika masyarakat-masyarakat yang demokratis mengusahakan suatu
keseimbangan antara konflik dan konsekuansi, pada masyarakat-masyarakat
totalitarian menunjukkan konsensus total dengan kelompok luar – yakni negara-
negara asing dan musuh-musuh internal terhadap rezim. Para pemimpin
totalitarian memandang konflik-konflik internal sebagai hal yang tidak sah dan
mengusahakan kontrol total atas seluruh masyarakat. Mereka juga ingin
memobilisasikan seluruh penduduk agar terlibat di dalam konflik dengan
“musuh”.
Kesimpulan
Sejarah politik Indonesia telah memperagakan peran negara yang superior
seakan mempraktekkan faham absolutisme, yang menjadikan negara dengan
idiom-idiomnya yang disakralkan sangat mendominasi dan menentukan hidup-
matinya rakyat. Negara dikonstruksikan sebagai institusi yang objektif yang
melampaui seluruh tatanan kehidupan, yang memaksa setiap warga negara untuk
mencurahkan komitmen tanpa syarat. Negara merupakan lembaga politik tertinggi
yang memiliki keabsahan legal-rasional yang tidak terbantah untuk menggunakan
paksaan secara fisik.
Kenyataan empirik menunjukkan bahwa ternyata negara itu tidak netral
dan bebas dari kepentingan yang berkuasa. Negara dalam prakteknya mengalami
reduksi otoritas oleh pihak yang berkuasa, sehingga atas nama negara, para
penguasa yang didukung oleh seperangkat mesin kekuasaan yang efektif
mengartikulasikan dan bahkan memanipulasikan kepentingannya, yang membuat
rakyat setia kepada penguasa. Dengan dalih “atas nama negara” dan “demi
kepentingan luhur bangsa”, para penguasa menjalankan roda pemerintah secara
sewenang-wenang. Paham kedaulatan rakyat yang semestinya menjadi tonggak
bangunan kekuasaan dikalahkan oleh faham kedaulatan negara yang tidak bebas
dari kepentingan penguasa itu.
Bersamaan dengan kehadiran fajar reformasi menuju era Indonesia baru
yang demokratik, dituntut demokratisasi yang mengandung usaha penataan
kembali secara signifikasi mengenai pola hubungan antara negara dan rakyat yang
dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat yang sejati agar kekuasaan negara
dapat dikontrol dan daulat rakyat tegak di negeri ini. Demokratisasi hubungan
negara dan rakyat itu haruslah merupakan satu patner dengan demokratisasi secara
total baik pada tingkat kepribadian, struktur, maupun kebudayaan politik dalam
keseluruhan sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Esensi
demokratisasi yang dikehendaki ialah program satu paket antara menegakkan
sistem kekuasaan yang demokratik sekaligus memberantas rezim dan budaya yang
anti-demokrasi dalam keseluruhan lini kehidupan.
Dalam upaya memberdayakan posisi rakyat di hadapan negara dan
institusi-institusi non-formal kenegaraan, dituntut lahirnya budaya dan kekuatan
masyarakat yang mampu melawan kekuasaan negara yang mempribadi dan
otoriter. Karenanya, kehadiran kekuatan-kekuatan sosial-kemasyarakatan yang
didukung oleh partai-partai politik yang reformatif sengatlah dibutuhkan guna
memberdayakan politik rakyat. Kekuatan-kekuatan sosial-politik tersebut haruslah
memiliki idependensi dan otonomisasi yang tinggi sebagai prasyarat terbentuknya
civil society yang kuat di negeri tercinta ini.
Agenda demokratisasi negara dan pembentukan masyarakat madani dalam
kehidupan ketatanegaraan di Indonesia memerlukan pelibatan seluruh aspek
kehidupan dan para pelaku dari kekuatan reformsi, termasuk sebagai tugas
reformasi kebudayaan dan politik. Dr. M. Amien Rais dalam pidato kebudayaan
pada 10 November 1998 di Jakarta menyatakan bahwa kekuasaan negara
khususnya pemerintah sejak era Soekarno dan lebih-lebih Soeharto menunjukkan
fenomena negara yang otoriter dan mempribadi yang mendominasi seluruh
wilayah kehidupan, termasuk dalam kebudayaan. Karena itu di era reformasi saat
ini, tokoh Muhamadiyah yang dikenal pelopor reformasi ini mengajak semua
kekuatan bangsa untuk melakukan perlawanan politik dan budaya terhadap
absolutisme kekuatan yang mencengkeram itu. Berikut kutipan pernyataan M.
Amien Rais yang dapat menjadi bahan perenungan bagi proses demokratisasi dan
reformasi kehidupan:
“Yang paling kita sesalkan adalah kekuatan otoriter yang berada di belakang
kebiasaan main larang dan main sensor. Prinsip otoriterisme atau kekuasaan
yang digunakan adalah despotisme atau kekuasaan yang mempribadi.
Pemerintah menjadi sangat berkuasa sehingga dapat menciptakan undang-
undang dan menerapkannya dengan bantuan keamanan. Di pihak lain, undang-
undang tidak dapat membatasi kekuasaannya.”
Tugas reformasi di bidang kebudayaan, karena itu, tidak jauh bedanya dari
tugas reformasi politik di bidang politik, yaitu bagaimana menentang dan
mengalahkan kekuasaan yang mempribadi dan serba otoriter.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta:
Gramedia.
Cuff, E.C.N. and D.C.F. Payne. 1984. Perspective in Sosiology. London. Goerge
Allen & Unwin.
Mas’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971.
Jakarta: LP3ES.
Moore, Wilbert E. 1967. Order and Change; Essays in Comparitive Sociology.
New York. John Wiley & Sons.
Rais, M. Amien. 1998. “Kekuasaan dan Kebudayaan”. Harian Umum Jawa Pos.
Surabaya. (Minggu, 15 November 1998).
Ritzer, Goerge. 1992. Sosiological Theory, Third Edition. New York. McGraw-
Hill, Inc.