Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA DAN AKAD NIKAH

DENGAN TEKNOLOGI MAJU

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Masail Fiqh

Dosen pengampu : Dr. H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 1

1. Iqhlima Yustpika Putri (10030120060)


2. Selvia Nur Arifh (10030120095)
3. Dea Malinda Aliffiya (10030120159)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era perkembangan zaman modern seperti sekarang banyak masyarakat


yang memiliki berbagai pandangan baik positif atau pun negative. Pernikahan
merupakan ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki dan Ketika ijab qubul
maka sesuai dengan perintah Allah yaitu ibadah. Ada beberapa rukun-rukun dan
syarat-syarat untuk menikah, Jika terpenuhnya syarat dan rukun, maka perkawinan
tersebut diakui keabsahannya baik menurut hukum agama dan fiqih munakahat. Bila
salah satu tidak terpenuhi maka tidak sahnya perkawinan menurut fiqh munakahat.

Menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, tergantung pada dipenuhinya


atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat
media online dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri,
dua saksi, wali pengantin putri, ijab qabul. Namun, jika dilihat dari syarat-syarat dari
tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk
nikah atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini
lewat media online sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula
pengecakan tentang identitas wali yang tidak bisa tanpa taukil, kemudian ia
melangsungkan ijab qabul langsung dengan media online. Juga para saksi yang hanya
mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putera lewat media online,
tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan.

Teknologi canggih mempermudah aktifitas manusia yang bisa meninggikan


sebuah peradaban dan memperbaiki kehidupan manusia akan tetapi teknologi pada
zaman sekarang membuat keresahan dan menimbulkan ketakutan yang di sebabkan
penyalahgunaan orang orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan adanya
perkembangan tersebut membuat sebagian orang menyalahgunakan media online
untuk menikah karena mereka tidak perlu repot mengurus pernikahan ke Kantor
Urusan Agama (KUA). Banyak situs online yang menawarkan jasa nikah. Praktek
pernikahan online yang terkuak pada zaman sekarang ini menawarkan jasa
penyediaan penghulu sampai penyediaan wali dan saksi. Bahkan bersedia datang ke
tempat pelanggannya, maka akan semakin tinggi biaya yang diperlukan untuk
melaksanakan pernikahan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pernikahan secara online? Apakah boleh apabila menikah dengan
berbeda agama?
2. Apakah akad melalui pernikahan online dianggap sah?
3. Bagaimana pernikahan secara online?

C. Tujuan Masalah
1. Sebagai memperluas wawasan tentang pernikahan online
2. Untuk mengetahui apakah sah? apa bila menikah dengan berbeda agama
3. Menjadi pengetahuan tentang apa yang hak dan apa yang bathil
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pernikahan Berbeda Agama Dalam Hukum Islam

Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang diharuskan di dalam Islam.


Pernikahan juga merupakan hal yang sakral di dalam Islam, yang harus didasari pada
keikhlasan dan kesiapan karna pernikahan itu bernilai ibadah kepada Allah SWT dan
sunnah Nabi Muhammad di dalam Islam. (Wibisana, 2016). Sebagaimana dalam
firman Allah SWT. QS. An-Nur ayat 32:

ّ ٰ ‫صلِ ِح ْييَ ِه ْي ِعبَا ِد ُم ْن َواِ َه ۤا ِى ُن ْۗ ْن اِ ْى يَّ ُنىْ ًُىْ ا فُقَ َش ۤا َء يُ ْغٌِ ِه ُن‬
‫ّللاُ ِه ْي‬ ّ ٰ ‫َواَ ًْ ِنحُىا ْاْلَيَاهٰ ى ِه ٌْ ُن ْن َوال‬
ّ ٰ ‫فَضْ لِ ْۗه َو‬
‫ّللاُ َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌن‬

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu,


dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-
laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui. (Al-Qur‟an Surat An-Nur Ayat 32, n.d.)

Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I


pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentunya pernikahan
menjadi mimpi hampir semua orang. Menikah, memiliki suami / istri shalih, memiliki
keturunan yang shalih/ah, menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah Wa Rohmah ya,
itu semua adalah mimpi semua orang, hampir. Namun tentunya ketika kita ingin
memiliki dan mengidamkan rumah tangga yang demikian hal pokoknya atau hal
pentingnya adalah sepasang kekasih yang akan membangun rumah tangga tersebut.

Jika kita menginginkan keluarga yang Sakinah Mawaddah Wa Rohmah maka


kita sebagai perempuan harus mencari calon suami yang tentunya paham dan bisa
mengimplementasikan agama Islam. Karena laki-laki adalah nahkoda di dalam rumah
tangganya, dialah yang akan membawa rumah tangganya akan ke arah mana. Jika kita
sebagai perempuan menginginkan rumah tangga yang akan bahagia dunia akhirat
maka kita harus memilih nahkoda yang paham akan jalurnya menuju kebahagiaan itu.
Sebaliknya, jika seorang laki-laki ingin memiliki keturunan yang shalih/ah, anak-anak
yang cerdas dan beradab maka pilihlah calon istri yang tentunya berpendidikan dan
paham akan agama. Karena seperti yang kita ketahui bersama bahwasannya „Al-Umm
Madrosatul Ula‟ (Ibu adalah sekolah pertama) ya, pendidikan pertama bagi anak
adalah ibunya.

Lalu bagaimana kita bisa mewujudkan rumah tangga impian, mewujudkan


keluarga yang Sakinah Mawaddah Wa Rohmah jika sepasang insannya pun jauh dari
kata mengerti agama Islam. Bagaimana kita bisa menuju kebahagiaan rumah tangga
yang Allah ridhoi jika nahkodanya saja tak tahu jalur? Bagaimana bisa mencetak
generasi-generasi unggul jika wanitanya saja tak paham caranya?

Di dalam pernikahan, saling mencintai saja tidak cukup. Pernikahan yang baik
dalam agama Islam ialah pernikahan yang dilakukan kedua insan yang sama
akidahnya, sama pemahamannya dalam agama, dan sama tujuannya. (Sukarja Ahmad,
1996) Dengan demikian pernikahan impian akan terwujud.

Yang menjadi permasalahannya sekarang adalah dari sejak zaman dahulu


hingga zaman modern pernikahan beda agama ini terus ada dan bahkan di zaman
sekarang pernikahan beda agama ini banyak dilakukan dan sudah menjadi hal yang
lumrah. Tentu saja hal itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus adanya pemahaman
yang lebih kepada masyarakat terutama umat Islam terkait pernikahan beda agama ini.
Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap pernikahan beda agama ini?

Ada beberapa macam yang dimaksud dengan “pernikahan berbeda agama”


disini, diantaranya: pernikahan antara wanita muslim dengan pria non-muslim,
pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrik, dan pernikahan antara pria
muslim dengan wanita ahli kitab. Berikut ini penjelasan mengenai beberapa macam
pernikahan beda agama:

1. Wanita muslim dengan pria Non-muslim

Para ulama dari sejak dahulu sampai sekarang sepakat bahwa haram hukumnya
wanita muslim menikah dengan pria non-muslim. Adapun yang menjadi dasar
haramnya ialah di dalam QS. Al-Baqarah ayat 221, Allah SWT berfirman
‫ْل َهتٌ ُّه ْؤ ِهٌَتٌ َخ ْي ٌش ِّه ْي ُّه ْش ِش َم ٍت َّولَىْ اَ ْع َجبَ ْت ُن ْن ۚ َو َْل‬ َ َ ‫ت َح ٰتّى ي ُْؤ ِه َّي ْۗ َو‬ ِ ‫َو َْل تَ ٌْ ِنحُىا ْال ُو ْش ِش ٰم‬
ٰۤ ُ
‫ل‬
َ ‫ول ِى‬ ٍ ‫تُ ٌْ ِنحُىا ْال ُو ْش ِش ِم ْييَ َح ٰتّى ي ُْؤ ِهٌُىْ ا ْۗ َولَ َع ْب ٌذ ُّه ْؤ ِه ٌي َخ ْي ٌش ِّه ْي ُّه ْش ِش‬
‫ك َّولَىْ اَ ْع َجبَ ُن ْن ْۗ ا‬
‫اس لَ َعلَّهُ ْن‬ ّ ٰ ‫اس ۖ َو‬
ِ ٌَّ‫ّللاُ يَ ْذ ُع ْْٓىا اِلَى ْال َجٌَّ ِت َو ْال َو ْغفِ َش ِة ِبا ِ ْرًِ ۚه َويُبَي ُِّي ٰا ٰيتِه لِل‬ ِ ٌَّ‫يَ ْذ ُعىْ ىَ اِلَى ال‬
َ‫يَتَ َز َّمشُوْ ى‬
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan
orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Ayat ini menjelaskan bahwasannya Allah memerintahkan para wali atau para
orang tua agar tidak menikahkan putrinya kepada pria non-muslim. Berarti sudah
sangat jelas bahwa perintah ini adalah larangan yang mutlak yang tidak bisa diubah
dengan alasan apapun.

2. Pria muslim dengan wanita musyrik

Islam melarang pria menikah dengan wanita musyrik, sebagaimana tercantum


dalam firman Allah SWT:

َ َ ‫ت َح ٰتّى ي ُْؤ ِه َّي ْۗ َو‬


‫ْل َهتٌ ُّه ْؤ ِهٌَتٌ َخ ْي ٌش ِّه ْي ُّه ْش ِش َم ٍت َّولَىْ اَ ْع َجبَ ْت ُن ْن‬ ِ ‫َو َْل تَ ٌْ ِنحُىا ْال ُو ْش ِش ٰم‬
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. (QS. Al-Baqarah:221)

Lalu, siapa musyrikah itu? Menurut pendapat beberapa ulama, musyrikah yang
harm dinikahi adalah musyrikah dari bangsa arab, karena ketika turunnya Al-Quran
pada waktu itu bangsa arab tidak mengenal kitab suci, mereka hanya menyembah
berhala saja. (Zuhdi Masjfuk, 1994, hal 4).
Dari pendapat beberapa ulama tersebut disimpulkan bahwa pria muslim boleh
menikahi wanita musyrikah non-arab seperti bangsa cina, bangsa India, bangsa
Jepang yang percaya akan adanya Tuhan dan memiliki kitab sucinya tersendiri.
Tetapi, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa musyrikah baik bangsa arab
maupun non-arab tidak boleh dinikahi kecuali wanita muslim.

3. Pria Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab

Banyak ulama berpendapat bahwa pria muslim boleh menikahi wanita Ahlul
Kitab (Yahudi dan nasrani), sebagaimana firman Allah SWT (Al-Quran Surat Al-
Maidah Ayat 5, n.d.) :

َ ‫ت ِهيَ الَّ ِز ْييَ اُوْ تُىا ْال ِن ٰت‬


.....‫ب ِه ْي قَ ْبلِ ُن ْن‬ َ ْ‫ َو ْال ُوح‬.....
ُ ٌٰ ‫ص‬
Artinya: ...Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang
menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu... (Qs. Al-Maidah:5)

Selain didasarkan pada firman Allah diatas, dilihat juga dari historin Nabi
Muhammad SAW yang pernah menikahi wanita Ahlul Kitab, yaitu Mariah Al-
Qibtiyah (Nasrani). Ada pula sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah Al-Yaman yang
pernah menikah dengan wanita Ahlul Kitab Yahudi, akan tetapi para sahabat tidak
ada yang menentangnya.
Namun disamping itu semua, ada sebagian ulama yang tidak setuju dan melarang
pernikahan beda agama ini baik dengan Yahudi ataupun Nasrani. Karena pada
dasarnya baik yahudi maupun Nasrani dalam praktik ibadahnya mengandung unsur
syirik. Adapun hikmah dari dilarangnya pernikahan berbeda agama ini:
a. Yahudi dan Nasrani itu ada hidup way of life dan filsafat hidupnya sangat berbeda
dengan umat Islam.
b. Orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta,
percaya kepada Nabi, Percaya kepada kitab suci, Percaya kepada malaikat, Percaya
kepada takdir, Percaya kepada hari kiamat, sedangkan notabene orang kafir/musyrik
tidak percaya kepada itu semua.
c. Kepercayaan mereka penuh khurfat dan irasional sehingga mereka selalu mengajak
untuk meninggalkan agama yang dianut dan diperintah untuk masuk dan mengikuti
ajaran mereka.
d. Dikhawatirkan wanita Islam itu terseret kepada agama suaminya. Juga anak-anak
yang lahir dikhawatirkan mengikuti ajaran bapaknya, karena bapak sebagai kepala
keluarga melebihi ibunya.

Dari segi hukum Islam, terdapat dalil-dalil tentang pernikahan lain agama ini:

a. Saddu Dzara‟i, artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya


kemudharatan dan kehancuran rumah tangga akibat berbeda agama.
b. Kaidah Fiqih “Dar‟ul Mafaasidi Muqoddamun „Ala Jalbil Mashoolih” yaitu
“Mencegah madharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemadharatan atau broken
home itu harus diutamakan.
c. Pada prinsipnya agama Islam melarang pernikahan berbeda agama , bisa ditinjau
kembali dalam QS. Al-Baqarah ayat 221. Sedangkan untuk pria yang menikah dengan
ahlul kitab itu hanya dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria tersebut
harus baik. Maka dari itu, pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang
Ipernikahan berbeda agama sedangkan umat islam di Indonesia berkewajiban menaati
larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 40 ayat (c) dan pasal 44 (Amalia, 2019).

B. Akad Nikah Dengan Teknologi Maju / Pernikahan Virtual

1. Pengertian Pernikahan Virtual

Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki


dengan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahrom. Akad nikah yaitu
perjanjian antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan
qabul. Adapun tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk rumah tangga yang sakinah
(tentram), mawaddah warahmah (cinta kasih). Hal ini sesuai dengan QS. Ar-Rum (30)
ayat 21, Allah SWT berfirman:
َ ِ‫ق لَ ُن ْن ِّه ْي اَ ًْفُ ِس ُن ْن اَ ْص َواجا لِّتَ ْس ُنٌُ ْْٓىا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْيٌَ ُن ْن َّه َى َّدة َّو َسحْ َوت ْۗاِ َّى فِ ْْ ٰرل‬
‫ل‬ َ َ‫َو ِه ْي ٰا ٰيتِ ْٓه اَ ْى َخل‬
ٍ ‫َ ْٰل ٰي‬
َ‫ت لِّقَىْ ٍم يَّتَفَ َّنشُوْ ى‬

Artinya: "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir" (QS. Ar-Rum ayat 21).

Telekomunikasi media saat ini tentunya memberikan kemudahan antara manusia


satu dengan manusia lainnya yang berpisah-pisah karena jarak dan tempat untuk
berkomunikasi melalui chatting atau telepon dan bertemu secara virtual melalui video
call. Selain chatting, telepon, dan video call, salah satu kegiatan lain yang seringkali
digunakan pada saat ini adalah pernikahan virtual atau pernikahan online (Emas, 2020).

Pernikahan virtual adalah suatu bentuk pernikahan yang proses ijab dan qabulnya
dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu
jaringan atau sistem internet (via online), dimana wali mengucapkan ijabnya disuatu
tempat dan suami mengucapkan qabulnya dari tempat lain yang jaraknya jauh, meskipun
dalam hal ini tidak saling melihat secara langsung tetapi ucapan dari wali dapat didengar
dengan jelas oleh calon suami begitupun sebaliknya ucapan qabul calon suami dapat
didengar dengan jelas oleh wali pihak perempuan. Pernikahan virtual dapat dikatakan
sebagai suatu kepentingan masyarakat dalam konteks fiqih sebagai wujud kepekaan
terhadap syariat Islam dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman (Maghfuroh,
2021).

Hal yang membedakan nikah virtual dengan nikah biasa adalah pada esensi ittihād
al-majelis yang erat kaitannya dengan tempat (makan) pada implementasi atau
pelaksanaan akadnya, namun selebihnya semuanya sama. Kalau dalam pernikahan biasa
antara pihak laki-laki dan perempuan dapat bertemu, bertatap muka dan berbicara secara
langsung, begitupun dengan nikah virtual. Pada penerapan atau pelaksanaannya nikah
virtual ini menggunakan kekuatan dari perkembangan teknologi untuk membantu dalam
terlaksananya nikah agar dapat menyampaikan gambar kondisi individu yang sedang
melakukan interaksi sebagaimana mestinya.
2. Keabsahan Akad Nikah Virtual Dalam Perspektif Hukum Islam

Perkembangan teknologi telekomunikasi yang didukung oleh jaringan internet,


memunculkan suatu kreativitas pada pasangan calon mempelai yang hendak menikah
tetapi terkendala oleh jarak yang terpisah jauh. Keduanya sulit hadir dalam satu majelis
yang sama karena hambatan ekonomi, aktivitas dan pekerjaan yang tidak bisa
ditinggalkan. Kreativitas yang dimaksud adalah menggunakan bantuan sarana aplikasi
telepon atau video call yang berbasis internet dalam prosesi ijab dan kabul sebagai
pelaksanaan salah satu rukun akad nikah (Iii, 2004).

Terdapat perbedaan mengenai esensi ittihād al-majelis atau adanya pergeseran


kebudayaan dalam hal melakukan akad nikah. Dimana dalam pernikahan biasa akad
dilakukan dengan muwājahah bil ma'rūf (berhadap-hadapan secara langsung) pada satu
tempat yang sama. Namun untuk pernikahan online, muwājahah bil ma'rūf sama-sama
dilakukan, tapi tidak pada tempat yang sama, dimana pernikahan online dilakukan dengan
terpisahnya jarak antara mempelai pria dan mempelai wanita. Kemudian untuk
menentukan apakah seseorang itu dapat melaksanakan akad pernikahan melalui online
atau tidak, maka ditetapkanlah dua kriteria yang membolehkan untuk melakukan
pernikahan virtual. Dua kriteria tersebut, adalah:

1. Antara pria dan wanita yang ingin melangsungkan akad pernikahan haruslah
terpisahkan jarak yang sangat jauh.
2. Dalam keadaan yang tidak memungkinkan bagi kedua belah pihak untuk bersatu dan
berkumpul untuk melaksanakan akad sebagaimana mestinya.

Dengan menetapkan kriteria seperti diatas guna dapat dipastikan bahwa mereka
yang melangsungkan akad nikah online adalah mereka yang memang tak dapat
melangsungkan akad sebagaimana mestinya. Sehingga pernikahan online bagi mereka
memang layak dilaksanakan sebagai alternatif atau jalan terang karena tak dapat
melangsungkan akad nikah dengan alasan jarak dan waktu. Dengan berpegang pada nash
Al-Quran, dapat disimpulkan bahwa nikah online itu untuk mewujudkan kemashlahatan
umat manusia. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa akan ada suatu jalan dari Allah
SWT yakni suatu kemudahan jika kita mendapatkan suatu kesusahan. Dalam Al-Quran
sendiri, Allah SWT mempermudah segala macam kesusahan, sebagaimana Firmannya
dalam QS. Al-Baqarah (2) : 185 yang berbunyi:
ّ ٰ ‫ي ُِش ْي ُذ‬
‫ّللاُ ِب ُن ُن ْاليُ ْس َش َو َْل ي ُِش ْي ُذ بِ ُن ُن ْال ُع ْس َش‬

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah ayat 185).

Dalam surah QS. An-Nisa (4) : 28 Allah SWT juga menjelaskan bahwa:

‫ض ِعيْفا‬ ِْ ‫ق‬
ُ ‫اْل ًْ َس‬
َ ‫اى‬ ّ ٰ ‫ي ُِش ْي ُذ‬
َ ِ‫ّللاُ اَ ْى ُّي َخفِّفَ َع ٌْ ُن ْن ۚ َو ُخل‬

Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia


diciptakan (bersifat) lemah” (QS. An-Nisa ayat 28).

Kalau kita bersandar pada dasar hukum di atas, dimana ketika kita mendapatkan
suatu kemudahan dibalik kesusahan dengan segala ketetapan dan keringanan yang Allah
berikan, maka dapatlah kita lihat bahwa pernikahan virtual merupakan suatu cara
alternatif yang digunakan untuk kemudahan bagi mereka yang ingin melangsungkan
pernikahan yang terkendala jarak dan waktu serta biaya dan lain sebagainya.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh sebagian ahli fiqh dimasa lalu, yaitu tokoh
mazhab syafi'i yang menyatakan jika memang pernikahan mereka tidak dilangsungkan
dan berkat itu mereka mendapatkan madharat pada diri mereka, maka hukumnya adalah
wajib, hal ini sesuai dengan qaidah fiqhiyyah menolak sesuatu yang membahayakan
yaitu:

ِ ‫لِ َج ْل‬
‫ب ال َوصْ لَ َح ِت َو َد ْف ِعال َو ْف َس َذ ِة‬

Artinya: untuk mengusahakan kemashlahatan dan menghilangkan kemudharatannya.

Para fuqaha sepakat mensyaratkan pelaksanaan akad nikah itu hendaklah dalam
satu majelis, artinya baik wali, calon suami, calon istri, dan saksi semuanya dapat terlibat
langsung dalam pelaksanaan ijab dan qabul. Akan tetapi pengertian satu majelis menurut
jumhur ulama bermakna bahwa semua pihak yang terlibat dalam akad nikah itu dapat
mengikuti semua proses yang dilaksanakan, terutama ijab dan qabul. Dengan mengikuti
semua proses, maka ikatan (irtibath) yang ditimbulkan dari ijab dan qabul disadari dan
diakui oleh semua pihak termasuk para saksi. Tapi pada saat ini, terdapat pelaksaan ijab
dan qabul yang dilakukan secara virtual atau secara online, hal ini tentunya memicu
banyak permasalahan, apakah hal tersebut sesuai dengan ajaran agama Islam atau tidak?
Apakah ijab dan qabul yang diucapkan secara virtual itu sah atau tidak?
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, maka diambilah penegasan bahwa
ijab dan qabul dapat dilakukan melalui virtual atau telepon, karena telepon pada
kenyataannya tidak menghalangi terjadinya dialog langsung antara pihak-pihak yang
berbicara dalam ijab qabul dalam satu majelis. Dalam pernikahan virtual atau pernikahan
melalui telepon, ijab dan qabul tidak bisa disaksikan secara pisik dengan utuh karena
memang calon suami berada ditempat terpisah. Akan tetapi keadaan demikian tidak
menutup kemungkinan untuk dicapainya makna satu majelis. Dengan menetapkan dua
saksi pada masing-masing majelis saksi dan majelis qabul, maka makna satu majelis
seperti yang dimaksudkan jumhur akan tercapai. Kemudian untuk memastikan apakah
suara yang ada didalam telepon itu benar-benar suara wali atau calon pria yang akan
mengucapkan ijab dan qabulnya, maka diisyaratkan harus mengenali suara satu sama lain
terlebih dahulu atau menanyakan kebenaran identitas masing-masing, hal ini tentunya
dapat menghindari keraguan dan penipuan dalam pelaksanaan qabul. Apabila pernikahan
virtual dilakukan melalui video call, sudah bisa dipastikan bahwa antara kedua belah
pihak sudah bisa yakin satu sama lain, karena keduanya bisa bertatap muka secara
langsung melalui media sosial. Dengan ilustrasi seperti yang dijelaskan diatas, maka
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan akad nikah melalui telepon atau secara virtual boleh
dilakukan dan dinyatakan sah.

Pernikahan dikatakan sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi, adapun yang
termasuk dalam rukun pernikahan antara lain yaitu : adanya calon mempelai laki-laki dan
calon mempelai perempuan, adanya wali nikah dari pihak calon mempelai perempuan,
adanya dua orang saksi, Ijab dan qabul. Kemudian untuk syarat sahnya suatu akad
pernikahan disyaratkan beberapa syarat, dalam hal ini syarat ijab dan qabul adalah
sebagai berikut (Maros & Juniar, 2016) :

a. Pengucapan ijab hendaknya langsung dilakukan oleh wali atau yang mewakilinya.
b. Kalimat yang digunakan ijab dan qabul harus sama tidak boleh berbeda, seperti
penyebutan nama lengkap mempelai perempuan dan bentuk maharnya.
c. Pengucapan ijab dan qabul harus bersambungan tidak boleh terputus walaupun
sebentar.
d. Dalam ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang menunjukkan
pembatasan masa waktu perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk seumur
hidup.
e. Pengucapan ijab dan qabul harus menggunakan lafadz yang jelas dan terus terang,
tidak boleh menggunakan kata-kata sindiran karena penggunaan lafadz sindiran itu
diperlukan niat, sedangkan saksi dalam perkawinan tidak bisa mengetahui apa yang
diniatkan oleh seseorang tersebut.
f. Akad nikah dalam ijab dan qabul harus didasari oleh rasa suka sama suka.

Apabila salah satu dari syarat dan rukun pernikahan tidak terpenuhi, maka
pernikahan tersebut dianggap tidak sah. Akad nikah dinyatakan sah apabila memenuhi
dua rukun yaitu ijab dan qabul. Ijab dan qabul itu harus mencangkup keridhaan dan
persetujuan laki-laki dan perempuan untuk menikah. Akad nikah dianggap sah dengan
bahasa, ucapan, dan perbuatan apa saja yang dianggap sah oleh banyak orang. Nikah juga
boleh dengan lafadz hibah, menjual, atau memberikan, selama yang diajak berbicara
memahami arti dari maksudnya

Walaupun pernikahan dilakukan secara virtual atau secara online, selama suatu
akad pernikahan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya secara lengkap dan tidak
berkurang satupun seperti yang telah ditentukan oleh hukum Islam ataupun perundang-
undangan, maka akad pernikahan yang demikian itu disebut akad pernikahan yang sah
dan mempunyai implikasi hukum (Iii, 2004).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada prinsipnya agama Islam melarang pernikahan berbeda agama, karena hal ini
merupakan larangan Allah SWT yang mutlak dan tidak bisa diubah dengan alasan
apapun, ketentuan ini telah dijelaskan dalam firman-Nya pada QS. Al-Baqarah ayat 221.
Pernikahan berbeda agama terbagi menjadi tiga macam, diantaranya yaitu: pernikahan
antara wanita muslim dengan pria non-muslim, pernikahan antara pria muslim dengan
wanita musyrik, dan pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab.

Pernikahan virtual adalah suatu pernikahan yang proses ijab dan qabulnya
dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu
jaringan atau sistem internet (via online). Terdapat dua kriteria yang menentukan apakah
seseorang dapat melaksanakan akad pernikahan melalui online atau tidak, dua kriteria
tersebut adalah: kedua mempelai berada dalam jarak yang sangat jauh dan memang dalam
keadaan yang tidak memungkinkan kedua belah pihak untuk berkumpul dan
melaksanakan akad sebagaimana mestinya. pelaksanaan akad nikah melalui telepon atau
secara virtual boleh dilakukan dan dinyatakan sah, karena pada kenyataannya tidak
menghalangi terjadinya dialog langsung antara pihak-pihak yang berbicara dalam ijab
qabul dan dalam satu majelis. Kemudian selama akad pernikahan telah memenuhi segala
rukun dan syaratnya secara lengkap dan tidak berkurang satupun seperti yang telah
ditentukan oleh hukum Islam dan perundang-undangan, maka akad pernikahan itu disebut
akad pernikahan yang sah dan mempunyai implikasi hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an Surat An-Nur Ayat 32. (n.d.). Tokopedia.Com.


https://www.tokopedia.com/s/quran/an-nur/ayat-32

Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 5. (n.d.). Merdeka.Com. Retrieved September 23, 2022,
from https://www.merdeka.com/quran/al-maidah/ayat-5

Amalia, L. N. (2019). Analisis nikah online menurut Fiqh Munakahat dan Perundang-
Undangan. http://digilib.uinsgd.ac.id/27055/4/4_bab1.pdf

Emas, M. P. (2020). Problematika Akad Nikah Via Daring dan Penyelenggaraan Walimah
Selama Masa Pandemi Covid-19. Batulis Civil Law Review, 1(1), 68.
https://doi.org/10.47268/ballrev.v1i1.387

Iii, B. A. B. (2004). HUKUM NIKAH ONLINE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP


PENCATATAN NIKAH A . Deskripsi Ittihad al-majelis Menurut Pe rsepsi Ulama
Mazhab Suatu akad pernikahan apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya
secara lengkap menurut yang telah ditentukan seperti menu. 1, 50–93.

Maghfuroh, W. (2021). AKAD NIKAH ONLINE DENGAN MENGGUNAKAN VIA LIVE


STREAMING PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Wahibatul Maghfuroh Universitas Panca
Marga Probolinggo. 3(2714–7398), 95–100.

Maros, H., & Juniar, S. (2016). 済無No Title No Title No Title. 1–23.

Sukarja Ahmad. (1996). Problematika Hukum Islam Kontemporer (Chuzaimah & Anshary
Hafiz (Eds.); Cetakan Ke). April 1996.

Wibisana, W. (2016). Faktor-faktor Penyebab Perempuan Dalam Melakukan Pernikahan Siri


(Studi Deskriptif Pada Perempuan Yang Menikah Siri di Desa Arjasa). Jurnal
Pendidikan Agama Islam - Ta‟lim, 14(2), 185–193.

Zuhdi Masjfuk. (1994). MASAIL FIQHIYAH (2nd ed.).

Anda mungkin juga menyukai