Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH PSIKOLOGI IBADAH

“Psikologi Pernikahan”
Dosen Pengampu : Dr. Syahidah Rena, M.Ed

Disusun Oleh :
Rachma Nurhidayah 11180700000037
Nanda Fakhira S.K 11180700000042
Arina Nastiti P.B 11180700000098
Rifdah Qotrunnada 11180700000112
Raafi Mabda Djikra 11190700000035

Kelas : 5 C

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Psikologi Pernikahan”. Tak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Psikologi Ibadah kami, yaitu Ibu Dr.
Syahidah Rena, M.Ed yang telah memberikan arahan dan kami ucapkan terima kasih pula
kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Penulisan makalah yang berjudul “Psikologi Pernikahan” ini dilakukan dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Ibadah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harapan kami semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca. Namun, sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan
dan keterbatasan pengetahuan, kami sebagai penyusun mohon maaf atas kekurangan dan
kesalahan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini.

Jakarta, 21 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Masalah....................................................................................................... 1
BAB 2 ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Perkawinan ............................................................................................ 3
2.2 Pemilihan pasangan hidup (konsep kafaah) ............................................................. 4
2.2.1 Pengertian Kafa‟ah........................................................................................... 4
2.2.2 Hikmah dan Tujuan Kafa‟ah ............................................................................ 4
2.2.3 Ukuran Kafa‟ah ............................................................................................... 4
2.3 Hak dan Kewajiban Suami Istri ............................................................................... 6
2.3.1 Keluarga Sakinah ............................................................................................. 6
2.3.2 Hak Suami Istri ................................................................................................ 7
2.3.3 Kewajiban Suami Istri ...................................................................................... 8
2.4 Nusyuz, perceraian, ruju ........................................................................................ 11
2.4.1 Nusyuz........................................................................................................... 11
2.4.2 Perceraian ...................................................................................................... 15
2.4.3 Ruju ............................................................................................................... 24
2.5 Hadhanah .............................................................................................................. 27
2.5.1 Pengertian dan Dasar Hukum ......................................................................... 27
2.5.2 Yang Berhak Melakukan Hadhanah (Pemeliharaan Anak) ............................. 28
2.5.3 Masa Hadhanah ............................................................................................. 29
2.6 Poligami dan perselingkuhan/perzinahan ............................................................... 30
2.6.1 Poligami ........................................................................................................ 30
2.6.2 Perselingkuhan/Perzinahan ............................................................................ 32
2. 7 Psikologi Pernikahan ................................................................................................ 36
2.7.1 Teori Psikologi tentang Pernikahan ................................................................ 36

ii
2.7.2 Pernikahan Mengubah Kepribadian ................................................................ 38
2.7.3 Pernikahan dan Kesehatan Mental .................................................................. 39
2.7.4 Perceraian ...................................................................................................... 41
BAB III ............................................................................................................................... 42
PENUTUPAN..................................................................................................................... 42
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 43

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Sebelum menuju kedalam pernikahan, yang paling penting
adalah memilih pasangan hidup, sehingga pernikahan bisa menjadi pernikahan yang
bahagia karena memiliki pasangan yang serasi. Mengetahui hak dan kewajiban antara
suami dan istri juga penting agar suami dan istri tau mana hak dan kewajibannya apabila
ada dari salah satu hak dan kewajibannya tidak terpenuhi.
Pernikahan mungkin tidak selamanya harmonis dan ada kalanya kendala dalam rumah
tangga, mengetahui mengenai nusyuz, perceraian, rujuk juga perlu bagi suami dan istri.
Dalam makalah ini semua konsep mengenai pernikahan baik hak dan kewajiban suami
istri, kafaah, konsep nusyuz, perceraian dan ruju, konsep hadhanah, konsep poligami,
juga perselinguhan. Dalam makalah ini juga akan membahas pernikahan dari sisi
psikologi.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut


1. Apa pengertia dari perkawinan?
2. Bagaimana konsep dari pemilihan pasangan hidup (kafaah)?
3. Apa saja hak dan kewajiban suami dan istri?
4. Bagaimana konsep nusyuz, perceraian dan ruju?
5. Bagaimana konsep dari hadhanah?
6. Bagaimana konsep dari poligami dan perselingkuan atau perzinahan?
7. Bagaimana pandangan psikologi terhadap pernikahan?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui pengertian dari perkawinan,
2. Untuk mengetahui konsep dari pemilihan pasangan hidup (kafaah),
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami dan istri,
4. Untuk mengetahui konsep nusyuz, perceraian dan ruju,

1
5. Untuk mengetahui konsep dari hadhanah,
6. Untuk mengetahui konsep dari poligami dan perselingkuan atau perzinahan,
7. Untuk mengetahui pandangan psikologi terhadap pernikahan.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan


Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk
arti bersetubuh (wathi).

Namun penegasan arti perkawinan diperlukan selain dari segi kebolehan


hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya untuk
menghindari terjadinya perceraian dan menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-
hari. Sehingga menurut Abu Ishrah, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat, akad
yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami
istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak
bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.

Dalam kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya


dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Pernikahan adalah cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan
perkawinan. Demi menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah mengadakan
hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dan upacara
ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para

3
saksi yang meyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling
terikat.

2.2 Pemilihan pasangan hidup (konsep kafaah)

2.2.1 Pengertian Kafa’ah


Kafa’ah atau kufu’ menurut bahasa artinya setaraf, seimbang, keserasian/kesesuaian,
serupa, sederajat, atau sebanding. Sedangkan kafa‟ah atau kufu‟ dalam pernikahan,
menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri
dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
pernikahan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi yang
ditekankan dalam kafa‟ah di sini adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yakni akhlak dan ibadah. Sebab kalau diartikan persamaan
dalam hal harta atau kebangsawaan maka akan terbentuknya kasta. Sedangkan dalam
Islam tidak dibenarkan adanya kasta karena kedudukan manusia di sisi Allah itu sama
yang membedakannya hanyalah ketakwaan hamba tersebut. Kafa‟ah dianjurkan oleh
Islam dalam meilih calon suami/istri tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya
pernikahan (Ghozali A. R., 2015).

2.2.2 Hikmah dan Tujuan Kafa’ah


Hikmah kafa‟ah dalam pernikahan, yakni sebagai wujud keadilan dan konsep
kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan. Tujuan kafa‟ah dalam
pernikahan adalah ketentraman dan kelanggengan sebuah rumah tangga. Karena jika
rumah tangga didasari dengan persamaan persepsi, kesesuaian pandangan, dan saling
pengertian maka niscaya rumah tangga itu akan tentram, bahagia, dan selalu dinaungi
keberkahan (Taufik, 2017).

2.2.3 Ukuran Kafa’ah


Ukuran kafa‟ah menurut para ulama dapat digolongkan menjadi beberapa macam
(Taufik, 2017):
1. Agama
Yang dimaksud adalah kebenaran dan kelurusan terhadap hukum-hukum agama.
Agama merupakan hal yang pokok dalam mewujudkan perkawinan yang baik,
kafa‟ah sangat memperhatikan tentang agama, kesucian, dan ketakwaan. Dalam

4
mencari calon pasangan hidup kita harus benar-benar mengetahui tentang
agamanya.
2. Islam
Syarat yang diajukan oleh mazhab Hanafi adalah Islam asal-usulnya, yaitu nenek
moyangnya. Barang siapa yang memiliki dua nenek moyang muslim sebanding
dengan orang yang memiliki beberapa nenek moyang Islam. Orang yang memiliki
satu nenek moyang Islam tidak sebanding dengan orang yang memiliki dua orang
nenek moyang Islam, karena kesempurnaan nasab terdiri dari bapak dan kakek.
3. Kemerdekaan
Kemerdekaan seseorang tidak terlepas dari zaman perbudakan masa lalu,
seseorang yang mempunyai keturunan atau yang pernah menjadi budak, dianggap
tidak sekufu dengan orang yang merdeka asli. Jadi derajat seorang budak tidak
akan pernah sama dengan orang yang merdeka.
4. Nasab dan Kedudukan
Nasab di sini adalah hubungan seorang manusia dengan asal-usulnya dari bapak
dan kakek. Maksudnya itu seseorang yang diketahui siapa bapaknya, bukannya
anak pungut yang tidak memiliki nasab yang jelas. Nasab bagi bangsa Arab
sangatlah dijunjung tinggi, bahkan menjadi kebanggaan tersendiri apabila
mempunyai keturunan nasab yang luhur. Di kalangan masyarakat biasa, nasab
adalah garis keturunan ke atas dari bapak atau dari ibu. Dalam menentukan
pasangan hidup, masyarakat biasa tidak terlalu mementingkan sebuah nasab
karena yang terpenting adalah kecocokan dari dua calon.
5. Harta dan Kemakmuran
Harta dan kemakmuran yang dimaksud adalah kemampuan untuk memberikan
mahar dan nafkah untuk istri bukan tentang kaya dan kekayaan. Harta dan
kekayaan bukanlah segalanya dalam memilih jodoh yang baik. Akan tetapi,
banyak orang mencari pasangan hidup dengan memilih harta sebagai tolak ukur
yang utama, banyak yang beranggapan ketika seseorang mempunyai harta yang
banyak, maka kehidupan rumah tangganya akan harmonis. Dalam Islam banyak
ulama yang menyebutkan bahwa harta bukanlah ukuran yang mutlah untuk
mencari pasangan hidup karena sifat harta adalah tidak tetap.
6. Pekerjaan, Profesi, atau Produksi
Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang untuk
mendapatkan rizkinya dan penghidupannya.

5
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai macam-macam kafa‟ah. Sebagaimana yang
dikutip dari kitab Fiqih Islam karangan Wahbah Az-Zuhayli dalam (Taufik, 2017)
menurut mazhab Maliki, kafa‟ah ada dua macam, yaitu agama dan kondisi.
Maksudnya adalah kondisi dalam arti selamat dari aib yang dapat menyebabkan
timbulnya pilihan, bukan kondisi dalam arti kehormatan dan nasab. Yang dimaksud
kesamaan disini hendaknya suami sama dengan istrinya. Menurut mazhab Hanafi
ada enam macam kafa‟ah, yaitu agama, Islam, Kemerdekaan, nasab, harta, dan
profesi. Menurut mazhab Syafi’i ada enam macam kafa‟ah, yaitu agama, kesucian,
kemerdekaan, nasab terbebas dari aib yang dapat menimbulkan pilihan, dan profesi.
Sedangkan menurut mazhab Hambali ada empat macam kafa‟ah, yaitu agama,
profesi, nasab, dan kemakmuran.

2.3 Hak dan Kewajiban Suami Istri

2.3.1 Keluarga Sakinah


Quraish Shihab, ahli tafsir Indonesia, menjelaskan bahwa kata sakinah mengandung
makna “ketenangan” (Ismatulloh, 2015). Ketenangan/ketentraman ini merupakan
modal untuk mewujudkan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga (Ghozali A.
R., 2015). Selain sakinah, ada pula istilah mawaddah dan rahmah. Dalam penjelasan
kosa katanya, mawaddah berasal dari fi’il wadda-yawaddu yang artinya cinta, kasih,
dan suka, sedangkan rahmah berasal dari fi’il rahima-yarhamu yang berarti sayang,
menaruh kasihan (Ismatulloh, 2015). Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa kata
mawaddah adalah sebagai ganti dari kata “nikah” (bersetubuh), sedangkan kata
rahmah sebagai kata ganti “anak” (Ismatulloh, 2015). Menurutnya, dengan adanya
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan akan terjadi
„persenggamaan‟ yang menyebabkan adanya „anak-anak‟ atau keturunan. Jadi,
menikah memunculkan ketentraman dan rasa cinta yang diwujudkan dalam
bersetubuh sehingga pasangan suami istri bisa memiliki keturunan (Kusmidi, 2018).

Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, pasangan suami-istri harus saling


perhatian serta berusaha memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing,
menjalankan kewajibannya, dan saling menghormati hak mereka (Bahri, 2009). Jika
keduanya sudah melakukan hal-hal itu, maka mereka cenderung lebih bahagia
daripada pasangan yang tidak melakukannya (Ahmad, 2016). Apabila ketentraman,
kerukunan, dan kebahagiaan dalam berumah tangga belum tercapai, maka suami-istri

6
hendaknya melakukan introspeksi terhadap diri mereka sendiri, mencari tahu apa
yang belum dapat mereka lakukan, dan mencari tahu kesalahan-kesalahan yang telah
mereka perbuat (Ismatulloh, 2015). Kemudian, mereka hendaknya memperbaiki
kekurangan tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sehingga tujuan
perkawinan yang diharapkan itu tercapai, yaitu ketenangan, saling mencintai, dan
kasih sayang.

2.3.2 Hak Suami Istri

2.3.2.1 Hak Bersama Suami Istri


Berikut hak yang sama-sama diperoleh dan harus dipenuhi oleh pasangan suami-
istri (Ghozali A. R., 2015).

a. Suami-istri dihalalkan untuk berhubungan seksual. Perbuatan ini merupakan


kebutuhan bersama suami-istri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi,
mereka harus melakukan hubungan seksual atas dasar kemauan keduanya,
tidak memaksa secara sepihak.
b. Istri haram dinikahi oleh ayah dan kakak suaminya, serta anak dan cucunya
sendiri. Suami haram menikahi ibu istrinya, serta anak dan cucunya sendiri.
c. Suami-istri berhak saling mendapatkan waris. Jika salah seorang meninggal
setelah melakukan ikatan perkawinan yang sah, meskipun belum pernah
berhubungan seksual, yang lain dapat mewarisi hartanya.
d. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suami.
e. Suami-istri berhak diperkukan dengan baik dan tidak saling melakukan
kekerasan sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup.

2.3.2.2 Hak Suami atas Istri


Berikut hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya (Ghozali A. R., 2015).

a. Suami berhak ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang dibenarkan agama atau
tidak mengarah kepada maksiat. Jika suami menyuruh istrinya untuk berbuat
maksiat, maka istri harus menolaknya. Misalnya, istri harus izin kepada suami
untuk keluar rumah.
b. Suami berhak tidak dikhianati dan dijaga harta bendanya oleh istri. Istri tidak
boleh berkhianat kepada suami, baik mengenai diri maupun harta benda
suami.

7
c. Suami berhak melarang istrinya untuk mencampuri sesuatu yang dapat
menyusahkan suami.
d. Suami berhak tidak dihadapkan dengan muka masam istri atau istri tidak boleh
bermuka masam di hadapan suami.
e. Suami berhak tidak ditunjukkan keadaan yang tidak disenanginya oleh istri
atau istri tidak boleh menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.

2.3.2.3 Hak Istri atas Suami


Berikut hak istri yang harus dipenuhi oleh suaminya (Kusmidi, 2018).

a. Istri berhak memperoleh mahar dan nafkah dari suami. Nafkah meliputi
makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lain-lain.
Jika suami tidak memberikan nafkah, istri boleh mengambil harta suami tanpa
sepengetahuannya yang mencukupi baginya dan anaknya dengan cara yang
baik.
b. Istri berhak mendapat perlakuan yang baik dari suami.
c. Istri berhak dijaga dan dibimbing oleh suami dengan tidak menyia-nyiakan
istri dan membimbingnya agar selalu melaksanakan perintah Allah.

2.3.3 Kewajiban Suami Istri

2.3.3.1 Kewajiban Bersama Suami Istri


Kewajiban suami dan istri tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 dan
78, sebagai berikut (Ghozali A. R., 2015).

a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya
dan pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugutan kepada Pengadilan Agama.

8
f. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah kediaman
yang dimaksud ditentukan oleh suami istri bersama.

Kusmidi (2018) menambahkan kewajiban suami dan istri sebagai berikut.

a. Saling menghormati antara keduanya dan menghormati keluarga kedua belah


pihak.
b. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang dengan saling mempercayai dan
bermusyawarah untuk kepentingan bersama.
c. Saling pengertian dan bersikap dengan baik.
d. Matang dalam berbuat dan berpikir, serta tidak bersikap emosional dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi.

2.3.3.2 Kewajiban Suami terhadap Istri


Secara umum, kewajiban suami terhadap istrinya tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 80 (Ghozali A. R., 2015).

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami istri bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama
dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak;
c. Biaya pendidikan anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b
di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.

9
Merujuk poin nomor 1, Kusmidi (2018) menegaskan bahwa suami wajib
memberikan kebebasan berpikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan ajaan
agama, tidak mempersulit dan membuat istri menderita. Oleh karena itu,
hendaknya suami tidak memutuskan apapun secara sepihak, tetapi harus
didiskusikan bersama demi kenyamanan bersama.

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur kewajiaban suami tentang tempat


kediaman, tepatnya dalam Pasal 81 (Ghozali A. R., 2015).

1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau
bekas istri yang masih dalam „iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam
ikatan perkawinan atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari
gangguan pihak lain sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat
kediaman juga berfungsi sebagai penyimpanan harta kekayaan, sebagai tempat
menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjuang lainnya.

Selain itu, terdapat pula kewajiban bagi suami yang beristri lebih dari seorang
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 82 (Ghozali A. R., 2015).

1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat
tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut
besar kecilnya keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada
perjanjian perkawinan.
2. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam
satu tempat kediaman.

2.3.3.3 Kewajiban Istri terhadap Suami


Berikut kewajiban yang harus dilakukan istri terhadap suami (Ghozali A. R.,
2015).

a. Taat dan patuh kepada suami.

10
b. Pandai mengambil hati suami. Misalnya, dengan menyediakan makanan dan
minuman yang lezat.
c. Mengatur rumah tangga dengan baik.
d. Menghormati keluarga suami.
e. Bersikap sopan dan penuh senyum kepada suami.
f. Tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk maju.
g. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
h. Selalu berhemat dan suka menabung.
i. Selalu berhias untuk atau di hadapan suami.

Apabila istri nusyuz, kewajiban suami pada Pasal 80 Ayat (4) huruf a dan b
tidak berlaku, kecuali untuk kepentingan anak (Ghozali A. R., 2015). Namun,
suami harus memberikan bukti yang sah untuk membuktikan istrinya nusyuz.
Suami dapat menjalankan kewajibannya kembali jika istri sudah tidak nusyuz.

2.4 Nusyuz, Perceraian, dan Ruju

2.4.1 Nusyuz

2.4.1.1 Pengertian Nusyuz


Nusyuz secara etimologi berasal dari bahasa Arab, nasyaza yang dalam bahasa
Indonesia berarti perempuan mendurhakai suami (Indrus, 2007). Berbeda secara
terminologi, nusyuz adalah suatu tindakan seorang isteri yang dapat diartikan
menentangan kehendak suami dengan alasan yang tidak dapat diterima menurut
hukum syara. Selain secara etimologi dan terminologi banyak ulama yang
merumuskan pengertian mengenai nusyuz, salah satunya adalah ulama madzhab
yang merumuskannya.

Menurut Maliki, nusyuz diartikan sebagai perbuatan saling menganiaya


antar suami istri. Menurut ulama Syafi‟iyah nusyuz merupakan perselisihan
diantara suami istri. Ulama Hambali berpendapat nusyuz merupakan
ketidaksenangan antar suami istri yang disertai dengan hubungan yang tidak
harmonis. Sedangkan fuqaha Hanafiyah mendefinisikan nusyuz merupakan
ketidaksenangan antar suami istri ( Fadlun, 2002).

Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan oleh para ulama madzhab,


maka dapat disimpulkan oleh penulis bahwa pengertian nusyuz adalah suatu

11
tindakan yang tidak patuh diantara suami atau istri yang akan menimbulkan
perubahan sikap antara suami dan istri. Beberapa diantaranya mengatakan
perubahan sikap dapat diartikan sebagai tindakan yang durhaka.

2.4.1.2 Macam-Macam Nusyuz


Pengertian mengenai nusyuz sudah dijelaskan sebelumnnya, maka selanjutnya
yang perlu diketahui adalah macam-macam dari nusyuz itu sendiri. Nusyuz
memiliki dua macam, yaitu nusyuz istri terhadap suami dan nusyuz suami
terhadap istri, penjelasan mengenai kedua macam nusyuz tersebut akan dijelaskan
sebagai berituk :

a. Nusyuz istri terhadap suami


Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya, hal
ini bisa terjadi dalam rumah tangga dengan bentuk pelanggaran, pemyelewengan
dan hal-hal yang menganggu keharmonisan rumah tangga (Amir, 2004). Selaras
dengan firman Allah dalam Al-Quran pada surat an-Nisa ayat 34 :

Artinya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Menurut (Ali, 2010) berkaitan dengan Surat An Nisa ayat 34. Al Qur‟an
memberikan opsi sebagai berikut:

12
Pertama,Isteri diberi nasihat dengan cara yang ma‟ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya. Memperingatkan isteri pada suatu yang
layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, di antaranya bisa
berupa perceraian yang berdampak pada keretakan eksistensi keluarga dan
telantarnya anak-anak.

Kedua, pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi
isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap
kekeliruannya. Berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama
isterinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika isteri
mencintai suami maka hal itu, tersa bersat atasnya sehingga ia kembali baik.

Ketiga, Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah
memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang
boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti batasnya.

b. Nusyuz suami terhadap isteri

Nusyuz tidak hanya terjadi pada istri terhadap suami, namun juga dapat terjadi
pada suami terhadap istri, mengapa dikatakan demikian karena di dalam Al Quran
yaitu pada surat An-Nisa ayat 128 menyebutkan adanya nusyuz dari suami. Beriku
yata dari surat tersebut

Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir. Dan juga kamu bergaul dengan istrimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Menurut (Amir, 2006) nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan


kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat
materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri
diantaranya mu‟asyarah bi al-ma‟ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang

13
terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut
menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan
mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan
tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik.

Dapat disimpulkan dari pernyataan di atas bahwa terdapat nusyuz suami


terhadap istri yang diperkuat oleh ayat al quran yaitu surat an-nisa ayat128.
Adapun beberapa contoh dari nusyuz suami terhadap istri adalah ketika suami
tidak memenuhi kewajibannya seperti memberi nafkah dan menggauli istrinya,
contoh lain adalah berlaku kasar.

2.4.1.3 Dasar Hukum Nusyuz


Dasar hukum mengenai nusyuz jika dalam al quran terdapat pada surat an-nisa
ayat 34 yang memiliki arti “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar”

Dapat disimpulkan dari penggalan arti ayat tersbut mengenai hukum yang
terjadi adalah kepemimpinan rumah tangga, hak dan kewajiban suami dan istri,
serta solusi tentang nusyuz yang dilakukan. Jika dilihat dalam kompilasi hukum
islam, terdapat beberapa pasal yang mengatur menegaskan hak dan kewajiban
suami dan istri yaitu sebagai berikut:

Pasal 80

1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami dan isteri.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.
14
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,
nusa dan bangsa.
4. Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.

Pasal 83

1. Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;
2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan
sebaik-baiknya;

Pasal 84

1. Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban


sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang
sah.
2. Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal
80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan
anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri
tidak nusyuz.
4. Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas
bukti yang sah.

2.4.2 Perceraian
Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Dalam hukum Islam
perceraian terjadi karena terjadinya khulu‟, zhihar, ila, dan li‟an.

1. Khulu’

Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang,
pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan
baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci istri atau istri membenci suaminya.

15
Dalam keadaan seperti ini Islam berpesan agar bersabar dan sanggup menahan diri.
Namun kadang kebencian semakin membesar, sehingga kehidupan suami istri
akhirnya tidak dapat berdamai lagi. Maka pada saat-saat seperti ini, Islam
membolehkan penyelesaiaan yang terpaksa harus ditempuh.

Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian


dengan mengajukan khulu‟, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami
untuk mencerai istrinya dengan jalan talak. Tentang ini Allah berfirman:

‫ٱّللِ فَئِ ٌۡ ِخ ۡفت ُ ۡى أَ ََّل‬ ٓ َّ ِ‫َو ََل َي ِح ُّم نَكُ ۡى أٌَ تَ ۡأ ُخزُواْ ِي ًَّب ٓ َءاتَ ۡيت ُ ًُىه ٍَُّ ش َۡئٔا إ‬
ِۖ َّ َ‫َل أٌَ َيخَبفَب ٓ أَ ََّل يُ ِقي ًَب ُحذ ُود‬
ِ َّ َ‫ٱّلل فَ ََل تَعۡ تَذُوه َۚب َو َيٍ َيتَ َعذَّ ُحذُود‬
‫ٱّلل‬ ِ َّ ُ‫عهَ ۡي ِه ًَب فِي ًَب ۡٱفتَذَ ۡت ِب ِۗۦه تِ ۡهكَ ُحذُود‬
َ ‫ٱّلل فَ ََل ُجَُب َح‬
ِ َّ َ‫يُ ِقي ًَب ُحذُود‬
َّ َّٰ ‫َفأ ُ ْو َّٰ َنٓئِكَ هُ ُى‬
ٌَ‫ٱنظ ِه ًُى‬
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(Q.S Al-Baqarah: 229)

Sebagai dasar hukum dari hadits, dikemukan oleh Al-Shan‟ani bahwa istri
Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW
mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya, sebagai berikut:
“Ya Rasulullah, terhadap Tsabit bin Qais saya tidak mencelanya tentang budi pekerti
dan agamanya namun saya membenci kekufuran (terhadap suami) dalam Islam.”
Maka Rasulullah SAW menjawab,
“Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit)?”
Jamilah menjawab: Ya (bersedia). Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu
bersabda kepadanya:
“Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia satu talak.”

Menurut ahli Fiqh, khulu‟ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan
ganti rugi kepadanya. Khulu‟ dinamakan juga tebusan. Karena istri menebus dirinya
dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya atau mahar
pernikahannya. Sehingga bila seorang suami telah melakukan khulu‟ terhadap

16
istrinya, maka dengan khulu‟ istri berkuasa atas dirinya secara penuh, segala urusan
berada di tangannya sendiri, serta tidak ada lagi hak suami terhadapnya. Maka khulu‟
adalah talak ba‟in bagi istri.

Diharamkan bagi suami menahan sebagian hak-hak istri untuk menyakiti


hatinya, sehingga nantinya ia meminta lepas dan menebus dirinya (khulu‟).
Perbedaan khulu‟ dan talak dalam waktu dijatuhkannya ialah bahwa khulu‟ boleh
terjadi di waktu mana tidak boleh terjadi talak, sehingga khulu‟ boleh terjadi ketika
istri sedang haid, nifas, atau dalam keadaan suci setelah digauli.

Hikmah dari pelaksanaan khulu‟ adalah untuk menolak bahaya, yaitu


perpecahan antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak
dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami istri. Maka khulu‟ yang telah
ditetapkan Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya permusuhan
dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.
2. Zhihar

Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna
punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan
suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu
suami. Seperti ungkapan, “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku.”

Pada masa jahiliyah ungkapan zhihar dipergunakan suami yang bermaksud


mengharamkan menyetubuhi istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk
selama-lamanya. Syari‟at Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya,
dan mensterilkannya menuju kemaslahatan hidup. Akibat dari zhihar ialah suami
haram untuk menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami melaksanakan kaffarah
sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang perkataan dan sikapnya yang
buruk.

Persoalan zhihar ini diatur dalam firman Allah surat Al-Mujadillah ayat 2-4:
ٓ
‫سبٓئِ ِهى َّيب ه ٍَُّ أ ُ َّي َّٰ َهتِ ِه ِۡۖى إِ ٌۡ أ ُ َّي َّٰ َهت ُ ُه ۡى إِ ََّل َّٰٱنَّـِي َونَ ۡذََ ُه ۡۚى َوإََِّ ُه ۡى نَيَقُىنُىٌَ ُيُ َك ٗشا‬
َ َِّ ٍ‫ظ ِه ُشوٌَ ِيُ ُكى ِّي‬ َ َّٰ ُ‫ٱنَّزِيٍَ ي‬
َ ‫ٱّلل نَعَفُ ٌّى‬
ٞ ُ ‫غف‬
‫ىس‬ ٗ ‫ِّيٍَ ۡٱنقَ ۡى ِل َو ُص‬
َ َّ ٌَّ ِ‫وس ۚا َوإ‬
“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai

ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah

17
wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” (Q.S Al-Mujadillah: 2)

‫يش َسقَبَ ٖة ِّيٍ قَ ۡب ِم أٌَ يَتَ ًَبٓس َّۚب َّٰرَ ِن ُك ۡى‬


ُ ‫سبٓئِ ِه ۡى ث ُ َّى يَعُىدُوٌَ ِن ًَب قَبنُىاْ فَتَ ۡح ِش‬
َ َِّ ٍ‫ظ ِه ُشوٌَ ِي‬ َ َّٰ ُ‫َوٱنَّزِيٍَ ي‬
‫يش‬ٞ ِ‫ٱّللُ بِ ًَب تَعۡ ًَهُىٌَ َخب‬
َّ ‫ظىٌَ بِ ِۚۦه َو‬ ُ ‫تُى َع‬

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa

yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Mujadillah: 3)

‫ص َيب ُو شَهۡ َش ۡي ٍِ ُيتَتَب ِب َع ۡي ٍِ ِيٍ قَ ۡب ِم أٌَ يَتَ ًَبٓس َِّۖب فَ ًٍَ نَّ ۡى يَ ۡستَ ِط ۡع فَئِ ۡط َعب ُو ِس ِتّيٍَ ِي ۡس ِك ٗيُ ۚب‬ ِ َ‫فَ ًٍَ نَّ ۡى َي ِج ۡذ ف‬
ٌ َ‫ٱّلل َو ِن ۡه َّٰ َك ِف ِشيٍَ َعز‬
‫اة أَ ِني ٌى‬ ِ ۗ َّ ُ‫سى ِن ِۚۦه َوتِ ۡهكَ ُحذُود‬ ِ َّ ‫َّٰرَنِكَ ِنت ُ ۡؤ ِيُُىاْ ِب‬
ُ ‫ٱّلل َو َس‬
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan

berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih.” (Q.S Al-Mujadillah: 4)

Apabila suami menyatakn zhihar terhadap istrinya maka berlakulah ketentuan berikut:
a. Jika suami inginkembali dengan istrinya, maka hendaknya suami mencabut
kembali zhiharnya, saling memaafkan atas apa yang telah terjadi, dan saling
berjanji akan memperbaiki hubungan selanjutnya. Sebelum suami menggauli
kembali istrinya, ia diwajibkan untuk membayar kaffarah zhihar berupa:
 Memerdekakan seorang budak yang beriman. Jika suami tidak kuasa
mewujudkannya atau tidak bisa menemukannya, maka dilakukan
dengan:
 Berpuasa dua bulan berturut-turut, yaitu 60 hari., tanpa diselingi
berbuka satu hari pun dalam 60 hari. Kalau suami ternyata tidak
mampu berpuasa berturut-turut, maka dapat diganti dengan:
 Memberi makan secukupnya kepada 60 orang miskin.
b. Bila suami berpendapat memperbaiki hubungan suami istri tidak akan
memungkinkan, dan menurut pertimbangannya bercerai adalah jalan yang

18
paling baik, maka hendaklah suami menjatuhkan talak kepada istrinya.
Kedudukan perceraian dalam kasus zhihar termasuk ba‟in.

Hikmah yang didapat dari semua itu adalah untuk mengingatkan dan mendidik
agar jangan melakuan zhihar lagi. Di samping itu, untuk menentang kebiaasan kaum
jahiliyah yang menzhihar istri mereka secara terus-menerus. Islam datang dengan
membawa rahmat dan kasih sayang, maka pikirkanlah betapa hikmat Allah Yang
Maha Tinggi.

3. Ila’

Kata ila‟ menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-ykli-laan” sewazan dengan
a‟tha yu‟thi itha‟an yang artinya sumpah. Menurut istilah hukum Islam, ila‟ ialah
sumpah suam dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada
istrinya untuk tidak mendekati istrinya, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan
ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.

Pada zaman jahiliyah seorang suami biasa bersumpah tidak menyentuh istrinya
setahun atau dua tahun atau lebih lama lagi dengan tujuan menyusahkan istri,
sehingga sang istri dibiarkan terkatung-katung seolah-olah tak bersuami tetapi juga
tidak diceraikan. Beberapa contoh ila‟:

 Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku.


 Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan.
 Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku selamanya.

Dasar hukum pengaturan ila‟ ialah Allah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 226-
227:

َ‫ٱنط َّٰهَق‬
َّ ْ‫يى َوإِ ٌۡ َعضَ ُيىا‬ٞ ‫ىس َّس ِح‬ َ َّ ٌَّ ِ‫ُّص أ َ ۡسبَعَ ِة أَ ۡش ُه ٖ ِۖش فَئٌِ فَب ٓ ُءو فَئ‬
ٞ ُ‫ٱّلل َغف‬ َ َِّ ٍ‫ِنّهَّزِيٍَ يُ ۡؤنُىٌَ ِي‬
ُ ‫سبٓئِ ِه ۡى تَ َشب‬
‫يى‬ٞ ‫س ًِي ٌع َع ِه‬ َ َّ ٌَّ ِ‫فَئ‬
َ ‫ٱّلل‬
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak,
maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 226-
227)

19
Allah menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang meng-ila‟ istrinya
mengandung hikmah bagi suami maupun bagi istri. Suami meyatakan ila‟ pada
istrinya pastilah karena sesuatu kebencian yang timbul diantara keduanya. Selama
empat bulan mereka berpisah kerinduan akan muncul, sehingga mereka bisa
menyesali sikapnya yang sudahlalu, memperbaiki diri sebagai bekal yang lebih baik
dari masa-masa sebelumnya. Kemudian apabila suami berbalik kembali kepada
isrinya diwajibkan membayar kaffarah sumpah karena telah mempergunakan nama
Allah untuk kepeerluan dirinya. Kaffarh tersebut berupa:
 Menjamu/menjamin makan 10 orang miskin, atau
 Memberi pakaian kepada 10 orang miskin, atau,
 Memerdekakan seorang budak.
Kalau tidak melakukan salah satu dari tiga hal tersebut maka kaffarahnya ialah
berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

Bila setelah menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah atau
terpengaruh atau melunak serta tetap tidak mempedulikan istrinya, maka suami dapat
menjatuhkan talaknya. Bagi istri yang di ila‟ oleh suaminya, pengucilan empat bulan
oleh suaminya menjadi sarana pendidikan baginya, memberi kesempatan memikirkan
sikapnya yang telah lalu, menyadari kekurangannya dalam melayani suami, mencari
sebab musabab suami sampai bersikap benci kepadanya agar menjadi bekal untuk
memperbaikinya di masa selanjutnya.
4. Li’an

Kata li’an berasal dari kata al-la’nu, yang berarti jauh dan laknat atau kutukan
(Ghozali A. R., 2015). Dalam terminologi Islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan
suami yang menuduh istrinya karena mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain
atau karena tidak mengakui anak dalam kandungan istrinya (Munthe, 2016). Menurut
Ali Rasyidin Muhammad, Sitti Musyayyadah, dan Rusni (Isa, 2020), “Berbuatan zina
adalah melakukan hubungan biologis (bersetubuh) antara laki-laki dengan perempuan
tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan perkawinan yang sah menurut agama
adalah perkawinan terpenuhi rukun dan syaratnya.” Jadi, suami harus bersumpah
karena istrinya telah bersetubuh dengan laki-laki lain, bukan karena hanya selingkuh
yang tidak sampai bersetubuh. Meskipun hanya sumpah yang tak ada bukti fisiknya,
perceraian dengan alasan li’an mempunyai kekuatan dalam khazanah fiqh Islam.

20
Kekuatan tersebut adalah sumpah itu sendiri (Munthe, 2016). Jadi, jika sudah li‟an,
maka berarti mereka sudah bercerai (Isa, 2020).

Sayyid Sabiq bahwa li’an dibagi kepada dua macam, yaitu (Munthe, 2016).

a. Suami menuduh istrinya berbuat zina, tetapi ia tidak mempunyai empat orang saksi
laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya. Dengan demikian, suami
hanya bisa bersumpah tanpa saksi selain dirinya sendiri.
b. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya karena dibuahi olehnya. Jika ia merasa
belum pernah mencampuri istrinya, tetapi ternyata ia hamil atau ia merasa
mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu setelah pernikahan yang menandakan
umur kandungannya tidak sesuai. Namun, sebaiknya suami-istri cek terlebih ke dokter
terlebih dahulu karena bisa saja usia kehamilan dihitung berdasarkan Hari Pertama
Haid Terakhir (HPTP).

Tata cara li‘an diatur sebagai berikut (Munthe, 2016):

a. Suami bersumpah empat kali bahwa ia menuduh istrinya berzina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan istrinya. Lalu, diikuti sumpah kelima dengan
kata-kata, “Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.”
b. Isteri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan
kata “Tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut tidak benar.” Lalu, diikuti sumpah
kelima dengan kata-kata, “Murka Allah akan menimpaku bila tuduhan dan/atau
pengingkaran tersebut benar.”
c. Sejak selesainya pengucapan li’an, maka sejak itu pula suami dan istri tersebut harus
dipisahkan dan tidak boleh kembali untuk selamanya.

Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan istri untuk


selamanya (Ghozali A. R., 2015). Suami istri yang saling bersumpah akan
memunculkan rasa kebencian diantara keduanya dan rasa malu pada diri sendiri dan
kepada lingkungan keluarga sekitarnya. Perasaan cinta, kasih sayang, dan
kepercayaan akan hilang. Jika mereka bersatu kembali, kemungkinan sulit untuk
mempercayai satu sama lain. Suami akan terlalu protektif dengan istrinya dan selalu
mencurigainya. Akibatnya, istri pun akan menjadi risih terhadap sikap suaminya.
Kondisi rumah tangga yang demikian lebih banyak keburukannya daripada
kebaiknnya. Maka, perceraian dengan li’an dilarang bersatu kembali untuk selamanya
karena tujuan perkawinan sulit terpenuhi lagi (Isa, 2020).

21
Setelah li’an, suami terbebas dari kewajibannya terhadap mantan istri karena
istri itu sudah masuk melakukan nusyuz (Munthe, 2016). Namun, istri berhak atas
harta bersama (Isa, 2020). Jika mereka mempunyai anak, maka anak tersebut
dihubungkan kepada ibunya (Munthe, 2016). Anak tersebut terputus hubungannya
dengan suami yang me-li’an itu sehingga suami tidak memiliki kewajiban lagi
sebagai ayah dari anak itu (Isa, 2020).

Menurut Al-Jurjawi, dalam sumpah li‟an terkandung beberapa hikmah antara


lain (Ghozali A. R., 2015).

a. Mencintai dan mempercayai satu sama lain. Suatu pernikahan tidak akan sempurna,
kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi antara keduanya, tetapi jika
sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka
akan sempit dan hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam
kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.
b. Melarang dan memperingatkan suami-istri agar jangan melakukan perlakuan buruk
yang akan mengurangi kemuliaan.
c. Mengingatkan suami agar selalu menjaga istrinya dari pelacuran. Namun, istri juga
harus menjaga dirinya sendiri.

Telah dijelaskan penyebab pernikahan sebab kholu’, zhihar, ila’, dan li’an.
Selain itu, ada pula sebab-sebab lain yang lebih umum terjadi. Sebab-sebab tersebut di
antaranya, sebagai berikut (Ghozali A. R., 2015).

a. Putusnya Perkawinan Sebab Syiqaq


Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri, yang disebabkan
karena adanya perbedaan pendapat dan pertengkaran sehingga mereka tidak mungkin
dipertemukan dan mengatasi masalahnya sendiri. Berdasarkan QS. An-Nisa ayat 35,
jika terjadi kasus syiqaq antara suami-istri, maka hendaklah mengutus seorang hakam
(juru damai) dari masing-masing pihak untuk menyelidiki penyebab terjadinya syiqaq,
berusaha mendamaikan mereka, dan mengambil keputusan perceraian sebagai solusi.
Perceraian tersebut hanya dapat diputuskan jika jalan perdamaian tidak
memungkinkan. Pasangan suami-istri yang cerai karena syiqaq hanya dapat kembali
sebagai suami-istri jika melakukan akad nikah lagi.
b. Putusnya Perkawinan Sebab Pembatalan

22
Jika akad nikah telah dilaksanakan, tetapi ternyata pasangan suami-istri tersebut telah
melanggar larangan perkawinan, maka perkawinan menjadi batal melalui proses
pengadilan. Misalnya, sepasang suami-istri baru tahu setelah beberapa bulan menikah
bahwa mereka memiliki ibu susu yang sama.
c. Putusnya Perkawinan Sebab Fasakh
Hukum Islam mewajibkan suami untuk memperlakukan dan menjaga istrinya dengan
baik, menunaikan hak-hak istri, tidak menganiaya istrinya, dan tidak membawa
keburukan kepada istrinya. Jika suami berlaku hal yang sebaliknya, istri dapat
mengajukan gugatan perceraian. Berikut alasan-alasan fasakh yang dibahas lebih
detail lagi (Ghozali A. R., 2015).
a. Tidak adanya nafkah bagi istri
Imam Malik, Syafi‟i, dan Ahmad berpendapat bahwa hakim boleh menetapkan
putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada istri, baik
karena memang suami tidak punya apa-apa atau karena suami menolak
memberikan nafkah. Tentu, hal ini menyengsarakan istri.
b. Terjadinya cacat atau penyakit
Jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak, baik suami maupun istri,
yang mengganggu kehidupan rumah tangga mereka, atau menimbulkan
penderitaan pada salah satu pihak, atau membahayakan salah satu pihak, atau
bahkan mengancam nyawa salah satu pihak, maka yang bersangkutan berhak
mengadu kepada hakin agar memutuskan tali pernikahan. Cacat yang dimaksud
adalah cacat jiwa (gila), cacat mental (penjudi, pemabuk), cacat tubuh (memiliki
penyakit lepra), dan cacat kelamin (memiliki penyakit sifilis, memiliki gangguan
seksual, terpotong alat kelamin, dan sebagainya yang mengganggu hubungan
seksual suami-istri).
c. Penderitaan yang menimpa istri
Jika suami sering menganiaya tubuh istri, menghilang, masuk penjara, yang
mengakibatkan istri menderita lahir batin, maka istri berhak mengajukan
perceraian.
d. Putusnya Perkawinan Sebab Meninggal Dunia
Jika salah satu dari suami atau istri meninggal dunia atau keduanya meninggal dunia
secara bersamaan, maka terputuslah perkawinan mereka. Kematian di sini dapat
berarti suami/istri dicabut nyawanya dan benar-benar meninggal dunia maupun
kematian dalam arti mafqud. Mafqud adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar

23
beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup
atau sudah meninggal dunia. Melalui proses pengadilan, hakim dapat menganggap
suami/istri telah meninggal dunia.

2.4.3 Ruju

2.4.3.1 Pengertian Ruju


Menurut bahasa Arab, kata ruju‟ berasal dari kata raja'a-yarji'u-rujk‟an yang
berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha
mengenal istilah “ruju‟ dan istilah “raj‟ah" yang keduanya semakna. Ulama
Hanafiyah memberi definisi ruju' sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah,
dartikan sebagai berikut:

“Ruju' ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj'i).”

Menurut Asy Syafi'i (dalam Rahman, 2006):

ّ ‫اُلرجعة اعاده أحكام‬


.‫الزواج في أنناء العدة بعد الطالق‬

Ruju' ialah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di


tengah-tengah iddah setelah terjadinya talak (raj'i). Dapat dirumuskan bahwa ruju'
ialah “mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak
raj'i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa
iddah, dengan ucapan tertentu".

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa meskipun pasangan berstatus


talak raj'i, namun perceraian terjadi, namun perceraian pada dasarnya mengarah
pada keharaman hubungan seksual antara keduanya, seperti halnya pria lain juga
dilarang melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, meskipun mantan suami
dalam masa iddah berhak untuk merujuk mantan istrinya dan mengembalikannya
sebagai suami istri, karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang
diucapkan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya itu, maka untuk
menghalalkan kembali mantan istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan
pernyataan ruju' yang diucapkan oleh mantan suami dimaksud.

Dengan terjadinya talak raj'i, maka kekuasaan mantan suami terhadap istri
menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara
keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakan tempat

24
tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya mantan suami memiliki
hak prioritas untuk meruju‟ mantan istrinya itu dalam arti mengembalikannya
kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh, dan dengan pernyataan ruju‟ itu
menjadi halal mantan suami mencampuri mantan istri dimaksud, sebab dengan
demikian status perkawinan mereka kembali sebagaimana sedia kala.

2.4.3.2 Hukum Rujuk


Menurut (Rahman, 2006) Ibnu Rusyd membagi hukum ruju‟ kepada dua: hukum
ruju' pada talak raj'i dan hukum ruju' pada talak ba'in, yang akan dijelaskan
sebagai berikut:

1. Hukum Ruju'pada Talak Raj'i.

Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak meruju‟ istri pada
talak raj‟i, selama istri masih berada dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan
persetujuan istri, berdasarkan firman Allah:

‫وبعولتهن أحق برهن‬

Artinya : “Dan suami-suami mereka lebih berhak meruju' mereka (istri-istri) dalam
masa menanti (Iddah) itu.”

Fuqaha juga sependapat bahwa sesudah terjadinya pergaulan (campur)


terhadap istri merupakan syarat talak raj'i. Namun mereka berbeda pendapat
tentang saksi, apakah menjadi syarat sahnya ruju' atau tidak, dan mereka juga
berbeda pendapat, apakah ruju' dapat disahkan dengan pergaulan (campur).

Menurut (Rahman, 2006) Mengenai saksi, Imam Malik berpendapat


bahwa adanya saksi dalam meruju' disunnatkan, sedangkan Imam Syafi'i
berpendapat, hal itu wajib. Namun, Imam Syafi'i berpendapat bahwa ruju' itu
dipersamakan dengan perkawinan, dan bahwa Allah telah memerintahkan untuk
diadakan penyaksian, sedangkan penyaksian tidak terdapat kecuali pada kata-
kata.

Perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Abu Hanifah


disebabkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ruju' itu mengakibatkan
halalnya penggaulan, karena dipersamakan dengan istri yang terkena ila (sumpah
tidak akan menggauli istri) dan istri yang terkena zhihar (pengharaman istri untuk

25
dirinya), di samping karena hak milik atas istri belum terlepas daripadanya, dan
oleh karena itu terdapat hubungan saling mewarisi antara keduanya. Sedangkan
Imam Malik berpendapat bahwa menggauli istri yang tertalak raj'i adalah haram,
sehingga suami meruju'nya. Oleh karena itu diperlukan niat.

2. Hukum Ruju' pada Talak Ba'in.

Hukum ruju' setelah talak tersebut (talak ba'in) sama dengan nikah baru, yakni
tentang persyaratan adanya mahar wali dan persetujuan. Hanya saja jumhur
fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan
berakhirnya masa iddah. Segolongan fuqaha berbeda sendiri pendapatnya dengan
mengatakan bahwa istri yang dikhulu' itu tidak boleh dikawin oleh suami (yang
mengkhulu' nya) atau oleh orang lain pada masa iddahnya. Seolah-olah mereka
beranggapan bahwa larangan nikah padamasa iddah adalah suatu ibadah (ta
'abbudy). Hukum ruju pada talak ba‟in dapat diperinci menjadi dua yaitu sebagai
berikut (Rahman, 2006):

a. Talak Ba'in karena Talak Tiga Kali.

Mengenai istri yang ditalak tiga kali , para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal
lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli (oleh suami lain),
berdasarkan hadits Rifa'ah bin Sama'ual:

Sesungguhnya Rifa'ah menceraikan istrinya, Tamimah binti Wahb pada masa


Rasulullah SAW tiga kali, maka Tamimah kawin dengan Abdurrahman bin
Zubeir: Kemudian Abdurrahman berpaling darpadanya tanpa dapat
menggaulinya, lalu ia pun menceraikannya. Maka Rifa'ah (suamnya yang
pertamna) bermaksud hendak mengawininya dan berkata: Tamimah tidak halal
bagimu sehingga ia merasakan madu (berjinma' dengan suami lain).

Sa'id bin Al-Musyyab berbeda sendiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa


istri yang dicerai tiga kali boleh kembali kepada suaminya yang pertama dengan
akad nikah yang sama, berdasarkan keumuman firman Allah:

“... sehingga ia (istri yang dicerai tiga kali) kawin dengan suami yang lain...”

la berpendapat bahwa nikah yang dimaksudkan adalah untuk semua akad nikah.

26
Semua fuqaha berpendapat bahwa bertemunya dua alat kelamin menyebabkan
halalnya bekas istri tersebut. Kecuali Hasan Al-Bashri yang mengatakan bahwa
istri tersebut baru menjadi halal dengan terjadinya pergaulan yang mengeluarkan
air mani.

b. Nikah Muhallil.

Dalam kaitan ini fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah, nuhallil. Yakni jika
seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk
menghalalkannya bagi suami yang pertama.

Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh, baik
sesudah maupun sebelum terjadi pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak
dan tidak berakibat halalnya perempuan tersebut. Dan baginya, keinginan istri
untuk menikah tahlil tidak dipegangi, tapi keinginan lelaki itulah yang dipegangi.

Imam Syafi' i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan,
dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini
dikemukakan pula oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa
pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.

Segolongan fuqaha lainnya berpendapat bahwa pernikahan muhallil itu


dibolehkan, tetapi syarat untuk menceraikan istri dan menyerahkan bagi suami
pertama adalah batal. Yakni bahwa syarat tersebut tidak menyebabkan kehalalan
istri yang dikawin tahlil. Pendapat ini dikemukakan oleh Abi Laila dan
diriwayatkan pula oleh Al-Tsaury.

2.5 Hadhanah

2.5.1 Pengertian dan Dasar Hukum


Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah "hadhanah". Hadhanah
menurut bahasa berarti "meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan",
karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-
akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga "hadhanah'"
dijadikan istilah yang maksudnya: "pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir
sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak
itu" (Zakiah Daradjat, 157).

27
Para ulama fikih mendefinisikan: Hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar
tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani
dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawab.
Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalan firman Allah SWT:

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu
melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota
keluarga dalam ayat ini adalah anak.

2.5.2 Yang Berhak Melakukan Hadhanah (Pemeliharaan Anak)


Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan
orang lain untuk membantu dalam kehidupannya, seperti makan, berpakaian,
membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Karena itu,
orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan
mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh) di kemudian hari. Di samping itu,
seseorang yang mempunyai hak dakam hadhanah harus mempunyai waktu yang
cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan yang memiliki syarat-syarat tersebut
adalah wanita (Ibu yang lebih utama). Oleh karena itu, agama menetapkan bahwa
wanita adalah orang yang sesuai dengan syarat- syarat tersebut. sebagaimana
disebutkan dalam hadits, yang artinya : “ Ya Rasulullah, bahwasanya wanita anakku
ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya dan air susuku
lah minumannya. Bapaknya hendak mengambil dariku. Maka berkata Rasulullah :
Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum menikah (dengan laki-
laki yang lain)”.

28
Menurut riwayat Imam Malik dalam Kitab Muwaththat dari Yahya bin Sa'id
berkata Qasim bin Muhammad bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang anak,
namanva Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke
Quba dan menemui anaknya itu sedang bermain-main di dalam mesjid. Umar
mengambil anaknya itu dan mneletakkan di atas kudanya. Dalam pada itu datanglah
nenek si anak, Umar bcrkata, "anakku". Wanita itu berkata pula, "anakku". Maka
dibawalah perkara itu kepada khalifah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan
bahwa anak Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya.
Dasar urutan orang-orang yang berhak melakukan hadhanah adalah :
1. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya dalam
kerabat adalah sama.
2. Nenek perempuan didahulukana atas saudara perempuan karena anak merupakan
bagian dari kakek,karena itu nenek lebih berhak dibanding dengan saudara
perempuan.
3. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat
seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah.
4. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan
ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak.
5. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada maka hak hadhanah pindah
kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram
(Zakiah Daradjat, 158-160).

2.5.3 Masa Hadhanah


Tidak terdapat ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang menerangkan dengan tegas tentang
masa hadhanah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerang ayat tersebut. Karena
itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkannya dengan berpedoman
kepada isyarat-isyarat itu. Menurut mazhab Hanafi: hadhanah anak laki-laki berakhir
pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus
keperluan sehari-hari, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut,
seperti makan, minum, mengatur pakaian, membersihkan tempatnya dan sebagainya.
Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang
masa haid pertamanya. Pengikut mazhab Hanafi yang terakhir ada yang menetapkan
bahwa masa hadhanah itu berakhir umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 11 tahun
bagi wanita.

29
Undang-undang Mesir tidak menetapkan batas akhir masa hadhanah dengan
tegas, tetapi melihat keadaan kehidupan bapak dan ibu dari anak itu. Jika kedua bapak
dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan, maka dianggap tidak ada hadhanah.
Persoalan dianggap ada jika telah terjadi perceraian antara kedua ibu bapa dari anak
dan keduanya berbeda pendapat dalam melaksanakan hadhanah. Jika terjadi
perbedaan pendapat anara ibu dan bapak tentang hadhanah maka undang-undang
menyerahkannya kepada kebijaksanaan dan keputusan hakim dengan ketentuan
bahwa masa hadhanah anak minimal 7 tahun dan maksimal 9 tahun. Namun demikian
diserahkan juga kepada kebijaksanaan hakim dengan pedoman bahwa kemaslahatan
di utamakan (Zakiah Daradjat, 163-164).

2.6 Poligami dan perselingkuhan/perzinahan

2.6.1 Poligami

2.6.1.1 Pengertian
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli
artinya “banyak”, sedangkan gami artinya”istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri
banyak. Secara terminology, poligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari
satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling
banyak empat orang. Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri
dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti
urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat
lahiriah. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua
hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup
memenuhi hak-hak istinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk
yang keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya dua orang,
maka ia harap menikahi istri yang ketiganya, dan begitu seterusnya. Jadi jika tidak
bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (Ghozali A. R., 2015).

2.6.1.2 Hikmah Poligami


Mengenal hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat
berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.

30
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Untuk menyelamatkan suami dari yanh hypersex dari perbuatan zina dan krisis
akhlak lainnya.
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara
atau masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
Misalnya akibat peperangan yang cukup lama.

Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang,


bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya (yang merupakan
khushushiyat bagi Nabi) adalah sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9


orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi ummat Islam yang ingin
mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat,
terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan atau kerumahtanggaan.
2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk
menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan
Juwairiyah, putri Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pula
perkawinan Nabi dengan Shafiyah (seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan
Bani Nazhir).
3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi
dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usia, seperti Saudah
binti Zum‟ah (suami yang meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia).
Hafshah binti Umar (suami yang gugur di perang Badar). Zainab binti
Khuzaimah (suami yang gugur di perang Uhud), dan Hindun Ummu Salamah
(suami yang gugur di perang Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk
melindungi jiwa dan agamanya, serta penanggung untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

2.6.1.3 Hikmah Dilarangnya Nikah Lebih Dari Empat Istri


Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan seseorang untuk menika satu, dua
samapi empat wanita dengan syarat ia mampu untuk berbuat adil. Allah
melarangnya kawin lebih dari empat karena melebihi batas jumlah itu akan

31
mendatangkan aniaya. Seorang tidak mungkin mampu meskipun telah mempunyai
pengetahuan dan ilmu banyak.
Namun larangan itu tidak berlaku untuk Nabi Muhammad karena beliau
adalah manusia yang terjaga dari kesalahan dan tidak pernah menyalahi Al-Qur‟an
dalam segala keadaan. Di samping itu karena Nabi Muhammad lebih memuliakan
orang fakir daripada orang kaya, lebih memperhatikan kesusahan daripada
kepangan hidup. Kesengsaraan dan kesusahan membawanya kepada tekun dalam
beribadah dan sanggup melakukan hal-hal yang berat. Hal itu menunjukkan
bahwa beliau mampu melakukan semua itu karena Allah.
Dapat disimpulkan bahwa hikmah dilarangnya nikah lebih dari empat istri
adalah:
1. Batas maksimal beristri bagi manusia biasa adalah empat istri. Jika lebih dari
empat istri berarti melampaui batas kemampuan, baik dari segi kemampuan
fisik, mental maupun tanggung jawab bahkan dapat menimbulkan gangguan
jiwa.
2. Karena melampaui batas kemampuan, maka ia terseret melakukan kezaliman
(aniaya), baik terhadap dirinya sendiri maupun istri-istrinya.
3. Manusia biasa pada umumnya didominasi oleh nafsu syahwatnya yang
cenderung melakukan penyimpangan sehingga ia tidak mempunyai kekuatan
untuk memberikan hak-haknya kepada istri-istrinya.

2.6.2 Perselingkuhan/Perzinahan

2.6.2.1 Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh secara etimologi diartikan
sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan
sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, dan curang. Menurut Blow dan Hartnett,
perselingkuhan secara terminology adalah kegiatan seksual atau emosional
dilakukan oleh salah satu kedua individu terikat dalam hubungan berkomitmen
dan dianggap melanggar kepercayaan atau norma-norma (terlihat maupun tidak
terlihat) berhubungan dengan eksklusivitas emosional atau seksual (Muhajarah,
2016). Menurut Brenot, berselingkuh merupakan sebuah pengingkaran terhadap
komitmen pernikahan monogamy yang dilakukan secara diam-diam oleh salah
satu pasangan terhadap pasangannya (Irawan & Suprapti, 2018). Menurut Pittman
& Wagers, menjelaskan bahwa perselingkuhan merupakan perilaku seksual

32
dan/atau hubungan emosional romantic yang dilakukan salah satu atau kedua
pasangan terhadap lawan jenisnya diluar pernikahan (Irawan & Suprapti, 2018).
Selingkuh adalah salah satu bentuk perzinaan. Islam sebagai agama yang
memiliki nilai dan aturan kehidupan telah menjelaskan bahwa perselingkuhan
adalah kondisi yang tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan yang dilarang.
Perselingkuhan merupakan perilaku dosa dan melanggar aturan agama. Sebagai
firman Allah dalam surat al-Isra ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”. Perselingkuhan merupakan perilaku zina karena
mengakibatkan problematika kehidupan rumah tangga dan menjatuhkan
terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah (Muhajarah, 2016).

2.6.2.2 Faktor Penyebab Perselingkuhan


Faktor penyebab terjadinya perselingkuhan, yakni:
1. Menurut Fishbein dan Ajzen dalam (Irawan & Suprapti, 2018) intensi
merupakan kemungkinan subjektif seseorang dalam menampilkan perilaku
tertentu apabila ada kesempatan. Merujuk pada teori Fishbein dan Ajzen
sebelumnya, Buunk menjelaskan bahwa intensi berselingkuh diartikan sebagai
kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan perilaku selingkuh (jatuh
cinta, merayu, bercumbu hingga melakukan hubungan seksual) dengan orang
lain selain pasangannya apabila terdapat kesempatan untuk melakukannya.
2. Menurut Drigotas, Saftorn, dan Gentilia dalam (Irawan & Suprapti, 2018)
menjelaskan salah satu factor terjadinya perselingkuhan adalah faktor emosi.
3. Menurut Guntoro dalam (Irawan & Suprapti, 2018) menyebutkan seseorang
dapat memiliki intensi berselingkuh karena adanya konflik dalam pernikahan
yang tidak dapat diselesaikan dengan baik.
4. Menurut Eriningtyas dalam (Irawan & Suprapti, 2018) bahwa seseorang
dengan kematangan emosi yang rendah memiliki kecenderungan berselingkuh
yang lebih tinggi.
5. Menurut Surya dalam (Muhajarah, 2016) perselingkuhan pada umumnya
banyak terjadi pada anggota keluarga yang kurang memiliki kualitas
keagamaan yang mantap, lemahnya dasar cintas, komunikasi kurang lancar
dan harmonis, sikap egois dari masing-masing pasangan, emosi yang kurang
stabil, dan kurang mampu membuat penyesuaian diri.

33
6. Menurut Gifari dalam (Muhajarah, 2016) terjadinya perselingkuhan, yakni ada
peluang dan kesempatan, konflik antar pasangan, seks yang tidak terpuaskan,
abnormalitas atau animalistis seks, iman yang hampa, dan hilangnya rasa
malu.

2.6.2.3 Dampak Perselingkuhan


Setiap perbuatan membawa dampak atau akibat tertentu. Perselingkuhan
membawa sejumlah akibat tertentu baik kepada pasangan pelaku perselingkuhan
maupun pelaku perselingkuhan itu sendiri. Pelaku perselingkuhan akan merasa
bersalah pada saat atau setelah terjadinya perselingkuhan. Apabila hal tersebut
terjadi pada saat berlangsungnya perselingkuhan, pada umumnya akan timbul
konflik internal pada diri individu bersangkutan. Imbas fisik, sosial, dan
psikologis juga adakalanya dialami oleh pelaku perselingkuhan. Gangguan
kesehatan berkaitan dengan masalah medis mungkin saja muncul sebagai akibat
pelaku perselingkuhan. Beberapa kalangan masyarakat sosial tertentu,
perselingkuhan merupakan hal dianggap pencemaran nama baik. Sehingga
lingkungan sosial menjatuhkan putusan untuk mendeskreditkan pelaku
perselingkuhan. Dampak psikologis selanjutnya adalah muncul rasa malu.
Perasaan malu dan tersisih tidak jarang mebawa seseorang kepada kondisi depresi
yang berkepanjangan. Untuk pasangan pelaku perselingkuhan sering kali
merasakan luka yang sangat mendalam karena merasa dikhianati, ditinggalkan,
atau dicampakkan oleh pasangannya yang melakukan perselingkuhan. Muncul
perasaan kecewa yang dialami oleh pasangan pelaku perselingkuhan yang
bersumber dari ketidakselarasan harapan dan kenyataan. Di samping rasa kecewa
dan marah, pasangan pelaku perselingkuhan mengalami rasa sakit hati yang cukup
mendalam. Ia akan merasa dirinya tidak lagi dibutuhkan, kedudukannya
digantikan oleh orang lain, tidak lagi dihargai statusnya sebagai pasangan
perkawinan, dan hak-haknya dialihkan kepada orang lain bahkan dirampas oleh
orang lain (Rahmawati, 2015).
Perilaku perselingkuhan tidak hanya berdampak kepada pelaku
perselingkuhan dan pasangan pelaku perselingkuhan, akan tetapi perselingkuhan
memiliki dampak terhadap anak sebagai berikut (Muhajarah, 2016):
1. Apabila suami istri berselingkuh saat anak sudah dewasa mungkin akibat
perselingkuhan tidak akan terlalu berpengaruh pada anak. Apbila anak

34
masih kecil, dampaknya tentu sangat terasa. Hal ini akan membuat anak
tersebut menjadi bingung dan merasa tidak nyaman karena keluarga sudah
tidak bisa menjadi contoh yang baik. Anak bisa saja membenci orang tua
yang selingkuh dan hal itu tidak jarang terjadi pada keluarga yang
berselingkuh.
2. Kebencian seorang anak terhadap orang tua yang selingkuh bisa
menimbulkan akibat lain, salah satunya adalah kelainan seksual. Misalnya,
seorang anak perempuan membenci ayahnya yang telah menyakiti
perasaan ibunya. Maka anak tersebut bisa saja membenci kaum pria dan
kemudian beralih menyukai sesame jenis.
3. Orang tua adalah contoh bagi anak. apabila orang tua berselingkuh, hal ini
tentu bukan contoh yang baik. Namun, seorang anak bisa saja mencontoh
hal ini ketika sudah berumah tangga.
4. Akibat perselingkuhan yang lain adalah anak bisa sangat tertekan, stress,
dan depresi. Perasaan tertekan seperti ini bisa membuat anak menjadi lebih
pendiam, jarang bergaul, dan prestasi akademik yang menurun.
5. Anak sebagai korban perselingkuhan orang tuanya tak selalu menjadi
pendiam. Sebaliknya, seorang anak bisa menjadi pemberontak. Jiwa labil
seorang anak yang sedang depresi bisa menggiringnya ke dalam pergaulan
yang salah. Misalnya seks bebas, narkoba, bahkan kriminal.
6. Trauma perselingkuhan tak hanya menghinggapi perasaan suami istri yang
baru saja bertengkar tapi juga berimbas kepada anak. trauma yang terjadi
pada anak bisa berupa timbulnya ketakutan untuk menikah.

2.6.2.4 Upaya Menanggulangi Perselingkuhan


Upaya menangani perselingkuhan harus melihat dari berbagai dimensi, idealnya
harus menggunakan pendekatan multi disipliner atau inter disipliner karena
masalahnya mencakup berbagai aspek yang mempengaruhi. Berikut ini upaya
menangani perselingkuhan menurut para ahli:
1. Menurut Hamd guru besar Universitas al-Azhar Kairo dalam (Muhajarah,
2016) di antaranya hal-hal yang dapat membantu untuk mengobati gejala
perselingkuhan ini, yakni bertakwa kepada Allah dan menumbuhkan sikap
bahwa Allah selalu mengawasinya, merendahkan pandangan, membiasakan
merasa puas terhadap pemberian Allah, melihat orang yang lebih rendah

35
dalam urusan materi dan melihat orang yang lebih tinggi dalam urusan agama,
dan memahami benar makna kecantikan dan ketampanan bukan satu-satunya
faktor yang dapat merealisasikan kebahagiaan.
2. Menurut Surya dalam (Muhajarah, 2016) untuk menghindari perselingkuhan,
yakni mewujudkan komunikasi secara transparan dan harmonis atas dasar
saling pengertian satu dengan lainnya, meningkatkan kekuatan dan ketahanan
diri yang dilandasi dengan konsep diri dan rasa percaya diri secara mantap,
dan mengembangkan kontak sosial secara baik dan sehat dalam pergaulan
sosial melalui pola-pola hubungan antarpribadi baik di dalam maupun di luar
keluarga.

2. 7 Psikologi Pernikahan

2.7.1 Teori Psikologi tentang Pernikahan

2.7.1.1 Social Exchange Theory


Social exchange theory berkaitan dengan biaya dan manfaat dalam interaksi
(Miller, 2020). Individu menganalisis manfaat dan risiko setiap situasi. Begitu
pula dalam berhubungan dengan orang lain. Individu secara sukarela memiliki
hubungan dengan orang lain hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan
(Seager, 2013). Maka, pernikahan harus menguntungkan kedua belah pihak.

2.7.1.2 Cognitive Self-Disclosure


Edward Waring dalam (Miller, 2020) mengemukakan bahwa cara membangun
keakraban adalah melalui keterbukaan diri (self-disclosure). Maka, komunikasi
dalam pernikahan itu sangat penting. Pasangan suami-istri dianjurkan untuk saling
terbuka satu sama lain dengan berbagi tentang keinginan, kebutuhan, aspirasi,
sikap, dan keyakinan mereka. Dengan terbuka satu sama lain, tingkat keintiman
akan meningkat (Miller, 2020). Jika pasangan semakin membuka diri,
kemungkinan mereka akan semakin peka dan memahami satu sama lain, semakin
mengetahui pikiran, perasaan, dan sikap masing-masing, semakin besar
komitmennya untuk terus saling mencintai dan mempertahan pernikahan, dapat
mengkomunikasikan hasrat seksual dengan baik sehingga tidak ada paksaan di
antara keduanya, dapat bekerja sama dalam segala urusan rumah tangga sehingga
akan meminimalkan konflik dalam rumah tangga.

36
Keterbukaan diri terhadap pasangan sebaiknya dilakukan sebelum
pernikahan karena cinta dan hasrat seksual tidak selalu cukup untuk menopang
pernikahan. Daripada passionate love, companionate love lebih bertahan lama
(Seager, 2013). Para ahli mendorong pasangan untuk belajar sebanyak mungkin
tentang nilai dan prioritas satu sama lain sebelum menikah, seperti bagaimana
mereka melakukan pekerjaan rumah (DiDonato, 2016). Pertanyaan tersebut sangat
penting ditanyakan terutama bagi pasangan yang sama-sama bekerja atau
berpenghasilan ganda. Maka, mereka juga perlu menanyakan seberapa sibuk
dalam pekerjaan. Pasangan yang kehidupan pekerjaannya tidak mengganggu
waktu di rumah cenderung memiliki pernikahan yang lebih memuaskan
(DiDonato, 2016). Pasangan juga perlu mengetahui trauma masa lalu mereka
(DiDonato, 2016). Misalnya, pelecehan di masa lalu, ketika dipicu, dapat
menyebabkan banjir emosional dan merusak kualitas hubungan. Jika mitra
mengetahui kepekaan satu sama lain terhadap pemicu tertentu, mereka mungkin
lebih mampu mengelola interaksi yang sebaliknya merusak. Masalah finansial
yang merupakan faktor terkuat dari perceraian juga harus dibahas sebelum
menikah (DiDonato, 2016). Pasangan harus terbuka satu sama lain tentang gaji,
aset, hutang, pengeluaran tiap bulan, kebiasaan menabung, dan sebagainya yang
berhubungan dengan pengelolaan keuangan. Terakhir, pandangan mengenai peran
gender dalam pernikahan juga perlu ditanyakan (DiDonato, 2016). Dalam Islam,
peran gender dalam pernikahan ini berhubungan dengan hak dan kewajiban
suami-istri.

2.7.1.3 Triangular Theory of Love


Triangular theory of love dikembangkan oleh Robert J. Sternberg (Miller, 2020).
Menurut teori ini, cinta mengandung tiga elemen, yaitu keintiman (intimacy),
gairah (passion), dan komitmen (commitment).

a. Intimacy mencakup perasaan dekat, terkait, dan terikat dalam hubungan.


b. Passion terkait dorongan yang menimbulkan emosi kuat, seperti ketertarikan
fisik dan sex.
c. Commitment merupakan keputusan untuk mencintai pasangan dan menjaga
cinta tersebut.

37
2.7.2 Pernikahan Mengubah Kepribadian
Sering dikatakan bahwa pasangan yang sudah menikah tumbuh semakin mirip selama
bertahun-tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peristiwa besar dalam hidup
dapat mendorong kepribadian ke arah tertentu. Salah satu peristiwa besar itu adalah
pernikahan. Hal ini disebabkan karena adanya proses adaptasi.

Penelitian oleh psikolog Universitas Georgia, Justin Lavner dan rekan-


rekannya, menunjukkan bahwa kepribadian orang memang berubah, dengan cara
yang dapat diprediksi, dalam satu setengah tahun pertama setelah menikah (Ludden,
2018). Penelitian ini merekrut 169 pasangan heteroseksual untuk menanggapi
kuesioner di tiga titik dalam pernikahan mereka, yaitu pada 6, 12, dan 18 bulan
setelah pernikahan. Dengan cara ini, para peneliti bisa mendeteksi tren perubahan
kepribadian. Teori kepribadian yang digunakan adalah teori kepribadian Big Five.
Setelah dianalisis, hasil penelitian ini menemukan tren perubahan kepribadian di
antara suami dan istri.

a. Openness. Para istri menunjukkan penurunan keterbukaan. Mungkin perubahan


ini mencerminkan penerimaan mereka terhadap rutinitas pernikahan.
b. Conscientiousness. Kesadaran suami meningkat secara signifikan, sedangkan istri
tetap sama. Peningkatan kesadaran bagi pria mungkin mencerminkan
pembelajaran mereka tentang pentingnya menjadi dapat diandalkan dan
bertanggung jawab dalam pernikahan.
c. Extraversion. Suami menjadi lebih tertutup (lebih rendah dalam hal ekstraversi)
selama satu setengah tahun pertama perkawinan. Penelitian lain menunjukkan

38
bahwa pasangan yang sudah menikah cenderung membatasi jejaring sosial mereka
dibandingkan ketika mereka masih lajang. Penurunan ekstraversi ini mungkin
mencerminkan tren itu.
d. Agreeableness. Baik suami maupun istri menjadi kurang menyenangkan selama
penelitian, tetapi tren penurunan ini terutama terlihat bagi para istri. Data ini
menunjukkan bahwa para istri ini belajar lebih menonjolkan diri selama tahun-
tahun awal pernikahan.
e. Neuroticism. Suami menunjukkan sedikit peningkatan (tetapi tidak signifikan
secara statistik) dalam stabilitas emosi. Para istri menunjukkan yang jauh lebih
besar. Secara umum, wanita cenderung melaporkan tingkat neurotisme (atau
ketidakstabilan emosional) yang lebih tinggi daripada pria. Sangat mudah untuk
berspekulasi bahwa komitmen pernikahan memiliki efek positif pada stabilitas
emosional istri.

2.7.3 Pernikahan dan Kesehatan Mental


Pernikahan secara luas dianggap memberi manfaat terhadap kesehatan mental.
Penelitian yang dilakukan oleh Uecker (2012) tentang pernikahan dan kesehatan
mental pada pasangan yang menikah pada usia 22-26 tahun menunjukkan beberapa
kesimpulan. Penelitian ini mengukur tiga hal, yaitu tekanan psikologis, kemabukan,
dan kepuasan hidup.

Dalam hal tekanan psikologis, partisipan yang sudah menikah memiliki


tingkat tekanan psikologis yang sama dengan partisipan dalam hubungan romantis
apapun. Selain itu, pernikahan memiliki manfaat yang lebih jelas dalam hal
kemabukan. Partisipan yang sudah menikah lebih jarang mabuk dibandingkan yang
lajang dan mereka yang tidak bertunangan. Partisipan yang sudah bertunangan, baik
tinggal bersama maupun tidak, terlihat serupa dengan partisipan yang sudah menikah
dalam hal ini. Hal ini dikarenakan pernikahan dan pertunangan kemungkinan besar
membawa rasa tanggung jawab dan kewajiban yang tinggi. Partisipan yang sudah
menikah jauh lebih puas dengan kehidupan mereka daripada partisipan lainnya.
Pengaruh pernikahan terhadap kepuasan hidup ini didorong oleh faktor status sosial
ekonomi, orang tua, stabilitas hubungan, dan partisipasi dalam beragama.

Pernikahan juga dapat memberikan tingkat kepastian, finalitas, dan rasa


kepuasan yang berasal dari “menyelesaikan” salah satu tugas yang terlibat dalam

39
transisi ke masa dewasa, tugas yang oleh beberapa orang dianggap sebagai batu
penjuru menuju kedewasaan. Mereka yang belum menikah mungkin masih
mengalami kecemasan tentang mencari dan mendapatkan pasangan seumur hidup.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kim dan McKenry (2014), menunjukkan
hasil bahwa tingkat kesejahteraan psikologis berbeda pada kategori status perkawinan
yang berbeda. Pasangan yang bercerai dan menikah lagi menunjukkan penurunan
gejala depresi yang signifikan dibandingkan dengan individu yang bercerai dan tidak
menikah lagi. Pasangan yang baru menikah juga memiliki tingkat gejala depresi yang
jauh lebih rendah dibandingkan yang sudah lama menikah. Hal ini mungkin
mencerminkan romantisme masa awal pernikahan yang lebih tinggi.

Penelitian tentang hubungan antara pernikahan dan kesejahteraan psikologis


ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis individu terkait erat dengan kualitas
hubungan perkawinan, stres dan dukungan sosial, self-esteem, dan gender (Kim &
McKenry, 2014). Bukti dari berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hidup
dalam hubungan yang tidak bahagia merusak kesehatan mental. Maka, pernikahan
yang dapat mendukung kesejahteraan psikologis adalah hubungan pernikahan yang
sehat. Selain kualitas hubungan perkawinan, hubungan antara perkawinan dan
kesejahteraan psikologis mungkin sebagian dipengaruhi oleh stres yang dirasakan dan
dukungan sosial. Burman dan Margolin mengemukakan bahwa stres dan dukungan
sosial mempengaruhi kesejahteraan psikologis baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ross dan Mirowsky menemukan bahwa dukungan sosial hanya
menyumbang sebagian kecil dari efek pernikahan terhadap depresi, sedangkan
pernikahan ditemukan memiliki efek langsung yang besar pada depresi. Dukungan
sosial yang positif berfungsi untuk meningkatkan self-esteem sehingga kesejahteraan
psikologis juga akan meningkat. Karena evaluasi diri individu dikembangkan melalui
interaksi sosial, penolakan oleh pasangan dapat menjadi faktor risiko kuat yang
mengancam self-esteem seseorang. Dalam hal gender, pernikahan lebih
menguntungkan laki-laki daripada perempuan dan melajang lebih merugikan laki-
laki. Namun, temuan dari studi empiris telah menunjukkan bahwa wanita yang belum
menikah lebih baik dalam hal kesejahteraan psikologis daripada rekan pria mereka.

40
2.7.4 Perceraian
Perceraian dapat berdampak besar pada kehidupan setiap individu dalam keluarga.
Perceraian biasanya didahului oleh perpisahan emosional atau psikologis dan
kemudian, diakhiri dengan perceraian resmi (Ubaidi, 2017).

Salah satu teori dominan tentang adaptasi perceraian adalah divorce-stress-


adjustment model (Miller, 2020). Teori ini menyatakan bahwa proses perceraian itu
berkelanjutan. Itu dimulai saat pasangan masih hidup bersama. Setelah menyelesaikan
perceraian, pasangan tersebut masih mengalami stres. Teori ini juga menjelaskan
tentang bagaimana orang memandang pengalaman mereka. Yang pertama adalah
model krisis, di mana orang menyadari konsekuensi negatif perceraian bersifat
sementara. Setelah jangka waktu tertentu, mereka dapat beradaptasi dengan keadaan
dan pemicu stres mereka. Beberapa orang mengalami ketegangan kronis yang
merupakan stres yang terus-menerus. Mereka tidak menganggap proses tersebut
sementara. Faktanya, orang-orang ini mungkin tidak akan pernah pulih sepenuhnya
dari perceraian. Oleh karena itu, pasangan yang bercerai membutuhkan waktu,
kesabaran, dan dukungan, baik dari keluarga, teman, ataupun terapis.

Penelitian lain oleh Barnet dalam (Miller, 2020) menemukan bahwa pasangan
tanpa anak bernasib lebih baik. Mereka melaporkan lebih sedikit masalah, lebih
sedikit stres pasca-keputusan perceraian, dan periode pra-keputusan perceraian yang
lebih pendek. Barnet juga menemukan bahwa ada perbedaan antara pria dan wanita
dalam menghadapi perceraian (Miller, 2020). Wanita mengalami stres yang lebih
tinggi dan lebih sulit melakukan penyesuaian pasca-perceraian daripada pria. Pria
akan memiliki pengganti yang lebih baik, pria menikah lagi lebih cepat jika mereka
memiliki waktu yang cukup, dan merasa harus lebih patuh dengan hubungan
pasangan baru untuk menyelamatkan pernikahan baru (Ubaidi, 2017).

41
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Dalam pernikahan terdapat hak dan kewajiban antara suami dan istri yang
harus terpenuhi. Dalam pernikahan maka akan memiliki seorang anak, erat kaitannya
dengan konsep hadhanah yaitu "pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir
sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu"
Pernikahan yang harmonis terletak dari keserasian antara suami dan istri, maka memilih
pasangan hidup (kafaah) penting. Secara terminologi, nusyuz adalah suatu tindakan
seorang isteri yang dapat diartikan menentangan kehendak suami dengan alasan yang
tidak dapat diterima menurut hukum syara. Nusyuz bisa istri terhadap suami ataupun
suami terhadap istri.

Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Putusnya perkawinan
bisa disebabkan oleh syiqaq atau karena sebab pembatalan dan juga sebab meninggal
dunia. Sedangkan rujuk Menurut bahasa Arab, kata ruju‟ berasal dari kata raja'a-yarji'u-
rujk‟an yang berarti kembali, dan mengembalikan, yaitu kembalinya suami atau istri
setelah jatuhnya talak. Secara terminology, poligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih
dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling
banyak empat orang. Berbeda dengan poligami, selingkuh secara etimologi diartikan
sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri,
tidak berterus terang, tidak jujur, dan curang. Dilihat dari semua konsep pernikahan, dapat
dikaitkan dalam ilmu psikologi yaitu dalam teori social exchange, cognitive self
disclosure, dan triangular theory of love.

42
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N. (2016). Konseling Pernikahan Berbasis Asmara (As-Sakinah, Mawaddah, Wa


Rahmah). Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 195-212.
Bahri, S. (2009). Konsep Keluarga Sakinah Menurut M. Quraish Shihab. Yogyakarta.
DiDonato, T. E. (2016, November 21). 7 Questions You Have to Ask Each Other Before You
Commit. Retrieved from Psychology Today:
https://www.psychologytoday.com/us/blog/meet-catch-and-keep/201611/7-questions-
you-have-ask-each-other-you-commit
Ghozali, A. R. (2015). Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group.
Irawan, M. N., & Suprapti, V. (2018). Hubungan Antara Kematangan Emosi Dan Intensi
Berselingkuh Pada Individu Dewasa Awal Yang Sudah Menikah. Jurnal Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan, 8-17.
Isa, M. J. (2020). Penerapan Sumpah Li‟an dalam Perceraian atas Alasan Zina (Studi Kasus
di Pengadilan Agama Barru). Al-Azhar Islamic Law Review, 29-41.
Ismatulloh, A. (2015). Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Alquran (Perspektif
Penafsiran Kitab Alquran dan Tafsirnya). Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 53-64.
Kim, H. K., & McKenry, P. C. (2014). The Relationship Between Marriage and
Psychological Well-being: A Longitudinal Analysis. Journal of Family Issues, 884-
911.
Kusmidi, H. (2018). Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Pernikahan. El-Afkar,
63-78.
Ludden, D. (2018, Maret 15). How Marriage Changes Your Personality. Retrieved from
Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/talking-
apes/201803/how-marriage-changes-your-personality
Miller, K. D. (2020, Januari 9). Marriage Psychology and Therapy: The Science of Successful
Relationships. Retrieved from Positive Psychology:
https://positivepsychology.com/marriage-fulfillment-lifelong-relationship/
Muhajarah, K. (2016). Perselingkuhan Suami Terhadap Istri dan Upaya Penanganannya.
SAWWA, 23-40.
Munthe, R. (2016). Kekuatan Sumpah Li'an Menurut Fiqh Islam. Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum,
40-49.
Rahmawati, L. (2015). Roblematika Perselingkuhan Suami Dan Upaya Penanganannya
Menurut Julia Hartley Moore dan Mohamad Surya [Skripsi]. Semarang: UIN
Walisongo Semarang.
Seager, P. (2013). Social Psychology: A Complete Introduction. London: Teach Yourself.

43
Taufik, O. H. (2017). Kafaah Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, 168-181.
Ubaidi, B. A. (2017). The Psychological and Emotional Stages of Divorce. Journal of Family
Medicine and Disease Prevention.
Uecker, J. E. (2012). Marriage and Mental Health among Young Adults. Journal of Health
and Social Behavior, 67-83.

44

Anda mungkin juga menyukai