Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

THAHARAH DAN MUNAKAHAT

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah

Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Dadan Ahmad Fadili, Drs., MM

Disusun Oleh :

1. Alpiah 2010631020004
2. Devi Syafitri 2010631020010
3. Lasmini 2010631020021
4. Nurdiah Septiani 2010631020028
5. Rere Setiana 2010631020033

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunia-nya, kami dapat menyelesaikan makalah mengenai materi “Thaharah dan
Munakahat” ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Kami juga
berterima kasih kepada Bapak Dadan Ahmad Fadili, Drs., MM selaku dosen pembimbing
mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat mengharapkan makalah ini dapat membantu dan bermanfaat dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi tersebut. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya
terutama bagi kami sendiri. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca demi kebaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Karawang, Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 3
BAB II ....................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................ 4
A. Thaharah ........................................................................................................ 4
1. Pengertian Thaharah ................................................................................. 4
2. Hukum Thaharah ...................................................................................... 4
3. Hikmah Thaharah ..................................................................................... 5
4. Syarat Thaharah ........................................................................................ 6
5. Alat Thaharah ........................................................................................... 6
6. Tata Cara Thaharah ................................................................................... 8
B. Munakahat ...................................................................................................... 10
1. Pengertian dan Tujuan Munakahat ............................................................ 10
2. Hikmah dan Hukum Munakahat ............................................................... 11
3. Pengertian, hukum dan macam-macam talak ............................................. 12
4. Iddah ........................................................................................................ 13
5. Rujuk ........................................................................................................ 14
6. Rhada’ah .................................................................................................. 18
BAB III ...................................................................................................................... 25
PENUTUP ................................................................................................................. 25
A. Kesimpulan .................................................................................................... 25
B. Saran .............................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang universal, agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada satu masalah pun di dunia ini yang tidak dijelasakan, dan tidak ada satu
masalah pun yang tidak disentuh nilai Islam, walaupun masalah tersebut nampak kecil
dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam.
Allah telah mengatur semua hubungan mahluknya di dunia, baik itu hubungan
mahluknya dengan-Nya atau hubungan mahluk dengan sesamanya. Thaharah
merupakan sebagian kecil hal yang mengatur tata cara untuk manusia ketika hendak
beribadah kepadanya. Dan munakahat merupakan hal yang membahas aturan dan tata
cara dari Allah tentang hubungan antara sesama manusia.
Thaharah adalah hal yang sangat penting untuk diketahui seluruh umat islam,
terutama dalam beribadah seperti halnya akan melakukan shalat. Thaharah merupakan
syarat sah shalat. Oleh karena itu ketika kita hendak shalat diharuskan bersih badannya,
tempatnya, serta suci dari hadast kecil dan juga hadast besar. Jika tidak maka shalat
yang lakukan tidak sah.
Dalam thaharah banyak sekali hikmah yang terkandung. Dan tentunya sebagai
umat islam kita harus tahu, bahkan wajib tahu bagaimana caranya bersuci (thaharah).
Karena suci merupakan dasar ibadah bagi umat islam. Dalam kehidupan sehari-hari
kita tidak lepas dari kotoran dan najis. Sehingga ketika hendak beribadah, kita harus
mensucikan diri terlebih dahulu. Baik itu berwudhu (untuk hadast kecil), mandi (untuk
hadast besar) ataupun bertayamum. Jika kita teliti, hampir di seluruh kitab fiqih
didahului dengan pembahasan tentang thaharah. Dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa thaharah merupakan ilmu dasar yang begitu penting kita ketahui. Namun,
meskipun menjadi hal yang mendasar. Masih banyak umat muslim yang tidak begitu
mengerti tentang thaharah
Sedangkan untuk munakahat sendiri atau fiqih pernikahan adalah ilmu yang
menjelaskan tentang syariat suatu ibadah termasuk pengertian, dasar hukum dan tata
cara yang dalam hal ini menyangkut pernikahan, talak, rujuk dan lain sebagainya.
Allah menciptakan sesuatu secara berpasangan, ada air dan api, ada dingin dan panas,
ada siang dan malam, begitu pula dengan manusia ada laki- laki dan perempuan.

1
Allah memberi karunia kepada manuisa berupa pernikahan. Hal tersebut bertujuan
untuk melanjutkan keturunan demi keberlangsungan hidup manusia. Mengenai
pernikahan Islam telah berbicara banyak. Dari mulai pengertian pernikahan
(munakahat), tata cara melakukan pernikahan, hukum dan hikmah melakukan
pernikahan.
Thaharah dan munakahat merupakan dua pembelajaran yang juga terdapat dalam
agama islam. Banyak hadist serta firman Allah dalam Al-Quran mengenai dua hal
tersebut. Kita sebagai umat islam wajib mempelajarinya agar kita tahu tata cara yang
baik dan benar serta batasan-batasannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami
ingin membahas mengenai Thaharah dan juga Munakahat yang sesuai dengan syariat
Islam.

B. Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka didapat
rumusan masalah-masalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian thaharah ?
2. Apa hukum melakukan thaharah ?
3. Apa saja hikmah melakukan thaharah ?
4. Apa syarat-syarat dalam melakukan thaharah ?
5. Apa saja alat untuk melakukan thaharah ?
6. Bagaimana cara melakukan thaharah ?
7. Apa pengertian dan tujuan munakahat ?
8. Apa hikmah dan hukum melaksanakan munakahat ?
9. Apa pengertian, hukum dan macam-macam talak ?
10. Apa yang dimaksud iddah dalam munakahat ?
11. Apa yang dimaksud rujuk dalam munakahat ?
12. Apa yang dimaksud Rhada’ah dalam munakahat ?

2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian thaharah.
2. Untuk mengetahui hukum melakukan thaharah.
3. Untuk mengetahui hikmah melakukan thaharah.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat dalam melakukan thaharah.
5. Untuk mengetahui alat untuk melakukan thaharah.
6. Untuk mengetahui cara melakukan thaharah.
7. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan munakahat.
8. Untuk mengetahui hikmah dan hukum melaksanakan munakahat.
9. Untuk mengetahui pengertian, hikmah, dan macam-macam talak.
10. Untuk mengetahui apa yang dimaksud iddah dalam munakahat.
11. Untuk mengetahui apa yang dimaksud rujuk dalam munakahat.
12. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Rhada’ah dalam munakahat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Thaharah
1. Pengertian Thaharah
Thaharah (taharah) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya
adalah suci, bersih atau kesucian badan yang diwajibkan bagi orang yang beribadat.
Thaharah berasal dari bahasa Arab yang berarti bersih atau suci dan ini
sudah disarikan ke dalam bahasa Indonesia. Pengertian thaharah secara bahasa
adalah an-Nadafatu yang artinya bersih atau suci.
Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah membersihkan diri, pakaian,
dan tempat dari najis dan hadas, sehingga seseorang diperbolehkan beribadah yang
ditentukan harus dalam keadaan suci.
Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu, (untuk hadas kecil),
atau mandi (untuk hadas besar) dan tayamum bila dalam keadaan terpaksa. Bersuci
dari najis meliputi suci badan, pakaian, tempat, dan lingkungan yang menjadi
tempat beraktivitas bagi kita semua.
Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap bersuci (thahârah).
Bersuci merupakan perintah agama yang bisa dikatakan selevel lebih tinggi dari
sekadar bersih-bersih. Sebab, tidak semua hal yang bersih itu suci.
2. Hukum Thaharah
Hukum thaharah (bersuci) ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan
melaksanakan shalat. Bersih dari najis dan menghilangkannya merupakan suatu
kewajiban bagi yang tahu akan hukum dan mampu melaksanakannya. Allah SWT
berfirman:

ََ‫فَطَ ِهرَ َوثِيَابَك‬

Wa siyaabaka fatahhir

Artinya: "Dan bersihkanlah pakaianmu". (QS.Al-Muddassir: 4)

Lalu terdapat juga dalam surah berikut ini:

‫ن‬ َ ‫ِى‬
َ َ ‫ط ِه َرا ا‬ ََ ‫ن بَيت‬ َّ ‫الرکَّعَِ َوال ٰع ِكفِينََ لِل‬
ََ ‫طا ٓ ِٕٮفِي‬ ُّ ‫س ُجو َِد َو‬
ُّ ‫ال‬....

An tahhiraa Baitiya littaaa'ifiina wal'aakifiina warrukka'is sujuud

4
Artinya: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf,
orang yang rukuk dan orang yang sujud!! (Qs. Al Baqarah: 125).

Sementara bersih dari hadas merupakan suatu kewajiban yang sekaligus


sebagai syarat sah shalat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi shalallahu alaihi
wasallam:

“Shalat tidak diterima tanpa -didahului dengan bersuci." (HR. Muslim no. 224)

3. Hikmah Thaharah
Thaharah terbagi menjadi dua, yakni bersuci dari najis dan bersuci dari hadas.
Bersuci dari najis dilakukan dengan berbagai cara tergantung dengan tingkatan najis:
berat (mughalladhah), sedang (mutawassithah),atau ringan (mukhaffafah).
Dikutip dari NU Online, ada empat hikmah tentang disyariatkannya thaharah
sebagaimana disarikan dari kitab al-Fiqh al-Manhaji‘ala Madzhabil Imam asy-
Syafi‘i karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.
1) Bersuci merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap fitrah manusia. Manusia
memiliki kecenderungan alamiah untuk hidup bersih dan menghindari sesuatu
yang kotor dan jorok. Karena Islam adalah agama fitrah, maka ia pun
memerintahkan hal-hal yang selaras dengan fitrah manusia.
2) Menjaga kemuliaan dan wibawa umat Islam. Orang Islam mencintai kehidupan
bermasyarakat yang aman dan nyaman. Islam tidak menginginkan umatnya
tersingkir atau dijauhi dari pergaulan lantaran persoalan kebersihan. Seriusnya
Islam soal perintah bersuci ini menunjukkan komitmennya yang tinggi akan
kemuliaan para pemeluknya.
3) Menjaga kesehatan. Kebersihan merupakan bagian paling penting yang
memelihara seseorang dari terserang penyakit. Ragam penyakit yang tersebar
umumnya disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Karena itu tidak salah pepatah
mengungkapkan, "kebersihan adalah pangkal kesehatan".
Anjuran untuk membersihkan badan, membasuh wajah, kedua tangan, hidung,
dan kedua kaki, berkali-kali saban hari relevan dengan kondisi dan aktivitas
manusia. Sebab, anggota-anggota tubuh itu termasuk yang paling sering terpapar
kotoran.
4) Keempat, menyiapkan diri dengan kondisi terbaik saat menghadap Allah: tidak
hanya bersih tapi juga suci. Dalam shalat, doa, dan munajatnya, seorang hamba

5
memang seharusnya dalam keadaan suci secara lahir batin, bersih jasmani dan
rohani, karena Allah yuhhibbut tawwâbîna yayuhibbul mutathahhirîna
(mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri).
4. Syarat Thaharah
Diwajibkan thaharah bagi orang yang diwajibkan shalat, dan itu ada 8 syarat,
yaitu:
a. Islam
b. Berakal
c. Baligh
d. Berhentinya Darah Haidh atau Nifas
e. Masuk Waktu Shalat
f. Tidak Tidur, Lupa Atau Dipaksa Untuk Tidak Thaharah.
g. Terdapat Air atau Tanah yang Suci
h. Memiliki kemampuan untuk Melakukannya.
Selain itu kita diwajibkan membersihkan badan, pakaian, dan tempat jika terkena
najis, berdasarkan firman Allah ta’ala:

ََ‫فَطَ ِهرَ َوثِيَابَك‬


Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” [al-Muddatstsir ayat 4]

َ َ ‫ط ِه َرا أ‬
‫ن‬ َ ‫ي‬ ََ ‫الرك ََِّع َوالعَا ِكفِينََ لِلطَّائِفِي‬
ََ ِ‫ن بَيت‬ ُّ ‫س ُجو َِد َو‬
ُّ ‫ال‬

Artinya: “Bersihkanlah (wahai Ibrahim dan Isma’il) rumah-Ku untuk orang-orang


yang thawaf, i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [al-Baqarah ayat 125]

Jika membersihkan pakaian dan tempat diwajibkan, maka membersihkan badan


lebih utama.

5. Alat Thaharah
Berdasarkan jenisnya, alat thaharah dibagi menjadi tiga, yaitu air, batu dan
debu/tanah.
1) Air
Air dapat digunakan untuk mandi, wudu, dan membersihkan benda-benda
yang terkena najis. Di tinjau dari segi hukumnya, air dibagi menjadi lima yaitu :

6
a. Air suci dan mensucikan.
Air suci dan mensucikan adalah air yang dapat digunakan untuk bersuci
(Thaharah), air mutlak (air sewajarnya), air yang masih murni, baik
menghilangkan hadas maupun najis, dan airnya tidak berubah warna
maupun zatnya serta tidak makruh. Misalnya air hujan, air sungai, air
sumur, air laut, air salju, air embun dan air telaga.
b. Air suci tetapi tidak mensucikan
Air ini halal diminum, tetapi tidak dapat mensucikan hadas dan
najis.Yang termasuk air suci tetapi tidak mensucikan adalah:
a) Air yang berubah salah satu sifatnya, seperti: air teh, air kopi, air susu,
dsb
b) Air buah-buahan, seperti: air kelapa, perasan anggur dsb
c. Air Mutanajis
Air mutanajis adalah air yang terkena najis. Apabila airnya kurang dari
2 kollah lalu terkena najis, maka hukumnya menjadi najis. Akan tetapi jika
airnya lebih dari 2 kollah, maka hukumnya tidak najis dan bisa digunakan
untuk bersuci selama tidak berubah warna, bau, maupun rasanya.
Air suci dan mensucikan Tetapi haram memakainya, yaitu air yang
diperoleh dari ghasab (mencuri/mengamabil tanpa ijin)

Keterangan :

Dua kullah = 216 Liter. Jika berbentuk bak, maka besarnya = 60cm x 60cm
x 60cm.

2) Debu/Tanah
Jika seorang Muslim hendak bersuci, namun ia tidak bisa menemukan
air, maka diperbolehkan baginya untuk thaharah menggunakan debu yang suci.
Bersuci dengan debu dalam Islam disebut dengan istilah tayamum
Tanah boleh digunakan untuk bersuci. Tetapi tidak digunakan untuk
sesuatu fardhu dan tanah tidak bercampur dengan sesuatu.
3) Benda yang Dapat Menyerap Kotoran
Alat thaharah selanjutnya adalah benda yang dapat menyerap kotoran.
Benda yang dimaksud dalam hal ini di antaranya batu, tisu, kayu, dan

7
sejenisnya. Dalam Islam, benda ini dikhususkan untuk menghilangkan najis,
seperti beristinja.
6. Tata Cara Thaharah
Tata cara thaharah dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai dengan kadar
hadas dan najisnya. Adapun cara thaharah untuk membersihkan hadas kecil dan
besar menurut syariat Islam adalah sebagai berikut:
1) Mandi wajib
Mandi wajib adalah salah satu bentuk thaharah yang dilakukan untuk
menghilangkan hadas besar seperti haid, nifas, dan keluarnya sperma. Mandi
wajib dilakukan dengan mengalirkan air ke seluruh tubuh dari ujung kepala
hingga kaki.
a. Niat mandi wajib yaitu sebagai berikut:

Nawaitul ghusla liraf'il-hadatsil-akbari fardhal lillaahi ta'aala

Artinya: "Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari janabah,
fardhu karena Allah ta'ala."

b. Tata cara mandi wajib


 Membaca niat
 Bersihkan tangan sebanyak 3×
 Bersihkan qubul dubur menggunakan tangan kiri
 Cuci tangan kembali dengan tanah/sabun sebanyak 3×
 Berwudhu seperti akan shalat
 Masukkan tangan ke dalam air, kemudian sela pangkal rambut dengan
jari-jari tangan sampai menyentuh kulit kepala. Jika sudah, guyur kepala
dengan air sebanyak 3 kali. Pastikan pangkal rambut juga terkena air.
 Bilas seluruh tubuh dengan mengguyurkan air. Dimulai dari sisi yang
kanan, lalu lanjutkan dengan sisi tubuh kiri.
 Basuh kedua telapak kaki sampai mata kaki
 Tartib

8
2) Berwudhu
Thaharah dengan berwudhu dilakukan untuk menghilangkan hadas kecil
ketika hendak melaksanakan sholat. Dalam Islam, wudhu termasuk ke dalam
syarat sah pelaksanaan sholat.
Seorang yang akan berwudhu hendaknya membaca niat sebagai berikut:

Nawaitul wudhuu'a liraf'il-hadatsil-ashghari fardhal lillaahi ta'aalaa.


Artinya: "Aku niat berwudu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah."
a. Tata Cara Berwudhu
Dalam berwudhu tentunya diiringi dengan doa di setiap gerakan
 Mencuci kedua telapak tangan dengan gerakan menyeka pada sela-sela
jari telapak tangan yang dimulai dari tangan kanan kemudian tangan kiri
 Berkumur sebanyak 3 kali.
 Membasuh hidung (istinsyaq) 3 kali
 Membasuh seluruh permukaan wajah dengan rata, sebanyak 3 kali
gerakan memutar sekeliling wajah.
 Membasuh kedua tangan hingga mencapai siku, sebanyak 3 kali gerakan
memutar dan menyeluruh ke permukaan tangan.
 Membasuh kening hingga ujung kening (ubun-ubun) sampai sebagian
kepala, sebanyak 3 kali gerakan menyeluruh.
 Membasuh kedua tengila baik itu bagian dalam maupun luar telinga
(daun telinga) hingga menyeluruh ke bagian telinga, sebanyak 3 kali
gerakan.
 Membasuh kedua kaki dari ujung jari-jari kaki hingga ke mata kaki.
3) Tayamum
Thaharah tayamum merupakan cara bersuci untuk menggantikan mandi dan
wudhu apabila tidak menemukan. Syarat tayamum adalah menggunakan tanah
yang suci dan tidak tercampur benda lain. Tayamum diawali dengan niat
berikut:

Nawaitut tayammuma lisstibaahatishsholaati fardhol lillaahi taala

9
Artinya: "Saya niat tayamum agar diperbolehkan melakukan fardu karena
Allah."
a. Tata cara tayamum
 Siapkan debu yang bersih
 Berniat
 Usapkan kedua telapak tangan ke wajah secara menyeluruh
 Telapak tangan menyentuh debu dan jari tangan direnggangkan, lalu
tengadahkan kedua telapak tangan dengan posisi telapak tangan kanan
di atas telapak tangan kiri.
 Rapatkan jari-jari tangan, dan usahakan ujung jari kanan tidak keluar
dari telunjuk jari kiri, atau sebaliknya. Telapak tangan kiri mengusap
lengan kanan hingga ke siku. Kemudian, tangan kanan diputar untuk
diusapkan juga sisi lengan kanan yang lain. Selanjutnya, telapak tangan
mengusap dari siku hingga dipertemukan kembali jempol kiri mengusap
jempol kanan. Lakukan langkah-langkah tersebut pada tangan kiri.
 Pertemukan kedua telapak tangan dan usap-usapkan di antara jari-jari.

B. MUNAKAHAT
1. Pengertian dan Tujuan Munakahat
Menurut bahasa, Nikah nerarti berkumpul menjadi satu, bersama atau
bersatu. Sedangkan secara terminologis nikah adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.
Dalam arti yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir antara dua orang,
laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dan
keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat islam. Pernikahan
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, mawadah, warahmah
dan sejahtera serta mendapat ridha Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :

10
Artinya:
” Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .”
(An - Nisa : 3).

Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam
memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat - syarat tertentu.
2. Hikmah dan Hukum Pernikahan
1) Hikmah perikahan
a. Mememlihara derajat manusia
b. Menjaga garis keturunan
c. Mengembangkan kasih sayang
2) Hukum pernikahan
Menurut sebagian besar, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah. Namun
ditinjau dari kedaan orang yang akan menikah, maka hukum nikah terdapat
empat macam lagi yaitu sebagai berikut:
a. Wajib → Nikah wajib bagi yang mampu untuk menikah dan khawatir
terjerumus pada kemaksiyatan.
b. Sunnah → Nikah sunnah bagi orang yang telah mampu (mental, fisik dan
biaya). Tetapi tidak khawatir terjerumus pada kemaksiyatan.
c. Makruh → Bagi orang yang belum mempunyai kemampuan untuk menikah
tetapi memaksakan diri.
d. Haram → Bagi orang yang akan menikah hanya karena dorongan nafsu
belaka atau berniat untuk mengeruk harta serta mempermainkan pernikahan.

11
3. Pengertian, hukum dan macam-macam talak.
1) Pengertian
Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dari suami kepada istrinya
dengan lafadz tertentu, misalnya suami mengatakan “Saya talak engkau”. Maka
dengan ucapan terseput, lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian.
2) Hukum
Talak hukumnya halal, tetapi konsekuensinya sangat berat, terutama jika
pasangan tersebut telah memiliki keturunan. Karena itu, meskipun halal Allah
tetap membencinya, sebgaimana disabdakan Nabi :

Dari Ibnu Umar RA, ia berkata : Rasulullah bersabda : “barang yang halal tetapi
dibenci Allah adalah talak”
3) Macam-macam Talak
a. Talak Sunni dan Talak Bidh’i
Ditinjau dari segi keadaan istri, talak dibedakan menjadi talak sunni
dan talak bidh’i. Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan suami ketika
istrinya sedang suci atau tidak sedang haid atau tidak dicampuri. Sedangkan
talak bidh’i adalah talak yang dijatuhkan suami ketika istrinya sedang haid,
atau dicampuri. Talak bidh’i hukumnya haram.
b. Talak Sarikh dan Talak Kinayah
Ditinjau dari segi menjatuhkan talak, talak terdiri atas talak sarikh dan
talak kinayah. Talak sarikh adalah talak yang diucapkan suami dengan
menggunakan kata-kata tegas seperti talak (cerai), firak (pisah), atau sarah
(lepas). Talak dengan kata-kata tersebut dinyatakan sah.

12
Sedangkan talak kinayah adalah ucapan yang tidak jelas mengarah
kepada talak. Misalnya ucapan bernada mengusir, menyuruh pulang, atau
bernada tidak memerlukan lagi dan sejenisnya. Jika suami mengucapkannya
dibarengi niat, maka taliknya jatuh. Karena itu untuk menghindari terjadinya
talak kinayah, suami harus berhati-hati menggunakan kata-kata kepada
istrinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda : ada tiga perkara
yang apabila disungguhkan jadi dan bila main-main pun tetap jadi, yaitu
nikah, talak dan rujuk.
c. Talak Raj’i dan Talak Bain
Ditinjau dari segi rujuk, talak terbagi atas talak raj’i dan talak bain.
Talak raj’i adalah talak yang bisa dirujuk kembali. Hal ini berupa talak satu
dan dua yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya. Talak bain adalah talak
dimana suami tidak boleh rujuk kembali kepada bekas istrinya, kecuali
dengan persyaratan tertntu.
Talak bain terdiri dari talak bain sugra dan talak bain qubra. Talak
bain sugra adalah talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri
dan talak tebus. Pada talak ini suami tidak boleh merujuk kembali bekas
istrinya, kecuali dengan pernikahan baru baik pada masa iddah maupun
sesudahnya.
Talak bain qubra adalah talak tiga dimana bekas suami tidak boleh
merujuk atau mengawini kembali bekas istrinya, kecuali bekas istrinya itu
dinikahi laki-laki lain dan telah dicampuri. Jika suaminya itu
menceraikannya, maka bekas suami yang pertama boleh menikahinya kebali.
4. Iddah
Iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditalak oleh suaminya sampai ia
dapat menikah kembali dengan laki-laki lain. Lamanya masa iddah bagi seorang
perempuan sebagai berikut :
1) Perempuan yang masih mengalami haid secara normal. Maka masa iddahnya tiga
kali quru (suci) atau sekurang-kurangnya selama 90 hari.

13
2) Perempuan yang tidak lagi mengalami haid (menopouse) atau belum
mengalaminya sama sekali, iddahnya tiga bulan.
3) Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya empat bulan sepuluh
hari.
4) Perempuan yang sedang hamil, masa iddahnya sampai melahirkan.
Perempuan yang berada pada masa iddah diharamkan menerima lamaran
laki-laki lain, selain bekas suaminya (bagi perempuan yang ditalak raj’i). Bekas
suaminya itu wajib memberikan nafkah sampai habis masa iddahnya.
5. Rujuk
1) Pengertian rujuk
Rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami dan istri dalam ikatan
pernikahan setelah terjadinya talak raj’i (di antara talak satu dan talak dua), dan
sebelum habis masa iddah (masa saat istri menunggu setelah di ceraikan oleh
suaminya).
Jika seorang suami memutuskan untuk rujuk dengan istrinya, keduanya tidak
perlu melangsungkan akad nikah. Sebab, akad nikah yang keduanya miliki belum
sepenuhnya putus. Namun, ada beberapa cara dan syarat yang perlu diperhatikan.
2) Hukum rujuk
Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 228-229,
yang artinya berbunyi :
“ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tiga kali
quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan dalam
rahimnya jika mereka beriman pada Allah swt dan hari akhir. Dan suami-suami
berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika mereka menghendaki ishlah.
Dan par wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menuntut
cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ (Q.S. Al-
Baqarah : 228)
"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan pada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

14
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim." (Q.S. al-Baqarah: 229)
Asal hukum rujuk adalah mubah atau jaiz, yang berarti dibolehkan. Namun,
hukum rujuk dapat berkembang tergantung pada situasi suami-istri tersebut.
Hukum rujuk menjadi wajib, khusus untuk laki-laki yang memiliki istri lebih dari
satu dan jika pernyataan talaknya jatuh sebelum dirinya menyelesaikan hak-hak
istrinya. Kalau belum selesai, suami wajib mengajak istri rujukan kembali.
Merujuk menjadi sunah hukumnya jika bersatu kembali lebih bermanfaat
daripada meneruskan proses perceraian. Namun akan menjadi makruh jika
berpisah lebih baik daripada bersama kembali. Hukum rujuk dapat menjadi
haram jika bersama kembali dalam pernikahan justru membuat istri semakin
menderita
3) Syarat rujuk
Ada beberapa syarat rujuk yang perlu dipenuhi agar menjadi sah di mata agama.
a. Syarat rujuk dari sisi istri adalah istri yang telah ditalak pernah melakukan
hubungan seksual dengan sang suami. Jika suami menalak istri yang belum
pernah melakukan hubungan seksual bersama, ia nggak berhak mengajak
rujukan. Hal ini sudah merupakan kesepakatan para ulama.
b. Syarat rujuk dari sisi suami adalah ia nggak boleh merasa terpaksa kala
mengajak rujuk istrinya, berakal sehat, dan sudah akil baligh atau dewasa.
c. Talak yang jatuh bukanlah talak tiga, melainkan talak raj'i.
d. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, istri menjadi talak bain
(talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddah-nya)
dan suami nggak dapat mengajak istrinya untuk rujukan.
e. Rujuk dilakukan pada masa iddah atau masa menunggu istri. Jika sudah lewat
masa iddah, suami nggak dapat mengajak istri untuk rujuk kembali dan ini
sudah menjadi kesepakatan para ulama fikih.
f. Adanya ucapan jelas atau tersirat untuk mengajak rujukan
g. Adanya saksi yang menyaksikan suami dan istri rujuk kembali. Sebagaimana
firman Allah swt yang berbunyi: “Maka bila mereka telah mendekati akhir

15
iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah.” (Q.S. at-Talaq: 2).
4) Rujuk setelah perceraian suami istri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Rujuk setelah perceraian suami istri untuk talak 1 dan 2 (talak raj’i)
Dalam suatu hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia
ditanya oleh seseorang, ia berkata, “Adapun engkau yang telah menceraikan
( istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW telah
menyuruhku merujuk setelah perceraian suami istri istriku kembali” (H.R.
Muslim). Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan
perkawinan, maka bila seorang suami telah menceraikan istrinya, ia telah
diperintahkan oleh Allah SWT agar merujuk setelah perceraian suami
istriinya kembali.
Firman Allah SWT :
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujuk setelah perceraian suami istriilah mereka dengan cara
yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).
janganlah kamu rujuk setelah perceraian suami istrii mereka untuk memberi
kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah
permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah
diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan
bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah : 231)
b. Rujuk setelah perceraian suami istri untuk talak 3 (talak ba’in)
Hukum rujuk setelah perceraian suami istri pada talak ba’in sama
dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan
persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.

16
5) Rukun Rujuk
a. Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b. Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampuri
c. Kedua belah pihak sama-sama suka dan ridho
d. Dengan pernyataan ijab dan qobul

Misalnya, “Aku rujuk engkau pada hari ini” atau “Telah kurujuk istriku yang
bernama ………… pada hari ini” dan lain sebagainya yang semakna.

6) Tata cara rujuk setelah perceraian suami istri


Pasangan mantan suami istri yang akan melakukan rujuk setelah perceraian
suami istri harus datang menghadap PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau Kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan
membawa surat keterangan untuk rujuk setelah perceraian suami istri dari Kepala
Desa/ Lurah serta Kutipan dari Buku Pendaftaran Talak/ Cerai atau Akta Talak/
Cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Di hadapan PPn suami mengikrarkan rujuk setelah perceraian suami istrinya
kepada istri disaksikan minimal dua orang saksi.
b. PPN mencatatnya dalam Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami
istri, kemudian membacanya dihadapan suami-istri tersebut terhadap saksi-
saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami
istri rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.
d. Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk setelah perceraian suami
istri PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk setelah
perceraian suami istri dan mengirimnya ke Pengadilan Agama yang
mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
e. Suami-istri dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah
perceraian suami istri datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak
untuk mendapatkan kembali Akta Nikahnya masing-masing.
f. Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
dengan menahan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami
istri.Pasangan mantan suami istri yang akan melakukan rujuk setelah

17
perceraian suami istri harus datang menghadap PPN (Pegawai Pencatat
Nikah) atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi tempat
tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk setelah
perceraian suami istri dari Kepala Desa/ Lurah serta Kutipan dari Buku
Pendaftaran Talak/ Cerai atau Akta Talak/ Cerai.
6. Radha’ah
1) Pengertian Radha’ah
Rada’ah secara bahasa adalah proses menyedot puting, baik hewan maupun
manusia. Sedangkan secara syara’ diartikan dengan sampainya air susu manusia
pada lambung anak kecil yang belum genap berumur dua tahun. Secara
terminologis rada’ah adalah cara penghisapan yang dilakukan anak ketika proses
menyusu pada puting manusia dalam waktu tertentu. Secara etimologis, ar-
radha’ah atau ar-ridha’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan
susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengeretimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu (ar-
radhi’) berupa anak kecil (bayi) atau bukan. Adapun dalam pengertian
terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-radha’ah sebagai
sampainya (masuknya) air susu manusia (perempuan) ke dalam perut seorang
anak (bayi) yang belum berusia dua tahun (24 bulan).
Menurut Hanafiyah radha’ah adalah seorang bayi yang menghisap putting
payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah
mengatakan radha’ah adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang
berfungsi sebagai gizi. As-Syafi'iyah mengatakan radha’ah adalah sampainya
susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al-Hanabilah mengatakan
radha’ah adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap putting
payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu
tersebut atau sejenisnya.
Ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah
(persusuan yang berlandaskan etika Islam), yaitu: Pertama, adanya air susu
manusia (labanu adamiyyatin). Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang
bayi (wushuluhu ila jawfi thiflin), dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua
tahun (duna al-hawlayni).
2) Dasar Hukum Radha’ah

18
Dasar hukum radha’ah banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits
Nabi. Setidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’an yang membicarakan
perihal penyusuan anak (ar-radha’ah).
Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang
berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan (munasabah)
hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat
tersebut, radha’ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW
dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’an maupun al-Hadits, kedua-
duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum radha’ah.
a. Ayat al-Qur’an
QS. al-Baqarah ayat 233.
Artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,


yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”.

QS. al-Hajj ayat 2

Artinya:

“(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua
wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah
kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam
keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab
Allah itu sangat kerasnya.”

19
QS. al-Qashash ayat 7

Artinya:

“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu
khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah
kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya
Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men-jadikannya (salah
seorang) dari para rasul”.

QS. al-Qashash ayat 12

Artinya:

“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang


mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: "Maukah
kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu
dan mereka dapat berlaku baik kepadanya”.

b. Sunah Rosul
Terdapat beberapa Hadist di antaranya :
HR. Bukhari
Artinya:
“Dari Aisyah RA, bahwa suatu ketika Rasulullah berada dirumah Aisyah.
Saat itu Aisyah mendengar suara laki-laki yang meminta izin masuk kerumah
Hafshah. Aisyah berkata , “Ya Rasulullah! laki-laki itu meminta izin kerumah
engkau .” lalu beliau menjawab, “aku lihat dia adalah anak si fulan, (anak
paman Hafshah dari saudara susuan)”. kata Aisyah,” aku berkata, “wahai
Rasulullah! seandainya fulan hidup (paman Aisyah dari saudaran susuan)
apakah dia boleh masuk kerumahku?” beliau menjawab, “Ya boleh, karna
susuan itu menyebabkan mahram sebagaimana hubungan kelahiran.” (HR.
Bukhari)
HR. Muslim
Artinya:
“Dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan RA, dia berkata,” Rasulullah SAW
masuk kerumahku, lalu aku bertanya kepada beliau, “apakah engkau
berminat terhadap saudariku, binti Sufyan?” lalu beliau bertanya, “apa

20
yang akan aku lakukan?”, Ummu Habibah berkata, “Ya engkau nikahi!”,
beliau bertanya, “engkau senang hal itu?”, Ummu Habibah berkata,”aku
tidak berbasa-basi dengan engkau, dan aku lebih senang jika orang yang
bersamaku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri.” Beliau
berkata, “Dia tidak halal aku nikahi.” Aku (Ummu Habibah) berkata, “aku
mendengar kabar bahwa engkau melamar Durrah binti Abu Salamah.”
Rasulullah SAW menjawab, “Putri Abu Salamah?.” Aku katakan, “Ya.”
beliau berkata, “Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam
asuhanku, maka ditetap tidak halal aku nikahi, karna dia adalah putri
saudara laki-lakiku dari hubungan susuan. Tsuwaibah pernah menyusuiku
dan ayah Durrah. oleh karna itu janganlah kalian menawarkan anak-anak
perempuan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian!.”(HR.Muslim)
3) Syarat dan Rukun Radha’ah
Menurut jumhur ulama, syarat radha’ah ada 3, yaitu:
a. Air susu harus berasal dari manusia menurut jumhur ulama baik sudah
mempunyai suami atau tidak mempunyai suami.
b. Air susu itu masuk ke dalam perut bayi baik melalui isapan langsung dari
puting payudara maupun melalui alat penampung susu seperti gelas, botol
dan lain-lain. Menurut mazhab empat terjadinya rada’ah tidak harus melalui
penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya ASI pada lambung bayi
yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka berbeda
pendapat mengenai jalan lewatnya ASI menurut Imam Malik dan Hanafi
harus melalui rongga mulut, sedangkan menurut Hambali adalah sampainya
pada lambung dan pada otak besar.
c. Bayi tersebut belum berusia dua tahun Menurut mazhab fiqh empat dan
jumhur ulama, susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusu.
Oleh sebab itu, menurut mereka apabila yang menyusu itu adalah anak yang
sudah dewasa di atas usia dua tahun, maka tidak mengharamkan
nikah.Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 233
yang menyatakan bahwa sempurnanya susuan adalah dua tahun Dan juga
disebutkan dalam surat Lukman ayat 14.
Artinya

21
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.
Menurut jumhur ulama selain Abu Hanifah menetapkan bahwa rukun Radha’ah
ada tiga :
a. Anak yang menyusu.
Perempuan yang menyusui Wanita yang menyusui menurut beberapa
pendapat ulama disyaratkan adalah seorang wanita, baik dewasa dalam
keadaan haid, hamil atau tidak. Menurut Syafi’i, air susu harus berasal dari
wanita yang masih hidup, sedangkan menurut Imam Hanafi dan Malik boleh
meskipun wanita tersebutsudah mati.
b. Kadar air susu yang memenuhi batas minimal.
Suatu kasus bisa disebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah, karenanya
mengandung konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini
bisa ditemukan padanya maka arradha’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut
ar-radha’ah asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi
hukum syara’ tidak berlaku padanya. Adapun perempuan yang menyusui itu
disepakati oleh para ulama (mujma’alayh) bisa perempuan yang sudah baligh
atau juga belum, sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah,
hamil atau tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-
radha’ah asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak
yang disusuinya.
4) Hal-hal yang Menetapkan Radha’ah
Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam menetapkan seorang anak benar-
benar disusui oleh seorang wanita selain ibunya, ulama fiqh menetapkan bahwa
perlu alat bukti untuk menetapkan hal tersebut sebagai berikut:
a. Ikrar
Ikrar yaitu pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita
secara bersama atau salah satu dari mereka. Apabila ikrar itu dilakukan
sebelum menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka
menikah maka akad batal.

22
Menurut Mazhab Hanafiyyah, ikrar dalam persusuan adalah
pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersama atau
salah satu dari mereka. Apabila ikrar itu dilakukan sebelum menikah, maka
keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka menikah maka akad batal.
Apabila ikrar itu dilakukan setelah perkawinan, maka mereka harus berpisah.
Ketika mereka memilih enggan untuk berpisah, maka hakim berhak memaksa
mereka untuk berpisah.
Menurut Malikiyyah, radha’ah dapat terjadi dengan adanya ikrar
kedua pasangan suami istri secara bersama, atau pemberitahuan salah satu
dari orang tua mereka berdua, atau hanya dengan pemberitahuan dari suami
yang mukallaf meskipun dilakukan setelah akad, atau pemberitahuan dari
seorang istri yang sudah baligh dan dilakukan sebelum akad. Mazhab Syafi’I
menetapkan bahwa ikrar harus dilakukan oleh dua orang laki-laki karena
dianggap lebih unggul dalam ikrar.
b. Persaksian.
Perasksian yaitu kesaksian yang dikemukakan orang yang
mengetahui secara pasti bahwa laki-laki dan wanita itu sepersusuan. Adapun
jumlah saksi yang disepakati ulama fiqh yaitu minimal dua orang saksi laki-
laki atau satu orang laki-laki dengan dua orang wanita. Akan tetapi ulama
fiqh berbeda pendapat tentang kesaksian seorang laki-laki atau seorang
wanita atau empat orang wanita.
Menurut ulama mazhab Hanafi kesaksian tersebut tidak dapat
diterima karena ‘Umar bin Khattab mengatakan, “Saksi yang diterima dalam
masalah susuan hanyalah persaksian dua orang laki-laki.” Para sahabat lain
tidak membantah ketetapan Umar bin Khattab ini, karenanya menurut
mereka, ketetapan ini menjadi ijma’ para sahabat, dan ijma’ para sahabat
dapat dijadikan sandaran hukum. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah
firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 282 yaitu:
Artinya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”,

23
Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa kesaksian seorang wanita
sebelum akad adalah tidak sah kecuali ibu laki-laki itu sendiri. Adapun
kesaksian seorang laki-laki dengan seorang wanita atau kesaksian dua orang
wanita, menurut mereka dapat diterima apabila diungkapkan sebelum akad.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, kesaksian empat orang wanita dalam
masalah susuan dapat diterima karena masalah susuan merupakan masalah
khusus kaum wanita. Akan tetapi, apabila kurang dari empat orang wanita,
kesaksiannya tidak diterima, karena dua orang wanita nilainya sama dengan
satu orang lelaki dalam persaksian. Menurut Ibnu Rusyd para ulama
berpendapat bahwa persaksian dalam hadist tersebut bersifat sunnah.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Thaharah memiliki pengertian secara umum yaitu mengangkat penghalang
(kotoran) yang timbul dari hadas dan najis yang meliputi badan, pakaian, tempat,
dan benda-benda yang terbawa di badan. Taharah merupakan anak kunci dan syarat
sah salat. Hukum taharah ialah WAJIB di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan
perempuan.
Syarat wajib melakukan thaharah yang paling utama adalah beragama Islam
dan sudah akil baligh. Sarana yang digunakan untuk melakukan thaharah adalah air
suci, tanah, debu serta benda-benda lain yang diperbolehkan. Air digunakan untuk
mandi dan berwudhu, debu dan tanah digunakan untuk bertayamum jika tidak
ditemukan air, sedangkan benda lain seperti batu, kertas, tisur dapat digunakan
untuk melakukan istinja’.
Thaharah memiliki fungsi utama yaitu membiasakan hidup bersih dan sehat
sebagaimana yang diperintahkan agama. Thaharah juga merupakan sarana untuk
berkomunikasi dengan Allah Swt. Manfaat thaharah dalam kehidupan sehari-hari
yaitu membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika hendak
melaksanakan suatu ibadah.
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam
agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan
laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang
berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah
pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah menjadi sunah,
wajib,makruh,atau haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia
(prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.

25
B. Saran
Dari materi di atas disarankan agar pembaca memperhatikan pembahasan
tersebut. Untuk mengetahui dan mempelajari mengenai Thaharah dan Munakahat
serta membuat kita sadar mengenai pentingnya mengetahui dan melaksanakan
Thaharah dan Munakahat itu sendiri. Selain itu diharapkan makalah ini dapat
menjadi acuan untuk pembuatan makalah selanjutnya.

26
DAFTAR PUSTAKA
Suryana, A Toto, Cecep Alba, E Syamsudin, Udji Asiyah.2019. pendidikan Agama
Islam untuk perguruan tinggi. Bandung: Tiga Mutiara.
http://digilib.uinsgd.ac.id/10489/1/paper%20Ibadah%20pdf%202%20Thaharah%2
0%2529.pdf diakses Rabu, 23 Maret 2021 pukul 21.13
http://karya-kamal.blogspot.com/2015/12/makalah-fikih-munakahat.html diakses
Rabu, 23 Maret 2021 20.56
https://www.popbela.com/career/inspiration/mediana-aprilliani/tata-cara-tayamum-
lengkap/full diakses Rabu, 23 Maret 2021 pukul 22.14
https://amp.tirto.id/pengertian-thaharah-cara-hikmah-berthaharah-menurut-agama-
islam-gaCy Diakses Senin, 15 Maret 2021, Pukul 21.45
https://www.popbela.com/relationship/married/dinalathifa/pengertian-syarat-
hukum-dan-cara-rujuk
https://dalamislam.com/info-islami/tata-cara-rujuk-dalam-islam
http://etheses.uin-malang.ac.id/1676/8/08210062_Bab_2 Diakses Senin, 15 Maret
2021, Pukul 20.06
https://kumparan.com/berita-hari-ini/tata-cara-thaharah-dalam-islam-dan-alat-yang-
dipakai-untuk-bersuci-1v9IkSTJ2Cm/full
https://www.islampos.com/pengertian-pembagian-urgensi-dan-syarat-wajib-thaharah-
185767/
http://www.jejakpendidikan.com/2013/08/sepintas-munakahat_19.html di akses
pukul 15.57

27

Anda mungkin juga menyukai