Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh :
KHOIRUDDIN
NIM. 102044225091
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. ............................................................................................ Perni
a. Pengertian Pernikahan........................................................... 7
B. ............................................................................................ Perni
a. Pengertian Pernikahan........................................................... 19
POSITIF
A. ............................................................................................ M
Islam............................................................................................ 38
B. ............................................................................................ M
Positif .......................................................................................... 46
C. ............................................................................................ K
BAB V PENUTUP
A. ............................................................................................ K
esimpulan .................................................................................... 59
B. ............................................................................................ S
aran-saran .................................................................................... 60
a. Pengertian Pernikahan
Perkawinan tidak sah melainkan dengan adanya seorang wali dari calon
isteri yang bersifat sebagai pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah
dengan pengantin pria dan dua orang saksi, sedangkan mahar / mas kawin wajib
merupakan satu hadiah yang harus dilakukan di dalam perkawinan yang sifatnya
merupakan satu simbol dari nilai ikatan yang diadakan untuk menunjukan hidup
kehidupan bersama.
Mahar tidak musti berbentuk benda tertentu, tetapi bisa merupakan ayat-
ayat suci Al-Qur’an, yang mempunyai arti. Pada dasarnya kata-kata mahar dari
sumber yang sama Muhr yang artinya Stemple. Maka Mahar itu artinya stempel
1
Fuad Mohd Fachruddin., Masalah Anak dalam Hukum Islam ; Anak Kandung, Anak
Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina,(Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya : 1991), h. 27
suka sama suka antara calon isteri, maka ijab dan qobul ialah terima sama terima
melanggar suasana hidup abadi antara satu pasangan yang telah diikat oleh
perjanjian yang kuat. Perkawinan di dalam Islam bukanlah hidup bergaul semata,
tetapi menyatukan diri di dalam segala bidang hingga terpadu dua badan menjadi
satu jiwa.
Dari itu Islam menjaga perkawinan dari segala segi baik perbuatan,
pakaian, pergaulan, dan tanggung jawabnya. Dewasa ini kalau ditinjau keadaan
dan situasi, sewajarnyalah wanita dijaga secara ketat sehingga harus diwajibkan
oleh pemerintah peraturan untuk menyelamatkan hidup bangsa dan umat agar
Islam mengajak manusia berpikir jauh dan jangan hanya menuruti hawa
nafsu angkara murka atau mengikuti kemajuan Eropa yang berlainan nilai
perkawinan itu merupakan hasil dari seluruh kasih sayang antara manusia satu
menghasilkan manusia hamba Allah yang diserahkan tugas ini kepada manusia
besar artinya, sebab Allah menginginkan adanya makhluk manusia ini, hingga
2
Fuad Mohd Fahruddin., h. 28
3
Ibid, h. 28-29
Perkawinan adalah satu-satu jalan dalam sistem biasa dan lumrah bagi
manusia untuk membuktikan bahwa selain dari pada jalan ini bukanlah jalan yang
biasa atau lumrah. Kekuasaan Allah itu dapat menciptakan manusia tanpa ibu dan
kitab-kitab hadis, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang
disebut al-ahkam al-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai
dapat dinilai menurut ukuran tesebut. Sebagai ajaran, lima kaidah itu meliputi
segala aspek kehidupan yang dalam bahasa sehari-hari kadangkala disebut hukum
yang lima.
Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu,
maka kaidah asalnya adalah ja'iz atau mubah atau ibahah, di Indonesiakan
hukum perkawinan dapat berubah kebolehan, menjadi sunnat, wajib, makruh, atau
(A) Perbuatan nikah yang dilakukan oleh orang yang telah cukup umurnya yang
hukum atau kaidah asalnya mubah atau kebolehan itu dapat berubah
hukumnya menjadi anjuran atau sunnat kalau dilakukan oleh seseorang yang
pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup
4
Ibid., h. 29
berumah tangga. Telah mampu membiayai atau mengurus rumah tangga.
Kalau ia kawin dalam keadaan yang demikian, ia akan mendapat pahala dan
kalau ia belum mau berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya ia tidak
berdosa.
(B) Perbuatan nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib (kewajiban) atau
seperti ini, ia wajib kawin atau berumah tangga, sebab kalau ia tidak kawin ia
(C) Perbuatan nikah berubah hukumnya menjadi makruh atau celaan bila
dilakukan oleh orang-orang yang relatif muda (belum cukup umur), belum
mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga. Kalau orang kawin juga
dalam usia demikian, ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan
(D) Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan maksud menganiyaya wanita itu. Hal ini disebutkan misalnya, dalam
al-Quran surat al-Nisa (dibaca an-Nisa) ayat 24 dan 25. Atau menurut
perhitungan yang umum dan wajar perkawinan itu secara langsung atau tidak
yang hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori haram itu juga dilakukan
oleh seseorang, ia akan berdosa, misalnya perkawinan seorang laki-laki
dengan wanita yang masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain,
pasangannya.5
Prof.Dr.H.Mahmud Yunus :
" Perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri untuk
memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur syari'at ".6
Sayuti Thalib,SH :
M.Idris Ramulyo,S H :
" Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan
kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah antar seorang laki-laki
dengan seorang permpuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram dan kekal".8
mempunyai banyak segi dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan,
misalnya dari sudut agama, hukum masyarakat, dan sebagainya. Jika dipandang
5
Mohammad Daud Ali., Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada :2002), Cet. Ke- 2., h. 3-5
6
Mahmud Yunus., Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta, PT Hidakarya Agung :
1996), Cet. Ke-15. h. 1
7
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UI Press), h. 47
8
Idris Ramulyo., Beberapa Masalah tentang Hukum Acata Peradilan Agama dan Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta, Ind.Hill Co : 1984/1985), h. 174
dari segi ajaran agama dan hukum Islam perkawinan adalah suatu lembaga yang
suci.
tata cara melangsungkannya, tata hubungan suami isteri, cara melakukan dan
Nabi Muhammad. "Berbaktilah kamu kepada Allah yang atas (dengan) nama-Nya
kamu saling meminta untuk menjadi pasangan hidup", demikian firman Tuhan
dalam al-Qur'an surat 4 ayat 1. "Takutlah kamu kepada Allah mengenai urusan
wanita, karena kamu telah mengambil mereka (dari orang tuanya) dengan amanat
Rahmatullah.9
siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh (ajaran) agamanya, yang
orang yang telah mempunyai kesanggupan, kawin, hidup berumah tangga karena
dilarang Allah. 10
9
Mohammad Daud Ali., h. 1-2
10
Muhammad Daud Ali., h. 3
sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan system perkawinan,
alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa perkawinan menurut Islam dapat
antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara syah dalam
Kedua, dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga
yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat hidup tentram, saling cinta
mencintai, santun menyantuni dan kasih mengasihi antara satu terhadap yang lain
halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara
agama, kesopanan dan kehormatan. Banyak penyakit jiwa yang sembuh sesudah
atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak
masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari
11
Nazwar Syamsu., Al-quran tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta, Ghalia
Indonesia :1983), Cet. Ke-1, h. 159
12
Ibid., h. 159
13
Ibid., h. 160
Adapun mengenai syarat dan rukun perkawinan tersebut sebagai berikut :
1. Ada calon pengantin pria dan wanita, yang pria benar-benar pria dan yang
pengantin wanita adalah satu hal yang logis atau rasional. Logis, karena
tanpa adanya salah satu calon pengantin tersebut maka sudah barang tentu
2. Calon pengantin pria dan wanita sudah aqil baligh, sehat jasmani dan
rohani. Kedua calon baik pria maupun wanita harus Islam, sesuai menurut
Al-quran surat ke-X1 ayat 221 dan pengecualian dalam Al-quran surat ke-
V ayat 5 yang membolehkan pria Islam kawin dengan wanita non Islam
3. Harus ada persetujuan bebas antara calon pengantin pria dengan pengantin
wanita, tidak ada paksaan dari manapun datangnya, sesuai dengan hadits
Rasul diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa seorang wanita perawan telah
seorang pria padahal ia tidak suka, malah disuruh oleh Rasul kepada
wanita itu salah satu dari dua alternative, tetap sebagai istri atau minta
cerai. Jadi, menurut Islam kawin paksa itu tidak sah atau dilarang.
4. Harus ada wali nikah bagi calon pengantin wanita. Menurut mazhab
Syafi’I tidak sah nikah seorang wanita tanpa wali, namun sebagi unsure
6. Harus ada sekurang-kurangnya dua orang saksi, hal ini sangat penting
untuk kemaslahatan kedua belah pihak, maka para fuqaha sepakat bahwa
saksi dalam majlis akad tidak bisa diabaikan dalam arti bahwa saksi
ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻻﻧﻜﺎح اﻻ ﺑﻮﻟﻲ: ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﺑﻦ اﺑﻲ ﻣﻮس ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻗﺎل
. ﺑﻠﻮغ اﻟﻤﺮام,اﻟﻨﻜﺎح ﻣﺮﺷﺪ وﺷﺎهﺪي ﻋﺪل ) رواﻩ اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ( آﺘﺎب
Artinya :
“Dari Abu Hurairah ibn Abi Musa dari bapaknya ia berkata : “tidaklah
dianggap sah suatu perkawinan kecuali dengan wali yang cakap dan dua
orang saksi yang adil”. (HR. Ahmad dan al-Arba’ah).
namun kedudukan ijab qabul itu sendiri sebagai unsure akad nikah
ijab qabul.
زوﺟﺘﻚ واﻧﻜﺤﺘﻚ ﻣﺨﻄﻮﺑﺘﻚ ﻣﺮﻳﻢ ﺑﻨﺘﻲ اﺣﻤﺪ ﺑﻤﻬﺮ ﻣﺎﺋﺔ اﻟﻒ رﺑﻴﺔ ﺣﺎ ل
10. Sedang qabul adalah persetujuan pihak kedua terhadap isi kehendak pihak
pertama.
14
Ahmad Kuzair., Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada : 1996),
Cet. Ke-1, h. 41
15
As-Sayyid Imam Muh. Ibn Ismail al-Khalany, Bulughul Maram, (Bandung, Dahlan,
T.th), Jilid- 1, h. 117
16
ﻗﺒﻠﺖ ﺗﺰوﺟﻬﺎ ﻟﻨﻔﺲ ﺑﺬاﻟﻚ
pendapat yang terjadi antara Imam Mazhab,akan tetapi pada kali ini penulis hanya
- Calon Suami
- Calon Isteri
- Wali Nikah
kerusakan.
16
Ahmad Kuzair, h. 54
17
Moh.Zahroh., Al-Ahwalu asy-Syahsiyah, (Kairo, Dar al-Fikr :1957), h. 45
f. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia
dan wanita.
penyalurannya, kebutuhan itu antara lain adalah kebutuhan biologis. Agar tercipta
ada dua tujuan diballik hikmah adanya perkawinan yaitu memnuhi naluri
yang harmonis.
bahwa di dalam hidup ini tetap ada hubungan sebab dengan musabbab
(Casuality), yang kokoh dan mendalam hubungan sebab dan musabbab inilah
yang menggairahkan arti hidup dunia, dan yang merangsang manusia berusaha,
mengabdi.
Oleh karena itu perkawinan dianjurkan oleh Islam dengan firman ِAllah
lembaga rumah tangga untuk menyusun masyarakat dan membentuk umat. Ikatan
pria dan wanita dalam perkawinan bukanlah semat hubungan kelamin belaka,
tetapi lebih jauh daripada itu yaitu menyusun rumah tangga yang menjadi soko
mempunyai rukun dan syarat serta tanggung jawab yang terus-menerus sekalipun
suami istri telah meninggal dunia kalau manusia di kebumikan, hanya jasadnya
yang di kuburkan, tetapi jiwa dan amal ibadahnya serta namanya tetap tinggal dan
menjelma di dalam sejarah itu dan menjadi pusaka hidup keluarga, bangsa dan
agama.
Untuk itu bahwa sifat-sifat yang ada pada diri Rasullah SAW dan amal
yang dilakukan Beliau itulah yang menjadi suri tauladan bagi manusia. Kita tidak
dapat mencontoh kecantikan Rasulullah SAW secara lahiriyah, tetapi budi pekerti,
amal ibadat, perbuatan yang baik, kata yang berguna, tetap kekal abadi dan tidak
akan mati sekalipun jasmani sudah menghilang dan sudah hancur lebur.
Keturunan yang ditinggalkan dan anak yang lucu yang mewarisi seseorang akan
selalu menjunjung tinggi dan mencontoh suri tauladan yang telah diberikan itu.20
19
Fuad Mohd. Fachruddin., h. 30
20
Ibid., h. 31-32
Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada
sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun
kepada manusia.21
a. Pengertian Pernikahan
Pernikahan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-
laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.22
perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga
dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan
yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten, Wirarda, Pitlo, Petit,
dan Melis mengartikan perkawinan adalah : " Persekutuan antara seorang pria dan
21
Quraish Shihab., Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung, Mizan Anggota IKAPI : 1996), Cet. Ke-1. h. 214
22
Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, ( Jakarta, PT Intermasa : 1994), Cet. Ke-26. h.
23
seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama / bersekutu yang
lembaga hukum, baik apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang
terdapat di dalamnya.
macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu
syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan.
23
Salim HS dan R.M Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (
Jakarta, Sinar Grafika, T.th), h. 61
a. monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
BW);
d. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak
yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai dengan
untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu :
dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-
alasan-alasan tertentu. Sebab, dapat saja terjadi bahwa sesuatu hal yang
masyarakat;
perkawinan.
Apabila kedua syarat di atas, baik itu syarat intern, ekstern, maupun syarat
materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-
15 tahun
c. untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari
e. untuk pihak yang masih dibawah umur,harus ada izin dari dari orang tua
atau walinya.
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak
memberikan izin, atau ada kata sepakat antera ayah dan ibu masing-masing
pihak.Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali ini
sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin
dari wali pengawas ( toeziende voogd ). Kalau kedua orang tua sudah meninggal,
yang memberikan izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,
Untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang
tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau
tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur
tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan
izin.24
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
perkawinan itu : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syarat
yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami isteri membantu untuk
yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya
membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah
kediaman bersama.
24
Salim HS dan RM Sudikno Mertokusumo., h. 62-63
25
Ibid., h. 62
Perkawinan tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan
itu banyak juga yang tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu baru mnegenai
secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan kekal belum bahkan tidak
tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari banyaknya terjadi perceraian.
tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara
atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur
hidup atau untuk selamanya. Dengan adanya perkawinan, maka suami istri dapat
hidup bersama dengan ikatan bathin, yang tercermin dari adanya kerukunan suami
hubungan yang erat dan kekal, terutama dengan adanya perkawinan ikatan lahir
ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan
26
Riduan Syahrani., Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung, Penerbit
Alumni : 1992), Cet. Ke-III, h. 67
BAB IV
satunya jalan yang paling mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologis dan
sendiri.
di dasari oleh Agama atau moral, yakni calon tersebut harus berakhlak mulia dan
Karena agama yang baik akan membawa keberuntungan yang gemilang di dunia
Seorang gadis bukan perawan atau janda hamil tanpa suami dalam
sekedar untuk menutupi malu atau suami sungguh-sungguh. Baik calon suami itu
Perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu tidak dilihat
statusnya. Apakah telah beristri atau bersuami ataupun ia masih perawan atau
orang yang menzinahi. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum
memahami ”larangan menikahi pezina” yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 3
sebagai berikut :
ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴﻦ
َ ﻚ
َ ﺣ ﱢﺮ َم َذِﻟ
ُ ك َو
ٌ ﺸ ِﺮ
ْ ن َأ ْو ُﻣ
ٍ ﻻزَا
ﺤﻬَﺂ ِإ ﱠ
ُ ﻻﻳَﻨ ِﻜ
َ ﺸ ِﺮ َآ ًﺔ وَاﻟﺰﱠا ِﻧ َﻴ ُﺔ
ْ ﻻ زَا ِﻧ َﻴ ًﺔ َأ ْو ُﻣ
ﺢ ِإ ﱠ
ُ ﻻﻳَﻨ ِﻜ
َ ااﻟﺰﱠاﻧِﻲ
(3 :)اﻟﻨﻮر
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. (Q.S. al-Nur
:3)
dengan seorang pezina dan bukan keharaman. Sedangkan lafadz ()وﺣﺮم ذﻟﻚ
ditujukan pada pelacur, pezina, kumpul kebo dan bukan kepada bentuk
pernikahannya.
pendapat. Sebagian ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal menikahi wanita
pezina, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi
orang yang bukan menzinainya. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama
pezina”.
hingga dia harus taubat. Baik dengan pasangan zina atau dia itu orang lain. Inilah
yang benar di ragukan lagi. Demikian pendapat segolongan salaf dan khalaf,
imam yang tiga, hanya saja imam Malik mensyaratkan (rahimnya) bersih, sedang
Imam Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra (bersih) apabila dia
ternyata hamil, tetapi apabila ia hamil maka tidak boleh mencampurinya, karena
air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan
Sedang Imam Abu Hanifah memberi rincian antara hamil dan tidak hamil,
karena wanita hamil apabila dicampuri itu menghubungkan anak yang bukan
anaknya sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil. Imam Malik dan Ahmad
mensyaratkan istibra, dan itulah yang benar tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad
dalam satu riwayat masyarakat bersih dengan haidh. Sedang riwayat yang lain
dari Ahmad yaitu yang di ikuti oleh kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa istibra
itu harus tiga kali haidh, tetapi yang benar bahwa itu tidak wajib melainkan istibra
tuanya, yang mana dalam hal ini siwanita itu wajib istibra, ini lebih utama.27
27
Ibnu Tamiyah, Hukum Perkawinan,(Jakarta,Pustaka al-Kausar,1997) Hal: 105
Sebagian pendapat para ulama itu telah tertuang dalam Kompilasi Hukum
a. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat
nikah dengan orang yang bukan menghamilinya. Sebagian pendapat sah akah
A. Imam Abu Yusuf dan Za’far berpendapat tidak boleh menikahi wanita hamil
karena zina dan tidak boleh berhubungan seksual dengannya. Karena wanita
tersebut dari hubungan tidak sah dengan laki-laki lain maka haram
sah. Keadaan hamil mencegah bersetubuh, maka juga mencegah akad nikah
sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah itu
28
Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademik Presindo : 1992), Cet. Ke-
1, h. 125
29
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer
1,(Jakarta:PT.Pustaka Firdaus,1996)cet.11, h.45
B. Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, perempuan yang berzina baik
hamil maupun tidak, tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang mengetahui
2). Perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan zina, dan jika ia belum
berarti tetap berzina dengan perempuan itu. Apabila telah sempurna kedua
syarat diatas, maka halal menikah dengan perempuan itu bagi yang
C. Menurut Imam Malik, perkawinan wanita hamil dari berzina dengan pria yang
lain yang tidak menghamilinya, tidak boleh dan tidak sah. Wanita tersebut
baru bisa dinikahi secara sah sesudah ia melahirkan. Bahkan menurut Imam
Malik, jika pria yang dinikahi tidak mengetahui kehamilan wanita tersebut,
maka setelah pria itu mengetahuinya pria tersebut wajib menceraikannya, dan
jika ia telah menggaulinya, maka ia wajib memberikan mahar mitsil, hal ini
didasarkan kepada:
Wanita yang sedang hamil dari zina juga mempunyai masa iddah, oleh karena
(4 : ﺣ ْﻤَﻠ ُﻬ ﱠﻨﺰ)اﻟﻄﻼق
ِ ﻦ
َ ﻀ ْﻌ
َ ﺟُﻠ ُﻬﻦﱠ أَن َﻳ
َ ل َأ
ِ ﺣﻤَﺎ
ْﻷَ ت ْا
ُ ﻻ
َ … َوُأ ْو..
Artinya: “Dan wanita-wanita yang hamil, masa iddah mereka itu ialah
sampai ia melahirkan (Ath-Thalaq :4) "
30
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Imam Mazhab,(Jakarta,
PT. Hidakarya Agung,1996) h. 47
Dengan menikahi wanita yang sedang hamil dari zina, maka
demikian akan terjadi ketidakjelasan status anak, hal ini didasarkan sabda
Rasululloh SAW:
(ﻣﻦ آﺎن ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻻﺧﺮ ﻓﻼ ﻳﺴﻘﻰ ﻣﺎءﻩ زرع ﻏﻴﺮﻩ ) رواﻩ اﺑﻮا داود
Artinya: “Barang siapa beriman kepada Allah dari hari kiamat, maka
janganlah ia menyirami air spermanya keladang orang lain (H.R. Abu
Daud)”.31
wanita hamil karena zina, tapi dengan syarat jika laki-laki yang menikahinya itu
31
Ibid, h. 94
b. Sperma zina itu tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkan keturunan
anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Kalau sperma
saw :
(ﻣﻦ آﺎن ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻻﺧﺮ ﻓﻼ ﻳﺴﻘﻰ ﻣﺎءﻩ زرع ﻏﻴﺮﻩ )رواﻩ اﺑﻮا داود
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah swt, dan Hari Akhir
maka janganlah menyiramkan airnya ketanaman orang lain” (H.R. Abu
Daud)32
Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah di atas terlihat sejalan
namun ada sedikit perbedaan diantara mereka, yakni dalam hal kebolehan
menggauli wanita hamil akibat zina yang dinikahi oleh laki-laki yang bukan
menghamilinya.
karena zina dalam pandangan penulis, terdapat inkonsistensi pemikiran Imam Abu
Hanifah. Disisi lain Imam Abu Hanifah menghalalkan menikahi wanita hamil
Sedang disisi lain beliau melarang menggauli wanita hamil yang telah
bercampuran keturunan dalam satu rahim. Apabila Imam Abu Hanifah melarang
32
Imam Abi Ishaq as-Sairazi.al-Muhazzab,(Bairut,Dar al-Fikr) jilid II, h.43
menggauli wanita tersebut seharusnya beliau juga melarang menikahi wanita
hamil akibat zina) bagi orang lain yang menikahinya, disamping Karena tidak ada
nash yang melarang hal tersebut seperti dalam analisis bantahan terhadap
pendapat Imam Abu Hanifah diatas, juga pendapat Imam Syafi’i ini sejalan
dengan perspektif biologis yakni seorang calon ibu yang usia kehamilan mencapai
ke-36 hari, terdapat satu liter ketuban yang merendam janin, sampai janin menjadi
bila terjadi benturan pada calon ibu, janin terlindungi dari cedera cairan, ia
dikhawatirkan oleh Imam Abu Hanifah, tidak akan terjadi. Karena janin yang
melindunginya dari goncangan apapun termasuk dari siraman sperma yang akan
datang kemudian.
kepada pendapat imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah yang mengatakan sah akad
nikah yang dilakukan oleh seorang wanita hamil karena zina baik laki-laki yang
telah menghamilinya maupun bukan. Karena tidak terdapat larangan yang nyata
dari Al-Qur’an dan hadits mengenai hal itu. Dan jika ditinjau dari sudut
33
Derek Liewenllyn Jones,Setiap Wanita,,(Jakarta,Delapratasa,1997) hal.155
kebolehan menikahinya, diantaranya dapat membuka jalan kearah kehidupan yang
lebih baik bagi wanita tersebut. Dan tentu saja hal ini akan membawa dampak
Islam, didalam hukum perdata perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai
akibat yang luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri.
Dengan perkawinan itu timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban
misalnya; kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, yang tidak kalah penting
adalah hukum yang terjadi antara anak yang lahir dari perkawinan.
persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama-
sama, maksudnya untuk hidup berlansung selama lamanya sampai akhir hayat.
yang dilakukan dimuka petugas kantor pencatat sipil. Perkawinan yang dilakukan
oleh petugas dilakukan menurut tata cara sesuatu agama sah. Perkawinan wanita
hamil karena zina itu sah selama mengikuti/memenuhi syarat-syarat dan rukun
hubungan yang asusila, contoh hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum
34
Sudarsono,.Hukum Perkawinan Nasional,(Jakarta,Rineka Cipta,1991) Cet.1, h. 112
beristri dengan perempuan yang sudah bersuami, atau hubungan antara
Dengan demikian, kalau terjadi hal-hal diatas apakah dia telah melakukan
zina harus ada keputusan hakim, sehingga diantara pihak-pihak yang telah
Akan tetapi, dalam praktek ketentuan hukum pasal 32 KUHP ini jarang
sekali hakim didalam menjatuhkan putusan tidak wajib menyebutkan nama orang
a. Hukum Islam
sebagai keturunan dari kedua orang tuanya. Sehingga anak tersebut mempunyai
adalah (1) anak yang lahir dalam perkawinan yang sah (2) anak yang lahir sebagai
akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung
karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang
bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir itu adalah
35
Soedharyo Soimin..Hukum Orang dan Keluarga,Perspektif Hukum Perdata,Hukum
Islam Dan Hukum Adat,(Jakarta,Sinar Grafika,2002) Cet.1, h. 16
Mengenai anak yang tidak ada berbapak ini yang dikenal sebagai anak
diluar kawin, dimana si anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya
Tahun 1974. bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam sekarang ini, kemungkinan
bagi seorang wanita yang hamil di luar nikah untuk kemungkinan dengan pria
yang menghamilinya (pasal 53) yang perlu dicatat adalah bahwa perkawinan ini
dapat segera dilaksanakan dan tidak usah menunggu sampai anak lahir.
mempunyai bapak. Maka seorang anak perempuan yang hamil diluar perkawinan,
itu agak dipaksakan untuk kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang pria
yang pernah bersetubuh dengan si wanita itu juga dianggap penyebab hamilnya
perempuan itu.36
ibunya dan bapaknya. Apabila salah satu meninggal, maka yang lain menjadi ahli
warisnya. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir karena zina hanya
a. Mazhab Hanafy, jika istri melahirkan anaknya dalam masa kurang dari
masa hamil yang paling lama adalah dua tahun, kalau wanita itu
melahirkan anaknya setelah berlalu dua tahun atau lebih dari tanggal
tiga), atau suami meninggal, maka anak yang dilahirkannya itu tidak
suaminya tadi, karena anak itu lahir setelah lewat dua tahun atau lebih
bulan sejak dikumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat
sah apabila anak tersebut lahir setelah waktu enam bulan sejak
Menurut pandangan Imam Syafi’i dan Imam Maliki ialah jika seseorang
pernah dikumpuli, maka bila dalam waktu kurang dari enam bulan dari
Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul bukan dari
37
Zakaria Ahmad al-Barry,Hukum Anak-anak Dalam Islam,(Jakarta,Bulan Bintang,1990)
38
Abdurrahman. h. 113
39
Fathur Rahman,Ilmu Waris,(Bandung,P.T.Al-Ma'arif,1996) h. 221
aqad nikah. Masalah perbedaan pendapat itu hanya terletak pada
bapaknya ialah bila anak itu lahir sesudah enam bulan terhitung dari
Akan tetapi hubungan nasab anak zina dengan bapaknya tersebut hanya
sebatas bahasa dan urf (tradisi), pendapat Imam Abu Hanifah di atas beralasan
اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش وﻟﻠﻌﺎهﺮ: ﻋﻦ اﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل
(اﻟﺤﺠﺮ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ
dhomir ghoib untuk laki-laki yang tersembunyi. 40 Akan tetapi Imam Abu Hanifah
suami (wanita tersebut), jikalau wanita yang berzina mempunyai suami, karena
ketika suami mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut
menjadi anaknya yang sah secara syar’i, yang memiliki hak-hak sebagaimana
mestinya anak yang sah, dan dia pun (ayah) punya hak pula atas anak-anak seperti
40
Azhari Abdul Ghofur, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda-mudi,
(Jakarta, Akademika Pressindo : 2000), Cet. Ke-1, h. 48
itu.41 Keadaan seperti ini adalah bagi perempuan yang berzina tetapi telah
mempunyai suami. Namun, sebenarnya yang lebih mengetahui secara pasti nasab
bentuk pengambilan hukum dari kata “Lil Firosy” yang tersebut dalam hadits
diatas adalah bermakna ibu, sehingga garis keturunan (keluarga) anak hasil zina
hanya kembali kepada ibunya saja. Demikian pula bagi pendapat yang pertama ini
beranalog dengan ketentuan jumlah minimal bagi wanita hamil, yakni anak yang
lahir kurang dari enam bulan sejak saat perkumpulan suami istri tanpa perhatikan
perkawinan, maka anak yang lahir tesebut hanya akan diakui oleh ibunya saja,
laksana kewangsaan matrinial dimana seorang anak tidak diakui sebagai kelaurga
bapak.
formal, artinya keabsahan seorang anak sebagai keluarga yang sah dilihat dari
masa lahirnya tidak kurang dari jangka wktu enam bulan terhitung sejak
pernikahan ibu dengan ayahnya. Juga pendapat ini berpedoman kepada Hadits
“Jelas dari Nabi saw, Beliau telah bersabda, jika seorang laki-laki
datanglah malaikat untuk melaknati sampai pagi hari (Fathul Bari XI, hal 205).
pengambilan hukum) dari keterangan kata “Firosy” yang terdapat dalam hadits
41
Muhammad Jawad Mughniyah., Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT. Lentera Basritama :
2000), Cet. Ke-V, h. 386
kehadiran seorang anak mengokohkan ikatan perkawinan, kegairahan
mencari nafkah meningkat karena termotivasi oleh semangat untuk membina dan
Lain halnya dengan anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah,
akan dicerca dan dihina kata-kata cemooh dari lingkungan senantiasa akan
masyarakat menghukumnya secara kejam dengan istilah " Anak haram jadah,anak
zina".
Menurut Hukum Islam anak yang lahir diluar nikah ( anak zina ) itu suci
dari segala dosa yang berdosa adalah orang yang menyebabkan eksistensinya
آﻞ ﻣﻮﻟﺪ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻲ اﻟﻔﻄﺮة ﺣﺘﻲ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ اﻧﺲ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ
43
( ﻋﺮب ﻋﻨﻪ ﻟﺴﺎ ﻧﻪ ﻓﺎ ﺑﻮا ﻩ ﻳﻬﻮداﻧﻪ او ﻳﻨﺼﺮاﻧﻪ او ﻳﻤﺠﺴﺎ ﻧﻪ )رواﻩ اﺑﻮ ﻳﻌﻠﻲ واﻟﻄﺒﺮﻧﻲ وﺑﻴﻬﻘﻲ
Artinya : " Semua anak dilahirkan atas kesucian / kebersihan (dari segala
dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid,sehingga ia jelas
bicaranya.makanya menjadi Yahudi,Nasrani,atau Majusi"(HR.Abu
Ya'la,Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Oleh karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi
nanti.
42
Ibid, h.313
43
Jalaluddin Al-suyuti,Al-jami,'AAl-Shaghir,(kairo : Musthafa Al-Babi Al-
Halabi,1954),vol.11.hal.17
Paling tidak ada empat dampak negatif bagi anak yang lahir di luar nikah,
1. Status Nasab
Istilah nasab berasal dari Bahasa Arab yang berarti kerabat,sebagian ahli
2. Status Perwalian
istilah fiqh yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan
oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau
barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali, yang dibicarakan di
perkawinannya.46
3. Status kewarisannya
Kata waris itu berasal dari Bahasa Arab yaitu, akar kata yang berarti
pusaka.Harta peninggalan si mayit47. Lafal Wirts, irts, dan tutrs itu satu arti yaitu
4. Status Nafkah
44
Ibnu Mandzur, Lisan Al-'Arobi,(Beirut : Dar Shadir,1994),jilid .1.h.755
45
.Ibn 'Abidin, Radd Al-Mukhtar 'ala Al-Daar Al-Mukhtar : Hasyiyah Ibn 'Abidin
,(Beirut : Daar Ihya Al-Turats Al-'Arabi,1987),juz.11,cet.11, h.623
46
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang
: 1974), Cet. Ke-3, h. 92-93
47
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Penafsiran Al-Quran : 1973). h. 496
48
Ibn Mandzur., h. 200
Nafkah berasal dari Bahasa Arab yaitu yang berarti belanja, atau
tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri
masih di bawah tangan sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami
yang sah.
Bersabda Rasulullah s.a.w. Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami
yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu
dirajam"(Bukhari).
2. Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak
persoalan ini.Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan
yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan didalam hukum Islam
berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam.
pelaksanaan hukum zina atas kedua manusia itu yakni didera masing-
masing mereka jika belum pernah kawin dan dirajam / dilontar batu
b. Hukum Positif
dibesarkan dalam ikatan perkawinan, maka anak adalah anak yang sah. Anak sah
adalah anak yang dilahirkan dari sekurang-kurangnya 180 hari itu kemungkinan
bahwa anak itu tidak sah, kecuali sebelum perkawinan si calon suami sudah tahu
bahwa calon istri sudah mengandung.itu kemungkinan bahwa anak itu tidak sah,
kecuali sebelum perkawinan si calon suami sudah tahu bahwa calon istri sudah
mengandung.
Kemudian anak yang lahir di luar perkawinan karena berbuat zina antara
pria dan wanita, sebelum perkawinan telah mengakui bahwa anak yang lahir itu
adalah anak mereka telah mengakui. Kemudian pria dan wanita tersebut
yang lahir itu adalah anak mereka, maka anak itu menjadi anak yang sah. Dengan
sah, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dan akan hanya mendapat
bapak, melainkan juga tidak mempunyai ibu dalam arti, bahwa antara seorang
anak dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada hubungan hukum
seorang pria, yang menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si bapak
perkawinan antara bapak dan ibu hanyalah ada anak yang diakui, anak ini
Cara untuk mengetahui bahwa sebelum perkawinan tersebut anak itu harus
diakui sebagai anak oleh ibunya dan bapaknya. Pengakuan anak itu tidak ada dan
pernikahan bapak dan ibu telah berlangsung tanpa mengakui anak pada waktu
diakui tidak diakui oleh ayah atau ibunya.Menurut sistem yang dianut oleh
49
Hilman Hadi Kusuma.,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum
Islam,Adat Dan Perdata,(Bandung,C.V Mandar Maju,1990) h.133
50
Abdul Kadir Muhammad.S.H,Hukum Perdata Indonesia (Bandung, PT. Citra
Aditya,1990). H. 132
B.W.dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu
akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang
si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga anak. Hubungan itu hanya dapat
lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua
orang tua, yang telah mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang
dilakukan pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua
orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang
lahir sebelum pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan
"surat-urat pengesahan" (brieven van wettiging) oleh kepala negara. Dalam hal ini
Pencatatan Sipil, atau dalam akte perkawinan orang tuanya (yang berakibat
pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil,
Perbuatan zina ("overspel") atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua
orang yang dilarang kawin satu sama lain. Dengan demikian anak yang lahir
diluar perkawinan itu hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan
ibunya dan keluarga ibunya, namun tidak dapat mewarisi harta benda yang
ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di
51
Subekti,.Pokok Pokok Hukum Perdata (Jakarta,P.T Intermasa ,1985) cet.XX..h. 50
luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan keluarga
bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu
sah tidaknya anak yang disangkal itu atas permintaan yang berkepentingan
(pasal 44).
Perkawinan menentukan :
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka
memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi
52
Riduan Syahrani,Seluk Beluk Dan Asas-asas Hukum Perdata.(Bandung,Alumni.1992)
cet,III. h. 101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
pria dan wanita di luar nikah, atau persetubuhan yang dilakukan tidak
yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya atas dasar suka
sama suka.
2. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh orang yang menghamilinya
maupun oleh orang lain yang bukan menghamilinya, karena tidak ada
laranganyang nyata dari Al-quran maupun Hadist. Dan status hukum akad
nikah sah selama memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah yang yang telah
jalan kea rah kehidupan yang lebih baik bagi wanita tersebut. Sedangkan
menurut hukum positif bahwa menikahi wanita hamil di luar nikah itu
3. Menurut hukum Islam, anak yang lahir di luar nikah (anak zina) itu suci
dari segala dosa, tidak bersalah dan tidak bernoda, sebab keseluruhan
mempunyai ibu bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak
mulanya. Seuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka bathil pulalah
nikah, yang berstatus tidak sah, ia bisa menjadi sah apabila ia diakui oleh
B. Saran-saran
pezina.
norma agama
DAFTAR PUATAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Akademik Presindo, 1992
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan,
Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada., 2002
Darul Haq, Tim., Jangan Dekati Zina, Jakarta : Darul Haq, 2002
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
Fachruddin, Fuad Mohd., Masalah Anak dalam Hukum Islam; Anak Kandung,
Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, Jakarta : CV.Pedoman Ilmu Jaya.,
1991
Ghofar, Ashari Abdul., Pandangan Islam Zina dan Perkawinan sesudah Hamil,
Jakarta : Citra Harta Prima, 1995
Ibn ’Abidin., Radd AL-Mukhtar ’ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn ’Abidin,
Beirut : Daar Ihya Al-Turats Al-’Arabi, 1987
Jalaluddin, Al-Suyuti, Al-Jami, Al-Shaghir, Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi,
1954
Ramulyo, Idris, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan
Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind.Hill Co, 1984/1985
Salim HS dan RM. Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis,
Jakarta : Sinar Grafika, T.th