Anda di halaman 1dari 24

RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan

dalam Hukum Pidana


Kabinet Gelora Pembebasan

RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan dalam


Hukum Pidana
Latar Belakang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjadi dasar hukum pidana di
Indonesia merupakan buatan parlemen Belanda yang dibuat sejak tahun 1800 dan selesai
pada 1870. KUHP kemudian mulai berlaku di Indonesia pada tahun 1918. Selama 74 tahun
Indonesia merdeka, bangsa Indonesia belum memiliki kitab undang-undang hukum pidana
yang betul-betul buatan Indonesia sendiri. Seiring dengan perkembangan masyarakat
Indonesia yang begitu cepat dan tuntutan akan keadilan begitu kuat, rumusan hukum pidana
yang dimuat dalam KUHP tidak lagi mampu dijadikan dasar hukum untuk mengatasi
problem kejahatan dan tuntutan keadilan1
Usia KUHP yang sudah cukup tua dan merupakan produk Belanda yang notabene
adalah negara yang pernah menjajah bangsa Indonesia sendiri, menjadi dasar Gagasan
RKUHP, gagasan yang lahir karena selain KUHP yang dipakai produk pemerintahan
kolonial --yang sejumlah pasalnya juga tak bisa dilepaskan untuk kepentingan pemerintahan
jajahan- juga perlu aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana. Sumber KUHP
adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di
Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918.2 KUHP ini sendiri yang sudah dipakai di Indonesia
selama lebih setengah abad ini pun masih belum ada perkembangan yang nyata dan
dianggap sudah outdated. KUHP ini sendiri pun dianggap tidak menjiwai diri bangsa
Indonesia itu sendiri. Jangka waktu kemerdekaan Indonesia yang sudah 74 tahun ini pun
merupakan waktu yang cukup lama untuk bisa membuat KUHP baru, namun belum ada pula

1 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Naskah Akademik, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 5.
2 Lestantya R. Baskoro, Setengah Abad Lebih Melahirkan RKUHP,

https://hukum.tempo.co/read/1057807/setengah-abad-lebih-melahirkan-rkuhp , tempo.com, diakses pada


23 September 2019
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

kitab hukum baru. Maka dari itu, sejak lebih dari 50 tahun silam, muncul wacana RKUHP
baru.
RKUHP itu sendiri pun memunculkan berbagai polemik di dalam pelaksanaan tertib
hukum di Indonesia. Pembahasan RKUHP yang sudah berlangsung lebih dari 40 tahun silam
kabarnya mengusung beberapa misi. Di antaranya dekolonialisasi, yang menginginkan
terciptanya suatu KUHP khas Indonesia tanpa bernuansa kolonial Belanda. Misi tersebut
diperkirakan akan dapat membawa perubahan global yang sangat drastis dalam kebijakan
kriminalisasi dan penegakan hukum pidana di Indonesia. Berdasarkan data 2018, RKUHP
memuat 1.251 perbuatan pidana dan 1.198 di antaranya diancam pidana penjara. Seperti
perluasan delik perzinaan (overspel) sekalipun kedua pelaku sama sekali tidak terikat
perkawinan.3 Selain itu dalam perjalanannya ada beberapa ketentuan tambahan yang
bermasalah dan kontroversial ditengah masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, mahasiswa tidak tinggal diam. Pada tanggal 19 September
2019 ratusan mahasiswa dari Universitas Indonesia dan mahasiswa universitas lainnya
melakukan aksi damai di depan Gedung MPR sebagai penolakan terhadap RKUHP dan RUU
KPK.4 Menurut Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI, Elang ML, RUU-RUU tersebut
bermasalah, ia juga menyatakan bahwa kampus yang lain juga membawa tuntutan yang
sama.5
Dari mahasiswa UGM dan sekitar Yogyakarta sendiri juga beraksi. Jalan Gejayan
menjadi tempat aksi damai sebagai bentuk protes pada RUU-RUU bermasalah tersebut. Aksi
tersebut sangat populer hingga tagar #GejayanMemanggil menjadi salah satu terpopuler di
twitter Indonesia. Jalan Gejayan dipilih karena sejarahnya sebagai saksi perjuangan
mahasiswa, terutama pada tahun 1998 saat demo penolakan terpilihnya lagi Soeharto, 2004
saat peringatan kebangkitan nasional, dan tahun 2005 tentang penolakan kenaikan harga

3 Albert Aries, Ancaman Living Law dalam Hukum Pidana, https://mediaindonesia.com/read/detail/257426-


ancaman-living-law-dalam-ruu-hukum-pidana, mediaindonesia.com. diakses pada 23 September 2019.
4 Ilyas Listianto Mujib, Ratusan Mahasiswa UI Ikut Aksi Tolak RKUHP dan Pelemahan KPK,

https://www.idntimes.com/news/indonesia/ilyas-listianto-mujib-1/ratusan-mahasiswa-ui-ikut-aksi-tolak-
rkuhp-dan-pelemahan-kpk/full , IDN Times, diakses pada 23 September 2019.
5 Ibid.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

BBM.6 Aksi-aksi tersebut adalah bukti kepedulian mahasiswa terhadap apa yang terjadi di
Indonesia. Aksi damai dan kritik mahasiswa sangat diperlukan di Indonesia. Pergerakan
mahasiswa merukapan suatu proses yang baik untuk negara demokrasi.

Lalu seperti apa permasalahan dalam RKUHP?

Delik Adat

Dalam RKUHP terdapat satu pasal yang berbeda dari KUHP. Pasal ini jika kita melihat
beberapa media menimbulkan beberapa kontroversi. Pasal tersebut adalah Pasal 2 RKUHP.
Dalam pasal tersebut disebutkan,
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-
Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia,
dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Pasal ini menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP bermasalah. Menurut Aliansi Nasional
Reformasi KUHP, Pasal 2 RKUHP ini bermasalah karena berkontradiksi dengan asas legalitas
Hukum Pidana. Kemudian menurut ICJR pasal ini akan menimbulkan kriminalisasi terhadap
warga Indonesia, karena hukum yang hidup di dalam masyarakat sangat bisa diperdebatkan.
Terutama bagaimana hukum yang dianut oleh kelompok mayoritas yang bisa
mendiskriminasi kelompok minoritas. Selain itu Aliansi Nasional Reformasi KUHP

6Dandy Bayu Bramasta, ‘Trending #GejayanMemanggil, Ini Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Yogyakarta,
https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/22/173504265/trending-gejayanmemanggil-ini-sejarah-
pergerakan-mahasiswa-di-yogyakarta?page=1 , Kompas, diakses pada 23 September 2019.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

mengatakan bahwa delik adat ini akan mengurangi hak fungsionaris adat untuk menegakkan
hukumnya sendiri karena akan diambil aparatur negara (polisi dan kejaksaan). 7
Tetapi jika kita melihat RKUHP, Pasal 2 tersebut sebenarnya tidak terlalu bermasalah.
Hal ini diperjelas dari penjelas Pasal 2 RKUHP dimana tercantum kalimat sebagai berikut,
Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana (delik) adat,
perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan
Daerah masing-masing. Kompilasi ini memuat mengenai hukum yang hidup dalam
masyarakat yang dikualifikasi sebagai tindak pidana adat.
Penjelasan tersebut sebenarnya telah menampik permasalahan yang dicemaskan oleh
Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Hal ini karena delik adat yang akan digunakan harus di
kompilasi dalam Perda. Sehingga tidak akan menggoyahkan asas legalitas dalam hukum
pidana. Selain itu dalam RKUHP yang diatur adalah hukum materiil bukan hukum formilnya.
Maka tidak bisa secara serta merta tidak dapat disimpulkan bahwa dalam penegakkannya
akan mengurangi peran fungsionaris adat dalam penegkan hukumnya.
Pasal 2 RKUHP ini juga sebenarnya bisa menjadi sarana bagi Hukum Pidana untuk
memenuhi keadilan ditengah masyarakat. Seperti yang kita tahu dalam Pasal 18B ayat (2)
disebutkan,
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia…”
Pasal 2 RKUHP sebenarnya merupakan pengamalan dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
tersebut. Dengan kultur dan nilai-nilai di setiap daerah yang beragam, Pasal 2 RKUHP
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat didaerah tersebut. Terlebih hal ini dapat
menjadi suatu terobosan bagi Hukum Pidana di Indonesia dimana pada akhirnya Indonesia
mempunyai sistem sendiri yang mengakui hukum “asli” Indonesia.

7Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Catatan dan Rekomendasi Aliansi Nasional Reformasi KUHP terhadap
Rancangan KUHP, versi 28 Mei 2018.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Perzinahan dan Samen Leven


Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dibilang memberikan
perluasan pengaturan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan. Mengenai materi muatan
kesusilaan dalam rancangan undang-undang ini, berkembang beberapa isu ditengah
masyarakat yang cukup menarik perhatian, khususnya mengenai perzinaan. Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) memang memuat pengaturan mengenai
tindak pidana perzinaan yang lebih luas dibandingkan rumusan delik dalam undang-undang
hukum pidana positif. Rumusan mengenai perzinaan dalam hukum pidana positif dapat
ditemukan dalam Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam rumusan
RKUHP sendiri, pengaturan mengenai perzinaan dapat dijumpai pada Pasal 417 sampai
dengan Pasal 420. Opini masyarakat pun bervariasi, oleh karena anggapan bahwa negara
dirasa terlalu ketat dan ikut campur dalam mengatur urusan privat masing-masing individu,
namun di sisi lain terdapat pemikiran bahwa negara harus hadir untuk menjaga nilai-nilai
kesusilaan yang hidup ditengah masyarakat Indonesia. Mengenai beberapa rumusan delik
dalam RKUHP, dalam hal ini delik-delik perzinaan, dapat dipahami bahwa rumusan delik-
delik tersebut merupakan suatu delik aduan. Delik aduan atau Klacht delic sendiri
merupakan suatu jenis delik yang pada prinsipnya, diperlukan adanya pengaduan oleh pihak
tertentu untuk melakukan proses hukum terhadap suatu perkara8. Pengaturan mengenai
delik aduan dalam hukum pidana positif dapat dilihat pada Bab VII KUHP. Rumusan delik
perzinaan dalam KUHP positif pun menganut jenis delik aduan, dengan pengaturan
pengaduan yang mengacu pada Pasal 284 ayat (2) sampai ayat (5) undang-undang tersebut.
Sedangkan dalam RKUHP sendiri, mengenai delik aduan diatur dalam Pasal 24 sampai
dengan Pasal 30. Pada masing-masing pasal perzinaan dalam RKUHP diberikan pengaturan
pula mengenai pihak-pihak yang dapat mengadukan tindak pidana tersebut, yang akan
dibahas sebagai berikut berdasarkan diskusi langsung dan penuturan oleh Prof. Dr. Marcus
Priyo Gunarto, S.H., M.Hum.9.

8 Eddy O.S. Hiariej. 2016. Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta. Hlm
145
9 Riset oleh Departemen Kajian Strategis dan Kebijakan Dewan Mahasiswa Justicia tanggal 23 September

2019
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Pada Pasal 417 RKUHP, diatur dalam Pasal (1) mengenai,


“setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau
istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda Kategori II”.
Rumusan delik pada pasal ini bersifat delik aduan, dengan rumusan siapa yang bisa mengadu
telah diatur dalam ayat (2), yakni suami, istri, orang tua atau anaknya. Dalam ayat (3)
dinyatakan bahwa terhadap pasal tersebut, tidak berlaku ketentuan Pasal 25, 26, dan Pasal
30, yang mengatur mengenai pihak mana saja yang dapat melaporkan pengaduan atas
dugaan tindak pidana, serta cakupan waktu untuk menarik kembali pengaduan yang dalam
hal ini mengacu pada ayat (4) pasal tersebut, yakni bahwa pengaduan dapat ditarik kembali
selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Dengan demikian, hal ini
menegaskan bahwa para pihak yang dapat mengadukan dugaan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 417 ayat (1) hanyalah mereka yang disebut secara tegas dalam ayat (2)
pasal tersebut.
Adanya pasal ini memang memunculkan persepsi ditengah di tengah masyarakat
yang berpandangan bahwa pasal ini menyebabkan setiap orang yang melakukan hubungan
seksual diluar perkawinan yang sah dapat serta merta dipidana. Padahal, jelas ada
pembatasan bahwa rumusan delik tersebut sifatnya delik aduan dengan ketentuan khusus
yang diatur di ayat (2), (3), dan (4), dimana para pengadu adalah mereka yang berstatus
sebagai suami, istri, orang tua atau anaknya. Mengapa pasal ini dibuat, menurut Prof. Marcus,
karena negara berusaha menghormati kepentingan hukum dari suatu lembaga perkawinan.
Negara mengambil perspektif dari aspek legalitas dan kesakralan suatu ikatan perkawinan
yang perlu dikedepankan. Pasal ini pun berusaha mengakomodir nilai-nilai kesusilaan dan
kesopanan yang ada ditengah masyarakat Indonesia.
Selanjutnya mengenai 418 RKUHP yang mengatur mengenai “laki-laki yang
bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan
perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut
dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak kategori III”. Melalui
riset dari Prof. Marcus Priyo Gunarto, landasan disusunnya pasal ini adalah untuk
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

melindungi martabat dan kepentingan perempuan dari potensi penipuan. Bahkan ancaman
pidana terhadap pihak laki-laki sebagai pelaku dapat diperberat, apabila diperhatikan sesuai
ayat (2) pasal a quo yakni apabila berakibat kehamilan dan laki laki tidak bersedia
mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan
perundang-undangan di bidang perkawinan. Dalam hal ini, sifat kerugian dapat dipahami
ketika si lelaki memberikan janji untuk mengawini si perempuan sebagai sarana untuk
melakukan persetubuhan yang diwaktu selanjutnya pihak laki-laki melakukan pengingkaran
atas janji tersebut. Dapat dipahami pula bahwa rumusan delik ini merupakan delik aduan,
dimana perkara hanya bisa diadukan oleh si perempuan yang dijanjikan kawin. Pasal ini
dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap kaum perempuan yang dirugikan oleh
adanya pengingkaran janji kawin dan segala kerugian yang timbul akibat perbuatan
tersebut.
Kontroversi juga muncul terhadap rumusan Pasal 419, dimana ayat (1) mengatur
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri diluar perkawinan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Kategori II”. Rumusan delik ini juga dikenal dengan istilah Samen Leven. Padahal,
Pasal 419 yang dipermasalahkan adalah delik aduan yang hanya dapat diadukan oleh suami,
istri, orang tua atau anaknya dan juga kepala desa disitu dengan persetujuan dari suami, istri,
orang tua, atau anaknya. Pasal mengenai hidup bersama ini juga diperdebatkan karena
adanya potensi kesewenang-wenangan pengaduan yang memanfaatkan frasa kepala desa
atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak ada keberatan dari suami, istri, orangtua atau
anaknya. Kepala desa dirasa dapat “diperalat” untuk menekan atau melakukan kriminalisasi.
Tapi, alasan kenapa unsur kepala desa dimasukkan, menurut Prof Marcus, adalah untuk
melindungi moral masyarakat. Maka, penanganan hal ini pun perlu memperhatikan sifat
melawan hukum dari perbuatan tersebut, serta nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat.
Hal ini karena beberapa adat istiadat memang mengakomodir adanya budaya hidup
bersama antara lelaki dan perempuan sebelum diadakannya ritual perkawinan resmi.
Selain mengenai perzinaan, kontroversi juga muncul terhadap Pasal 421 tentang
Perbuatan Cabul. Pasal ini mengenai percabulan terhadap orang lain baik beda maupun
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

sesama jenis. Sesuai dengan penjelasan dari pasal tersebut, bahwa perbuatan cabul
merupakan segala perbuatan yang melanggar norma kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan
lain yang tidak senonoh, dan selalu berkaitan dengan nafsu birahi atau seksualitas. Dalam
rumusan ayat (1) dinyatakan bahwa perbuatan cabul dapat dipidana apabila dilakukan (a)
dimuka umum, (b) dilakukan dengan paksaan dengan kekerasan, serta apabila perbuatan
cabul tersebut (c) dilakukan dan dipublikasikan sebagai muatan pornografi. Dalam ayat 2
diatur pula mengenai orang yang memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
kepada orang lain untuk melakukan perbuatan cabul. Maka, dapat dipahami bahwa pasal ini
memiliki limitasi mengenai pihak yang dapat diperkarakan. Poin (a), (b), dan (c) dari ayat
(1) serta ayat (2) merupakan batasan ruang lingkup dapat disangkakannya pasal tersebut.
Pemahaman masyarakat yang menganggap setiap yang melakukan hubungan seksual baik
heteroseksual maupun homoseksual dapat serta merta dipidana, merupakan pemahaman
yang salah selama selama orang tersebut tidak melakukan apa yang diatur dalam poin-poin
pasal tadi.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa dirumuskannya pasal-pasal mengenai
Perzinaan serta Perbuatan Cabul ini merupakan “jalan tengah” dalam penegakan sistem
hukum pidana. Politik hukum pembentukan delik pidana mengenal 3 titik acuan
kepentingan, yakni Individualisme, State Policy, serta Sosial. Apabila suatu rumusan hukum
condang kepada unsur negara/State Policy, ada potensi negara menjadi totaliter. Jika
rumusan hukum condong kepada nilai-nilai Individualistik, maka sistem hukum terlihat
liberal. Disamping itu, rumusan hukum yang condong pada nilai sosialisme, mampu
menimbulkan potensi nilai komunisme. Indonesia melalui dasar Pancasila, berusaha
memposisikan sistem hukumnya di jalan tengah, oleh karena mengakomodir berbagai
kepentingan dari beragam latar belakang golongan. Negara hadir untuk berusaha menjaga
nilai-nilai kesusilaan yang hidup ditengah masyarakat Indonesia, dengan tidak lupa untuk
menghormati dan memberikan ruang bagi hak-hak privat dari masing-masing warga negara.

Contempt of court
Indonesia adalah negara hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Salah satu ciri negara hukum adalah kekuasaan lembaga
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

peradilan yang bebas dan imparsial.10 Salah satu upaya untuk melindungi ciri negara hukum dalam
RKUHP dihadirkan pasal-pasal mengenai contempt of court. Seperti yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 209 ayat 1 dan 2. Buku VII KUHP tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum.
Bola panas yang saat ini bergulir dimasyarakat adalah dengan adanya pasal-pasal mengenai
contempt of court adalah pasal-pasal ini membatasi demokrasi. Namun apakah benar demikian?
Pertama harus dikemukakan adalah paradigma mengenai asas legalitas. Asas legalitas
pertama kali diciptakan oleh Von Feurbach yang berbunyi nulla poena sine lege, nulla poena sine
crimine; nullum crimen sine poena legali,11 asas legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi
melindungi dan fungsi instrumentasi.12 Fungsi asas legalitas terakhirlah yang terkait dengan
pembahasan contempt of court. Dimana fungsi instrumentasi ini mengindikasikan di dalam batas
batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas
diperbolehkan.13 Manifestasi dari fungsi ini adalah ketika ada perbutan pidana, institusi-institusi
yang mempunyai kewenangan bisa memproses perbuatan tersebut untuk melihat
pertanggungjawaban pidana lalu menjatuhkan pidana. Proses penilaian perbuatan pidana dan
penjatuhan putusan sangatlah berkaitan dengan lembaga peradilan. Oleh sebab itu perlu diberikan
jaminan bahwa suatu lembaga peradilan harus merdeka dan tidak memihak serta harus bebas dari
gangguan dari pihak manapun agar menjatuhkan putusan yang berkeadilan. Beberapa persitiwa
yang bisa mempengaruhi psikis hakim seperti pembakaran gedung pengadilan di Nusa Tenggara
Timur.14 Hingga pengrusakan pengadilan negeri di Bantul.15 Hal-hal yang demikian yang menjadi
latar belakang dihadirkannya pasal-pasal mengenai contempt of court di RKUHP.
Pasal mengenai contempt of court terdapat pada pasal 281-303 RKUHP. Terdapat
ketentuan-ketentuan yang penting dan harus diapresiasi seperti adanya pengaturan pidana terkait
gangguan dan penyesatan proses pengadilan, menghalangi proses pengadilan, perusakan gedung,

10 Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 131-132
11 Eddy OS Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 75
12 Ibid. hlm. 79
13 Ibid.
14 Yandi MR, “Kantor Pengadilan dan Kejaksaan NTT Dibakar Massa”,

https://nasional.tempo.co/read/30152/kantor-pengadilan-dan-kejaksaan-ntt-dibakar-massa, Tempo.co,
diakses tanggal 23 September 2019.
15 Usman Hadi, “Polisi Usut Perusakan PN Bantul”, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-

4088604/polisi-usut-perusakan-di-pn-bantul, detikNews, diakses tanggal 23 September 2019.


RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

ruang sidang, dan alat bukti, serta perlindungan terhadap saksi dan korban. Pasal-pasal yang
dipermasalahkan dan sedang menjadi ‘bola panas’ di masyarakat adalah terkait pasal 281, yaitu:
Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang pada
saat sidang pengadilan berlangsung:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan
proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang
integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau
membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan
pada butir a sebenarnya tidak menjadi permasalahan karena hal ini ditujukan untuk proses
peradilan. Kemudian pada ayat b dalam penjelasan RKUHP dijelaskan Yang dimaksud dengan
“bersikap tidak hormat” adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan
pernyataan yang merendahkan martabat hakim dan pengadilan atau tidak menaati tata
tertib pengadilan. Termasuk dalam “menyerang integritas hakim” misalnya menuduh
hakim bersikap memihak atau tidak jujur. Terkait menyerang integaritas hakim
dikhawatirkan khalayak akan membungkam kritik terhadap hakim. Namun, perlu
dilakukan pembedaan antara kritik dengan menuduh. Dengan adanya pasal ini bukan
berarti menghilangkan kritik dari masyarakat terhadap hakim, karena jika kita gunaan
penafsiran sistematis status quo saat ini dapat dibandingkan dengan ketentuan pasal 310
ayat (3) bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.” Jika
didasarkan pada ketentuan pasal tersebut maka sah-sah saja untuk mengkritik hakim yang
menjatuhkan putusan apabila berdasarkan bukti yang ada memang nyata-nyata bertindak
memihak.
Pada ayat selanjutnya bisa dikatakan bermasalah dimana harus ada izin pengadilan
untuk merekam, mempublikasikan, dan memperbolehkan dipublikasikan proses
persidangan. Dimana dengan adannya pasal ini dimungkinkan monopoli perizinan oleh
pengadilan dimana untuk kasus-kasus tertentu yang sebenarnya terbuka untuk umum.
namun yang perlu diilhami pula praktek siaran langsung media televisi yang menemukan
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

bahwa praktik courtroom television yang diartikan sebagai kegiatan yang menyiarkan baik secara
langsung maupun ulang terhadap suatu kasus banyak menyudutkan pihak tersangka, hal ini
tentunya melanggar asas presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah. Praktek
courtroom television dikhawatirkan akan mengarah kepada perbuatan trial by the press yang
berpotensi menyebabkan contempt of court. 16 Padahal jika ditinjau lebih komprehensif bahwa
media-media televisi tentunya telah memiliki izin untuk melakukan kegiatannya, namun potensi
itu tetap saja ada apalagi yang tidak berizin yang bisa saja berpotensi terjadinya tindakan-tindakan
penyebaran berita dengan framing berlebihan terkait jalannya persidangan yang tentunya akan
menimbulkan contempt of court .

Penghinaan Presiden
RUU KUHP pasal 218 dan 219 kembali merumuskan ketentuan mengenai penghinaan
presiden, dimana disebutkan,
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau
gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil
Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana

16Kamri Ahmad dan Hardianto Djanggih, 2017, Batasan Penerapan Asas Persidangan Terbuka untuk Umum
dalam Siaran Persidangan Pidana oleh Media, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol.24.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.

Hal tersebut menjadi kontroversial dikarenakan pada KUHP hasil konkordasi Wetboek van
Strafrecht Belanda terdapat pasal penghinaan presiden dan telah diputus inkonstitusional
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006. Lebih lanjut, pada
putusan MK tersebut dalam pertimbangan hukum Mahkamah berpendapat bahwa sudah
tidak relevan jika KUHP memuat pasal terkait penghinaan presiden. Begitupula dengan
upaya pembaharuan KUHPidana sudah selayaknya tidak memuat lagi pasal yang mirip atau
serupa. Berkenaan dengan perumusan pasal serupa. Maka perlu digaris bawahi bahwa
dalam RUU KUHP bahwa perumusan delik pada pasal 218 dan 219 merupakan delik aduan.
Hal tersebut terlihat jelas pada ketentuan pasal 220. Berbeda dengan perumusan pada pasal
136, 136 bis., dan 137 yang merupakan delik biasa.
Dilihat dari perspektif jenis delik. Maka menjadi jelas bahwa delik penghinaan
presiden pada RUU KUHP berbeda dengan delik penghinaan presiden yang sudah dibatalkan
dengan putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. Diluar permasalahan formiil tersebut. Perlu
diingat juga selain presiden, terdapat pasal penghinaan kepada kepala negara tetangga.
Maka mendasarkan pendapat pada pakar hukum pidana FH UGM Prof. Markus. Beliau
beranggapan bahwa menjadi ganjil ketika terdapat pasal penghinaan terhadap kepala
negara tetangga tetapi tidak terdapat pasal penghinaan pada kepala negara sendiri yang
mana tidak dapat dipungkiri merupakan simbol dari negara.
Berkenaan dengan permasalah kriminalisasi saat mengkritik presiden. Pasal 218 ayat
(2) secara jelas menyebutkan bahwa tidak merupakan penghinaan apabila untuk
kepentingan umum. Menjadi jelas bahwa dalam hal mengkritik presiden tentunya tidak
dapat dikatakan sebagai penghinaan. Perlu diperhatikan lebih lanjut permasalahan
mengkritik. Terdapat perbedaan antara mengkritik dan menghina. Menghina dan
mengkritik merupakan suatu hal yang berbeda. Dimana dalam mengkritik kita tetap harus
melihat norma kesusilaan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Sedangkan dalam
penghinaan dapat beberapa norma dan kesusilaan yang telah ditabrak.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Aborsi
Salah satu permasalahan dalam RKUHP adalah delik mengenai pengguguran
kandungan.Dalam membahas pasal mengenai pengguran kandungan, kita tidak dapat
memisahkan aspek ‘pro life’ dan ‘pro choice’. Pro life meyakini bahwa pemerintah
mempunyai kewenangan untuk melindungi kehidupan, dimana aborsi, euthanasia dan
hukuman mati dilarang. Sementara, pro choice meyakini bahwa setiap orang memiliki
kebebasan tanpa batas mengenai segala hal tentang reproduksi mereka sesuai batasan yang
berlaku. Konflik yang terjadi antara pro life dan pro choice, dimana pro life berpendapat
bahwa meskipun janin adalah sesuatu yang tidak berdaya namun adalah sesuatu yang sakral
dan harus dilindungi oleh pemerintah. Sementara pro choice menyatakan bahwa
pemerintah tidak mempunyai hak untuk menghalangi perempuan untuk menggugurkan
kandungannya.
Delik pengguguran kandungan dalam RKUHP sebenarnya mempunyai pandangan
yang pro-choice. Implementasinya sudah terlihat dalam rumusan pasal 470 KUHP dimana
disebutkan,
(1) Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun.
Dalam pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa Indonesia menganut prinsip pro life
dimana ada usaha melindungi kandungan oleh negara. Namun, Indonesia tidak sepenuhnya
menganut pro life, terbukti dengan adanya pasal 472 ayat 3 dimana disebutkan,
(3) Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan
medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak dipidana.
Pasal tersebut menunjukkan bagaimana pengecualian dari pro life yang memperbolehkan
pengguguran untuk penyelamatan kedaruratan medis. Sebenarnya hal ini juga sudah
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

dicerminkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 75 ayat 2 dimana
aborsi diperbolehkan untuk dilakukan karena alasan medis. Sehingga sebenarnya pasal ini
tidak bermasalah secara normatif,

Kontrasepsi
Pelarangan pemberian informasi mengenai kontrasepsi menjadi permasalahan yang
kompleks karena permasalahan ini menimbulkan banyak persepsi terhadap penerapan
pembatasan pemberian informasi mengenai alat kontrasepsi tersebut dalam Pasal 414
RKUHP disebutkan,
"Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan,
menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah
kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I”.
Pasal ini dianggap mempermudah anak-anak yang masih di bawah umur untuk
mengetahui mengenai seks bebas dan dengan mudah memberitahukan tentang akses
terhadap alat kontrasepsi.17 Namun, penjelasan pasal yang kurang jelas pengaturannya
justru bukan melindungi anak-anak dari seks bebas karena minimnya pemahaman akan alat
pencegahan kehamilan dan pengetahuan mengenai akses alat kontrasepsi justru
menjerumuskan anak-anak di bawah umur untuk mencari-cari informasi yang salah dari
media yang tidak kredibel.
Penafsiran “setiap orang” dapat memunculkan celah dengan hanya ditafsirkan di
permukaan karena bisa timbul pemahaman yang justru berpotensi memenjara orang-orang
yang memiliki tujuan memberikan informasi terkait kesehatan reproduksi yang dianggap
masih tabu. Hal ini dapat merujuk kepada segala elemen masyarakat termasuk kepada
orang tua dan pegawai kesehatan yang memiliki kewenangan untuk menyebarkan informasi
tentang alat pencegah kehamilan berbasis kesehatan reproduksi. Orang tua yang sebenarnya
dapat menjadi sumber informasi mengenai alat kontrasepsi tersebut karena orang tua
sebagai unit terdekat informasi. Secara terang-terangan dapat menjurus kepada pemberian

17Dylan Aprialdo Rachman, “Penjelasan Menkumham soal Pasal Tunjukkan Kontrasepsi ke Anak di RKUHP”
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/20/19310641/penjelasan-menkumham-soal-pasal-tunjukkan-
alat-kontrasepsi-ke-anak-di-rkuhp?page=all (diakses pada tanggal 23 September 2019)
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

informasi yang diberikan dalam forum terbuka untuk umum atau dapat pula ditafsirkan
termasuk kampanye mengenai kesehatan reproduksi melalui media yang disebarkan
kepada khalayak ramai.
Bila pengaturan alat kontrasepsi dalam RUU KUHP dengan tidak jelas dapat
diberlakukan saat ini maka hal ini bertentangan dengan peraturan yang lex specialis yaitu
Undang-Undang Kesehatan. Pada salah satu pasalnya lebih tepatnya Pasal 73 UU No 36
Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan
penjaminan terhadap ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga
berencana.18 Sehingga, tampaklah jelas pemerintah harus memberikan pemahaman
termasuk kesehatan reproduksi, alat pencegahan kehamilan masuk ke dalam pembelajaran
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Berdasarkan pendapat dari Prof Marcus Priyo
Gunarto, bahwa dalam RKUHP telah diatur jika menunjukkan alat kontrasepsi di depan
umum dapat dipidana bahkan pada dasarnya dalam KUHP positif sudah diatur dan tanpa
pengecualian.19 Namun, dalam RKUHP pemberian informasi ini dikecualikan bagi petugas
KB atau yang memilik tujuan untuk sosialisai. Dapat ditilik berdasarkan pemahaman
melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif20 dimana bila dalam konteks tersebut
dipahami dalam kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh petugas yang berwenang seperti
petugas KB dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai alat kontrasepsi yang
terbatas lingkupnya.
Keterbatasan terhadap akses informasi mengenai alat kontrasepsi melalui
penyaluran informasinya diperbolehkan bila dilakukan oleh petugas KB yang dinilai sebagai
pihak berwenang masih menjadi polemik. Penyaluran informasi tidak dapat dibatasi hanya
dengan sosialisasi oleh petugas KB karena pemahaman mengenai permasalahan ini harus
dilakukan secara meluas yang manfaatnya menjangkau masyarakat, terlebih bagi pihak

18 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063)
19 Riset oleh Departemen Kajian Strategis dan Kebijakan Dewan Mahasiswa Justicia tanggal 23 September

2019
20 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, Bandung: Alumni, 2012, hlm. 23.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

yang belum cukup teredukasi. Bila hanya beberapa pihak yang memberikan edukasi maka
hal ini berbanding terbalik dengan kemajuan teknologi yang lebih mudah diakses oleh
masyarakat. Informasi hanya melalui sosialisasi biasanya hanya mengarah kepada pihak
yang justru lebih dahulu memahami mengenai konsep-konsep dasar mengenai alat
kontrasepsi tetapi beberapa pihak yang tidak memiliki gambaran apapun tidak dapat
mengerti bila dilakukan dengan sosialisasi, justru dengan kampanye-kampanye ringan dan
pemahaman dari pihak terdekat justru yang dapat membangun persepsi tentang alat
kontrasepsi sebagai pendidikan seksual.

Gelandangan
Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan,
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”
Jadi, orang yang bergelandang di jalan atau di tempat umum yang mengganggu
ketertiban umum tersebut tidak mendapati hak yang dijamin di UUD 1945 untuk sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan belum tentu pula mendapatkan lingkungan yang baik.
Oleh karena dengan tidak memiliki tempat tinggal yang aman, atau privasi apa pun, tuna
wisma banyak lebih rentan terhadap kekerasan, ancaman dan pelecehan. Negara disini wajib
untuk memelihara mereka berdasarkan Pasal 34 UUD 1945 dimana disebutkan,
“Fakir Miskin dan anak-naak terlantar dipelihara oleh negara.”
Pengertian orang yang bergelandang sendiri tidak dimuat secara jelas di
perjanjian internasional manapun. Akan tetapi, PBB sendiri mengartikan orang yang
bergelandang atau “homeless” sebagai seorang tanpa tempat berlindung yang akan jatuh
dalam lingkup tempat tinggal. Seorang yang membawa sedikit barang milik mereka mereka,
tidur di jalanan, di ambang pintu atau di dermaga, atau di tempat lain ruang, secara kurang
lebih acak.21

21Department of Economic dan Social Affairs Statisctic Division, Principles and Recommendations for
Population and Housing Censuses, United Nations publication, Sales No. 07.XVII.8 P, para 1.328.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Melihat Pasal di RKUHP mengenai Penggelandangan yang tercetus di Pasal 432


dimana disebutkan,
“Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu
ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.”
Pidana denda paling banyak untuk kategoti I dijelaskan Pasal 79 ayat (1) adalah Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah). Menurut Pasal 85 ayat (2) huruf g, hakim harus melihat
kemampuannya terlebih dahulu, apabila orang yang bergelandang di tempat umum yang
mengganggu ketertiban umum tidak dapat membayar denda tersebut, hakim dapat
menjatuhkan pidana kerja sosial bagi orang yang bergelandang tersebut.
Menurut Prof. Marcus Priyo Gunarto, orang yang bergelandang atau gelandangan
pada dasarnya menjadi kewajiban Negara yang sesuai dengan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945
tersebut. Sanksi yang diberikan oleh Negara kepada orang yang bergelandang tersebut tetap
dilaksanakan sesuai dengan RKUHP karena seseorang orang yang menggelandang dapat
singgah di trotoar jalan yang merupakan jalanan umum bagi masyarakat, tidur di bawah
kolong jembatan, dan tempat-tempat privat milik orang lain. Hal tersebut dapat
menimbulkan gangguan terhadap kepentingan umum. Akan tetapi, selain sanksi-sanksi yang
diberikan oleh Negara kepada orang yang bergelandang tersebut tidak menutup Negara
untuk tidak “memberdayakan” gelandangan tersebut, karena pada dasarnya hal tersebut
merupakan kewajiban negara.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana ketentuan tersebut dapat memproteksi
orang yang memang benar-benar secara terpaksa “menggelandang”. Kemudian dapatkah hal
tersebut dalam kriminologi disebut sebagai suatu kejahatan. Padahal sebenarnya orang-
orang yang terpaksa menggelandang merupakan salah satu bentuk kelalain negara dalam
menerapkan Pasal 34 UUD 1945.

Korupsi
Salah satu hal yang dipermasalahkan oleh khalayak umum terhadap RKUHP adalah
mengenai pasal tindak pidana korupsi. Hal ini terjadi karena batasan minimum khusus bagi
pemidanaan lebih kecil daripada yang tercantum dalam UU Nomr 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidanak Korupsi; dalam UU terutama pada Pasal 2 disebutkan,
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dapat dilihat bahwa minimum khusus bagi penjatuhan pidana penjara paling singkat 4
tahun, sedangkan pada pidana denda paling sedikit 200 juta rupiah.
RKUHP mengubah rumusan Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
terutama pada bagian minimum khusus penjatuhan pidana. Pasal dalam RKUHP yang
menggantikan Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut
adalah Pasal 604 RKUHP, dimana disebutkan sebagai berikut;
“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.”
Dapat dilihat bahwa terjadi pengurangan minimum khusus bagi penjatuhan pidana penjara
dan pidana denda. Pada Pasal 604 RKHUP minimum khusus penjatuhan pidana penjara
berkurang menjadi 2 tahun, sedangkan bagi pidana denda berkurang menjadi Kategori II
yaitu 10 juta rupiah. Jika dilihat secara singkat maka sebenarnya RKUHP terlihat tidak
menjalan spirit anti-korupsi dalam perumusannya.
Tetapi hal yang perlu dipahami, kesalahan perumusan sebenarnya terjadi dalam
Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kesalahan ini disebabkan oleh Pasal 2 UU
a quo yang tidak sesuai dengan spirit dari KUHP dimana seharusnya aparat atau pegawai
pemerintahan seharusnya dihukum lebih berat daripada masyarakat pada umunya yang
melakukan kejahatan. Hal ini tercantum dalam Pasal 52 KUHP yang memberikan
pemberatan bagi pejbata yang melakukan tinda pidana dan menyelewengkan
kewenangannya, dimana disebutkan sebagai berikut;
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

“Bila seorang pejabat, karena melakukan tindak pidana,melanggar suatu


kewajiban khusus dari jabtannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena,
jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiga.”
Sebagai perbandingan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur
ketentuan pidana bagi pejabat mempunyai minimum khusus yang jauh lebih rendah
daripada Pasal 2 UU a quo, dimana disebutkan sebagai berikut;
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
RKUHP sebenarnya telah menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
memperbaiki Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Pasal 3 UU
Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebenarnya diganti dengan Pasal 605 RKUHP, dimana
disebutkan sebagai berikut;
“Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu Korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.”
Minimum khusus terutama pada pidana penjara pada Pasal 605 RKUHP mengalami
pemberatan dimana menjadi minimum 2 tahun dari minimum 1 tahun. Selain itu, maksimum
pemidanaan denda pada Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi mengalami
peningkatan pada Pasal 604 dan 605 RKUHP. Dimana maksimum pidana denda menjadi
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Kategori VI yaitu 5 miliar rupiah yang sebelumnya hanya 1 miliar pada Pasal 2 dan 3 UU
Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi.
Tetapi walaupun begitu rumusan dan delik korupsi dalam RKUHP masih belum
sempurna. Hal ini disebabkan masih ada beberapa jenis kejahatan korupsi yang masih belum
masuk dalam RKUHP. Jenis-jenis kejahatan tersebut sebenarnya sudah diakui oleh negara
melalui ratifikasi dari United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Sampai
sekarang, dalam undang-undang manapun, ada 2 kejatahan yang masih belum dirumuskan
dalam delik pidana yaitu Illicit enrichment (Article 20 UNCAC) dan bribery in the private
sector (Article 21 UNCAC). Illicit enrichment secara singkat merupakan suatu kejahatan
apabila suatu pejabat publik tiba-tiba memiliki peningkatan aset dan tidak dapat
menjelaskan hubungannya dengan pemasukannya yang legal, dimana secara jelas dapat
dilihat di cuplikan Article 20 UNCAC dibawah ini;
Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State
Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary
to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment,
that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot
reasonably explain in relation to his or her lawful income.
Selain itu bribery in the private sebenarnya merupakan suap-menyuap di ranah swasta,
dimana seseorang memberikan tawaran atau menerima tawaran untuk menyalahgunakan
keweangannya di ranah swasta. Kejatah ini secara jelas dapat dilihat di cuplikan Article 21
UNCAC dibawah ini;
Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as
may be necessary to establish as criminal offences, when committed
intentionally in the course of economic, financial or commercial activities:

a. The promise, offering or giving, directly or indirectly, of an undue


advantage to any person who directs or works, in any capacity, for a
private sector entity, for the person himself or herself or for another
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain
from acting;
b. The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of an undue
advantage by any person who directs or works, in any capacity, for a
private sector entity, for the person himself or herself or for another
person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain
from acting.
Indonesia seharusnya segera untuk menjadikan dua kejahatan tersebut
menjadi delik pidana. Hal ini karena Indonesia telah terikat secara hukum oleh
UNCAC sejak tahun 2006, yaitu tahun Indonesia mendepositkan ratifikasi tersebut.
Tetapi setelah 13 tahun berlalu bahkan dalam penyusunan RKUHP Indonesia masih
belum patuh denan UNCAC untuk merumuskan 2 jenis kejahatan tersebut sebgai
delik. Padahal selain kepatuhan yang harus dilihat adalah aspek lain yaitu keadilan
dan pemberantasan hukum. Apabila 2 jenis kejahatan tersebut telah dirumuskan
sebagai delik, maka hal ini akan membawa rasa keadilan bagi masyarakat. Selain hal
tersebut dapat menjadi sarana baru bagi penegakkan korupsi untuk Indonesia yang
lebih berintegritas.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Sikap
Mempertimbangkan pada kajian diatas, maka Dema Justicia FH UGM mengambil
sikap sebagai berikut:
1. Menolak sebagian rumusan pasal dalam RKUHP, terutama pada Pasal 432
RKUHP, dan Pasal 414 RKUHP;
2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk mematuhi UNCAC, dan merumuskan
jenis-jenis kejahatan di ranah korupsi kedalam delik pidana;
3. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera memperbaiki RKUHP.
4. Menyerukan kepada khlayak umum untuk senantiasa tidak terprovokasi
dengan narasi-narasi yang salah, dan tetap untuk mengembangkan dialetika
tentang RKUHP.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Daftar Pustaka
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Catatan dan Rekomendasi Aliansi Nasional Reformasi
KUHP terhadap Rancangan KUHP, versi 28 Mei 2018.
Aries, lbert, Ancaman Living Law dalam Hukum Pidana,
https://mediaindonesia.com/read/detail/257426-ancaman-living-law-dalam-ruu-
hukum-pidana, mediaindonesia.com. diakses pada 23 September 2019.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Naskah Akademik, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Jakarta.
Bramasta, Dandy Bayu, ‘Trending #GejayanMemanggil, Ini Sejarah Pergerakan Mahasiswa
di Yogyakarta,
https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/22/173504265/trending-
gejayanmemanggil-ini-sejarah-pergerakan-mahasiswa-di-yogyakarta?page=1 ,
Kompas, diakses pada 23 September 2019.
Department of Economic dan Social Affairs Statisctic Division, Principles and
Recommendations for Population and Housing Censuses, United Nations publication,
Sales No. 07.XVII.8 P.
Hadi, andi, “Polisi Usut Perusakan PN Bantul”, https://news.detik.com/berita-jawa-
tengah/d-4088604/polisi-usut-perusakan-di-pn-bantul, detikNews, diakses tanggal 23
September 2019.
Hiariej, Eddy OS, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/20/19310641/penjelasan-menkumham-
soal-pasal-tunjukkan-alat-kontrasepsi-ke-anak-di-rkuhp?page=all, Kompas.com,
diakses pada tanggal 23 September 2019.
Kamri Ahmad dan Hardianto Djanggih, 2017, Batasan Penerapan Asas Persidangan Terbuka
untuk Umum dalam Siaran Persidangan Pidana oleh Media, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum Vol.24.
RKUHP Pembaharuan dan Pembawa Permasalahan
dalam Hukum Pidana
Kabinet Gelora Pembebasan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


MD , Mahfud, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta.
MR, Yandi, “Kantor Pengadilan dan Kejaksaan NTT Dibakar Massa”,
https://nasional.tempo.co/read/30152/kantor-pengadilan-dan-kejaksaan-ntt-
dibakar-massa, Tempo.co, diakses tanggal 23 September 2019.
Mujib, Ilyas Listianto, Ratusan Mahasiswa UI Ikut Aksi Tolak RKUHP dan Pelemahan KPK,
https://www.idntimes.com/news/indonesia/ilyas-listianto-mujib-1/ratusan-
mahasiswa-ui-ikut-aksi-tolak-rkuhp-dan-pelemahan-kpk/full , IDN Times, diakses
pada 23 September 2019.
Mulyadi, Lilik, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, Bandung: Alumni, 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006
R. Baskoro, Lestantya, Setengah Abad Lebih Melahirkan RKUHP,
https://hukum.tempo.co/read/1057807/setengah-abad-lebih-melahirkan-rkuhp ,
tempo.com, diakses pada 23 September 2019.
Rachman, Dylan Aprialdo, “Penjelasan Menkumham soal Pasal Tunjukkan Kontrasepsi ke
Anak di RKUHP”
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi 15 Septemebr 2019, dapat diakses
di https://drive.google.com/open?id=15btk2nENNQ0tSVOY8-f6YtzcBdgIyA-3
Riset oleh Departemen Kajian Strategis dan Kebijakan Dewan Mahasiswa Justicia tanggal
23 September 2019
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
United Nations Convention Againts Corruption
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai