Anda di halaman 1dari 266

J E JA K P L A N T E R S

di
Tanah
DELIDinamika Perkebunan
Sumatra Timur
1863–1996
J E JA K P L A N T E R S
di
Tanah
DELIDinamika Perkebunan
Sumatra Timur
1863–1996

Dr. Mohammad Abdul Ghani

Penerbit IPB Press


IPB Science Techno Park,
Kota Bogor - Indonesia

C.3/05.2019
Judul Buku:
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan di Sumatra Timur
1863–1996
Penulis:
Dr. Mohammad Abdul Ghani
Editor:
Helda Astika Siregar
Desain Sampul & Penata Isi:
Ardhya Pratama
Sumber Ilustrasi Sampul:
Tropen Museum
Korektor:
Nopionna Dwi Andari
Dini Ayu Lestari
Jumlah Halaman:
242 + 24 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, November 2016
Cetakan 2, Mei 2017
Cetakan 3, Mei 2019

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
IPB Science Techno Park
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-979-493-998-7

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh


isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
UCAPAN TERIMA KASIH

Pengalaman bekerja lebih dari tiga dasa warsa di perkebunan Sumatera Utara
memperkaya khazanah pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana
korporasi telah dikelola dengan landasan profesionalitas dan dedikasi para
pelakunya. Kedisiplinan yang tinggi, kecintaan terhadap profesi, dan jiwa korsa
yang kuat merupakan unsur-unsur kekuatan kultur perkebunan. Peran para
pengelola yang sering juga disebut sebagai planters, sejak diperkenalkannya
perkebunan berbasis komersial pada tahun 1863, memiliki kontribusi besar
dalam pembentukan nilai-nilai tersebut.
Telah banyak buku yang ditulis para sejarawan namun menurut saya mereka
cenderung menggunakan sudut pandang yang stereotip. Hal itu bisa dimaklumi
karena mereka bukan pelaku sehingga tidak bisa menangkap nuansa yang
terjadi dalam dinamika pengelolaan perkebunan. Lingkungan kerja di daerah
terpencil (remote area), budaya patronase dan adanya irisan kepentingan sosial
ekonomi dengan masyarakat sekitar menjadi variabel yang memengaruhi
terbentuknya karakter spesifik budaya perkebunan. Kegundahan terhadap
munculnya stigmatisasi, bias opini, mitos, dan stereotip yang keliru tentang
dunia perkebunan menjadikan dorongan untuk menuliskan fakta-fakta yang
selama ini belum terungkap.
Kehadiran buku ini penting untuk memberikan informasi berimbang tentang
bagaimana perkebunan dikelola dan dampak positifnya terhadap kemajuan
sosial-ekonomi masyarakat. Sektor perkebunan telah berperan sebagai
penghasil devisa, pencipta ratusan ribu lapangan kerja, berkontribusi terhadap
pengembangan wilayah dan pembangunan peradaban. Faktanya, kemajuan
berbagai aspek kehidupan di Provinsi Sumatera Utara saat ini sedikit banyak
merupakan berkah dari pembangunan perkebunan satu setengah abad
lampau.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Dengan selesainya naskah buku ini, penulis menyampaikan terima kasih atas
bantuan banyak pihak yang tidak bisa dikemukakan satu persatu. Terutama
testimoni para mantan administrateur dan staf senior perkebunan sebagai
pelaku sejarah yang ikut serta membesarkan perkebunan sebelum nasionalisasi
dan sesudahnya. Mereka telah memberikan perspektif baru diluar justified
yang selama ini terbangun di kalangan mainstream.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Sudjai Kartasasmita, pakar dan pelaku
sejarah yang telah lebih tujuh dasawarsa berkiprah pada industri perkebunan
di dalam dan luar negeri hingga kini. Beliau telah memberikan informasi yang
belum pernah diungkap selama ini tentang bagaimana perkebunan dikelola
oleh generasi terdahulu. Penulis merasa berbesar hati atas kesediaan beliau
memberikan kata pengantar buku ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada istriku Risky yang sering terganggu
tidurnya di tengah malam karena aktivitas penulisan buku ini.
Semoga kiranya bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Mohammad Abdul Ghani

vi
KATA PENGANTAR

Saya benar-benar mengapresiasi hasil karya Dr Mohamad Abdul Ghani


berupa tulisan tentang sejarah perkebunan yang dituangkan dalam bukunya
yang berjudul: “Jejak Planters di Tanah Deli”. Jarang sekali ada seorang
planter sekaliber dia, di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang top
executive dari salah satu Perusahaan Perkebunan Negara terinspirasi untuk
menulis buku sejarah perkebunan seperti ini.
Essensi dari pesan yang disampaikan penulis dalam bukunya ini tidak beda
dengan apa yang ditetapkan sebagai misi dari Yayasan Museum Perkebunan
Indonesia yang saya pimpin, yang sekarang tengah membangun Museum
Perkebunan Indonesia di 2 lokasi di Medan; yang pertama di kompleks PPKS
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit), Jl. Brigjen Katamso no.51 dan yang kedua
di gedung BKS-PPS, Jl. Pemuda no.2 yang dalam bentuk moto bunyinya:
“Connecting the Past to the Future”.
Moto ini merupakan pesan kepada generasi muda agar jangan sekali-kali
melupakan sejarah, persis seperti yang dinyatakan oleh Bung Karno dengan
istilah “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Pesan yang sama
kepada generasi muda juga disampaikan penulis melalui buku ini.
Sejarah perkebunan Sumatera Utara patut ditulis dengan tinta emas, diawali
dengan mimpi besar dari orang yang bernama Said Abdullah bin Umar Bilfagih,
adik ipar Sultan Deli Makmun Ar Rasyid, seorang keturunan Arab yang
berasal dari Surabaya. Mimpinya ialah bahwa Tanah Deli bisa berkembang
dan rakyatnya akan menjadi sejahtera, apabila Tembakau Deli dibudidayakan
dan kemudian hasilnya diekspor.
Dengan persetujuan Sultan Deli, ia pada tahun 1860 mengadakan road-show,
pertama ke Batavia kemudian ke Surabaya, di mana ia berhasil menjaring
investor yang bersedia menanamkan modalnya di Tanah Deli. Dengan kapal
Yosephine ia pulang kembali ke Tanah Deli didampingi oleh Jacobus Nienhuys,
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

administratur kebun tembakau di Lumajang. Apa yang terjadi sesudah itu


sudah menjadi catatan sejarah dan apa yang dimimpikan oleh Said Abdullah
kemudian menjadi suatu kenyataan yang mencengangkan dunia.
Dalam perjalanan waktu Sumatera Utara menjadi surganya para investor
apalagi setelah ternyata bahwa lahan dan ekosistemnya selain cocok untuk
Tembakau Deli juga sangat baik untuk komoditi lain seperti karet, kelapa
sawit, teh, agave, abaca, dan lain-lain.
Pengalaman saya bersentuhan dengan komunitas perkebunan di Sumatera
Utara sesungguhnya terjadi secara tidak sengaja. Pada awal tahun 1955 saya
menjalani cuti panjang selama 4 bulan dan berwisata ke Medan dan Danau
Toba dengan biaya perjalanan dan hotel yang ditanggung oleh Tiedeman &
van Kerchem. Saya benar-benar terpesona oleh kota Medan yang sangat rapih
dan modern sehingga tidak mengherankan kalau waktu itu Medan tercatat
sebagai salah satu kota terindah di Asia Tenggara.
Kemudian saya langsung memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai
asisten kepala di Kebun Mira-Mare milik Tiedeman & van Kerchem di Garut
Selatan dan pindah ke Sumatera Utara setelah mendapat tawaran dari Bank
Industri Negara untuk menjabat sebagai wakil administratur Kebun Teh
Marjandi, Kabupaten Simalungun, yang dulunya milik Harrisons & Crosfield
dan kemudian diakuisisi oleh Bank Industri Negara pada tahun 1953.
Banyak tantangan yang harus saya hadapi, terutama setelah pecah
pemberontakan PRRI pada tahun 1957 ketika saya baru menjabat sebagai
administratur. Ketika itu keamanan sangat rawan dan perkebunan negara
sering menjadi sasaran serangan pemberontak. Klimaksnya terjadi ketika pada
pertengahan tahun 1958 kolega saya Mudjito, administratur kebun teh Bah
Butong tewas tertembak oleh gerombolan PRRI yang menyergapnya dalam
perjalanan dari Bah Butong ke Pematang Siantar.
Hal yang sama hampir menimpa saya ketika pada 28 September 1958
malam saya nyaris dieksekusi oleh pemberontak. Pada detik-detik terakhir
sebelum pelatuk senjata api dikokang, saya berteriak bahwa saya adalah adik
Syafruddin Prawiranegara. Seketika itu juga sang eksekutor mengurungkan
niatnya. Beberapa tahun kemudian ketika bertemu dengan Bapak Syafruddin
Prawiranegara (Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia,
PDRI dan merangkap pimpinan PRRI serta Pahlawan Nasional) dalam satu

viii
KATA PENGANTAR

pertemuan di Jakarta, saya sampaikan terima kasih disertai permohonan maaf


karena telah mengaku sebagai adiknya demi untuk menyelamatkan diri saya.
Beliau kelihatan terharu karena ternyata namanya bisa menyelamatkan nyawa
orang. Sambil merangkul saya dan meneteskan air mata beliau mengatakan:
“Ya Allah Ya Robbi, terima kasih nama saya telah menyelamatkan nyawa Pak
Soedjai”.
Kalau kita menengok ke belakang harus diakui bahwa dekade 1955–1965
adalah periode paling berat bagi dunia perkebunan, khususnya di Sumatera
Utara, sebagai dampak dari banyaknya pergolakan yang terjadi baik di tingkat
nasional maupun regional. Di Simalungun ada pemberontakan organisasi
pemuda pada tahun 1956 yang tidak pernah diberitakan dalam media. Tidak
lama kemudian, disusul dengan pemberontakan PRRI di bawah pimpinan
Kolonel Simbolon dan penggempuran PRRI oleh TNI di bawah pimpinan
Kolonel Umar Wirahadikusumah. Periode ketidakpastian tersebut semakin
meruyak dengan adanya aksi TRIKORA, DWIKORA, pengambil alihan
perusahaan Belanda dan asing. Dampak yang paling parah adalah adanya
gejolak sosial yang ditimbulkan oleh G30S. Semuanya itu harus dihadapi oleh
para pelaku perkebunan di Sumatera Utara.
Ternyata dalam era sesulit itupun pimpinan-pimpinan kebun yang masih
relatif muda dan tidak punya pengalaman sebagai pimpinan perusahaan,
mampu menghadapi tantangan-tantangan itu sehingga di luar dugaan
banyak orang, termasuk pengusaha-pengusaha Belanda, industri perkebunan
dapat diselamatkan. Mereka itu layak disebut sebagai pahlawan-pahlawan
perkebunan dalam arti sesungguhnya karena sekalipun mereka masih belum
dibekali pengalaman yang memadai, namun mereka mampu menunjukkan
kapasitas leadership-nya. Mereka berani mengambil keputusan-keputusan
yang menurut ukuran sekarang bisa dianggap sebagai dilematis demi untuk
menyelamatkan perkebunan. Mereka pula yang pada dekade 1970–1980 an
mengembangkan perkebunan khususnya kelapa sawit di berbagai pelosok
di Indonesia dengan bekal kemampuan yang mereka peroleh dalam dekade
sebelumnya. Wajah industri perkebunan secara drastis lalu berubah.
Kelapa sawit bukan saja dibudidayakan di Sumatera Utara, namun juga
ke seluruh provinsi di Sumatera, kemudian dikembangkan di Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Kelapa sawit tidak saja diusahakan oleh perusahaan
besar tetapi juga oleh rakyat baik yang berupa plasma maupun kebun swadaya

ix
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

dengan lokasi yang tersebar di seluruh Nusantara berkat adanya bimbingan


perusahaan perkebunan milik negara. Sayangnya, peran perusahaan
perkebunan negara sekarang sudah banyak berkurang karena industri kelapa
sawit sudah dikuasai oleh swasta dan rakyat.
Sebagai konsekuensinya orang, apalagi yang tergolong generasi muda, tidak
mengetahui siapa mereka yang sesungguhnya berjasa itu: Pang Suparto,
Muluk Lubis, Radjamin Lubis, Fred Kaligis, Mawardi Lubis, Djamhur
Gandapura, Soedjai Kartasasmita, Sumadi Wiradikarta, Sugiono Hadi,
Tengku Burhanudin, Ketaren, Tatang Wijaya, Lintong Siahaan, Sulakso,
A. Nukman Halim Nasution, dan Purba Sidadolog adalah nama-nama yang
patut dikenang terus oleh generasi muda.
Semoga buku ini memberikan inspirasi kepada pembacanya.


Soedjai Kartasasmita

x
DAFTAR ISI

Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... v
KATA PENGANTAR............................................................................... vii
DAFTAR ISI.............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL.......................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR................................................................................xvii

I. PENDAHULUAN............................................................................. 1

II. PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN


DI INDONESIA................................................................................ 7
1. Perdagangan Komoditi Sebelum Revolusi Industri......................... 8
2. Pengaruh Eropa terhadap Perdagangan Komoditi
di Sumatra Timur........................................................................ 10
3. Komoditisasi Perkebunan Pasca Revolusi Industri....................... 15
a. Gula...................................................................................... 16
b. Tembakau............................................................................. 20
c. Karet..................................................................................... 26
d. Kelapa Sawit.......................................................................... 29
e. Teh....................................................................................... 32

III. SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA..................... 35


1. Liberalisasi Sektor Perkebunan di Sumatra Timur....................... 36
2. Masa Penyusutan Industri Perkebunan........................................ 45
3. Pengelolaan Perkebunan Negara Pasca Nasionalisasi.................... 53
4. Pergolakan Pra dan Pasca G 30 S/PKI......................................... 58
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

IV. PERKEMBANGAN DEMOGRAFI SUMATRA TIMUR............... 61


1. Periode Sebelum Kolonisasi Perkebunan..................................... 62
2. Periode Korporasi Perkebunan..................................................... 62

V. TENAGA KERJA PERKEBUNAN.................................................. 65


1. Sumber Tenaga Kerja.................................................................. 71
2. Hubungan Ketenagakerjaan......................................................... 75

VI. KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN........................ 81


1. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Sumatra Timur.............. 81
2. Stratifikasi dan Interrelasi Komunitas Perkebunan...................... 90
a. Kultur Komunitas Perkebunan............................................. 91
b. Komunikasi Sosial Staf Perkebunan...................................... 91
c. Hubungan Lintas Hierarki.................................................... 93
d. Hubungan Kekerabatan Pekerja Perkebunan........................ 95
3. Hubungan Perkebunan dengan Masyarakat Sekitar................... 96
4. Tanggung Jawab Sosial Perkebunan............................................. 98

VII PERAN SUMATERA UTARA PADA PERKEBUNAN


NASIONAL...................................................................................... 99
1. Kiblat Perkebunan Nasional........................................................ 99
2. Perintis Pengembangan Perkebunan Rakyat.............................. 100
3. Pusat Riset Perkebunan............................................................. 101
4. Lembaga Pendukung (Supporting) Perkebunan.......................... 102

VIII INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN................. 105


1. Infrastruktur Logistik................................................................. 106
a. Kereta Api............................................................................ 106
b. Jalan Raya............................................................................ 112
c. Pelabuhan............................................................................ 113
2. Perumahan Pekerja.................................................................... 115
3. Rumah Sakit.............................................................................. 120
4. Sekolah...................................................................................... 123
5. Fasilitas Olah Raga dan Kesenian............................................... 126

xii
DAFTAR ISI

IX KORPORASI BESAR PERKEBUNAN


DI SUMATRA TIMUR................................................................. 129
1. Deli Maatschappij....................................................................... 130
2. Senembah Maatschappij.............................................................. 137
3. Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam (RCMA).................... 140
4. Harrisons & Crosfield Plc dan London Sumatra Plantation........... 143
5. Nederland Handels Maatschappij (NHM)................................... 145
6. Handels Vereeniging ‘Amsterdam’ (HVA).................................... 148
7. Uni Royal Sumatra Plantation (Uni Royal)................................. 150
8. Société Financière des Caoutchoucs (Socfin).................................. 151
9. Goodyear Rubber Company......................................................... 153

X BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU............................ 155


1. Budi Daya Tembakau................................................................ 155
2. Budi Daya Karet........................................................................ 165
3. Budi Daya Kelapa Sawit............................................................ 172
4. Budi Daya Teh.......................................................................... 183

XI KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN


DARI MASA KE MASA................................................................. 213
1. Diskursus Budaya Planters.............................................................. 214
2. Tradisi dan Kebiasaan Planters........................................................ 219
3. Erosi Budaya Planters...................................................................... 223
4. Revitalisasi dan Reaktualisasi Kultur Planters.................................. 228
5. Kepemimpinan Perkebunan............................................................ 231

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 235


PROFIL PENULIS................................................................................. 241

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.2 Ekspor Tembakau Jawa dan Luar Jawa 1870–1930........................... 22
3.1 Pertumbuhan Perkebunan Sumatra Timur 1864–1904..................... 46
4.1 Komposisi Pekerja Perkebunan Sumatra Timur 1884–1929............. 63
4.2 Komposisi Etnis Penduduk Sumatra Timur 1930 versus 1943.......... 63
5.1 Komposisi Etnis Pekerja Perkebunan Sumatra Timur 1884–1929..... 67
5.2 Komponen Ransum Catu Pekerja Perkebunan di Sumatra Timur...... 70
5.3 Tenaga Migran dari Jawa ke Sumatra Timur 1909–1940.................. 75
5.4 Komposisi Pekerja Cina dan Jawa di Perkebunan Sumatra Timur
1883–1930........................................................................................ 79
5.5 Komposisi Penduduk Sumatra Timur 1900–1915............................ 79
9.1 Arus Investasi di Sumatra Timur 1913–1929.................................. 129
9.2 Investasi Asing di Sumatra Timur 1913–1932................................. 130
9.3 Areal Konsesi Perkebunan Deli Maatschappij................................... 135
10.1 Perkembangan Luas Areal Teh Indonesia 1967–2015..................... 186
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Simbol Merek Dagang VOC.......................................................... 11
2.2 Penyerahan Hasil Bumi Program Tanam Paksa ke Pemerintah
Hindia Belanda............................................................................... 13
2.3 Sebaran Wilayah Pengusahaan Komoditi Perkebunan
Sumatra Timur 1864–1945............................................................ 16
2.4 Pabrik Gula di Jawa, (1900)........................................................... 17
2.5 Proses Panen/Tebang Tanaman Tebu, 1904................................... 18
2.6 Loko Pengangkut Tebu dari Lapangan ke Pabrik Gula...................19
2.7 Tanaman Tembakau Siap Panen di Kebun Bulu Cina, (1912).......21
2.8 Pekerjaan Menyeleksi Tembakau, (1910)....................................... 22
2.9 Fermentasi Tembakau di Kebun Sampali, (1890)................................. 23
2.10 Seleksi Mutu Tembaku Deli, (1894).............................................. 24
2.11 Rumah Administrateur Kebun Tembakau, (1870).......................... 25
2.12 Proses Pengepakan Tembakau, (1900) ........................................... 26
2.13 Hamparan Tanaman Karet, (1905)................................................ 26
2.14 Asisten Afdeling Mengontrol Tanaman Karet................................. 27
2.15 Trend Peningkatan Ekspor Karet Indonesia 1890–1914................28
2.16 Hamparan Tanaman Kelapa Sawit Muda, (1921)..........................29
2.17 Administrateur Menginspeksi Kebun Kelapa Sawit
pada Awal ke-20............................................................................. 31
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

2.18 Inti Sawit Siap Dikapalkan, (1936)................................................ 32


2.19 Tanaman Teh Tertua Sumatra Timur
di Kebun Nagahuta, (1911)............................................................33
2.20 Pabrik Teh Pagar Jawa Awal Abad ke-20........................................ 34
2.21 Pekerja Sortasi di Pabrik Teh Kebun Kasinder, (1920)...................35
3.1 Peta Sumatra Timur Abad ke-19.................................................... 37
3.2 Jacobus Nienhuys (1836–1928) Perintis Perkebunan
di Sumatra Timur........................................................................... 40
3.3 Pekerja Migran Cina di Perkebun Tembakau, (1870).....................41
3.4 Pekerja Migran India, (1880)......................................................... 42
3.5 Pembukaan Lahan Tembakau, (1875)............................................ 43
5.1 Pendaftaran Pekerja Migran Cina dari Straits Settlement, (1902 )....66
5.2 Pekerja Migran Jawa di Tanah Deli, 1911......................................68
5.3 Iklan Koran Mengabarkan Koeli Lari dari Perkebunan, (1899)....... 69
5.4 Bedeng untuk Pekerja Pria pada Awal Pembukaan Kebun..............72
5.5 Pekerja Migran Jawa di Perkebunan Deli, (1891)...........................73
5.6 Keluarga Administrateur Kebun Tembakau Tanjung Morawa,
(1939)............................................................................................ 76
6.1 Kompleks Istana Maimun Medan, (1891)...................................... 82
6.2 Pintu Gerbang Kawasan Perdagangan Kesawan Medan, (1923)......83
6.3 Tepian Sungai Deli Tempo Dulu................................................... 84
6.4 Medan Club, Tempat Berkumpul Komunitas Atas Perkebunan,
(1890)............................................................................................ 86
6.5 Hotel de Boer (Sekarang Dharma Deli) Medan, (1930)...................87
6.6 Satu Sudut Kota Kisaran, (1900).................................................... 87
6.7 Kawasan Pecinan KotaTebing Tinggi Awal Abad ke-20 .................88

xviii
DAFTAR GAMBAR

6.8 Pertokoan Cina Jalan Cipto, Pematang Siantar, (1899)..................88


6.9 Stasiun Timbang Langkat Binjai, (1920)....................................... 90
6.10 Struktur Organisasi Perkebunan Tempo Dulu................................ 94
8.1 Kereta Api Penumpang DSM, (1901)........................................... 107
8.2 Jalur Kereta Api DSM di Sumatra Timur..................................... 108
8.3 Lintasan Kereta Api DSM diantara Perkampungan Penduduk......110
8.4 Jalur Rel Kereta Api Stasiun Utama Merdeka, Medan, (1910)......111
8.5 Angkutan Barang di Stasiun Medan Era Maskapai DSM,
(1945)..........................................................................................111
8.6 Pengangkutan Tembakau dengan Gerobak................................... 113
8.7 Integrasi Kereta Api dengan Pelabuhan Belawan...........................114
8.8 Rumah Panggung Pekerja Migran Beratap Rumbia, (1905)..........115
8.9 Rumah Panggung Administrateur Kebun Karet Alur Jambu,
(1920)..........................................................................................116
8.10 Perumahan Pekerja Perkebunan.................................................... 117
8.11 Perumahan Afdeling Kebun di Balimbingan, (1921).....................118
8.12 Perumahan Bedeng Panjang di Kebun eks HVA di Simalungun, .
(2007)..........................................................................................119
8.13 Perumahan Staf Perkebunan......................................................... 119
8.14 Rumah Sakit Tembakau Deli, (1871)........................................... 121
8.15 Rumah Sakit Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa..........122
8.16 Rumah Sakit HVA Balimbingan di Simalungun, (1926).............123
8.17 Praktik Pertanian Siswa Sekolah Senembah Maatschappij,
Tanjung Morawa.......................................................................... 124
8.18 Praktik Membatik Siswa Putri Sekolah Senembah Maatschappij,
Gunung Rinteh............................................................................ 125
8.19 Siswa dan Guru Sekolah Internaat Voor Europese Kinderen, .
Pematang Siantar.......................................................................... 126

xix
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

8.20 Fasilitas Lapangan Tenis di Emplasemen Kebun............................127


9.1 Kantor AVROS (Sekarang PPKS) Medan..................................... 131
9.2 Kantor Deli Maatchappij Medan, (1910) (Sekarang Kantor
Gubernur Sumatera Utara)........................................................... 132
9.3 Peta Wilayah Perkebunan Deli Maatschappij................................. 134
9.4 Peta Areal Konsesi Senembah Maatschappij di Sumatra Timur......138
9.5 Suasana di Sekolah Anak Pekerja Senembah Maatschappij.............139
9.6 Pengangkutan Lateks dari Kebun RCMA, (1920).........................141
9.7 Pengolahan Lateks di Pabrik RCMA Tanah Radja, (1921)............142
9.8 Pabrik Kelapa Sawit RCMA Kebun Pulo Raja, Dibuka Tahun .
(1927).......................................................................................... 143
9.9 Kantor Harrisons & Crosfield di Medan, (1909) Sekarang Kantor
Lonsum......................................................................................... 144
9.10 Kantor NHM di Lapangan Merdeka Medan, (1929) Sekarang
Kantor Bank Mandiri................................................................... 146
9.11 Pabrik Teh NHM Kebun Bah Butong, (1930) ............................148
9.12 Kantor HVA Medan (1927), Sekarang Kantor
PTP Nusantara IV........................................................................ 149
9.13 Pembukaan Lahan Perkebunan Cinta Radja, (1875).................... 150
9.14 Pembibitan Kelapa Sawit Awal Abad ke-20.................................. 152
10.1 Pembukaan Areal Tembakau di Kebun “Two River”, (1885)........156
10.2 Bedengan Pesemaian Tembakau, (1926)..................................... 157
10.3 Pemeliharaan Tanaman Tembakau Deli Tempo Dulu................. 157
10.4 Pola Tanam Terasering Tembakau di Tanah Miring Kebun
Bekala, (1905).............................................................................. 158
10.5 Hamparan Tembakau Siap Panen di Kebun Polonia, (1865)........ 159
10.6 Persiapan Panen Tembakau di Kebun Gunung Rinteh,
Senembah Maatschappij, (1915).................................................... 160

xx
DAFTAR GAMBAR

10.7 Ilustrasi Pengangkutan Hasil Panen Tembakau ........................... 160


10.8 Proses Pengeringan Tembakau Pembungkus Cerutu, (1900)........ 161
10.9 Proses Fermentasi Tembakau Deli Maatchappij, (1905)................ 162
10.10 Proses Pengepakan Tembakau Pembungkus Cerutu
di Onderneming Tanjung Morawa, (1954).................................... 163
10.11 Pembukaan Hutan untuk Budi Daya Karet di Tanah Deli,
(1905)..........................................................................................164
10.12 Pembuatan Bedengan Pesemaian Bibit Karet, (1917)...................165
10.13 Tanaman Karet Muda di Tanah Deli, (1921)............................... 166
10.14 Hamparan Tanaman Karet Siap Sadap di Kebun Alur Jambu...... 167
10.15 Pekerja Penyadap Karet, (1920).................................................... 168
10.16 Pengangkutan Lateks ke Unit Pengolahan, (1905)....................... 169
10.17 Proses Pengenceran Lateks di Pabrik Tanah Raja, (1925).............. 169
10.18 Penggilingan Karet Menggunakan Mesin Sheeter di Kebun,
Tanjung Morawa, (1954)............................................................. 170
10.19 Pengasapan Karet di Kebun Tanjung Morawa, (1954)................. 171
10.20 Pembuatan Slab di Pabrik Karet, (1905)....................................... 171
10.21 Pengepakan Karet RSS di Kebun Tanjung Morawa, (1954)......... 172
10.22 Tanaman Kelapa Sawit di antara Tunggul Kayu, (1921) ............. 173
10.23 Pembibitan Kelapa Sawit di Tanah, (1927).................................. 174
10.24 Pengendalian Hama Kelapa Sawit di Sumatra Timur, (1931)....... 175
10.25 Pekerja sedang Memanen Tandan Buah Kelapa Sawit, (1921)......176
10.26 Pengangkutan TBS dengan Kerata Api ke PKS Pulu Raja,
(1925).......................................................................................... 177
10.27 Pengangkutan TBS dari Lapangan ke PKS Adolina (1953)...........177
10.28 Stasiun Rebusan di PKS Tanah Itam Ulu, (1938) ....................... 178
10.29 Penyimpanan Inti Sawit (Palm Kernel) di PKS Tanah Itam Ulu,
(1921).......................................................................................... 180

xxi
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

10.30 Pemuatan CPO dari Kereta Api ke Kapal di Belawan, (1927)......180


10.31 Loading CPO ke Tangki Kapal, (1927)........................................ 181
10.32 Boiler di PKS Tanah Itam Ulu, (1938)......................................... 182
10.33 Pabrik Sabun dari Kelapa Sawit di Tanah Itam Ulu, (1940).........183
10.34 Kawasan Perkebunan Teh di Sisi Timur Laut Danau Toba
(Kabupaten Simalungun).............................................................. 191
10.35 Pembukaan Kebun Teh di Kaki Gunung Kerinci, Jambi,
(1929).........................................................................................192
10.36 Kebun Biji sebagai Sumber Bahan Tanam Teh di Kebun
Bah Butong, (1925)...................................................................... 193
10.37 Pembibitan Teh Bah Birong Ulu, (1912)..................................... 194
10.38 Crotalaria Penaung Teh di Kebun Marjandi, (1927).....................195
10.39 Buru Lalang di Kebun Bah Birong Ulu, (1921)............................196
10.40 Penanaman Tephrozia candida di Kebun Martoba........................197
10.41 Tanaman Teh Muda di Kebun Bah Birong Ulu, (1923)...............197
10.42 Hamparan Teh dibawah Pohon Albizzia di Kebun Pagar Jawa,
Simalungun.................................................................................. 198
10.43 Profile Pemetik Teh di Perkebunan Simalungun, (1925)...............199
10.44 Pemetik Teh di Kebun Daratan Tinggi Simalungun, (1925)........200
10.45 Para Pemetik Teh di Kebun Balimbingan, (1921)........................200
10.46 Sortasi Daun Teh di Kebun Naga Huta, (1905)...........................201
10.47 Pengiriman Pucuk Teh dengan Kabelbaan di Bah Birong Ulu,
(1921)..........................................................................................202
10.48 Pengangkutan Pucuk Teh dengan Gerobak di Kebun Bah
Birong, Ulu, (1921)...................................................................... 203
10.49 Gerobak Bertingkat di Kebun Naga Huta, (1921)........................203
10.50 Penerimaan Pucuk dengan Kabelbaan di Kebun Bah Birong Ulu,
(1921)..........................................................................................204

xxii
DAFTAR GAMBAR

10.51 Pabrik Teh Kebun Simbolon, (1915)........................................... 205


10.52 Pabrik Teh Kebun Kasinder, (1915)............................................. 206
10.53 Pabrik Teh HVA Kebun Balimbingan, (1921)............................ 207
10.54 Pabrik Teh Kebun Naga Huta...................................................... 207
10.55 Struktur Klaprakken di Stasiun Pelayuan Pabrik Teh
Parmanangan, (1921)...................................................................208
10.56 Hamparan Daun Segar di Pabrik Teh Kasinder, (1920)................209
10.57 Ruang Penggulungan Pabrik Parmanangan, (1922)......................210
10.58 Fermentasi Teh di Pabrik Kasinder, (1920).................................. 210
10.59 Sortasi Kering Teh di Pabrik Parmanangan.................................. 211
10.60 Blending Teh Hitam Sebelum Dikemas, (1921)............................213
10.61 Silo Penyimpanan Teh di Pabrik Permanangan, (1921)................213
10.62 Pembuatan Peti Teh di Kebun Kasinder, (1920)..........................214
10.63 Pengangkutan Teh dari Kebun Pagar Jawa ke Stasiun
Kereta Api Pematang Siantar, (1921)............................................ 214
11.1 Aktivitas Sepakbola Karyawan di Senembah Maatchappij
Tanjungmorawa (1915)................................................................ 220
11.2 Latihan Kesempatan Siswa Ambasct School
Tanjung Morawa (1915).............................................................. 222
11. 3 Proses Disseminasi Kultur Planters...............................................231

xxiii
BAB I.
PENDAHULUAN

Esensi membaca sejarah masa lalu adalah sebagai ikhtiar melakukan retrospeksi.
Pembelajaran untuk menatap ke depan, meneruskan hal-hal yang baik dan tidak
mengulangi kesalahan sama yang dilakukan generasi sebelumnya. Menjelajahi
sejarah perjalanan perkebunan masa lalu juga penting untuk menghargai karya
para pendahulu atas kerja kerasnya membangun perkebunan di Sumatera
Utara (dulu disebut sebagai Sumatra Timur atau Oostkust Sumatra).
Pengembangan perkebunan di Sumatera Utara seratus lima puluh tahun
lalu cukup fenomenal atas beberapa alasan. Pertama, bersifat revolusioner,
karena melompati peradaban pertanian yaitu dari tradisi perladangan
(garden system) yang dijalani masyarakat sekitar. Ketika itu masyarakat belum
mengenal perkebunan yang dibudidayakan dengan pola dan skala komersial
(commercial crops, commercial agriculture). Kalaupun ada produk perkebunan
yang telah diperdagangkan ke manca negara, seperti tembakau dan lada,
pengusahaannya masih pada tataran kerja sambilan, skala usaha kecil,
tidak padat modal dan tenaga kerja. Kedua, pertumbuhan luas dan jumlah
pengusahaan berlangsung cukup pesat. Dalam waktu 10 tahun sejak pertama
kali Jacobus Nienhuys menjejakkan kaki di Belawan tahun 1863, sudah ada
20 perusahaan berinvestasi di sektor perkebunan. Jumlahnya meningkat
menjadi 100 perusahaan dalam waktu kurang dari 25 tahun sejak perkebunan
tembakau pertama kali dibangun (Breman 1997). Ketiga, pembangunan
perkebunan di Sumatera Utara melibatkan migrasi tenaga kerja dalam jumlah
yang cukup besar sehingga merubah secara mendasar perimbangan demografi
aslinya. Sebagai dampak pengiriman tenaga kerja dari Penang, Semenanjung
Malaya dan Pulau Jawa ke Sumatera Utara mulai akhir abad ke-19, saat ini
populasi pendatang yaitu etnis Jawa justru menjadi mayoritas atau mencapai
34% dari total sekitar 13 juta penduduk Sumatera Utara (BPS 2015).
Keempat, Sumatera Utara merupakan perintis pengembangan perkebunan
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

nasional melalui perannya ikut mendukung kebijakan Pemerintah melalui


pembangunan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) maupun perluasan perkebunan
oleh sektor swasta. Perkebunan negara (BUMN), perkebunan swasta asing dan
nasional serta lembaga penelitian yang ada di Sumatera Utara berkontribusi
langsung sebagai pelaku usaha, pakar atau sebagai ahli perkebunan yang
pendukung perluasan areal di Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi bahkan
Papua (Irian Barat).
Diakui, dalam perjalanan dinamika pengusahaan perkebunan di Sumatera
Utara tidak selamanya mulus. Ada ekses yang sering di blow-up berlebihan
oleh sebagian sejarawan sehingga menafikan keberhasilan pembangunan
perkebunan sebagai pendorong pertumbuhan sosial-ekonomi dan
pengembangan wilayah, serta memberikan eksternalitas positif bagi masyarakat
sekitar. Cerita buruk tentang buruh yang dieksploitasi dengan bumbu-
bumbu kekejaman, immoralitas dan perselisihan lahan dengan masyarakat
sekitar seringkali dipersepsikan seluruhnya sebagai kesalahan pengusaha
perkebunan. Sifat elitis komunitas kebun yang seolah mengasingkan diri
membentuk enclave terpisah dari masyarakat sekitar juga sering ditanggapi
dengan penuh kecurigaan. Padahal, konflik dengan pekerja dan masyarakat
selalu berdimensi dua arah, ada sebab dan akibat. Juga ada alasan rasional,
kenapa ketika perumahan perkebunan mulai dibangun pada abad ke-19 selalu
berjarak dengan pemukiman penduduk asli. Hal itu adalah dalam rangka
menciptakan kultur korporasi perkebunan yang mengutamakan disiplin
dan berbasis kelembagaan formal. Bayangkan, ketika itu tata hubungan
masyarakat sekitar perkebunan sebelum datangnya bangsa kulit putih di
Tanah Deli masih bersifat longgar dan tidak terstruktur (patembayan). Jika
tanpa sekat kultural serta komunitas perkebunan dibiarkan berinteraksi
langsung dengan penduduk sekitar maka akan sulit membentuk kultur kerja
yang kokoh di perkebunan. Bahkan, rawan terjadi gesekan yang bisa meletup
menjadi konflik sosial.
Bahwa penerapan hubungan ketenagakerjaan di perkebunan memang sangat
tegas dan terukur, serta memiliki parameter yang jelas. Pemerintah Hindia
Belanda telah mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja dalam
aturan yang dikenal sebagai “Koeli Ordonantie” pada tahun 1880. Berdasarkan
dokumen yang ada, ternyata pengusaha perkebunan saat itu (Sebelum PD II)
telah berupaya mencukupi kesejahteraan pekerjanya dalam bentuk gaji, dan
ransum bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya secara natura. Meliputi

2
BAB I.
PENDAHULUAN

beras, ikan asin, minyak makan, gula, kacang hijau, sabun, susu, teh, garam,
minyak tanah, dan kain bahan pakaian.
Mengukur tingkat kesejahteraan pekerja saat itu harus proporsional, misalnya
membandingkan dengan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar pada
umumnya. Faktanya, kesejahteraan pekerja perkebunan masih lebih baik
dibandingkan dengan tingkat kehidupan masyarakat. Tidak ada catatan bahwa
pernah terjadi bencana kelaparan di antara pekerja perkebunan. Sebaliknya,
saat itu sering terjadi bencana kekurangan pangan dan kelaparan di banyak
daerah pertanian (terutama di Jawa) ketika datang musim paceklik, musim
kemarau panjang atau gagal panen akibat serangan hama dan kekeringan.
Fasilitas kesehatan dan pendidikan untuk anak karyawan umumnya juga
sudah disediakan perkebunan. Tan Malaka merupakan tokoh nasional yang
pernah direkrut sebagai pengawas sekolah khusus yang diperuntukkan bagi
anak karyawan Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa, Deli Serdang
pada awal tahun 1900-an. Pada saat yang sama perkebunan Deli Maatschappij
dan Senembah juga sudah memiliki fasilitas rumah sakit di Putri Hijau dan
di Tanjung Morawa. Perusahaan Handels Vereeniging Amsterdam (HVA)
juga memiliki rumah Sakit Balimbingan, Simalungun (15 km dari Pematang
Siantar) yang berdiri tahun 1926, diperuntukkan melayani karyawan
perkebunan HVA dari level paling rendah sampai pimpinan perusahaan.
Padahal, pada saat yang sama penduduk di luar perkebunan belum menikmati
fasilitas sekolah dan kesehatan yang memadai. Rumah sakit yang dibangun
Pemerintah Hindia Belanda hanya menjangkau sebagian kecil penduduk.
Ekses sosial yang timbul menyertai sejarah perkebunan seperti perjudian
dan prostitusi lebih disebabkan wilayah personal dan bukan sepenuhnya
merupakan kebijakan perusahaan.
Sejarah perkebunan di Sumatera Utara sesungguhnya dimulai dari keberhasilan
Jacobus Nienhuys menanam tembakau pembungkus cerutu kualitas tinggi di
Tanah Deli. Dipercaya bahwa hamparan tanah yang berada diantara Sungai
Ular dan Sungai Wampu merupakan lahan subur yang cocok untuk budi daya
tembakau. Dalam perkembangannya, harga tembakau mulai melandai setelah
dua puluh tahun diusahakan di Tanah Deli. Turunnya kesuburan lahan dan
penerapan kebijakan tarif impor tinggi oleh Amerika Serikat menjadi salah
satu alasan. Penyebab lainnya adalah terlalu besarnya produksi dibandingkan
kebutuhan sehingga pasar kelebihan pasokan.

3
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Ketika keharuman tembakau makin meluruh maka komoditi karet menjadi


alternatifnya. Tumbuhnya industri otomotive di Detroit, Amerika Serikat
telah mengangkat kebutuhan karet dunia. Booming harga karet awal abad
ke-20 menyisakan cerita sukses ketika para asisten muda di perkebunan
sekitar Tebing Tinggi berlomba-lomba membeli mobil sedan Ford seri-T
menggantikan kereta andong yang ditarik kuda. Setiap akhir pekan banyak
mobil sedan milik para staf perkebunan lalu-lalang di Kota Medan.
Jiwa entrepreneurship para pengusaha perkebunan cukup tinggi. Pada saat
karet alam masih memberikan keuntungan, mereka mulai menoreh komoditi
baru yaitu kelapa sawit sebagai alternatif yang diperhitungkan. Perkebunan
sawit pertama di dunia dibangun tahun 1911 oleh Hallet warga Belgia di
Pulu Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). Pada waktu yang sama K Schadt
warga Jerman menanamnya di Tanah Itam Ulu (PPKS 2016). Prediksi para
pekebun terbukti benar, kelapa sawit menjadi komoditi yang berdaya saing
tinggi. Selain kelapa sawit diusahakan juga tanaman ekspor lain oleh para
pengusaha perkebunan di Sumatera Utara seperti teh, serat, dan kakao.
Sebagai bukti bahwa perkebunan di Sumatera Utara berkontribusi terhadap
ekonomi Hindia Belanda adalah bahwa ekspor komoditi perkebunan dari
wilayah tersebut memberikan kontribusi nyata terhadap total pertumbuhan
ekonomi seluruh Hindia Belanda. Menurut Kartodirdjo dan Suryo (1991)
dari total investasi di sektor perkebunan Hindia Belanda pada tahun 1929
sebesar 2.065 juta gulden maka 31% nya diserap Sumatera Timur (642 juta
gulden).
Bukti lain yaitu kereta api yang dibangun di Sumatera Utara, seluruhnya
merupakan inisiatif swasta (dalam hal ini perusahaan perkebunan). Investasi
rel kereta api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) diprakarsai oleh JT Cremer
yang merupakan pejabat sekaligus pemilik Deli Maatschappij. Pembangunan
kereta api didesain melewati pusat-pusat perkebunan di Sumatera Timur
menuju Pelabuhan Belawan. Dari Langkat, Pematang Siantar, Tebing Tinggi,
dan Rantau Parapat dibangun trase kereta api untuk sarana logistik ekspor
komoditi perkebunan.
Masa-masa keemasan industri perkebunan mulai menurun ketika terjadi krisis
ekonomi (masa depresi) di Amerika Serikat pada tahun 1929, yang ditandai
jatuhnya harga saham di Wall Street. Ketika ekonomi baru mulai pulih, terjadi
ketegangan regional yaitu munculnya rejim chauvinis/fasis di Jerman, Italia
dan Jepang yang memicu terjadinya Perang Dunia II (PD II).

4
BAB I.
PENDAHULUAN

Ketika Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, banyak areal perkebunan


Sumatera Utara dialihfungsikan menjadi lahan pangan. Pada saat bersamaan
perusahaan perkebunan mengalami kesulitan keuangan dan operasional
akibat ekonomi yang merosot sebagai dampak PD II. Atas perintah tentara
pendudukan Jepang, banyak lahan perkebunan yang diizinkan digarap pekerja
dan atau petani sekitar untuk budi daya tanaman pangan serta tanaman
pendukung perang seperti jarak (Jatropha) yang digunakan untuk bahan
bakar kapal terbang.
Masa-masa ketidakpastian terus berlanjut sampai sesudah berakhirnya PD II
tahun 1945. Kondisi keamanan tidak segera pulih karena timbul gangguan dari
pemberontakan PRRI serta meletusnya revolusi sosial yang melanda wilayah
Sumatera Timur. Instabilitas yang berlarut-larut menstimulasi terjadinya
eskalasi penyerobotan lahan oleh masyarakat. Pengusaha perkebunan
sepertinya semakin tak berdaya mempertahankan lahan konsesinya. Situasi
bertambah sulit karena keamanan tidak menentu dan ekspor komoditi yang
merosot. Acap kali terjadi konflik sosial dengan masyarakat memperebutkan
tanah perkebunan. Sementara itu, ketidakpastian politik nasional yang
ditandai jatuh bangunnya Kabinet Parlementer sangat besar pengaruhnya
di daerah. Ketidakhadiran simbul-simbul negara memicu timbulnya benih-
benih ketidakpatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam tatanan sosial
kemasyarakatan (law and order). Hampir dapat dikatakan, kehidupan
perkebunan di Sumatera Utara memasuki masa-masa sulit pada tahun
1950-an. Permasalahan semakin kritikal ketika Pemerintah Pusat melakukan
nasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda yang berdampak hengkangnya
para planters dan pengelola perkebunan berkebangsaan Eropa kembali ke tanah
airnya. Alih generasi antara staf bangsa Eropa ke staf pribumi berlangsung
terlalu cepat sehingga transisi tidak berlangsung smart. Transformasi nilai-
nilai, keterampilan mengelola perkebunan, dan membangun networking
pemasaran ekspor tidak sepenuhnya terlaksana.
Klimaksnya adalah ketika meletus G 30 S/PKI yang mengakhiri anarkisme
rakyat yang dikendalikan oleh Partai Komunis Indonesia dan onderbouw-
nya yang selama ini merongrong perkebunan. Simbul-simbul perkebunan
yang di-stigma-kan sebagai kapitalisme birokrat (kabir), menjadi sasaran
perlawanan kaum kiri yang digerakkan PKI. Perkebunan sering dibenturkan
dengan rakyat. Isu-isu tentang pembagian tanah perkebunan adalah hal-hal
yang menjadi subjek agitasi mereka untuk menarik dukungan penggarap lahan

5
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

konsesi. Setelah pemerintahan beralih ke Orde Baru perkebunan mulai bisa


menata diri untuk melakukan rehabilitasi lahan, tanaman dan pabrik. Ketika
atmosfer usaha membaik maka para pelaku usaha mulai bisa melebarkan
sayapnya memperluas areal dan membangun Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
di luar wilayah tradisionalnya yaitu antara lain ke Riau, Jambi, Kalimantan,
dan Sulawesi
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kita tidak boleh melupakan peran Sumatera
Utara sebagai perintis industri perkebunan di Indonesia. Kini petani pekebun
juga sudah bisa menikmati berkah ekonomi perkebunan. Terbukti total luas
kebun petani sudah melampaui luas kebun BUMN atau swasta. Sebagai
contoh dari total 10,46 juta hektare lahan kelapa sawit Indonesia tahun 2013
42% nya merupakan perkebunan yang diusahakan oleh rakyat (Ditjenbun
2015).

6
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI
PERKEBUNAN DI INDONESIA

Pertanian pada awal peradaban merupakan ikhtiar manusia memenuhi


kebutuhan dasar pangan untuk keperluannya sendiri (self sufficient, subsisten).
Ketika belum dikenal kebudayaan perniagaan maka kelebihan produksi
dipertukarkan (barter) kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing. Menurut catatan Kartodirdjo dan Suryo (1991) ada empat
sistem pertanian yang telah lama dikenal di Indonesia. Pertama adalah ladang
berpindah (shifting cultivation), yaitu sistem membuka dan membersihkan
hutan untuk budi daya tanaman pangan. Setelah beberapa kali tanam dan
kesuburan tanah mulai berkurang maka berpindah ke tempat lain. Kedua,
sistem kebun (garden system), yaitu pembudidayaan pada lahan tertentu dengan
tanaman tahunan (perennial crops) dan tanaman musiman (annual crops) dari
jenis tanaman pangan serta hortikultura dengan pola campuran (multikultur,
multistorey). Ketiga, sistem tegalan (dry field), yaitu pembudidayaan tanaman
musiman (annual crops) yang bersifat monokultur (satu jenis tanaman ditanam
pada satu satuan lahan). Keempat, sistem persawahan (wet rice cultivation)
yaitu pembudidayaan padi secara monokultur pada lahan basah beririgasi atau
tadah hujan.
Riwayat perdagangan penduduk Nusantara dengan bangsa asing menurut Reid
(2015), berdasarkan catatan yang ada, baru terjadi akhir abad ke-14. Bangsa
Cina tercatat sebagai mitra dagang utama Nusantara diikuti India, Timur
Tengah dan Eropa. Diyakini bahwa jauh sebelumnya sudah berlangsung
transaksi perdagangan, namun belum ditemukan bukti catatan lengkap yang
bisa diverifikasi.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

1. Perdagangan Komoditi Sebelum Revolusi


Industri
Sebelum bangsa Eropa memperkenalkan sistem pertanian/perkebunan
modern yang berbasis industri dan bersifat komersial, masyarakat agraris
Indonesia telah mengenal budaya kebun sebagai sistem perekonomian
tradisional (subsisten). Ada catatan bahwa budi daya pertanian dalam sistem
kebun campuran sudah dikenal pada tahun 120 M. Usaha kebun untuk
komoditi non pangan merupakan usaha pelengkap atau  di luar budi daya
pokok dan sifatnya hanya untuk memperoleh penghasilan tambahan. Petani
melakukan kegiatan berkebun dalam rangka mengisi waktu luang menjelang
panen padi.
Menurut Kartodirdjo dan Suryo (1991), sebelum datangnya kolonialisme,
pola pengusahaan tanaman perkebunan bersifat tardisional atau garden system.
Ciri-cirinya adalah merupakan usaha kecil, menggunakan lahan terbatas
dan tidak menerapkan teknologi tinggi. Tenaga kerja hanya mengandalkan
anggota keluarga serta tidak berorientasi pasar, tetapi lebih mengutamakan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Nusantara atau Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak diantara
Samudra Hindia disisi selatan dan Laut Cina Selatan di sisi utara. Sebelum
abad ke-15, perdagangan antar wilayah dan negara berlangsung dalam skala
kecil. Ketika mesin uap belum ditemukan pada abad ke-19, mobilitas kapal-
kapal dagang hanya mengandalkan kekuatan layar yang sangat tergantung
arah angin. Ketika itu perdagangan Sriwijaya dengan kerajaan di Asia Barat
(India), Teluk Persia dan Timur Tengah juga sudah berlangsung. Rempah-
rempah merupakan produk utama perdagangan dari Sumatera. Ketika pada
akhir abad ke-13, kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mulai surut, dari sisi timur
Nusantara tumbuh kekuasaan baru yaitu Kerajaan Singosari dibawah Raja
Kertanagara (1275–1292). Kerajaan tersebut menggantikan hegemoni Sriwijaya
dengan wilayah kekuasaan sampai Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit
yang menggantikan Singosari selanjutnya memperluas kekuasaannya dibawah
pimpinan panglima perang cemerlang, Patih Gajah Mada. Cina merupakan
mitra dagang yang telah lama melangsungkan perniagaan dengan kerajaan
Nusantara. Kapal-kapal Junk milik Cina telah digunakan sebagai pengangkut
komoditi perdagangan.

8
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Meiling-Roelofsz (2016) yang menulis buku tentang sejarah perniagaan


Nusantara 1500–1630, menyatakan bahwa Sriwijaya yang berkibar pada abad
ke-11, merupakan penguasa wilayah pesisir Sumatra, Semenanjung Malaya,
dan sampai Pulau Jawa bagian barat. Perdagangan antar wilayah kekuasaan
Sriwijaya dilakukan dengan kapal-kapal ukuran kecil. Catatan dari sumber
Cina, pada abad ke-13 menyatakan bahwa ketika itu transaksi dagang sudah
berlangsung. Dari Sriwijaya dikirimkan rempah-rempah seperti kapulaga,
kamper dan gading gajah. Dari Cina didatangkan porselin, emas, perak, sutra,
besi, dan sebagainya.
Menurut catatan Reid (2015) cengkih dan pala merupakan rempah-rempah
asli Indonesia, dihasilkan dari kepulauan Maluku. Sebelum datang bangsa
Spanyol dan Portugis, telah berlangsung perdagangan rampah-rempah dari
Maluku ke Cina, India, Timur Tengah dan Eropa. Adapun tanaman lada
sesungguhnya berasal dari India. Diduga dibawa oleh pedagang Gujarat
ketika berniaga, sekalian menyebarkan agama Islam ke Sumatra. Catatan lain
memperkirakan bahwa tanaman lada diperkenalkan oleh para penyebar agama
Hindu dari India ke Sumatra beberapa abad sebelumnya. Sampai akhir abad
ke-15 belum ada catatan perdagangan lada dari Sumatra. Pada awal abad ke-
16 dimulailah pembelian besar-besaran lada oleh pedagang dari Eropa, India
dan Cina. Puncaknya, pada pertengahan abad ke-17 sekitar 85% lada yang
diperdagangkan di Eropa berasal dari wilayah Sumatra.
Pada abad ke-14, pedagang dari Gujarat, India mulai menjalin perniagaan
dengan kepulauan Nusantara, sekaligus menyebarkan Agama Islam,
diantaranya ke Samudra Pasai di Aceh. Selanjutnya, Islam disebarkan ke
Pulau Jawa bersamaan dengan masa kemunduran Majapahit. Rempah-
rempah seperti lada dan jenis kayu berharga merupakan komoditi utama
yang dicari pedagang asing dari Nusantara. Kemunculan kerajaan Malaka
di Semenanjung Malaya yang berkembang pada abad ke-15 telah menjadi
magnet baru sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara. Posisi Malaka
adalah menjadi intermediasi perdagangan dari dan ke daerah sekitarnya.
Dari Pulau Sumatra sebagian rempah-rempah dikirim ke Malaka sebelum
diperdagangkan ke negara lain. Demikian juga produk tekstil, porselin,
perak dan barang-barang lain dari Cina, India, dan Arab dibawa ke Malaka
sebelum ditransaksikan dengan rempah-rempah serta beras dari Jawa dan
Siam. Pedagang dari Cina, Jawa, Keling, Benggala, Arab, Persia dan Gujarat
merupakan kelompok pelaku perniagaan yang secara reguler mengunjungi
pasar Malaka (Meiling-Roelofsz 2016).

9
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Menurut Van Leur (1983) corak pertukaran komoditi perdagangan di


Nusantara pada abad ke-16 di antaranya yaitu beras dari India dan dari Jawa
dipertukarkan dengan rempah-rempah seperti cengkih dan pala dari Maluku.
Dari Jawa juga dipertukarkan tanaman pangan dan tekstil dengan intan, emas
dan hasil hutan. Dari Bali dan lombok juga dipertukarkan kayu cendana dan
kuda dengan tekstil dari Jawa. Mata dagang Jawa dengan Malaka adalah beras,
batu permata, emas dan tenaga kerja yang dikirim dari Jawa. Dari Malaka
dikirim tekstil India dan barang-barang porselin Cina.
Navigasi kapal layar saat itu mengandalkan angin muson, yang bertiup pada
arah dan waktu tertentu. Sebagai contoh, ketika kapal niaga Cina ingin pergi
ke Malaka, mereka harus menunggu datangnya angin pasat timur laut yang
berlangsung pada awal tahun. Sementara pelayaran dari Jawa menuju ke
Malaka, menyesuaikan waktunya dengan datangnya angin muson tenggara,
yang berlangsung antara bulan Mei dan September. Kembali dari Malaka
memanfaatkan angin barat laut yang berlangsung pada bulan November–
Desember.
Sebelum datangnya Jacobus Nienhuys tahun 1863, Sumatra Timur belum
terlalu dikenal sebagai pusat penghasil komoditi ekspor. Hanya ada sedikit
catatan bahwa terjadi perdagangan tembakau dalam skala kecil dari Sumatra
Timur melalui Labuhan Deli dekat Belawan ke pasar Malaka di Semenanjung
sebelum datangnya pengusaha perkebunan bangsa Eropa.

2. Pengaruh Eropa terhadap Perdagangan


Komoditi di Sumatra Timur
Ketika Portugis mencapai India pada tahun 1498 menemukan bahwa rempah-
rempah yang ada di India ternyata berasal dari Malaka. Untuk memotong
mata rantai perniagaan maka pada tahun 1511 armada Portugis menduduki
Malaka. Ternyata ditemukan fakta bahwa pusat perdagangan di Asia Tenggara
tersebut mendapatkan suplai komoditi rempah-rempah dari Nusantara
(Furnivall 2009). Selanjutnya, untuk mewujudkan niat melakukan hegemoni
perdagangan rempah-rempah di dunia maka Portugis menduduki Maluku
dengan membangun benteng di Ternate pada tahun 1522. Penguasaan
Portugis terhadap perdagangan rempah-rempah Nusantara dilanjutkan oleh
Spanyol ketika Raja Philip II dari Spanyol berhasil menduduki tahta Portugal

10
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

pada tahun 1580. Kemudian, sejak Pemerintah Belanda mendirikan VOC


(Vereenigde Oost-indische Compagnie) pada tahun 1602 maka secara berangsur
perdagangan rempah-rempah Nusantara beralih dari Portugis ke genggaman
armada VOC.
VOC adalah serikat dagang yang diinisiasi pendiriannya oleh Pemerintah
Belanda untuk menjalankan aktivitas perdagangan di Hindia Belanda.
Didirikan pada tahun 1602 dengan modal awal sebesar 6,45 juta gulden dari
pemerintah kota Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Horn, dan Eikhuyzen.
Dalam menjalankan aktivitasnya VOC berkolaborasi dengan penguasa lokal
dan para saudagar. Mereka mengumpulkan rempah-rempah dari rakyat untuk
diekspor ke pasar Eropa. Ketika itu Sumatra Timur belum diperhitungkan
dalam konstelasi monopoli perdagangan rempah-rempah Nusantara, baik
oleh Portugis, Spanyol maupun VOC.

Gambar 2.1 Simbol Merek Dagang VOC (Tropen Museum)

Aktivitas VOC pada awal berdirinya adalah menjalankan perdagangan di


Indonesia yang dilakukan secara konvensional. Mereka membeli rempah-
rempah dari kepulauan Maluku serta menjual produk industri seperti tekstil dan
barang pabrikan dari Eropa ke masyarakat Maluku. Dalam perkembangannya
kemudian mereka mulai menerapkan kebijakan monopolistik melalui
penaklukan dengan menggunakan kekuatan militer, kontrak yang hegemonik
atau perdagangan bebas. Kepulauan Maluku sebagai sentra rempah-rempah
berhasil dikuasai VOC setelah mengusir Portugis. Melalui penggunaan
kekuatan politik, ekonomi, dan militer, VOC melakukan politik pecah belah

11
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

(devide et empera) terhadap kerajaan atau kesultanan di tanah air. Tujuannya


adalah mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok
besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah dikendalikan.
Kerajaan Mataram sebagai contoh, diadu domba dengan masyarakat di
pesisir utara Jawa seperti Semarang, Jepara, dan Rembang. Diantara faksi
kalangan dalam kerajaan juga diadu domba sehingga Mataram terpecah
menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan dan
Pakualaman di Jogjakarta (Kartodirdjo dan Suryo 1991). Kepada daerah yang
berada dalam kendali VOC diberikan beban untuk menyerahkan komoditi
sebagai kewajiban (upeti) atau melalui pembelian dengan tingkat harga yang
ditentukan sepihak oleh VOC.
Pada masa VOC juga diperkenalkan budi daya komoditi yang dibutuhkan
di Eropa seperti kopi dan nila (Indigofera). Benih kopi diserahkan kepada
masyarakat melalui penguasa lokal untuk dibudidayakan. Dari perintisan budi
daya kopi di Jawa Barat menunjukkan hasil panen yang baik. Selanjutnya
dikembangkan di daerah lain seperti Kesultanan Cirebon, Maluku, dan
Pekalongan. Adapun nila adalah tanaman penghasil pewarna alami diperoleh
dari sejenis tungau yang hidup pada tanaman Indigofera. Spektrum warna
yang dihasilkan sangat luas sehingga bisa dibuat beragam warna dari produk
tanaman tersebut. Ketika itu belum dikenal pewarna buatan.
VOC yang semula firma dagang mengalami metamorfose memperluas
pengaruh dan hegemoninya menjadi mirip penjajah. Setelah sukses dengan
kopi maka komoditi berikutnya adalah gula tebu. Melalui kerja sama dengan
kalangan partikelir (umumnya pengusaha Cina dan Arab) disewakan tanah-
tanah di daerah yang menjadi kekuasaan VOC untuk budi daya tebu atau
mereka bisa langsung menyewa tanah petani untuk budi daya tebu. Gula tebu
yang dihasilkan dari tanah-tanah tersebut selanjutnya dijual secara monopoli
ke VOC.
Setelah beroperasi selama dua abad kiprah VOC berhenti pada 1 Januari
1800. Ketika itu Pemerintah Belanda mengambil alih (bail out) VOC karena
mengalami kebrangkutan dengan meninggalkan hutang 135 Juta gulden.
Setelah VOC pailit maka untuk memperoleh pendapatan baru yang selama
ini diperoleh dari aktivitas VOC maka pada tahun 1814 diberlakukan sistem
pajak tanah petani. Besaran pajak tanah sawah berkisar antara 1/3 sampai 1/2
dari hasil panen. Sementara untuk tanah tegalan pajaknya 1/4 sampai 2/5 dari
hasil panen yang diperoleh.

12
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Setelah VOC dibubarkan, sebagai gantinya pada tahun 1830–1970 van den
Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menerapkan sistem
Tanam Paksa (cultuurstelsel). Berdasarkan Lembaran Negara (staatsblad No.
22/1832), Kartodirdjo dan Suryo (1991) merinci ketentuan Tanam Paksa
antara lain sebagai berikut:
a. Sesuai kesepakatan bersama maka penduduk wajib menanam komoditi
unggulan yang laku di pasar Eropa pada lahan miliknya maksimal
seperlima dari total luas tanah di desa. Kegiatan menanam komoditi
tanam paksa tidak boleh melebihi kegiatan rakyat menanam padi.
b. Tanah masyarakat yang menjadi peserta program tanam paksa dibebaskan
dari pajak tanah dan apabila terjadi gagal panen yang bukan disebabkan
kesalahan penduduk maka kerugian dibebankan ke pemerintah.
c. Hasil pertanian dijual kepada pemerintah. Petani memperoleh selisih
antara hasil panen dikurangi pajak yang mesti dibayar.

Gambar 2.2 Penyerahan Hasil Bumi Program Tanam Paksa ke Pemerintah


Hindia Belanda (KITLV)

Sistem Tanam Paksa melibatkan organisasi pelaksana yang luas sebagai


kepanjangan tangan dan operator. Meliputi birokrasi pemerintah Hindia
Belanda yaitu para bupati sampai asisten wedana (camat), perangkat desa,
pedagang Cina dan Arab, petani pemilik lahan, dan buruh tani.

13
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Sebagai koordinator sehari-hari, diangkat manajer yang sering disebut sebagai


kontrolir. Tanaman wajib yang harus dibudidayakan masyarakat meliputi
kopi, tebu, nila (indigo), tembakau, teh, lada, dan kayu manis (Casiavera).
Dalam paket kebijakan Tanam Paksa juga ada keharusan yang dibebankan
kepada masyarakat melaksanakan empat kewajiban. Meliputi kerja wajib
(heerendiensten), kerja pancen (pancendiensten), kerja wajib perkebunan
(cultuurdiensten) dan kerja wajib desa (desadiensten; gemeentediensten).
Heerendiensten yaitu kewajiban rakyat melakukan berbagai tugas dengan
tidak mendapatkan upah. Sesuatu hal yang sudah lama berlaku dalam tatanan
Mataram seperti perbaikan jalan, gedung, dan lain lain. Pancendiensten yaitu
tugas yang dibebankan kepada rakyat dalam pelayanan kerja pertanian di tanah
milik desa. Cultuurdiensten, yaitu pengerahan kerja paksa untuk pekerjaan
pembukaan lahan perkebunan, irigasi, budi daya tebu, membangun pabrik
atau membangun jalur kereta api. Desadiensten atau gemeentediensten yaitu
kerja untuk kepentingan kepala desa dan masyarakat seperti gotong royong
membersihkan lahan kuburan, lapangan sepak bola, dan sebagainya.
Secara umum, dampak Tanam Paksa telah mengakibatkan penderitaan luar
biasa rakyat di Jawa. Namun demikian, ada sisi positif diantaranya yaitu
dibangunnya infrastruktur seperti pasar, jalan penghubung dan prasarana
irigasi. Masyarakat juga mulai dikenalkan dengan budi daya tanaman komersial
serta budaya transaksi menggunakan uang yang mendorong tumbuhnya
pemahaman tentang manajemen usaha tani. Administrasi pemerintahan desa
juga semakin maju karena pelibatan aparat desa dalam tata niaga komoditi.
Perkembangan perkebunan berorientasi industri di Sumatra Timur tidak
dapat dipisahkan dari sejarah liberalisme dan kolonialisme pasca kebijakan
Tanam Paksa. Melalui UU Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 kepada
investor diberikan hak konsesi bagi tanah yang belum diusahakan (woeste
grande) sampai selama 75 tahun.
Sistem perkebunan hadir sebagai perpanjangan tangan idiologi kapitalisme
pasca revolusi industri di Eropa awal abad ke-19. Sejak itu sistem perkebunan
diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks. Bersifat
padat modal, menggunakan lahan luas dan organisasi tenaga kerja upahan
dalam jumlah besar. Pembagian kerja pada organisasi perkebunan lebih rinci
dengan hierarki dan hubungan kerja yang terstruktur. Teknologi modern

14
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

untuk mempermudah proses kerja mulai digunakan. Spesialisasi pekerjaan


diterapkan dengan sistem administrasi dan birokrasi modern, serta dipilihnya
tanaman komersial untuk dipasarkan ke Eropa dan seluruh dunia (Kartodirdjo
dan Suryo 1991).
Kehadiran industri perkebunan di Sumatra Timur melahirkan kultur baru
yaitu komunitas perkebunan yang berbeda dengan tradisi dan adat istiadat yang
berlaku pada masyarakat setempat. Banyak pihak mengatakan, bahwa sistem
perkebunan telah berhasil menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave
economicsi) yang dikotomis. Terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara
komunitas perkebunan yang menerapkan sektor perekonomian modern
berorientasi komersial dengan masyarakat sekitar yang bersifat tradisional dan
subsisten. Proses perubahan dari sistem usaha kebun ke sistem perkebunan
modern di Indonesia telah membawa perubahan teknologis, organisasi,
kultural, proses produksi, dan kebijakan politik (public policy).

3. Komoditisasi Perkebunan Pasca Revolusi


Industri
Ada lima komoditi utama pertanian yang diperkenalkan dan diusahakan
Hindia Belanda di Indonesia dalam skala perkebunan pada awal abad ke-19
yaitu tebu atau gula, tembakau, karet, kelapa sawit, dan teh. Kecuali tebu,
semua komoditi tersebut juga dibudidayakan di Sumatra Timur.
Adapun lada dan gambir sudah diusahakan oleh penduduk asli dalam kurun
waktu lama, sisanya adalah tanaman yang didatangkan dari budaya luar
Indonesia. Komoditi utama perkebunan di Sumatra Timur yaitu tembakau,
karet, kelapa sawit, teh serta tanaman serat/agave dan kakao/coklat.
Sebaran wilayah pengembangan komoditi di Sumatra Timur dapat dilihat
pada Gambar 2.3. Komoditi perkebunan di Sumatra Timur berkembang
cepat karena lahannya subur yang memenuhi syarat untuk budi daya tanaman
ekspor. Masa kejayaan masing-masing komoditi berlangsung sesuai squence
sejarah. Dimulai dari tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, dan teh. Berikut
ini disampaikan uraian singkat pengembangan lima komoditi tersebut dalam
sejarah perkebunan di Indonesia.

15
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 2.3 Sebaran Wilayah Pengusahaan Komoditi Perkebunan


Sumatra Timur Tahun 1864–1945 (Pelzer 1985)

a. Gula
Kiprah komoditi gula sejalan dengan penerapan kebijakan tanam paksa oleh
Pemerintah Hindia Belamda. Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) digagas
oleh Johannes van den Bosch pada tahun 1830 sebagai upaya memperbaiki
keuangan negari jajahan setelah banyak terkuras untuk membiayai Perang
Diponegoro (Perang Jawa) tahun 1825–1830. Sistem tersebut berisi aturan
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan seperlima luas tanah di wilayah
teritorialnya untuk ditanami komoditi ekspor yaitu gula, kopi, dan nila. Hasil
tanaman tersebut selanjutnya dijual kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah ditentukan. Bagi penduduk desa yang tidak memiliki
sawah diwajibkan bekerja 75 hari dalam setahun di kebun-kebun milik
pemerintah.
Kebijakan yang bertumpu pada pendayagunaan aparat birokrasi tersebut
memberikan keuntungan besar bagi Pemerintahan Kolonial di Jawa.

16
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Banyaknya praktek pemaksaan kebijakan yang merugikan petani menimbulkan


kritik tajam bagi kaum liberal yang menjunjung etika dan kebebasan.

Gambar 2.4 Pabrik Gula di Jawa, (1900) (Tropen Museum)

Sebagai jalan keluar dari tekanan kaum liberal di Parlemen Belanda maka
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan UU
Gula (Suiker Wet) pada tahun 1870. Kedua UU tersebut menjadi landasan
dimulainya era liberalisasi ekonomi yang memberikan peran seluas-luasnya
bagi swasta untuk berusaha di sektor perkebunan. Pemerintah hanya sebatas
sebagai regulator yang memperoleh pemasukan dari pajak dan bea keluar yang
dibebankan kepada pengusaha perkebunan.
Sebelum ditetapkan sebagai komoditi pilihan dalam kebijakan Tanam
Paksa, tanaman tebu sesungguhnya telah dibudidayakan oleh VOC dan
perkebunan swasta yang mendapat konsesi dari pemerintah Hindia Belanda.
Undang-undang Agraria memberi landasan hukum bagi investor untuk
memperoleh konsesi pengusahaan tanah selama 75 tahun. Adapun UU
Gula berisi ketentuan antara lain mewajibkan tebu harus diproses di dalam
negeri (Hindia Belanda) serta kebijakan swastanisasi perkebunan gula milik
pemerintah. Sejak itu, investor diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mendirikan pabrik gula (terutama) di Jawa. Petani tidak diwajibkan menanam
tebu melainkan berdasarkan kesadaran masing-masing atas pertimbangan
memperoleh manfaat bersama (business to business), dilakukan sukarela atas
dasar keuntungan bersama.

17
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 2.5 Proses Panen/Tebang Tanaman Tebu, (1904) (Tropen Museum)

Dengan diundangkannya Suiker Wet maka investasi pembangunan pabrik


gula (PG) berlangsung sangat cepat. Dampaknya adalah produksi gula yang
pada tahun 1850 baru mencapai 102 ribu ton namun pada tahun 1900 naik
menjadi 744 ribu ton. Puncaknya pada tahun 1930 naik menjadi 3.077 ribu
ton. Diantaranya sebanyak 1.864 ribu ton diekspor ke pasar internasional.
Pada tahun 1930 ada 179 PG beroperasi di Jawa yang didukung hampir 200
ribu hektare lahan tebu. Pada kurun 1930–1932 Indonesia menjadi penghasil
gula utama di dunia dengan angka ekspor mencapai 1,5–2,0 juta ton setahun.
Pasca deperesi ekonomi tahun 1929 maka pada tahun 1935 produksi merosot
menjadi hanya 513.554 ton. Sebagai pembanding, produksi gula nasional
tahun 2014 hanya mencapai 2,59 juta ton. Sementara total konsumsinya 5,7
juta ton dengan rincian 2,96 juta ton gula konsumsi langsung dan 2,74 juta
ton untuk keperluan industri makanan dan minuman (BPS 2015)
Masa kejayaan gula didukung oleh kesuburan tanah di Jawa dengan sistem
irigasi yang mulai dibangun pemerintah bekerja sama pengusaha perkebunan
untuk mengairi tanamaan tebu. Jumlah tenaga kerja di Jawa juga cukup
melimpah sehingga bisa mendukung budi daya tebu yang bersifat padat
karya. Dibutuhkan tenaga yang banyak untuk pengelolaan tenaman mulai
proses pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan sampai panen (proses
tebang dan angkut). Untuk mendukung industri gula, Pemerintah Hindia
Belanda membangun sarana jalan kereta api di Jawa yang melintasi kawasan
pabrik gula.

18
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Gambar 2.6 Loko Pengangkut Tebu dari Lapangan ke Pabrik Gula (Tropen
Museum)

Masa kejayaan perkebunan gula berakhir setelah meletusnya gelembung


ekonomi (economics bubble) yang menyebabkan depresi ekonomi (malayse).
Ditandai dengan jatuhnya harga saham di New York pada tahun 1929.
Pemulihan ekonomi dunia setelah itu tidak berangsung lama karena terjadi
polarisasi blok ekonomi-politik dunia di Barat dengan ditandai bangkitnya
rezim Benito Musollini di Italia dan Adolf Hitler di Jerman keduanya menyeret
Eropa dan Amerika dalam pertikaian yang berujung terjadinya Perang Dunia
II (PD II).
Perang Kemerdekaan yang berlarut-larut sampai akhir tahun 1940-an dan
kemerosotan ekonomi dunia pasca PD II menjadi titik balik runtuhnya
industri gula di Jawa. Pasca PD II hanya ada 93 PG dari 179 PG pada tahun
1930, yang kembali beroperasi. Pada tahun 1957 seluruh PG dinasionalisasi
sehingga banyak ahli pergulaan yang kembali ke negaranya. Dampaknya,
sejak tahun 1966 Indonesia berhenti sebagai eksportir gula. Rehabilitasi PG
yang dilakukan besar-besaran pada tahun 1974 atas bantuan Bank Dunia
ternyata tidak bisa mengembalikan kejayaan industri gula sebagimana pada
masa keemasan sebelum PD II.
Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang
mengubah pola penanaman tebu dari sistem sewa menjadi sistem kemitraan,
justru semakin menurunkan standar budi daya tebu. Pada pola lama yaitu

19
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

sistem glebagan, PG menyewa sepertiga sampai seperlima lahan yang ada


di setiap desa untuk ditanami tebu. PG melaksanakan kultur teknis secara
ketat di lahan sawah sebagaimana yang diajarkan Reynoso dari Brasilia. Petani
memperoleh uang sewa dan sekaligus bisa menjadi pekerja. Sementara
melalui Inpres No. 9/1975 pemerintah mendorong petani menanam tebu
di lahan sendiri dengan modal kerja dari Bank dan pembinaan teknis dari
PG. Ternyata, hasilnya mengecewakan karena petani kurang profesional
membudidayakan tebu dan banyak meninggalkan kultur teknis yang
benar sehingga produktivitas menurun. Akibatnya petani menjadi kurang
bergairah dan lahan tebu semakin menyusut karena petani lebih memilih
membudidayakan padi. Dampaknya, pada tahun 2015 separuh kebutuhan
gula nasional (2,9 juta ton) harus diimpor.

b. Tembakau
Tembakau merupakan komoditi pertama yang ditanam dalam skala
perkebunan di Sumatra Timur. Jacobus Nienhuys adalah perintis yang
memindahkan penanaman tembakau dari Jawa Timur ke Tanah Deli pada
tahun 1863. Hasil jerih payahnya dikirim pertama kali tembakau Deli ke
pasar internasional di Rotterdam pada Maret 1864. Kehadiran tembakau
dari Sumatra Timur ternyata ditanggapi antusias oleh pasar Eropa. Mereka
memuji kualitas tembakau pembungkus cerutu yang dibudidayakan di Tanah
Deli.
Keberhasilan di pasar perdana memperkuat tekad Nienhuys untuk memperluas
perkebunan tembakau dengan cara membangun kongsi bersama GC
Clemen dan PW Janssen pada tahun 1867. Usahanya yang cukup berhasil
telah menarik minat kreditur Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM),
sebuah perusahaan yang didirikan Belanda tahun 1824. Mereka membentuk
firma bersama di Sumatra Timur yaitu NV (naamloze vennootschap) Deli
Maatschappij pada tahun 1869.
Perusahaan perkebunan besar lain yang bergerak dalam budi daya tembakau
diantaranya yaitu Senembah Maatschappij. Wilayah usaha perusahaan tersebut
berada di Deli Serdang dengan kantor pusat di Tanjung Morawa (PTPN
II, sekarang). Pada puncak masa kejayannya yaitu tahun 1888, tercatat ada
148 perkebunan yang mengusahakan tembakau di Tanah Deli. Dari sisi nilai
ekspor, angka tertinggi dicapai pada tahun 1913 yaitu sebesar 50 juta gulden
(Furnivall dalam Kartodirdjo dan Suryo 1991).

20
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Gambar 2.7 Tanaman Tembakau Siap Panen di Kebun Bulu Cina, (1912)
(Tropen Museum)

Gambar 2.8 Pekerjaan Menyeleksi Tembakau, (1910) (KITLV)

21
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Tabel 2.1 menampilkan data ekspor tembakau Indonesia tahun 1870–1993.


Sampai 1900 Pulau Jawa lebih berperan sebagai eksportir tembakau dari
Hindia Belanda. Namun sejak 1913 ekspor tembakau luar Jawa (didominasi
Sumatra Timur) melampui Pulau Jawa.

Tabel 2.1 Ekspor Tembakau Jawa dan Luar Jawa 1870–1930


Nilai (000 Gulden)
Tahun
Jawa Luar Jawa Total
1870 3.523 132 3.655
1880 9.510 6.241 15.751
1890 16.697 15.646 32.343
1900 18.461 13.630 32.091
1913 21.382 70.789 92.171
1920 45.608 124.635 170.243
1925 36.783 73.687 110.470
1930 12.301 46.346 58.647
Sumber: Furnival dalam Kartodirdjo dan Suryo (1991)

Pola budi daya tembakau pembungkus cerutu di Sumatra Timur cukup


unik, menyerupai sistem huma, yaitu pengusahaannya hanya satu kali tanam
untuk setiap lahan yang sama. Setelah tembakau dipanen lahan diistirahatkan
dan dibiarkan tumbuh semak belukar sampai 8 tahun berikutnya agar
kesuburannya pulih kembali. Berikutnya lahan baru bisa diolah lagi untuk
penanaman tembakau. Sistem tersebut merupakan kesimpulan dari hasil
penelitian yang menemukan bahwa jika tembakau terus-menerus ditanam
pada lahan yang sama maka kualitas panennya menurun. Tembakau Deli
sebagai pembungkus cerutu kelas premium membutuhkan standar mutu
sangat tinggi (zero defect).
Dengan pola pergiliran tanam demikian maka budi daya tembakau
membutuhkan lahan luas untuk menjaga tersedianya pergiliran tanah.
Adanya persaingan tenaga kerja, peningkatan bea masuk ke Amerika Serikat
dan kesuburan tanah yang berkurang menjadi sebab luruhnya masa keemasan
tembakau. Pada waktu bersamaan, pertumbuhan industri otomotive sedang
berkembang pesat di Amerika Serikat. Hal itu mendorong pekebun tembakau
mulai mengalihkan usahanya mengembangkan budi daya komoditi karet di
lahan yang selama ini ditanami tembakau.

22
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Gambar 2.9 Fermentasi Tembakau di Kebun Sampali, (1890) (Tropen


Museum)

Gambar 2.10 Seleksi Mutu Tembaku Deli, (1894) (Tropen Museum)

23
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Pada masa awal pengembangan perkebunan tembakau di Tanah Deli, seluruh


pekerjanya adalah etnis Cina yang didatangkan dari Penang, Singapura,
dan Kanton. Pekerja yang umumnya laki-laki tinggal di bedeng-bedeng
penampungan di dekat areal kerja di kebun atau bangsal penyimpanan dan
pengolahan tembakau. Adapun para pimpinan perusahaan umumnya tinggal
di lokasi terpisah namun berdekatan. Pekerja lokal tidak dilibatkan dalam
budi daya tembakau karena mereka lebih tertarik mengelola lahan sendiri.
Tembakau Deli sebagai pembungkus cerutu memiliki kriteria mutu lebih
tinggi dari tembakau filler, yaitu tembakau pengisi cerutu atau rokok. Syarat
tembakau pembungkus cerutu harus tipis dan liat agar tidak mudah robek.
Tidak sembarang lahan di Sumatra Timur bisa ditanami. Menurut sebagian
para ahli tanah menyatakan hanya lahan-lahan yang berada diantara Sungai
Wampu dan Sungai Ular di sekitar kawasan Kota Medan yang paling cocok
untuk budi daya tembakau.

Gambar 2.11 Rumah Administrateur Kebun Tembakau, (1870) (Tropen


Museum)

Kini, akibat okupasi lahan, perubahan tata ruang dan timbulnya masalah
sosial, tembakau Deli semakin meredup di pasar Bremen. Jika tidak ada
langkah-langkah yang komprehensif dikhawatirkan kelak, bukan tidak
mungkin tembakau Deli hanya tinggal dikenang dalam sejarah perkebunan
di Sumatra Utara. Nasibnya bisa seperti komoditi nila (Indigofera) dan serat
(Agave americana) yang hilang dari perdagangan. Tanaman nila hilang dari

24
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

perdagangan karena adanya produk substitusi pewarna sintetis. Komoditi


serat Agave telah digantikan oleh produk yang berbasis tekstil dan plastik.

Gambar 2.12 Proses Pengepakan Tembakau, (1900) (Tropen Museum)

c. Karet
Ketika masa keemasan tembakau mulai menurun, setelah hampir 3 dekade
berjaya maka pada tahun 1891 harga tembakau di pasaran Eropa mengalami
kemerosotan tajam yaitu hanya 50% dari harga tahun 1890-an. Sejak itu pasar
tembakau mengalami stagnasi. Mengantisipasi keadaan yang lebih buruk
maka para pekebun tembakau mulai melirik komoditi baru yang memiliki
prospek cerah yaitu karet.

Gambar 2.13 Hamparan Tanaman Karet, (1905) (Tropen Museum)


25
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Harga karet dunia mengalami peningkatan karena didorong oleh tumbuhnya


kebutuhan ban untuk mendukung industri mobil di Amerika Serikat awal
abad ke-20, tepatnya mulai 1910/1911. Merespon prospek karet alam maka
para pengusaha perkebunan mengalihkan sebagian lahan yang semula ditanam
tembakau ke budi daya karet.
Perintisan pengembangan karet secara komersial dimulai pada tahun 1902
ketika Deli Maatschappij menanam 5.000 pohon karet di daerah Langkat,
kemudian diperluas menjadi sekitar 21.000 pohon. Sebelumnya, perusahaan
Swis yaitu Sumatra Rubber Plantation Ltd pada tahun 1899 juga telah
menanam 10.000 pohon karet.

Gambar 2.14 Asisten Afdeling Mengontrol Tanaman Karet (Tropen


Museum)

Pada periode 1899–1905 karet hanya ditanam dalam skala percobaan.


Penyempurnaan teknologi budi daya terus dilakukan, terutama untuk
menyesuaikan kecocokan lahan dan pola budi daya. Sejak itu perluasan
penanaman karet berlangsung cepat. Jika tahun 1910 luas tanaman baru
mencapai 29.471 hektare, maka pada tahun 1920 sudah menjadi 150.156
hektare dan pada tahun 1930 meningkat menjadi 273.094 hektare. Amerika
Serikat merupakan pasar utama karet dari Sumatra Timur.

26
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Data yang dikutip Cowan (1961) menunjukkan bahwa luas areal budi
daya karet di seluruh Hindia Belanda pada tahun 1902 hanya mencapai
435 hektare, tahun 1910 sudah mencapai 258.000 hektare dan tahun 1914
meningkat menjadi 591.026 hektare. Volume ekspor karet Indonesia dari
tahun 1890 sampai dengan 1914 meningkat seratus kali lipat. Kenaikan nyata
terjadi mulai tahun 1911 sampai dengan tahun 1914. Dalam kurun waktu
empat tahun ekspor meningkat dari 2.256 ton menjadi 10.236 ton. Angka
lebih rinci dapat dilihat pada gambar 2.15 berikut ini.

Gambar 2.15 Trend Peningkatan Ekspor Karet Indonesia 1890–1914


Sumber: Diolah dari Cowen (1961)

Selain pengusahaan skala perkebunan, masyarakat umum juga mulai


menanam karet di lahan mereka sendiri. Namun demikian, karet rakyat lambat
perkembangannya karena kurang didukung oleh penguasa dan pengusaha
perkebunan karena dikhawatirkan mendorong terjadinya pencurian hasil
perusahaan perkebunan. Karet rakyat dijual melalui pedagang dengan rantai
perniagaan yang panjang sehingga harga yang diterima petani relatif kecil.
Berbeda dengan perkebunan besar yang produknya bisa langsung diekspor ke
prosesor dan buyers luar negeri.

d. Kelapa Sawit
Perkebunan kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam
Ulu, Batubara oleh Maskapai Oliepalmen Cultuur dan di Pulau Raja, Asahan

27
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

oleh maskapai Inggris Huilleries de Sumatra-RCMA. Kemudian dilanjutkan


oleh firma Seumadan Cultuur Mij di Kebun Seumadan dan oleh firma Sungai
Liput Cultuur Mij, kelompok usaha perkebunan Socfindo, di Kebun Sungai
Liput, Aceh. Palmbomen Cultuur Mij menanam kelapa sawit di Mapoli dan
Tanjung Genteng. Adapun firma Medang Ara Cultuur Mij mengembangkan
di Kebun Medang Ara serta Huilleries de Deli menanam kelapa sawit di Deli
Muda. Semua perkebunan tersebut berlokasi di Sumatra Timur.
Sampai tahun 1915, luas kelapa sawit di Sumatra Timur baru mencapai 2.715
ha ditanam bersamaan dengan kultura lainnya seperti kopi, karet, kelapa, dan
tembakau. Pada tahun 1916 sudah ada 16 perusahaan yang mengusahakan
kelapa sawit di Sumatra Timur dan 3 perusahaan di Jawa. Perluasan terus
berlangsung sehingga pada tahun 1920, sudah ada sebanyak 25 perusahaan
yang menanam kelapa sawit di Sumatra Timur, 8 di Aceh dan 1 di Sumatra
Selatan, yaitu di Taba Pingin dekat Lubuk Linggau. Sampai tahun 1939
tercatat ada 66 perkebunan dengan luas areal sekitar 100.000 hektare. Gambar
2.16 menampilkan hamparan tanaman kelapa sawit muda generasi pertama
di antara tunggul tanaman.

Gambar 2.16 Hamparan Tanaman Kelapa Sawit Muda, (1921) (Tropen


Museum)

Rutgers dalam bukunya “Investigation on Oilpalm” (1922) menyajikan data


yang lebih rinci tentang rintisan perkembangan luas areal kelapa sawit di

28
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Sumatra Timur. Sampai tahun 1916 luas kelapa sawit baru mencapai 2.600
hektare. Luas penanaman terus bertambah yaitu menjadi 3.400 hektare
(1918), 6.840 hektare (1920) dan melonjak menjadi 11.228 hektare pada
tahun 1922. Rincian setiap kebun dan luas areal tanam di Sumatra Timur dan
Aceh pada tahun 1922 adalah sebagai berikut: Marihat (1.470 hektare), Pulu
Raja (1.209), Sungai Liput (1.044), Mata Pao (923), Gunung Bayu (812),
Negeri Lama (750), Karang Inoue (543), Tanah Gambus (508), Tanah Itam
Ulu (459), Seleseh (256), Medang Ara (221), Seumadam (196), Denai (195),
Sungai Serdang (138), Padang Halaban (120), Kwala Gunung (100), Padang
Kiara (83), Bandar Bejambu (80), Serang Jaya (60), Rambung Sialang (50),
Tanjung Slamet (41), Piasa Ulu (24), Bandar Siantar (22), Bandar Gambiri
(20), serta kebun lainnya seluas 1.904 hektare.
Dari data yang dikumpulkan Kartodirdjo dan Suryo (1991) menunjukkan
bahwa ekspor minyak sawit dari Sumatra Timur pertama kali terjadi pada
tahun 1920 sebanyak 1.000 ton. Sejalan dengan terus berlangsungnya
peningkatan luas tanaman maka pada tahun 1930 sudah meningkat menjadi
50.000 ton. Peningkatan terus terjadi sehingga pada tahun 1939 volume
ekspor meningkat lagi menjadi 244.000 ton.

Gambar 2.17 Administrateur Menginspeksi Kebun Kelapa Sawit pada Awal


Abad ke-20 (Tropen Museum)

29
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Maskapai perkebunan utama yang mengusahakan penanaman kelapa sawit


pada awal abad ke-20 tercatat adalah HVA (Handels Vereeniging Amsterdam),
Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan Sungai Liput Cultuur Mij
dari Belanda, RCMA (Rubber Cultuur Maatschappij Planters Association,
Inggris) dan Socfin (Société Financière des Caoutchoucs Belgia). Tahun 1913
telah didirikan pabrik CPO pertama di dunia yaitu di Tanah Itam Ulu,
Kabupaten Batubara yang mulai beroperasi tiga tahun berikutnya pada saat
panen tandan buah segar (TBS) pertama yaitu pada tahun 1916.
Kelapa Sawit secara berurutan menjadi komoditi prospektif ketiga setelah
tembakau dan karet. Kelapa sawit pertama  kali didatangkan ke Indonesia
pada tahun 1848. Pemerintah Hindia Belanda menanamnya sebagai koleksi
di Kebun Raya Bogor. Sampai tahun 1911 kelapa sawit hanya dikenal sebagai
tanaman hias di areal perkebunan sebelum dibudidayakan secara komersial
pada tahun 1911 oleh pengusaha Jerman K. Schadt di Kebun Tanah Itam Ulu
dan Adrien Hallet dari Belgia di Pulau Raja, Asahan dan Sungai Liput, Aceh.
Iklim Sumatra Timur yang panas, lembap, dan curah hujan tinggi sepanjang
tahun sangat cocok untuk budi daya kelapa sawit.

Gambar 2.18 Inti Sawit Siap Dikapalkan, (1936) (Tropen Museum)

30
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Pertumbuhan permintaan kelapa sawit sangat pesat karena karakter tanaman


tersebut yang memiliki produktivitas tinggi sehingga biaya produksinya
rendah, mengalahkan minyak dari kelapa dan biji-bijian. Semakin tingginya
konsumsi produk hilir minyak sawit seperti minyak goreng, margarine,
deterjen, lilin, dan lain lain. juga menjadi faktor pendorong tumbuhnya
industri minyak nabati berbasis kelapa sawit.

e. Teh
Teh pertama ditanam di Sumatra Timur pada sebidang tanah percobaan di
perkebunan Rimbun di Deli Hulu pada tahun 1898. Proyek tersebut tidak
diteruskan, karena dinilai tidak mempunyai prospek budi daya. Melalui
kerja kerasnya melakukan percobaan A. Ris seorang pengusaha asal Swis
membuktikan bahwa tanaman teh layak dikembangkan secara komersial di
Sumatra Timur. Akhirnya pada tahun 1910 pemodal Jerman dan Inggris
tertarik berinvestasi mengembangkan perkebunan teh di sekitar Pematang
Siantar.

Gambar 2.19 Tanaman Teh Tertua Sumatra Timur di Kebun Nagahuta,


(1911) (Tropen Museum)

HVA dan NHM adalah dua di antara perusahaan besar yang turut merintis
pembangunan perkebunan teh di Sumatra Timur sejak tahun 1918. Adapun
perusahaan Inggris yang diwakili oleh Rubber Plantation Investment Trust,

31
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

telah memperoleh daerah konsesi dari raja-raja Simalungun, terutama raja


Pematang Siantar dan Raja Tanah Jawa untuk pengembangan perkebunan
teh di sekitar Pematang Siantar dan wilayah dataran tinggi Sidamanik di
dekat Danau Toba.
Penaklukan Hindia Belanda terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Simalungun
pada tahun 1907, telah membuka jalan bagi perintisan dan perluasan
perkebunan teh ke arah tenggara Medan. Wilayah tersebut yaitu tanah-
tanah di dataran tinggi Sumatra Timur (Pegunungan Simalungun) seperti
Marjandi, Bah Butong dan Sidamanik (Pelzer 1985). Hal itu sejalan dengan
pengetahuan para planters bahwa ada hubungan positif antara pengaruh
ketinggian lahan dari permukaan laut (altitude) dengan kualitas dan aroma
teh yang dihasilkan. Terbukti kemudian bahwa semakin tinggi lahan budi
daya teh dari permukaan laut semakin meningkat mutu dan aroma teh.

Gambar 2.20 Pabrik Teh Pagar Jawa Awal Abad ke-20 (Tropen Museum)

Menurut catatan, pada tahun 1915 luas tanaman teh di Sumatra Timur, yang
umumnya berada di Kabupaten Simalungun hanya mencapai 3.237 hektare.
Namun, pada masa jayanya menurut catatan Pelzer (1985) pada tahun 1938
luas tanaman teh sudah mencapai total luas 21.588 hektare. Wilayah usaha
perkebunan teh bukan hanya di Kabupaten Simalungun melainkan sudah
mencakup wilayah dataran tinggi Kabupaten Tobasa dan Dairi di Sumatra
Timur.

32
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA

Data produksi teh dari Sumatra Timur tidak tercatat khusus namun untuk
Indonesia menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1900 produksinya
masih kurang dari 10 ribu ton per tahun. Capaian produksi meningkat pada
tahun 1913 menjadi 24 ribu ton, tahun 1920 sebanyak 48 ribu ton, tahun
1930 sebanyak 72 ribu ton dan pada tahun 1939 meningkat menjadi 83 ribu
ton. Sebagai pembanding angka produksi tahun 1915 adalah sekitar 140 ribu
ton (BPS 2016).
Pada saat teh mulai dikembangkan di sekitar Pematang Siantar prasarana dan
sarana transportasi di kawasan penanaman teh belum berkembang dengan
baik. Produk teh jadi yang dihasilkan pabrik yang ada di dataran tinggi
Simalungun harus diangkut dengan gerobak dan atau truk ke stasiun Kereta
Api Pematang Siantar. Selanjutnya dikirim ke Pelabuhan Belawan untuk
diekspor ke negara tujuan. Pembangunan jalur kereta api DSM Medan-
Pematang Siantar adalah bagian dari integrasi pelayanan pengangkutan
logistik teh ke Pelabuhan Belawan.

Gambar 2.21 Pekerjaan Sortasi di Pabrik Teh Kebun Kasinder, (1920)


(Tropen Museum)

Perkembangan tanaman teh mengalami tekanan berat ketika Jepang


menduduki Sumatra Timur, berlarut-larutnya perang kemerdekaan dan
ketidakstabilan iklim sosial politik di daerah tersebut. Ketika Jepang

33
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

menduduki Indonesia pada tahun 1942, atas alasan untuk mendukung


keperluan logistik Perang Asia Timur Raya, banyak tanah-tanah perkebunan
yang dialihfungsikan untuk ditanami jarak (menghasilkan minyak), serat/
rami (bahan tekstil) dan tanaman pangan seperti padi serta jagung.
Tanah konsesi perkebunan tembakau dan teh yang paling banyak menjadi
korban alih fungsi. Alasannya karena secara teknis relatif lebih mudah
dikonversi ke budi daya tanaman lain dibandingkan areal perkebunan tanaman
keras (perennial crops) lain, seperti kelapa sawit dan karet. Tajuk tanaman teh
lebih kecil dan pendek sehingga mudah dikerjakan. Ketika itu pemerintah
pendudukan Jepang membagikan lahan perkebunan kepada karyawan dan
masyarakat sekitar dengan hak garap. Namun ketika Perang Dunia II berakhir,
lahan tersebut sebagian tidak bisa dikembalikan lagi ke fungsi semula sebagai
lahan perkebunan karena dipertahankan oleh penggarap.

34
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN
DI SUMATERA UTARA

Sumatera Utara atau dulu lebih dikenal sebagai Sumatra Timur merupakan
teritorial wilayah yang dibatasi oleh Aceh di bagian barat laut, Tapanuli di
barat daya, Bengkalis di tenggara, dan Selat Malaka di timur laut. Karesidenan
Sumatra Timur dibentuk pada tanggal 15 Mei 1873 dengan ibukota di
Bengkalis. Pada masa kolonial Belanda, terdapat sekitar 34 kerajaan lokal di
wilayah tersebut, tetapi yang paling berpengaruh terkait dengan pengembangan
perkebunan adalah Kesultanan Deli, Serdang, dan Langkat (Suwirta 2002).

Gambar 3.1 Peta Sumatra Timur Abad ke-19 (ANRI)


JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Sebelum datangnya pengusaha Barat, masyarakat Sumatra Timur


sesungguhnya telah mengenal cocok tanam komoditi perdagangan seperti
tembakau dan lada yang dipasarkan ke Penang dan Malaka di Semenanjung.
Daerah di luar Sumatra Timur seperti Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra
Selatan, terlebih dahulu menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan
karenanya lebih dikenal sebagai daerah penghasil lada. Adapun penduduk
suku Karo sesungguhnya telah membudidayakan tanaman seperti lada
di ladang mereka. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum Jacobus
Nienhuys datang mengusahakan tembakau (1863), Sumatra Timur telah
menghasilkan ekspor produk agraris di antaranya yaitu lada, rotan, kuda,
buah pinang, pala, tembakau, gambir, getah perca, lilin, dan gading gajah.
Pembukaan perkebunan di Sumatra Timur tidak bisa dipisahkan dari
peristiwa ditandatanganinya Traactat Siak pada 1 Februari 1858. Perjanjian
tersebut memuat klausul bahwa Kerajaan Siak, yang wilayahnya meliputi
Sumatra Timur sampai Tamiang berada dalam perlindungan Pemerintah
Belanda. Termasuk daerah Kesultanan Deli (Deli, Langkat, dan Serdang)
yang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Siak. Pada 22 Februari 1862
Kesultanan Deli juga mengikat traactat dengan Hindia Belanda dalam Acte
van Verband, yang isinya antara lain Pengakuan Sultan Deli atas Kekuasaan
Sultan Siak di wilayahnya (Yasmis 2007).
Pada tanggal 15 Mei 1873 Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan
menggabung Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan
Bilah menjadi satu wilayah Karesidenan Sumatra Timur yang ibukotanya di
Bengkalis (Riau). Kemudian, merespon perkembangan ekonomi Tanah Deli
yang tumbuh pesat maka ibukota Karesidenan Sumatra Timur, yang terdiri
lima afdeling, yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli, dan Batubara
pada tahun 1887 dipindahkan ke Medan.

1. Liberalisasi Sektor Perkebunan di Sumatra


Timur
Dua perubahan besar yang mempengaruhi peran Sumatra Timur dalam
konstelasi perdagangan komoditi perkebunan yaitu Renaisance di Eropa yang
menginspirasi penemuan teknologi mesin uap sebagai cikal bakal industrialisasi.
Mesin uap yang ditemukan James Watt pada tahun 1824 telah mendorong
penemuan mesin dan perkakas dalam proses industri menjadi semakin massal

36
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

dan masif. Mesin uap juga memengaruhi terjadinya peningkatan daya jelajah
kapal dagang Eropa yaitu mampu menjangkau wilayah lautan yang lebih luas.
Sebelumnya kapal niaga dari Eropa mengandalkan arah angin sebagai sumber
penggerak kapal.
Perubahan geostrategis kedua adalah pembangunan Terusan Suez mulai April
1859 oleh Ferdinan de Lesseps dari Perancis. Pembukaan Terusan tersebut
pada tahun 1869 memberikan pengaruh nyata mempersingkat waktu tempuh
kapal laut dari Eropa ke Asia Tenggara. Ketika alur laut masih harus memutari
Benua Afrika melalui Tanjung Harapan-Samudera Hindia, dibutuhkan waktu
pelayaran dua setengah bulan atau sepuluh minggu. Jarak tersebut terpangkas
menjadi hanya enam minggu melalui rute Laut Tengah-Laut Merah-Laut
Arabia-Laut Andaman. Ketika alur laut masih melalui Tanjung Harapan maka
hanya sisi barat Pulau Sumatra yang dilewati kapal-kapal dagang, sehingga hanya
kota-kota seperti Sibolga, Padang dan Bengkulu yang disinggahi. Sebaliknya,
ketika alur pelayaran melalui Terusan Suez maka Selat Malaka menjadi jalur
terpendek menuju Asia Tenggara melewati Aceh, Penang, Malaka dan Belawan.
Perdagangan ekspor komoditi perkebunan dari Sumatera memiliki sejarah
panjang. Pada kurun waktu sebelum berdirinya Vereenigde Oost-indische
Compagnie (VOC) pada tahun 1602, para pedagang dari  India, Arab,
Venisia, Spanyol, dan Portugis bisa langsung berlayar ke pusat produksi dan
perdagangan di  Asia Tenggara untuk membeli rempah-rempah yang akan
diperdagangkan di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa Barat. VOC
didirikan oleh Raja Belanda sebagai instrumen perniagaan ke daerah seberang
lautan. Setelah berkiprah selama 200 tahun, VOC mengalami kemunduran
akibat salah urus dan korupsi pengelolanya. Memasuki abad ke-19,  VOC
mengalami kebangkrutan sehingga perannya diambil alih oleh pemerintah
Hindia Belanda yang berusaha memaksimalkan potensi  lahan-lahan
subur,  untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi,
tembakau, nila, dan gula. Kebijakan tersebut sekaligus juga untuk menutupi
defisit keuangan akibat Perang Diponegoro yang berkepanjangan (1825–
1930) sehingga menghabiskan banyak sumber daya.
Sejak tahun 1830 pemerintahan Hindia Belanda di Jawa menerapkan
kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yaitu membebankan kewajiban
kepada petani untuk menanam komoditi ekspor dan keharusan menjual
hasilnya langsung atau melalui perantara ke Pemerintah Belanda. Kebijakan
lainnya adalah membuka peluang investasi kepada pengusaha swasta untuk

37
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

mengusahakan tanah yang disewa dari pemerintah bagi usaha perkebunan


yang berorientasi ekspor.
Secara demografis, wilayah pantai timur Sumatra, sampai datangnya
pemerintah kolonial Belanda, didiami oleh kelompok etnis Melayu, Karo,
dan Simalungun. Masyarakat Melayu umumnya mendiami wilayah di
dekat pantai, membentang dari Kerajaan Siak di timur sampai Aceh
(Tamiang) di sisi barat. Sementara masyarakat Karo dan Simalungun
umumnya mendiami wilayah dataran tinggi/pedalaman Sumatra Timur.
Untuk mengkonsolidasi kekuasaannya, Pemerintah Kolonial menganeksasi
wilayah pedalaman seperti Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Dairi, serta
menggabungkannya menjadi satu karesidenan. Selanjutnya, pada tahun 1915
wilayah tersebut dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatra Timur, yang
membawahi lima wilayah (afdeling), yaitu Deli  dan  Serdang (ibukotanya
Medan), Langkat (di Binjai), Simalungun (di Pematang Siantar), Asahan
(di Tanjung Balai), dan Bengkalis (di Bengkalis). Belanda memasukkan
Provinsi Sumatra Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang berpusat
di Batavia.

Gambar 3.2 Jacobus Nienhuys (1836–1928) Perintis Perkebunan


di Sumatra Timur (Tropen Museum)

38
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

Sejarah perkembangan perkebunan skala korporasi di Sumatra Timur tidak


bisa dipisahkan dari peran seorang keturunan Arab dari Surabaya bernama
Said bin Abdullah bin Umar Bilfagih. Suatu ketika ia menceritakan kepada
mitra bisnisnya tentang pengalaman perjalanannya ke Labuhan di Tanah
Deli. Ia menemukan tembakau berkualitas tinggi yang diusahakan penduduk
setempat. Said kemudian mengajak mitra dagangnya untuk melakukan survei
penanaman tembakau di Sumatra Timur. Dengan menggunakan Kapal
Josephine milik Firma van Leeuwen Mains & Co, suatu perusahaan tembakau
milik pengusaha Belanda di Surabaya ia berlayar ke Tanah Deli. Rombongan
muhibah terdiri dari pengusaha perkebunan tembakau dari Jawa Timur,
salah satunya Jacobus Nienhuys, dari Firma Van den Arend Surabaya. Pada
tanggal 7 Juli 1863 kapal mereka mendarat di muara Sungai Deli di Labuhan
(pelabuhan lama dekat Belawan). Setelah berlayar selama 2 bulan.
Said Abdullah memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan Deli karena
menikahi adik Sultan. Bersama dengan wakil perusahaan dagang JF van
Leeuwen Mains & Co, Jacobus Nienhuys memutuskan untuk menemui keluarga
Sultan meminta izin mengembangkan perkebunan tembakau di Deli. Ia
bermaksud memborong seluruh tembakau yang dihasilkan penduduk Deli
dan melakukan percobaan penanaman tembakau seluas 75 hektare (Mahadi
1978).

Gambar 3.3 Pekerja Migran Cina di Perkebunan Tembakau, (1870) (Tropen


Museum)
39
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Melalui pendekatan personal yang dilakukan oleh Said Abdullah kepada Sultan
Deli, maka Jacobus Nienhuys berhasil mendapatkan konsesi untuk menggarap
tanah seluas 4.000 bau (1 bau = 0,67 hektare) di tepian Sungai Deli, dengan
masa konsesi 20 tahun. Setelah mengalami kegagalan pada tahun pertama
penanaman dan pecah kongsi dengan perusahaan induknya, maka akhirnya
Nienhuys berhasil mengirim tembakau pertama hasil budi daya sendiri ke pasar
Rotterdam dan ternyata direspon baik oleh pasar. Selanjutnya, pada tanggal
01 November 1869 Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschappij, yaitu
suatu perseroan terbatas yang beroperasi di Hindia Belanda (Breman, 1997).
Penerimaan pasar Eropa terhadap tembakau Deli ikut mendorong perluasan
yang fenomenal budi daya tembakau di Sumatra Timur.
Sebelum Nienhuys datang, sesungguhnya tembakau Deli sudah
diperdagangkan untuk lingkungan lokal dan juga ekspor ke Penang. Ketika
pertama kali membuka perkebunan tembakau, Nienhuys mempekerjakan 88
orang migran Cina dan 23 orang Melayu sebagai buruh kasar. Pekerja diambil
dari Semenanjung Malaya (Strait Settlements), umumnya berasal dari Penang
(Swataw, Amoy, dan Kanton), Singapura dan dari Macao.

Gambar 3.4 Pekerja Migran India, (1880) (Tropical Museum)

40
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

Bisa dicatat bahwa Nienhuys menjadi peletak dasar dan perintis yang
mempromosikan komoditi tembakau pembungkus cerutu sehingga kelak
dikenal sebagai Tembakau Deli. Untuk memperbesar usahanya maka pada
tahun 1869 dikerahkan 900 orang pekerja migran Cina dari Semenanjung.
Sumber pekerja lainnya yaitu etnis Keling (India) dari Koromondel, India,
pekerja Siam dari Muangthai dan pekerja Jawa dari Bagelen, Jawa Tengah.

Gambar 3.5 Pembukaan Lahan Tembakau, (1875) (Tropical Museum)

Respon pasar yang antusias mendorong perkembangan usaha tembakau


berlangsung sangat pesat. Pada tahun 1872 terdapat 13 perkebunan di
Deli, 1 di Langkat dan 1 di Serdang. Diakhir tahun bertambah menjadi 44
perkebunan di Deli dan pada tahun 1873 dibuka perkebunan Annidale dan
Kesawan. Pada tahun 1874 dibuka perkebunan Petersburg, 1876 perkebunan
Boedra serta beberapa perkebunan lainnya. Sampai tahun 1884 terdapat
tambahan 12 perkebunan baru yaitu Mariendal Medan, Peterburgs, Tanjung
Jati, Bandar Kalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekala, Belawan, Lubuk
Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru.
Sebaran daerah yang secara geografis cocok ditanami tembakau karena
kesuburan dan kesesuaian iklim mikronya berada di antara Sungai Wampu
dan Sungai Ular. Sampai menjelang nasionalisasi tahun 1957, dua perusahaan
besar yaitu Deli Matschappij memiliki 17 perkebunan tembakau, sedangkan
Senembah Maatchappij mengelola 10 perkebunan tembakau yaitu Kwala

41
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Bingei, Kwala Begumit, Tandem Hilir, Bulu Cina, Tandem, Timbang


Langkat, Tanjung Jati, Padang Brahrang, Medan Estate, dan Sampali.
Pemberian hak dan konsesi dari Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan
Deli merupakan instrumen legal pengusaha perkebunan sebagai jaminan
kepemilikan lahan. Sebagai alas hak untuk menanamkan modal dan
mendapatkan dana perbankan di sektor perkebunan serta legitimasi untuk
investasi jangka panjang. Konsesi merupakan izin dari pemerintah, yang pada
umumnya disertai dengan syarat-syarat dan batas waktu yang ditentukan.
Terbitnya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 menjadi
landasan hukum baru bagi semakin meluasnya budi daya perkebunan skala
korporasi. Hal itu didorong adanya peluang yang tersedia bagi pengusaha
swasta menyewa tanah negara selama 75 tahun untuk usaha perkebunan. Isi
pokok dari Agrarische Wet secara garis besar adalah sebagai berikut:
• Tanah di Indonesia dibedakan menjadi tanah rakyat dan tanah
pemerintah. Tanah rakyat dibedakan lagi atas tanah hak milik yang
bersifat bebas dan tanah desa (tanah bengkok) yang bersifat tidak bebas.
Tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha
swasta. Sementara tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.
• Tanah yang dikuasai pemerintah (woeste gronde), yaitu tanah hutan atau
tanah yang belum diusahakan (dalam nomenklatur sekarang disebut
sebagai Areal Penggunaan Lain, APL) yang dapat disewakan kepada
maskapai sampai jangka waktu 75 tahun.
Skema pemberian konsesi lahan merupakan pendekatan baru dimulainya
era liberal investasi perkebunan di Hindia Belanda. Hal itu sebagai koreksi
kegagalan dari kebijakan sebelumnya yaitu model eksploitasi lahan melalui
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) oleh Hindia Belanda sebelum keluarnya
Agrarische Wet 1870. Cultuurstelsel yang digagas Van den Bosh mewajibkan
pemilik tanah untuk membudidayakan tanaman komoditi ekspor yang
diperintahkan penguasa. Kompensasi hukuman terhadap pemilik tanah
melanggar ketentuan tersebut adalah dengan bekerja pada perusahaan
atau instansi pemerintah kolonial Hindia Belanda selama 66 hari kerja.
Konsesi tanah perkebunan di Sumatra Timur diperoleh ketika Sultan Deli
memberikan hak kepada investor perkebunan untuk jangka waktu yang
berbeda-beda. Ada masa konsesi selama 12 tahun, 70 tahun, 75 tahun atau
bahkan ada yang berlaku selama 99 tahun. Pada konsesi yang diberikan

42
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

kepada Deli Maatschappij pada 11 Juni 1870, Sultan Deli memberikan hak
pengelolaan perkebunan Mabar-Delitua seluas 12.000 bau dalam waktu lima
tahun. Pada akhir jangka waktu lima tahun Deli Maatschappij memperoleh
perpanjangan hak selama 99 tahun. Pemberian konsesi lain pada 4 Desember
1869, Sultan Deli juga memberikan hak yang sama pengelolaan Kebun
Polonia yaitu tanah antara sungai Deli dan Babura.
Sejak diberlakukan Agrarische Wet pada tahun 1870, yang membolehkan
perusahaan swasta memperoleh konsesi jangka panjang, perkebunan tembakau
di Sumatra Timur tumbuh dengan cepat. Dua puluh tahun setelah tembakau
pertama ditanam pada tahun 1863, pada tahun 1884 telah bertambah luas
pengembangan komoditi tembakau menjadi 76 perkebunan. Rinciannya
yaitu 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang, 2 di Bedagai, dan 1 di Padang.
Sejalan dengan laba perusahaan yang terus meningkat, berkat kemasyhuran
tembaku Deli sebagai pembungkus cerutu terbaik di pasar lelang Rotterdam,
Deli Maatschappij juga mengembangkan komoditi karet, kopi, lada, dan kelapa
sawit. Peran pemodal swasta dalam bidang perkebunan di Sumatra Timur
pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal
abad  ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet, kelapa sawit, dan
teh mulai dikembangkan. 
Keuntungan tinggi yang diperoleh para pengusaha Tembakau Deli
menjadi magnet bagi investor untuk menanamkan modalnya pada
usaha perkebunan. Jumlah pengusaha perkebunan di Tanah Deli terus
bertambah. Pada tahun 1891 tercatat sebanyak 169 perusahaan, pada
tahun 1916 jumlahnya meningkat menjadi 320 perusahaan. Masing-
masing di Deli Serdang 120 perusahaan, Langkat 67 perusahaan,
Simalungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan (Breman 1997).
Perkebunan karet pertama didirikan di wilayah kesultanan Serdang pada
tahun 1902 oleh perusahaan Inggris yang bergabung dalam Harrison and
Crosfield (H & C). Selain di tanah Deli, perusahaan tersebut juga membuka
kebun karet di Semenanjung Malaya yang menjadi daerah jajahan Inggris.
Pada tahun 1909 didirikan pula Deli Batavia Rubber Maatschappij untuk
mendapatkan konsesi penanaman karet di Tanah Deli. Antara tahun 1909
dan 1914 ada dua perusahaan perkebunan karet di Sumatra Timur yaitu
United States Rubber Company dan Goodyear Rubber Company. Pada periode
ini pembukaan perkebunan karet sudah meluas sampai ke wilayah Simalungun
dan Asahan.

43
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Adapun perkebunan kelapa sawit mulai dibangun tahun 1911 antara lain di
Pulau Raja, Asahan. Pada waktu yang hampir bersamaan tanaman teh mulai
dibudidayakan di dataran yang lebih tinggi dari permukaan laut yaitu di
Simalungun. Dua puluh tahun kemudian dua komoditi ini menjadi tanaman
penting tempat bergantungnya ekonomi perkebunan di Sumatra Timur. Luas
tanah yang ditanami kelapa sawit meningkat dari 2.600 hektare tahun 1915
menjadi 60.000 hektare tahun 1930. Pada kurun tersebut produksi karet
juga mengalami peningkatan dari 6.432 ton menjadi 77.535 ton. Adapun
perkebunan teh Sumatra Timur tahun 1915 baru ditanam seluas 3.237
hektare, namun pada tahun 1938 sudah mencapai luas 21.588 hektare.
Menurut Pelzer (1985) menjelang tahun 1920-an perkebunan di Sumatra
Timur tumbuh bagai jamur di musim hujan. Areal perkebunan terhampar
luas ratusan kilometer dari Medan arah barat-laut menuju perbatasan Aceh.
Dari Medan ke arah selatan sepanjang 120 kilometer menuju Pematang
Siantar dan dari Medan arah tenggara dua ratus kilometer menuju Asahan.
Pertumbuhan jumlah usaha perkebunan selama kurun waktu 40 tahun sejak
1864 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.1 Pertumbuhan Perkebunan di Sumatra Timur 1864–1904


Jumlah Jumlah
Tahun Tahun
Perkebunan Perkebunan
1864 1 1887 114
1873 13 1888 141
1874 23 1889 153
1976 40 1891 169
1881 67 1892 135
1883 74 1983 124
1884 76 1894 111
1885 88 1900 139
1886 104 1904 114
Sumber: Breman (1997)

Data diatas menunjukkan bahwa dalam waktu 10 tahun pertama dari


tahun 1864 jumlah perkebunan meningkat menjadi 23 unit. Sepuluh tahun
berikutnya meningkat lagi menjadi 76 unit. Puncaknya adalah tahun 1891
yaitu ada 169 unit lalu menurun karena sebagai dampak turunnya harga
tembakau pada tahun 1891.

44
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

Ekspansi perkebunan yang tumbuh cepat menimbulkan ekses ketenagakerjaan,


sosial, dan lingkungan. Untuk mengkonsolidasi diri dan memecahkan
permasalahan tersebut secara bersama dan terkoordinasi, maka pada awal
abad ke-20 kelompok perusahaan besar perkebunan membentuk Deli Planters
Vereeniging (DPV). Yaitu kumpulan dari delapan perusahaan perkebunan
asing yang memiliki konsesi masing-masing lebih dari 15 ribu hektare.
Empat perusahaan milik pengusaha Belanda, dua maskapai mengusahakan
perkebunan karet yaitu RCMA (Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam)
dan untuk komoditi teh yaitu trading firm HVA (Handels Vereeniging
‘Amsterdam’) serta dua perusahaan mengusahakan perkebunan tembakau
yaitu Deli Maatschappij dan Senembah Maatchappij. Dua perusahaan milik
Amerika yaitu US Rubber (Uniroyal) dan Goodyear. Dua lainnya merupakan
perusahaan Inggris yaitu Harrisons & Crosfield dan Perusahaan Belgia
yang bergerak di komoditi kelapa sawit yaitu SocFin (Société Financière des
Caoutchoucs) (Lindblad 2009).
Dari rincian data negara asal investasi perkebunan di Indonesia tahun 1938
sebesar 4.000 juta gulden, menunjukkan bahwa Belanda merupakan negara
yang paling banyak berinvestasi yaitu sebesar 3.000 juta gulden. Diikuti
Inggris (370 juta), Amerika (240 Juta), Perancis (120 Juta) Jerman, Jepang,
dan Italia masing-masing 30 juta gulden (Burger dalam Kartodirdjo dan
Suryo 1991).

2. Masa Penyusutan Industri Perkebunan


Periode 1930–1942
Pemulihan ekonomi dunia pasca masa depresi 1929 tidak bisa mengembalikan
kejayaan perkebunan di Indonesia. Komoditi gula yang umumnya
dibudidayakan di Pulau Jawa, pada masa jayanya menjadi pengendali pasar
utama (market leader) perdagangan internasional, dengan volume ekspor lebih
dari 1,5–2,0 juta ton/tahun. Setelah itu perannya semakin meluruh. Jumlah
Pabrik Gula (PG) yang beroperasi semakin berkurang karena mengalami
permasalahan keuangan. Tidak sampai separuh PG di Jawa yang bisa tetap
beroperasi dari 187 pabrik yang ada sebelum Zaman Malayse.
Adapun komoditi tembakau mulai memasuki pertumbuhan yang melambat
ketika memasuki abad ke-20. Diantaranya karena kebijakan fiskal Pemerintah

45
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Amerika Serikat untuk melindungi petani tembakau dalam negeri dengan


menaikkan bea masuk terhadap tembakau Indonesia. Faktor lainnya adalah
menurunnya kesuburan lahan karena semakin sulit mendapatkan lahan-lahan
baru eks hutan diantara Sungai Ular dan Sungai Wampu di Tanah Deli.
Hanya karet yang mengalami pertumbuhan cukup menjanjikan pada tahun
1920-an sejalan dengan tumbuhnya industri kendaraan bermotor di Detroit,
Amerika Serikat. Komoditi teh awal abad ke-20 tetap tumbuh meski tidak
fenomenal. Perkebunan kelapa sawit juga semakin memantapkan posisinya
sebagai komoditi unggulan menggantikan minyak kelapa. Produktivitas
kelapa sawit per hektare yang jauh melampaui kelapa nyiur memiliki daya
saing yang semakin kuat.
Ketika ekonomi dunia mulai membaik pada pertengahan tahun 1930-an,
perkembangan geostrategis global justru memunculkan embrio konflik baru.
Peralihan kepemimpinan Jerman ke tangan Adolf Hilter tahun 1933 dan
Italia ke rezim Benito Mussolini dari tahun 1922 menciptakan ketidakstabilan
kawasan. Kecenderungan rezim fasis, agresif dan ekspansionis tersebut telah
menjadi unsur instabilitas hubungan dagang diantara negara-negara Eropa
dan belahan dunia lainnya. Terbentuknya poros negara fasis Jerman, Italia
dan Jepang menciptakan blok baru melawan aras utama negara-negara
anggota Liga Bangsa-bangsa.
Perang Dunia II meletus ditandai dengan pernyataan perang oleh Pemerintah
Inggris dan Perancis kepada Jerman yang menyerang Polandia 1 September
1939. Perang yang terjadi di Benua Eropa berdampak berubahnya orientasi
kegiatan industri menjadi fokus untuk mendukung perang. Dampak
peperangan juga mengakibatkan ekspor produk perkebunan turun drastis
dan pengiriman komoditi melalui kapal menjadi perjalanan yang penuh
bahaya karena tidak terjaminnya keselamatan pelayaran kapal-kapal dagang.

Periode 1942–1945
Periode pendudukan Jepang dimulai ketika pasukan negara Tenno Heika
dibawah pimpinan Letnan Jendral Nashimura mendarat di Tanjung Tiram
(Kabupaten Batubara) pada tanggal 12 Maret 1942. Peralihan kekuasaan dari
Belanda ke Jepang pada awalnya disikapi positif oleh sebagian masyarakat
Sumatra Timur sebagai simbul pembebasan dari penjajahan Belanda.
Propaganda tentang misi suci bagi kejayaan Asia Timur Raya telah mengecoh
masyarakat dari tujuan licik Jepang yang ingin menguasai Nusantara.

46
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

Ketika Jepang telah sepenuhnya mengambil alih kekuasaan dan mengendalikan


keamanan, maka dimulailah kebijakan pendudukan yang represif. Adapun
sikap pasukan pendudukan Jepang terhadap industri perkebunan adalah
membiarkan pengelola kulit putih tetap beraktivitas. Mereka tidak
diperlakukan sebagai tawanan. Jepang rupanya memiliki rencana sendiri
terhadap aset perkebunan untuk mendukung ekonomi perang.
Merosotnya ekonomi dunia, hilangnya pasar utama komoditi perkebunan
dan tidak terjaminnya keamanan pelayaran kapal dagang menuju pasar utama
di Eropa mendorong perusahaan untuk mengurangi aktivitas operasionalnya.
Dampaknya, pendapatan korporasi merosot dan cash flow sebagian perusahaan
tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendek seperti membayar upah
pekerjanya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan keperluan sehari-
hari pekerja, pengelola perkebunan terpaksa memberi izin kepada pekerja
menggarap lahan-lahan kosong dan tidak produktif untuk budi daya tanaman
pangan guna menopang kebutuhan keluarga pekerja selama perusahaan
mengurangi kegiatan operasional.
Perluasan penggunaan lahan perkebunan untuk peruntukan lain juga terjadi
karena perintah tentara pendudukan Jepang yaitu untuk pengembangan
tanaman jarak pagar, kapas, padi, rami, kacang tanah, dan tanaman lainnya.
Menurut catatan Pelzer (1985), lahan konsesi perkebunan tembakau yang
paling menderita. Tanah yang semestinya diperuntukan untuk pergiliran
penanaman tembakau seluas sekitar 160 ribu hektare atau separuh dari total
areal, dialihkan untuk budi daya lain atas perintah Jepang. Lahan-lahan yang
dipilih berada di Langkat, Deli, Serdang, dan Simalungun. Umumnya yang
dikonversi adalah lahan yang berada di pinggir jalan raya, dekat pemukiman
perkebunan atau dekat perkampungan penduduk. Lahan dikapling-kapling
kepada para pekerja perkebunan dan masyarakat sekitar. Diolah dan diusahakan
untuk tanaman tertentu yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri atau dijual kepada Pemerintah. Dalam perjanjian dinyatakan hak
kepemilikan lahan tetap pada perusahaan perkebunan.
Hampir semua perkebunan mengalokasikan lahannya untuk komoditi
lain atas perintah Jepang. Diantaranya untuk perkebunan karet mencapai
31.932 hektare, atau 12% dari total 258.959 hektare lahan konsesi. Lahan
kelapa sawit yang dialihfungsikan seluas 13.626 hektare atau 16% dari total
luas 87.247 hektare. Sementara perkebunan teh, sepertiga areal atau 7.075

47
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

hektare dari total 21.464 hektare lahan dialihfungsikan untuk tanaman


pangan. Persentase areal perkebunan teh yang dialihfungsikan paling besar
dibandingkan komoditi lain. Hal itu bisa dipahami karena diantara profile
tanaman tahunan, hamparan teh yang paling mudah dikonversi karena
perdunya kecil-kecil. Penyebab lain adalah jumlah pekerja teh sangat intensif
(padat karya) rata-rata 2 orang per hektare. Kelesuan ekonomi berdampak
banyaknya pekerja pemetik teh yang harus diberikan kompensasi pendapatan.
Solusinya yaitu dengan memberikan ijin menanami lahan cadangan atau
membongkar tanaman teh untuk ditanami dengan padi, jagung, dan tanaman
pangan lainnya.
Tentara pendudukan Jepang menggunakan lahan perkebunan menjadi
lahan pertanian untuk mendukung keperluan perang Jepang di Asia Timur
Raya. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia maka terjadi kekosongan
pemerintahan, banyak lahan-lahan tersebut yang tidak dikembalikan ke
pemiliknya yaitu perusahaan perkebunan. Penggarap mempertahankan lahan
yang telah diusahakan dan menolak ketika diminta untuk mengembalikan.

Periode 1945–1965
Akibat terlalu lama lahan digarap masyarakat, yaitu sejak pendudukan Jepang
tahun 1942, ekonomi dunia yang hancur akibat perang dan kondisi sosial-
politik-kemananan yang tidak kondusif telah memengaruhi hubungan antara
pemilik lahan (dalam hal ini perusahaan perkebunan) dengan penggarap.
Ketidakpastian masa depan perkebunan telah membuka peluang masyarakat
untuk menguasai lahan yang mereka garap. Bertemunya kebutuhan petani
penggarap untuk menguasai lahan secara permanen dan adanya provokasi dari
organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia, yang berafiliasi ke PKI) menjadikan
penggarap berubah orientasi. Mereka bukan hanya bermaksud sekedar
mengolah tanah, namun juga untuk memiliki secara permanen. Mereka
menghancurkan infrastruktur kebun serta membangun perumahan dan
pemukiman di areal garapan. Iklim politik Sumatra Timur yang labil pasca
PD II juga ikut memberi andil hilangnya lahan perkebunan dalam jumlah
yang sangat luas dalam waktu cepat.
Setelah perang kemerdekaan, masa keemasan tembakau mulai menurun,
sementara prospek karet dan kelapa sawit meningkat tajam. Pada tahun 1950-
an produksi tembakau rata-rata hanya 3.500 ton setahun, padahal sebelum

48
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

PD II (Tahun 1938) bisa menghasilkan 15.000 ton setahun. Sementara itu


pertumbuhan produksi karet meningkat dari dibawah 40.000 ton pada tahun
1940-an menjadi 155.000 ton pada tahun 1953, dan stabil pada kisaran
140.000 ton pada dekade 1950-an. Adapun produksi kelapa sawit (CPO)
meningkat dari dibawah 120.000 ton pada akhir tahun 1940-an menjadi
150.000 ton pada tahun 1953.
Ketika Belanda melakukan Agresi II pada Juli 1947 ke Sumatra Timur
membonceng kekuatan Sekutu, para Sultan dan raja-raja kecil diberikan
peran sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Belanda dengan membentuk
pemerintahan federal dalam wadah “Negara Sumatra Timur”. Mendahului
agresi Belanda, pada tahun 1946 rakyat yang marah terhadap kebijakan sultan
dan elite feodal yang terlalu memihak Belanda melakukan balas dendam
sehingga terjadilah peristiwa “Revolusi Sosial”, yang ditandai antara lain
dengan terbunuhnya para bangsawan Melayu dan raja-raja kecil di luar kota
Medan. Kekacauan sosial (social unrest) bahkan terus berlangsung sampai
beberapa tahun berikutnya.
Keamanan negara yang merosot menjadi momentum bagi petani penggarap
dan mantan pekerja perkebunan mengkonsolidasi diri untuk mempertahankan
lahan yang telah mereka garap selama bertahun-tahun tersebut agar tidak
diambil kembali oleh pemiliknya yaitu perkebunan. Mulailah muncul gerakan-
gerakan sabotase untuk menguasai lahan perkebunan dan pendudukan lahan
konsesi yang didukung BTI dan organisasi buruh Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI), serta Serikat Buruh Perkebunan Republik
Indonesia (SARBUPRI) yang berafiliasi dengan PKI.
Ketika pemilik dan pejabat perkebunan bangsa Eropa yang sebelumnya
menyingkir ke Australia kembali ke Sumatra Timur bersama pasukan
pendudukan Belanda, mereka tidak mengenali lagi lahan perkebunannya
karena sudah rusak akibat penggarapan liar. Ketidakpastian status lahan
konsesi perkebunan yang digarap terus berlangsung sampai akhir tahun 1950-
an. Tidak terjaminnya kestabilan politik nasional dan posisi pemerintah pusat
yang lemah karena kabinet sering jatuh-bangun silih berganti, menjadikan
negara tidak stabil. Sementara itu pemberontakan yang menuntut otonomi
lebih luas terjadi dimana-mana. Di Sumatra Timur berdiri Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dipimpin Kolonel Simbolon yang
memberontak kepada pemerintah pusat. Beberapa Kebun yang tanahnya

49
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

diduduki penggarap diantaranya: Bah Lias (34 % dari 6.749 hektare); Laras
(40% dari 8.461 hektare); Rambutan (48% dari 13.330 hektare); Bandar
Chalipah (38% dari 3.642 hektare); Kwala Namu (58% dari 4.282 hektare)
dan Pagar Merbau (37% dari 5.032 hektare) (Pelzer 1985).
Kondisi sosial politik yang tidak stabil di Sumatra Timur semakin memburuk
sehingga pemerintah mengumumkan keadaan Darurat Perang (state van orlog
an beleg) di Sumatra Timur tanggal 24 Desember 1956. Hal itu sebagai reaksi
ketika Panglima Daerah Militer I Bukit Barisan Kolonel Simbolon membelot
ke pemberontak PRRI dan digantikan oleh Letkol Djamin Ginting. Kasus
perlawanan pekerja kepada pimpinan perusahaan juga kerap terjadi di wilayah
perkebunan yang jauh dari perlindungan tentara pusat. Terjadi pembunuhan
terhadap Mudjito, administrateur pribumi Kebun Bah Butong, Simalungun
pada tahun 1958 yang disergap oleh gerombolan PRRI saat dalam perjalanan
dari Sidamanik ke Pematang Siantar. Ada tiga rangkaian peristiwa atau periode
kekacauan sosial di Sumatra Timur pasca kemerdekaan yaitu Revolusi Sosial,
Pemberontakan PRRI serta Gerakan Kaum Buruh dan Petani yang disokong
oleh Partai Komunis Indonesia.
Revolusi Sosial umumnya terjadi karena dendam kolektif yang memperoleh
momentum ketika kekuasaan negara berada di titik lemah. Masyarakat
merasa tidak puas dengan kebijakan sultan dan penguasa lokal yang
cenderung menguntungkan penjajah dan dianggap tidak mendukung gerakan
kemerdekaan Indonesia. Mereka menganggap para elit feodal merupakan
kaki tangan penjajah yang menyerahkan lahan untuk para kapitalis. Konsesi
yang diberikan para sultan terkadang berada diluar wilayah yurisdiksinya.
Penduduk sekitar juga tidak bisa memanfaatkan lagi sumber daya hutan yang
telah diserahkan hak konsesinya kepada perusahaan dan diubah menjadi
lahan tanaman perkebunan.
Kebencian rakyat terhadap para sultan dan borjuis lokal memperoleh
momentum ketika terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia setelah
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki dan
tentara pendudukan Jepang dilucuti. Rumor akan masuknya Penguasa
Belanda (yang diklasifikasikan sebagai kroni elit lokal) yang membonceng
kemenangan Sekutu, menjadi trigger terjadinya pemberontakan masyarakat.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumatra Timur, namun juga melanda
seluruh wilayah Indonesia. Contohnya adalah meletusnya kerusuhan sosial

50
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

di Jawa Tengah. Lebih dikenal sebagai “Peristiwa Tiga Daerah” yang terjadi
di Karesidenan Pekalongan (Pekalongan, Pemalang, Tegal) pada akhir
tahun 1945. Banyak elit lokal yang menjadi korban, dibunuh oleh rakyat
yang marah. Salah satu kelompok yang berada di balik kerusuhan sosial di
Sumatra Timur yaitu Kelompok Persatuan Perjuangan yang unsur-unsurnya
berasal dari simpatisan dan pengikut PKI, PNI, Gerindo, dan pemuda radikal
lainnya yang menganggap para elit feodal sebagai musuh bersama yang harus
disingkirkan. Menurut Hamdani (2012), revolusi sosial di Sumatra Timur
digerakkan oleh kalangan pergerakan yang kecewa dengan sikap elit feodal
yang kurang mendukung gerakan kemerdekaan. Peristiwa pertama terjadi
3 Maret 1946 ketika Istana Sunggal diserbu. Selanjutnya tanggal 6 Maret
Istana Maemun dikepung rakyat, namun tidak terjadi insiden karena kuatnya
pengawalan pasukan pendudukan Inggris. Penyerangan selanjutnya dialihkan
ke Langkat, Serdang, Perbaungan, Pematang Siantar, Simalungun, Tanjung
Balai, dan Asahan. Di kota-kota tersebut banyak kaum elit lokal yang terbunuh.
Di Tanjung Balai pada 3 Maret 1946 ribuan orang mengepung Istana
Sultan Asahan. Esoknya ditemukan 140 orang bangsawan mati terbunuh
oleh revolusi rakyat. Gerakan tersebut merembet ke daerah lain, seperti di
Simalungun, dimana Raja Pane ikut terbunuh. Pada tanggal 8 Maret Sultan
Bilah dan Sultan Kota Langkat juga menjadi korban. Puncaknya pada tanggal
9 Maret 1946 Penyair Amir Hamzah juga ikut menjadi korban kerusuhan
sosial. Sultan Serdang selamat karena kuatnya penjagaan oleh pasukan tentara
pusat (Tentara Republik).
Pada tahun 1950 sebanyak 700.000 buruh perkebunan di Jawa dan Sumatra
yang diprakarsai oleh SARBUPRI melakukan mogok nasional. SARBUPRI
yang berdiri 17 Februari 1947 mendapat dukungan dari SOBSI yang didirikan
pada 29 November 1946. Organisasi ini memperoleh dukungan luas dari
simpatisan komunis dengan klaim jumlah anggota pada tahun 1960 sekitar 3
juta orang. Dalam aksinya mereka banyak melakukan tindakan sabotase dan
kekerasan. Tercatat ada seorang asisten pabrik teh di Kayu Aro, Jambi yang
dibunuh oleh simpatisan SARBUPRI menjelang meletusnya G 30S/PKI.
Gerakan buruh ketika itu mendapatkan perlawanan dari SBM (Serikat Buruh
Marhaenis yang berafiliasi ke PNI) yang berdiri tahun 1952 dan SBII (Serikat
Buruh Islam Indonesia) yang berafiliasi ke Masyumi (Majlis Syura Muslimin
Indonesia). SBII selanjutnya berubah menjadi GASBIINDO (gabungan
Serikat Buruh Islam Indonesia) setelah Masyumi dibubarkan karena dituduh

51
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk melawan dominasi SOBSI


maka Angkatan Darat mendirikan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan
Swadiri Indonesia) pada tahun 1961, yang dipimpin Jenderal Suhardiman
dan didukung TNI Angkatan Darat.
Hingga tahun 1958 Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat sehingga
kabinet mengajukan rancangan UU Nasionalisasi. Sebagai klimaksnya
Perdana Menteri/Menteri Pertahanan Djuanda membuat keputusan dramatis
menasionalisasi perusahaan Belanda pada tanggal 9 Desember 1957. Selaku
pemimpin tertinggi militer, Djuanda memerintahkan penempatan semua
perkebunan Belanda beralih menjadi milik pemerintah Indonesia. Kepala
Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution pada 10 Desember
1957 mengeluarkan perintah kepada Penguasa Militer Daerah (setingkat
Pangdam, sekarang) untuk mengambil alih pengelolaan semua perusahaan
Belanda yang ada di wilayahnya. Pada tanggal yang sama Menteri Pertanian
Sadjarwo mengeluarkan ketentuan yang menempatkan perusahaan negara
dalam pengawasan teknis Pusat Perkebunan Negara (PPN-baru). Perusahaan
perkebunan lain dibawah naungan AVROS yang tidak terafiliasi dengan
Belanda seperti Uniroyal, Goodyear (milik Amerika Serikat), Lonsum (Inggris),
Socfindo dan Sipef (Belgia) tidak menjadi obyek nasionalisasi.
Secara legal formal, nasionalisasi dituangkan dalam UU No. 86 Tahun 1957
tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia. UU
tersebut ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tangggal 27 Desember
1957 dan berlaku surut mulai 3 Desember 1957.
Sejak pendudukan Jepang sampai nasionalisasi perkebunan milik Belanda,
masalah penyelesaian tanah garapan belum ada solusinya. Banyak perkebunan
(termasuk yang kepemilikannya bukan terafiliasi dengan Belanda) kehilangan
sebagian lahan konsesinya, akibat ketidakstabilan iklim sosial-politik-
keamanan di Sumatra Timur. Hampir separuh lahan yang dikelola perusahaan
perkebunan sebelum PD II beralih ke para penggarap.
Setelah pulihnya kondisi keamanan pasca Orde Baru, dimulailah dilakukan
konsolidasi perkebunan, namun hasilnya tidak mampu mengembalikan masa
kejayaan sebagaimana seperti sebelum zaman depresi ekonomi 1929. Pasca
PD II hanya tersisa 240 perkebunan yang masih beroperasi, diantaranya 95
kebun milik pengusaha Belanda, 120 milik asing nonBelanda dan 25 kebun
oleh penduduk Indonesia.

52
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

Pemberontakan PRRI yang berlarut-larut dan nasionalisasi perusahaan


Belanda secara unilateral telah mengakibatkan tenaga ahli perkebunan banyak
eksodus ke luar negari. Demikian juga gejolak yang terjadi sebelum dan
sesudah meletusnya pemberontakan G 30 S PKI. Sebagai simbul kemapanan
(establishment) perkebunan menjadi sasaran tuntutan oleh organisasi petani
dan buruh yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Periode
tersebut menjadi masa-masa sulit pengelolaan usaha perkebunan. Okupasi
oleh penduduk sekitar dan bekas karyawan perusahaan menyusutkan hampir
separuh luasan usaha perkebunan di Sumatera Utara.
Pada masa Orde Baru organisasi buruh lebih kondusif setelah didirikannya
FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) pada 20 Pebruari 1973 oleh Agus
Sudono (mantan Pemimpin GASBINDO). Pada 11 Maret 1974 FBSI
dikukuhkan sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui pemerintah.
Sejak itu hubungan industrial di perkebunan berlangsung lebih kondusif.
SOKSI masih menjadi tulang punggung gerakan menjaga kestabilan hubungan
ketenagakerjaan di perkebunan.

3. Pengelolaan Perkebunan Negara Pasca


Nasionalisasi
Untuk mengkonsolidasi perkebunan negara setelah kemerdekaan, pada
September 1950 Pemerintah RI membentuk Perusahaan Perkebunan Negara
(PPN) yang merupakan perwujudan dari Government’s Landbouw Bedrijven
(GLB). PPN dibentuk untuk mengelola perusahaan swasta asing yang kalah
pada Perang Dunia II yaitu Jepang, Jerman, dan Italia menjadi milik Republik
Indonesia. Adapun Belanda sebagai anggota Sekutu adalah pemenang perang
sehingga tetap bisa beraktivitas dan tidak diambil alih.
Pengambilalihan perusahaan Belanda di Indonesia baru terjadi pada tahun
1957, sebagai dampak dari gagalnya Pemerintah RI memperoleh dukungan
negara-negara anggota PBB terhadap tuntutan kedaulatan Irian Barat. Pada
proses pemungutan suara, lobby Belanda cukup kuat memengaruhi anggota
PBB. Kekecewaan Pemerintah RI melahirkan tuntutan masyarakat yang
diwakili para buruh dan anggota pergerakan untuk menasionalisasi perusahaan
milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Mengantisipasi pengambilalihan
secara sepihak oleh gerakan buruh maka ditetapkan kebijakan Pemerintah

53
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

RI pada Desember 1957 bahwa lebih dari 500 perkebunan Belanda atau
sekitar 75% dari seluruh perkebunan di Indonesia dikelola di bawah
pengawasan militer. Menurut Menteri Pertanian Sadjarwo, pengambilalihan
ini dimaksudkan untuk melindungi pabrik dan instalasi perkebunan lainnya
selama masa agitasi politik, sehingga proses produksi tidak sampai terhenti.
Perkebunan-perkebunan tersebut akan dikembalikan kepada para pemiliknya
jika Belanda setuju untuk menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah
Indonesia. Perusahaan yang dinasionalisasi tahun 1957 selanjutnya berada
dibawah pengawasan PPN-Baru dan Jawatan Perkebunan dan tidak
digabungkan ke dalam struktur PPN yang telah ada sebelumnya (sering
disebut PPN-Lama) (Pelzer 1991).
Cakupan perusahaan yang dinasionalisasi menurut UU No. 88 Tahun
1958 yaitu: Pertama, perusahaan yang seluruh atau sebagian merupakan
milik perseorangan warga negara Belanda dan berkedudukan dalam wilayah
Republik Indonesia. Kedua, perusahaan milik suatu badan hukum yang
seluruh atau sebagian modal perseroannya berasal dari perseorangan warga
negara Belanda dan berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia.
Ketiga, perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan
untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga negara
Belanda yang berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia. Keempat,
perusahaan yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan
milik suatu badan hukum yang berkedudukan dalam wilayah Negera Kerajaan
Belanda.
Setelah terjadinya pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan
Belanda pada tahun 1957–1958, memang ada kecenderungan kemerosotan
kinerja perusahaan. Pada masa awal nasionalisasi terjadi penurunan
produktivitas tanaman, kerusakan infrastruktur, kekurangan modal dan
hilangnya akses pasar. Hal ini disebabkan karena adanya kemunduran
pengelolaan dan kurangnya keterampilan teknis d a n m a n a j e r i a l
perusahaan perkebunan setelah ditinggalkan planters warga Eropa.
Hal itu terjadi karena eksodus tenaga ahli dan resesi ekonomi yang terjadi
pasca perang serta terputusnya hubungan dengan vendor dan jaringan mitra
dagang di luar negeri. Nasionalisasi perusahaan yang terjadi akhir tahun
1950-an dilakukan serta merta (unilateral) tanpa proses transisi yang natural
sehingga alih teknologi dan keterampilan dari pengelola bangsa Eropa

54
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

kepada pemuda-pemuda Indonesia tidak dipersiapkan dengan baik. Pemuda-


pemuda lulusan setingkat sekolah lanjutan atas dipersiapkan secara instan
menggantikan keahlian para staf bangsa Eropa yang umumnya planters di
bidang perkebunan dengan pengalaman puluhan tahun.
Sebagai tindak lanjut UU Nasionalisasi maka dibentuk Perwakilan PPN Baru
Pusat yang ada di Jakarta. Adapun perwakilan di daerah dibentuk di Medan
mewakili wilayah Sumatra, Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah)
dan Surabaya (Jawa Timur). Corak perusahaan ketika itu masih mengacu tata
kelola masing-masing perusahaan tersebut.
Mengutip catatan Kartodirdjo dan Suryo (1991), pada tahun 1960 struktur
organisasi PPN Baru disempurnakan dengan dibentuknya pembagian
Rayon, Pre-Unit dan Unit dalam setiap Rayonnya. Unit-unit perusahaan
tersebut mengacu PP No. 141–175 tahun 1961 yang mengatur bahwa setiap
kesatuan-kesatuan perusahaan negara bertugas menyelenggarakan kegiatan
sesuai bidang usahanya. Selanjutnya, struktur organisasi PPN Lama dan
PPN Baru Pusat digabung menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan-
Perusahaan Negara (BPU-PPN) atau PPN Kesatuan. PPN Kesatuan terbagi
dalam beberapa unit kerja, yaitu: Unit Aceh; Unit Sumatera Utara I s/d. X;
Unit Sumatera Selatan I s/d. II; Unit Jawa Barat I s/d IV; Unit Jawa Tengah
I s/d V; Unit Jawa Timur I s/d X dan PPN Perintis; serta Unit Penelitian.
Reorganisasi tahun 1963 menghasilkan empat kelompok BPU-PPN sebagai
badan hukum tersendiri berdasarkan jenis usaha yang memiliki cabang
sebanyak 88 PPN di daerah, yaitu: BPU-PPN Gula memiliki 51 PPN; BPU-
PPN Tembakau memiliki 7 PPN; BPU-PPN Karet memiliki 16 PPN; BPU-
PPN Aneka Tanaman memiliki 14 PPN. Adapun PPN Serat berdiri terpisah
dan memiliki PPN sendiri. Tahun 1964 ketika terjadi konfrontasi dengan
Malaysia maka Pemerintah RI menguasai sejumlah perkebunan milik Inggris,
Perancis, Belgia, dan Amerika. Perusahaan-perusahaan tersebut digabung
dalam wadah BPUP-PP Dwikora, PP Expra, dan PP Ampera. Setelah
konfrontasi perusahaan tersebut dikembalikan kepada pemilik semula.

4. Pergolakan Pra dan Pasca G30 S/PKI


Perkebunan menjadi sasaran agitasi gerakan buruh, petani dan organisasi
masyarakat yang disponsori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Idiologi
komunisme dunia yang sedang memasuki musim semi pasca PD II

55
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

memperoleh momentum tumbuh dan berkembang di perkebunan. Faktor-


faktor di seputar perkebunan seperti menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya
gerakan radikal. Menyebut beberapa contoh diantaranya adalah adanya realitas
dominasi perkebunan dalam tata ruang wilayah di Sumatra Timur, sistem
penguasaan lahan perkebunan, stratifikasi sosial/manajemen korporasi yang
terdiri atas staf dan karyawan, disparitas sosial ekonomi dengan masyarakat
sekitar serta konflik penggarapan lahan konsesi yang belum terselesaikan.
Letupan-letupan kecil terjadi di beberapa perkebunan seperti gerakan buruh
melawan pimpinan atau masyarakat penggarap melawan perkebunan.
Sebagai contoh adalah peristiwa di Desa Perdamaian, Tanjung Morawa pada
16 Maret 1953. Terjadi tindakan penyerangan oleh Barisan Tani Indonesia
(BTI, ormas PKI) terhadap kebijakan pemerintah yang sedang mengerjakan
pencetakan sawah di areal konsesi yang digarap liar oleh masyarakat Cina dan
pribumi. Usaha pemerintah memindahkan penggarap dengan ganti rugi dan
memberikan lahan pertanian dihambat oleh BTI. Ketika perundingan gagal
dan mulai dilakukan pentraktoran lahan maka meletusnya perlawanan yang
digerakkan BTI. Ketika tembakan peringatan tidak dihiraukan dan ada upaya
perebutan senjata api dari polisi yang mengawal maka terjadi insiden yaitu
jatuh korban tewas sebanyak 6 orang.
Kekacauan lain yang cukup menghebohkan menjelang meletusnya G30 S/
PKI adalah Peristiwa Bandar Betsy yang terjadi pada tanggal 14 Mei 1965.
Ketika itu ratusan massa, terdiri dari BTI, Pemuda Rakyat dan Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) yang berafiliasi ke PKI melakukan aksi sepihak
menguasai dan menanami dengan pohon pisang pada tanah Perkebunan Karet
Bandar Betsy di Simalungun. Pelda Sujono sebagai perwira pengamanan
TNI AD yang diperbantukan di perkebunan memperingatkan massa agar
menghentikan tindakan anarkis. Massa tidak menuruti himbauan tersebut,
bahkan justru malah melakukan penyerangan dan penganiayaan terhadap
Peltu Sujono hingga tewas.
Secara idiologis PKI telah memetakan kelompok mana yang akan menjadi
sasaran agitasi, propaganda dan teror mereka. Dengan landasan seolah-olah
merupakan hasil riset PKI di Jawa Barat. Anggota Comitte Central (CC PKI)
DN Aidit telah memetakan apa yang mereka sebut sebagai “Tujuh Setan
Desa” dan “Tiga Setan Kota” yang harus dilenyapkan. Kelompok masyarakat
yang dikategorikan sebagai “Tujuh Setan Desa” yaitu terdiri: (1). Tuan tanah

56
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA

(bangsawan); (2). Lintah darat; (3). Tengkulak; (4). Tukang ijon; (5). Kapitalis
birokrat (kepala desa, pimpinan perkebunan dan tokoh lainnya); (6). Bandit
desa; dan (7). Pemungut/pengumpul zakat (pemuka agama). Adapun “Tiga
Setan Kota” terdiri dari: (1). Pejabat pemerintah; (2). Komandan ABRI; dan
(3). Pengusaha/pemilik modal. Ketika gerakan G 30 S/PKI meletus dan gagal
melakukan revolusi maka Sumatra Timur merupakan wilayah dengan korban
tewas cukup besar sebagai ekses pembersihan terhadap pengikut PKI.
Setelah Orde Baru mulai menguasai keadaan maka secara berangsur-angsur
perkebunan bisa mengkonsolidasi diri dengan menertibkan areal garapan yang
masih dapat dikembalikan. Namun demikian umumnya sebagian besar tidak
dapat diselamatkan dan diambil alih penggarap. Untuk memetakan bahaya
latent PKI di lingkungan perkebunan, maka atas kerjasama dengan TNI AD
dilakukan screening pekerja yang menjadi anggota dan simpatisan PKI. Pada
saat itu ada istilah “Lingkungan Tidak Bersih/LTB”, yaitu seseorang yang
memiliki hubungan satu tingkat keatas dan kesamping dengan anggota PKI.
Kelompok tersebut memperoleh pembinaan dari pimpinan perkebunan agar
tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan stabilitas sosial yang
sudah tercipta di perkebunan.
Masa pemerintahan Orde Baru merupakan periode yang relatif kondusif
dalam pengelolaan perkebunan sehingga bisa melakukan penanaman kembali
areal garapan yang berhasil dibebaskan serta mengembangkan kebun ke
wilayah-wilayah baru. Setelah kondisi sosial-politik-keamanan membaik
pemerintah melakukan penataan ulang perkebunan negara. Reorganisasi tahun
1968 memuat ketentuan sebagai berikut: Pertama, menciutkan jumlah PPN
dari 88 menjadi 28 PPN. Kedua, melikuidasi BPU-PPN melalui PP No. 13,
tanggal 27 Maret 1968. Ketiga, pembentukan Perusahaan Negara Perkebunan
(PNP) melalui PP No. 14, tanggal 13 April 1968. Perubahan tersebut diikuti
dengan pembentukan Badan Khusus Urusan Perusahaan Negara Perkebunan
(BKU-PNP) pada tahun 1969 yang terpisah dari Ditjenbun Kementerian
Pertanian. BKU-PNP memiliki perwakilan wilayah, yaitu:
1) BKU-PNP Wilayah I Sumatera Utara dan Aceh berkedudukan di Medan
yang membawahi PNP I s/d IX.
2) BKU-PNP Wilayah II Lampung dan Jawa Barat, berkedudukan di
Bandung yang membawahi PNP X s/d XIV.

57
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

3) BKU-PNP Wilayah III Jawa Tengah, berkedudukan di Semarang yang


membawahi PNP XV s/d XVII dan PNP XVIII s/d XIX.
4) BKU-PNP Wilayah IV Jawa Timur, berkedudukan di Surabaya yang
membawahi PNP XX s/d XXVIII.
Dalam rangka mengkonsolidasi PNP, dibentuk tiga Badan Kerja Sama
Direksi (BKSD) yaitu Sumut dan Aceh, Sumsel dan Jawa dan BKSD khusus
Gula. BKSD juga menaungi Kantor Pemasaran Bersama (KPB) dan lembaga
penelitian di masing-masing wilayah. Pada tahun 1969 terjadi lagi perubahan
kelembagaan melalui UU No. 9/1969 dan PP. No. 12/1969 yaitu pengalihan
bentuk dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan
(PTP). Berdasarkan ketentuan tersebut dibentuk 27 PTP, yaitu PTP I sampai
dengan PTP XXXII dan satu BUMN Peternakan yaitu PT. Bina Mulia
Ternak.
Reorganisasi berikutnya terjadi pada tangggal 11 Maret 1996 yang
menggabungkan perusahaan berdasarkan wilayah menjadi 14 Perseroan
Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) yaitu PTPN I di Aceh, PTPN II s/d
IV di Sumut PTPN V di Riau, PTPN VI di Jambi dan Sumbar, PTPN VII di
Lampung, Sumsel dan Bengkulu, PTPN VIII di Jabar, PTPN IX di Jateng,
PTPN X s/d XII di Jatim, PTPN XIII di Kalimantan dan PTPN XIV di
Sulawesi.
Reorganisasi terakhir dilakukan tanggal 18 September 2014 ketika Presiden
SBY menandatangani PP No. 72 tahun 2014 tentang dibentuknya Holding
Perkebunan, yang menunjuk PTPN III sebagai Perusahaan Induk (holding).
Sementara PTPN I, II, dan PTPN IV s/d PTPN XIV adalah sebagai anak
perusahaan PTPN III. Komposisi kepemilikan saham PTPN I, II, IV s/d XIV
adalah 90% dimiliki PTPN III dan 10% sisanya milik Pemerintah RI.

58
BAB IV.
PERKEMBANGAN DEMOGRAFI
SUMATRA TIMUR

Sampai sebelum datangnya Jacobus Nienhuys mengembangkan perkebunan


tembakau tahun 1863, wilayah Sumatra Timur relatif tidak terlalu menonjol
perannya dalam perniagaan komoditi perkebunan di Nusantara maupun
Asia Tenggara. Kiprahnya masih kalah dibandingkan Aceh, Siak di Riau
atau bahkan Sumatra Selatan. Meskipun lada sudah dikenal sebelum bangsa
Eropa datang, namun Labuhan Deli sebagai pintu masuk ke Tanah Deli tidak
terlalu dikenal dalam perdagangan mancanegara pada abad ke-16 dan ke-17.
Sumatra Timur hanya diketahui sebagai wilayah teritorial suku Melayu yang
hidup di daerah pesisir dan suku Karo dan Simalungun yang ada di wilayah
pedalaman atau dataran yang lebih tinggi.
Hamparan lahan Tanah Deli yang luas, rata, dan subur serta aliran
sungai-sungai yang melintasinya menjadi daya tarik bagi investor untuk
menanamkan modal di Sumatra Timur. Kebijakan liberal yang ditempuh
Pemerintah Hindia Belanda telah mendorong pertumbuhan cepat industri
perkebunan. Adapun untuk mendukung kegiatan operasional perkebunan
dibutuhkan organisasi dan tenaga kerja yang cukup banyak. Kebijakan
pengusaha yang lebih memilih mendatangkan tenaga dari luar menjadi
penyebab terjadinya perubahan konstelasi demografis. Migrasi etnis lain dari
luar wilayah berlangsung intensif dan massif. Dampaknya, Sumatra Timur
merupakan provinsi yang menjadi miniatur Indonesia. Semua suku bangsa
ada di Sumatra Timur dengan etnis Jawa paling mendominasi dari jumlah
populasi.
Traktat Sumatra 1871 yang ditandatangani Inggris dan Belanda merupakan
landasan bagi terjadinya perubahan demografi Sumatra Timur. Klausul traktat
tersebut menyatakan bahwa Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

untuk mengeksploitasi Sumatra Timur bahkan sampai Aceh. Pada sisi lain
Inggris diberi kebebasan berinvestasi dan berdagang di Sumatra Timur.
Pemerintah Hindia Belanda diperbolehkan mendatangkan tenaga migran
dari wilayah Semenanjung Malaya yang berada dalam kekuasaan Pemerintah
Inggris (Basarshah 2006)

1. Periode Sebelum Kolonisasi Perkebunan


Sebelum datangnya perusahaan perkebunan, secara garis besar penduduk
Sumatra Timur terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah
masyarakat Melayu yang umumnya mendiami wilayah sisi timur sepanjang
pesisir Selat Malaka, mulai dari Asahan sampai Tamiang di Aceh. Kelompok
kedua adalah suku Karo dan Simalungun yang mendiami dataran tinggi.
Masyarakat Melayu tinggal di perkampungan sekitar hilir sungai atau
sepanjang pantai. Umumnya bermata pencaharian sebagai petani atau
nelayan. Ada lima kesultanan melayu di Sumatra Timur yaitu Deli, Langkat,
Serdang, Asahan, dan Kota Pinang.
Adapun suku Karo mendiami wilayah dataran tinggi sebelah utara Danau
Toba. Sementara masyarakat Simalungun yang mendiami sisi timur Danau
Toba terbagi dalam tujuh kerajaan kecil yaitu Siantar, Tanah Jawa, Panei,
Dolok, Raya, dan Silimakuta. Hambatan geografis, seperti tidak adanya
jalan penghubung dan sarana transportasi, menjadi kendala interaksi antar
suku maupun antar puak atau marga dalam satu suku. Sebelum Nienhuys
mengembangkan perkebunan tembakau di Tanah Deli, masing-masing puak
cenderung berinteraksi dengan kelompoknya dan nyaris terbatas menjalin
interaksi dengan masyarakat lain di luar komunitasnya.

2. Periode Korporasi Perkebunan


Pembangunan perkebunan telah merubah secara signifikan perimbangan
demografi wilayah Sumatra Timur. Hal itu berangkat dari kebijakan awal
perusahaan perkebunan yang mengutamakan tenaga kerja Cina dan India
yang didatangkan dari Semenanjung dan Daratan Cina. Kemudian mulai
awal tahun 1900-an berubah dengan mendatangkan tenaga dari Pulau Jawa.
Alasannya antara lain adalah semakin sulitnya memperoleh tenaga migran
dari Semenanjung dan dari Cina Daratan. Perubahan tersebut tercermin dari
data Tabel 4.1.

60
BAB IV.
PERKEMBANGAN DEMOGRAFI SUMATRA TIMUR

Tabel 4.1 Komposisi Pekerja Perkebunan Sumatra Timur 1884–1929


Cina India Jawa Total
Tahun (Jiwa)
Jiwa % Jiwa % Jiwa %
1884 21.136 86,50 1.528 6,25 1.771 7,25 24.435
1900 58.516 67,88 2.460 2,85 25.224 29,26 86.200
1916 43.689 22,51 - 150.392 77,49 194.081
1920 23.900 10,03 2.000 0,84 212.400 89,13 238.300
1925 26.800 13,62 1.500 0,76 168.400 85,61 196.700
1929 25.934 9,74 1.019 0,38 239.281 89,88 266.234
Sumber: Andi Suwirta (2002)

Data tahun 1884–1900 menunjukkan bahwa mayoritas pekerja masih berasal


dari etnis Cina. Mulai tahun 1916 terjadi perubahan kebijakan perkebunan
yang mulai mengalihkan sumber rekruitmen tenaga kerja migran ke Pulau
Jawa. Hal itu tampak dari semakin dominannya tenaga kerja dari etnis Jawa di
perkebunan Sumatra Timur. Dominasi tersebut terus berlanjut sampai tahun
1929. Bahkan sampai tahun 1980-an masih berlangsung migrasi tenaga dari
Pulau Jawa ketika pemerintah memperkenalkan program AKAD (Angkatan
Kerja Antar Daerah). Melalui program tersebut didatangkan tenaga kerja
dari Pulau Jawa ke sentra perkebunan di Luar Jawa dengan masa kontrak 5
tahun. Jika sampai melewati masa kontrak yang bersangkutan tidak kembali
ke daerah asal maka langsung diperlakukan sebagai karyawan tetap.
Faktor-faktor yang mendorong perubahan kebijakan perkebunan mengalihkan
sumber tenaga migran dari Semenanjung ke Pulau Jawa disebabkan karena
berada dalam satu pemerintahan yang sama sehingga prosedur pengurusan
lebih mudah. Data penduduk Sumatra Timur yang dikumpulkan Reis (1970)
dan Pelzer (1985) menunjukkan meningkatnya populasi etnis Jawa hampir
200 ribu jiwa dari tahun 1930 ke tahun 1933 sebagaimana Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Komposisi Etnis Penduduk Sumatra Timur 1930 versus 1943
Tahun 1930 Tahun 1943
Etnis
Jiwa % Urutan Jiwa % Urutan
Jawa 633.943 38,55 1 850.000 45,70 1
Batak 374.840 22,79 2 470.000 25,27 2
Melayu 334.870 20,36 3 260.000 13,98 3
Cina 192.822 11,73 4 280.000 15,05 4
Lainnya 108.004 6,57 5 - -  5
Total 1.644.479 100,00 1.860.000 100,00
Sumber: Data 1930 (Reid 1970); 1943 (Pelzer 1985)

61
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Data yang dikumpulkan dari sumber yang berbeda menunjukkan bahwa


perimbangan populasi penduduk antara tahun 1930 dengan 1943 urutannya
konsisten. Berdasarkan laporan BPS Sumatera Utara Tahun 2015 menunjukkan
bahwa dari total populasi penduduk Sumut tahun 2014, sebanyak 13,77 juta
jiwa. Urutan lima besar populasi penduduk berdasarkan etnis yaitu berturut-
turut Jawa 3,84 Juta jiwa (33,40 %); Toba 2,95 juta (25,62%), Mandailing
1,296 juta (11,27%), Nias 731 ribu (6,36 %), dan Melayu 674 ribu jiwa
(5,86%). Sisanya sebanyak 4,28 juta jiwa (31,05%) yaitu meliputi Etnis
Karo (4,25%), Cina (2,71%), Minang (2,66%), Simalungun (2,04%), dan
suku-suku lainnya. Keragaman etnisitas menjadi modalitas tumbuhnya sikap
toleransi yang tinggi masyarakat Sumatra Timur terhadap keragaman budaya.
Dari zaman masa awal perkebunan, masyarakat Sumatra Timur yang heterogen
tersebut terkenal telah memiliki cara berpikir yang dinamis dan progresif.
Memperhatikan dinamika komposisi kependudukan di Sumatra Timur sejak
pra perkebunan sampai terbukanya migrasi penduduk dari luar daerah telah
memberikan andil bagi tumbuhnya sikap keterbukaan masyarakat daerah
tersebut atas hal-hal yang baru dari luar. Hal itu juga banyak dikontribusikan
dari sifat Etnik Melayu sebagai penduduk asli Sumatra Timur yang toleran
terhadap masyarakat di luar sukunya. Faktor-faktor internal dan eksternal
tersebut menjadi unsur penting bagi terbentuknya masyarakat yang modern
dan mudah menerima kebudayaan baru yang konstruktif bagi pembangunan
peradaban. Dibandingkan provinsi lain di sekitarnya maka masyarakat
Sumatra Timur selangkah lebih maju dalam cara berpikir, cara pandang
terhadap modernitas dan interaksi yang terbuka dengan dunia luar.
Melting budaya yang tumbuh bersama berkembangnya perkebunan di
Sumatra Timur ikut memberikan kontribusi bagi terbentuknya masyarakat
maju yang toleran dan inklusif.

62
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

Perluasan areal perkebunan yang berlangsung cukup cepat di Sumatra Timur


menimbulkan permasalahan kelangkaan tenaga kerja. Perkebunan adalah
industri yang bersifat padat karya dan tembakau merupakan komoditi yang
paling banyak membutuhkan tenaga kerja dibandingkan jenis tanaman
lainnya. Kendala yang dihadapi pada saat pembangunan perkebunan di
Sumatra Timur satu setengah abad yang lalu yaitu ketidakseimbangan
antara kebutuhan tenaga kerja dengan ketersediaannya. Penduduk setempat
umumnya tidak tertarik menjadi pekerja perkebunan karena telah memiliki
tanah sendiri yang harus diusahakan dengan menggunakan tenaga sendiri.
Pola kerja di perkebunan yang mengatur secara ketat batasan waktu kerja
tertentu juga tidak menarik bagi masyarakat lokal yang biasa hidup bebas
dan longgar. Disiplin di perkebunan juga kurang diminati karena langgam
kerjanya tidak sesuai dengan habitat masyarakat tradisional di Indonesia pada
umumnya.
Pada masa awal pembangunan perkebunan di Sumatra Timur, kebutuhan
tenaga dipenuhi dengan mendatangkan pekerja migran yang berasal etnis Cina
dan India yang didatangkan dari Semananjung. Wilayah tersebut merupakan
jajahan Inggris dan sering disebut sebagai Straits Settlement. Perkembangan
berikutnya melalui jasa perantara pencari tenaga kerja (sering disebut broker,
werver atau ”werek”) didatangkan juga tenaga kerja dari daratan Cina.
Mereka dikenal sebagai pekerja keras dan ulet, cocok untuk pekerjaan berat
di lapangan. Kedatangan pekerja migran ke Sumatra Timur sebagian karena
bujuk rayu para perantara yang menjanjikan upah tinggi. Kenyataannya tidak
selalu demikian sehingga mereka mudah memberontak terhadap perlakuan
kurang manusiawi pihak onderneming. Gambar 5.1 adalah proses pendaftaran
pekerja Migran Cina.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 5.1 Pendaftaran Pekerja Migran Cina dari Straits Settlement, (1902)
(Tropen Museum)

Untuk mengatasi semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja maka


asosiasi pengusaha perkebunan Deli Planters Vereeniging (DPV), pada tahun
1888 membentuk biro imigrasi yang mengurus rekruitmen, pengangkutan
dan pembiayaan pengerahan tenaga kerja dari luar wilayah ke Sumatra Timur
atas beban perusahaan anggotanya. Fungsi pengelolaan, pengerahan dan
pengawasan tenaga kerja yang dipekerjakan oleh pengusaha perkebunan di
Sumatra Timur kelak juga menjadi salah satu fungsi dari lembaga Algemene
Vereeniging van Rubberplanters Oostkust van Sumatra (AVROS). Organisasi
ini dibentuk oleh investor perkebunan karet, seperti NHM, HVA, Harisson
and Crosfield (masuk 1904), dan Goodyear Rubber Company (masuk 1909).
Pada Tahun 1918 AVROS membangun kantor di sekitar Lapangan Merdeka,
Medan. Kini menjadi kantor Badan Kerja-Sama Perusahaan Perkebunan
Sumatra (BKS PPS), atau Sumatra Planters Association. Sampai sekarang
lembaga tersebut masih melayani kepentingan anggotanya yang terdiri dari
perkebunan negara, swasta asing, dan swasta domestik.
Pada akhir abad ke-19 sumber tenaga kerja migran mulai bergeser dari daratan
Cina ke Pulau Jawa, yaitu dari Bagelan, Semarang, dan Surabaya. Penggunaan
tenaga dari Jawa menjadi tulang punggung pekerja perkebunan di Sumatra
Timur pada dekade berikutnya. Penyebab pengalihan tenaga kerja tersebut di

64
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

antaranya adalah karena semakin sulitnya mencari tenaga dari Straits Settlement
dan dari daratan Cina. Sementara itu, banyak juga pekerja Cina yang justru
setelah mendapati apa yang ditemukan di Sumatra Timur tidak sesuai dengan
yang diharapkan, mereka lalu tertarik ikut agen tenaga kerja yang mengirimkan
mereka ke perkebunan tebu perusahaan Inggris di Kepulauaan Polinesia atau
ke perkebunan karet di Suriname, Amerika Selatan. Pada tahun 1897 ada 397
orang pekerja kontrak tembakau dari Tanah Deli yang pindah ke perkebunan
di Kepulauan Pasifik. Pemerintah jajahan Inggris di Straits Settlements juga
mulai memperketat ijin pengiriman tenaga dari Semenanjung ke Tanah Deli
karena kebijakan perusahaan yang kurang manusiawi memperlakukan buruh
kontraknya (Willmott 2004).
Sementara itu perubahan kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
yang mengutamakan pengusahaan komoditi gula di Jawa telah menyebabkan
berkurangnya lahan pertanian untuk budi daya padi. Tanah garapan petani
juga banyak dialihkan untuk tanaman tebu, sebagai komoditi penghasil
devisa. Kebijakan tersebut telah menyebabkan pengangguran buruh tani.
Beras sebagai makanan pokok penduduk Jawa juga semakin sulit diperoleh.
Kalaupun ada harganya mahal karena sebagian beras harus diimpor dari
Myanmar. Kehidupan yang sulit di Pulau Jawa tersebut menjadi pendorong
migrasi besar-besaran penduduk untuk mendaftar menjadi tenaga migran
(kontrak) ke Sumatra Timur. Hal itu dapat dilihat dari data demografi pekerja
perkebunan Sumatra Timur sebagaimana yang dicatat Reid (1987).

Tabel 5.1 Komposisi Etnis Pekerja Perkebunan Sumatra Timur 1884–1929


Tahun (orang)
Asal
1884 1900 1916 1920 1925 1929
Cina 21.136 58.516 43.689 23.900 26.800 25.934
Jawa 1.771 25.224 150.392 212.400 168.400 239.281
India, dll 1.528 2.460 - 2.000 1.200 1.019
Sumber: Anthony Reid (1987)

Untuk memperkuat kelembagaan perekrutan tenaga kerja ke perkebunan


Sumatra Timur maka pada tahun 1912, AVROS membentuk Java Immigraten
Bureau (JIB) yang memiliki tugas khusus mendatangkan tenaga dari Jawa
ke Sumatra Timur. Selanjutnya dibentuk juga Algemene Delisch Emigratie
Kantoor (ADEK) untuk mengerahkan mobilisasi pekerja migran. Gambar
10.2 menampilkan pekerja migran dari Jawa.

65
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 5.2 Pekerja Migran Jawa di Tanah Deli, (1911) (Museum


Volkenkunde)

Kebutuhan tenaga kerja perkebunan dari waktu ke waktu semakin meningkat.


Banyaknya pembukaan kebun baru, pemeliharaan, panen, dan pengolahan
komoditi perkebunan membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Kondisi
tersebut telah menimbulkan ekses negatif yaitu timbulnya pola rekruitmen
yang tidak profesional. Untuk menarik minat calon pekerja terjadi penipuan
dalam bentuk bujuk rayu dan intimidasi kepada calon pekerja migran dari
tempat asalnya. Diantaranya dengan menjanjikan gaji dan penghasilan tinggi,
yang tidak sesuai dengan kenyataan di Tanah Deli. Akibatnya, ketika pekerja
menemukan yang sebaliknya maka hal itu seringkali menjadi momentum
timbulnya konflik ketenagakerjaan atau tepatnya perlawanan buruh migran
terhadap aturan dan perintah yang diberikan oleh pimpinan onderneming.
Banyak ditemui kasus pekerja melarikan diri dari perkebunan atau melanggar
kontrak kerja karena kenyataan kehidupan yang mereka alami tidak sesuai
dengan janji-janji para calo tenaga kerja.
Untuk perbaikan tata kelola hubungan industrial serta memberikan jaminan
pemenuhan hak-hak pekerja maka pada tahun 1888 pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan ketentuan yang mengatur persyaratan hubungan kerja
kuli kontrak di Sumatra Timur yang lebih dikenal sebagai Koelie Ordonantie.

66
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

Ketentuan tersebut memberi perlindungan pekerja dari perlakuan sewenang-


wenang majikan. Ketentuan tersebut juga melindungi pengusaha terhadap
perilaku pekerja yang melarikan diri sebelum masa kontrak kerjanya habis.
Terhadap pekerja yang melanggar ketentuan dalam kontrak kerja bisa dikenai
hukuman. Pasal tersebut kelak lebih dikenal sebagai Poenale Sanctie. Antara lain
memuat ketentuan bahwa pekerja yang melarikan diri dari satu perkebunan
dapat ditangkap untuk dikembalikan ke perkebunan asalnya atau diberi
hukuman kerja paksa. Perpindahan ilegal antar perkebunan dapat terdeteksi
karena seluruh sidik jari (daktiloskopi) pekerja telah tercatat dan dikumpulkan
di arsip kantor DPV/AVROS. Peran AVROS adalah sebagai verifikator untuk
memastikan pekerja baru tidak terkait hubungan kontrak dengan perusahaan
lain. Dengan demikian tidak terjadi praktik bajak-membajak tenaga kerja
diantara perusahaan perkebunan anggota AVROS.
Koelie Ordonantie antara lain juga memuat ketentuan tentang masa kontrak
tenaga migran dari luar wilayah Sumatra Timur maksimal 3 tahun. Setelah
berakhirnya masa kontrak maka biaya pengembalian pekerja ke daerah asal
menjadi tanggung jawab perusahaan yang merekrut. Pada kenyataannya,
para pekerja yang telah menyelesaikan masa kontrak jarang yang kembali ke
daerah asal. Setelah menerima biaya pemulangan pada akhir masa kontrak
mereka lebih memilih untuk memperbaharui kontrak kerja baru untuk
masa 3 tahun berikutnya. Gambar 5.3 adalah contoh iklan di surat kabar di
Tebing Tinggi, mewartakan pekerja melarikan diri dari perkebunan.

Gambar 5.3 Iklan Koran Mengabarkan Koeli Lari dari Perkebunan, (1899)
(Tropen Museum)

67
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Adapun sistem pembayaran gaji dibedakan antara pekerja (kuli) dan mandor
yang umumnya pribumi, Cina dan India, dengan level staf yang umumnya
bangsa kulit putih. Sebagai contoh, staf baru (volunteer) memperoleh gaji
200 gulden sebulan dan menjadi 400 gulden setelah bekerja 6 tahun (sebagai
asisten). Sementara upah tandil (mandor Cina) hanya 25 gulden perbulan
dan Mandor Besar (ploeg baas) suku Jawa hanya dibayar 20 gulden sebulan.
Mandor regu biasa (ploeg) hanya bergaji 11 gulden sebulan.

Adapun pekerja kontrak memperoleh gaji lebih kecil lagi. Selain dengan
upah, sistem pembayaran hasil kerja juga diberikan dalam bentuk natura
yaitu kebutuhan bahan pokok yang sering juga disebut catu atau ransum.
Pembayaran gaji pekerja diberikan dalam bentuk tunai sebulan dua kali.
Yaitu pertengahan bulan sebagai panjar gaji dan sisa gaji rampung diberikan
pada awal bulan berikutnya. Ketentuan tentang pemberian ransum bahkan
masih berlaku sampai awal tahun 1970-an dan baru dihentikan ketika akses
memperoleh kebutuhan bahan pokok sudah mudah dijangkau dengan adanya
koperasi (konsumsi) karyawan. Ada 10 komponen catu atau ransum yang
diberikan kepada setiap pekerja perkebunan sebagaimana uraian pada Tabel
5.2 berikut.

Tabel 5.2 Komponen Ransum Catu Pekerja Perkebunan di Sumatra Timur


No Uraian Catu Jumlah diterima/bulan/pekerja
1 Beras 15 kg, plus, 7,5 kg untuk tanggungan
2 Ikan asin 1,5 kg , plus 0,5 kg untuk tanggungan
3 Minyak Makan 1,5 kg kg, plus 0,5 kg untuk tanggungan
4 Gula 0,5 kg, plus 0,5 kg untuk tanggungan
5 Kacang Hijau 1 kg
6 Sabun 4 batang, plus 0,5 batang untuk tanggungan
7 Susu 1 kaleng per tiga bulan
8 Kain 6 meter pertiga bulan
9 Teh 3 bungkus
10 Garam 1 kg
Sumber: Testimoni pensiunan administratur perkebunan tahun 1960-an

68
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

1. Sumber Tenaga Kerja


a. Masa Awal Perkebunan
Para perintis perkebunan telah mempertimbangkan masukan para etnolog
dan antropolog tentang perlunya membangun budaya melting dari beragam
unsur etnisitas. Untuk itu bukan merupakan suatu kebetulan jika sumber
daya manusia yang bekerja di perkebunan pada masa awal masa perintisan
sengaja direkrut dari beragam etnik. Untuk level pimpinan perkebunan
seperti pengelola, pekerja level staf/officer, tenaga pembantu/asisten dan
pengawas/ opzichter, umumnya diangkat dari kalangan bangsa Belanda atau
warga kulit putih lainnya, seperti Perancis, Belgia, Jerman, Inggris atau
Swiss. Sementara untuk pekerja kasar pada mulanya terdiri dari etnik Cina
dan India. Untuk mengerjakan perkebunan tembakau Jacobus Nienhuys pada
tahun 1870 mendatangkan pekerja Cina dari Straits Settlements. Untuk setiap
angkatan kerja dari Cina diangkat laukeh (old comer atau old countryman) dan
sinkeh (new comer), yang bertanggung jawab menangani permasalahan sosial
diantara para pekerja. Perannya sebagai ketua kelompok atau “kepala suku”
sebagai kepanjangan tangan perusahaan. Dalam batas-batas tertentu mereka
juga dijadikan semacam centeng yang bertanggung jawab mengatasi kekerasan
yang terjadi diantara pekerja etnis Cina. Pada tahun 1888 juga didatangkan
lagi tenaga migran langsung dari Cina Daratan (dari Fujian dan Guangdong).
Sementara pekerja India, umumnya berasal dari Penang dan India. Pekerja
lokal tidak menjadi prioritas karena jumlahnya terbatas.
Sementara itu sebagai mandor atau pimpinan regu oleh Nienhuys diangkat
dari etnis Jawa yang berasal dari Penang dan Malaka. Mereka umumnya
rombongan Jamaah Haji yang terdampar di Semenanjung dan tidak kembali
ke daerah asalnya. Dengan merekrut tenaga kerja dari beragam asal usul akan
mudah didesain kultur baru yang sama sekali berbeda dari kultur asal masing-
masing pekerja.
Pekerja India memiliki peran penting dalam pengembangan perkebunan
di Sumatra Timur. Pada tahun 1883, jumlah pekerja kontrak dari India
mencapai 1.528 orang, kemudian meningkat menjadi 3.360 orang pada
tahun 1898. Pengusaha perkebunan mempekerjakan pekerja India untuk
membangun jalan, menggali kanal atau menjadi kusir gerobak sapi (pedati).
Jumlah orang India yang tinggal di kota Medan pada periode 1900–1905

69
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

meningkat dari 1.200 orang menjadi 3.665 orang. Sebagian merupakan


pendatang yang sengaja mengundi nasib bukan sebagai kuli kontrak namun
untuk memperluas kesempatan berusaha. Kebanyakan orang India yang
berstatus “bekas kuli kontrak” terlibat dalam pekerjaan rendahan seperti
kusir pedati. Mereka menyediakan jasa angkutan barang bagi penduduk kota,
pencari rumput untuk saudagar ternak sapi, dan lain-lain. Sementara imigran
India yang “bukan bekas kuli kontrak” cenderung berkecimpung dalam
sektor perdagangan. Mereka umumnya berasal dari Keling, Benggali, Chetti,
dan Bombay.

Gambar 5.4 Bedeng untuk Pekerja Pria Pada Awal Pembukaan Kebun
(Tropen Museum)

b. Migrasi Pekerja dari Pulau Jawa


Perekrutan pekerja dari Pulau Jawa pertama kali dilakukan oleh Deli
Maatschappij. Pada tahun 1875 didatangkan sebanyak 300 pekerja dari
Bagelan, Jawa Tengah. Metode rekruitmen calon pekerja adalah melalui
werek (agen pengerah tenaga kerja) yang mendapatkan imbalan setara
penghasilan upah 266 hari kerja para buruh di Jawa setiap pekerja yang
berhasil diberangkatkan ke Sumatra Timur. Peningkatan jumlah pekerja
dari Pulau Jawa secara signifikan mulai terjadi pada akhir abad ke-19. Ada
beberapa faktor yang mendorong didatangkannya pekerja dari Jawa dalam

70
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

jumlah besar ke Sumatra Timur. Faktor terpenting adalah mulai beralihnya


secara bertahap jenis tanaman perkebunan dari semula tembakau ke komoditi
baru seperti kopi, karet, kelapa sawit, teh, dan serat sisal. Tanaman tersebut
cenderung lebih cocok ditangani oleh pekerja pria dan bahkan wanita.

Gambar 5.5 Pekerja Migran Jawa di Perkebunan Deli, (1891) (Koninklijk


Instituut voor de Tropen, KIT)

Selain itu, faktor pendorong lainnya yang cukup penting adalah menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa. Populasi penduduk yang semakin
meningkat menyebabkan berkurangnya lahan pertanian dan membuat
banyak orang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi tersebut mendorong
penduduk di Jawa pedalaman memilih melakukan migrasi ke perkebunan
yang sedang tumbuh berkembang di Sumatra Timur.
Arus migrasi dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat membuka peluang
terjadinya penipuan dalam rekruitment. Para agen perekrut tenaga kerja sering
mengiming-imingi sesuatu yang tidak benar tentang fasilitas yang diterima
pekerja di Tanah Deli. Diantaranya menjanjikan upah tinggi dan kekayaan
yang melimpah. Di kalangan penduduk di Jawa muncul pameo seperti bahwa
pergi bekerja ke Tanah Deli menjamin kemudahan memperoleh kekayaan.
Pulau Sumatra juga sering disebut sebagai tanah harapan. Banyak juga kaum
buruh tani atau gelandangan dari pulau Jawa yang “dipaksa” diberangkatkan
ke Sumatra Timur.

71
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Migrasi besar-besaran pekerja dari Jawa juga merupakan kebijakan dari


Pemerintah Kolonial pada awal tahun 1900-an, yang secara ambisius ingin
menjadikan pulau Jawa sebagai eksportir gula paling utama di dunia. Akibat
ketersediaan lahan pangan terdesak oleh budi daya tebu maka lahan padi
semakin menyusut. Terjadi kekurangan beras di masyarakat dan banyak
terjadi kasus kelaparan di beberapa daerah. Mereka yang tertekan kondisi
kehidupan sulit di Pulau Jawa memutuskan melakukan migrasi ke Sumatra
Timur.
Faktor pendorong lain yaitu penghapusan penerapan kebijakan pajak bumi
di Pulau Jawa pada tahun 1870, diganti dengan pajak kepala kepada seluruh
penduduk tanpa kecuali. Hal itu sangat memberatkan masyarakat miskin dan
buruh tani. Mereka ingin keluar dari Pulau Jawa agar dapat melepaskan diri
dari beban yang mereka tanggung. Sumber pekerja migran ke Tanah Deli
adalah daerah yang relatif kurang subur seperti Madura, Bagelen (Purworejo,
Kutoarjo, dan Kebumen), Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk,
Jombang, Malang, Tegal, Karanganyar, Wonogiri, Banyumas, Jogyakarta,
Solo, Kutoarjo, Semarang, Wonosobo, Solo, Kediri, Kroya, Purwokerto, dan
Gombong.
Pengusaha perkebunan di Sumatra Timur menyerahkan rekruitmen tenaga
kepada DPV. Asosiasi tersebut berdiri pada tahun 1910 dan merupakan
organisasi pekebun tembakau. Bersama AVROS, yang anggotanya pekebun
karet merupakan asosiasi yang khusus menangani rekruitment pekerja migran.
Pada akhir tahun 1920 DPV menaungi sekitar 100 perkebunan dan AVROS
beranggotakan sekitar 300 perkebunan. Lembaga tersebut sekarang bergabung
dan dikenal sebagai BKS-PPS yang berkantor di Kesawan Medan.
Pengiriman pekerja migran dari Pulau Jawa ke Tanah Deli umumnya
diangkut dengan kapal motor KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij)
yang didirikan pada tahun 1888, khusus untuk mengangkut pekerja imigran
ke Sumatra Timur. Sebagai Partner DPV dan AVROS maka pada tahun
1915 berdiri ADEK (Algemene Delisch Emigratie Kantoor) di Bandung yang
berperan mengirimkan tenaga kerja ke Sumatra Timur dari 3 pelabuhan
utama Jawa, yaitu Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Jumlah tenaga kerja
yang diberangkatkan ke Sumatra Timur tampak pada Tabel 5.3, yang
menampilkan jumlah pekerja migran dari Jawa ke Sumatra Timur tahun
1909 sampai 1940.

72
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

Tabel 5.3 Tenaga Migran dari Jawa ke Sumatra Timur 1909–1940


No Tahun Orang No Tahun Orang No Tahun Orang
1 1909 4.114 12 1920 34.580 23 1931 439
2 1910 19.517 13 1921 21.847 24 1932 92
3 1911 16.179 14 1922 6.937 25 1933 3.332
4 1912 26.259 15 1923 10.856 26 1934 2.848
5 1913 22.869 16 1924 21.514 27 1945 2.076
6 1914 13.845 17 1925 42.528 28 1936 3.354
7 1915 14.892 18 1926 50.432 29 1937 42.416
8 1916 14.844 19 1927 45.103 30 1938 15.016
9 1917 45.666 20 1928 32.497 31 1939 17.242
10 1918 42.745 21 1929 47.018 32 1940 10.168
11 1919 42.500 22 1930 16.677
Sumber: Hayasi (2002)

2. Hubungan Ketenagakerjaan
Stratifikasi sosial ketenagakerjaan di perkebunan menempatkan pemilik
perusahaan pada posisi puncak piramida. Pemilik terkadang langsung
menjalankan usahanya sebagai pemimpin perusahaan. Dengan modal
keahliannya sebagai planters, mereka langsung mengelola day to day kegiatan
operasional perkebunan. Pada level dibawahnya adalah para administrateur,
hoofd opzichter, opzichter (pengawas, asisten kepala), asisten (pembantu), ploeg
baas (mandor besar), ploeg (mandor regu) dan karyawan. Pemilahan lain
adalah berdasarkan ikatannya dengan perusahaan, dikenal ada tenaga tetap
dan tenaga tidak tetap.

a. Tenaga Staf Pimpinan


Tenaga tetap atau karyawan tetap adalah pekerja yang diangkat langsung oleh
perusahaan atas dasar ikatan kerja formal (kontrak). Pekerja kelompok ini
mendapatkan gaji tetap bulanan dan hak-hak yang melekat seperti pelayanan
kesehatan bagi diri dan tanggungan (keluarga batih), perumahan, hak
menjalankan cuti 12 hari dalam setahun dan hak pensiun.
Tenaga tetap terdiri atas staf pimpinan dan pekerja (nonstaf). Tenaga staf
atau pimpinan umumnya berjenis kelamin pria dan diisi oleh bangsa Eropa.

73
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Mereka berasal dari berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Belgia, Prancis,
Swiss, Austria, Polandia, Hongaria dan lainnya. Untuk level asisten umumnya
berpendidikan menengah atas. Jarang staf fresh graduate berpendidikan
tinggi dari Eropa berminat menjadi asisten, kecuali dari keluarga pemilik
perkebunan yang sengaja dipersiapkan sebagai generasi penerus yang kelak
akan mengambil alih pengelolaan perkebunan. Setelah diangkat, seorang staf
selama enam tahun pertama status kepegawaiannya adalah sebagai asisten
junior dan dalam posisi tersebut tidak diperbolehkan menikah. Meskipun
telah melewati waktu tersebut, tidak banyak staf muda yang membawa istrinya
dari Eropa. Hanya pejabat setingkat opzichter dan administrateur yang hidup
bersama keluarganya di Tanah Deli.
Kepada setiap staf pimpinan juga diberikan hak cuti ditambah biaya akomdasi
dan uang saku selama 3 bulan. Syaratnya telah bekerja minimal 6 tahun,
dan seterusnya, setiap 6 tahun sekali memperoleh hak yang sama. Tujuan
diberikan hak cuti adalah agar mereka bisa mengunjungi keluarganya di
Eropa atau bepergian ke tempat yang dikehendaki seperti liburan ke destinasi
wisata. Bantuan akomodasi hanya diberikan jika cuti dijalani dan tidak bisa
diuangkan.

Gambar 5.6 Keluarga Administrateur Kebun Tembakau Tanjung Morawa,


(1939) (Tropen Museum)

74
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

Perumahan diberikan lengkap beserta fasilitas pendukungnya seperti


meubelair dan barang-barang yang bersifat umum. Pembantu rumah tangga
dan tukang kebun diberikan untuk melayani kegiatan di rumah seorang staf
dan keluarganya. Gambar 5.6 adalah contoh rumah dinas administrateur.

b. Tenaga NonStaf
1) Karyawan Bulanan
Pegawai Rendah Bulanan (PRB) biasanya diangkat dari kalangan pekerja yang
telah menjalani masa pengabdian cukup lama dan dinilai mampu serta teruji
untuk dipromosikan ke jabatan lebih tinggi. Seorang pekerja yang memiliki
kecakapan memimpin bisa diangkat memperoleh jabatan lebih tinggi. Dalam
kelompok ini diantaranya para mandor regu, mandor besar, kerani dan
operator mesin atau pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Karyawan
kelompok ini digaji secara bulanan. Umumnya mereka dipersyaratkan bisa
baca tulis. Namun ada kalanya tetap bisa diangkat meskipun buta huruf atas
pertimbangan khusus.

2) Karyawan Harian
Istilah Koeli Kontrak berasal dari regulasi pemerintah jajahan untuk melindungi
pekerja yaitu diterbitkannya Coeli Ordonantie pada 13 Juli 1880. Ketentuan
tersebut mewajibkan pengusaha mengikat kontrak kepada pekerja maksimal
selama 3 tahun. Setelah ditandatangani pekerja berhak menerima voorschot
atau uang muka upah yang akan dicicil dari upah mereka kelak setelah bekerja
(sebagian cicilan ditanggung pengusaha). Coeli Ordonnantie memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja sebagai berikut:
• Hak Pekerja/Kewajiban Pengusaha: kontrak kerja ditandatangani
tanpa paksaan, jam kerja dibatasi maksimal 10 jam/hari, pekerja berhak
memperoleh cuti 12 hari setahun dan mendapatkan hak pensiun. Pemberi
kerja wajib menyiapkan perumahan dan jaminan kesehatan. Pekerja ysng
sakit tetap memperoleh upah. Pengusaha berkewajiban memberikan
kompensasi biaya pengembalian ke daerah asal setelah kontrak selesai
dijalani. Para pekerja diberi pilihan boleh kembali ke tempat asalnya di
Pulau Jawa atau (ini yang banyak terjadi) memperpanjang kontrak.

75
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

• Hak Pengusaha/Kewajiban Pekerja: Pekerja tidak boleh melarikan


diri dari pekerjaan, membangkang perintah kerja, melawan pimpinan,
menghina, menghasut orang lain untuk lari atau membangkang. Pekerja
yang lari dari pekerjaan merupakan pelanggaran hukum dan akan
ditangkap serta dikembalikan ke tempat asal perkebunan. Pekerja juga
tidak boleh meninggalkan kawasan perkebunan tanpa izin pengusaha
serta tidak boleh menolak pekerjaan yang diperintahkan pemberi kerja.
Implementasi Coeli Ordonnantie di lapangan banyak dikeluhkan oleh
pengusaha karena lemahnya sangsi hukum bagi pekerja yang melanggar
klausul kontrak. Pekerja yang merasa tidak kerasan di suatu perkebunan
bisa saja pindah ke perkebunan lain. Kasus pindah kerja baru bisa diatasi
setelah dibentuk AVROS yang menyimpan, memonitor dan verifikasi data
daktiloskopi setiap pekerja anggota AVROS. Tujuannya agar tidak terjadi
perpindahan illegal tenaga kerja antar perkebunan sesama anggota AVROS.
Setiap menerima pekerja baru data daktiloskopi dikirim ke AVROS. Jika ada
penyelundupan pasti ketahuan
Untuk memenuhi tuntutan pengusaha maka pada tahun 1898 Pemerintah
memberlakukan Poenale Sanctie, yaitu ketentuan yang umumnya hanya
menyasar pekerja, berisi aturan sebagai berikut:
• Barang siapa (pengusaha atau pekerja) melanggar kontrak kerja dinyatakan
bersalah bisa didenda atau menjalani hukum badan (dipenjara);
• Pekerja Kontrak tidak boleh meninggalkan pekerjaan. Jika lari boleh
ditangkap kembali dan jika diperlukan bisa dilakukan dengan kekerasan
dirantai atau dipukul dengan rotan;
• Perilaku malas bekerja dipandang sebagai pengabaian kontrak kerja (wan
prestasi) dan bisa dipidana karena diperlakukan sama dengan pelanggaran
undang-undang;
• Pekerja yang menolak melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan oleh
atasan bisa dihukum dengan kerja paksa selama sebulan;
• Mereka yang melakukan perlawanan kepada pimpinan atau membuat
kerusuhan di tempat kerja maupun di pemukiman bisa dikenakan denda
sebesar 100 gulden.
Karyawan harian atau yang pada zaman sebelum nasionalisasi sering disebut
koeli kontrak, pada awal pembukaan perkebunan di Tanah Deli diisi oleh

76
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN

tenaga migran Cina dan India yang didatangkan dari Semenanjung Malaya
(daerah jajahan Inggris). Mulai tahun 1883 tenaga migran didatangkan juga
dari Pulau Jawa yang sama-sama wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Tabel
5.4 menunjukkan adanya pergeseran kebijakan perkebunan ketika itu untuk
mulai mengalihkan sumber rekruitmen pekerja Cina dengan pekerja dari
Pulau Jawa.

Tabel 5.4 Komposisi Pekerja Cina dan Jawa di Perkebunan Sumatra Timur
1883–1930
Tahun
Uraian
1883 1893 1898 1906 1913 1920 1930
Pekerja 1.711 18.000 22.256 33.802 118.517 209.459 234.554
Jawa
Pekerja 21.136 41.700 50.846 53.106 53.617 27.715 26.037
Cina
Total 22.874 59.700 73.102 86.907 172.134 237.174 260.591
Sumber: The Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an Economic History of East
Sumatra, 1863-1942 (LEKNAS-LIPI, 1977)

Data diatas menunjukkan bahwa sejak tahun 1883 mulai didatangkan tenaga
migran dari pulau Jawa menggantikan tenaga dari Semenanjung Malaya
dan daratan Cina. Kebijakan pengalihan sumber tenaga kerja perkebunan
sebagaimana data yang ditamplilkan pada Tabel 5.4 berdampak terjadinya
perubahan komposisi etnis penduduk Sumatra Timur. Masuknya pekerja
migran dari Jawa telah meningkatkan persentase penduduk pribumi Hindia
Belanda (termasuk Jawa) di Sumatra Timur sebagaimana data Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Komposisi Penduduk Sumatra Timur 1900–1915


Tahun Uraian Pribumi Cina Eropa Arab, dll Jumlah
Jiwa 306.035 103.768 2.097 9.028 420.928
1900
% 72,70 24,65 0,50 2,14 100 
Jiwa 450.941 99.236 2.667 15.573 568.417
1905
% 79,33 17,46 0,47 2,74 100 
Jiwa 681.800 132.000 5.200 14.320 833.320
1915
% 81,82 15,84 0,62 1,72 100
Sumber: Yasmis (2007) dari Deli data 1863-1938 Modedeeling No. 26 van Het Ooskust van
Sumatra-instituut.

77
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Dari data diatas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun sejak
1900 persentasi penduduk pribumi meningkat 9,12%. Sebaliknya pekerja
migran Cina berkurang 8,81%. Adapun penduduk keturunan Eropa dan
Arab jumlahnya meningkat namun persentasinya mengecil.

78
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
PERKEBUNAN

1. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat


Sumatra Timur
Berkembangnya usaha perkebunan dengan skala komersial yang membuka
banyak lapangan kerja baru ternyata tidak menjadi daya tarik penduduk
lokal. Beberapa sebab diantaranya karena saat itu tanah masih cukup luas
sehingga penduduk Tanah Deli yaitu orang Melayu dan Karo lebih memilih
mengerjakan lahannya sendiri. Penyebab lain adalah penerapan disiplin ketat
di perkebunan tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Penduduk
lokal umumnya membudidayakan tanaman pangan untuk keperluannya
sendiri dan menanam lada di ladang. Bagi penduduk pesisir juga lebih tertarik
menggeluti profesi sebagai nelayan.
Untuk memenuhi sebagian kebutuhan pekerjanya, pihak perkebunan
mendapatkannya dengan membeli dari masyarakat sekitar. Pertumbuhan
ekonomi di Sumatra Timur meningkat pesat akibat multiplier effect sejak
dibukanya perkebunan dalam skala korporasi. Untuk mencukupi kebutuhan
pangan yang terus meningkat dan tidak sepenuhnya bisa dipenuhi oleh
masyarakat sekitar maka Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan
transmigran dari Jawa untuk menggarap tanah kosong atau hutan alam yang
sengaja dialokasikan bagi budi daya tanaman pangan di Sumatra Timur.
Kedatangan mereka tidak diikat dalam bentuk kontrak seperti pekerja migran
melainkan dengan skim khusus sebagai transmigran. Kegiatan tersebut
menjadi model kebijakan pengembangan wilayah dan untuk mengatasi
kepadatan penduduk. Hal itu merujuk sukses program transmigrasi pertama
di Hindia Belanda yaitu di Gedong Tataan,  Lampung Selatan  yang dimulai
tahun 1905.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Sumatra Timur merupakan wilayah yang sebagian berada dalam kekuasaan


Kesultanan Deli. Sultan merupakan penguasa tunggal di Tanah Deli.
Pemberian Izin konsesi kepada pengusaha perkebunan merupakan sumber
pendapatan paling besar bagi kesultanan. Bangunan Istana Maemun dan
Masjid Raya Medan menjadi simbol dan saksi sejarah dari masa keemasan
Kesultanan Deli akhir abad ke-19. Gambar 6.1 menunjukkan kompleks
Istana Maemun saat baru selesai dibangun oleh Sultan Mahmud Al Rasyid
pada tahun 1891. Istana dua lantai tersebut memiliki 30 ruangan dengan
luas bangunan 2.800 meter persegi. Tampak dalam gambar, belum banyak
hunian dan di sekitarnya terhampar luas tanaman perkebunan.

Gambar 6.1 Kompleks Istana Maimun Medan, (1891) (Tropen Museum)

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat telah menstimulasi terbukanya


peluang lapangan usaha baru di sektor perdagangan. Buruh Cina dan India
yang telah selesai menjalani masa kontrak kerja melanjutkan profesi menjadi
pedagang. Mereka menganggap bekerja di luar perkebunan lebih bebas dan
memberikan peluang meraih kesejahteraan lebih baik dibandingkan menjadi
pekerja. Kaum pedagang tersebut banyak yang menjadi mitra perkebunan
sebagai pemasok kebutuhan pokok bagi pekerjanya.

80
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

Sumatra Timur pada awal abad ke-20 merupakan wilayah baru yang
memiliki corak demografi beragam dengan komposisi penduduk didominasi
oleh pendatang. Pada Tahun 1930 dari total jumlah penduduk Tanah Deli
sebanyak 1.685.873 jiwa maka penduduk asli hanya mencapai 581 ribu
jiwa (34,5%). Komposisinya yaitu Suku Melayu 19,9%, Karo 8,6% dan
Simalungun 5,6%. Sementara itu penduduk pendatang mencapai 65,5%.
Suku Jawa menjadi mayoritas yaitu 590 ribu jiwa (35,0%). Penduduk Eropa
jumlahnya relatif sedikit hanya 11 ribu jiwa (0,7%). Sementara keturunan
Cina mencapai 193 ribu jiwa (11%) dan penduduk keturunan India sama
dengan bangsa Eropa sekitar 11 ribu jiwa (Suwirta 2000).
Pertumbuhan ekonomi perkebunan yang berkembang pesat juga
mempengaruhi tumbuhnya pusat-pusat kegiatan ekonomi di sekitar
perkebunan. Medan menjadi kota baru menggantikan Labuhan yang berada
di muara Sungai Deli. Kota Medan tumbuh secara dinamis dengan kawasan
Kesawan (sekarang Jalan Ahmad Yani) sebagai pusat perniagaan untuk
melayani komunitas perkebunan. Gambar 6.2 menampilkan kawasan bisnis
Kesawan Medan pada awal abad ke-20.

Gambar 6.2 Pintu Gerbang Kawasan Perdagangan Kesawan Medan, (1923)


(Tropen Museum)

81
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Kawasan Kesawan terhubung dengan Lapangan Merdeka (tempo dulu dikenal


sebagai Esplanade) yang merupakan zone perkantoran pemerintahan Hindia
Belanda di Sumatra Timur. Di kawasan tersebut terdapat gedung Balai Kota
(Hotel Aston, sekarang), Hotel de Boer (Dharma Deli), Kantor Pos, Kantor
Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (Bank Indonesia), Kantor NHM
(Bank Mandiri), Kantor Lonsum dan AVROS. Bangunan-bangunan tersebut
sampai sekarang dipertahankan sebagai gadung heritage (cagar budaya)
yang dilindungi undang-undang. Kereta api yang dibangun Deli Spoorweg
Maatchappij (DSM) juga mempunyai stasiun utama dan kantor pusat di
kawasan Lapangan Merdeka, sebagai sentra dari lintasan (hub) kereta api dari
kota Medan ke seluruh Sumatra Timur.

Gambar 6.3 Tepian Sungai Deli Tempo Dulu (Tropen Museum)

Pertumbuhan penduduk yang berlangsung sangat cepat mempengaruhi


perubahan tata guna lahan. Pemukiman baru banyak dibangun di Medan.
Posisi strategis Medan yang dilewati Sungai Deli menjadi faktor yang
mendorong percepatan pertumbuhan kota. Saat itu sarana transportasi utama
masih mengandalkan pelayaran melalui sungai. Sungai Deli merupakan salah
satu urat nadi transportasi air yang sangat diandalkan dari Medan ke pelabuhan

82
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

sebelum dibangun jalur kereta api Medan-Belawan. Ketika itu penduduk kota
Medan juga masih mengandalkan sungai sebagai sumber kehidupan, seperti
air minum, mencuci dan aktivitas harian lainnya. Gambar 6.3 menampilkan
aktivitas masyarakat di tepi Sungai Deli dengan posisi perumahan menghadap
ke sungai.

Fakta bahwa pengembangan usaha perkebunan tembakau di Tanah Deli cukup


berhasil secara ekonomi tidak terbantahkan. Namun demikian, kalangan
terdidik dari Eropa kurang tertarik untuk berkarir di Hindia Belanda. Untuk
memenuhi tenaga staf pimpinan perkebunan dipekerjakan tenaga kelas dua
yang relatif kurang terdidik seperti mantan kelasi kapal dan pencari kerja dari
kalangan menengah ke bawah. Hal itu karena momentum meningkatnya
prospek bisnis komoditas perkebunan pada awal abad ke-20 juga bersamaan
waktunya dengan tumbuhnya industrialisasi di Eropa. Tenaga-tenaga terdidik
kelas satu lebih memilih untuk memasuki lapangan kerja terkait dengan sektor
industri yang baru tumbuh di Eropa Barat. Sektor manufaktur yang tumbuh
cepat di Eropa menjadi pilihan utama pencari kerja karena menjanjikan status
lebih bergengsi serta harapan kesejahteraan yang lebih baik. Lapangan kerja
di sektor industri juga dinilai lebih terhormat dibandingkan sektor agraris.
Sementara itu gaji staf perkebunan di Tanah Deli relatif kecil untuk standar
taraf hidup Eropa. Hal-hal tersebut menjadi dasar pertimbangan lain kenapa
animo untuk bekerja di Hindia Belanda menjadi prioritas kedua. Alasan
yang hampir sama menjadi pertimbangan kenapa para staf kulit putih tidak
membawa keluarganya. Hanya kalangan atas yang bisa membawa istri ke
Deli. Dampak sosial sumber tenaga staf bangsa Eropa bukan dari kalangan
yang cukup terdidik diantaranya mereka kurang memahami budaya lokal
sehingga terkadang terjadi insiden perlakuaan kasar terhadap pekerja sebagai
ekses adanya cultural gap.
Lingkungan kerja di perkebunan relatif keras. Lokasi kerja berada di luar ruang
pada iklim dan cuaca tropis yang lembab dan panas. Pekerjaan di lapangan
perkebunan dimulai pagi hari dan baru berakhir sampai jam 16.00 atau
17.00 sore. Selama masa tersebut pekerjaan tetap berlangsung meski panas
terik maupun datang hujan. Target pekerjaan yang diberikan diatur secara
ketat sehingga sering menjadi beban psikologis bagi staf pimpinan untuk
memenuhi target yang ditetapkan.

83
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 6.4 Medan Club, Tempat Berkumpul Komunitas Atas Perkebunan,


(1890) (Tropen Museum)

Untuk mengusir rasa jenuh dan stress di tempat kerja, para staf muda sering
memanfaatkan semaksimal mungkin waktu libur di akhir pekan, berkumpul
dan berinteraksi dengan teman-temannya di Kota Medan. Dengan
menggunakan andong yang ditarik 2 kuda atau mobil Ford Model T mereka
bertemu di Medan Club untuk bersenang-senang mengusir rasa kesepian.
Cerita mobil Ford T berasal dari melambungnya harga karet sehingga bonus
prestasi kerja (tantiem) yang diterima staf muda pada awal abad ke-20 bisa
dibelikan mobil baru yang pertama kali dikeluarkan Ford Motor Company
dari Detroit, Amerika Serikat pada tahun 1908. Gedung societeit atau sos
yang berada di Jalan Kartini Medan (sekarang dikenal sebagai “Medan Club”)
merupakan saksi sejarah yang masih ada hingga kini. Bagi kalangan pemilik
dan pimpinan perkebunan yang lebih makmur mereka bisa menginap di
Grand Hotel (sekarang Hotel Grand Angkasa) atau Hotel de Boer (Hotel
Dharma Deli) yang terletak di Kawasan Lapangan Merdeka. Gambar 6.5
menampilkan Hotel de Boer yang masih ada dan berfungsi hingga kini.
Dampak dari tumbuhnya ekonomi perkebunan di Sumatra Timur
berpengaruh ke daerah pedalaman yang juga mulai berkembang menjadi
pusat kegiatan sosial-ekonomi baru. Kota-kota satelit tumbuh pesat seperti
Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Kisaran, dan Binjai. Di sekitar daerah

84
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

tersebut tumbuh perkebunan-perkebunan baru yang dibangun investor dari


Eropa. Gambar 6.6 menampilkan kompleks pertokoan di Kisaran, Asahan
awal abad ke-20.

Gambar 6.5 Hotel de Boer (Sekarang Dharma Deli) Medan, (1930) (Tropen
Museum)

Gambar 6.6 Satu Sudut Kota Kisaran, (1900) (Tropen Museum)

85
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Di sekitar Kisaran pada awal abad ke-20 merupakan pusat perkebunan karet
Uni Royal milik Amerika Serikat yang memiliki kantor pusat di Kisaran. Kota
Kisaran berada 165 km arah tenggara kota Medan. Diantara Kisaran dan
Medan, satu kota pusat perdagangan yang tumbuh merespon bergairahnya
ekonomi perkebunan yaitu Tebing Tinggi. Jarak antara Medan ke Tebing
Tinggi sekitar 60 km dan bisa ditempuh 3–4 jam dengan kereta kuda atau 1–2
jam dengan mobil. Di sekitar kota Tebing Tinggi banyak ditemui perkebunan
karet dan kelapa sawit milik perusahaan H & C, Socfin, dan Lonsum. Gambar
6.7 menampilkan pintu gerbang jalan utama Kota Tebing Tinggi sebagai
pusat perdagangan bagi komunitas perkebunan tempo dulu.

Gambar 6.7 Kawasan Pecinan KotaTebing Tinggi Awal Abad ke-20 (Tropen
Museum)

Kota lain sebagai pusat perdagangan yang melayani perkebunan yaitu


Pematang Siantar (Simalungun). Kawasan perkebunan di Simalungun
berkembang belakangan setelah daerah dekat pantai Timur Selat Malaka
sudah termanfaatkan. Pengembangan perkebunan di sekitar Simalungun
didominasi oleh komoditas teh, karet dan kelapa sawit. Dibandingkan dengan
daerah perkebunan yang dibangun terlebih dahulu di pantai timur, karakter
geografis wilayah perkebunan di Simalungun umumnya berbukit (tidak rata)

86
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

Terutama untuk wilayah yang dekat dengan kawasan Danau Toba. Suhu
udara di daerah tersebut relatif lebih nyaman karena tidak terlalu panas.
Bahkan pada beberapa perkebunan teh ketika itu masih sering dijumpai kabut
menyelimuti areal tanaman. Daerah tersebut cukup sejuk sehingga menjadi
tempat favorit bagi staf perkebunan.
Selain Kota Medan maka kota kecil Parapat yang berada di tepi Danau
Toba banyak dibangun bungalow dan tempat peristirahatan yang disediakan
perusahaan untuk tetirah pimpinan perkebunan dan keluarganya. Gambar
6.8 menampilkan kawasan perniagaan yang banyak dihuni etnis Cina di
Pematang Siantar tempo dulu. Perusahaan HVA, NHM, dan Sipef banyak
membuka perkebunan di sekitar Pematang Siantar.

Gambar 6.8 Pertokoan Cina Jalan Cipto Pematang Siantar, (1899) (Tropen
Museum)

Kota keempat yang merupakan satelit dari kota Medan adalah Binjai yang
berada di wilayah Kabupaten Langkat. Jarak kota tersebut dari Medan
sekitar 21 km. Kota satelit ini merupakan wilayah terdekat ke Kota Medan
dibandingkan tiga kota satelit lainnya yaitu Tebing Tinggi, Kisaran, dan
Pematang Siantar. Di sekitar kota ini (Kabupaten Langkat) banyak ditemui
perkebunan-perkebunan tembakau dan sebagian kecil perkebunan karet yang
diusahakan oleh Deli Maatschappij.

87
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Dibandingkan perkebunan yang berada di sekitar kisaran dan Pematang


Siantar yang jauh dari Kota medan, kebun-kebun yang berada di wilayah
Kabupaten Langkat ketika itu relatif tidak terlalu terisolir. Ketika itu sarana
transportasi dengan menggunakan kereta api DSM telah memiliki jalur
lintasan yang menghubungkan Medan dengan kota Binjai dan Stabat yang
berada di pedalaman. Dalam master plan DSM, bahkan telah direncanakan
program untuk memperpanjang jalur kereta api sampai ke wilayah Aceh.
Gambar 6.9 menampilkan stasiun kereta api Binjai yang dibangun DSM
pada tahun 1883.

Gambar 6.9 Stasiun Timbang Langkat Binjai, (1920) (Tropen Museum)

2. Stratifikasi dan Interrelasi Komunitas


Perkebunan
Stratifikasi sosial masyarakat perkebunan identik dengan stratifikasi dalam
jabatan. Hal itu bisa dipahami karena setiap perkebunan pada dasarnya
merupakan satu komunitas otonom yang tidak terpengaruh oleh lingkungan
sosial sekitarnya. Kantor pusat perusahaan atau kantor direksi umumnya
tidak satu kawasan dengan kebun. Dalam satu kesatuan sosial perkebunan,
yang berada di puncak piramida adalah administrateur. Ia memerankan fungsi
sebagai penguasa tunggal dalam kegiatan organisasi perusahaan maupun

88
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

dalam hubungan sosial. Turunan strata sosial ke bawah secara berjenjang


adalah hoofd opzichter, opzichter (pengawas), asisten (pembantu), ploeg baas
(mandor besar), ploeg (mandor regu), dan karyawan pada level bawah.

a. Kultur Komunitas Perkebunan


Praktik tata hubungan sosial pekerja diselaraskan dengan tujuan perkebunan.
Aktivitas sosial juga disesuaikan dengan ritme kerja di perusahaan. Sebagai
contoh, kegiatan yang berkaitan dengan adat istiadat seperti resepsi pernikahan
atau kegiatan budaya selalu disesuaikan dengan jadwal hari gajian yang
dilakukan dua kali sebulan yaitu pada pertengahan bulan (gajian kecil, panjar
gaji) dan awal bulan (gajian besar, gajian rampung).
Kebijakan perusahaan dalam menyusun keseimbangan hubungan sosial
berdasarkan asal usul etnisitas juga dipertimbangkan dalam menata perumahan
pekerja. Tujuannya agar terjadi harmonisasi interaksi sosial di antara pekerja.
Sedapat mungkin dipertahankan aspek heterogenitas dalam satu kawasan
pemukiman. Dengan demikian perusahaan bisa mendesain horizon baru
yaitu “kultur kebun” yang sejalan dengan tujuan perusahaan. Peran sosial
di masyarakat juga diselaraskan dengan stratifikasi manajemen. Seorang
mandor besar akan menempati strata tertinggi dalam pekerjaan maupun
dalam tata pergaulan sosial. Menyatunya kultur pekerjaan dengan kehidupan
sosial menjamin terpeliharanya budaya patronase yang mendukung tujuan
perusahaan.
Desain pemukiman yang dibangun oleh perkebunan juga memperkuat
pembentukan kultur perkebunan. Tata letak perumahan pekerja biasanya
menempatkan kantor afdeling berada di tengah-tengah kompleks. Rumah
dinas mandor besar juga berada di pusat pemukiman. Ukuran luas dan
standar bangunan yang melebihi pekerja lain menempatkan Mandor Besar
sebagai centre of exellent. Secara berjenjang ke bawah sampai level pekerja
format perumahan dicerminkan oleh bentuk, ukuran dan letak bangunan.

b. Komunikasi Sosial Staf Pimpinan


Staf pimpinan perkebunan terdiri dari administrateur di puncak piramida
sampai asisten pada level paling bawah. Seseorang baru bisa diangkat menjadi
staf penuh membutuhkan waktu enam tahun. Butuh waktu yang sama
untuk menjadi opzichter. Demikian juga untuk meraih posisi hoofd opzichter

89
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

seorang opzichter (pengawas) perlu waktu 5–10 tahun. Posisi terakhir adalah
administrateur yang merupakan jabatan puncak karir profesional bagi staf
perkebunan. Jangka waktu untuk menjadi administrateur bagi seorang staf
muda membutuhkan 20–25 tahun. Cepat-lambatnya juga sangat ditentukan
apakah perusahaan sedang melakukan perluasan areal (menjadi lebih cepat
promosi) atau justru sebaliknya, yang harus berjalan berjenjang secara alami.
Kehidupan profesional staf (asisten) perkebunan dibangun atas nilai-nilai
disiplin yang keras. Pekerjaan dimulai pagi hari jam 05.00 atau jam 06.00
yaitu briefing harian (“lingkaran pagi”) dari hoofd opzichter untuk membahas
laporan pekerjaan satu hari sebelumnya dan rencana kerja hari berjalan. Selesai
kegiatan pagi dilanjutkan dengan perjalanan ke afdeling untuk mengelola
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi seorang asisten afdeling
(tanaman), pekerjaan baru selesai sekitar jam 16.00 sore. Pulang dari afdeling
dilanjutkan dengan olah raga tenis lapangan sore hari bersama pimpinan.
Kegiatan olah raga yang sifatnya setengah wajib tersebut dilakukan sampai
senja hari. Selesai melakukan aktivitas olahraga dilanjutkan dengan makan
malam dan istirahat di rumah masing-masing. Kegiatan harian tersebut bersifat
rutin dari senin sampai sabtu. Hari libur adalah sabtu setelah tengah hari dan
minggu. Akhir pekan biasanya digunakan staf muda yang belum berkeluarga
untuk pergi refreshing bertemu teman-teman dari perusahaan yang berbeda.
Beban dan iklim kerja yang keras membuat para staf muda cenderung stress
sehingga membutuhkan kanalisasi emosi. Mereka bertemu di societeit untuk
staf muda atau di hotel bagi staf senior. Di tempat-tempat seperti itu biasanya
disediakan minuman keras yang bisa di-bon dengan pembayaran pada saat
gajian. Kegiatan liburan akhir pekan diisi dengan minum-minum, dansa-
dansi, main kartu, bilyar, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan kejenuhan terhadap lingkungan kerja di tempat terpencil
yang berbeda dari aspek lingkungan dan budaya masyarakatnya dibandingkan
kultur Eropa.
Larangan menikah sampai enam tahun bagi staf muda juga menambah
tingkat alienasi mereka. Komposisi pria dan wanita bangsa Eropa di Tanah
Deli juga tidak seimbang. Umumnya para wanita Eropa tidak tertarik hidup
di daerah frontier. Iklim, lingkungan sosial, peradaban dan budayanya asing
bagi mereka. Pada tahun 1884, dari 688 jiwa penduduk Eropa, hanya ada
148 wanita. Pada Tahun 1990, dari total 2.075 penduduk, populasi wanita
hanya 450 jiwa. Ketidakseimbangan gender juga terjadi pada pekerja lokal.

90
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

Pada Tahun 1900, dari 62 ribu pekerja lokal hanya ada 5 ribu wanita. Pekerja
perempuan sebelumnya tidak diperhatikan namun berdampak pekerja pria
menjadi tidak betah di perkebunan serta sering timbul masalah sosial.
Sesudah Perang Dunia II berakhir ada peningkatan kedatangan wanita dari
negeri Belanda ke lingkungan perkebunan Sumatra Timur. Hal-hal yang
mendorong perubahan tersebut, yaitu karena kesejahteraan staf perkebunan
semakin meningkat. Kondisi kehidupan ekonomi di Eropa juga turun karena
terkena dampak pasca Perang Dunia II.
Migrasi pekerja wanita dari Jawa juga semakin meningkat jauh dari
sebelumnya yaitu mulai awal abad ke-20. Dibukanya perkebunan teh dan
karet di Sumatra Timur justru membutuhkan tipikal pekerjaan yang lebih
sesuai untuk pekerja wanita yaitu sebagai pemetik daun teh. Dari kalangan
pemerintah Hindia Belanda juga menyadari ekses negatif akibat kebijakan
sebelumnya yang kurang memperhatikan keseimbangan gender di masyarakat
perkebunan.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Kolonial juga
menjalankan program transmigrasi untuk mengolah lahan bagi budi daya
tanaman pangan di Sumatra Timur. Berbeda dengan pekerja migran,
keberangkatan transmigran dari daerah asal menyertakan anggota keluarga
secara lengkap (suami-istri dan anak).

c. Hubungan Lintas Hierarki


Pola hubungan sosial di luar pekerjaan di antara staf pimpinan bangsa
Eropa relatif lebih cair. Kesamaan ras, budaya dan tingkat pendidikan lebih
mewarnai pola hubungan. Seusai jam kerja mereka setiap hari selalu bertemu
di lapangan tenis, main kartu atau dansa-dansi bersama sebulan sekali pada
acara arisan staf yang umumnya juga melibatkan keluarga masing-masing.
Sementara hubungan antara staf pimpinan Eropa dengan pekerja pribumi
hanya terbatas dalam kaitan pekerjaan. Jurang peradaban antara bangsa Eropa
dengan pribumi saat itu masih sangat lebar. Issu-issu yang menghubungkan
mereka hanya terbatas pada masalah pekerjaan dan kehidupan sosial pekerja.
Komunikasi paling tinggi antara pekerja pribumi dengan staf pimpinan
bangsa Eropa hanya sampai dengan level asisten afdeling yang umumnya
tinggal berdekatan dengan pemukiman pekerja.

91
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Di luar jam kerja interrelasi asisten hanya terbatas dengan mandor besar atau
mandor regu. Mereka sewaktu-waktu bisa dipanggil ke rumah asisten di malam
hari karena ada instruksi kerja atau ada masalah sosial yang mendesak harus
diselesaikan. Gambar 6.10 menampilkan struktur organisasi perkebunan
di unit usaha pada awal abad ke-20. Masing-masing perusahaan memiliki
bentuk modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi, ukuran, dan kebutuhan
organisasi.

Gambar 6.10 Struktur Organisasi Perkebunan Tempo Dulu

Kebijakan yang menarik dari perkebunan sebelum Parang Dunia II


adalah menyatu atau berdekatannya tempat tinggal asisten afdeling dengan
pemukiman pekerjanya. Asisten afdeling atau asisten onderneming adalah
level paling rendah dari staf pimpinan bangsa Eropa. Ia memimpin wilayah
usaha kebun seluas 300–500 hektare beserta pemukiman karyawan. Konsep
tersebut adalah dalam rangka untuk kepentingan memudahkan komunikasi
dan pengawasan asisten terhadap aktivitas di pemukiman pekerja.
Pasca PD II, ketika jaminan keamanan di Sumatra Timur mulai kurang
kondusif maka perumahan asisten afdeling disatukan dengan kompleks
pemukiman administrateur beserta karyawan staf lainnya di emplasemen
kebun. Pemberontakan PRRI, adanya sentimen negatif kepada warga kulit

92
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

putih, serta keresahan sosial yang tiada henti menjadi penyebabnya. Selain
faktor keamanan juga karena tersedianya fasilitas sepeda motor sebagai
kendaraan dinas asisten afdeling yang meningkatkan jangkauan akses
transportasi. Sebelumnya, praktis hanya mengandalkan kuda tunggangan
sebagai sarana transportasi. Ketika keadaan kemanan di perkebunan genting
selama pemberontakan PRRI pada tahun 1950-an banyak staf perkebunan
etnis Eropa atau bahkan juga pribumi yang mengungsikan keluarganya ke
kota-kota terdekat seperti di Pematang Siantar atau Tebing Tinggi.

d. Hubungan Kekerabatan Pekerja Perkebunan


Lahan perkebunan pada abad ke-19 umumnya dibangun di kawasan remote
area yang jauh dari keramaian penduduk setempat. Pemukiman pekerja juga
selalu dibangun di dekat lingkungan kerja. Desain pemukiman dan tempat
kerja diatur sedemikian rupa agar jarak perjalanan jalan kaki atau dengan
sepeda dari perumahan ke tempat kerja membutuhkan waktu sekitar 30
menit. Jarak antara satu pemukiman dengan pemukiman pekerja lain juga
sekitar 3–4 km yang perlu waktu tempuh setengah jam dengan jalan kaki.
Rutinitas pekerjaan dari pagi sampai sore menjadikan aktvitas di luar jam
kerja relatif terbatas. Rekreasi di sore hari di pemukiman pekerja biasanya diisi
dengan aktivitas bermain sepak bola. Para pekerja yang berada di pemukiman
perkebunan praktis waktunya habis untuk aktivitas pekerjaan. Hanya hari libur
akhir pekan atau saat menjalani cuti menjadi waktu bebas untuk keperluan
lain di luar pekerjaan. Bahwa untuk setiap pekerja kontrak diberikan hak cuti
12 hari, bagi yang telah menjalani pekerjaan minimal setahun. Hak cuti hanya
dijalani namun tanpa kompensasi pembayaran. Pada saat karyawan menjalani
cuti maka gajinya tetap diberikan penuh oleh perusahaan.
Hubungan kekerabatan di antara pekerja umumnya hanya terbatas dengan
komunitas pekerja yang terdiri dari 40–60 keluarga untuk satiap satuan
pemukiman. Hubungan sosial tersebut membangun ikatan yang kuat.
Interaksi sosial berbasis geneologis atau garis keturunan tidak selamanya
dapat dilakukan karena kendala jarak. Bisa jadi keluarga atau kerabat dekat
berdomisili di satuan pemukiman lain, di perkebunan lain atau bahkan di
perusahan lain yang berbeda kota atau wilayah.
Saat itu sarana transportasi umum juga belum banyak tersedia. Jalur kereta
api yang dibangun DSM hanya menjangkau Medan dari kota-kota satelit

93
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

seperti Tebing Tinggi, Kisaran, Pematang Siantar sampai Langkat. Pada awal
abad ke-20 belum ada sarana angkutan umum (feeder) dari perkebunan ke
stasiun kereta api. Dengan segala keterbatasannya maka pola kekerabatan
yang mereka bangun hanya sebatas lingkungan kerja dan lingkungan tempat
tinggal.
Ada frasa yang sering digunakan di lingkungan perkebunan yaitu kekerabatan
atas dasar persamaan nasib, seperti “saudara sekapal” atau keluarga satu
afdeling. Perumahan yang berdekatan dalam satu asrama panjang menjadi
faktor yang mendorong mereka untuk saling menjaga hubungan agar tidak
terjadi perselisihan dengan tetangga mereka. Dengan kondisi interaksi seperti
itu maka pernikahan antar keluarga satu pemukiman adalah hal yang lazim
terjadi karena lebih praktis dan realistis.
Pola hubungan antara pekerja dengan para mandor atau mandor besar di
pemukiman berlangsung dalam ikatan patronase. Seorang mandor akan
selalu dihormati baik di dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Peran
seorang mandor besar dalam struktur sosial masyarakat di perkebunan sangat
dominan. Selain sebagai pemimpin formal dia juga menjadi patron tempat
karyawan meminta pendapat atau nasehat dalam permasalahan pekerjaan
maupun dalam kaitan dengan hubungan sosial. Permasalahan rumah tangga,
perselisihan dengan tetangga atau konflik suami istri juga menjadi sesuatu
yang dikonsultasikan pemecahannya secara berjenjang dari mandor regu dan
mandor besar. Dalam keadaan tertentu ketika eskalasi permasalahan terlalu
rumit atau melibatkan banyak pihak maka seorang asisten afdeling terkadang
harus turun tangan langsung menyelesaikannya.
Dengan posisi demikian maka pengangkatan seseorang menjadi mandor
tidak bisa sembarangan. Kekuasaannya yang absolut bisa disalahgunakan jika
dipimpin oleh orang yang tidak berkarakter. Kepemimpinan mandor sebagai
role model menjadi penting dalam membangun kultur kerja di onderneming.

3. Hubungan Perkebunan dengan Masyarakat


Sekitar
Komunikasi hampir tidak terjadi antara pimpinan kebun dengan masyarakat
sekitar. Informasi tersebut diperoleh dari catatan sejarah dan testimoni langsung
dengan staf senior yang pernah berinteraksi dengan pimpinan berkebangsaan

94
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN

Eropa sebelum nasionalisasi pada akhir tahun 1950-an. Keterbatasan


pemahaman budaya dan kemandirian kebun dari pengaruh eksternalitas
lingkungan sosial menjadi faktornya. Perkebunan relatif tidak membutuhkan
masyarakat sekitar dalam menjalankan aktivitas usahanya. Kegiatan supporting
proses bisnis menggunakan jasa mitra kerja (rekanan, suppliers) dari kota
satelit terdekat seperti Pematang Siantar, Tebing Tinggi, atau bahkan yang
berdomisili di Kota Medan. Pimpinan perkebunan (administrateur) saat itu
relatif eksklusif hanya berinteraksi dengan lingkungannya sendiri. Untuk
pejabat perkebunan level asisten afdeling masih membutuhkan interaksi
dengan masyarakat melalui tokoh lokal. Mitra kerja dalam kondisi tertentu
juga terlibat membantu perkebunan ketika menyelesaikan perbedaan pendapat
atau perselisihan dengan masyarakat sekitar. Ketika meletus pemberontakan
PRRI maka keamanan kebun menjadi tidak kondusif. Tentara pusat (TRI)
yang didatangkan dari Siliwangi dan Brawijaya tidak mampu menjamin
keamanan kebun. Sejak itu pimpinan perkebunan mulai membuka diri
berkomunikasi dengan pemberontak agar tidak diganggu oleh mereka.
Kewenangan terkait perizinan perkebunan dikelola langsung di tingkat
pemerintah pusat di Batavia atau paling rendah di tingkat Provinsi Sumatra
Timur. Interaksi dengan pejabat setempat seperti residen atau instansi lain
yang setingkat hanya dilakukan secara terbatas. Kedudukan perkebunan saat
itu relatif memiliki positioning “lebih tinggi” dibandingkan pejabat tingkat
kabupaten. Interaksi di antara mereka dilakukan terbatas misalnya dalam
bentuk olah raga tennis bersama atau acara arisan dengan pejabat pemerintah.
Pada kondisi tertentu ketika pejabat perkebunan pensiun dan akan kembali ke
tanah kelahiran di Eropa biasanya para pejabat pemerintah lokal diikutsertakan
dalam kegiatan vendutie, yaitu melelang barang-barang pribadi dari staf yang
pindah dengan harga miring. Kondisi tersebut menjadikan bargaining position
keduanya tidak setara. Pimpinan perkebunan merasa tatarannya dalam
pergaulan sosial lebih tinggi dari pejabat setingkat kabupaten.
Untuk menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar, perkebunan mewakilkan
kepada pejabat pribumi selevel mandor besar (hofd ploeg). Kepedulian sosial
perkebunan terhadap masyarakat sekitar terbatas dalam pemanfaatan fasilitas
sekolah dan kesehatan yang bisa diakses untuk masyarakat sekitar yang
membutuhkan. Hubungan ekonomi langsung dengan penduduk sekitar juga
jarang dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga
pimpinan perkebunan biasanya berbelanja di kota kabupaten terdekat seperti
di Pematang Siantar, Kisaran atau di Tebing Tinggi.

95
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

4. Tanggung Jawab Sosial Perkebunan


Tanggung jawab sosial perusahaan perkebunan di Sumatra Timur terhadap
masyarakat sekitar sangat terbatas. Saat itu perumahan karyawan dan kawasan
pabrik relatif jauh dari pemukiman masyarakat sehingga dampak lingkungan
tidak langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar.
Kebijakan perusahaan terhadap tanggung jawab sosial ekonomi dan lingkungan
baru dijalankan ketika perkebunan telah dinasionalisasi, dimulai awal tahun
1960-an. Sebagai perusahaan milik negara, diberi peran dan kewajiban oleh
untuk melaksanakan tiga tugas yaitu: Pertama, menciptakan lapangan kerja.
Kedua, menghasilkan keuntungan sebagai penghasil devisa. Ketiga, sebagai
agent of change and development di wilayah usahanya pada radius 10 kilometer
di sekitarnya. Ketiga tanggung jawab sosial tersebut dikemas sebagai Tri
Dharma Perkebunan. Dalam perkembangannya kebijakan tersebut diadopsi
menjadi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dalam UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Melalui UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dimuat juga program tanggung jawab sosial
dan lingkungan korporasi bagi perusahaan berbasis sumber daya alam.

96
BAB VII.
PERAN SUMATERA UTARA
PADA PERKEBUNAN NASIONAL

Sejarah terbentuknya perkebunan dalam skala korporasi di Indonesia dimulai


di Jawa namun karena keterbatasan lahan maka hanya di Jawa Timur dan
Jawa Barat yang memiliki areal HGU perkebunan agak luas. Sementara
bagi perkebunan yang bergerak dibidang usaha pabrik gula, umumnya tebu
ditanam menggunakan lahan glebagan, yaitu dengan sewa bergilir terhadap
tanah-tanah milik masyarakat.
Sejak perkebunan pertama sekali diperkenalkan di Sumatera Utara pada tahun
1863 luas areal budi daya terus meningkat. Pada masa jayanya sebelum Perang
Dunia II luas perkebunan besar mencapai lebih 700.000 hektare yang terdiri
atas tanaman tembakau 250.000 hektare, karet 255.500 hektare, kelapa sawit
92.000 hektare, dan tanaman lainnya, seperti serat, teh, dan kopi.

1. Kiblat Perkebunan Nasional


Model pengelolaan perkebunan dalam skala korporasi pertama kali di set up
oleh para perintis di Sumatera Utara. Model rekruitment, sistem, dan pola
ketenagakerjaan serta pembentukan kultur perkebunan memperhitungkan
aspek demografi dan antropologis. Dipertahankannya heterogenitas unsur
etnik tenaga kerja merupakan elemen dasar terbentuknya kultur melting yang
dinamis. Nilai-nilai meritokrasi, kedisiplinan, dan profesionalitas merupakan
modalitas yang dibangun para perintis perkebunan seratus lima puluh tahun
lampau.
Perusahaan perkebunan besar di Sumatera Utara yang ada saat ini seprti PTPN
IV, PTPN III, PTPN II, PT Socfindo, PP Lonsum, Bakri Sumatra Plantation
(Uni Royal), Bridgestone (Good Year), Sipef, dan beberapa perusahaan lain
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

telah memulai usahanya puluhan tahun lampau. Perusahaan tersebut menjadi


pioner pengembangan perkebunan dalam skala korporasi di seluruh Indonesia.
Mereka memiliki pengalaman lama dalam bidang perkebunan. Pada masa
kejayaan industri perkebunan di Sumatera Utara juga memiliki banyak
lembaga riset untuk tanaman kelapa sawit, kelapa nyiur, karet, tembakau,
teh, dan kakao. Sumatera Utara juga merupakan lokasi yang dipilih beberapa
perkebunan besar sebagai kantor pusat (Home based) perusahaan. Dengan
demikian kedudukan Sumatera Utara sangat penting sebagai salah satu kiblat
perkebunan di Indonesia.

2. Perintis Pengembangan Perkebunan Rakyat


Sumatera Utara merupakan perintis program Perkebunan Inti Rakyat (PIR-
BUN) di Indonesia. Pertama kali diperkenalkan oleh Bank Dunia dengan
nama program Nucleus Estate Smallholder (NES) pada tahun 1977. Sebelum
diperluas dalam skala nasional, pilot proyek PIR dilaksanakan tahun 1973
di Sumatera Utara dengan dibentuknya Proyek Pengembangan Perkebunan
Rakyat Sumatera Utara (P3RSU). Pilot proyek lanjutan dilaksanakan di
beberapa tempat. Proyek yang cukup berhasil dilakukan atas kerja sama
Pemerintah RI dengan Republik Federal Jerman (KFW, Kreditanstalt fur
Wiederaufbau ) di Ophir, Pasaman, Sumbar oleh PTP VI Sumatera Utara
yaitu program Nucleus Estate Smallholder Participation (NESP) Ophir. Untuk
itu telah dibangun tanaman kelapa sawit mulai tahun 1981/1982 seluas 6.000
hektare, yang terdiri atas 1.200 hektare tanaman inti dan 4.800 hektare plasma.
Peserta plasma adalah anggota veteran, purnawirawan ABRI, penduduk
setempat, dan PNS. Setiap petani memperoleh lahan 2 hektare kebun, 0,75
hektare pangan dan 0,75 hektare untuk pekarangan dan perumahan.
Adapun program Nasional PIRBUN dimulai pada tahun 1985 melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 688 tahun 1985. Proyek PIR-BUN juga
menggandeng program transmigrasi menjadi PIR-TRANS. Sampai tahun
1997 tercatat ada 1.148.726 hektare areal PIR terdiri atas 564.096 hektare
PIR-BUN dan 584.630 hektare PIR-TRANS. Dari luasan tersebut, areal
Kebun Inti dibangun seluas 325.563 hektare dan areal Kebun Plasma seluas
823.163 hektare. Komoditi yang ditanam di perkebunan dari urutan yang
terluas yaitu Kelapa Sawit seluas 765.019 hektare, Karet 260.763 hektare,
Kelapa Hibrida 89.597 hektare, dan sisanya tebu, teh, kapas kakao (Dirjenbun
1977).

98
BAB VII.
PERAN SUMATRA UTARA PADA PERKEBUNAN NASIONAL

Pemerintah memberikan mandat kepada BUMN perkebunan (PTP) yang


berada di Sumatera Utara (PTP II s/d PTP VIII) pada awal tahun 1980-an
untuk mengembangkan areal perkebunan dengan pola PIR dan PIR-TRANS
di luar wilayah tradisionalnya. Dalam program tersebut, PTP membangun
areal inti untuk sendiri dan areal plasma yang diperuntukan bagi penduduk
sekitar dan peserta program transmigrasi. Masing-masing PTP dialokasikan
untuk mengembangkan di wilayah tertentu. Misalnya, PTP II yang berkantor
pusat di Tanjung Morawa mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Papua
(Kebun Arso dan Prafi).
BUMN lainnya seperti PTP III yang berkantor pusat di Sei Batanghari
lebih mengonsentrasikan pengembangannya ke wilayah selatan Sumatera
Utara (Labuhan Batu). PTP IV yang berkantor pusat di Gunung Pamela
mengembangkan areal di Provinsi Jambi. Adapun PTP V yang berkantor
pusat di Sungai Karang banyak mengembangkan areal perkebunan ke
Provinsi Riau. Wilayah pengembangan PTP VI yang berkantor Pusat di
Pabatu yaitu di Sumatera Barat, Jambi, dan Kalimantan Timur serta Sulawesi
Tengah. Adapun PTP VII yang berkantor pusat di Bah Jambi, Pematang
Siantar mengembangkan areal di Kalimantan Barat. PTP VIII Medan
mengembangkan areal di Provinsi Sumbar dan Jambi. PTP IX yang berkantor
pusat di Putri Hijau lebih ditekankan untuk konsolidasi areal di Sumatera
Utara.
Sumatera Utara juga merupakan salah satu perintis perkebunan swasta
dengan banyaknya pengusaha Medan yang bergerak pada usaha perkebunan
diantaranya Lonsum, Bakrie Sumatra Plantation, Asian Agri, Permata Hijau
Sawit, Musim Mas, Wilmar, dan lain lain.

3. Pusat Riset Perkebunan


Untuk menunjang pengembangan teknologi budi daya dan prosesing (on
farm dan off farm), maskapai perkebunan di Sumatra timur telah membangun
lembaga riset sendiri. Cikal bakalnya dimulai ketika didirikan Perhimpunan
Pengusaha Perkebunan di Pantai Timur Sumatra atau Algemeene Vereeniging
van Rubberplanters Oostkust van Sumatra (AVROS). Organisasi yang didirikan
oleh pengusaha perkebunan  karet  di  Sumatera Timur  pada pada tahun
1909. Pada perkembangannya, AVROS tidak saja menghimpun pengusaha
karet, tetapi juga pengusaha  kelapa sawit. AVROS kemudian bukan hanya

99
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

mengurusi masalah pengiriman tenaga kerja migran ke Tanah Deli, namun


juga mengembangkan pusat penelitian perkebunan dengan mendirikan
Algemene Proefstation der AVROS (APA) pada 26 September 1916.
Penelitian terhadap tanaman karet dipusatkan di Sei Putih dan untuk
tanaman kelapa sawit dipusatkan di Marihat, Pematang Siantar (Marihat
Research Station, MRS). Riset karet selain dipusatkan di Sungai Putih
juga dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Tanjung Morawa (P4TM) yang berdiri tahun 1968. Pada Tahun 1933
MRS mulai mengembangkan material induk bakalan Dura Deli. Dalam
perkembangannya APA kemudian berganti nama menjadi RISPA (Research
Institute of the Sumatera Planters Association) dan selanjutnya menjadi BPPM
(Balai Penelitian Perkebunan Medan) dan PPKS (Pusat Penelitian Kelapa
Sawit) setelah Marihat digabungkan dengan RISPA. Di Kebun Bah Butong
Simalungun juga didirikan Kebun Percobaan Teh dibawah pengelolaan Puslit
Teh, dan Kina Gambung, Bandung. Dalam rangka mengamankan plasma
nutfah kakao sampai sekarang masih dipertahankan kebun benih kakao di
Kebun Adolina. Introduksi alat panen egrek, penyerbuk alami (Elaeidobius
kamerunicus), dan pemanfaatan burung hantu untuk pengendalian tikus
merupakan beberapa inovasi dalam budi daya perkebunan.
Sebelum AVROS didirikan, Deli Maatschappij bekerjasama dengan Kebun
Raya Bogor pada tahun 1894 meneliti serangan hama tembakau. Kerja sama
tersebut menginspirasi dibentuknya Deli Proestation voor Tabak Medan (Pusat
Penelitian Tanaman Tembakau di Medan). Lembaga tersebut menempati
kantor yang dibangun pada tahun 1913 dan selesai tahun 1916. Pada tahun
1926 bangunan Deli Proefstation ini difungsikan sebagai Kantor Gubernur
Sumatra Timur sampai sekarang. Di Sumatra Timur juga berkembang pusat
riset yang dikelola swasta seperti yang dimiliki Socfin, Lonsum, Uni Royal,
dan Goodyear. Seluruh pusat riset perkebunan di Sumatra Timur telah ikut
memberikan kontribusi bagi pengembangan perkebunan di Indonesia dari
dahulu sampai sekarang.

4. Lembaga Pendukung (Supporting)


Perkebunan
Selain keberadaan perusahaan perkebunan dan lembaga penelitian, di
Sumatera Utara juga banyak ditemui vendors dan workshop yang melayani

100
BAB VII.
PERAN SUMATRA UTARA PADA PERKEBUNAN NASIONAL

dunia perkebunan yang meliputi pelayanan on farm maupun pabrikasi (off


farm). Banyak ahli dan pakar perkebunan dari Sumatera Utara yang bergabung
dalam lembaga konsultasi dan pendampingan pengelolaan perkebunan.
Pengusaha perkebunan di Indonesia memiliki akar di Sumatra Utara. Dalam
bidang usaha kelapa sawit misalnya. Medan merupakan produsen benih
kelapa sawit paling tua dan paling besar, yaitu PPKS, Socfin, dan Lonsum.
Mereka memiliki fasilitas penelitian laboratorium dan lapangan yang cukup
lengkap dan disegani di kalangan pakar internasional.

101
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG
PERKEBUNAN

Kereta api merupakan infrastruktur yang pertama kali dibangun untuk


mendukung bisnis perkebunan di Sumatra Timur. Inisisasi pembangunan
sarana kereta api di Sumatra Timur akhir abad ke-19 dilakukan oleh
perusahaan perkebunan. Ide dasarnya adalah dalam rangka menghubungkan
daerah sentra perkebunan ke pelabuhan Belawan. Hal itu merupakan upaya
untuk menciptakan moda pengangkutan logistik komoditi perkebunan
yang murah. Pemerintah Hindia Belanda mendukung gagasan petinggi
perkebunan tembakau dalam pembentukan unit usaha angkutan kereta api
dengan nama NV Deli Spoorweg Maatschappij (DSM). Membangun jalan
kereta api untuk angkutan komoditi perkebunan merupakan pilihan paling
efisien dibandingkan dengan membangun jalan raya di wilayah yang curah
hujannya tinggi seperti di Tanah Deli.
Dalam perkembangannya, DSM melakukan diversifikasi ke usaha
penyimpanan bahan cair di Pelabuhan Belawan yaitu Deli Tanker Installation
(DTI), Deli Haven Beheer (perusahaan ekspedisi muatan kapal laut, EMKL),
jaringan telepon, fasilitas perumahan, dan sewa gudang. Penyewaan gudang
di Belawan diperlukan untuk mengantisipasi jadwal kapal yang tidak selalu
tepat waktu. Sewa gudang memiliki prospek yang menguntungkan karena
pemilik perkebunan menginginkan agar barang yang akan dikirim aman
sebelum diangkut kapal KPM (Koninklijke Pakeetvaart Maatschappij) ke
berbagai negara tujuan ekspor di dunia, khususnya Eropa dan Amerika.
Labuhan Deli sesungguhnya telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai
pelabuhan alam. Letaknya di tepian/muara Sungai Deli yang memiliki posisi
strategis untuk menghubungkan pelayaran dengan daerah hulu. Namun,
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

karena berada di muara sungai sehingga rawan pendangkalan. Pemerintah


Kolonial dan pengusaha perkebunan kemudian memindahkan ke Belawan
sebagai pelabuhan ekspor pengganti Labuhan. Lokasinya strategis, untuk
perdagangan dunia karena berada di Selat Malaka dan berdekatan dengan
Penang, Port Kelang dan Malacca, yang merupakan pusat perdagangan
dunia.
Peningkatan kapasitas pelabuhan Belawan dan pembangunan jalur kereta api
yang melewati daerah perkebunan merupakan unsur-unsur yang mendorong
pertumbuhan perkebunan di Sumatra Timur. Sejak perkebunan dalam skala
korporasi dibangun oleh Jacobus Nienhuys sampai sekarang, komoditi ekspor
perkebunan merupakan penghasil devisa terbesar dari Sumatra Timur.
Infrastruktur lain yang mendukung kesuksesan pengelolaan perkebunan
adalah pembangunan perumahan untuk karyawan staf dan pekerja kontrak
menggantikan bedeng darurat ketika pembangunan perkebunan baru dirintis.
Fasilitas pendukung lainnya yaitu pembangunan sarana kesehatan bagi
pekerja. Iklim tropis basah menjadi medium yang mempermudah penyebaran
penyakit endemi di Tanah Deli. Sementara fasilitas olah raga seperti lapangan
tenis di emplasemen dan lapangan sepak bola di perumahan karyawan selalu
tersedia minimal di setiap perkebunan di Sumatra Timur tempo dulu.

1. Infrastruktur Logistik
a. Kereta Api
Jaringan kereta api DSM di Sumatra Timur dibangun atas inisiatif J.T.
Cremer, komisaris, pengelola, dan sekaligus sebagai pemegang saham
perkebunan tembakau Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij.
Tujuan utama pembangunannya untuk melayani keperluan logistik komoditi
tembakau ke pelabuhan dan angkutan penumpang. Hal itu bisa dimengerti
karena hampir seluruh komoditi perkebunan diekspor melalui kapal laut.
Kereta api merupakan moda angkutan termurah dibandingkan dengan sarana
angkutan darat lainnya yang infrastrukturnya belum tersedia seperti sekarang.
Gambar 8.1 menampilkan kereta api penumpang milik DSM.
Pembangunan kereta api pertama adalah menghubungkan Medan ke
pelabuhan lama di Labuhan Deli. Pembangunannya dimulai tahun 1883
dan mulai dioperasikan pada tahun 1886. DSM merupakan satu-satunya

104
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

perusahaan kereta api swasta diantara 11 perusahaan kereta api yang ada di
Hindia Belanda (termasuk Pulau Jawa) saat itu. Pertumbuhan DSM sejalan
dengan meningkatnya volume ekspor komoditi perkebunan, terutama
tembakau dan karet di pasar internasional pada awal abad ke-20. DSM
berdiri atas dukungan penuh Deli Maatchappij dan Nederlandsche Handel
Maatschappij (NHM) pada 25 Juli 1883. Belakangan saham DSM juga
dimiliki oleh AVROS.

Gambar 8.1 Kereta Api Penumpang DSM, (1901) (Tropen Museum)

Inisiatif awal pendirian DSM oleh NHM dan Nederlandsche Indische


Handelsbank adalah untuk membawa produk ekspor perkebunan seperti
tembakau ke pelabuhan. Pada bulan Juni 1883, izin konsesi tersebut
dipindahtangankan pengerjaannya dari Deli Maatschappij kepada DSM.
Konsesi tersebut tercantum dalam Besluit. No 7 tahun 1883. Pada tahun yang
sama presiden komisaris DSM, PW Janssen merampungkan pembangunan
rel kereta api pertama di Sumatra Timur menghubungkan Medan dengan
Labuhan Deli yang diresmikan penggunaannya pada tanggal 25 Juli 1886.
Adapun kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun di Pulau Jawa atas
inisiatif pemerintah pada tahun 1876 yang menghubungkan Semarang-
Kemijen-Tanggung. Gambar 8.2 menampilkan peta jalur kereta api yang
dibangun di sekitar Medan pada akhir abad ke-19.

105
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 8.2 Jalur Kereta Api DSM di Sumatra Timur (Tropen Museum)

106
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

Setelah selesai tahap pertama membangun jalur kereta api Medan Belawan,
selanjutnya maskapai DSM membangun trase baru jaringan kereta api
melewati kota-kota di luar Medan, seperti Tebing Tinggi, Pematang Siantar,
Asahan, dan Rantau Prapat. Kota-kota satelit tersebut merupakan simpul-
simpul kawasan perkebunan yang berada di Sumatra Timur. Jalur kereta api
yang dibangun DSM juga melewati pusat-pusat perkebunan antara lain Mata
Pao, Tanah Raja, Rambutan, Pabatu, Gunung Bayu, Pulu Raja, Air Batu,
Berangir, dan Goodyear di Simalungun serta terus ke arah tenggara berakhir
di Pematang Siantar.
Pada tahun 1889, DSM mendapatkan konsesi untuk menyambung jalur
kereta api dari Medan via Serdang ke Perbaungan dan dari Medan ke Timbang
Langkat sampai Selesai. Izin trase kereta api sampai Perbaungan diperoleh
pada tanggal 18 Februari 1890. Ongkos logistik pengangkutan komoditi
menurun tajam dengan penggunaan kereta api. Sebagai contoh, pada tahun
1882 ongkos angkut tembakau per kereta lembu dengan daya angkut 600
kg di musim kemarau dari Medan ke Labuhan (pelabuhan lama di muara
Sungai Deli) adalah 460 gulden, sedangkan dengan kereta api tidak sampai
separuhnya. Berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada tanggal
23 Januari 1883 diberikan izin konsesi pembangunan jaringan kereta api
yang menghubungkan Belawan (Labuan Deli)-Medan-Deli-Tua-Timbang
Langkat (Binjai) dan konsensi untuk pembangunan serta pengoperasian kereta
api dari Pelabuhan Deli-Belawan-Deli Tua-Medan, bercabang di Medan
untuk Timbang-Langkat di Deli. Trase kereta api pada awal pembukaannya
dibangun dengan sederhana, yaitu melewati areal perkebunan dan pinggiran
perkampungan penduduk.
Jalur Kereta Api Medan-Belawan yang berjarak sekitar 21 km. Pada saat
itu beberapa stasiun dibangun untuk tempat menaikkan dan menurunkan
barang atau manusia. Ada beberapa stasiun pemberhentian yang dilewati dari
Stasiun Utama Medan yaitu: Stasiun Glugur, Stasiun Pulubrayan, Stasiun
Mabar, Stasiun Titi Papan, Stasiun Kampung Besar, Stasiun Labuan, Stasiun
Belawan, Stasiun Pasar Belawan dan Stasiun Pelabuhan Belawan. Pada saat
pertama kali kereta api DSM beroperasi, komoditi ekspor yang diangkut
yaitu tembakau. Selanjutnya sejalan dengan perkembangan perkebunan juga
diangkut karet, CPO (Crude Palm Oil), PK (Palm Kernel), teh, BBM, dan
pupuk.

107
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 8.3 Lintasan Kereta Api DSM diantara Perkampungan Penduduk


(Tropen Museum)

Pembangunan jalur kereta api di Sumatra Timur berjalan relatif cepat. Hal
itu karena sejalan trend yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat yang
menjadikan kereta api sebagai sarana transportasi masal yang paling favorit
menghubungkan destinasi yang berbeda. Peluang tersebut mendorong
berkembangnya manufaktur industri terkait kereta api di Eropa. Akibatnya,
secara ekonomis menjadi layak mendatangkan rel, loko, dan gerbong
langsung dari Eropa. Dari sisi permintaan, perkebunan sangat membutuhkan
sarana transportasi yang aman dan murah untuk mengangkut produknya
ke pelabuhan. Saat itu hanya kereta api satu-satunya sarana yang paling
ekonomis.
Jarak tempuh awal pembangunan kereta api menghubungkan jalur-jalur
sebagai berikut: Medan-Labuhan (sepanjang 17 km; 1886), Medan–Binjai
(21 km; 1887), Medan–Delitua (11 km; 1887), Labuhan–Belawan (6 km;
1888), Medan–Serdang (20 km; 1889), Serdang–Perbaungan (18 km; 1890)
dan Binjai–Medan (11 km; 1890). Gambar 8.4 adalah pemandangan jalur
kereta api di Stasiun Merdeka Medan. Tidak banyak perubahan dibandingkan
dengan kondisi saat ini.
Pada masa kejayaan perkebunan, rangkaian kereta api DSM banyak melayani
logistik pengangkutan produk perkebunan. Hal itu dapat dilihat pada gambar

108
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

8.5 yang menampilkan Stasiun Pusat Merdeka Medan yang dipenuhi gerbong
barang padat (dry cargo) yang mengangkut karet, teh dan serat serta gerbong
tanki (liquid cargo) yang mengangkut minyak kelapa sawit.

Gambar 8.4 Jalur Rel Kereta Api Stasiun Utama Merdeka, Medan, (1910)
(Tropen Museum)

Gambar 8.5 Angkutan Barang di Stasiun Medan Era Maskapai DSM, (1945)
(Tropen Museum)

109
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Perkembangan DSM maju pesat, 35 tahun sejak didirikan, tepatnya pada


tahun 1920 barang-barang yang diangkut sudah meliputi 65 jenis antara lain
karet, kelapa sawit, kopi, teh, kayu bakar, padi, dan lain lain.

b. Jalan Raya
Pembangunan sarana jalan raya tidak secepat pembangunan rel kereta api.
Hal itu bisa dipahami semata atas pertimbangan efisiensi. Topografi Sumatra
Timur yang relatif datar sangat ideal untuk pembangunan jalan kereta api.
Iklim Sumatra Timur curah hujannya tinggi sepanjang tahun sehingga
sangat mahal untuk memelihara jalan raya yang mudah berlumpur di musim
hujan. Alasan lain adalah sifat dari komoditi perkebunan yang volumenous
dan bertonase berat sehingga akan lebih mudah diangkut melalui rel kereta
api dibandingkan dengan melalui jalan raya. Pilihan efisiensi biaya angkutan
logistik sangat menentukan dalam menyusun total biaya produksi sampai
pelabuhan (Freight on Board atau Free on Board, FOB).
Jalan-jalan penghubung yang dibangun di areal perkebunan umumnya terawat
dengan baik. Namun, jalan tersebut dibangun dengan konstruksi sederhana
sehingga hanya bisa dilalui mobil dengan tonase ringan dan tidak mampu
menampung beban berat untuk mengangkut komoditi ekspor ke pelabuhan.
Adapun jalan yang menghubungkan kawasan perkebunan ke Kota Medan
saat itu harus melewati beberapa areal perkebunan lain yang saling sambung-
menyambung. Ada kesepakatan diantara pemilik perkebunan mengizinkan
penggunaan jalan tersebut untuk trasportasi diantara masyarakat perkebunan.
Jalan tersebut perawatannya menjadi beban masing-masing perkebunan.
Patokan membuat jalan perkebunan saat itu diantaranya adalah permukaan
jalan harus membentuk “belah rotan”. Struktur permukaan jalan lebih tinggi
di bagian tengah dibandingkan tepi jalan sehingga air mudah mengalir ke parit
saat musim hujan. Parit air kiri-kanan jalan wajib dibuat dengan dilengkapi
rorak setiap radius tertentu untuk menghambat run off. Pemeliharaan
dilakukan secara rutin sehingga menjadikan jalan tanah berpasir yang
dibangun perkebunan bahkan bisa dilalui mobil sedan. Seorang mandor jalan
selalu memeriksa drainasi jalan saat hujan berlangsung sehingga tahu persis
sisi drainase mana yang bermasalah. Gambar 8.6 memperlihatkan gerobak
membawa daun tembakau yang ditarik dua ekor sapi mengalami kesulitan
melewati jalan darat yang berlumpur di musim hujan.

110
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

Gambar 8.6 Pengangkutan Tembakau dengan Gerobak (Tropen Museum)

c. Pelabuhan
Fasilitas pelabuhan merupakan satu rangkaian prasarana yang urgen bagi
mata rantai kegiatan ekspor komoditi. Seluruh produk perkebunan dikirim
ke negara tujuan menggunakan sarana pengangkutan laut. Peran Pelabuhan
Belawan sangat penting mendukung sukses pemasaran komoditi di Sumatra
Timur pada paruh kedua abad ke-19.
Sebelum pelabuhan Belawan dibangun, kegiatan ekspor dilakukan melalui
Labuhan yang berada di muara Sungai Deli. Di sebelah utara Labuhan
mengalir Sungai Belawan yang berhadapan langsung dengan perairan Selat
Malaka. Kesultanan Deli pada awalnya juga menggunakan Labuhan sebagai
pusat pemerintahan. Pelabuhan Pantai Timur Sumatra semakin ramai setelah
dibukanya Terusan Suez pada 17 November 1869. Sejak saat itu rute kapal
dari Eropa ke Asia Tenggara dan Asia Timur lebih dekat jika melalui Selat
Malaka. Sebelumnya alur pelayaran memutar jauh melalui Tanjung Harapan
di Afrika Selatan.
Ketika arus bongkar muat barang meningkat maka fasilitas pelabuhan Labuhan
Deli dipindahkan ke Belawan pada tahun 1890. Hal itu untuk menghindari

111
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

pendangkalan alur pelabuhan oleh sedimentasi dan penyempitan Sungai


Deli jika tetap mempertahankan Labuhan. Ketika Belawan dibangun saat
itu sudah diintegrasikan dengan angkutan kerata api DSM yang sebelumnya
sudah terhubung Medan-Labuhan sepanjang 21 km pada tahun 1885. Untuk
menampung volume ekspor komoditi perkebunan yang semakin meningkat
maka Pelabuhan Belawan diperluas pertama kali pada tahun 1907 dan
kedua pada tahun 1920 untuk bisa menampung pelayanan penumpang serta
angkutan barang padat dan cair.

Gambar 8.7 Integrasi Kereta Api dengan Pelabuhan Belawan (Tropen


Museum)

Gambar 8.7 menampilkan posisi Pelabuhan Belawan yang terintegrasi dengan


fasilitas dry cargo, liquid cargo (ujung kanan gambar), jalan kereta api, dan
tempat sandar kapal. Dari gambar tersebut tampak bahwa desain pelabuhan
sangat praktis dan efisien. Barang dari gudang langsung bisa dipindahkan ke
kapal untuk dikirim ke manca negara. Pada masa keemasannya yaitu tahun
1920-an, Belawan merupakan pelabuhan terbesar di Hindia Belanda dari
jumlah volume bongkar muat. Setelah itu mengalami penurunan karena
adanya ketidakpastian ekonomi dunia menjelang PD II dan dampak sosial
politik setelah PD II sampai akhir 1950-an.

112
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

2. Perumahan Pekerja
Pembangunan perkebunan pada pertengahan abad ke-19 di Sumatra Timur
umumnya di remote area, berada di hutan belantara yang jauh dari keramaian
dan minim fasilitas. Ketika baru dibuka, fasilitas perumahan darurat dibangun
untuk pekerja dan pimpinan di lokasi perkebunan. Barak sederhana disediakan
berdekatan untuk pekerja maupun untuk pimpinan bangsa kulit putih
(Eropa). Gambar 8.8 memperlihatkan rumah bedeng panggung sederhana
untuk menampung puluhan orang pekerja Cina di perkebunan Tanah Deli
pada awal abad ke -20.

Gambar 8.8 Rumah Panggung Pekerja Migran Beratap Rumbia, (1905)


(KITLV)

Kondisi perumahan yang sangat darurat menjadi alasan pengusaha perkebunan


saat itu hanya menerima pekerja pria untuk membuka hutan dan membangun
kebun di areal yang baru dibuka. Demikian juga fasilitas pendukung lainnya
yang ketersediaannya masih serba terbatas. Untuk membangun base camp
proyek, biasanya dipilih lokasi yang dekat dengan sumber air yaitu sungai.
Pertimbangannya adalah untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan air
minum, cuci, dan mandi (MCK).
Daerah dekat sungai dipilih karena merupakan salah satu alternatif yang
tersedia saat itu sebagai sarana transportasi menuju daerah lain. Penggunaan
jalan raya saat itu masih terbatas. Praktis hanya kuda tunggangan sebagai

113
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

sarana yang efektif karena tidak membutuhkan pemeliharaan jalan.


Sementara gerobak yang ditarik kerbau atau sapi sebagai alat angkut hanya
efektif digunakan pada musim kemarau. Gambar 8.9 memperlihatkan rumah
panggung untuk pimpinan perkebunan tembakau pada awal abad ke-20.
Rumah tersebut dibangun dengan atap dan dinding dari rumbia (daun pohon
sagu) yang banyak tersedia di perkebunan.

Gambar 8.9 Rumah Panggung Administrateur Kebun Keret Alur Jambu,


(1920) (Tropen Museum)

Sebagai rumah tinggal yang bersifat darurat maka pembangunannya sangat


sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan bangunan yang tersedia di
sekitar lokasi proyek. Bentuk bangunan hampir sama yaitu atap rumbia dan
dinding kayu atau anyaman rumbia. Asisten afdeling sebagai pimpinan proyek
pembukaan kebun umumnya tinggal berdekatan dengan bedeng pekerja.
Ketika keuangan perusahaan mulai membaik setelah komoditi yang ditanam
mulai menghasilkan produksi maka fasilitas perumahan untuk pekerja
maupun pimpinan perkebunan sudah lebih memadai. Rumah hunian pekerja
yang dibangun sudah dilengkapi fasilitas umum dan sosial seperti air minum,
tempat mandi, cuci, kakus secara bersama dalam satu komplek perumahan
maupun fasilitas tambahan seperti “balai karyawan” yang acap kali digunakan
untuk tempat pertemuan sosial dan pertunjukan hiburan.

114
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

Fungsi balai karyawan sebagai gedung serba guna juga menjadi tempat untuk
diselenggarakannya “Pasar Kaget” yang diadakan sebulan dua kali yaitu pada
saat gajian besar di awal bulan dan gajian kecil pada tengah bulan. Gambar
8.10 memperlihatkan perumahan pekerja berbentuk bedeng panjang dengan
atap dari seng. Tampak di tengah lokasi berdiri bangunan balai karyawan.

Gambar 8.10 Perumahan Pekerja Perkebunan (Tropen Museum)

Pada umumnya dalam satu kompleks perumahan pekerja, antara rumah


karyawan biasa dan rumah mandor dibedakan lokasi dan ukuran rumah.
Rumah untuk pekerja biasanya berupa bedeng panjang yang memuat 6 atau
lebih keluarga (rumah type G-6). Konstruksi rumah umumnya lebih baik yaitu
dinding kayu dan atap seng. Lantainya masih berupa tanah yang dipadatkan
dan belum diplester. Rumah disekat atas 3 bagian yaitu ruang tamu, ruang
tidur dan dapur. Dalam satu kompleks perumahan bisa terdiri beberapa
bedeng G-6 yang saling berhadap-hadapan. G-2 untuk perumahan mandor
biasanya lebih besar ukurannya dan untuk satu bangunan hanya dihuni 2
keluarga. Untuk rumah dinas mandor besar bentuknya rumah tunggal (G-1)
yang diperuntukan hanya dihuni satu keluarga.
Gambar 8.11 menampilkan kompleks perumahan pekerja di Kebun
Balimbingan dengan fasilitas terdiri atas balai karyawan (pada gambar tampak
yang beratap ganda), perumahan pekerja, dan mandor.

115
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 8.11 Perumahan Afdeling Kebun Balimbingan, 1921 (Tropen


Museum)

Perumahan karyawan yang berada di pusat kebun (dikenal juga sebagai


emplasemen kebun) umumnya dipisahkan antara perumahan staf pimpinan
dengan perumahan karyawan. Untuk perkebunan yang memiliki pabrik
maka ada 4 kelompok pekerja yang terlibat yaitu karyawan kantor (klerk,
krani), karyawan pabrik, karyawan teknik (technical services), dan karyawan
tanaman. Biasanya perumahan pekerja bidang tanaman (afdeling), pekerja
pabrik/teknik dan pekerja kantor saling terpisah meskipun berada pada
kompleks yang sama. Adapun perumahan pimpinan dan staf kebun lokasinya
berdekatan (namun terpisah) dengan kompleks perumahan pekerja. Sebelum
kemerdekaan umumnya untuk jabatan pemimpin perkebunan dipegang oleh
bangsa Eropa.
Mereka terdiri atas rumah administrateur, hoofd opzichter, opzichter (pengawas)
dan beberapa staf (asisten) pabrik, teknik maupun kantor. Sementara rumah
tinggal pimpinan afdeling (asisten) umumnya satu komplek dengan rumah
mandor besar (ploeg baas), mandor regu (ploeg) (regu), dan rumah pekerja
yang umummya berada di wilayah kerja afdeling. Gambar 8.12 menunjukkan
gambar rumah bedeng panjang untuk pekerja yang masih ada sampai tahun
2007.
Perumahan staf perkebunan level bawah (asisten) yang bukan sebagai asisten
afdeling (misalnya asisten teknik atau pabrik) umumnya menempati bangunan
permanen di kompleks emplasemen berbentuk G2, yaitu satu bangunan untuk

116
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

bisa dihuni oleh dua keluarga, sebagaimana tampak pada gambar 8.13. Setiap
bangunan terdiri atas rumah induk dan paviliun di bagian belakang untuk
tempat tinggal pembantu rumah tangga atau tukang kebun yang memelihara
rumah dan pekarangan.

Gambar 8.12 Perumahan Bedeng Panjang di Kebun eks HVA di Simalungun,


(2007) (Ghani)

Gambar 8.13 Perumahan Staf Perkebunan (Tropen Museum)

117
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

3. Rumah Sakit
Kebutuhan melayani kesehatan para staf dan pekerja merupakan kunci
penting bagi suksesnya pembangunan perkebunan di Sumatra Timur. Kondisi
lingkungan kerja pembukaan daerah baru yang serba terbatas serta iklim tropis
yang lembap dan panas banyak menimbulkan endemi penyakit. Banyak staf
perkebunan yang karena tidak terbiasa hidup di daerah khatulistiwa rentan
terhadap serangan penyakit tropis seperti malaria dan disentri. Dengan alasan
tersebut, bisa dipahami bahwa perusahaan perkebunan sangat membutuhkan
fasilitas kesehatan dan menjadi perintis pendirian rumah sakit (RS) di
Sumatra Timur. Hanya 3 tahun sejak perusahaan berdiri Deli Maatschappij
telah membangun rumah sakit untuk melayani pekerjanya. Pada tahun 1871,
Jacobus Nienhuys membangun Rumah Sakit Tembakau Deli.
Rumah sakit tersebut dinamai Deli Maatschappij Hospitaal de Laboratoriumweg
atau kini dikenal dengan nama Rumah Sakit Tembakau Deli di jalan Puteri
Hijau Medan. Pada awal pembukaan RS tersebut, fasilitas dan pelayanan
masih terbatas sehingga pasien kategori berat dikirim ke RS yang ada di
Penang. Tenaga paramedis kesehatan seperti juru rawat dan peracik obat
pada masa awal pendirian RS berasal dari India dan Inggris yang didatangkan
melalui Penang, Malaysia. Selanjutnya, secara bertahap digantikan dokter dari
negara-negara Eropa. Pada tahun 1889 jumlah dokter Eropa sudah mencapai
12 orang. Masyarakat yang dilayani rumah sakit di Tanah Deli saat itu adalah
700 orang Eropa dan puluhan ribu pekerja perkebunan. Pada tahun 1915,
rumah sakit tersebut ditetapkan sebagai rumah sakit laboratorium penyakit
tropis.
Rumah sakit kedua dibangun di Tanjung Morawa oleh perkebunan
tembakau Senembah Maatschappij pada tahun 1882 (sekarang dikenal sebagai
RS Dr Gerhard Lumban Tobing). Rumah sakit ini hanya berjarak sekitar
20 kilometer ke arah tenggara dari rumah sakit Tembakau Deli. Meskipun
Senembah Maatschappij merupakan perusahaan yang memiliki badan hukum
sendiri, tetapi kepemilikan sahamnya dikuasai beberapa orang yang sama
sebagai pemegang saham Deli Maatschappij. Gambar 8.14 menampilkan RS
Tembakau Deli pada awal berdirinya tahun 1871.
Meskipun rumah sakit sudah dibangun oleh perkebunan dengan tenaga medis
dari dokter-dokter lulusan Eropa, namun kasus endemi penyakit tropis tetap

118
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

banyak menyerang pekerja perkebunan di Tanah Deli. Ketika itu karakter


penyakit tropis belum dipelajari di fakultas kedokteran di Eropa sehingga tidak
ada rujukan yang jelas bagaimana menangani kasus-kasus penyakit tropis.
Untuk mendukung pelayanan kesehatan sehubungan banyaknya penyakit
tropis yang belum diketahui penyembuhannya melalui ilmu kedokteran
modern, pada 1892 Senembah Maatschappij Hospitaal dan Deli Maatschappij
Hospitaal mendirikan laboratorium patologi penyakit tropis yang berada di
Tanjung Morawa.

Gambar 8.14 Rumah Sakit Tembakau Deli, (1871) (Tropen Museum)

Dengan adanya fasilitas laboratorium penelitian kesehatan tersebut, riset


penyakit tropis yang selama ini belum pernah diketahui cara pencegahan
dan pengobatannya dapat lebih fokus diteliti. Temuan laboratorium
tersebut telah banyak menjawab permasalahan penyakit tropis seperti
malaria dan disentri yang selama ini belum terpecahkan. Melalui pendekatan
yang bersifat pencegahan seperti perbaikan gaya hidup sehat, perbaikan
gizi, dan pemeliharaan lingkungan yang bersih ternyata dapat mencegah
endemi penyakit yang selama ini menjadi momok kesehatan di lingkungan
perkebunan. Gambar 8.15 menunjukkan satu sisi rumah sakit Hospitaal de
Tandjong Morawa yang didirikan oleh Naeher dan Grob.

119
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 8.15 Rumah Sakit Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa


(Tropen Museum)

Dari fakta diatas menunjukan bahwa perkebunan sejak awal telah memiliki
komitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerjanya.
Inisiatif tersebut dilaksanakan jauh sebelum pemerintah (dalam hal ini
Hindia Belanda) memberikan pelayanan serupa bagi masyarakat banyak.
Dengan demikian termentahkan pendapat yang menuduh perkebunan di
Sumatra Timur memperlakukan pekerjanya tidak manusiawi. Faktanya
justru perkebunan memiliki kepedulian tinggi untuk memastikan pekerjanya
memperoleh pelayanan kesehatan secara layak. Bagi perusahaan jika pekerja
tidak terjaga kesehatannya maka kegiatan operasional perkebunan bisa
terganggu.
Kedua rumah sakit yang didirikan Deli Maatschappij dan Senembah
Maatschappij merupakan pioner RS bukan hanya di Kota Medan namun
juga di seluruh Sumatra Timur. Rumah sakit lain yang dibangun pemerintah
didirikan belakangan yaitu pada awal abad ke-20. Rumah sakit milik
pemerintah kota Medan yang dahulu dikenal sebagai “Gemeente Hospitaal”
atau yang sekarang lebih dikenal sebagai RSUD “Pirngadi”, Medan baru
dibangun tahun 1928. Nama rumah sakit diambil dari nama Dokter Pirngadi
sebagai kepala rumah sakit pribumi pertama pada tahun 1939. Adapun

120
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

rumah sakit keempat yang dibangun di Medan yaitu RS Santa Elisabeth


yang diresmikan pada tahun 1930. Di luar kota Medan, tepatnya sekitar 100
km ke arah selatan telah berdiri rumah sakit yang dibangun oleh perusahaan
perkebunan HVA. Rumah Sakit Balimbingan (Hospitaal Balimbingan) mulai
dioperasikan pada tahun 1926.

Gambar 8.16 Rumah Sakit HVA Balimbingan Simalungun, (1926) (Tropen


Museum)

4. Sekolah
Senembah Maatschappij merupakan salah satu maskapai perkebunan yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan anak-anak pekerja. Bukti
komitmen tersebut di antaranya dengan didirikannya sekolah Ambasct
School (sekolah teknik) untuk anak karyawan perkebunan. Sekolah tersebut
menggunakan pengantar bahasa Jawa bagi anak pekerja yang umumnya
merupakan migran dari Pulau Jawa. PW Janssen, pemilik yang merangkap
komisaris perusahaan tersebut memiliki perhatian tinggi terhadap peningkatan
pendidikan anak pekerja. Dialah yang membujuk Tan Malaka, siswa dari
Pandan Gading, Sumatra Barat yang telah menyelesaikan sekolah di Europese
Kweekschool Harleem, Belanda untuk kembali ke Indonesia dan mengabdi
bagi pendidikan pribumi. Tan Malaka diangkat menjadi salah satu pengawas

121
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

sekolah dibawah pengelolaan Senembah Maatschappij. Tan Malaka juga


merupakan satu-satunya pengawas pribumi di sekolah tersebut. Pengawas lain
umumnya direkrut staf dari Bangsa Eropa.
Sayangnya Tan Malaka tidak lama mengabdi di sekolah tersebut karena pindah
ke Jawa, mengikuti kata hatinya yang lebih tertarik terlibat dalam pergerakan
perjuangan kemerdekaan nasional. Akibat pilihannya tersebut Tan Malaka
sering berurusan dengan pihak berwajib dan keluar masuk penjara. Untuk
menghargai jasa perjuangannya maka Presiden Soekarno pada tanggal 28
Maret 1963 menganugerahkannya sebagai salah satu Pahlawan Nasional.
Keputusan PW Janssen menjadikan Bahasa Jawa sebagai pengantar di sekolah
Senembah Maatschappij cukup mengagetkan kalangan pengurus sekolah yang
lain. Padahal, saat itu Bahasa pengantar sekolah di Tanah Deli umumnya
menggunakan Bahasa Melayu. Gambar 8.17 menampilkan murid sekolah pria
sedang diajarkan bercocok tanam tembakau di kebun Senembah Maatschappij
Tanjung Morawa.

Gambar 8.17 Praktik Pertanian Siswa Sekolah Senembah Maatschappij,


Tanjung Morawa (Tropen Museum)

Pembangunan sekolah rendah yang dibangun Senembah Maatschappij tidak


hanya bermanfaat untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuan bagi
anak karyawan namun juga hasil didikan sekolah tersebut bisa menjadi
sumber tenaga terampil yang kelak dapat dipekerjakan di perusahaan. Lulusan

122
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

sekolah bisa mengisi kebutuhan posisi tenaga rendah sampai menengah seperti
juru tulis (clerk, kerani) di kantor onderneming dan afdeling, operator mesin
atau sebagai mandor kebun. Untuk itu, pekerjaan praktik banyak dikaitkan
dengan aktivitas perkebunan, seperti kegiatan bercocok tanam dan praktikum
otomotive.
Kepada siswa sekolah tidak hanya diberikan pelajaran membaca, menulis dan
berhitung saja namun diberikan juga pendidikan budaya seperti kesenian.
Guru yang memahami budaya Jawa sengaja didatangkan untuk memberikan
pelajaran kesenian kepada siswa sekolah. Sebagaimana tampak pada Gambar
8.18 kepada siswa wanita juga diberikan pelajaran membatik. Padahal bagi
masyarakat di Sumatra Timur saat itu kegiatan membatik bukan merupakan
tradisi yang berasal dari kearifan lokal.

Gambar 8.18 Praktik Membatik Siswa Putri Sekolah Senembah Maatchappij,


Gunung Rinteh (Tropen Museum)

Perluasan areal perkebunan pada awal abad ke-20 sudah menjangkau daerah
Simalungun. Di Sekitar Pematang Siantar (sekarang Kabupaten Simalungun)
banyak berdiri kebun milik HVA, H & C, NHM, Sipef, Goodyear dan
beberapa perkebunan lainnya. Untuk memberikan pelayanan pendidikan
dasar bagi anak-anak staf perkebunan maka atas prakarsa pengurus perkebunan
HVA pada tahun 1925 didirikan sekolah dasar berasrama Internaat  Voor

123
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Europese Kinderen di Pematag Siantar. Guru sekolah tersebut diangkat dari


kalangan kulit putih. Gambar 8.19 menampilkan para guru dan anak didik
di depan bangunan sekolah yang masih tetap beroperasi hingga kini dengan
nama “Sekolah Taman Asuhan”, di bawah pembinaan PTP Nusantara IV
Medan.

Gambar 8.19 Siswa dan Guru Sekolah Internaat  Voor Europese  Kinderen,
Pematang Siantar (Tropen Museum)

5. Fasilitas Olah Raga dan Kesenian


Ketika usaha komoditi perkebunan telah mulai menghasilkan laba maka
hunian pekerja dalam bentuk barak sederhana secara bertahap digantikan
dengan perumahan permanen. Termasuk yang menjadi perhatian onderneming
adalah melengkapi fasilitas umum dan sosial. Lapangan olah raga yang selalu
ada di perkebunan di antaranya lapangan tenis (lawn tenis) dan sepak bola.
Olah raga tennis diperuntukkan untuk keluarga staf pimpinan, sedangkan
lapangan sepakbola untuk pekerja. Dahulu banyak pemain klub sepakbola
“PSMS” Medan yang berasal dari klub-klub yang dibina oleh perkebunan.
Gambar 8.20 adalah contoh lapangan tenis yang khusus digunakan untuk
keluarga staf pimpinan.

124
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN

Gambar 8.20 Fasilitas Lapangan Tenis di Emplasemen Kebun (Tropen


Museum)

Kegiatan kesenian dikaitkan dengan seni tradisi yang sesuai dengan budaya asal
usul pekerja. Hampir di kebanyakan perkebunan yang didominasi pekerja suku
Jawa pasti ada satu jenis perkumpulan kesenian seperti wayang kulit, ludrug,
ketoprak atau jaran kepang. Balai karyawan merupakan sarana pertunjukan
untuk kegiatan tersebut. Secara rutin perkebunan juga memberikan hiburan
sebulan sekali dan setiap hari raya lebaran. Dalam nomenklatur akuntansi
perkebunan biaya digunakan untuk menyelenggarakan acara kesenian dan
hiburan dikelompokkan sebagai biaya keramaian.
Adapun fasilitas olah raga dan kesenian yang khusus disediakan untuk
staf pimpinan yang tinggal di emplasemen perkebunan biasanya terdiri
atas lapangan tenis dan meja billiar. Di beberapa perusahaan tertentu juga
disediakan fasilitas gedung pertemuan (selain mess atau pesanggrahan) yang
sering juga disebut sebagai “Club”. Gedung pertemuan tersebut dilengkapi
dengan peralatan audio visual untuk pemutaran film secara berkala atau untuk
kegiatan arisan dan aktivitas sosialita lainnya yang khusus untuk melayani
keluarga staf perkebunan.

125
BAB IX.
KORPORASI BESAR
PERKEBUNAN
DI SUMATRA TIMUR

Letak geografis pantai timur Sumatra merupakan wilayah yang sangat cocok
untuk usaha perkebunan. Tanahnya subur, elevasinya relatif datar serta luas
terbentang ratusan kilometer dari pantai sampai pegunungan bukit barisan,
menjadi magnet bagi investor Eropa pada awal abad ke-20. Pertumbuhan
ekonomi dunia pasca Revolusi Industri, dan ramainya Selat Malaka menjadi
unsur pendorong laju investasi di Sumatra Timur. Dalam kurun waktu15
tahun (1913–1929), total investasi meningkat lebih tiga kali lipat seperti
tampak pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1 Arus Investasi di Sumatra Timur 1913–1929 (dalam Juta Gulden)
Tahun Belanda Inggris Amerika Lainnya Jumlah
1913 110 57 17 23 207
1924 242 80 75 74 471
1929 361 125 53 104 643
Sumber: Suwirta (2002)

Dari data yang disajikan pada tabel diatas menunjukkan bahwa pengusaha
dari negeri Belanda sangat mendominasi besaran total investasi. Hal itu
bisa dimaklumi bahwa sebagai pemilik otoritas negara maka Pemerintah
Hindia Belanda memberikan dukungan penuh terhadap pengusaha warga
Belanda dibandingkan dengan negara lain. Bidang usaha yang mereka masuki
umumnya terkonsentrasi pada bisnis komoditi tembakau, karet, kelapa sawit,
dan teh sebagaimana data pada tabel di bawah ini.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Tabel 9.2 Investasi Asing di Sumatra Timur 1913–1932 (Persen)


Tembakau Karet Teh Kelapa Sawit
Nagara
1913 1932 1913 1932 1913 1932 1913 1932
Belanda 79,5 96,0 33,0 36,2 93,0 63,3 - 56,0
Inggris - - 16,1 26,6 - 31,5 - 4,0
Amerika - - 15,0 18,0 - - 97,0 -
Perancis/Belgia 2,1 3,0 1,0 12,1 - - - 33,8
Swis - 1,0 - 1,0 - - - -
Jepang - - - 2,4 - - - 2,6
Jerman 1,6 - 1,0 1,0 - 1,0 - 3,6
Lainnya 16,8 - 33,9 2,7 7 4,2 3 -
Total (%) 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: J De.Waard, “de Oostkust van Sumatra”, Tijdscrift voor Economische Geographie,
No 7, Juli 1934, hlm. 257.

Beberapa perusahaan besar yang mengelola komoditi perkebunan atau usaha


terkait di Sumatra Timur yaitu: Deli Maatschappij, Senembah Maatschappij,
Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam (RCMA), London Sumatra Plantation
(Lonsum), Nederland Handels Maatschappij (NHM), Handels Vereeniging
Amsterdam (HVA), Harrisons & Crosfield (H&C), Société Financière des
Caoutchoucs (Socfin), Societe Internationale de Plantation et de Finance (Sipef),
United States Rubber Company (Uniroyal), Goodyear Rubber Company dan
Deli Spoor Maatschappij (DSM) yang mengelola angkutan kereta api.
Perusahaan besar di Sumatra Timur pada 23 April 1879 membentuk Persatuan
Pengusaha Perkebunan Tanah Deli (Deli Planters Vereeniging, DPV). Kaukus
ini menjalankan peran lobby dan membangun jaringan dengan birokrat dan
kalangan ningrat lokal. Untuk memperlancar recruitment pekerja kasar dari
Semenanjung, Cina Daratan dan Jawa maka pada tahun 1910 dibentuk
Algemene Vereeniging van Rubberplanters Oostkust van Sumatra (AVROS)
yang anggotanya terdiri atas pekebun tembakau dan karet.
Organisasi ini memiliki cabang atau kantor perwakilan di Jawa yaitu terutama
di daerah-daerah sumber pemasok tenaga kerja migran. Setelah nasionalisasi
maka mulai tahun 1958 peran AVROS digantikan oleh Gabungan Pengusaha
Perkebunan Sumatra/GPPS (Sumatera Planters Association, SPA). AVROS
merupakan pendiri Deli Proef Station (DPS) untuk menunjang penelitian dan
pengembangan teknologi budi daya perkebunan di Sumatra Timur.

128
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Gambar 9.1 Kantor AVROS (Sekarang PPKS) Medan (Tropen Museum)

Adapun sejarah singkat masing-masing perusahaan besar perkebunan yang


beroperasi di wilayah Sumatra Timur secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut.

1. Deli Maatschappij
Pada tanggal 28 Oktober 1869, Jacobus Nienhuys, Peter Wilhelm Janssen,
A Clemen dan Jacob Theodor Cremer, membentuk perseroan terbatas yang
kelak dikenal dengan nama NV Verenigde Deli Maatschappij dengan PW
Janssen sebagai direkturnya. Deli Maatschappij adalah perusahaan pertama
di Tanah Deli atau di Hindia Belanda yang didirikan oleh para pedagang
dan pemilik perkebunan. Perusahaan tersebut resmi berdiri pada tanggal 1
November 1869 dengan akta tanggal 12 Januari 1870, bergerak dalam bidang
usaha perkebunan tembakau. Karena wilayah usahanya semakin meluas ke
arah daratan Deli maka pada tahun 1870 kantor perusahaan dipindahkan
dari Labuan ke Putri Hijau Medan. Modal awal maskapai sebesar 300 ribu
gulden dengan sebagian saham merupakan milik NHM. Tahun 1875 modal
dinaikkan lagi menjadi 500 ribu gulden dan tahun 1876 menjadi 800 ribu
gulden. Kepemilikan saham 50% dipegang oleh NHM.

129
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Investor perkebunan di Sumatra Timur berasal dari beragam negara. Ada


yang berasal dari negara di luar Belanda yaitu seperti Amerika, Inggris, Swiss,
Belgia, Jerman, dan Jepang. Adapun Deli Maatschappij pada mulanya hanya
berkonsentrasi pada komoditi tembakau. Namanya dikenal di Eropa sebagai
penghasil tembakau gulung pembungkus cerutu (binder dan wrapper) dari
Sumatra Timur.
Pada masa jayanya awal abad ke-20, Deli Maatschappij mengelola lahan lebih
200 ribu hektare. Hal itu menjadikannya sebagai perkebunan tembakau
terbesar di dunia. Kisah kesuksesan perusahaan tersebut diantaranya adalah
dengan mengakuisisi perusahan lain, diantaranya Senembah Maatschappij.
Deli Maatschappij juga mendirikan perusahaan kereta api swasta pertama di
Indonesia yaitu DSM. Bukti lain kebesarannya bisa dilihat dari bekas kantor
pusat perusahaan yang sekarang menjadi kantor gubernur Sumatera Utara di
Jalan Diponegoro Medan. Selain tembakau, pengembangan tanaman tropik
lainnya tetap dilakukan, seperti kopi pada tahun 1880–1891, serta cokelat
dan rami/serat tahun 1879–1884. Setelah pertumbuhan laba dari budi daya
tembakau mulai melambat maka mulai tahun 1901, Deli Maatschappij
mengalihkan perhatiannya pada pengembangan tanaman karet dengan luasan
tanam sekitar 20 ribu hektare.

Gambar 9.2 Kantor Deli Maatschappij Medan, (1910) Sekarang Kantor


Gubernur Sumatera Utara (Tropen Museum)

130
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Bagi para pecinta cerutu, tembakau Deli di Sumatra Timur dikenal sebagai
pembungkus cerutu (wraffer) terbaik sedunia. Pada awal abad ke-20,
perusahaan tersebut merajai pasar tembakau pembungkus cerutu dunia.
Kekayaan yang melimpah dari ekspor tembakau telah mendorong perusahaan
untuk melakukan diversifikasi usaha memperkuat rantai bisnis (supply chains),
misalnya dengan membentuk perusahaan jasa kereta api DSM.
Pemegang saham DSM yaitu JT Cremer dan PW Janssen, dikenal sebagai
pribadi yang memiliki komitmen tinggi terhadap nasib pekerjanya. Untuk
melayani kesehatan pekerja, didirikan rumah sakit pada 1872, yakni Deli
Maatschappij Hospitaal atau kini dikenal dengan nama Rumah Sakit
Tembakau Deli, di Jalan Putri Hijau, Medan. Komitmen sosial P.W. Janssen
juga diwujudkan dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak pekerja pribumi.
Hal itu diwujudkan melalui perusahaan miliknya yang lain yaitu Senembah
Maatschappij di Tanjung Morawa.
Menurut Breman (1997), pertumbuhan kekayaan Deli Maatschappij selaras
dengan masa keemasan tembakau Deli yang berlangsung sangat cepat.
Padahal, sampai tahun 1873 jumlah perkebunan tembakau di Sumatra Timur
baru mencapai 13 perusahaan. Pada tiga tahun berikutnya perusahaan yang
terlibat meningkat menjadi 40 perkebunan. Hanya kurang lebih 15 tahun
berikutnya jumlahnya meningkat menjadi 179 perkebunan di Sumatera
Timur pada tahun 1889.
Memasuki abad ke-20, perkembangan industri tembakau di Tanah Deli mulai
menunjukkan gejala penurunan. Bahkan, pasca krisis ekonomi tahun 1929 dan
memasuki tahun 1930-an, maskapai tembakau semakin sulit meningkatkan
pangsa pasarnya karena terjadi resesi ekonomi dunia. Diberlakukannya
kebijakan penerapan tarif bea masuk tambahan terhadap tembakau yang
diekspor ke Amerika Serikat semakin mengurangi daya saing tembakau Deli.
Pemerintah Amerika menerapkan cukai tinggi untuk melindungi produksi
tembakau dalam negerinya.
Luas wilayah usaha perkebunan tembakau yang menjadi konsesi Deli
Maatschappij di Sumatra Timur pada masa keemasannya mencapai 258 ribu
hektare. Sebaran luas areal usaha dapat dilihat pada peta di bawah ini.

131
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 9.3 Peta Wilayah Perkebunan Deli Maatschappij (Tropen Museum)

Mengantisipasi perubahan lingkungan industri dan pasar maka Deli


Maatschappij mulai melakukan diversifikasi usaha. Sebagian areal tembakau
dikonversi ke tanaman karet. Dengan semakin banyak perusahaan yang beralih
ke tanaman lain maka secara berangsur luas areal dan produksi tembakau
Deli semakin berkurang. 
Dari aspek ekonomi, sesungguhnya prospek tembakau pembungkus cerutu
masih terbuka. Sampai saat ini permintaan pasar dunia terhadap tembakau Deli
masih tinggi, namun belum bisa memenuhi permintaan pasar tersebut. Kini
peran Sumatera Utara sebagian diambil alih kebun tembakau pembungkus
cerutu (deklabad) yang dibudidayakan di Jawa oleh PTPN X di Jawa Tengah

132
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

dan Jawa Timur serta dari Ekuador. Luas areal tembakau Deli Maatschappij
tahun 1900-an dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 9.3 Areal Konsesi Perkebunan Deli Maatschappij


Akhir Luas
No Konsesi Kebun Komoditi
Konsesi (Ha)
Wilayah Deli
1 Gamborg Sempali 1956 Tembakau 930
2 Helvetia Helvetia 1957 Tembakau 3.617
3 Sungain Agul Helvetia 1942 Tembakau 288
4 Percut Bandar Klippa 1950 Tembakau 6.995
5 Sungai Putih Rotterdam A 1952 Tembakau 870
6 S Sikambing Rotterdam B 1950 Tembakau 1.308
7 Polonia Mariendal 1944 Tembakau 1.100
8 Mabar-Deli Tua Sempali 1965 Tembakau 12.102
9 Suka Piring Deli Tuwa 1956 Tembakau 10.180
10 Boven Km Deli Tua 1960 Tembakau 5.066
11 Charlotternburg Belawan 1960 Tembakau 1.977
12 Belawan Belawan 1955 Tembakau 1.600
13 Tuntungan Tuntungan 1954 Tembakau 2.210
14 Kuta Lambaru Tuntungan 1956 Tembakau 1.500
15 Beneden Bekalla Bekalla 1955 Tembakau 4.240
16 Saint Cry Bekalla 1949 Tembakau 2.400
17 Boven Bekalla Arnhemia 1956 Tembakau 2.864
18 Arnhemia Arnhemia 1955 Tembakau 3.837
19 Gambir Arnhemia 1956 Tembakau 1.618
20 Luning Arnhemia 1956 Tembakau 2.387
21 Ujung Deleng Arnhemia 1961 Tembakau 1.957
22 Rimbun Rimbun 1955 Tembakau 3.665
23 Rumah Kinang-kung/ Rumah Kinang- 1960 Tembakau 4.353
Taburan kong/Taburan
24 Bulu Cina Bulu Cina 1957 Tembakau 12.154
25 Paya Bakong Paya Bakong 1948 Tembakau 3.720
26 Rotterdam Rotterdam 1949 Tembakau 5.182
Total Luas di Tanah Deli 97.190
Wilayah Langkat

133
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Tabel 9.3 Areal Konsesi Perkebunan Deli Maatschappij (lanjutan)


Akhir Luas
No Konsesi Kebun Komoditi
Konsesi (Ha)
27 Kuta Lama Lubu Dalam 1961 Tembakau 7.751
28 Lubu Dalam Lubu Dalam 1957 Tembakau 6.963
29 Kawala Bingei Kwala Binge 1951 Tembakau 5.425
30 Kwala Begumit Kwala Begumit 1947 Tembakau 6.310
31 Pungei Pungei 1953 Tembakau 2.735
32 Tanjung Jatti Tanjung Jatti 1961 Tembakau 4.626
33 Kw. Mencirim Kwala Mencirim 1957 Tembakau 2.757
34 Namu Trassi Namu Trassi 1954 Tembakau 2.010
35 Wiget/Lambiki K. Mencirim/ 1955 Tembakau 3.495
N. Trassi
36 Namu Tumbis Namu Ukur 1960 Tembakau 18.310
37 Lingga Rimbun 1956 Tembakau 5.767
38 Sakuda Sukaranda 1960 Tembakau 5.356
39 Serapit Sukaranda/Tj 1961 Karet 8.508
Keliling
40 Sukaranda Sukaranda 1962 Tembakau 2.280
41 Bekiun Tanjung keliling 1956 Karet 3.000
42 Sei Bakulap I Bekiun 1960 Tembakau 260
44 Namu Jawi Tanjung Keliling 1946 Karet 490
45 Tanjung Bringin Tanjung Bringin 1961 8.790
46 Tanjung Slamat Tanjung Slamat 1959 3.262
47 Tanjung Putus Tanjung Slamet 1936 3.337
48 Batang Serangan Tanjung Slamet 1961 Karet 59.330
Batang Segangan Karet
Sungai Litur Karet
Sawit Sebrang K. Sawit
Total Luas di Langkat 160.762
Total Luas Areal Konsesi Deli Maatchappij di Sumatra Timur 257.952
Sumber: KITLV

134
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Pada akhir tahun 1950-an, Deli Maatschappij menjadi salah satu perusahaan
yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Pada saat itu, perkebunan
tersebut masih membudidayakan tembakau yang dipasarkan secara reguler di
pelelangan Rotterdam. Namun, total volumenya lebih rendah dibandingkan
dengan sebelum Perang Dunia II. Sejalan dengan besarnya permasalahan
okupasi lahan secara liar maka PTP Nusantara II, perusahaan yang
melanjutkan (warisan) Deli Maatschappij sudah semakin menurun kiprahnya
sebagai penghasil tembakau pembungkus cerutu dunia.
Pada masa jayanya, Deli Maatschappij memiliki 75 perkebunan di Sumatra
Timur, sebagian merupakan take over dari perusahaan Jerman, Inggris, Swiss,
Belgia dan Amerika. Saat ini areal konsesi Deli Maatschappij dikelola oleh
BUMN yang berkantor pusat di Tanjung Morawa, Sumut.

2. Senembah Maatschappij
Perkebunan Senembah Maatschappij didirikan oleh Hermann Naeher yang
berkebangsaan Jerman dan Karl Furchtegott Grob, yang merupakan pemilik
Kebun Helvetia yang berkebangsaan Swiss. Mereka pertama kali memperoleh
konsesi lahan pada tahun 1871 seluas sekitar 5.500 hektare dan terus
bertambah menjadi sekitar 23 ribu hektare pada tahun 1889. Seluruh areal
diperuntukkan untuk budi daya tembakau.
Pada awal pendirian perusahaan Senembah Maatschappij, aspek pendanaan
investasi, teknis operasional budi daya dan pemasaran tembakau banyak
dibantu oleh Deli Maatschappij. Pertumbuhan perusahaan tersebut maju
pesat sehingga pada tahun 1939, Senembah Maatschappij telah memiliki 11
kebun tembakau, 3 kebun karet dan 1 kebun kelapa nyiur. Kebun-kebun
tembakau yang dimiliki meliputi Kebun Tanjung Morawa, Kebun Sei Bahasa,
Kebun Batang Kuis, Kebun Petumbak, Kebun Gunung Rintih, Kebun
Pagar Merbau, Kebun Two Rivers, Kebun Selayang, Kebun Kuala Namu,
dan Kebun Simpang Empat. Adapun kebun karet meliputi Kebun Tanjung
Garbus, Kebun Melati dan Kebun Limau Mungkur serta satu kebun kelapa
di Sei Tuan (Affandi 1915). Gambar 9.4 menampilkan konsesi Senembah
Maatschappij di Sumatra Timur.

135
136
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 9.4 Peta Areal Konsesi Senembah Maatschappij di Sumatra Timur (Tropen Museum)
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Perkebunan Senembah Maatschappij merupakan contoh korporasi yang


memperhatikan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan sosial pekerjanya
dibandingkan dengan perkebunan lain. PW Janssen sebagai pemilik yang
memimpin perkebunan antara 1889 sampai 1927 mempekerjakan guru untuk
mendidik anak-anak pekerja dengan pengantar bahasa ibu (bahasa Jawa) serta
memberikan sarapan pagi bagi anak-anak sekolah. Ia salah satu praktisi yang
menerapkan gagasan politik etis (Ethische Politiek) yang lebih humanis dalam
mengelola perusahaan. Pendidikan praktek bidang keteknikan dan pertanian
juga diajarkan pada Ambacht School (sekolah tukang) yang didirikannya
sehingga para lulusan langsung bisa bekerja di perusahaan tersebut. Tan
Malaka yang merupakan guru lulusan Negeri Belanda, salah satu pengawas
sekolah yang sengaja diangkat oleh Janssen untuk mengawasi pendidikan di
lingkungan Sanembah Maatschappij.

Gambar 9.5 Suasana di Sekolah Anak Pekerja Senembah Maatschappij (Tropen


Museum)

Selain memberikan pendidikan dan sarana pemukiman kepada pekerja secara


layak, perusahaan juga menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan kepada
seluruh pekerja dan keluarganya dengan didirikannya Hospitaal de Tandjong
Morawa  pada tahun 1882. Rumah sakit tersebut melayani kesehatan para
pimpinan (staf) dan pekerja. Tenaga dokter diangkat dari kalangan kulit

137
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

putih didikan fakultas kedokteran Eropa. Sampai saat ini rumah sakit tersebut
masih berfungsi dengan nama RSU Dr GL Tobing.
Komitmen Janssen lainnya yang patut diapresiasi adalah kebijakan perusahaan
memberikan hak pensiun. Pertama kali hak tersebut diberikan kepada karyawan
staf pada tahun 1896. Pada tahun 1914 hak yang sama juga diberikan kepada
pekerja kontrak yang ada di perusahaan tersebut. Masa kebesaran Senembah
Maatschappij sangat melekat dengan figur Janssen yang memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan pekerja. Hal itu terasa setelah Janssen kembali ke negeri
Belanda pada akhir tahun 1939 dan secara berangsur tata kelola perkebunan
yang humanis semakin memudar.
Setelah diterapkan kebijakan nasionalisasi Senembah Maatschapij dikelola oleh
perusahaan yang diberi nama PPN Baru Tanjung Morawa. Perusahaan tersebut
memiliki 13 kebun, yaitu Bekalla, Batang Serangan, Tandjong Keliling, Sawit
Seberang, Bukit Melintang, Basilam, Bukit Lambasa, Bukit Lawang, Gohor
Lama, Glugur Langkat, Marijke, dan Pabrik Peti Teh “Langkat”. Selanjutnya,
pada tahun 1968 PPN Baru menjadi PNP II yang berkantor pusat di Tanjung
Morawa dan sejak tahun 1974 berubah nama menjadi PT Perkebunan II.
Pada 11 Maret tahun 1996 PT Perkebunan II yang merupakan bekas
konsesi Senembah Maatschappij digabung dengan PTP IX yang mengelola
perkebunan bekas Deli Maatschappij menjadi PTP Nusantara II. Sekarang
Kantor Pusat perkebunan Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa, Deli
Serdang menjadi Kantor Pusat dari PTP Nusantara II.

3. Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam


(RCMA)
RCMA didirikan pada 26 November tahun 1908. Maksud dan tujuan
perusahaan pada saat dibentuk adalah mengembangkan perkebunan dan
perdagangan karet di Hindia Belanda. Didirikan pertama kali oleh dua
bersaudara Catz ketika mereka membuka toko pertama di Groningen, wilayah
utara Belanda pada tahun 1856. Bisnis pertama di Hindia Belanda adalah
mengusahakan perkebunan karet, kopi, dan teh di Jawa Timur (Kebun
Zeelandia). Pada tahun 1918 mengembangkan perkebunan teh di Sumatera.
Mulai tahun 1920, RCMA mengusahakan perkebunan karet dan kelapa
sawit sebagai tanaman utama di Sumatra Timur. Lahan perkebunan RCMA

138
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

diperoleh dengan hak konsesi sendiri atau akuisisi terhadap perkebunan yang
sudah ada.
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perkebunan RCMA di Gunung Bayu
diresmikan Pada 24 Februari 1924. Sementara Pabrik Kelapa Sawit di Pulu
Raja mulai dioperasikan pada tahun 1927. Pabrik tersebut dibangun untuk
mengolah buah kelapa sawit yang telah ditanam oleh Van Leuwen Boomkamp
pada tahun 1917. Adapun tanaman kelapa sawit dalam sekala perintisan
sudah ditanam duluan pada tahun 1911 di Pulu Raja.

Gambar 9.6 Pengangkutan Lateks dari kebun RCMA, (1920) (Tropen


Museum)

Pada tahun 1949, RCMA merintis ekspor karet dalam bentuk lateks pekat ke
Eropa dan bekerja sama dengan perusahaan kapal uap Belanda membangun
tangki lateks di Amsterdam. Pengapalan pertama lateks sebanyak 290 ton
dari Belawan dilakukan pada bulan November 1949. Lima tahun pertama
berkiprah di Hindia Belanda, RCMA mengelola 37.000 hektare tanaman
karet dan menjadi perusahaan perkebunan karet terbesar di Hindia Belanda.
Pada tahun 1954, RCMA bahkan mulai mengembangkan usahanya ke
Tanzania dan Amerika Selatan.

139
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 9.7 Pengolahan Lateks di Pabrik RCMA Tanah Radja, (1921)


(Tropen Museum)

Pada Tahun 1953, RCMA memiliki 3 kebun sawit (Gunung Bayu, Hengelo/
Air Batu, dan Pulu Raja), 7 kebun karet (Membang Muda, Bandar Slamat,
Sungai Dadap, Sungai Silau, Sungai Mangkei, Rambutan dan Sungai Putih).
Semua perkebunan tersebut berada di wilayah Sumatra Timur.
Pada masa jayanya kebun yang dikelola RCMA di Sumatra Timur cukup
luas, di antaranya adalah: Sungai Kukus, Galang Barat, Pulu Raja, Gunung
Bayu, Hessa Barat, Paya Nibung dan Liberia, Bandar Slamat/Bandar Pulau,
Rambutan, Sibarau, Sungei Karang, Sei Mangke, Sungai Putih, Tanjong
Purba, Pandai Raja, Pulau Bandar, Batu Nanggar, Hengelo, Hillegersberg,
Limau Manis, Suka Mulia, Sungai Dadap, Sungei Silau, Labuan Hadji,
Membang Muda, Rantau Prapat, Marijke, Pematang Tengah, Serangdjaja,
Sibarau, Batu Nanggar, Hapasong, dan Labuan Haji.
Di Pulau Jawa, RCMA memiliki kebun karet Zeelandia dan Kali Suko, serta
kebun kopi Tanah Merah/Karang Anom, Gunung Gambir/Lawang Kedaton
Jawa Timur. RCMA berkantor pusat di Amsterdam. Kantor operasional
Indonesia antara lain berada di Sungai Karang Galang (Sumatra Utara).

140
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Gambar 9.8 Pabrik Kelapa Sawit RCMA Kebun Pulo Raja, Dibuka Tahun
(1927) (Tropen Museum)

Setelah dilakukannya nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun


1957/1958 maka kantor pusat RCMA di Eropa mengambil kebijakan
memindahkan usaha perkebunannya ke Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika
Selatan. RCMA juga melakukan diversifikasi dengan mengembangkan usaha
baru ke sektor perdagangan komoditi. Saat ini, perkebunan bekas RCMA
sebagian besar dikelola PTPN III dan sebagian kecil oleh PTPN IV (Gunung
Bayu, Air Batu, dan Pulu Raja).

4. Harrisons & Crosfield Plc dan London


Sumatra Plantation
Harrisons & Crosfield (H & C) didirikan oleh Trio Daniel Harrison, Smith
Harrison dan Joseph Crosfield pada tahun 1844 di Liverpool, Inggris.
Bergerak di bidang importir teh dan kopi. Usaha perkebunan pada mulanya
dikonsentrasikan pada komoditi kopi serta teh di Srilangka dan Malaysia.
Pada tahun 1907, perusahaan melakukan ekspansi dengan membuka
perkebunan karet ke Pantai Timur Sumatera. Pada masa jayanya perusahaan
mengelola lebih dari 90 ribu hektare karet di Malaysia dan 55 ribu hektare di
Indonesia.

141
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Di Sumatra Timur perusahaan H & C mendapatkan konsesi areal perkebunan


berdasarkan perjanjian antara Zelbestuur Deli dengan beberapa perusahaan
Rubber Company Ltd. yang selanjutnya disahkan oleh Pejabat Resident
Sumatera Timur. Gambar 9.9 menampilkan kantor H & C (sekarang menjadi
kantor PP Lonsum) di Jalan Ahmad Yani di kawasan Kesawan, Medan.

Gambar 9.9 Kantor Harrisons & Crosfield di Medan, (1909) Sekarang Kantor
Lonsum (Tropen Museum)

H & C merupakan perusahaan perkebunan dan perdagangan yang berbasis


di London. Pada akhir abad ke-19, sebelum melonjaknya harga karet H &
C mulai tertarik untuk melakukan investasi usaha perkebunan karet dan
mengoperasikan beberapa perkebunan di Malaysia, Srilangka, Sumatra, Papua
dan India Selatan. Pada tahun 1982, H & C menjual saham perkebunannya
di Malaysia kepada kelompok usaha Sime Darby dan tahun 1994 menjual
semua aset perkebunan di Sumatra Timur kepada PT. PP London Sumatera
Plantation.
PP London Sumatra Plantation (Lonsum) berdiri tahun 1906, bergerak
mengusahakan tanaman karet. Tidak lama kemudian memperluas dan
mendiversifikasi usahanya menjadi tanaman karet, teh dan kakao. Pada
tahun 1962, Lonsum memperluas bidang usahanya dengan mengadakan
penggabungan diantara perusahaan perkebunan Inggris yang memiliki

142
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

beberapa kebun di Sumatera Utara. Dengan adanya penggabungan ini maka


di bentuklah PT. PP London Sumatra Indonesia (Lonsum) dengan kantor
pusat di Medan.
Ruang lingkup bidang usaha meliputi budi daya dan penjualan produk-produk
kelapa sawit, karet, kakao dan teh. Kebun-kebun yang dikelola Lonsum di
Sumatra Timur adalah: Dolok, Batubara (Kebun Sawit); Gunung Malayu
Asahan (Kebun Sawit); Rambong Sialang Serdang Bedagai (Kebun Sawit);
Sibulan Serdang Bedagai (Kebun Sawit dan Karet); Bah Bulian Simalungun
(Kebun Sawit); Bah Lias Simalungun (Kebun Sawit, Kakao dan Kelapa); Sei
Rumbiya Labuhan Batu (Kebun Sawit & Karet); Begerpang Deli Serdang
(Kebun Sawit); Sei Merah Deli Serdang (Kebun Sawit); Bungara Langkat
(Kebun Sawit); Turangie Langkat (Kebun Sawit); dan Pulo Rambong Langkat
(Kebun Sawit).
Kepemilikan saham Lonsum setelah go public tahun 1996 adalah Pan London
Sumatra Plantation dengan komposisi saham sebesar 47,23% Commerzbank
(SEA) Ltd. Singapura sebesar 5,83% dan sisanya sebesar 46,94% dimiliki
oleh masyarakat. Pada 28 Mei tahun 2007, kepemilikan saham PP Lonsum
diambil alih oleh kelompok usaha PT Indofood Sukses Makmur (ISM) Tbk.
ISM merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan makanan
yang hampir seluruh produknya menguasai pasar di Indonesia. Akuisisi
tersebut merupakan bagian dari strategi Indofood untuk memperkuat supply
chain industri pangan yang dimilikinya.

5. Nederland Handels Maatschappij (NHM)


NHM adalah sebuah perusahaan perseroan terbatas yang didirikan dan
dimiliki Kerajaan Belanda. Maksud dan tujuan NHM menurut anggaran
dasarnya untuk memajukan sektor perdagangan nasional Belanda, pelayaran,
pertanian, perkapalan, perikanan, dan industri. Didirikan berdasarkan Besluit
No. 163 pada tanggal 29 Maret 1824 oleh Raja Willem I. Salah satu tujuan lain
dari pendirian NHM adalah untuk menggantikan peran VOC yang bangkrut
akibat perilaku korup pejabat pengelolanya. NHM juga memiliki misi untuk
menggerakkan kembali perekonomian Belanda yang hancur akibat perang
dengan Belgia. NHM segera berkiprah melakukan perdagangan ke seluruh
dunia, meliputi Amerika, Asia Kecil, Cina, India, Persia, dan Jazirah Arab.
Dalam perjalanannya, NHM lebih berkembang justru di Hindia Belanda.

143
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Tidak lama setelah NHM didirikan, perusahaan membuka kantor perwakilan


di Batavia.
Ketika program Tanam Paksa (Cultuurstelsel) diberlakukan mulai tahun
1830 oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch, maka NHM juga mempunyai
fungsi ganda. NHM melakukan pengiriman barang produksi dari Eropa dan
pembelian rempah-rempah dari pemerintah Hindia Belanda untuk dijual
ke pasar Eropa. Dalam menjalankan aktivitas dagangnya di Jawa, NHM
mengusahakan perdagangan kopi dan nila (Indigovera) serta menjual tekstil
dan garam.
Keuntungan ganda NHM selama era Tanam Paksa dinikmati selama 40 tahun
yaitu sampai tahun 1870 ketika sistem tanam paksa dicabut karena tuntutan
kaum liberal di Negeri Belanda. Pengembangan usaha NHM juga dilakukan
di luar Jawa seperti di Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Ketika itu, NHM
juga melakukan kegiatan perdagangan kapas dari Palembang dan kain woll
dari Leiden ke Cina. Selain usaha perdagangan, NHM juga mengembangkan
sayapnya ke sektor pembiayaan usaha baru (perusahaan pendanaan). Investasi
perkebunan di Sumatra Timur merupakan salah satu sektor yang dibiayai
oleh NHM.

Gambar 9.10 Kantor NHM di Lapangan Merdeka Medan, (1929) Sekarang


Kantor Bank Mandiri (Tropen Museum)

144
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1840 menjadi turning point masuknya
NHM ke sektor riil yaitu usaha perkebunan. Perusahaan perkebunan tebu
(gula) merupakan debitur utama NHM selain kopi, nila, lada, dan karet.
Kebangkrutan debitur perusahaan perkebunan menyebabkan kepemilikan
saham maskapai beralih ke NHM (Wijaya 2001). Adapun keterlibatan
langsung ke sektor perkebunan di Sumatra Timur pertama kali dilakukan
ketika NHM menjadi pemegang saham perusahaan Deli Maatchappij bersama
P.W. Janssen pada 1 November 1869 di Tanah Deli. Selanjutnya pada tahun
1872 NHM juga ikut mendirikan perkebunan tembakau di Langkat dan
tahun 1877 di Kwala Mancirim.
Menurut Wijaya (2001), diversifikasi total ke sektor perbankan sesungguhnya
dimulai tahun 1860, ketika NHM mulai melayani pembayaran diskonto,
hutang piutang, pembiayaan ekspor impor, dan melaksanakan pembayaran
saham. Mulai 1 September 1883,  NHM melakukan diversifikasi menjadi
bank modern dengan menerima dana pihak ketiga dalam bentuk deposito,
rekening koran dan produk jasa perbankan lainnya.
Kebun Bah Butong dan Bah Birong Ulu merupakan bidang usaha perkebunan
teh yang dimiliki NHM. Perkebunan Bah Butong dibuka pada tahun 1917.
Sementara pabrik pertama didirikan tahun 1927 dan mulai beroperasi sejak
tahun 1931.
NHM merupakan perusahaan yang ikut dinasionalisasi pada akhir tahun
1950-an. Setelah nasionalisasi sektor perkebunan dikelola oleh PPN-Baru
sedangkan sektor perbankan menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI)
yang kelak dimerger dengan Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara
menjadi Bank Mandiri.
NHM banyak memiliki kebun di Pulau Jawa yang diperoleh melalui
pengambilalihan saham dari pemiliknya (debt to swap) yang disebabkan adanya
kredit macet, diantaranya pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk
perkebunan di Sumatra Timur tercatat hanya Kebun Bah Butong dan Bah
Birong Ulu yang langsung dikelola NHM. Setelah nasionalisasi kebun-kebun
di Sumatra Timur kini pengelolaannya bergabung menjadi wilayah kerja PT
Perkebunan Nusantara IV yang berkantor pusat di Medan.

145
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 9.11 Pabrik Teh NHM Kebun Bah Butong, (1930) (Tropen
Museum)

6. Handels Vereeniging ‘Amsterdam’ (HVA)


HVA adalah perusahaan yang didirikan oleh beberapa investor pada 23
Desember tahun 1878 di Amsterdam. Cikal bakal perusahaan ini bergerak di
bidang pembiayaan dan penyaluran kredit bagi kegiatan komersial di Hindia
Belanda. Kegiatannya dikendalikan oleh kantor cabang di Semarang, Batavia,
Surabaya, dan Medan. Dalam perkembangannya, perusahaan tersebut juga
mengelola langsung perkebunan tebu, kopi, singkong, sisal (serat, Agave),
teh dan kelapa sawit. Keterlibatan langsung ke sektor perkebunan adalah
untuk mengambil alih kredit macet maupun investasi langsung dalam usaha
perkebunan. Pada masa jayanya (1928) HVA membawahi 36 perusahaan di
Hindia Belanda dengan jumlah pekerja mencapai 170.000 orang.
Di Sumatra Timur, HVA mengusahakan aneka tanaman, diantaranya adalah
5 kebun teh (Balimbingan, Bah Tongguran, Sidamanik, Negeri Bandar dan
Pagar Jawa), 4 kebun serat (Dolok Ilir, Laras, Bandar Betsy dan Bah Jambi), 4
kebun karet (Pabatu, Tinjowan, Bangun, dan Dolok Sinumbah), dan 2 kebun
sawit (Bah Jambi dan Marihat) serta beberapa kebun lainnya. Pembangunan
kebun teh pertama kali dilakukan pada tahun 1919 di Kebun Negeri Bandar

146
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

dan 1921 di Kebun Sidamanik dengan luas konsesi 2.322 hektare. Kebun
Balimbingan, Bah Tongguran dan Pagar Jawa diperoleh pada tahun 1924,
dengan total luas konsesi mencapai 14 ribu hektare. Pada tahun 1926 HVA
mulai merintis perluasan pembangunan Kebun Teh Kayu Aro di Kerinci,
Jambi (termasuk Sungai Batu dan Sungai Tanduk). Lokasinya berada di kaki
Gunung Kerinci dengan luas konsesi 10 ribu hektare. HVA juga membuka
kebun teh di dataran tinggi Dairi pada tahun 1927.

Gambar 9.12 Kantor HVA Medan (1927), Sekarang Kantor PTP Nusantara
IV (Tropen Museum)

HVA memperluas kebun serat di Dolok Ilir, Laras, Parnabolon dan Bah Jambi.
Pembukaan kebun serat Bandar Betsy dilakukan pada tahun 1928. Pabrik
serat di Bah Jambi dioperasikan pada Januari 1930 dan Dolok Sinumbah Juli
1930. Selain budi daya serat, di Kebun Bah Jambi juga mulai ditanam kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit HVA pertama kali ditanam di Tinjowan dan
Dolok Sinumbah. Adapun pabrik Dolok Sinumbah merupakan PKS pertama
yang dioperasikan pada tahun 1930. Sementara pengusahaan tanaman karet
dilakukan di Kebun Bangun dan Gohor Lama pada tahun 1927–1928. HVA
juga mengusahakan penanaman tembakau di Langkat pada kurun waktu
tahun 1920–1925.
Kebun-kebun HVA di Sumatera Utara kini dikelola PTP Nusantara IV.
Sementara kebun-kebun PTPN IV diluar eks HVA, RCMA dan NHM yaitu
diantaranya SCM (Serdang Cultuur Maathappij) di Kebun Adolina yang

147
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

pertama kali dibuka oleh bangsa Belanda pada tahun 1926, serta perusahaan
Jepang di Berangir dan Ajamu. Perusahaan Sumatra Tea Estate di Kebun
Marjandi, yang merupakan salah satu dari kelompok usaha Harrison and
Crosfield .

Gambar 9.13 Pembukaan Lahan Perkebunan Cinta Radja, (1875) (Tropen


Museum)

7. Uni Royal Sumatra Plantation (Uni Royal)


Uni Royal berdiri pada tanggal 17 Mei tahun 1911 yaitu ketika perusahaan
karet asal Amerika mengakuisisi perusahaan Belanda yang pailit di Kisaran.
Nama perusahaan diganti menjadi NV Hollandsch Amerikansche Plantage
Maatschappij (NV HAPM), sebagai perusahaan perkebunan karet kerjasama
antara perusahaan Amerika dan Belanda. Dalam pembagian tugas operasional
korporasi, perusahaan Belanda mengelola perkebunan, sedangkan perusahaan
Amerika mengelola pabrik.
Adanya permintaan karet yang kuat dari Amerika Serikat, yang didorong
tumbuhnya industri mobil maka industri otomotive mencari karet sampai ke
wilayah Sumatra Timur. Pada tahun 1917, HAPM membentuk departemen

148
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

riset tanaman karet yaitu Plantations Research Department (PRD) di Bunut.


Selama masa pendudukan Jepang, perusahaan diambil alih dan diganti
namanya menjadi Noyen Kanri Kyoku. Perusahaan ini termasuk yang
dikecualikan dalam proses nasionalisasi karena pemegang saham Belanda
berkelit dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya kepada Amerika
pada 8 Februari 1957. Sebagaimana diketahui bahwa nasionalisasi hanya
menyasar perusahaan Belanda dan negara yang kalah perang. Perang Dunia II
dimenangi oleh Amerika Serikat sehingga tidak menjadi objek nasionalisasi.
Dengan kepemilikan perusahaan oleh warga negara Amerika Serikat maka
perusahaan ini tetap tercatat sebagai PMA dan berganti nama menjadi
United States Rubber Sumatera Plantations (USRSP). Pada 30 Juli 1970,
nama perusahaan berganti lagi menjadi PT Uniroyal Sumatera Plantations
(USP) dan memperoleh status Penanaman Modal Asing (PMA) dengan
kepemilikan tetap berada pada Uniroyal Inc. Pada tahun 1986, USP diakuisisi
oleh kelompok usaha Bakrie and Brothers Group. Selanjutnya perusahaan
berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations (USP). Pada tanggal
25 Juni 1992 nama perusahaan berubah lagi menjadi PT. Bakrie Sumatera
Plantations, Tbk (BSP).

8. Société Financière des Caoutchoucs (SocFin)


Socfin  didirikan oleh M. Bunge bersama Adrian Hallet pada tahun 1909.
Sebelumnya Adrian Hallet juga mendirikan Plantation Fauconnier & Posth
bersama Henry Fauconnier. Hallet adalah ahli perkebunan yang banyak
membantu perusahaan Eropa di Afrika. Tiga tahun sebelum mendirikan
perkebunan di Sumatra Timur dia telah melakukan penelitian tentang
prospek pengembangan kelapa sawit sebagai sumber minyak nabati yang
tumbuh dengan baik di pantai timur Sumatra.
Ia merupakan perintis pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
ketika pada tahun 1911 membuka kebun kelapa sawit di Sungai Liput Aceh
melalui bendera Sungai Liput Cultuur Mij. Pada saat yang bersamaan K.
Schadt, pengusaha Jerman juga membuka kebun di Tanah Itam Ulu melalui
Maskapai Oliepalmen Cultuur, sedangkan RCMA membuka kebun kelapa
sawit di Pulu Raja.

149
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 9.14 Pembibitan Kelapa Sawit Awal Abad ke-20 (Tropen Museum)

Nama Socfin mulai digunakan pada 7 Desember 1930. Perusahaan yang


bekantor pusat di Medan tersebut mengelola perkebunan di Sumatera Timur
dan Aceh. Pada tahun 1953, Socfin telah mengelola hampir 100 ribu hektare,
terdiri atas 55 ribu tanaman kelapa sawit dan 45 ribu tanaman karet. Perang
kemerdekaan dan ketidakstabilan regional di Sumatra Timur sampai akhir
tahun 1950-an telah menyusutkan luas areal yang dikelola karena di beberapa
kebun diokupasi dan diambil alih oleh masyarakat penggarap. Perkebunan

150
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR

Socfin sempat dinasionalisasi Pemerintah Indonesia, tetapi pada tahun 1968


dicapai kesepakatan yaitu pemerintah menguasai 40% saham dan Plantation
Nord Sumatera Belgia SA (PNS) menguasai 60% sisanya. Pada tahun 2001,
Pemerintah RI menjual 30% saham ke PNS sehingga saham Pemerintah
tersisa 10%. Sampai saat ini PT Socfin Indonesia (Socfindo) masih mengelola
perkebunan kelapa sawit dan karet, serta sebagai produsen benih unggul
kelapa sawit.
Kebun-kebun di bawah pengelolaan PT Socfindo di Sumatra Utara ada di
beberapa kabupaten di antaranya Kabupaten Serdang Bedagai meliputi Mata
Pao, Bangun Bandar, Tanjung Maria dan Tanah Bersih. Kebun lainnya ada di
Kabupaten Batubara (Tanah Gambus dan Lima Puluh), Kabupaten Asahan
(Aek Loba) dan Kabupaten Labuhan Batu (Negeri Lama, Aek Pamienke dan
Halimbe). Adapun di Aceh ada 5 kebun yaitu Sei Luput, M Ara, Seunagam,
Seumanyam dan Lae Butar.

9. Goodyear Rubber Company


Perkebunan Goodyear di Simalungun didirikan pada tahun 1917 ketika
perusahaan Amerika Serikat The Goodyear Tire and Rubber Company
mendapat konsesi tanah seluas 6.700 hektare di Dolok Merangir. Areal
konsesi bertambah menjadi 11.300 hektare pada tahun 1927 dan pada tahun
1932 dapat tambahan lagi konsesi seluas 4.000 hektare. Kebun tersebut
ditanami komoditi karet yang saat itu harga jualnya sedang booming. Sebagai
perkebunan yang berafilisasi dengan perusahaan produsen ban terkemuka
dunia maka Kebun Goodyear di Dolok Merangir mengalami masa kejayaan
yang cukup lama sampai Perang Dunia II. Ketika Jepang menguasai Indonesia
perkebunan sempat diambil alih. Sebagian lahan digunakan untuk menanam
komoditi pendukung perang seperti pangan dan minyak jarak. Setelah
Indonesia merdeka, kebun kembali dikelola oleh pemilik lama maskipun
banyak mengalami penciutan karena digarap masyarakat. Ketika Pemerintah
menasionalisasi perkebunan Belanda, Kebun Goodyear dikecualikan karena
dimiliki oleh warga Amerika Serikat sebagai pemenang PD II. Tanggal 9
Agustus 2005 Pemilikan saham PT Goodyear Sumatera Plantations beralih
ke PT. Bridgestone Coorporation dan nama perusahaan berubah menjadi PT
Bridgestone Sumatera Rubber Estate yaitu badan hukum yang berkedudukan
di Indonesia.

151
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN
TEMPO DULU

Ada empat tanaman budi daya komoditi perkebunan penting di Sumatera


Utara tempo dulu yaitu tembakau, karet, kelapa sawit dan teh. Untuk
memberi gambaran bagaimana tata kelola masing-masing komoditi tersebut
dijalankan, berikut ini disampaikan secara ringkas sebaran wilayah budi daya,
pelaku usaha dan proses produksinya. Dibandingkan dengan proses bisnis
tempo dulu maka kini tentu sebagian sudah berubah karena adanya penerapan
teknologi baru, pergeseran nilai-nilai dan perubahan lingkungan industri.

1. Budi Daya Tembakau


a. Pelaku Usaha
Pelaku usaha budi daya tembakau sebagi perintis perkebunan di Sumatra
Timur didominasi dua perusahaan besar yaitu Deli Maatschappij dan
Senembah Maatschappij. Penjelasan tentang kiprah perusahaan tersebut bisa
dilihat pada Bab IX.

b. Wilayah Budi Daya


Wilayah budi daya tembakau di Sumatra Timur pada awalnya ada di sekitar
pusat kesultanan Melayu Deli di Labuan. Dalam perkembangannya perluasan
areal dilakukan ke arah hulu, yaitu daerah yang lebih dikenal sebagai Tanah
Deli sekarang. Secara geografis areal budi daya paling ideal pada lahan yang
berada di antara dua sungai besar yaitu Sungai Wampu dan Sungai Ular.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

c. Proses Produksi
Tanaman asli tembakau (Nicotiana tabacum L.) berasal dari Benua Amerika.
Produk daun tembakau Deli digunakan untuk pembungkus cerutu. Lahan
untuk budi daya tembakau di Sumtra Timur umumnya berasal dari areal
konsesi yang diberikan Sultan Deli berupa hutan bebas (woeste granden).
Tanaman tembakau bisa tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi,
dengan suhu udara berkisar antara 21–32 derajat celcius. Dibutuhkan media
tumbuh tanah gembur, remah serta kemampuan mengikat air yang cukup.
Drainase perlu dikelola dengan baik karena tanaman ini sangat rentan pada
tanah tergenang. Gambar 10.1 menampilkan proses pembukaan areal hutan
untuk budi daya tembakau pada akhir abad ke-19.

Gambar 10.1 Pembukaan Areal Tembakau di Kebun “Two River”, (1885)


(Tropen Museum)

1) Persiapan Tanam dan Pemeliharaan


Proses pembudidayaan tembakau dimulai dengan membuat pesemaian
sebelum bibit ditanam di lapangan. Ketika umur bibit sudah mencapai 40–45
hari di pesemaian maka sudah bisa di-transplanting ke lapangan. Persiapan
pembuatan pesemaian meliputi antara lain pengolahan tanah dan pembentukan

154
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

bedengan. Gambar 10.2 menampilkan bibit tembakau di pesemaian dengan


dilengkapi sekat untuk mengatur intensitas cahaya (naungan).

Gambar 10.2 Bedengan Pesemaian Tembakau, (1926) (Tropen Museum)

Gambar 10.3 Pemeliharaan Tanaman Tembakau Deli (Tropen Museum)

Penanaman tembakau ke lapangan biasanya dilakukan pada sore hari.


Tujuannya agar bibit tidak stress karena udaranya sejuk dan tidak terpapar

155
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

terik matahari langsung. Pada awal transplanting tanaman perlu disiram pagi
dan sore hari untuk mempertahankan kelembapan tanah dan menstimulasi
tumbuhnya perakaran. Gambar 10.3 memperlihatkan pekerja sedang merawat
tanaman tembakau meliputi penggemburan lahan dan pengendalian gulma
secara manual.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan gulma pengganggu sekaligus juga
penggemburan tanah, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit.
Hara diberikan untuk menstimulasi pertumbuhan dan kesehatan tanaman.
Pada masa awal budi daya tembakau di Tanah Deli paruh kedua abad ke-
19, semua pekerjaan dilakukan secara manual. Tembakau pembungkus
cerutu mensyaratkan standar mutu yang tinggi. Pemangkasan (topping dan
wiwilan) dilakukan untuk mengatur pertumbuhan daun utama dan untuk
menghentikan pertumbuhan apikal. Wiwilan tunas samping diperlukan agar
daun tumbuh jagour.

Gambar 10.4 Pola Tanam Terasering Tembakau di Tanah Miring Kebun


Bekala, (1905) (Tropen Museum)

Tidak semua lahan di Tanah Deli topografinya datar, pada lokasi tanah
miring maka sistem tanam dibuat dengan pola terasering, yaitu mengatur agar
arah barisan tanaman memotong kelerengan lahan sehingga run off (aliran
permukaan air saat datang musim hujan) dapat dikendalikan. Gambar 10.4
menampilkan hamparan tanaman tembakau di lahan miring.

156
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Tembakau adalah tanaman elite yang harus dijaga mutu daunnya agar
memenuhi standar tembakau pembungkus cerutu. Syarat tersebut di
antaranya ketebalan daun, keelastisan (kelentingan), dan kelembutan daun
(bodi). Permukaan daun juga harus bersih dari bercak bekas serangan hama
dan penyakit tanaman.
Tembakau pembungkus cerutu (wrapper) memiliki syarat mutu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tembakau pengisi cerutu (filler dan binder).
Untuk pengisi cerutu tidak membutuhkan syarat harus bebas bercak daun.
Gambar 10.5 memperlihatkan tanaman tembakau tumbuh subur dan siap
panen di Perkebunan Polonia, Sumatra Timur.

Gambar 10.5 Hamparan Tembakau Siap Panen di Kebun Polonia, (1865)


(Tropen Museum)

2) Panen
Panen tembakau dilakukan secara bertahap dari urutan daun paling bawah
(pangkal). Pelaksanaannya disesuaikan tingkat kemasakan dan jumlah daun
yang siap dipanen. Kriteria daun yang sudah matang panen ditandai dengan
adanya perubahan warna dari hijau menjadi kuning kehijauan dan tangkai
daun juga mudah dipatahkan dari pangkal batang. Gambar 10.6 menampilkan
pekerja sedang mempersiapkan panen tembakau di Tanah Deli.

157
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.6 Persiapan Panen Tembakau di Kebun Gunung Rinteh,


Senembah Maatschappij, (1915) (Tropen Museum)

Gambar 10.7 Ilustrasi Pengangkutan Hasil Panen Tembakau (Tropen


Museum)

Waktu panen umumnya dilakukan pagi sampai siang hari ketika embun
sudah mulai menguap sehingga daun tidak terlalu getas yang menjadikannya
mudah robek. Setelah dipanen, daun tembakau selanjutnya dikirim ke
bangsal pelayuan atau pemeraman. Sebelum diperam terlebih dahulu diseleksi

158
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

atas kesamaan ukuran dan warna. Tujuannya agar handling lebih mudah
dilaksanakan dengan mengelompokan berdasarkan sifat-sifat yang sama.
Sebelum diperam, dilayukan beberapa hari dalam bangsal khusus sampai
mencapai kadar air tertentu.
Waktu peram berbeda antara daun bagian bawah dengan daun bagian atas.
Daun bagian bawah hanya perlu waktu 1–2 hari, sedangkan daun di posisi
lebih ke atas membutuhkan waktu peram yang lebih lama. Gambar 10.7
menampilkan ilustrasi proses panen dan pengiriman daun tembakau dari
lapangan ke unit pemeraman.

3) Pengolahan dan Pemasaran


Setelah tembakau dipanen tahap selanjutnya adalah perlakuan pengeringan
secara alami dengan mengalirkan udara bebas pada susunan daun tembakau
dalam bangunan bangsal khusus. Biasanya onderneming membangun bangsal
dari kayu jati (log). Perkebunan sengaja menanam kayu jati yang khusus
digunakan untuk bahan kerangka bangsal tembakau karena memiliki sifat
kuat dan ringan. Atap bangunan biasanya menggunakan bahan rumbia atau
ilalang sebagaimana tampak pada Gambar 10.8.

Gambar 10.8 Proses Pengeringan Tembakau Pembungkus Cerutu, (1900)


(Tropen Museum)

159
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Setelah dikeringkan, proses selanjutnya adalah pemeraman. Pada proses ini


terjadi reaksi biokimia yang melibatkan berbagai enzim. Hasil dari proses
tersebut antara lain tekstur daun menjadi lebih lembut, kadar air turun
sampai seperlimanya. Aroma khas tembakau pembungkus cerutu muncul
setelah melalui proses fermentasi. Gambar 10.9 menampilkan pekerja sedang
menyusun lembaran tembakau untuk difermentasi dalam tumpukan atau
sering disebut stapel ukuran (4 x 5) meter.

Gambar 10.9 Proses Fermentasi Tembakau Deli Maatschappij, (1905)


(Tropen Museum)

Daun tembakau dalam stapel dengan berat sekitar 2–2,5 ton selanjutnya
ditutup rapat agar fermentasi berlangsung optimal. Sebelum dikirim ke
pelelangan di Rotterdam, Belanda, tembakau dikemas (packaging) dengan
ukuran (80 x 60 x 40) cm dalam bungkusan anyaman tikar “welingi”. Rata-
rata berat setiap kemasan sekitar 80 kg/baal.
Proses pemasaran tembakau sejak Jacobus Nienhuys pertama kali
membudidayakan di Tanah Deli dilakukan melaui lelang (auction) di
Rotterdam, Belanda. Mulai tahun 1867 tembakau Deli menjadi salah satu
peserta lelang yang diikuti oleh pembeli dari seluruh produsen cerutu yang
ada di Eropa dan Amerika.

160
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Dalam perkembangan tempat pelelangan berpindah dari Rotterdam ke


Bremen, Jerman, hal itu disebabkan oleh adanya perselisihan antara Indonesia
dengan Belanda setelah Pemerintah RI menasionalisasi perusahaan Belanda
secara unilateral pada tahun 1958. Pemilik dua perkebunan tembakau di
Tanah Deli yaitu Deli Maatchappij dan Senembah Maatchappij mengklaim
bahwa tembakau yang masih dalam perjalanan ke pasar Rotterdam sebelum
pengumuman nasionalisasi oleh Pemerintah RI adalah milik mereka.
Indonesia melakukan keberatan. Dalam proses persidangan yang berlarut-
larut di Landgericht, Bremen akhirnya pengadilan tersebut memenangkan
Pemerintah Indonesia sebagai pemilik sah. Pemerintah Belanda akhirnya
menutup pasar lelang Rotterdam. Pada tahun 1968, untuk pertama kalinya
pelelangan tembakau dipindahkan ke balai lelang Bremer Tabakborse, Bremen,
Jerman. Gambar 10.10 menampilkan pekerja wanita sedang melakukan
proses pengepakan tembakau sebelum dikirim ke pasar Eropa.

Gambar 10.10 Proses Pengepakan Tembakau Pembungkus Cerutu di


Onderneming Tanjung Morawa, (1954) (Tropen Museum)

161
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

2. Budi Daya Karet


a. Pelaku Usaha
Karet (Hevea brasilliensis) merupakan komoditi kedua setelah tembakau yang
perkembangannya sangat cepat di Sumatra Timur. Beberapa perusahaan
besar yang mengembangkan karet di antaranya Deli Maatschappij, Senembah
Maatschappij, RCMA, Uni Royal, Lonsum, Good Year, Socfin, dan Sipef.

a. Wilayah Budi Daya


Budi daya karet tidak memerlukan persyaratan kesuburan tanah yang spesifik
dibandingkan dengan tanaman tembakau. Seluruh wilayah Sumatra Timur
sesungguhnya bisa ditanami komoditi karet, mulai dari tepi pantai sampai
dataran tinggi. Meskipun demikian tanaman tersebut akan tumbuh optimal
pada altitude 200 meter di atas permukaan laut dan suhu udara antara 24–28
derajat celsius. Batas toleransi (pH) keasaman tanah antara 4 sampai 8.

b. Proses Produksi
Iklim mikro yang dikehendaki tanaman karet adalah perlunya intensitas
cahaya matahari dengan lama penyinaran 5–7 jam/hari serta kelembapan
udara 75–90%. Curah hujan sedang dan dihindari penanaman pada daerah
lintasan angin yang bisa merusak tanaman.

1) Persiapan Tanam dan Pemeliharaan

Gambar 10.11 Pembukaan Hutan untuk Budi Daya Karet di Tanah Deli,
(1905) (KITLV)
162
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Perkebunan karet di Sumatra Timur menyebar pada wilayah yang sangat


luas. Pada masa permulaan pembudidayaan yang dimulai awal abad ke-20,
lahan penanaman karet umumnya merupakan konsesi baru yang berasal dari
hutan alam. Sebagian lahan tanam juga konversi usaha dari bekas tanaman
tembakau. Gambar 10.11 menampilkan pembukaan hutan secara manual
dan pembersihan lahan dengan melalui proses pembakaran.
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari lembah Amazon di Amerika
Selatan. Tujuan budi daya keret adalah mengambil getah sebagai bahan baku
pembuat ban untuk industri otomotive yang cepat tumbuh berkembang saat
itu. Selain dari karet alam bahan pembuatan ban juga bisa diperoleh dari
karet sintetis yang merupakan produk minyak bumi. Satu siklus tanam karet,
dihitung dari saat penanaman di lapangan sampai peremajaan berukutnya
memakan waktu 25 tahun. Proses pembuatan pesemaian (nursery) pada budi
daya karet dapat dilihat pada Gambar 10.12 berikut ini.

Gambar 10.12 Pembuatan Bedengan Pesemaian Bibit Karet, (1917) (Tropen


Museum)

Pada awal abad ke-20, proses penanaman karet dimulai dengan membuat
penyemaian biji. Benih sebagai sumber bahan tanam dipilih dari tanaman
induk yang sehat, jagour dan memiliki karakter mutu sesuai dengan yang
dikehendaki. Untuk areal dengan kemiringan di atas 10%, sebaiknya dibuat
teras contour untuk menghambat terjadinya aliran permukaan (run off)
yang dapat mengikis kesuburan lahan. Pembuatan rorak secara zig-zag juga
membantu untuk mengurangi terjadinya run off.
163
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Tanaman karet dikembangbiakkan dengan okulasi, yaitu menggabungkan


sifat-sifat unggul batang bawah dengan batang atas. Untuk batang bawah
dipilih tanaman yang perakarannya baik, responsif terhadap pemupukan dan
tahan terhadap kekeringan. Adapun untuk batang atas dikehendaki tanaman
yang memiliki kulit tebal, produksi mata lateks tinggi dan tahan terhadap
hembusan angin kencang yang bisa merobohkan cabang, dan batang.
Tanaman telah siap disadap setelah melalui masa pemeliharaan tanaman muda
(Tanaman Belum Menghasilkan, TBM) selama 5–6 tahun. Pemeliharaan
salama periode TBM antara lain penyulaman, pembuangan tunas palsu,
induksi cabang, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit serta
pemupukan. Gambar 10.13 menampilkan tanaman karet muda umur 2–3
tahun di antara hamparan penutup tanah (cover crops) yang dipelihara dengan
baik untuk mengendalikan gulma dan memperbaiki kesuburan lahan.

Gambar 10.13 Tanaman Karet Muda, (1921) (Tropen Museum)

Dalam satu siklus produksi rata-rata tanaman karet menghasilkan 1.000–


1.500 kg karet kering/ha/tahun. Untuk menentukan kapan tanaman siap
disadap, menggunakan kriteria yang memperhitungkan ukuran lilit batang
dan tingkat homogenitas tanaman. Tanaman sudah bisa disadap jika minimal
60% jumlah populasi telah memenuhi kriteria matang sadap. Tebal kulit yang

164
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

disadap dianjurkan 1,2–2 mm dengan kedalaman sadap antara 1,0–1,5 dari


lapisan kambium. Gambar 10.14 menampilkan tanaman karet yang telah siap
disadap.

Gambar 10.14 Hamparan Tanaman Karet Siap Sadap Kebun Alur Jambu
(Tropen Museum)

2) Panen dan Pengangkutan


Waktu penyadapan paling baik dilakukan pada pagi hari antara jam
05.00–08.00. Pada waktu tersebut suhu udara relatif rendah dan kelembaban
tinggi sehingga tekanan turgor di jaringan kulit mencapai maksimum.
Lateks hasil sadapan berada pada kondisi optimal di pagi hari dan menurun
menjelang siang hari. Untuk mengoptimalkan momentum tersebut pada awal
masa pengusahaan karet di Sumatra Timur pekerja penderes bekerja dengan
bantuan obor sebagai penerang di pagi hari. Gambar 10.15 menampilkan
pekerja sedang menyadap karet di pagi hari.

165
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.15 Pekerja Penyadap Karet, (1920) (KITLV)

Mutu bahan olah karet berbanding lurus dengan persentase kadar karet
kering (DRC, dry rubber contain). Penanganan pascapanen dibedakan antara
bahan baku dari lateks dan lump. Lateks yang telah dikumpulkan dari setiap
mangkuk harus dijaga kebersihannya dari kotoran, sejak penyadapan sampai
pengangkutan ke pabrik. Biasanya, lateks dari mangkuk sadap dituangkan
kedalam ember dari aluminium yang bersih dan tertutup untuk menghindari
kontak dengan udara yang bisa menyebabkan lateks menggumpal.
Selanjutnya, pengangkutan lateks dari lapangan ke pabrik menggunakan tangki
berkapasitas sekitar 1.000 kg. Untuk menghindari terjadinya penggumpalan
dini selama dalam perjalanan (pengangkutan) maka ditambahkan bahan
anti koagulasi. Sementara itu, untuk karet lump diperoleh dari lateks yang
dikumpulkan dari setiap mangkuk sadap. Agar lateks dalam mangkuk cepat
menggumpal maka ditambahkan asam semut. Gambar 10.16 menampilkan
proses pengangkutan lateks dari kebun (lapangan) ke pabrik untuk diproses
di unit pengolahan.

166
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10.16 Pengangkutan Lateks Karet ke Unit Pengolahan, (1905)


(KITLV)

3) Pengolahan dan Pemasaran

Gambar 10.17 Proses Pengenceran Lateks di Pabrik Tanah Raja, (1925)


(Tropen Museum)

167
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Prinsip dasar pengolahan karet ada dua pola sesuai bahan baku dan produk
yang dihasilkan. Untuk yang berasal dari lateks produk akhirnya adalah karet
jenis RSS (Ribbed Smoked Sheet). Untuk yang berasal dari lump dihasilkan
jenis karet SIR (Standard Indonesian Rubber). Produk karet yang dipasarkan
pada awal pengusahaan karet di Sumatra Timur umumnya dalam bentuk
RSS.
Proses pengolahan RSS dimulai dengan melakukan pengenceran 6 kali
terhadap lateks yang diterima dari lapangan. Selanjutnya, diberikan koagulan
selama 1–2 jam agar lateks menggumpal. Dua jam setelah proses koagulasi
selesai maka tahap selanjutnya adalah dilakukan penggilingan melalui alat
yang disebut sheeter. Hasilnya adalah bentuk lembaran karet berwarna putih.
Gambar 10.18 menunjukkan mesin pembentuk lembaran karet di pabrik
karet tempo dulu di Tanah Deli.

Gambar 10.18 Penggilingan Karet Menggunakan Mesin Sheeter di Kebun


Tanjung Morawa, (1954) (Tropen Museum)

Proses berikutnya yaitu pengasapan selama ±5 hari dalam ruangan bangsal


khusus. Salama masa tersebut proses pengasapan terus diberikan dengan
ketentuan secara bertahap suhu dalam ruangan diturunkan dari 55 derajat ke
40 derajat celcius.

168
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10.19 Pengasapan Karet di Kebun Tanjung Morawa, (1954) (Tropen


Museum)

Gambar 10.20 Pembuatan Slab di Pabrik Karet, (1905) (KITLV)

Tujuan pengasapan adalah untuk mengeringkan sheet, memberi warna khas


cokelat, dan menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan lembaran
karet. Bahan bakar yang digunakan dalam proses pengasapan yaitu kayu bakar

169
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

yang berasal dari cabang atau ranting pohon karet. Karet yang sudah terasapi
(smoked sheet) selanjutnya diperlakukan pemadatan dengan alat press.
Proses terakhir adalah pengepakan karet dalam kemasan yang siap untuk
ekspor. Ada dua ukuran kemasan yang lazim dibuat dalam perdagangan karet
internasional yaitu untuk big bale beratnya 113 kg dan  small bale beratnya
33 kg untuk setiap kemasan. Masing-masing kemasan diberikan tanda kelas
mutu RSS-nya (RSS 1 s/d RSS 3) untuk selanjutnya siap dikirim ke negara
tujuan. Gambar 10.21 menampilkan proses penyusunan karet RSS di gudang
milik Senembah Maatschappij Sumatra Timur.

Gambar 10.21 Pengepakan Karet RSS di Kebun Tanjung Morawa, (1954)


(Tropen Museum)

3. Budi Daya Kelapa Sawit


Kelapa sawit (Elaeis guinensis) yang dibudidayakan di Sumatra Timur bahan
tanamnya berasal dari pohon yang ada di Kebun Raya Bogor. Tanaman
tersebut aslinya dari Afrika Barat dan ditanam di Kebun Raya pada tahun
1848. Sumatra Timur tercatat menjadi perintis pengusahaan kelapa sawit
sebagai komoditi komersial di dunia.

170
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

a. Pelaku Usaha
Perusahaan yang merintis pengembangan budi daya kelapa sawit di Sumatra
Timur pada awal abad ke-20, di antaranya RCMA, HVA, Asahan Cultuur
Mij, LCB Mayang, Deli Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Socfin dan Sipef.

b. Wilayah Budi Daya


Lahan budi daya kelapa sawit tidak memerlukan persyaratan fisik dan
kimia tanah yang istimewa. Seluruh wilayah Sumatra Timur pada dasarnya
bisa ditanami kelapa sawit. Perkebunan Marihat dekat Pematang Siantar
merupakan contoh kebun sawit yang ditanam awal abad ke-20 pada altitude
± 500 m dari permukaan laut.

c. Proses Produksi
1) Persiapan Tanam dan Pemeliharaan

Gambar 10.22 Tanaman Kelapa Sawit di antara Tunggul Kayu, (1921)


(Tropen Museum)

Pada awal budi daya kelapa sawit tahun 1911 di Tanah Itam Ulu, maskapai
Oliepalmen Cultuur  membangun kebun dari lahan hutan. Ketika itu
penumbangan pohon dalam kegiatan land clearing dilakukan secara manual.

171
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Setelah areal dibersihan maka penanaman dilakukan disela-sela tunggul pohon


sebagaimana tampak pada Gambar 10.22.
Benih sebagai bahan tanam diperoleh dengan cara melakukan seleksi buah
dari tandan yang dihasilkan oleh tanaman yang menunjukkan karakter
unggul. Dalam perkembangannya, produksi benih unggul diperoleh melalui
proses breeding (pemuliaan tanaman) dengan mengawinkan sifat-sifat tetua
tanaman dalam proses pembuahan yang terkontrol. Saat ini penggunaan
teknologi kultur jaringan (tissu culture) telah berhasil secara komersial dalam
perbanyakan kelapa sawit di Kostarika Amerika Selatan
Pembibitan bahan tanam ketika itu tidak dilakukan dalam polybag melainkan
langsung di atas tanah. Gambar 10.23 menampilkan bibit kelapa sawit siap
salur yang ada di pesemaian.

Gambar 10.23 Pembibitan Kelapa Sawit di Tanah, (1927) (Tropen Museum)

172
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Transplanting ke lapangan dianjurkan dilakukan ketika awal musim hujan.


Bibit dipindahkan ke lapangan dengan cara membongkar tanaman beserta
tanah di sekeliling tanaman dan seluruh akar serabutnya. Setelah bibit
dimasukkan ke lubang tanam tanah. Dipadatkan dan disiram agar tanaman
cepat beradaptasi.
Kelapa sawit merupakan tanaman yang toleran sehingga perawatan tanaman
lebih mudah dilakukan. Kesulitan yang dihadapi adalah ketika ada serangan
hama pada tanaman berumur lebih 10 tahun dengan ketinggian tajuk di
atas 8 meter. Gambar 10.24 menampilkan proses pengendalian hama pada
tanaman kelapa sawit dewasa.

Gambar 10.24 Pengendalian Hama Kelapa Sawit di Sumatra Timur, (1931)


(Tropen Museum)

2) Panen dan Pengangkutan


Panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan
alat dodos pada tanaman muda. Sementara panen pada tanaman tinggi
menggunakan galah panen yang diujungnya dipasang pisau egrek. Gambar
10.25 menunjukkan proses pemanenan kelapa sawit muda di Sumatra
Timur.

173
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10. 25 Pekerja sedang Memanen Tandan Buah Kelapa Sawit, (1921)
(Tropen Museum)

TBS yang telah dipanen selanjutnya dibawa ke pabrik kelapa sawit (PKS,
palm mill) untuk diproses menjadi minyak sawit (crude palm oil, CPO) dan
inti sawit (palm kernel, PK). Untuk mengangkut TBS dari lapangan ke PKS,
ketika itu perkebunan lebih sering menggunakan kereta api (montik) sebagai
alat angkut. Gambar 10.26 menampilkan kereta api pengangkut TBS dari
lapangan ke PKS.
Pengangkutan TBS dari lapangan ke PKS selain dengan kereta api, juga bisa
menggunakan gandengan yang ditarik traktor (wheel tractor). Hal itu terutama
digunakan pada daerah dengan topografi curam sehingga tidak mungkin
dibangun fasilitas rel kereta api. Gambar 10.27 menunjukkan pengangkutan
TBS di Kebun Adolina, Serdang Bedagai.

174
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10. 26 Pengangkutan TBS dengan Kereta Api ke PKS Pulu Raja,
(1925) (Tropen Museum)

Gambar 10. 27 Pengangkutan TBS dari Lapangan ke PKS Adolina, (1953 )


(Tropen Museum)

175
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

3) Pengolahan dan Pemasaran


PKS yang dibangun tahun 1916 di Tanah Itam Ulu, Kabupaten Batubara
merupakan pabrik pertama di dunia. Sebagaimana pabrik-pabrik yang
dioperasikan saat itu, sumber energi berasal dari pembangkit ketel uap
yang menggerakkan as panjang. Ketika itu belum diketemukan elektromotor
sehingga setiap unit mesin digerakkan oleh as panjang melalui pully dan belt.
Sayangnya, PKS mini dengan kapasitas 10 ton TBS/jam tersebut telah ditutup
pada tahun 2005 karena teknologinya sudah ketinggalan dan kapasitasnya
kecil sehingga kurang efisien.
Mesin uap digunakan untuk mendistribusikan tenaga gerak mesin-mesin PKS
menggunakan khamelheren (ban penghubung) ke as sentral dengan roda-roda
pully. Fungsi khamelheren adalah menyalurkan energi ke as roda penggerak
peralatan yang ada di pabrik pada setiap stasiun pengolahan. Transmisi tenaga
penggerak menggunakan media defrien (ban) sebagai penghubung saat ini
telah digantikan elektromotor. Gambar 10.28 menunjukkan sterellizer untuk
“merebus” TBS kelapa sawit di PKS Tanah Itam Ulu.

Gambar 10.28 Stasiun Rebusan di PKS Tanah Itam Ulu, (1938) (Tropen
Museum)

176
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Proses pengolahan berikutnya setelah TBS sampai PKS diawali dengan proses
penimbangan untuk menentukan berat produksi TBS yang dihasilkan hari
itu. Selanjutnya, TBS disortir untuk menentukan mutu buah yang masuk
sebagai dasar penilaian apakah pemanen telah melaksanakan pekerjaannya
dengan benar. Tahapan berikutnya adalah memasukkan TBS yang telah
ditampung dalam lori rebusan selanjutnya ke stasiun perebusan di sterellizer.
TBS dimasukkan ke dalam satu bejana kedap udara yang dialirkan uap panas
(steam) dengan tekanan tertentu. Tujuannya menghentikan aktivitas biokimia
sehingga proses pembentukan asam lemak bebas dihentikan. Dengan proses
perebusan TBS maka kadar air juga berkurang dan buah menjadi lebih mudah
dilepaskan dari tangkainya (memberondol). Daging buah menjadi lebih lunak
sehingga mudah lepas dari biji.
Proses berikutnya adalah melalui stasiun penebahan (threshing) untuk
memisahkan buah dari janjangan dengan cara mengangkat dan membanting
pada mesin digester. Tujuannya untuk melumatkan daging buah dan
memisahkan daging buah dari biji. Biji sawit selanjutnya dipisahkan antara
cangkang dan inti sawit (palm kernel) pada alat yang dinamakan riplle mill
serta untuk memisahkan cangkang dari inti sawit pecah dengan mesin
claybath. Inti sawit mengandung minyak inti (palm kernel oil, PKO) yaitu
memiliki sifat minyak lebih baik dari CPO. Untuk menghasilkan PKO,
masih memerlukan satu proses lagi yaitu diolah pada alat yang dinamakan
palm kernel expeller. Produk yang dihasilkan adalah PKO dan palm kernel mill
(PKM). Gambar 10.29 menunjukkan proses pengemasan inti sawit untuk
diekspor. Saat itu belum belum ada pabrik di Sumatra Timur yang mampu
mengolah inti menjadi PKO.
Tahapan proses berikutnya untuk menghasilkan CPO yaitu setelah melewati
mesin digester buah masukan ke screw press untuk memisahkan minyak kasar
(crude oil) dan fiber. Selanjutnya, dimasukkan ke stasiun klarifikasi untuk
memisahkan minyak sawit dari pasir (sand trap), minyak dari serabut (vibro
separator) serta minyak dari air dan kotoran (clarifier). Minyak sawit mentah
(CPO) yang telah dihasilkan selanjutnya disimpan di tanki timbun. Dari PKS
CPO dikirim ke tangki timbun Pelabuhan Belawan. Jika sudah memenuhi
volume tertentu bisa dimuat ke kapal pengangkut. CPO terkadang bisa juga
langsung dimuat ke kapal dari tangki kereta api seperti tampak pada Gambar
10.30.

177
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10. 29 Penyimpanan Inti Sawit (Palm Kernel) di PKS Tanah Itam
Ulu, (1921) (Tropen Museum)

Gambar 10. 30 Loading CPO dari Kereta Api ke Kapal di Belawan, (1927)
(Tropen Museum)

178
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

CPO dari tangki penyimpan sementara atau langsung dari tanki kereta api.
Selanjutnya, dimuat (loading) ke kapal yang akan membawa CPO ke negara
tujuan ekspor sebagaimana tampak pada Gambar 10.31.

Gambar 10.31 Loading CPO ke Tangki Kapal, (1927) (Tropen Museum)

PKS pertama di dunia yang dibangun di Tanah Itam Ulu menggunakan


teknologi yang berbasis mesin uap, yang saat itu menjadi trend pada industri
manufaktur dan pabrikasi produk perkebunan. Bio massa yang melimpah
sebagai bahan bakar ketel uap menjadi unsur yang mendukung penerapannya.
Boiler sebagai penggerak mesin menggunakan bahan bakar dari kayu, serat
mesokarp (fiber) atau cangkang sawit. Mesin uap selanjutnya menggerakkan as
panjang yang menjadi sumber penggerak seluruh mesin dan peralatan dengan
menggunakan pully dan belt.
Pada PKS generasi pertama yang dibangun di Sumatra Timur seperti di Kebun
Tanah Itam Ulu sumber tenaganya digerakkan oleh 2 unit ketel uap (boiler)
yang menggunakan model pipa bakar. Masing-masing terdiri atas merek

179
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Steinmuller (dipasang tahun 1916). Lima tahun setelah beroperasi boiler


pertama maka dibangun lagi bolier kedua merek Stork sebagai cadangan yang
dipasang tahun 1921. Gambar 10.32 menampilkan boiler sebagai penggerak
mesin pengolahan di PKS Tanah Itam Ulu.

Gambar 10. 32 Boiler di PKS Tanah Itam Ulu, (1938) (Tropen Museum)

PKS Tanah Itam Ulu ketika itu sudah mampu mengembangkan industri
hilir paling sederhana dari komoditi kelapa sawit, yaitu dengan dihasilkannya
produk sabun cuci (dalam bentuk batangan) yang bahan bakunya berasal dari
minyak sawit.
Produk sabun cuci dari PKS Tanah Itam Ulu telah dijual di pasar lokal di
Sumatra Timur. Sebelum ditemukannya sabun batangan berbahan baku
minyak kelapa sawit, masyarakat umumnya hanya mengenal sabun cuci dan
sabun mandi yang bahan bakunya berasal dari minyak kelapa. Gambar 10.33
menunjukkan unit pengolahan dari CPO ke sabun batangan (sabun cuci dan
atau sabun mandi) di PKS Tanah Itam Ulu.

180
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10. 33 Pabrik Sabun dari Kelapa Sawit Tanah Itam Ulu, (1940)
(Tropen Museum)

4. Budi Daya Teh


Sebelum minuman teh dikenal dalam perdagangan dunia melalui Eropa,
sesungguhnya tanaman tersebut telah dibudidayakan di Asia Selatan-Timur,
sepanjang perbatasan Assam India di ujung barat. Membentang melalui
wilayah Cina sampai propinsi Chekiang di ujung timur. Ke arah selatan
melalui pegunungan di Myanmar, Thailand dan Vietnam.
Tradisi minum teh diduga berasal dari budaya Cina, kemudian berkembang ke
Jepang dan juga Eropa. Catatan sejarah menemukan bahwa kebudayaan Cina
sejak 2737 SM telah mengenal ritual minum teh, jauh sebelum teh dikenal
di Jepang pada 800 M. Ada laporan bahwa pada abad ke-6 M, saudagar Cina
telah memperdagangkan teh dengan bangsa Turki. Sementara di Eropa, teh
baru diperkenalkan dalam kebudayaan mereka pada awal abad ke-17, yaitu
dimulai semenjak VOC- yang berdiri pada 20 Maret 1602, meluaskan wilayah

181
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

perdagangannya ke Asia. Tahun 1610, pedagang Belanda memperkenalkan


komoditi teh ke pasar London. Komoditi tersebut diperoleh VOC dari hasil
transaksi dagang dengan bangsa Cina.
Setelah diperkenalkan di Eropa, pada tahun 1773, penduduk benua Amerika
pun sudah mulai mengenal teh. Di Benua Afrika, penanaman teh dimulai
pada tahun 1850, kemungkinan di wilayah Kenya sekarang. Adapun di
Rusia, teh mulai ditanam pada tahun 1913. Dengan semakin berkembangnya
perdagangan teh, pada tahun 1750, East India Company (EIC), firma dagang
yang dibentuk Pemerintah Inggris telah menciptakan sistem lelang teh di
London. London Tea Auction menjadi pusat rujukan harga teh dunia sampai
ditutup pada tahun 1975 (Ghani 2003).
Tanaman teh (Camelia sinensis) secara komersial dibudidayakan di beberapa
negara dari wilayah tropis sampai subtropis. Negara penghasil utama teh
dunia adalah Cina, India, Kenya, Indonesia, Sri Lanka, Rusia, Iran, Turki,
Bangladesh dan Vietnam sebagai pendatang baru. Revolusi industri, yang
dipicu penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1824 telah membawa
perubahan peradaban manusia. Mekanisasi telah merubah proses produksi
menjadi massal dan murah. Implikasinya membutuhkan pasar bagi produk
yang dihasilkan. Tumbuhnya para industriawan kaya mendorong berubahnya
gaya hidup meninggalkan peradaban subsisten. Tradisi baru minum teh di
Eropa menjadi simbul kemapanan. Teh menjadi komoditi eksotis pada awal
abad ke-19.
Sejak tahun 1900-an sampai sekarang, Sumatera Utara menjadi produsen teh
kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat. Masa keemasan teh mencapai
puncaknya pada dekade 1920-an. Krisis ekonomi dunia, pada tahun 1929,
menjadi titik balik luruhnya masa kejayaan teh. Perang Dunia II, pendudukan
Jepang, yang diikuti dengan Perang Kemerdekaan, Pemberontakan PRRI
dan ketidakstabilan politik menjelang G30 S/PKI merupakan periode tersulit
dihadapi pekebun teh di Sumatra Timur.
Ketika kondisi sosial politik mulai stabil, justru terjadi perubahan gaya hidup
kalangan anak muda yang lebih memilih soft drink dibandingkan minum
teh. Krisis di Timur Tengah, Teluk Persia dan bubarnya Uni Sovyet sebagai
pasar potensial, menjadi penanda masa senjakala teh. Ke depan pelaku usaha
teh perlu meredefinisi kembali konsep bisnisnya agar teh mampu bertahan
sepanjang zaman.

182
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

a. Budi Daya Teh di Indonesia


Tanaman teh jenis sinensis pertama kali dibawa masuk ke Jakarta dari Jepang
pada tahun 1684 oleh Andreas Cleyer, warga negara Jerman sebagai tanaman
hias. Seorang pendeta bernama F. Valentijn mencatat bahwa ia telah melihat
perdu teh muda yang berasal dari Cina tumbuh di Taman Istana Gubernur
Jendral Johannes Camphuys, di Jakarta yang memerintah antara 1684–1691.
Selanjutnya, pada tahun 1826 didatangkan lagi biji teh dari Jepang untuk
ditanam di Kebun Raya Bogor dan di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut
pada tahun 1827. Penanaman teh berhasil dilakukan dalam skala luas di
Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) sehingga membuka
jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh untuk
membuka usaha perkebunan teh di Jawa. Pada tahun 1828, di kedua daerah
tersebut terdapat 180 hektare tanaman teh dengan produksi sekitar 8.000 kg
teh kering. Ekspor produk teh dari Indonesia tercatat pertama kali diterima
di pasar Amsterdam Belanda pada tahun 1835, yaitu ketika hasil teh dari
nusantara sebanyak 200 peti mulai diangkut ke negeri Belanda untuk
diikutkan pada pelelangan teh.
Pada tahun 1828, di masa pemerintahan Gubernur Van den Bosh, teh
menjadi salah satu tanaman yang harus dibudidayakan rakyat melalui politik
Tanam Paksa (Culturestelsel). Sejak saat itu minuman teh menjadi bagian dari
kehidupan dan budaya masyarakat di Pulau Jawa.
Selain sumber tanaman teh dari jenis Sinensis yang berasal dari Jepang dan
China, jenis teh lain yaitu  Assamica yang berasal dari Sri Lanka mulai masuk
ke Indonesia pada tahun 1877. Ditanam pertama kali oleh RE Kerkhoven di
Kebun Gambung, Jawa Barat. Dengan masuknya jenis teh ini, yang ternyata
tumbuh dengan baik, maka secara bertahap tanaman teh Cina diganti dengan
teh Assam. Sejak itu perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas.
Menjelang Perang Dunia II, perdagangan teh memberikan keuntungan besar
bagi pemerintah kolonial. Tercatat ada 324 perusahaan perkebunan teh, yang
sebagian besar, yaitu 250 perusahan (78%) berada di Jawa Barat. Sisanya
ada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur.
Industri teh di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan
pasar dunia maupun keadaan di Indonesia sendiri. Pada tahun 1941 total luas
perkebunan teh di Indonesia adalah sekitar 200.000 ha yang dikelola 299

183
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

perusahaan, terdiri atas perkebunan besar seluas 125.000 ha dan perkebunan


rakyat seluas 75.000 ha. Pasca kemerdekaan sampai awal Orde Baru luas areal
teh mengalami penyusutan. Data luas areal sejak masa Orde Baru sampai kini
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10.1 Perkembangan Luas Areal Teh Indonesia 1967–2015


Tahun
Uraian
1967 1977 1987 1997 2007 2015
Luas (000 Ha) 88,9 95,4 120,5 142,2 133,7 120,2
Produksi (000 Ton) 59,9 82,9 126,1 153,6 150,6 143,0
Sumber: Dirjen Perkebunan (2015)

Teh yang ditanam di Indonesia umumnya berasal dari perbanyakan generatif


melalui biji. Atas bantuan United Nation Development Program (UNDP)
melalui proyek Colombo Plan, pada awal tahun 1970 mulai diperkenalkan
pembiakan vegetatif (klonal) dan penanaman varietas baru dengan
produktivitas tinggi dan sifat seragam yaitu jenis TRI 2024 dan 2025.
Sejak krisis multidimensi tahun 1997 sampai sekarang, luasan tanaman teh
cenderung menyusut akibat turunnya harga teh dunia dalam kurun lama
(1999 sampai 2015). Luas areal teh tersisa tahun 2015 hanya 120.222 ha,
terdiri atas perkebunan negara 37.728 ha, perkebunan swasta 27.318 ha dan
perkebunan rakyat 55.176 ha. Saat ini proses konversi tanaman teh ke budi
daya lain terus berlangsung karena kurang menguntungkan. Tanpa upaya
yang terstruktur dan komprehensif dikhawatirkan Indonesia akan menjadi
net importir teh di suatu masa kelak.

b. Budi daya Teh di Sumatra Timur


Riwayat pembangunan perkebunan teh di Sumatra Utara (dahulu lebih dikenal
sebagai Sumatra Timur, Ooskust van Sumatra) tidak terlepas dari peran Jacobus
Nienhuys yang merintis penanaman tembakau di tepian Sungai Deli. Dalam
perkembangannya, tenaga kerja dari Penang, Singapura, daratan Cina, dan
Pulau Jawa memiliki kontribusi nyata membangun Sumatra Timur sebagai
penghasil komoditi ekspor yang diperhitungkan di tingkat internasional.
Adapun komoditi teh dikembangkan kemudian setelah tanaman tembakau,
karet dan kelapa sawit.

184
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Teh pertama ditanam pada sebidang tanah percobaan di perkebunan Rimbun


di Deli Hulu pada tahun 1898. Proyek tersebut tidak diteruskan, karena
dinilai kurang memberi harapan. Komersialisasi budi daya teh di Sumatra
Timur kemudian dibuktikan oleh seorang pengusaha perkebunan asal Swis
bernama A Ris, sehingga pada tahun 1910 modal Jerman dan Inggris turut
mengembangkan perkembangan teh di sekitar Pematang Siantar. Pengusaha
perkebunan HVA turut mengembangkan perkebunan teh setelah tahun
1918. Adapun perusahaan Inggris yang diwakili oleh Rubber Plantation
Investment Trust mengembangkannya setelah memperoleh daerah konsesi
dari raja-raja Simalungun terutama Raja Pematang Siantar dan Raja Tanah
Jawa. Penaklukan kerajaan-kerajaan kecil Simalungun pada tahun 1907
telah merintis jalan bagi perluasan perkebunan teh ke daerah pegunungan
Simalungun. Para raja-raja Simalungun bagian pedalaman, telah memberikan
dukungan kepada para pengusaha perkebunan untuk mengusahakan teh di
wilayahnya.

c. Pelaku Usaha Budi Daya Teh


Dengan diterbitkannya Agrarische Wet oleh Pemerintah Kolonial Belanda
pada tahun 1870, maka investor diberi keleluasaan mengelola lahan konsesi
(erpacht) sampai masa 75 tahun. Pada awalnya tembakau menjadi pilihan
investasi, selanjutnya berkembang ke komoditi karet, kelapa sawit, dan teh.
Daerah perkebunan juga tidak lagi terkonsentrasi di wilayah Kesultanan
Deli, tetapi sudah memasuki daerah lain seperti Binjai, Langkat, Serdang,
Asahan dan Simalungun. Pada tahun 1910 investor dari Inggris Harrison
and Crosfield mulai tertarik mengembangkan teh di sekitar Pematang Siantar.
Daerah tersebut dipilih karena tanahnya cukup subur dan iklimnya sejuk
sehingga sesuai untuk budi daya teh. Tidak ada catatan sejarah dimana kebun
tersebut dibangun, kemungkinannya adalah di Kebun Marjanji (Sekarang
disebut Marjandi yang dikelola PTPN IV dengan komoditi kelapa sawit).
Pada tahun 1911, tanaman teh dalam sekala perkebunan pertama kali dibuka
oleh pengusaha warga negara Swiss A Ris di daerah Pematang Siantar, tepatnya
di Kebun Naga Huta. Berdekatan dengan Naga Huta juga pernah diusahakan
teh dalam skala korporasi di Kebun Simbolon dan di Kebun Martoba.
Kebun Simbolon saat ini masih ada dan dikelola PTPN III (komoditi karet)
sedangkan Kebun Martoba sudah menjadi pemukiman penduduk.

185
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Pada waktu yang hampir bersamaan, pengembangan teh dalam skala cukup
luas juga dimulai oleh Handels Vereeniging Amsterdam (HVA) yang membuka
Kebun Teh di Balimbingan, pada ketinggian sekitar 400 m dpl. Sebagian areal
yang digunakan untuk menanam teh merupakan konversi dari lahan tanaman
kopi. Keberhasilan penanaman teh di Balimbingan dikuti dengan perluasan
ke daerah yang lebih tinggi lagi yaitu pada altitude sekitar 800–900 m dpl di
Sidamanik (dan sebagian Tobasari sekarang) pada tahun 1918. Selanjutnya,
pada awal tahun 1920-an perusahaan perkebunan HVA yang berkantor di
Medan juga mengembangkan areal ke Kayu Aro, yaitu dataran tinggi yang
berada di kaki Gunung Kerinci, Jambi. Ketinggian areal antara 1000–1300 m
dpl dengan luasan konsesi sekitar 10.000 hektare.
Penaklukan kerajaan-kerajaan kecil Simalungun telah melempangkan jalan
bagi perluasan perkebunan teh ke dataran tinggi dekat Danau Toba. Kebun-
kebun teh lain yang dibuka di sekitar Pematang Siantar yaitu diantaranya
adalah Kebun Bah Birong Ulu yang dibangun pada tahun 1912 oleh
Perusahaan Tiedeman & Van Kerchem Batavia. Pada tahun 1917 karena
kesulitan keuangan Kebun Bah Birong Ulu diambil alih NHM. Di dekat Bah
Birong Ulu juga dibangun Kebun teh Parmanangan dan Kebun Kasinder.
Sayang belum ditemukan data dan informasi kapan dan nama perusahaan
yang membangunnya. Pada tahun 1926 NHM juga membangun kebun dan
pabrik pengolahan teh di Bah Butong yang beroperasi sejak tahun 1927.
Perusahaan besar pengelola teh di Sumatra Timur di antaranya NHM, HVA
dan perusahaan Inggris Harrisons & Crosfield (H&C). Ketiga perusahaan
tersebut memiliki sejarah perkembangan yang berbeda. NHM adalah
perusahaan milik Kerajaan Belanda, yang didirikan oleh Raja Willem I di
Den Haag pada tanggal 29 Maret tahun 1824. Maskapai tersebut bergerak
di sektor pembiayaan usaha komersial di seluruh wilayah jajahan. Setahun
setelah berdiri dibuka kantor perwakilan di Batavia pada tahun 1825.
Dalam perkembangannya, NHM juga mengambil alih atau mengakuisisi
perusahaan perkebunan yang pembangunannya didanai pinjaman NHM
karena beberapa alasan, misalnya karena kesulitan keuangan. Setelah
nasionalisasi, kegiatan perbankan NHM diteruskan oleh Bank Exim sebelum
melebur menjadi Bank Mandiri sekarang. Adapun pada bidang usaha
perkebunan diteruskan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

186
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

HVA merupakan perusahaan swasta yang berdiri pada tahun 1878, berperan
sebagai semacam induk perusahaan (holding) yang menaungi beberapa
perusahaan, diantaranya ada yang bergerak di sektor perkebunan. Perusahaan
yang semula bergerak di sektor perdagangan tersebut telah berhasil melakukan
ekspansi melalui kebijakan merger dan akuisisi. Melalui kantornya yang berada
di Surabaya (sekarang Kantor PTPN XI) dan di Medan (sekarang Kantor
PTPN IV) perusahaan tersebut berkembang pesat. Pada tahun 1922 HVA
telah mengelola 39 unit usaha dengan tujuh komoditi yaitu gula, tapioka,
serat, karet, kopi, kelapa sawit, dan teh.
Di Sumatra Timur HVA mengelola empat komoditi dengan 16 unit
produksi yaitu 4 unit komoditi  serat  (Dolok Ilir, Laras, Bah Djambi, Bandar 
Betsy), 5 unit Kebun  Kelapa Sawit (Tindjowan, Dolok Sinumbah, Pagar
Djawa, Tonduhan, dan Boeloe Blang Ara), 3 unit Kebun Teh (Balimbingan,
Sidamanik, dan Kayu Aro) dan 4 unit Kebun Karet (Bangun, Gohor Lama,
Alur Djambu, Pulau Tiga). 
Perusahaan perkebunan karet milik Inggris H & C didirikan oleh Trio Daniel
Harrison, Smith Harrison and Joseph Crosfield pada tahun 1844 di Liverpool.
Perusahaan ini awalnya bergerak di bidang importir teh dan kopi. Pada akhir
abad ke 19 sebelum melonjaknya harga karet semasa Perang Dunia II, H &
C mulai tertarik untuk melakukan investasi langsung pada usaha perkebunan
karet, teh, kopi, coklat, dan kelapa sawit. Mereka mengoperasikan beberapa
perkebunan di Malaysia, Srilangka, Sumatra Timur, Papua dan India Selatan.
Di Sumatra Timur Perkebunan H&C di antaranya membuka kebun di sekitar
Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan daerah lainnya. Perusahan lain yang
bergerak dalam budi daya teh yaitu Socfin, Sipef, dan lainnya.
Masa kejayaan komoditi teh di Sumatra Timur terjadi pada dekade tahun
1920-an serta berakhir semenjak terjadinya depresi ekonomi pada tahun 1929
(zaman malaise). Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945) banyak areal
kebun teh yang dikonversi ke tanaman pangan, terlantar atau mengalami
kerusakan. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, kebun-kebun teh yang
umumnya masih diusahakan oleh perusahaan milik Belanda, menghadapi
berbagai kendala dalam pengusahaannya. Setelah Indonesia merdeka, pada
tahun 1958 dilakukan pengambilalihan perkebunan teh milik perusahaan-
perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia yang pelaksanaannya
di bawah pengawasan TNI Angkatan Darat. Selanjutnya, secara bertahap

187
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

dilaksanakan usaha rehabilitasi terhadap perkebunan yang telah menjadi


milik negara tersebut. Penguasa Perang (setingkat Kodam) di teritorium
Sumatra Timur secara de facto mengendalikan proses ambil alih dari pemilik
berkewargaan negara Belanda atau negara yang kalah perang pada PD II.
Setelah nasionalisasi antara tahun 1959–1962 unit produksi teh dikelola
Perkebunan Negara Aneka Tanaman VI (PN ANTAM VI.
Sejak itu dimulailah penggantian pengelola dari warga negara asing kepada
asisten kalangan pribumi yang direkrut dari lulusan SPMA atau pendidikan
yang sederajat. Tahun 1963–1973 berubah namanya menjadi PNP
Wilayah I (PNP VIII) Sumatera Utara. Kemudian, mulai 1 Agustus 1974
status perusahaan berubah menjadi PT Perkebunan VIII (Persero) yang
berkedudukan di Medan.
Untuk mengatasi masalah rentang kendali yang terlalu luas maka pada tahun
1996 Pemerintah melakukan kebijakan reorganisasi perusahaan perkebunan.
Seluruh PTP yang ada di Indonesia, termasuk salah satunya adalah PTP VIII
mengalami penataan ulang berdasarkan wilayah. Kebun Kayu Aro, Jambi, dan
Kebun Danau Kembar di Provinsi Sumatera Barat diserahkan pengelolaannya
ke PTPN VI, sedangkan Kebun di Sumatera Utara dikelola oleh PTPN IV
Medan.

d. Wilayah Budi Daya


Peta dibawah ini menunjukkan wilayah usaha perkebunan teh Sumatra Timur
yang terkonsentrasi di dataran tinggi Kabupaten Simalungun. Sebagian
kebun telah berubah fungsi menjadi tanah masyarakat atau kebunnya masih
ada namun komoditinya dikonversi dengan tanaman lain seperti karet dan
kelapa sawit. Kini masih tersisa tiga kebun teh di Simalungun yaitu Kebun
Sidamanik, Bah Butong, dan Tobasari.
Setelah memantapkan usaha di Sumatra Timut, HVA memperluas budi
daya teh ke dataran tinggi Kerinci, Jambi pada tahun 1929. Wilayah tersebut
sangat sesuai untuk budi daya teh karena lahannya sangat subur dalam
kawasan gunung berapi aktif paling tinggi di Sumatera yaitu Gunung Kerinci.
Kawasan perkebunan Kayu Aro berada pada ketinggian diatas 1.000 meter
dari permukaan air laut.

188
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Luas areal Teh di sisi timur Danau Toba pada tahun 1920-an mencapai +/- 21 ribu
hektare, meliputi Kebun-kebun: Naga Huta, Martoba, Tanjung Pinggir, Simbolon, Pagar
Jawa, Balimbingan, Kasinder, Marjandi, Sidamanik, Parmanangan, Bah Birong Ulu, Bah
Butong dan Tobasari. Kesemuanya berada di Kabupaten Simalungun.

Gambar 10.34 Kawasan Perkebunan Teh di Sisi Timur Laut Danau Toba
(Kabupaten Simalungun)

Di Kabupaten Kerinci Jambi, HVA telah memperoleh konsesi lahan seluas


10 ribu hektare untuk budi daya teh. Dalam dokumen survei yang telah
dilaksanakan oleh HVA, menunjukkan keseriusan mereka mempersiapkan
perluasan areal di Kerinci lebih baik dari kebun teh sebelumnya yang dibangun
di Sumatra Timur. Mereka telah melakukan penelitian secara menyeluruh
tentang data fisika dan kimia tanah areal konsesi tersebut. Di dataran tinggi
yang cukup rata tersebut bahkan HVA merencanakan membangun PLTA di
Air Terjun Plompek untuk menjadikannya sebagai sumber energi penggerak
bagi pabrik teh di Kayu Aro. Proses pembukaan lahan kebun di Kayu Aro
pada awal abad ke-20 dapat dilihat pada Gambar 10.35.

189
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.35 Pembukaan Kebun Teh di Kaki Gunung Kerinci, Jambi,


(1929) (Tropen Museum)

e. Proses Produksi Teh


Budi daya teh di Sumatra Timur berlangsung pada fase yang sama dengan
pengembangan teh di Pulau Jawa yaitu berlangsung pada awal abad ke-
20. Lahan konsesi perkebunan diperoleh dari areal hutan yang belum
dibudidayakan (woeste grande, sekarang dikenal sebagai Areal Penggunaan
Lain atau APL). Sesuai syarat tumbuh yang ideal maka lahan perkebunan teh
umumnya berada di dataran tinggi Kabupaten Simalungun.

1) Persiapan Tanam dan Pemeliharaan


Pembukaan lahan dari areal hutan alam ketika itu dilakukan secara manual
dengan tenaga manusia. Beberapa bulan sebelumnya terlebih dahulu
dipersiapkan kebun pembibitan bahan tanam. Perbanyakan tanaman saat itu
masih menggunakan biji yang diperoleh dari kebun biji sebagaimana tampak
pada Gambar 10.36.

190
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10.36 Kebun Biji sebagai Sumber Bahan Tanam Teh di Kebun Bah
Butong, (1925) (Tropen Museum)

Kebun biji merupakan sumber benih pada perbanyakan tanaman teh sebelum
diketemukannya teknologi pembiakan vegetatif (klonal) menggunakan bahan
tanam dari stek daun pada tahun 1970-an yang menghasilkan tanaman yang
seragam secara genetik. Di hamparan kebun biji, tanaman teh sengaja ditanam
dan dibiarkan tumbuh menjadi perdu tinggi. Tujuannya agar terjadi proses
generatif yaitu menghasilan bunga, mengalami proses pembuahan dan pada
akhirnya dihasilkan biji.
Sumber tanaman penghasil biji dipilih dari hasil seleksi tanaman yang
memiliki sifat-sifat unggul sesuai keinginan pemulia tanaman (breeder).
Misalnya, dikehendaki tanaman yang memiliki potensi produktivitas tinggi
dan atau mutu istimewa (aroma, warna seduhan, dan rasa teh) serta tahan
terhadap penyakit tertentu. Biji-biji teh yang dipanen dari kebun biji
selanjutnya diseleksi antara lain dari ukuran biji dan berat jenis. Tujuannya
untuk memperoleh benih yang sehat (jagour). Benih yang terpilih selanjutnya
ditanam di lahan yang telah dipersiapkan untuk pesemaian dalam bentuk
bedengan-bedangan sebagaimana tampak pada Gambar 10.37. Perbanyakan
tanaman dengan biji sekarang sudah tidak diterapkan lagi dengan adanya
teknologi perbanyakan dengan stek daun.

191
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.37 Pembibitan Teh Kebun Bah Birong Ulu, (1912) (Tropen
Museum)

Setelah berusia 1,5 sampai 2 tahun dalam bedengan tanaman sudah bisa
dipindahkan ke lapangan (transplanting). Sebelum bibit dipindahkan, seleksi
bibit diperlukan untuk memastikan bahan tanam cukup sehat dan kuat
beradaptasi di lapangan.
Sebelum ditanam teh lahan terlebih dahulu ditanami dengan sejenis semak
pelindung, umumnya digunakan Crotalaria, sp. atau Tephrozia candida.
Crotalaria termasuk jenis tanaman polong (leguminosae) yang berfungsi
sebagai penaung atau peneduh tanaman muda, sumber pupuk hijau dan
sekaligus sebagai penghasil unsur N-alami dari bintil akar. Sementara Teprozia
candida lebih berperan untuk mengendalikan run off karena perakarannya
cukup banyak dan juga berperan sebagai sumber pupuk hijau. Penanaman
tanaman pelindung dilakukan enam bulan sebelum bibit teh ditanam. Masa
tanam teh biasanya dilakukan pada awal musim hujan. Hal itu penting agar
tanaman yang masih lemah tersebut tidak mengalami tekanan iklim dan cepat
beradaptasi dengan kondisi tanah yang lembap. Fungsi tanaman pelindung
adalah untuk menjaga kelembapan dan iklim mikro tetap ideal untuk
perkembangan awal. Sebagaimana dimaklumi, ketika itu belum dikenal
media tanam dengan polybag sehingga teh ditanam dalam bentuk stum, yaitu

192
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

tanaman dengan tajuk yang dipotong (toping) untuk mengurangi transpirasi.


Akar serabut tanaman dipotong dan tidak ikut tanah sebagai media tumbuh.
Gambar 10.38 menunjukkan tanaman muda teh di sela-sela tanaman
pelindung Crotalaria.

Gambar 10.38 Crotalaria Penanung Teh di Kebun Marjandi, (1927) (Tropen


Museum)

Lapangan yang akan menjadi lahan tanaman teh harus benar-benar bebas
dari tanaman pengganggu (gulma). Saat itu tanaman lalang (Imperata
cylindrica) merupakan gulma yang sangat merepotkan sehingga sepertinya
menjadi musuh nomor satu bagi perkebunan. Para planter tidak pernah
membiarkan lalang tumbuh merajalela di perkebunan teh. Pola pembersihan
lalang dilakukan dengan mengambil seluruh akar (stolon) yang ada di dalam
tanah (up rooting), selanjutnya dijemur sampai kering. Jika pupulasi lalang
sporadis maka disiapkan tenaga khusus “buru lalang”, yaitu mengambil
gulma beserta seluruh akarnya agar tidak berkembang biak menjalar di tanah.
Diketemukannya herbisida sistemik dari jenis glyphosat pada awal tahun 1980-
an menjadi akhir kerisauan pekebun. Saat ini lalang mudah dikendalikan
dengan glyphosat. Gambar 10.39 menunjukkan contoh pembersihan lalang
secara up rooting.

193
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.39 Buru Lalang di Kebun Bah Birong Ulu, (1921) (Tropen
Museum)

Pada saat transplanting bibit teh ke lapangan, akar-akar halus (akar rambut)
umumnya terputus sehingga pada masa awal penanaman merupakan periode
adaptasi yang kritis. Keberadaan tanaman pelindung menjadi penting untuk
menciptakan iklim mikro yang optimal. Barisan tanaman pohon pelindung
diatur sesuai dengan desain jarak tanam dan barisan teh yang diinginkan.
Untuk tanaman di tanah dengan kelerangan di atas 30 persen, pola tanamnya
adalah secara contour (nyabuk gunung, mengikuti kelerengan yang sama)
seperti contoh pada Gambar 10.40.
Pada tanah miring, tanaman penaung dipilih Theprozia candida karena
memiliki perdu yang lebih kuat, sekaligus berfungsi juga untuk menahan
erosi lahan. Barisan tanaman diatur mengikuti kelerengan atau secara contour.
Tahapan berikutnya adalah memelihara tanaman teh yang sudah ditanam.
Pekerjaan yang dilaksanakan di antaranya menyulam tanaman yang mati,
mengendalikan pertumbuhan gulma, serta serangan hama dan penyakit.
Pekerjaan yang bersifat khusus adalah mengatur percabangan tanaman agar
membentuk perdu yang menyebar merata disekitar batang (seperti meja)
sebagai persiapan membentuk bidan petik. Gambar 10.41 adalah contoh
barisan contour tanaman muda umur di bawah satu tahun.

194
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10.40 Penanaman Tephrozia candida di Kebun Martoba (Tropen


Museum)

Gambar 10.41 Tanaman Teh Muda di Kebun Bah Birong Ulu, (1923)
(Tropen Museum)

195
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Untuk daerah tertentu yang curah hujannya rendah atau ada periode musim
kemarau yang panjang, kelembapan rendah atau di dataran rendah yang suhu
hariannya di atas 30 derajat celsius maka perlu ditanam pohon pelindung.
Fungsinya (umumnya Albizia falcata, Suren, atau Lamtorogung) adalah
untuk mengurangi intensitas matahari sehingga tidak langsung terpapar pada
perdu teh. Fungsi lainnya untuk menaikkan kelambapan udara pada musim
kemarau serta menahan hembusan angin (sebagai wind breaker). Tanpa
pohon pelindung akan terjadi transpirasi berlebihan pada daun teh. Dampak
buruknya, tanaman mengalami masa dormancy (menghentikan aktivitas
vegetatif). Hanya pucuk burung yang tumbuh sehingga produksi turun
drastis. Gambar 10.42 adalah contoh tanaman naungan pada perdu teh.

Gambar 10.42 Hamparan Teh dibawah Pohon Albizzia di Kebun Pagar Jawa
(Tropen Museum)

2) Panen dan Pengangkutan


Panen teh pada awal abad ke-20 masih dilakukan secara manual. Pekerjaan
petik pucuk atau daun merupakan aktivitas memetik pucuk atau daun
muda yang menyedot tenaga kerja sangat banyak. Untuk setiap hektare

196
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

paling tidak harus disiapkan 2 pemetik yang bekerja rutin setiap hari. Setiap
tanaman harus dipetik dengan interval seminggu sekali. Saat ini proses panen
teh umumnya sudah menggunakan gunting petik atau bahkan mesin petik
(plucking machine) Gambar 10.43 menampilkan pekerja pemetik teh yang
sedang mengambil pucuk muda.

Gambar 10.43. Profile Pemetik Teh di Perkebunan Simalungun, (1925)


(Tropen Museum)

Untuk pemetik teh, pengelola perkebunan umumnya lebih menyukai


mempekerjakan tenaga dari kaum wanita. Pertimbangannya karena mereka
umumnya lebih rajin dibandingkan dengan tenaga pria. Aktivitas memetik
teh juga sangat cocok bagi wanita karena pekerjaannya relatif ringan namun
membutuhkan ketelitian agar hanya memetik daun atau pucuk yang muda
saja. Berat daun yang dipetik hanya 10–15 kilogram untuk setiap kali timbang
atau 30–45 kilogram per hari (3 kali timbang). Gambar 10.44 menampilkan
rombongan pemetik teh yang sedang bekerja. Setiap orang mengumpulkan
hasil petikan dalam wadah penampung keranjang dari bambu agar daun tidak
memar dan rusak yang bisa menurunkan mutu teh.

197
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.44 Pemetik Teh di Kebun Dataran Tinggi Simalungun, (1925)


(Tropen Museum)

Gambar 10.45 Para Pemetik Teh di Kebun Balimbingan, (1921) (Tropen


Museum)

Setiap pemetik umumnya telah mulai bekerja ketika matahari baru bersinar.
Waktu pagi hari merupakan masa paling produktif karena udara masih segar

198
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

dan daun teh masih getas sehingga mudah dipetik. Dalam dua sampai tiga
jam memetik biasanya sudah terkumpul pucuk teh antara 10–15 kilogram.
Sekitar jam 09.00 pemetik sudah menimbangkan pucuk untuk dibawa ke
pabrik. Satu hari dilakukan 2–3 kali penimbangan dan pekerjaan berakhir
pada jam 17.00 sore. Pada umumnya pemetik melakukan ritual makan
pagi (sering disebut waktu wolon) setelah timbang pertama. Gambar 10.45
menampilkan pemetik teh sedang bekerja di pagi hari.
Tidak sembarang pucuk dan daun boleh dipetik. Hanya daun yang masih
muda dan getas yang boleh dibawa ke pabrik. Daun tua tidak dibolehkan
untuk dibawa karena jika terolah akan menghasilkan teh bermutu rendah.
Gambar 10.46 menampilkan pemetik yang sedang menyeleksi daun teh
antara yang getas dengan daun tua.

Gambar 10.46 Sortasi Daun Teh di Kebun Naga Huta, (1905) (Tropen
Museum)

Pucuk segar yang telah dipetik dari lapangan harus sesegera mungkin dikirim
ke pabrik agar tidak terjadi pelayuan dini atau bahkan tidak menutup peluang
kemungkinan daun menjadi gosong (broyen, lanas). Daun yang menjadi lanas
tidak akan menghasilkan seduhan teh yang bernilai. Umumnya daun lanas
hanya akan menjadi limbah dan harus dimusnahkan. Bercampurnya pucuk
yang standar dengan pucuk broyen akan merusak mutu teh. Di pabrik teh,
perlakuan untuk mengatasi terjadinya daun lanas adalah dengan melakukan
pengadukan secara berkala di bak pelayuan (withering through).

199
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.47 Pengiriman Pucuk Teh dengan Kabelbaan di Bah Birong


Ulu, (1921) (Tropen Museum)

Ketika kebun teh baru pertama kali dibangun dalam skala korporasi di
dataran tinggi Simalungun pada awal abad ke-20, sarana pengangkutan
bahan baku dan hasil produksi di perkebunan masih sangat sederhana.
Ketika itu kendaraan bermotor seperti truk belum banyak diproduksi
dan digunakan di kebun. Untuk sarana transportasi barang atau manusia,
pekebun banyak mengandalkan alat angkut yang ditarik oleh kerbau, kuda
atau sapi. Pengangkutan daun teh basah dari lapangan ke pabrik umumnya
menggunakan gerobak yang ditarik oleh kerbau atau sapi.
Setiap hari paling tidak ada tiga kali proses pengangkutan pucuk teh dari
lapangan pemetikan ke unit pengolahan di pabrik. Jarak tempuh dari
pemukiman afdeling (sub kebun) sampai ke pabrik umumnya berkisar antara
4–8 kilometer. Untuk mengangkut daun basah dari lapangan ke pabrik
dengan menggunakan gerobak membutuhkan waktu tempuh antara 1–2 jam.
Gambar 10.48 menampilkan gerobak pengangkut pucuk teh dari lapangan/
afdeling ke pabrik teh di Kebun Bah Birong Ulu.

200
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10.48 Pengangkutan Pucuk Teh dengan Gerobak di Kebun Bah


Birong Ulu, (1921) (Tropen Museum)

Untuk menjaga agar pucuk sampai ke pabrik tidak rusak maka gerobak angkut
dibuat bertingkat sebagaimana Gambar 10.49.

Gambar 10.49 Gerobak Bertingkat di Kebun Naga Huta, (1921) (Tropen


Museum)

201
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Penggunaan kabelbaan dahulu sudah digunakan untuk mengangkut pucuk


dari kebun ke pabrik. Pengangkutan dengan kabelbaan paling sesuai untuk
mempertahankan daun tetap segar karena hanya sedikit handling, tidak ada
pemadatan serta interval waktu antara pemetikan sampai tiba pabrik relatif
lebih cepat. Daun teh memerlukan perlakuan minimal sebelum sampai pabrik
agar tidak terjadi proses fermentasi prematur sebelum perlakuan di pengolahan
sehingga rasa, warna, dan aroma cairan seduhan teh optimal. Gambar 10.50
menampilkan penerimaan pucuk teh di pabrik dari kabelbaan.

Gambar 10.50 Penerimaan Pucuk dengan Kabelbaan di Kebun Bah Birong


Ulu, (1921) (Tropen Museum)

3) Pengolahan dan Pemasaran Teh


Proses pengolahan teh terbagi atas empat tahapan, yaitu Pertama, pelayuan
(withering) yaitu perlakuan terhadap pucuk/daun segar untuk menurunkan
kadar air dalam jaringan daun menjadi separuhnya. Kedua, adalah melakukan
proses penggulungan (rolling) atau pemulasan daun yang sudah layu sehingga
terjadi percepatan reaksi fermentasi (oksidasi enzimatis). Pada proses ini, daun

202
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

dijadikan menjadi partikel kecil melalui (rotor vein) dan proses pengayakan
untuk memisahkan bubuk teh berdasarkan ukuran partikel. Ketiga, bubuk teh
yang sudah berbentuk partikel kecil dan lembut selanjutnya dimasukkan ke
tahap fermentasi yaitu bubuk teh basah dimasukkan ke fermenting unit selama
beberapa waktu akar terjadi reaksi enzimatis yang menstimulasi munculnya
warna seduhan (liquor) dan aroma teh. Kelima, yaitu pengeringan (drying),
bertujuan memghentikan reaksi enzimatis dengan cara menurunkan kadar air
teh sampai menjadi di bawah 3%.

Gambar 10.51 Pabrik Teh Kebun Simbolon, (1915) (Tropen Museum)

Keenam, yaitu sortasi kering atau pemilahan partikel teh berdasarkan ukuran,
warna dan berat jenis. Output proses sortasi dihasilkan teh dengan jenis yang
berbeda. Pada umumnya dikenal teh kualitas ekspor dan kualitas lokal.
Selanjutnya, teh siap di packaging untuk dikirim ke pembeli di Eropa.
Pabrik teh tertua di Sumatera Utara di antaranya ada di Kebun Simbolon dan
Kebun Kasinder. Bentuk (lama) kedua pabrik tersebut tampak pada Gambar
10.51 dan 10.52. Pabrik tersebut saat ini sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya.
Kebun Simbolon sekarang dikelola oleh PTPN III dengan budi daya Karet,
sedangkan Kebun Kasinder saat ini dikelola oleh PTPN IV dengan budi daya
Kelapa Sawit.

203
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.52 Pabrik Teh Kebun Kasinder, (1915) (Tropen Museum)

Adapun pabrik yang dibangun lebih belakangan adalah Pabrik Balimbingan


dan Nagahuta. Kedua pabrik tersebut bangunannya dibuat vertikal agar proses
pelayuan dapat memanfaatkan hembusan angin yang terjadi secara alamiah.
Contoh pabrik teh dengan struktur vertikal masih ada hingga kini yaitu
di Kebun Sidamanik yang dibangun tahun 1926. Bangunan kedua pabrik
tersebut tampak pada Gambar 10.53 dan 10.54. Kedua pabrik tersebut kini
juga sudah dibongkar.

Karakteristik pabrik teh yang dibangun sebelum PD II adalah bentuk pabrik


yang vertikal ke atas. Ada 3–4 level (tingkat) bangunan. Lantai dasar biasanya
digunakan untuk stasiun penggulungan, fermentasi, pengeringan, sortasi, dan
pengepakan. Sementara lantai kedua sampai lantai keempat digunakan untuk
stasiun pelayuan. Bentuk bangunan lantai kedua dan seterusnya dibiarkan
terbuka sehingga aliran angin bebas masuk ke ruang pelayuan. Ketika itu
proses pelayuan daun dilakukan secara alami dengan menyusun hamparan
daun tersusun rak yang terbuat dari anyaman kawat ram di ruang pelayuan

204
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

selama 2 hari. Selama waktu tersebut hembusan angin dari sisi bangunan
mengenai permukaan pucuk sehingga kadar air daun secara bertahap turun
dan pucuk menjadi layu.

Gambar 10.53 Pabrik Teh HVA Kebun Balimbangan, (1921) (Tropen


Museum)

Gambar 10.54 Pabrik Teh Kebun Naga Huta (Tropen Museum)

205
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Mulai tahun 1960-an pola bangunan pabrik vertikal sudah ditinggalkan ketika
diketemukan electromotor. Proses pengaliran udara kering digantikan oleh
angin dari kipas yang digerakkan oleh electromotor. Proses pelayuan dilakukan
di withering trough (WT) dengan ketebalan tumpukan daun lebih tebal
sehingga kapasitas pelayuannya meningkat dan dibutuhkan ruang pelayuan
yang lebih sedikit sehingga tidak perlu pabrik dibangun secara vertikal.

Struktur ruang pelayuan ketika itu menggunakan rak-rak secara bertingkat


(klapraken). Tujuannya agar hamparan tumpukan daun teh akan terkena
aliran angin dari samping sehingga terjadi proses pelayuan (pengurangan
kadar air) secara alami. Gambar 10.55 menampilkan fasilitas pelayuan dengan
klapraken pada pabrik teh tempo dulu.

Gambar 10.55 Struktur Klaprakken di Stasiun Pelayuan Pabrik Teh


Parmanangan, (1921) (Tropen Museum)

Dalam kondisi darurat, ketika musim panen puncak di awal musim hujan
terkadang fasilitas pelayuan tidak mencukupi. Pekebunan teh bekerja atas
dasar pertumbuhan vegetatif tanaman yang banyak ditentukan faktor eksternal
yang cepat berubah akibat adanya perubahan iklim mikro. Fluktuasi produksi
sering terjadi sehingga terkadang sulit dikendalikan. Perlakuan yang salah
misalnya dengan membiarkan rotasi petik mundur (tertunda). Dampaknya

206
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

produksi meningkat namun mutu teh turun karena pucuk kasar. Untuk
mengatasi kerusakan daun maka daun segar bisa dihamparkan pada lantai
yang bersih sebagaimana Gambar 10.56.

Gambar 10.56 Hamparan Daun Segar di Pabrik Teh Kasinder, (1920)


(Tropen Museum)

Untuk menghasilkan mutu teh yang prima maka daun pucuk yang telah layu
selanjutnya diolah dengan mesin penggulungan (roller) sebagaimana Gambar
10.57. Gambar tersebut menunjukkan rangkaian mesin roller model lama
di Pabrik Parmanangan yang masih menggunakan pully dan belt sebagai
sumber penggerak setiap mesin. Menurut informasi, pabrik Parmanangan,
Simalungun ditutup karena hancur dibom tentara Jepang ketika menduduki
Sumatra Timur pada tahun 1942.
Saat itu belum diketemukan electromotor yang secara otonom bisa menjadi
sumber penggerak yang berbasis tenaga listrik (merubah energi listrik ke energi
kinetik). Mesin uap hanya mampu menggerakkan as panjang sebagai sumber
penggerak seluruh mesin. Selanjutnya, daun yang sudah layu dialirkan dari
WT di lantai diatasnya ke unit penggulungan melalui talang yang berada di
atas mesin. Perlakuan penggulungan teh berlangsung sekitar 30 menit sampai
terjadi perubahan dari pucuk layu menajdi partikel teh yang terpulas atau
tergulung.

207
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.57 Ruang Penggulungan Pabrik Parmanangan, (1922) (Tropen


Museum)

Gambar 10.58 Fermentasi Teh di Pabrik Kasinder, (1920) (Tropen Museum)

208
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Produk dari stasiun penggulungan adalah bubuk teh basah berbentuk partikel
kecil. Selanjutnya bubuk teh dihamparkan di bak fermentasi yang berada pada
ruangan dengan suhu dibawah 22 derajat celsius dan kelembaban mendekati
jenuh dengan menyemprokan partikel air yang dikabutkan (humidifier) seperti
tampak pada Gambar 10.58. Tujuannya agar fermentasi berlangsung secara
optimal sehingga proses pembentukan aroma dan rasa seduhan teh tercapai.
Proses berikutnya dari ruangan fermentasi partikel teh basah dimasukkan ke
mesin pengeringan. Melalui proses ini reaksi enzimatis dihentikan dengan
menggoreng bubuk pada alat mesin pengering (drying machine). Caranya
dengan mengalirkan bubuk diatas plat yang dipanaskan atau dengan
mengalirkan udara panas pada hamparan bubuk teh. Selanjutnya untuk
memilah teh jadi berdasarkan jenis (grade) maka harus melewati proses sortasi
kering (grading) yang memisahkan teh berdasarkan ukuran dan berat jenis
melalui mesin ayakan sebagaimana Gambar 10.59.

Gambar 10.59 Sortasi Kering Teh di Pabrik Parmanangan (Tropen


Museum)

209
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Teh yang telah dipilah berdasarkan jenis yang berbeda selanjutnya bisa
langsung bisa di-pack dalam peti teh yang terbuat dari tripleks seperti tampak
pada Gambar 10.60.
Teh jadi yang telah melalui proses sortasi sementara waktu dimasukkan ke
peti penyimpanan (peti miring atau tea bin ) sebelum dipack. Tea bin adalah
bangunan seperti ruangan yang berderet untuk menyimpan teh masing-
masing grade mutu seperti Gambar 10.61. Dalam gambar, tampak pekerja
sedang melakukan pengisian teh berdasarkan jenisnya ke wadah semacam peti
dengan ukuran berat tertentu.
Pengepakan teh yang akan dikirim ke pembeli di Eropa menggunakan kotak
dari kayu lapis (triplek) berbentuk kubus. Di dalamnya dilapisi aluminium foil
untuk menciptakan ruang kedap udara sehingga mutu tetap terjaga sampai
ke pembeli. Bubuk teh adalah produk hygroskopik yang mudah menyerap
kelembapan sehingga harus dijaga kadar airnya tetap dibawah 3%. Gambar
10.62 menampilkan tumpukan peti hasil pengepakan yang siap dikirimkan
ke pelabuhan Belawan Medan. Saat itu sistem penjualan teh adalah melalui
proses lelang (auction) di Amsterdam atau yang terbesar di London. Sampai
tahun 1975 sistem pelelangan teh terbesar untuk pasar Eropa ada di London.
Setelah tahun 1975, pelelangan London ditutup dan dialihkan ke negara
penghasil seperti di Sri Lanka, India, dan Indonesia (Jakarta). Jakarta tea
auction (JTA) dilaksanakan di Kantor Pemasaran Bersama Perkebunan
(sekarang lebih dikenal sebagai PT Kharisma Pemasaran Bersama perkebunan
Negara (KPBN).
Mulai tahun 1990-an teh sudah dikemas dengan papersack menggantikan
kemasan peti. Hal itu terjadi setelah pengiriman barang sudah menggunakan
peti kemas sehingga meskipun teh dikemas dalam papaersack, namun tidak
terjadi over handling dari proses di pelabuhan sampai ke prosesor (packer)
di negara tujuan ekspor. Penggunaan papaersack lebih praktis dan tidak
memboroskan triplek yang dibuat dari kayu hasil hutan. Di negara konsumen
juga timbul masalah lingkungan dari triplek bekas kemasan teh. Ketika itu teh
yang telah dikemas dalam peti teh berdasarkan grade atau mutu teh dikirim
ke Stasiun Kereta Api Pematang Siantar. Selanjutnya, dengan kereta api DSM
dikirim ke Belawan untuk dikapalkan ke negeri tujuan pasar. Gambar 10.63
menunjukkan proses pengangkutan teh dari pabrik ke stasiun kereta api
Pematang Siantar.

210
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU

Gambar 10.60 Blending Teh Hitam Sebelum Dikemas, (1921) (Tropen


Museum)

Gambar 10.61 Silo Penyimpanan Teh di Pabrik Permanangan, (1921)


(Tropen Museum)

211
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Gambar 10.62 Pembuatan Peti Teh di Kebun Kasinder, (1920) (Tropen


Museum)

Gambar 10.63 Pengangkutan Teh dari Kebun Pagar Jawa ke Stasiun Kereta
Api Pematang Siantar, (1921) (Tropen Museum)

212
BAB XI.
KULTUR PLANTERS
PERKEBUNAN DARI MASA KE
MASA

Kultur atau budaya adalah seperangkat sarana dan prasarana sosial yang
berfungsi menjadi pedoman bagi setiap individu yang menjadi anggota
kelompok. Planters merujuk pada satu profesi, komunitas atau kelompok
masyarakat yang bekerja dan berinteraksi dalam satu kawasan atau industri
perkebunan. Meliputi para pimpinan, pekerja dan anggota keluarganya,
dimulai dari level jabatan paling tinggi di perusahaan perkebunan sampai
pemimpin lapisanl paling bawah yaitu mandor regu dan pekerja.
Masyarakat perkebunan merupakan suatu komunitas yang unik dan spesifik.
Ditandai dengan hubungan antara atasan bawahan yang bersifat patronase.
Seorang pemimpin setiap jenjang sekaligus menjadi patron bagi anak buahnya.
Sebagai orang tua, tempat bertanya, dimintai nasihat, sumber referensi serta
sebagai role model bagi anggota organisasi, dalam urusan pekerjaan maupun
dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Kultur planters dibentuk oleh para
perintis perkebunan di Indonesia sekitar 150 tahun lampau bersamaan dengan
dibangunnya korporasi perkebunan pertama kali di Indonesia. Kehidupan
kedinasan dan interaksi sosial menyatu antara pemimpin dan anak buah
dalam satu komunitas perkebunan.
Pada awal pembentukannya kultur planters dimaksudkan sebagai upaya
untuk menangkal pengaruh budaya sekitar (yang dikhawatirkan tidak
selalu kompatible dengan budaya kerja perkebunan). Ketika itu pemukiman
pekerja sengaja didesain terpisah dari kampung (masyarakat) sekitar. Untuk
mengurangi dominasi dari budaya asal-usul para pekerja maka struktur
masyarakat sengaja diisi dari etnisitas yang beragam. Dengan demikian
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

komunitas pekerja hidup bersama dalam satu tatanan baru yang selaras dengan
kultur korporasi. Nilai-nilai positif dari budaya lama sebagian menjadi unsur
pembentuk budaya (baru) melting, inklusif dan merit system. Sebagai contoh,
budaya toleransi yang menjadi ciri khas komunitas kebun disusun by design
semata untuk membentuk kultur dinamis perkebunan yang open minded.

1. Diskursus Budaya Planters


Pada tahun 1870 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan UU Agraria
(Agrarische Wet) yang memberikan hak konsesi tanah negara (woeste grande)
untuk korporasi perkebunan selama 75 tahun. Sejak itu tumbuh entitas
perkebunan di Sumatra Timur bagai jamur di musim hujan. Korporasi
perkebunan menguasahakan budi daya tembakau dengan mendatangkan para
pekerja dan pimpinan dari wilayah lain di luar Sumatera. Pembentukannya
bersifat revolusioner, karena menggunakan tata kelola modern berbasis
industri. Bagi penduduk lokal, keberadaan entitas perkebunan melompati
peradaban pertanian sederhana (tradisi perladangan, garden system) yang
dijalani masyarakat sekitar. Ketika itu masyarakat lokal belum mengenal budi
daya kebun dengan pola dan skala komersial (commercial agriculture).
Untuk mendukung industri tersebut para investor mengintroduksi peradaban
baru yang dikenal sebagai kultur planters. Beberapa karakter yang spesifik
diantaranya: (a). Waktu kerja tertentu dari pagi sampai sore (dengan diselingi
jam makan dan istirahat siang); (b). Dibentuk stratifikasi organisasi dari mulai
administrateur, sampai mandor regu yang langsung memimpin karyawan
paling rendah; (c). Sebagian pekerja didatangkan dari luar daerah dengan asal-
usul etnisitas yang beragam membentuk masyarakat baru yang heterogen; (d).
Membangun pemukiman karyawan yang terpisah dari masyarakat sekitar;
(e). Ditanamkan disiplin, jiwa korsa/kesetiakawanan (“sedulur sekapal”); (f).
Dibangun budaya patronase di pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-
hari; dan (g). Sistem reward and punishment yang jelas dan terukur.
Dengan pola seperti diatas maka secara bertahap terbentuk budaya korporasi
(kultur planters) yang merupakan sintesis dari sebagian kecil budaya lokal dan
budaya “renaisance” yang dibawa dari Eropa. Perumahan karyawan didirikan
berjarak dengan pemukiman penduduk asli, membentuk enclave baru yang
relatif tahan dari rembesan budaya lokal yang tidak terstruktur (patembayan,
gesellschaft).

214
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

Pekerja perkebunan direkrut dari berbagai latar belakang. Meliputi etnis


Cina, India, Jawa, Sunda, Melayu, Mandailing, Minang, Banjar dan suku-
suku lainnya. Konstelasi demografis didesain untuk membangun komunitas
baru yang dinamis, inklusif dan mudah menerima akulturasi.
Sampai tahun 1980-an kultur planters masih kokoh menjadi standar nilai bagi
komunitas perkebunan negara. Banyak perkebunan swasta yang belajar dan
mencangkok kultur tersebut untuk diterapkan di kebun-kebun mereka di
Riau, Sumbar, Jambi, Kalimantan dan Sulawesi. Beberapa perusahaan besar
seperti Sinar Mas, Astra Agro Lestari, Permata Hijau Sawit dan Musim Mas,
sampai saat ini masih konsisten menata kelola perusahaannya dengan basis
kultur planters.
Krisis ekonomi pada tahun 1998, yang berkembang menjadi krisis politik dan
sosial-budaya, menjadi titik balik runtuhnya budaya planters di perkebunan
BUMN. Peluruhan tersebut ditandai sbb: (a) Dihilangkannya kompensasi
tantieme bagi karyawan pimpinan (staf) yang selama ini menjadi representasi
pemegang saham; (b). Perubahan stratifikasi karyawan dari sebelumnya 4
level: Staf Karyawan Bulanan  Karyawan Harian Tetap  Karyawan
Harian Lepas (aneemer) menjadi hanya 3 level: Karyawan Pimpinan/Staf 
Karyawan Pelaksana  PKWT; (c). Tidak ada lagi pemberian punishment bagi
karyawan yang melanggar disiplin; (d). Akibatnya, kedisiplinan mulai luntur
di perkebunan; (e). Longgarnya ikatan “komunitas” diantara strata pekerja;
dan (f). Hilangnya simbul-simbul kultural kebun seperti olah raga bersama,
arisan keluarga, pembinaan budaya dan kesenian, pembinaan komunitas serta
keluarga karyawan pimpinan tidak lagi tinggal di perumahan perkebunan.

a. Core Values (Etos Kerja) Planters


Paling tidak ada sepuluh warisan nilai-nilai planters dari generasi masa pra
ambil alih (s/d 1958) dan pasca ambil alih (1960-1990-an). Dibentuk para
perintis, dibina oleh atasan secara berjenjang dan berproses menjadi etos
kerja spesifik. Sebagian nilai-nilai tersebut telah mengalami peluruhan karena
proses alih generasi yang tidak tuntas dan mengabaikan legacy. Nilai-nilai
tersebut adalah.

215
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

1) Disiplin
Disiplin adalah unsur kekuatan nilai-nilai planters. Karakter industri yang
melibatkan mahluk hidup yang terus berproses tanpa henti, memerlukan
penanganan terukur, rutine dan terjadwal. Kedisiplinan adalah unsur yang
sifatnya mandatory bagi proses bisnis perkebunan. Perilaku disiplin melekat
dan terinternalisasi menjadi kebiasaan sehari-hari. Planter sejati selalu disiplin
dalam setiap aspek kehidupan. Mulai kapan bangun pagi, jam sarapan, istirahat
siang atau bahkan sampai jadwal minum pil KB (keluarga berencana) setiap jam
20.00 di malam. Penggunaan “suling” (sirine) yang mengatur aktivitas sehari-
hari adalah rutinitas kehidupan komunitas kebun. Tidak heran, masyarakat
perkebunan terbiasa selalu datang tepat waktu pada saat berinteraksi dengan
masyarakat, seperti menghadiri undangan pihak luar kebun.

2) Keingintahuan Tinggi (Curiocity)


Insan perkebunan selalu berupaya meningkatkan kompetensi dan kapabilitas
di bidang tugasnya. Pola career path lintas bagian mengantar seseorang
menjadi generalis sekaligus spesialis. Stratifikasi kultur planters menempatkan
atasan memiliki peran sentral sebagai guru, coach dan sekaligus sparring
partner. Menurunkan ilmu, mewariskan kecakapan maupun memberikan
exercise dan pembelajaran kepada anak buah. Seorang asisten afdeling yang
menjiwai kultur planters akan selalu membawa buku saku untuk mencatat
kejadian selama jam dinas. Mencatat inventaris aset, SDM dan kinerja yang
sewaktu-waktu dibutuhkan.

3) Gigih
Atmosfer kerja di perkebunan, dengan cuaca dan iklim yang keras serta
berada pada daerah terpencil (remote area), mengasah daya tahan para pekerja
menjadi ulet, mandiri dan tidak mudah menyerah. Target capaian kinerja akan
terus dikejar, diraih dan diwujudkan sampai detik terakhir. Ruang lingkup
pekerjaan di perkebunan lebih sistematis sehingga mudah diprediksi. Kecuali
faktor alam, sumber daya lainnya relatif terukur dan traceable (mampu telusur).
Standar Operating Proscedure (SOP) telah menyediakan panduan setiap detail
pekerjaan yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.

216
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

4) Tanggung Jawab
Uraian tugas setiap orang sudah tercantum dalam job desription. Pekerjaan
di perkebunan bersifat kasat mata. Bidang tugas setiap orang di lapangan
(tanaman) maupun di pabrik (mill) jelas batas-batasnya. Kebiasaan tersebut
menular ke sikap hidupnya yang lebih bertanggung jawab. Sukses atau gagal
akan dipertanggungjawabkan kepada atasan dengan segala konsekuensinya.
Seperti kata-kata bijak: “Bahwa tidak ada prajurit yang salah melinkan
komandan (pimpinan) yang harus bertanggung jawab”.

5) Kerja Tuntas
Sifat biokimia proses produksi perkebunan hanya bisa dihentikan melalui
treatment khusus. Hal itu terbawa menjadi kebiasaan insan perkebunan
untuk menyelesaikan sesuatu secara tuntas dan tidak menunda pekerjaan.
Tugas menyelesaikan hanca panen misalnya, maka faktor penentunya bukan
jam dinas, melainkan akan berhenti jika seluruh pekerjaan telah diselesaikan.
Demikian juga di pabrik, proses tidak bisa dihentikan atau ditunda karena
akan menyebabkan kerusakan produk yang diolah. Seorang planter akan
tuntas menyelesaikan tugas yang diberikan oleh atasan dan perusahaan
(mission is accomplished).

6) Petarung (Pantang Menyerah)


Medan tugas yang tidak ramah, lingkungan pekerjaan yang terpencil jauh
dari pemukiman, menempa insan perkebunan menjadi petarung. Seorang
planter tidak mudah takut atau kecut menghadapi tantangan, baik internal
maupun eksternal. Ketika menghadapi konflik dengan masyarakat misalnya,
sering diuji keberanian dan kebijaksanaan (wisdom) mereka. Kita bisa belajar
dari para senior, mereka telah berhasil membuka kebun baru (kebun inti dan
plasma) di daerah frontier, terpencil dan minim fasilitas seperti di Riau, Jambi,
Kalimantan, Sulawasi dan Papua pada tahun 1980-an. Untuk mencapai
tempat tugas membutuhkan waktu berhari-hari dengan segala tantangannya.
Lebih jauh lagi kita bisa menghayati bagaimana para planters bangsa Eropa
membuka hutan belantara di Hindia Belanda menjadi kebun yang mapan.
Lokasinya jauh dari tempat kelahiran serta menghadapi kompleksitas budaya
dan peradaban yang asing.

217
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

7) Setia Kawan (Guyub, Jiwa Korsa)


Kesetiakawanan tersebut didorong oleh kesamaan nasib (sedulur sekapal).
Diantara karyawan saling membantu ketika datang musibah. Demikian
juga ketika mengadakan kenduri maka satu kompleks perumahan ikut
berpartisipasi dan saling membantu. Bahkan, jika timbul masalah keluarga
biasanya atasan langsung juga ikut membantu menyelesaikannya. Kehidupan
kekeluargaan menjadi ciri komunitas perkebunan, baik di kalangan pimpinn/
staf maupun pekerja.

8) Pride (Menjaga Kehormatan).


Seorang planter atau pekebun, sangat bangga dan akan selalu menjaga
kehormatan profesinya sebagai “orang kebun”. Kebanggaan itu semakin tinggi
ketika mampu mempersembahkan prestasi terbaik, mengatasi tantangan
atau menemukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Menjaga
kehormatan merupakan panggilan bagi insan perkebunan senantiasa bekerja
secara bertanggung jawab.

9) Mencintai Tanaman dan Komunitas


Seorang planter setiap saat selalu bergulat dengan tanaman (on farm),
pengolahan hasil (off farm), SDM dan masyarakat sebagai bagian integral
dari komunitas kebun. Kecintaan terhadap sumber daya tersebut membentuk
sikap mental bersedia berkorban dan mendedikasikan diri untuk kelangsungan
masa depan perkebunan. Kecintaan atau panggilan hati (passion) terhadap
tugas merupakan wujud dari sifat paripurna. Melampaui (beyond) nilai-nilai
profesionalitas, yang mudah berpaling ketika menghadapi kesulitan dan atau
menghadapi pilihan dilematis. Kesetiaan terhadap profesi sebagai planters
bersifat final dan tidak mudah digoyahkan oleh pragmatisme. Menjadi planters
merupakan pilihan profesi yang akan didedikasikan sampai akhir.

10) Menjaga Adab Pergaulan


Seorang planters sekaligus mengemban peran sebagai role model bagi anak
buah. Sebagai patron tempat anak buah bertanya dan meminta nasihat.
Sebagai guru yang layak digugu dan ditiru. Sebagai pamong yang senantiasa
melindungi kepentingan anak buah. Menjadi contoh, suri tauladan bagi

218
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

orang lain. Untuk itu ia akan selalu menjaga tutur kata dan perilaku kepada
setiap orang. Kematangan planter telah paripurna (moksa) tatkala bawahan
merasa nyaman dan terlindungi. Karenanya, mereka antusias bekerja penuh
semangat di bawah kepemimpinan yang mengayomi.

2. Tradisi dan Kebiasaan Planters


Untuk mendukung kokohnya budaya planters maka tradisi, adat dan
kebiasaan di lingkungan kebun turut mengambil peran penting. Setiap planter
menyadari bahwa melalui penciptaan iklim kondusif akan terbentuk budaya
kerja yang kokoh.

a. Tradisi/Kebiasaan
Tradisi atau kebiasaan adalah hal-hal yang berulang-ulang dilakukan sebagai
bagian dari unsur penguat budaya perkebunan.

1) Lingkaran Pagi Mengasah Kompetensi


Setiap pagi memulai pekerjaan dengan “lingkaran pagi”. Pertemuan
planter dengan atasan atau anak buah. Menjadi wahana komunikasi untuk
malaporkan pekerjaan satu hari sabelumnya serta membahas rencana kerja
hari itu. Pada pertemuan tersebut dibahas permasalahan/peluang taktis dan
strategis. Hasil rumusan menjadi bahan/proposal untuk diteruskan kepada
atasan atau menjadi dasar untuk dibahas dengan bawahan. Lingkaran pagi
dilakukan berjenjang sebagai manifestasi monitoring dan evaluasi pekerjaan
harian, mingguan dan bulanan. Pada kesempatan tersebut berlangsung sharing
informasi, coaching dan bentuk komunikasi dua arah antara pimpinan dengan
anak buah.

2) Olah Raga Bersama


Fasilitas yang lazim ada di perkebunan yaitu lapangan tennis untuk karyawan
pimpinan serta lapangan badminton, bola voli dan sepakbola untuk karyawan
pelaksana. Olahraga merupakan aktivitas harian yang bertujuan bukan semata
untuk menjaga kebugaran tubuh. Pada kesempatan tersebut ikut serta istri
masing-masing. Kegiatan tersebut bermanfaat sebagai media relaksasi dan

219
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

kesempatan tatap muka dengan anggota komunitas lain, sebagai bentuk


interaksi sosial. Olah raga bisa menghilangkan beban emosi atau pikiran yang
timbul dari pekerjaan harian. Melalui olahraga beban pekerjaan terkanalisasi
sehingga menjadi ringan. Waktu istirahat malam hari digunakan sepenuhnya
untuk mempersiapkan fisik dan mental menghadapi pekerjaan esoknya.

Gambar 11.1 Aktivitas Sepakbola Karyawan di Senembah Maatchappij


Tanjungmorawa (1915)

3) Arisan Membangun Kebersamaan


Tradisi khas yang berlangsung di kebun adalah menyelenggarakan arisan
(sebulan sekali) diantara keluarga planters maupun dengan keluarga anak buah.
Pada kegiatan tersebut biasanya disisipkan acara sharing tentang pengetahuan
atau keterampilan baru. Arisan merupakan wujud media komunikasi dua arah
yang bersifat informal. Setiap orang berkesempatan menyampaikan pendapat,
usulan dan saran bagi kebaikan bersama.

220
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

4) Pos Yandu Bentuk Kepedulian


Untuk memantau perkembangan anak balita dibawah lima tahun (balita)
maka setiap bulan dilaksanakan Posyandu (pos pelayanan terpadu).
Aktivitasnya meliputi penimbangan anak balita untuk memantau
perkembangan pertumbuhan semasa golden age. Pada kesempatan tersebut
juga diberikan penyuluhan tentang kesehatan dalam arti luas serta pemberian
asupan makanan bergizi bagi anak-anak. Termasuk pelayanan kesehatan bagi
ibu hamil/menyusui, imunisasi serta pelayanan kesehatan lainnya. Kegiatan
tersebut biasanya melibatkan klinik perusahaan, pemerintahan desa dan
puskesmas terdekat.

5) Membina Tempat Pengasuhan Anak/Taman Kanak-


kanak/PAUD
Perusahaan terkadang membuka kesempatan suami-istri sama-sama bekerja di
kebun. Untuk memberi pelayanan kepada anak-anak mereka maka disediakan
tempat pengasuhan anak (TPA). Fasilitas tersebut berfungsi merawat dan
mendidik anak-anak usia pra sekolah. TPA sekaligus berperan sebagai play
ground atau tempat berlangsungnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Istri planter (ex officio) adalah pembina kegiatan Posyandu, TPA maupun TK
di tempat masing-masing.

6) Berinteraksi dengan Komunitas Sikitar


Ikatan sosial di perkebunan sangat akrab dan penuh kekeluargaan. Setiap
resepsi pernikahan, sunatan, selamatan atau kenduri yang diadakan karyawan
selalu mengundang keluarga staf (administrateur dan staf lainnya). Kehadiran
pimpinan merupakan simbul komitmen kekeluargaan kepada anak buah dan
warga perkebunan. Undangan juga bisa datang dari masyarakat sekitar kebun
sebagai perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan.

7) Kunjungan Simpati/Takziyah
Mendatangi anak buah yang sedang ditimpa kemalangan, misalnya sakit
atau musibah kematian (salah satu anggota keluarga) adalah hal yang sangat
diprioritaskan. Sebagai simbul yang menunjukkan perhatian dan simpati
kepada anak buah. Ikatan emosional ini menjadi penguat hubungan saling
kasih sayang diantara pimpinan dengan anak buah.

221
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

8) Tradisi Sharing Pengalaman


Aktivitas field-day (demo atau studi banding tata kelola tanaman) dan mill-day
(hal yang sama di pabrik) merupakan bagian dari sharing sukses atau bahkan
kegagalan di suatu tempat untuk pembelajaran. Pada acara tersebut biasanya
diundang para planters dari tempat lain sebagai medium saling asah, saling asih
dan saling asuh.

Gambar 11.2 Latihan Kesempatan Siswa Ambasct School Tanjung Morawa


(1915)

b. Sifat dan Perilaku yang Dianjurkan


Hal-hal yang tersebut dibawah ini pada umumnya menjadi kewajiban yang
harus dijalankan atau dianjurkan dalam keseharian planters generasi sebelum
reformasi (1998). Dampaknya sangat mempengaruhi keberhasilan tugas dan
karir.

1) Membawa Buku Saku


Perintis perkebunan bangsa Belanda selalu mengingatkan para pimpinan level
dibawahnya (mandor besar/mandor satu atau mandor regu) agar memiliki
buku catatan (sering disebut “buku saku”) yang selalu dibawa saat bekerja.

222
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

Isinya catatan tentang data aset yang menjadi tanggung jawabnya, catatan
pekerjaan harian atau hal-hal penting yang ditemui selama jam kerja. Ketika
seorang planter menemukan suatu ide maka wajib dicatat untuk ditindaklanjuti
kemudian.
Buku saku menjadi “kamus pengetahuan” ketika ada pihak lain (atasan atau
bawahan) menanyakan sesuatu tentang pekerjaan. Saat ini dengan fasilitas
gatget (smartphone) bisa menggantikan fungsi buku saku.

2) Istri Tinggal di Kebun


Tekanan kerja dan tanggung jawab planters di kebun sangat keras. Untuk
itu sukses kinerja dan karir sangat ditentukan oleh dukungan dan kehadiran
istri/keluarga. Pembinaan keluarga anak buah di afdeling sangat memerlukan
kehadiran istri pendamping suami. Kehadiran istri dikebun sangat
meringankan beban suami.

3. Erosi Budaya Planters


Perubahan lingkungan bisnis, globalisasi dan perkembangan teknologi
informasi telah mempengaruhi terjadinya peluruhan nilai-nilai planters
generasi penerus di perkebunan negara. Uraian berikut mengidentifikasi
beberapa sumber kemerosotan kultur planters di perkebunan.

a. Perubahan Lingkungan
Sejak nasionalisasi perusahaan Belanda oleh Pemerintah RI tahun 1958,
perkebunan negara menikmati lingkungan pengelolaan yang monopolistik.
Terutama dalam pengusahaan komoditas gula, kelapa sawit, karet dan teh.
Sebagai kepanjangan tangan negara, diberikan mandat untuk menjalankan
“Tri Dharma Perkebunan”. Meliput peran korporasi sebagai penghasil devisa
(meraih laba), agent pembangunan (bagi masyarakat sekitar), menciptakan
lapangan kerja dan. Dikotomi dan bias penjabaran peran tersebut telah
menggerus kekuatan entrepreneurship entitas perkebunan. Dominasi cukup
lama sebagai market leader juga menghilangkan kewaspadaan. Terbentuk
iklim kerja business as usual, terjebak kepada zona nyaman serta kehilangan
kekuatan agilitas. Inovasi dan kreatifitas kurang mendapatkan perhatian
sehingga secara komparatif kinerja operasional, keuangan serta pengembangan
areal dan produk hilir tertinggal dibandingkan swasta (best practices).

223
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Adapun merosotnya kemampuan perkebunan gula, dimulai ketika


diterapkannya Inpres No 9 tahun 1975, yang menghentikan peran Pabrik
Gula (PG) dalam penanaman tebu (dialihkan ke petani, dalam program
Tebu Rakyat Intensifikasi, TRI). PG hanya memperoleh pendapatan dari
jasa giling tebu rakyat. Sejak itu PG tidak mampu mengontrol supply chain
sehingga efisiensinya merosot karena turunnya standar kultur teknis serta
tidak terpenuhinya rasio ideal antara luas areal tebu dengan kapasitas giling.
Tata niaga gula juga terlalu diatur negara (over regulated). Ditambahkan lagi
adanya kewajiban menjaga stabilitas harga bahan pokok, menjadi constrain
PG membuat kebijakan berbasis korporasi (business like).
Untuk perkebunan yang mengelola teh, sejak belasan tahun terus merugi
karena tidak mampu mengantisipasi pengaruh perubahan global. Lingkungan
industri teh ditandai adanya perubahan gaya hidup yang memperlambat laju
konsumsi global, sementara upah buruh meningkat dari waktu ke waktu.
Seyogyanya manajemen melakukan reorientasi bisnis apakah mengambil
segmen pasar teh (mutu) premium, aliansi pasar strategis (supply chain)
dengan packer atau memasuki pasar retail. Upaya lainnya secara secara paralel
yaitu melakukan pengendalian biaya produksi dan peningkatan produktivitas
melalui peremajaan dengan klon unggul yang produktivitasnya diatas 3.500
kg teh kering/tahun. Bauran kebijakan strategis tersebut harus ditempuh
untuk menyelamatkan perkebunan teh. Akibat ketidakjelasan pengambilan
kebijakan maka saat ini teh Indonesia kalah dalam persaingan teh premium
dan tidak bisa bersaing dengan teh murah (mutu rendah) dari Vietnam.
Faktor eksternal lain yang menyebabkan kemunduran perkebunan negara
yaitu diberlakukannya kebijakan otonomi daerah pasca reformasi. Muncul
raja-raja kecil di daerah yang memperdagangkan ijin pembukaan lahan
perkebunan menjadi sumber rente oknum kepala daerah. Bagi perkebunan
BUMN sulit memenuhi keinginan mereka untuk memberikan upeti dalam
pemberiaan ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan (IUP).
Ketika lingkungan industri, lingkungan sosial dan kebjakan pemerintah
berubah, kultur korporasi di internal perusahaan BUMN justru tidak
bertransformasi merespon secara proporsional perkembangan tersebut.

224
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

b. Relasi Ketenagakerjaan
Hubungan ketenagakerjaan di BUMN perkebunan mengalami perubahan
yang evolutif sejalan dengan pertumbuhan kinerja perusahaan dan membaiknya
perlindungan pekerja. Sejak pengambilalihan perusahaan Belanda tahun 1958,
kehidupan pekerja semakin membaik dengan menjadikan budaya planters
sebagai acuan perilaku. Perubahan radikal yang berdampak merosotnya
kultur planters terjadi sejak ditetapkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Salah satu klausul UU tersebut menyatakan bahwa
pengusaha wajib membuat perjanjian dengan Serikat Pekerja yang dikenal
sebagai Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang diperbaharui setiap dua tahun
sekali. Dengan adanya ketentuan tersebut maka dalam proses perundingan
hak-hak pekerja cenderung meningkat dari waktu ke waktu sehingga
berdampak naiknya biaya produksi (labour cost). Pada sisi lain, punishment
terhadap pelanggaran disiplin tidak secara tegas diatur. Pada peraturan lama
(sebelum UU No. 13/2003) karyawan yang tidak bekerja tanpa alasan, tidak
dibayarkan tunjangan gaji hari minggunya. Bagi karyawan lima hari berturut-
turut mangkir tanpa alasan dianggap mengundurkan diri.
Turunan lain dari UU tersebut adalah dihilangkannya satu strata pekerja yaitu
semula ada Pegawai Rendah Bulanan (PRB) dan Karyawan Harian Tetap
(KHT) menjadi karyawan pelaksana yang hak-haknya sama dengan PRB.
Kenaikan upah setiap tahun terjadi atas dua sebab yaitu karena penyesuaian
(kenaikan) Upah Minimum (UMP) dan kenaikan golongan gaji setiap
karyawan.
Ketentuan tersebut mengaburkan stratifikasi pekerja. Pada peraturan lama
status PRB biasanya untuk mandor dan kerani (petugas administrasi).
Sedangkan pada aturan baru, PRB dan KHT berada pada jenjang sama.
Dampaknya, bisa jadi karyawan lapangan dengan kerja 20 tahun, golongan
gajinya lebih tinggi dari mandor yang masa kerjanya 5 tahun.

c. Pergeseran Mindset dan Perilaku


Perubahan lingkungan ternyata tidak diikuti perubahan cara pandang insan
perkebunan. Sebaliknya, justru terjadi erosi nilai-nilai kultur planters. Indikasi
disorientasi tersebut diantarany adalah:

225
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

1) Runtuhnya Hierarki
Untuk mempertahankan garis komando berjalan efektif maka hierarki
jabatan dan layers strata disusun secara ketat oleh para perintis perkebunan.
Perwujudannya adalah adanya rasa hormat dan patuh kepada pimpinan.
Pimpinan juga disegani karena keteladanannya. Bangunan struktur tersebut
mengalami kemerosotan nilai. Setelah reformasi akhir 1990-an batas hierarki
nyaris tidak ada lagi akibat berkembangnya sikap asertif dan egalitarianisme
yang kebablasan. Akibatnya, wibawa pimpinan menjadi runtuh. Padahal, para
perintis mendesain kehidupan perkebunan mirip militer, yaitu menyatunya
interaksi sosial lingkungan kerja dengan lingkungan di luar jam kerja.

2) Merosotnya Disiplin
Sebagai dampak runtuhnya hierarki dan kehormatan pimpinan maka disiplin
menjadi merosot. Seseorang menjadi tidak merasa risih melanggar norma
sosial dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan sehari-hari. Sistem reward &
punishment yang semakin kabur dan dibatasi oleh PKB, menjadi instrumen
yang tumpul untuk mempertahankan kedisplinan pekerja. Tidak menjadi
tabu karyawan tidak berada ditempat pada jam kerja, mengabaikan perintah
atasan serta tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab secara profesional.
Pimpinan kebun (administrateur) tidak mampu memelihara kedisplinan anak
buahnya karena mereka juga tidak mampu menjaga komitmen dan disiplin
dirinya sendiri.

3) Merebaknya Hedonisme
Lingkungan pemukiman di unit kebun berada pada kawasan yang sama
dengan pemukiman pekerja. Tingkah laku pimpinan dimata pekerja laksana
ikan dalam akuarium. Segala tinduk tanduk dan perilaku atasan akan dilihat,
dinilai dan ditiru bawahan. Perilaku hedonis dengan mengumbar simbul-
simbul aji mumpung akan menjadi virus menular sebagaimana falsafah “Jika
guru kencing sambil berdiri maka murid akan kencing sambil berlari”. Gaya
hidup hedonis diantaranya dilakukan oknum planters dengan membuka kebun
pribadi di sekitar areal perkebunan atau menjalankan insider trading dengan
menjadi pemasok atau mitra perusahaan dengan menggunakan nama orang
lain adalah perilaku yang melanggar norma dan etika planters. Hal itu akan
ditiru bawahan dengan segala dampaknya. Dahulu, para pimpinan perintis

226
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

perkebunan melarang karyawan staf memiliki kebun pribadi pada radius


tertentu di sekitar perkebunan. Tujuannya jelas agar tidak timbul conflict of
interest dan perilaku abuse of power.

4) Legacy
Bahwa salah satu tugas (passion) pimpinan adalah mencetak pemimpin
berikutnya yang lebih baik dari dirinya. Alih generasi menjadi momen krusial
ketika transformasi nilai-nilai tidak tuntas. Salah satu yang diwariskan (legacy)
adalah kehendak untuk memupuk, memelihara dan menumbuh-kembangkan
kultur planters. Untuk itu setiap menerima staf baru (fresh graduate) selalu
di”titip”kan untuk dibimbing para senior (meelopen). Sayang proses tersebut
menjadi tidak efektif ketika pola rekruitmen staf tidak dilakukan rutin
sehinga pada periode tertentu diterima dalam jumlah banyak sehingga proses
“penerusan” nilai-nilai tidak tuntas. Dampaknya, staf-baru tumbuh membawa
budayanya masing-masing yang terputus dari kultur planters.

5) Krisis Kepemimpinan Berketeladanan


Tugas mulia seorang pemimpin adalah menjadi panutan bagi anak buah.
Generasi kepemimpinan perkebunan akhir-akhir ini sepertinya melupakan
peran tersebut. Untuk menjadi pemimpin yang layak diteladani, salah
satu kuncinya adalah harus mampu menjaga diri dari hal-hal yang bisa
menghilangkan martabat. Pemimpin teladan akan mudah men-deliver nilai-
nilai untuk dicontoh. Ia akan menjadi orang tua yang “mengemong” anak
buah, memberikan inspirasi dan motivasi yang mendorong peningkatan
kompetensi, kapabilitas dan integritas. Berkarya bukan semata mencari nafkah,
melainkan didasari atas nilai-nilai agung sebagai perwujudan pewarisan kepada
generasi penerus, ibadah kepada Tuhan dan berhidmat untuk alam semesta.
Itu semua menjadi hal yang langka pada kepemimpinan pasca reformasi.

6) Hilangnya Atmosfer “Kebun”


Ciri kehidupan di perkebunan masa lalu adalah suasana kehidupan sosial yang
“guyub”, diantara anggota komunitas pimpinan maupun karyawan. Kedekatan
tersebut menjadikan seperti tidak adanya “batas” antara permasalahan individu
dengan kelompok. Jiwa korsa sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan
keseharian. Saat ini suasana tersebut tidak tampak lagi. Masing-masing

227
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

orang sibuk dengan urusannya sendiri dan pola hidup karyawan menjadi
individualistis. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi telah merubah
perilaku masyarakat perkebunan. Dahulu ketika televisi dan sepeda motor
belum sebanyak sekarang, banyak aktivitas karyawan yang dilakukan secara
bersama. Setiap sore ada kegiatan oleh raga bersama dan pada malam hari ada
kegiatan kesenian, agama atau budaya. Kegiatan arisan dan anjang sana adalah
bagian dari memupuk kebersamaan masyarakat perkebunan zaman dulu.
Saat ini ikatan sosial komunitas perkebunan menjadi semakin longgar dan
bahkan penyakit sosial seperti narkoba sudah merebak dan mulai mengganggu
ketenangan kehidupan di pemukiman perkebunan dengan segala dampak
negatifnya.

4. Revitalisasi dan Reaktualisasi Kultur


Planters
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa
revitalisasi adalah perbuatan menghidupkan kembali sesuatu yang bernilai
menjadi vital, penting, bermakna atau diperlukan kembali. Sedangkan
reaktualisasi adalah perbuatan mengaktualisasi kembali, menghidupkan
kembali, menggiatkan kembali, penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai lama
dalam kehidupan masyarakat. Kultur Planters adalah suatu tradisi, aturan,
keyakinan, simbol-simbol yang dimiliki dan diakui bersama sebagai landasan
dan pedoman perilaku dalam kehidupan kedinasan dan sosial di lingkungan
masyarakat perkebunan.
Revitalisasi merupakan jawaban bagaimana mengembalikan nilai-nilai yang
dahulu telah berjasa membawa trasformasi budaya korporasi pertanian di
Indonesia. Tentu saja globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang
sering disebut sebagai revolusi industri keempat (4.0) akan berdampak bahwa
kita tidak bisa menerapkan kultur warisanmasa lalu apa adanya. Diperlukan
penyesuaian dengan kondisi aktual kekinian. Untuk itu perlu reaktualisasi
agar kultur planters tetap relevan dan kontekstual dengan budaya masa kini.
Dengan demikian, bisa menjawab tantangan dan dinamika sosial budaya yang
terjadi didalam dan di luar lingkungan perkebunan.

228
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

Diskursus perlunya revitalisasi dan reaktualisasi kultur planters mengemuka


semenjak sejak masuknya sektor swasta tahun 1980-an. Korporasi swasta yang
tiga puluh tahun lampau mengadopsi sistem pengelolaan dari BUMN, kini
menguasai dari sektor hulu dan hilir karena mereka konsisten menerapkan
kultur planters. Eksistensi dan sustainability perkebunan BUMN di masa yang
akan datang akan menghadapi ketidakpastian apabila budaya korporasi tidak
mampu menciptakan iklim kondusif yang berkemajuan (improvement). Untuk
itu, revitalisasi dan reaktualisasi kultur planters dan penguatan kepemimpinan
perkebunan menjadi solusi.

A. Rivitalisasi dan Reaktualisasi


Perumusan kembali nilai-nilai planters (revitalisasi) disesuaikan dengan
perkembangan kekinian (reaktualisasi) dapat dilakukan melalui langkah-
langkah sebagai berikut.

a. Urun Rembug melalui Workshop/Focus Group


Discussion (FGD)
Untuk memperoleh alignment platform kultur planters dari lintas generasi
maka melalui workshop dapat difasilitasi sessi mendengarkan (testimoni) dari
generasi terdahulu/senior. Mereka adalah saksi sejarah yang menerima estafet
kepemimpinan dan nilai-nilai dari para planters bangsa Eropa atau generasi
berikutnya. Kelompok lain yaitu dari generasi yang masuk kerja awal tahun
1980 sampai 1990-an yang saat ini masih berdinas atau sudah pensiun. Mereka
perlu didengar sumbang sarannya untuk memberi masukan bagaimana
mengaktualisasi kultur lama sesuai dengan perkembangan kekinian. Perlu juga
mendengarkan perspektif karyawan pimpinan dari generasi millenium yang
berusia dibawah 40 tahun. Sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan
estafet kepemimpinan 10-20 tahun yang akan datang, mereka perlu didengar
pendapatnya tentang bagaimana kultur planters diaktualisasikan. Merekah
diharapkan dapat mengawal perjalanan perkebunan negara menuju
kejayaannya kembali.

229
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

b. Memetakan Perubahan Lingkungan


Melalui tim adhoc/taske force selanjutnya dipetakan faktor obyektif perubahan
lingkungan eksternal yang menjadi unsur peluang dan ancaman bagi
kehidupan pekebunan di masa yang akan datang. Peluang dan ancaman
bisa saja berdimensi lokal, domestik, regional dan global. Dengan demikian
perumusan nilai-nilai planters menjadi kontekstual dengan perubahan
lingkungan.
Secara internal juga perlu dipetakan kekuatan dan kelemahan organisasional,
proses bisnis (value change dan supply chain). Meliputi juga kekuatan
dan kelemahan setiap layer jabatan mulai dari direksi sampai karyawan
pimpinan dan karyawan pelaksana. Termasuk kompetensi (expertise) apa
yang diperlukan insan perkebunan mengantisipasi dan merespon dinamika
perubahan lingkungan yang berkangsung cepat. Termasuk mengantisipasi
dinamika lingkungan perkebunan yang terkait dengan tanggung jawab sosial
dan lingkungan alam.

c. Merumuskan Kultur Baru


Kultur korporasi yang baru harus didefinisikan dengan jelas agar dapat
menjawab tantangan perubahan lingkungan. Meliputi nilai-nilai utama
(core values) yang harus ditumbuhkembangkan agar mampu menggerakkan
organisasi menghadapi persaingan di era revolusi industri 4.0. Tim ad hoc
memiliki peran sentral untuk membantu perumusan desain visi-misi, arah
kebijakan, strategi dan tag-line.

d. Perumusan Pedoman Perilaku


Pedoman perilaku kultur planters baru harus disusun ulang. Meliputi panduan
etik tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Termasuk menyusun
tradisi, kebiasan maupun simbul-simbul perilaku dan budaya yang harus
dipedomani.
Juga perlu dirumuskan kegiatan yang mampu memperkuat kohesi,
kesetiakawanan dan peningkatan kompetensi. Media seperti pertemuan
lingkaran pagi, in house training, field-day dan mill-day, saresehan dan
family gathering perlu didefiniskan dan di-setting ulang lebih terstruktur.
Komunikasi dengan pemangku kepentingan, terutama masyarakat sekitar

230
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

perlu diagendakan agar terbangun hubungan mutualistis dan interdependable.


Demikian juga kegiatan olah raga, kesenian, keagamaan, arisan dan senam pagi
bersama perlu ditumbuhkembangkan agar ikatan sosial masyarakat menjadi
kuat, sekaligus dapat menyalurkan bakat dan hobby hal-hal yang positif.
Selanjutnya kultur dan pedoman perilaku disosialisasi kepada seluruh
pemangku kepentingan, khususnya karyawan untuk mendapatkan feedback
untuk penyempurnaan. Selanjutnya, diimplementasi dengan pengawalan
atasan dan coaching dari tim supervisor berada dibawah kendali pimpinan
perusahaan. Disseminasi kultur planters secara skematis dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 11. 3 Proses Disseminasi Kultur Planters

5. Kepemimpinan Perkebunan
Peran pemimpin sangat menentukan sukses organisasi mencapai tujuannya.
Pemimpin adalah teladan, guru, pembimbing dan sebagai penjaga gawang
nilai-nilai, kultur dan moralitas. Pemimpin berkarakter akan mampu
mengawal perubahan dan memberdayakan seluruh potensi sumber daya
perusahaan. Tuntutan peningkatan kapasitas kepimimpan perkebunan
menghadapi tantangan baru, paling tidak membutuhkan modalitas sebagai
berikut:

231
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

a. Kompetensi (Expertise) Kepemimpinan Unggul


Diantaranya adalah mampu membuat perencanaan, memutuskan,
menjalankan dan mengevaluasinya dari waktu ke waktu. Seorang pemimpin
harus mampu mengelola organisasi yang terdiri dari struktur, sistem, strategi,
skill, SDM, style dan share values guna mencapai tujuan perusahaan. Seorang
pemimpin juga harus berani membuat diskresi atas pertimbangan matang,
agar keputusan yang diambil memiliki legitimasi.
Untuk itu diperlukan prasyarat kapasitas kepemimpinan antara lain sebagai
berikut:

1) Kepemimpinan Berbasis Pengetahuan (Knowledge)


Seorang pemimpin harus mengetahui tugas pokok dan fungsinya secara detail
dan menyeluruh berdasarkan pengetahuan yang memadai. Dengan demikian,
setiap keputusan yang dibuat sudah berdasarkan data dan informasi yang
cukup sesuai dengan fakta dan kebutuhan organisasi.

2) Keputusan Berbasis Keilmuan (Scientific)


Penggunaan analisis yang valid dan reliable terhadap data dan informasi akan
menghasilkan keputusan yang legitimate secara keilmuan. Rekomendasi studi
kelayakan, analisis investasi serta hasil intelegence pasar merupakan contoh
bagaimana keputusan ditetapkan setelah melalui serangkaian pemetaan dan
analisis.

3) Kecepatan Mengeksekusi (Speed)


Momentum bisnis memiliki dimensi ruang dan waktu, yang bisa berubah
dengan setiap saat. Untuk itu kecepatan membuat keputusan merupakan
kunci memenangkan persaingan. Pertimbangan yang cepat, tepat dan akurat
adalah kunci sukses memenangkan persaingan.

232
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA

4) Keberanian Bertindak (Gut)


Tugas seorang pemimpin adalah membuat keputusan dan menjalankannya.
Keberanian yang didasari keyakinan terhadap hasil analisis berbasis
pengetahuan dan keilmuan dengan mempertimbangkan aspek good corporate
governance menjadi landasan kuat bagi dasar pertimbangan sebuah keputusan
bisnis.

5) Ketahanan (Endurance)
Kemampuan menghadapi tekanan dalam waktu lama merupakan salah
satu elemen yang menjadikan seseorang tangguh menghadapi rintangan
dan hambatan. Kegagalan bukan akhir dari segalanya. Untuk mencapai
keberhasilan terkadang harus melewati berbagai ujian. Pribadi yang kuat akan
mampu mengatasi tekanan internal dan eksternal dalam persaingan bisnis.

b. Strong Leadership
Yaitu memiliki kemampuan, talenta dan keberanian mengeksekusi rencana
kerja, mengerahkan dan mengendalikan organisasi bekerja sesuai dengan
arahan dan aturan organisasi serta keberanian menindak setiap pelanggaran
terhadap ketentuan yang berlaku.

c. Role Model
Seorang pemimpin adalah pembawa bendera (flag carrier) yang sering
diidentikan personalitinya dengan korporasi. Kedudukannya sebagai simbul
dari karekter perusahaan. Oleh sebab itu, ia harus mampu memerankan
dirinya sebagai tokoh panutan. Pemimpin dituntut menjadi pribadi yang
mampu memimpin perubahan (change leader).
Agar setiap anggota organisasi mampu menjalankan peran sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya maka seorang pemimpin harus mampu mengangkat
kapasitas SDM melalui peran sebagai berikut:

233
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

1) Memberdayakan (Empowerment)
Tugas pemimpin adalah meraih sasaran dan tujuan perusahaan melalui SDM
yang ada dalam kendalinya. Untuk itu kemampuan memberdayakan SDM
menjadi kunci sukses. Setiap anggota organisasi harus mampu meningkatkan
peran dan fungsinya melalui peningkatan kapasitas dan komitmen guna
mempersembahkan kinerja terbaik.

2) Membimbing (Coach)
Seorang pemimpin memiliki peran sebagai pembimbing bagi anak buah.
Tujuannya agar setiap orang dapat memperoleh arahan yang tepat dalam
menjalankan tugas sesuai sistem dan prosedur yang berlaku. Melatih dan
memastikan setiap orang dapat meningkatkan peran dan kontribusinya bagi
perusahaan.

3) Memotivasi (Motivating)
Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat dan gairah kerja
anggotanya. Menjadi tempat mengadu dan pemberi solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi serta mampu menstimulasi semangat anak buah
dari waktu ke waktu.

4) Mengarahkan (Envisioning)
Pemimpin merupakan nakhoda atau dirigen yang menjadi penunjuk jalan
bagi arah kebijakan perusahaan. Harmonisasi dan keselarasan akan tercipta
ketika setiap orang memiliki cara pandang yang sama dalam mewujudkan
tujuan perusahaan. Tugas seorang pemimpin menjadi pelita bagi seluruh
jajaran manajemen, membimbing dan mengarahkan organisasi mencapai
tujuannya.

5) Menginsipirasi (Inspiring)
Pemimpin harus bisa memberikan perspektif kepada anak buah. Setiap orang
menjadi bergairah untuk berpikir dan bermimpi melampaui (beyond) dimensi
ruang dan waktu. Melalui inspirasi pimpinan maka setiap orang tergerak
untuk menggunakan kapasitasnya, memperjuangkan mimpi-mimpinya demi
kemajuan perusahaan.

234
DAFTAR PUSTAKA

Affandi KM. 2015. Sejarah Kesehatan Kuli Kontrak di Perkebunan, Senem


bah Maatschappij 1882–1942 [Skripsi]. Fakultas Ilmu Budaya USU,
Sumatera Utara.
Allen GC, Donnithorne AG. 1957. Western Enterprises in Indonesia and
Malaysia: A study in Economic Development. London. Allen & Unwin.
Anonim. 2015. Statistik Teh. Direjen Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Anderson John. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala
Lumpur/London; Oxford University Press.
Arsip Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, No. 418/A2, Arsip Nasional
Republik Indonesia.
Arsip Mailrapporten, 7 Februari 1922 No. 843, Arsip Nasional Republik
Indonesia.
Basarshah TLS. 2006. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatra
Timur. Medan. Yayasan Kesultanan Serdang.
Booh Anne et al. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta. LP3ES.
Breman. 1997. Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad
ke-20. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Broesma R. 1919. Oostkust van Sumatra. Batavia. Javasche Boekhandel de
Druk- Kerij.
Budi Agustono. 1996. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia dan
Sengketa Agraria di Sumatra Utara.  Kongres Nasional Sejarah 1996
Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Depdikbud, Jakarta.
Burger DH. 1962.  Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta.
Pradnyaparamita.
Cowan D. 1961. Economic Development of Southeast-Asia. London.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Craig AL. 1971. The Javanese as Emigrant: Observation on the Develop-ment of


Javanese Settlements Overseas, Indonesia, No. 11, April 1971.
Daliman A. 2001. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem Politik
Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. FISE-UNY.
Darmiati. 1996. Perpindahan Penduduk dari Kolonisasi/Emigrasi Hingga
Transmigarsi. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika
Sosial Ekonomi. Depdikbud, Jakarta.
De Waard J. 1934. “De Oostkust van Sumatra”, Tijdsrift voor Economisch
Geographie, No. 7 Juli 1934.
Die, Ong Eng. 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917–1942.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Djoened Poesponegoro, Marwati. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Balai
Pustaka, Jakarta.
Elson RE. 1978. The Cultivation Sytem and Agricultural Involution. Centre of
Soutehast Asia Studies, Monash University, Melbourne.
Erman, Erwiza. 1985. Pemberontakan Sunggal 1872 di Deli: Jawaban
terhadap Perubahan Sosial, Dalam Masyarakat Indonesia, Lembaga
Riset Kebudayaan Nasional LIPI, Tahun ke XII, Jakarta.
Fasseur, Cornelis. 1992. The Politics of Colonial Exploitation Java: The Dutch
and the Cultivation System. Soutehast Asia, Program, Ithaca, New
York.
Fauzi Noer. 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Furnivall JS. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk.
Jakarta: Freedon Institute.
Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change
in Indonesia. Barkeley: University of California Press.
Ghani MA. 2003. Budidaya Teh. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.
Gordon, Alec. 1982. Indonesia, Plantation and Post Colonial Mode of
Production. Journal of Contemporary Asia. (12).
Hayasi Y. 2002. Agencies and Clients: Labour Recruitment in Java, 1870s-
1950s. Amsterdam. CLARA Working Paper. 14.

236
DAFTAR PUSTAKA

Jan, Breman. 1992. Koelies, Planters en Koloniale Politiek. KITLV Uitgeverig.


Day, Clive, Leiden.
Jan, Breman. 1997. Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun,
dan Kuli di Sumatra Timur pada awal Abad ke 20. Jakarta: Penerbit
Grafiti.
Joseph O’Malley, William. 1988. “Perkebunan 1830–1940: Ikhtisar” dalam
Anne Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Kartodirdjo S, Suryo J. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-
ekonomi. Yogyakarta: Aditiya Media.
Kartodirjo S. 1987. Sejarah Indonesia dari Imperium ke Emporium. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Umum.
Kartodirdjo S. 1998. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kian Wie, The. 1969. Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic
History of East Sumatra, 1863-1942 [disertasi]. PhD Thesis, The
University of Winsconsin.
Langeveld HJ. 1978. Arbeidstoestanden op de Ondernemingen ter Oostkust
van Sumatra Tussen 1920 en 1940 in het Licht van het Verdwijnen van
de Poenale Sanctie op de Arbeidscontracten. Economisch en Sociaal-
Historisch Jaarboek.
Leiressa RZ. 1996. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Lindblad J, Thomas. 2009. The Economic Decolonization of Sumatra. New
Zealand Journal of Asian Studies 11, 1 (June 2009).
Lindblad J, Thomas. 2006. Macroeconomic Consequences of Decolonization
in Indonesia. Paper presented at the XIVth conference of the International
Economic History Association, Helsinki, 21–25 August 2006.
Locher-Scholten, Elsbeth. 1992. The Nyai in Colonial Deli: A Case of Supposed
Mediation dalam Sita van Bemmelen, dkk. (ed.), Women and Mediation
in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Lulofs, Madelon. 1984. Koeli. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Press.
Lulofs MH, Szekely. 1985. Berpacu Nasib di Kebun Karet. Terjemahan.
Jakarta: Grafiti Pers.

237
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas


Tanah di Sumatra Timur (1800–1975). Bandung: Penerbit Alumni.
Meilink-Roelofsz MAP. 2016. Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara:
Sejarah Perniagaan 1500–1630. Jakarta: Komunitas Bambu.
Michael van. 1990. “Sumatra Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam
Sebuah Keresidenan di Sumatra” dalam Audrey R. Kahin (Ed.).
Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan (Terjemahan). Grafiti
Pers. Jakarta.
Langenberg M. 1977. ”Revolution in North S umatra, Sumatra Timur and
Tapanuli, 1942–1950” [Disertasi]. University of S id ney.
Mubiyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Adiyta Media.
Niel, Robert van. 1992. Java Under The Cultivation System. KITLV Uitgeverij
Leiden.
Niel, Robert Van. 2009. Muculnya Elit Modern Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Jaya.
Nasrul, Hamdani. 2012. Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga
Kekuasaan 1930–1960. Jakarta: LIPI Press.
O’Malley, William Joseph. 1988. “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam
Anne Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.). Sejarah
Ekonomi Indonesia. Terjemahan. Jakarta: Penerbit LP3ES.
PPKS. 2016. Seabad Riset & Pengembangan Kelapa Sawit dan Perannya pada
Masa Depan (ppt). IPOS-Forum, Medan, 1–2 September 2016.
Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjua-
ngan Agraria di Sumatra Timur, 1863–1947. Jakarta: Sinar Harapan.
Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan
Petani. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Peter, Boomgaard. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi
Jawa 1795–1886. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed.). 1984.
Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. PN Balai Pustaka, Jakarta.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200–1400. Jakarta: Penerbit
Serambi.

238
DAFTAR PUSTAKA

Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan


di Sumatra, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Reid, Antony. 1970. “Early Chinese Migration into North Sumatra” dalam
Jerome Ch’en and Nicholas Tarling (Ed.), Studies in the Social History
of China and Soutehast Asia. London: Cambridge University Press.
Reid, Anthony. 1971. The Blood of Teh People Revolusion and The Traditional
Rule in North Sumatra, England: Oxford University Press.
Reid, Anthony (ed). 2010. Soematera Tempo Doeloe Dari Marco Polo
sampai Tan Malaka. Jakarta . Komunitas Bamboe.
Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680 (Jilid
I), Yayasan Pustaka Obor, Jakarta
Reid, Anthony. 2015. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid
II), Yayasan Pustaka Obor, Jakarta.
Rutgers, AAL. 1922. Investigation on Oilpalms. Drukkerij Ruygrok & Co.
Batavia.
Said, Mohammad. 1977. Koeli Kontrak Tempoe Doeloe: dengan Derita dan
Kemarahannya. Waspada, Medan.
Said, Mohammad. 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo
Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya. Waspada, Medan.
Sairin S. 1991. Tingkat Upah Buruh Perkebunan di Sumatra Utara. Majalah
Prisma. 4 April 1991.
Schadee WHM. 1919. Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust. Oostkust van
Sumatra-Instituut, Amsterdam.
Sinar TL. 1987. Perang Sunggal 1872–1895. Medan: Percetakan Perwira.
Situmorang, Manginar, Parsaoran. 2009. Sistem Pengupahan Di Perkebunan.
Medan. Penerbit KPS.
Soegiri DS, Cahyono E. 2003.  Gerakan Serikat Buruh, kolonial Hindia
Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra.
Suroyo AM, Djuliati. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di
Karesidenan Kedu, 1800–1890. Jakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Suwidji Kartonagoro. 1975. Belajar Membaca Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

239
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996

Szekely-Lulofs, MH. 1937. Trofic Fever: The Adventure of a Planter in Sumatra.


New York: Harpe.
Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan
Sumatra, 1870–1979. Yogyakarta: Penerbit Karsa.
Suparlan, Parsudi. 1976. The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically
Plural Society [disertasi]. USA: University of Illionis.
Suwirta, Andi. 2002. Buruh Perkebunan di Sumatra Timur: Sebuah Tinjauan
Sejarah. HISTORIA. Jurnal Pendidikan Sejarah. 5(III).
Szekely-Lulofs, Madelon H. 1931. Koeli. Bureau B.V, Holland.
Tan, Mely G. 1979. Golongan Etnik Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Lekanas-LIPI, Jakarta.
Tidenan J. 1919. Penampungan Kuli Kontrak di Pantai Timur Sumatra.
Kolonial Studien.
Van De Waal R. 1959. Richtlijnen Vorr een Ontwikkeling voor de Oostkust van
Sumatra [disertasi].Wageningen.
Van Leur JC. 1983. Indonesian Trade and Society Essay in Asian Social And
Economic History. Dordrecht Publications.
Walt, Eric R. 1982. Europe and The People Without History. Barkeley:
University of California Press.
Weisfelt, Jacobus. 1972. De Deli Spoorweg Maatschappij as Factor in a
Economische Ontwikkeling van de Oostkust van Sumatra. Broder Offset
NV, Rotterdam.
Wie, The Kian. 1977. Plantation Agriculture and Export Growth and Economic
History of East Sumatra 1863–1942. Jakarta: Lekanas-LIPI.
Wijaya N. 2001. Kekaisaran Kompeni Kecil: Korupsi, Kolusi, Nepotisme
Abad 19. Yogyakarta: Penerbit Mahavhira.
Willmott B. 2004. Chinese Contract Labour in The Pacific Islands During The
Nineteenth Century. The Journal of Pacific Studies. 27(2).

240
PROFIL PENULIS

Mohammad Abdul Ghani, lahir di Pekalongan 17


Desember 1959. Menamatkan SMA Muhammadiyah
Pekalongan 1980 dan lulus dari IPB Tahun 1984.
Gelar Magister Sains dari Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta diselesaikan disela-sela waktu kerjanya
pada akhir 2007. Penulis menyelesaikan pendidikan
doktoralnya di Perencanaan Wilayah, Universitas
Sumatera Utara (USU) di Medan awal tahun 2016.
Sejak menamatkan pendidikan sarjana, penulis berhidmad di perusahaan
Badan Usaha Milik Negara hingga kini. Masa kerjanya lebih dari tiga dasa
warsa sebagai praktisi dan minatnya yang kuat untuk memperluas basis
pengetahuan, serta pengalamannya menjadi anggota tim pengembangan
korporasi dan memperoleh kesempatan melakukan benchmark di dalam dan
luar negeri, memperkaya khazanah pengetahuan dan menjadi modal utama
menuliskan refleksi pengalaman dan pemikirannya menjadi sebuah buku.
Karya tulis terdahulu yang telah diterbitkan yaitu Dasar-dasar Budidaya Teh
(Penebar Swadaya 2003), Manajemen SDM Perkebunan (Ghalia-Indonesia
2003) dan The Spirituality in Business (Penerbit Pena 2005), CSR Berbasis
Komunitas (IPB Press 2016). Buku ini merupakan karyanya yang kelima dan
masih menyusul dalam finalisasi, yaitu Restorasi Korporasi, Guidance IPO
Perusahaan dan Pemasaran Komoditas.

Anda mungkin juga menyukai