di
Tanah
DELIDinamika Perkebunan
Sumatra Timur
1863–1996
J E JA K P L A N T E R S
di
Tanah
DELIDinamika Perkebunan
Sumatra Timur
1863–1996
C.3/05.2019
Judul Buku:
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan di Sumatra Timur
1863–1996
Penulis:
Dr. Mohammad Abdul Ghani
Editor:
Helda Astika Siregar
Desain Sampul & Penata Isi:
Ardhya Pratama
Sumber Ilustrasi Sampul:
Tropen Museum
Korektor:
Nopionna Dwi Andari
Dini Ayu Lestari
Jumlah Halaman:
242 + 24 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, November 2016
Cetakan 2, Mei 2017
Cetakan 3, Mei 2019
ISBN: 978-979-493-998-7
Pengalaman bekerja lebih dari tiga dasa warsa di perkebunan Sumatera Utara
memperkaya khazanah pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana
korporasi telah dikelola dengan landasan profesionalitas dan dedikasi para
pelakunya. Kedisiplinan yang tinggi, kecintaan terhadap profesi, dan jiwa korsa
yang kuat merupakan unsur-unsur kekuatan kultur perkebunan. Peran para
pengelola yang sering juga disebut sebagai planters, sejak diperkenalkannya
perkebunan berbasis komersial pada tahun 1863, memiliki kontribusi besar
dalam pembentukan nilai-nilai tersebut.
Telah banyak buku yang ditulis para sejarawan namun menurut saya mereka
cenderung menggunakan sudut pandang yang stereotip. Hal itu bisa dimaklumi
karena mereka bukan pelaku sehingga tidak bisa menangkap nuansa yang
terjadi dalam dinamika pengelolaan perkebunan. Lingkungan kerja di daerah
terpencil (remote area), budaya patronase dan adanya irisan kepentingan sosial
ekonomi dengan masyarakat sekitar menjadi variabel yang memengaruhi
terbentuknya karakter spesifik budaya perkebunan. Kegundahan terhadap
munculnya stigmatisasi, bias opini, mitos, dan stereotip yang keliru tentang
dunia perkebunan menjadikan dorongan untuk menuliskan fakta-fakta yang
selama ini belum terungkap.
Kehadiran buku ini penting untuk memberikan informasi berimbang tentang
bagaimana perkebunan dikelola dan dampak positifnya terhadap kemajuan
sosial-ekonomi masyarakat. Sektor perkebunan telah berperan sebagai
penghasil devisa, pencipta ratusan ribu lapangan kerja, berkontribusi terhadap
pengembangan wilayah dan pembangunan peradaban. Faktanya, kemajuan
berbagai aspek kehidupan di Provinsi Sumatera Utara saat ini sedikit banyak
merupakan berkah dari pembangunan perkebunan satu setengah abad
lampau.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Dengan selesainya naskah buku ini, penulis menyampaikan terima kasih atas
bantuan banyak pihak yang tidak bisa dikemukakan satu persatu. Terutama
testimoni para mantan administrateur dan staf senior perkebunan sebagai
pelaku sejarah yang ikut serta membesarkan perkebunan sebelum nasionalisasi
dan sesudahnya. Mereka telah memberikan perspektif baru diluar justified
yang selama ini terbangun di kalangan mainstream.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Sudjai Kartasasmita, pakar dan pelaku
sejarah yang telah lebih tujuh dasawarsa berkiprah pada industri perkebunan
di dalam dan luar negeri hingga kini. Beliau telah memberikan informasi yang
belum pernah diungkap selama ini tentang bagaimana perkebunan dikelola
oleh generasi terdahulu. Penulis merasa berbesar hati atas kesediaan beliau
memberikan kata pengantar buku ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada istriku Risky yang sering terganggu
tidurnya di tengah malam karena aktivitas penulisan buku ini.
Semoga kiranya bermanfaat bagi seluruh pembaca.
vi
KATA PENGANTAR
viii
KATA PENGANTAR
ix
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Soedjai Kartasasmita
x
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... v
KATA PENGANTAR............................................................................... vii
DAFTAR ISI.............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL.......................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR................................................................................xvii
I. PENDAHULUAN............................................................................. 1
xii
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.2 Ekspor Tembakau Jawa dan Luar Jawa 1870–1930........................... 22
3.1 Pertumbuhan Perkebunan Sumatra Timur 1864–1904..................... 46
4.1 Komposisi Pekerja Perkebunan Sumatra Timur 1884–1929............. 63
4.2 Komposisi Etnis Penduduk Sumatra Timur 1930 versus 1943.......... 63
5.1 Komposisi Etnis Pekerja Perkebunan Sumatra Timur 1884–1929..... 67
5.2 Komponen Ransum Catu Pekerja Perkebunan di Sumatra Timur...... 70
5.3 Tenaga Migran dari Jawa ke Sumatra Timur 1909–1940.................. 75
5.4 Komposisi Pekerja Cina dan Jawa di Perkebunan Sumatra Timur
1883–1930........................................................................................ 79
5.5 Komposisi Penduduk Sumatra Timur 1900–1915............................ 79
9.1 Arus Investasi di Sumatra Timur 1913–1929.................................. 129
9.2 Investasi Asing di Sumatra Timur 1913–1932................................. 130
9.3 Areal Konsesi Perkebunan Deli Maatschappij................................... 135
10.1 Perkembangan Luas Areal Teh Indonesia 1967–2015..................... 186
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Simbol Merek Dagang VOC.......................................................... 11
2.2 Penyerahan Hasil Bumi Program Tanam Paksa ke Pemerintah
Hindia Belanda............................................................................... 13
2.3 Sebaran Wilayah Pengusahaan Komoditi Perkebunan
Sumatra Timur 1864–1945............................................................ 16
2.4 Pabrik Gula di Jawa, (1900)........................................................... 17
2.5 Proses Panen/Tebang Tanaman Tebu, 1904................................... 18
2.6 Loko Pengangkut Tebu dari Lapangan ke Pabrik Gula...................19
2.7 Tanaman Tembakau Siap Panen di Kebun Bulu Cina, (1912).......21
2.8 Pekerjaan Menyeleksi Tembakau, (1910)....................................... 22
2.9 Fermentasi Tembakau di Kebun Sampali, (1890)................................. 23
2.10 Seleksi Mutu Tembaku Deli, (1894).............................................. 24
2.11 Rumah Administrateur Kebun Tembakau, (1870).......................... 25
2.12 Proses Pengepakan Tembakau, (1900) ........................................... 26
2.13 Hamparan Tanaman Karet, (1905)................................................ 26
2.14 Asisten Afdeling Mengontrol Tanaman Karet................................. 27
2.15 Trend Peningkatan Ekspor Karet Indonesia 1890–1914................28
2.16 Hamparan Tanaman Kelapa Sawit Muda, (1921)..........................29
2.17 Administrateur Menginspeksi Kebun Kelapa Sawit
pada Awal ke-20............................................................................. 31
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
xviii
DAFTAR GAMBAR
xix
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
xx
DAFTAR GAMBAR
xxi
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
xxii
DAFTAR GAMBAR
xxiii
BAB I.
PENDAHULUAN
Esensi membaca sejarah masa lalu adalah sebagai ikhtiar melakukan retrospeksi.
Pembelajaran untuk menatap ke depan, meneruskan hal-hal yang baik dan tidak
mengulangi kesalahan sama yang dilakukan generasi sebelumnya. Menjelajahi
sejarah perjalanan perkebunan masa lalu juga penting untuk menghargai karya
para pendahulu atas kerja kerasnya membangun perkebunan di Sumatera
Utara (dulu disebut sebagai Sumatra Timur atau Oostkust Sumatra).
Pengembangan perkebunan di Sumatera Utara seratus lima puluh tahun
lalu cukup fenomenal atas beberapa alasan. Pertama, bersifat revolusioner,
karena melompati peradaban pertanian yaitu dari tradisi perladangan
(garden system) yang dijalani masyarakat sekitar. Ketika itu masyarakat belum
mengenal perkebunan yang dibudidayakan dengan pola dan skala komersial
(commercial crops, commercial agriculture). Kalaupun ada produk perkebunan
yang telah diperdagangkan ke manca negara, seperti tembakau dan lada,
pengusahaannya masih pada tataran kerja sambilan, skala usaha kecil,
tidak padat modal dan tenaga kerja. Kedua, pertumbuhan luas dan jumlah
pengusahaan berlangsung cukup pesat. Dalam waktu 10 tahun sejak pertama
kali Jacobus Nienhuys menjejakkan kaki di Belawan tahun 1863, sudah ada
20 perusahaan berinvestasi di sektor perkebunan. Jumlahnya meningkat
menjadi 100 perusahaan dalam waktu kurang dari 25 tahun sejak perkebunan
tembakau pertama kali dibangun (Breman 1997). Ketiga, pembangunan
perkebunan di Sumatera Utara melibatkan migrasi tenaga kerja dalam jumlah
yang cukup besar sehingga merubah secara mendasar perimbangan demografi
aslinya. Sebagai dampak pengiriman tenaga kerja dari Penang, Semenanjung
Malaya dan Pulau Jawa ke Sumatera Utara mulai akhir abad ke-19, saat ini
populasi pendatang yaitu etnis Jawa justru menjadi mayoritas atau mencapai
34% dari total sekitar 13 juta penduduk Sumatera Utara (BPS 2015).
Keempat, Sumatera Utara merupakan perintis pengembangan perkebunan
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
2
BAB I.
PENDAHULUAN
beras, ikan asin, minyak makan, gula, kacang hijau, sabun, susu, teh, garam,
minyak tanah, dan kain bahan pakaian.
Mengukur tingkat kesejahteraan pekerja saat itu harus proporsional, misalnya
membandingkan dengan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar pada
umumnya. Faktanya, kesejahteraan pekerja perkebunan masih lebih baik
dibandingkan dengan tingkat kehidupan masyarakat. Tidak ada catatan bahwa
pernah terjadi bencana kelaparan di antara pekerja perkebunan. Sebaliknya,
saat itu sering terjadi bencana kekurangan pangan dan kelaparan di banyak
daerah pertanian (terutama di Jawa) ketika datang musim paceklik, musim
kemarau panjang atau gagal panen akibat serangan hama dan kekeringan.
Fasilitas kesehatan dan pendidikan untuk anak karyawan umumnya juga
sudah disediakan perkebunan. Tan Malaka merupakan tokoh nasional yang
pernah direkrut sebagai pengawas sekolah khusus yang diperuntukkan bagi
anak karyawan Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa, Deli Serdang
pada awal tahun 1900-an. Pada saat yang sama perkebunan Deli Maatschappij
dan Senembah juga sudah memiliki fasilitas rumah sakit di Putri Hijau dan
di Tanjung Morawa. Perusahaan Handels Vereeniging Amsterdam (HVA)
juga memiliki rumah Sakit Balimbingan, Simalungun (15 km dari Pematang
Siantar) yang berdiri tahun 1926, diperuntukkan melayani karyawan
perkebunan HVA dari level paling rendah sampai pimpinan perusahaan.
Padahal, pada saat yang sama penduduk di luar perkebunan belum menikmati
fasilitas sekolah dan kesehatan yang memadai. Rumah sakit yang dibangun
Pemerintah Hindia Belanda hanya menjangkau sebagian kecil penduduk.
Ekses sosial yang timbul menyertai sejarah perkebunan seperti perjudian
dan prostitusi lebih disebabkan wilayah personal dan bukan sepenuhnya
merupakan kebijakan perusahaan.
Sejarah perkebunan di Sumatera Utara sesungguhnya dimulai dari keberhasilan
Jacobus Nienhuys menanam tembakau pembungkus cerutu kualitas tinggi di
Tanah Deli. Dipercaya bahwa hamparan tanah yang berada diantara Sungai
Ular dan Sungai Wampu merupakan lahan subur yang cocok untuk budi daya
tembakau. Dalam perkembangannya, harga tembakau mulai melandai setelah
dua puluh tahun diusahakan di Tanah Deli. Turunnya kesuburan lahan dan
penerapan kebijakan tarif impor tinggi oleh Amerika Serikat menjadi salah
satu alasan. Penyebab lainnya adalah terlalu besarnya produksi dibandingkan
kebutuhan sehingga pasar kelebihan pasokan.
3
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
4
BAB I.
PENDAHULUAN
5
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
6
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI
PERKEBUNAN DI INDONESIA
8
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
9
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
10
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
11
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
12
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Setelah VOC dibubarkan, sebagai gantinya pada tahun 1830–1970 van den
Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menerapkan sistem
Tanam Paksa (cultuurstelsel). Berdasarkan Lembaran Negara (staatsblad No.
22/1832), Kartodirdjo dan Suryo (1991) merinci ketentuan Tanam Paksa
antara lain sebagai berikut:
a. Sesuai kesepakatan bersama maka penduduk wajib menanam komoditi
unggulan yang laku di pasar Eropa pada lahan miliknya maksimal
seperlima dari total luas tanah di desa. Kegiatan menanam komoditi
tanam paksa tidak boleh melebihi kegiatan rakyat menanam padi.
b. Tanah masyarakat yang menjadi peserta program tanam paksa dibebaskan
dari pajak tanah dan apabila terjadi gagal panen yang bukan disebabkan
kesalahan penduduk maka kerugian dibebankan ke pemerintah.
c. Hasil pertanian dijual kepada pemerintah. Petani memperoleh selisih
antara hasil panen dikurangi pajak yang mesti dibayar.
13
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
14
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
15
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
a. Gula
Kiprah komoditi gula sejalan dengan penerapan kebijakan tanam paksa oleh
Pemerintah Hindia Belamda. Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) digagas
oleh Johannes van den Bosch pada tahun 1830 sebagai upaya memperbaiki
keuangan negari jajahan setelah banyak terkuras untuk membiayai Perang
Diponegoro (Perang Jawa) tahun 1825–1830. Sistem tersebut berisi aturan
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan seperlima luas tanah di wilayah
teritorialnya untuk ditanami komoditi ekspor yaitu gula, kopi, dan nila. Hasil
tanaman tersebut selanjutnya dijual kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah ditentukan. Bagi penduduk desa yang tidak memiliki
sawah diwajibkan bekerja 75 hari dalam setahun di kebun-kebun milik
pemerintah.
Kebijakan yang bertumpu pada pendayagunaan aparat birokrasi tersebut
memberikan keuntungan besar bagi Pemerintahan Kolonial di Jawa.
16
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Sebagai jalan keluar dari tekanan kaum liberal di Parlemen Belanda maka
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan UU
Gula (Suiker Wet) pada tahun 1870. Kedua UU tersebut menjadi landasan
dimulainya era liberalisasi ekonomi yang memberikan peran seluas-luasnya
bagi swasta untuk berusaha di sektor perkebunan. Pemerintah hanya sebatas
sebagai regulator yang memperoleh pemasukan dari pajak dan bea keluar yang
dibebankan kepada pengusaha perkebunan.
Sebelum ditetapkan sebagai komoditi pilihan dalam kebijakan Tanam
Paksa, tanaman tebu sesungguhnya telah dibudidayakan oleh VOC dan
perkebunan swasta yang mendapat konsesi dari pemerintah Hindia Belanda.
Undang-undang Agraria memberi landasan hukum bagi investor untuk
memperoleh konsesi pengusahaan tanah selama 75 tahun. Adapun UU
Gula berisi ketentuan antara lain mewajibkan tebu harus diproses di dalam
negeri (Hindia Belanda) serta kebijakan swastanisasi perkebunan gula milik
pemerintah. Sejak itu, investor diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mendirikan pabrik gula (terutama) di Jawa. Petani tidak diwajibkan menanam
tebu melainkan berdasarkan kesadaran masing-masing atas pertimbangan
memperoleh manfaat bersama (business to business), dilakukan sukarela atas
dasar keuntungan bersama.
17
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
18
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Gambar 2.6 Loko Pengangkut Tebu dari Lapangan ke Pabrik Gula (Tropen
Museum)
19
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
b. Tembakau
Tembakau merupakan komoditi pertama yang ditanam dalam skala
perkebunan di Sumatra Timur. Jacobus Nienhuys adalah perintis yang
memindahkan penanaman tembakau dari Jawa Timur ke Tanah Deli pada
tahun 1863. Hasil jerih payahnya dikirim pertama kali tembakau Deli ke
pasar internasional di Rotterdam pada Maret 1864. Kehadiran tembakau
dari Sumatra Timur ternyata ditanggapi antusias oleh pasar Eropa. Mereka
memuji kualitas tembakau pembungkus cerutu yang dibudidayakan di Tanah
Deli.
Keberhasilan di pasar perdana memperkuat tekad Nienhuys untuk memperluas
perkebunan tembakau dengan cara membangun kongsi bersama GC
Clemen dan PW Janssen pada tahun 1867. Usahanya yang cukup berhasil
telah menarik minat kreditur Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM),
sebuah perusahaan yang didirikan Belanda tahun 1824. Mereka membentuk
firma bersama di Sumatra Timur yaitu NV (naamloze vennootschap) Deli
Maatschappij pada tahun 1869.
Perusahaan perkebunan besar lain yang bergerak dalam budi daya tembakau
diantaranya yaitu Senembah Maatschappij. Wilayah usaha perusahaan tersebut
berada di Deli Serdang dengan kantor pusat di Tanjung Morawa (PTPN
II, sekarang). Pada puncak masa kejayannya yaitu tahun 1888, tercatat ada
148 perkebunan yang mengusahakan tembakau di Tanah Deli. Dari sisi nilai
ekspor, angka tertinggi dicapai pada tahun 1913 yaitu sebesar 50 juta gulden
(Furnivall dalam Kartodirdjo dan Suryo 1991).
20
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Gambar 2.7 Tanaman Tembakau Siap Panen di Kebun Bulu Cina, (1912)
(Tropen Museum)
21
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
22
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
23
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Kini, akibat okupasi lahan, perubahan tata ruang dan timbulnya masalah
sosial, tembakau Deli semakin meredup di pasar Bremen. Jika tidak ada
langkah-langkah yang komprehensif dikhawatirkan kelak, bukan tidak
mungkin tembakau Deli hanya tinggal dikenang dalam sejarah perkebunan
di Sumatra Utara. Nasibnya bisa seperti komoditi nila (Indigofera) dan serat
(Agave americana) yang hilang dari perdagangan. Tanaman nila hilang dari
24
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
c. Karet
Ketika masa keemasan tembakau mulai menurun, setelah hampir 3 dekade
berjaya maka pada tahun 1891 harga tembakau di pasaran Eropa mengalami
kemerosotan tajam yaitu hanya 50% dari harga tahun 1890-an. Sejak itu pasar
tembakau mengalami stagnasi. Mengantisipasi keadaan yang lebih buruk
maka para pekebun tembakau mulai melirik komoditi baru yang memiliki
prospek cerah yaitu karet.
26
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Data yang dikutip Cowan (1961) menunjukkan bahwa luas areal budi
daya karet di seluruh Hindia Belanda pada tahun 1902 hanya mencapai
435 hektare, tahun 1910 sudah mencapai 258.000 hektare dan tahun 1914
meningkat menjadi 591.026 hektare. Volume ekspor karet Indonesia dari
tahun 1890 sampai dengan 1914 meningkat seratus kali lipat. Kenaikan nyata
terjadi mulai tahun 1911 sampai dengan tahun 1914. Dalam kurun waktu
empat tahun ekspor meningkat dari 2.256 ton menjadi 10.236 ton. Angka
lebih rinci dapat dilihat pada gambar 2.15 berikut ini.
d. Kelapa Sawit
Perkebunan kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam
Ulu, Batubara oleh Maskapai Oliepalmen Cultuur dan di Pulau Raja, Asahan
27
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
28
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Sumatra Timur. Sampai tahun 1916 luas kelapa sawit baru mencapai 2.600
hektare. Luas penanaman terus bertambah yaitu menjadi 3.400 hektare
(1918), 6.840 hektare (1920) dan melonjak menjadi 11.228 hektare pada
tahun 1922. Rincian setiap kebun dan luas areal tanam di Sumatra Timur dan
Aceh pada tahun 1922 adalah sebagai berikut: Marihat (1.470 hektare), Pulu
Raja (1.209), Sungai Liput (1.044), Mata Pao (923), Gunung Bayu (812),
Negeri Lama (750), Karang Inoue (543), Tanah Gambus (508), Tanah Itam
Ulu (459), Seleseh (256), Medang Ara (221), Seumadam (196), Denai (195),
Sungai Serdang (138), Padang Halaban (120), Kwala Gunung (100), Padang
Kiara (83), Bandar Bejambu (80), Serang Jaya (60), Rambung Sialang (50),
Tanjung Slamet (41), Piasa Ulu (24), Bandar Siantar (22), Bandar Gambiri
(20), serta kebun lainnya seluas 1.904 hektare.
Dari data yang dikumpulkan Kartodirdjo dan Suryo (1991) menunjukkan
bahwa ekspor minyak sawit dari Sumatra Timur pertama kali terjadi pada
tahun 1920 sebanyak 1.000 ton. Sejalan dengan terus berlangsungnya
peningkatan luas tanaman maka pada tahun 1930 sudah meningkat menjadi
50.000 ton. Peningkatan terus terjadi sehingga pada tahun 1939 volume
ekspor meningkat lagi menjadi 244.000 ton.
29
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
30
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
e. Teh
Teh pertama ditanam di Sumatra Timur pada sebidang tanah percobaan di
perkebunan Rimbun di Deli Hulu pada tahun 1898. Proyek tersebut tidak
diteruskan, karena dinilai tidak mempunyai prospek budi daya. Melalui
kerja kerasnya melakukan percobaan A. Ris seorang pengusaha asal Swis
membuktikan bahwa tanaman teh layak dikembangkan secara komersial di
Sumatra Timur. Akhirnya pada tahun 1910 pemodal Jerman dan Inggris
tertarik berinvestasi mengembangkan perkebunan teh di sekitar Pematang
Siantar.
HVA dan NHM adalah dua di antara perusahaan besar yang turut merintis
pembangunan perkebunan teh di Sumatra Timur sejak tahun 1918. Adapun
perusahaan Inggris yang diwakili oleh Rubber Plantation Investment Trust,
31
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 2.20 Pabrik Teh Pagar Jawa Awal Abad ke-20 (Tropen Museum)
Menurut catatan, pada tahun 1915 luas tanaman teh di Sumatra Timur, yang
umumnya berada di Kabupaten Simalungun hanya mencapai 3.237 hektare.
Namun, pada masa jayanya menurut catatan Pelzer (1985) pada tahun 1938
luas tanaman teh sudah mencapai total luas 21.588 hektare. Wilayah usaha
perkebunan teh bukan hanya di Kabupaten Simalungun melainkan sudah
mencakup wilayah dataran tinggi Kabupaten Tobasa dan Dairi di Sumatra
Timur.
32
BAB II.
PERDAGANGAN KOMODITI PERKEBUNAN DI INDONESIA
Data produksi teh dari Sumatra Timur tidak tercatat khusus namun untuk
Indonesia menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1900 produksinya
masih kurang dari 10 ribu ton per tahun. Capaian produksi meningkat pada
tahun 1913 menjadi 24 ribu ton, tahun 1920 sebanyak 48 ribu ton, tahun
1930 sebanyak 72 ribu ton dan pada tahun 1939 meningkat menjadi 83 ribu
ton. Sebagai pembanding angka produksi tahun 1915 adalah sekitar 140 ribu
ton (BPS 2016).
Pada saat teh mulai dikembangkan di sekitar Pematang Siantar prasarana dan
sarana transportasi di kawasan penanaman teh belum berkembang dengan
baik. Produk teh jadi yang dihasilkan pabrik yang ada di dataran tinggi
Simalungun harus diangkut dengan gerobak dan atau truk ke stasiun Kereta
Api Pematang Siantar. Selanjutnya dikirim ke Pelabuhan Belawan untuk
diekspor ke negara tujuan. Pembangunan jalur kereta api DSM Medan-
Pematang Siantar adalah bagian dari integrasi pelayanan pengangkutan
logistik teh ke Pelabuhan Belawan.
33
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
34
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN
DI SUMATERA UTARA
Sumatera Utara atau dulu lebih dikenal sebagai Sumatra Timur merupakan
teritorial wilayah yang dibatasi oleh Aceh di bagian barat laut, Tapanuli di
barat daya, Bengkalis di tenggara, dan Selat Malaka di timur laut. Karesidenan
Sumatra Timur dibentuk pada tanggal 15 Mei 1873 dengan ibukota di
Bengkalis. Pada masa kolonial Belanda, terdapat sekitar 34 kerajaan lokal di
wilayah tersebut, tetapi yang paling berpengaruh terkait dengan pengembangan
perkebunan adalah Kesultanan Deli, Serdang, dan Langkat (Suwirta 2002).
36
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
dan masif. Mesin uap juga memengaruhi terjadinya peningkatan daya jelajah
kapal dagang Eropa yaitu mampu menjangkau wilayah lautan yang lebih luas.
Sebelumnya kapal niaga dari Eropa mengandalkan arah angin sebagai sumber
penggerak kapal.
Perubahan geostrategis kedua adalah pembangunan Terusan Suez mulai April
1859 oleh Ferdinan de Lesseps dari Perancis. Pembukaan Terusan tersebut
pada tahun 1869 memberikan pengaruh nyata mempersingkat waktu tempuh
kapal laut dari Eropa ke Asia Tenggara. Ketika alur laut masih harus memutari
Benua Afrika melalui Tanjung Harapan-Samudera Hindia, dibutuhkan waktu
pelayaran dua setengah bulan atau sepuluh minggu. Jarak tersebut terpangkas
menjadi hanya enam minggu melalui rute Laut Tengah-Laut Merah-Laut
Arabia-Laut Andaman. Ketika alur laut masih melalui Tanjung Harapan maka
hanya sisi barat Pulau Sumatra yang dilewati kapal-kapal dagang, sehingga hanya
kota-kota seperti Sibolga, Padang dan Bengkulu yang disinggahi. Sebaliknya,
ketika alur pelayaran melalui Terusan Suez maka Selat Malaka menjadi jalur
terpendek menuju Asia Tenggara melewati Aceh, Penang, Malaka dan Belawan.
Perdagangan ekspor komoditi perkebunan dari Sumatera memiliki sejarah
panjang. Pada kurun waktu sebelum berdirinya Vereenigde Oost-indische
Compagnie (VOC) pada tahun 1602, para pedagang dari India, Arab,
Venisia, Spanyol, dan Portugis bisa langsung berlayar ke pusat produksi dan
perdagangan di Asia Tenggara untuk membeli rempah-rempah yang akan
diperdagangkan di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa Barat. VOC
didirikan oleh Raja Belanda sebagai instrumen perniagaan ke daerah seberang
lautan. Setelah berkiprah selama 200 tahun, VOC mengalami kemunduran
akibat salah urus dan korupsi pengelolanya. Memasuki abad ke-19, VOC
mengalami kebangkrutan sehingga perannya diambil alih oleh pemerintah
Hindia Belanda yang berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan
subur, untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi,
tembakau, nila, dan gula. Kebijakan tersebut sekaligus juga untuk menutupi
defisit keuangan akibat Perang Diponegoro yang berkepanjangan (1825–
1930) sehingga menghabiskan banyak sumber daya.
Sejak tahun 1830 pemerintahan Hindia Belanda di Jawa menerapkan
kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yaitu membebankan kewajiban
kepada petani untuk menanam komoditi ekspor dan keharusan menjual
hasilnya langsung atau melalui perantara ke Pemerintah Belanda. Kebijakan
lainnya adalah membuka peluang investasi kepada pengusaha swasta untuk
37
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
38
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
Melalui pendekatan personal yang dilakukan oleh Said Abdullah kepada Sultan
Deli, maka Jacobus Nienhuys berhasil mendapatkan konsesi untuk menggarap
tanah seluas 4.000 bau (1 bau = 0,67 hektare) di tepian Sungai Deli, dengan
masa konsesi 20 tahun. Setelah mengalami kegagalan pada tahun pertama
penanaman dan pecah kongsi dengan perusahaan induknya, maka akhirnya
Nienhuys berhasil mengirim tembakau pertama hasil budi daya sendiri ke pasar
Rotterdam dan ternyata direspon baik oleh pasar. Selanjutnya, pada tanggal
01 November 1869 Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschappij, yaitu
suatu perseroan terbatas yang beroperasi di Hindia Belanda (Breman, 1997).
Penerimaan pasar Eropa terhadap tembakau Deli ikut mendorong perluasan
yang fenomenal budi daya tembakau di Sumatra Timur.
Sebelum Nienhuys datang, sesungguhnya tembakau Deli sudah
diperdagangkan untuk lingkungan lokal dan juga ekspor ke Penang. Ketika
pertama kali membuka perkebunan tembakau, Nienhuys mempekerjakan 88
orang migran Cina dan 23 orang Melayu sebagai buruh kasar. Pekerja diambil
dari Semenanjung Malaya (Strait Settlements), umumnya berasal dari Penang
(Swataw, Amoy, dan Kanton), Singapura dan dari Macao.
40
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
Bisa dicatat bahwa Nienhuys menjadi peletak dasar dan perintis yang
mempromosikan komoditi tembakau pembungkus cerutu sehingga kelak
dikenal sebagai Tembakau Deli. Untuk memperbesar usahanya maka pada
tahun 1869 dikerahkan 900 orang pekerja migran Cina dari Semenanjung.
Sumber pekerja lainnya yaitu etnis Keling (India) dari Koromondel, India,
pekerja Siam dari Muangthai dan pekerja Jawa dari Bagelen, Jawa Tengah.
41
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
42
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
kepada Deli Maatschappij pada 11 Juni 1870, Sultan Deli memberikan hak
pengelolaan perkebunan Mabar-Delitua seluas 12.000 bau dalam waktu lima
tahun. Pada akhir jangka waktu lima tahun Deli Maatschappij memperoleh
perpanjangan hak selama 99 tahun. Pemberian konsesi lain pada 4 Desember
1869, Sultan Deli juga memberikan hak yang sama pengelolaan Kebun
Polonia yaitu tanah antara sungai Deli dan Babura.
Sejak diberlakukan Agrarische Wet pada tahun 1870, yang membolehkan
perusahaan swasta memperoleh konsesi jangka panjang, perkebunan tembakau
di Sumatra Timur tumbuh dengan cepat. Dua puluh tahun setelah tembakau
pertama ditanam pada tahun 1863, pada tahun 1884 telah bertambah luas
pengembangan komoditi tembakau menjadi 76 perkebunan. Rinciannya
yaitu 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang, 2 di Bedagai, dan 1 di Padang.
Sejalan dengan laba perusahaan yang terus meningkat, berkat kemasyhuran
tembaku Deli sebagai pembungkus cerutu terbaik di pasar lelang Rotterdam,
Deli Maatschappij juga mengembangkan komoditi karet, kopi, lada, dan kelapa
sawit. Peran pemodal swasta dalam bidang perkebunan di Sumatra Timur
pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet, kelapa sawit, dan
teh mulai dikembangkan.
Keuntungan tinggi yang diperoleh para pengusaha Tembakau Deli
menjadi magnet bagi investor untuk menanamkan modalnya pada
usaha perkebunan. Jumlah pengusaha perkebunan di Tanah Deli terus
bertambah. Pada tahun 1891 tercatat sebanyak 169 perusahaan, pada
tahun 1916 jumlahnya meningkat menjadi 320 perusahaan. Masing-
masing di Deli Serdang 120 perusahaan, Langkat 67 perusahaan,
Simalungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan (Breman 1997).
Perkebunan karet pertama didirikan di wilayah kesultanan Serdang pada
tahun 1902 oleh perusahaan Inggris yang bergabung dalam Harrison and
Crosfield (H & C). Selain di tanah Deli, perusahaan tersebut juga membuka
kebun karet di Semenanjung Malaya yang menjadi daerah jajahan Inggris.
Pada tahun 1909 didirikan pula Deli Batavia Rubber Maatschappij untuk
mendapatkan konsesi penanaman karet di Tanah Deli. Antara tahun 1909
dan 1914 ada dua perusahaan perkebunan karet di Sumatra Timur yaitu
United States Rubber Company dan Goodyear Rubber Company. Pada periode
ini pembukaan perkebunan karet sudah meluas sampai ke wilayah Simalungun
dan Asahan.
43
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Adapun perkebunan kelapa sawit mulai dibangun tahun 1911 antara lain di
Pulau Raja, Asahan. Pada waktu yang hampir bersamaan tanaman teh mulai
dibudidayakan di dataran yang lebih tinggi dari permukaan laut yaitu di
Simalungun. Dua puluh tahun kemudian dua komoditi ini menjadi tanaman
penting tempat bergantungnya ekonomi perkebunan di Sumatra Timur. Luas
tanah yang ditanami kelapa sawit meningkat dari 2.600 hektare tahun 1915
menjadi 60.000 hektare tahun 1930. Pada kurun tersebut produksi karet
juga mengalami peningkatan dari 6.432 ton menjadi 77.535 ton. Adapun
perkebunan teh Sumatra Timur tahun 1915 baru ditanam seluas 3.237
hektare, namun pada tahun 1938 sudah mencapai luas 21.588 hektare.
Menurut Pelzer (1985) menjelang tahun 1920-an perkebunan di Sumatra
Timur tumbuh bagai jamur di musim hujan. Areal perkebunan terhampar
luas ratusan kilometer dari Medan arah barat-laut menuju perbatasan Aceh.
Dari Medan ke arah selatan sepanjang 120 kilometer menuju Pematang
Siantar dan dari Medan arah tenggara dua ratus kilometer menuju Asahan.
Pertumbuhan jumlah usaha perkebunan selama kurun waktu 40 tahun sejak
1864 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
44
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
45
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Periode 1942–1945
Periode pendudukan Jepang dimulai ketika pasukan negara Tenno Heika
dibawah pimpinan Letnan Jendral Nashimura mendarat di Tanjung Tiram
(Kabupaten Batubara) pada tanggal 12 Maret 1942. Peralihan kekuasaan dari
Belanda ke Jepang pada awalnya disikapi positif oleh sebagian masyarakat
Sumatra Timur sebagai simbul pembebasan dari penjajahan Belanda.
Propaganda tentang misi suci bagi kejayaan Asia Timur Raya telah mengecoh
masyarakat dari tujuan licik Jepang yang ingin menguasai Nusantara.
46
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
47
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Periode 1945–1965
Akibat terlalu lama lahan digarap masyarakat, yaitu sejak pendudukan Jepang
tahun 1942, ekonomi dunia yang hancur akibat perang dan kondisi sosial-
politik-kemananan yang tidak kondusif telah memengaruhi hubungan antara
pemilik lahan (dalam hal ini perusahaan perkebunan) dengan penggarap.
Ketidakpastian masa depan perkebunan telah membuka peluang masyarakat
untuk menguasai lahan yang mereka garap. Bertemunya kebutuhan petani
penggarap untuk menguasai lahan secara permanen dan adanya provokasi dari
organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia, yang berafiliasi ke PKI) menjadikan
penggarap berubah orientasi. Mereka bukan hanya bermaksud sekedar
mengolah tanah, namun juga untuk memiliki secara permanen. Mereka
menghancurkan infrastruktur kebun serta membangun perumahan dan
pemukiman di areal garapan. Iklim politik Sumatra Timur yang labil pasca
PD II juga ikut memberi andil hilangnya lahan perkebunan dalam jumlah
yang sangat luas dalam waktu cepat.
Setelah perang kemerdekaan, masa keemasan tembakau mulai menurun,
sementara prospek karet dan kelapa sawit meningkat tajam. Pada tahun 1950-
an produksi tembakau rata-rata hanya 3.500 ton setahun, padahal sebelum
48
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
49
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
diduduki penggarap diantaranya: Bah Lias (34 % dari 6.749 hektare); Laras
(40% dari 8.461 hektare); Rambutan (48% dari 13.330 hektare); Bandar
Chalipah (38% dari 3.642 hektare); Kwala Namu (58% dari 4.282 hektare)
dan Pagar Merbau (37% dari 5.032 hektare) (Pelzer 1985).
Kondisi sosial politik yang tidak stabil di Sumatra Timur semakin memburuk
sehingga pemerintah mengumumkan keadaan Darurat Perang (state van orlog
an beleg) di Sumatra Timur tanggal 24 Desember 1956. Hal itu sebagai reaksi
ketika Panglima Daerah Militer I Bukit Barisan Kolonel Simbolon membelot
ke pemberontak PRRI dan digantikan oleh Letkol Djamin Ginting. Kasus
perlawanan pekerja kepada pimpinan perusahaan juga kerap terjadi di wilayah
perkebunan yang jauh dari perlindungan tentara pusat. Terjadi pembunuhan
terhadap Mudjito, administrateur pribumi Kebun Bah Butong, Simalungun
pada tahun 1958 yang disergap oleh gerombolan PRRI saat dalam perjalanan
dari Sidamanik ke Pematang Siantar. Ada tiga rangkaian peristiwa atau periode
kekacauan sosial di Sumatra Timur pasca kemerdekaan yaitu Revolusi Sosial,
Pemberontakan PRRI serta Gerakan Kaum Buruh dan Petani yang disokong
oleh Partai Komunis Indonesia.
Revolusi Sosial umumnya terjadi karena dendam kolektif yang memperoleh
momentum ketika kekuasaan negara berada di titik lemah. Masyarakat
merasa tidak puas dengan kebijakan sultan dan penguasa lokal yang
cenderung menguntungkan penjajah dan dianggap tidak mendukung gerakan
kemerdekaan Indonesia. Mereka menganggap para elit feodal merupakan
kaki tangan penjajah yang menyerahkan lahan untuk para kapitalis. Konsesi
yang diberikan para sultan terkadang berada diluar wilayah yurisdiksinya.
Penduduk sekitar juga tidak bisa memanfaatkan lagi sumber daya hutan yang
telah diserahkan hak konsesinya kepada perusahaan dan diubah menjadi
lahan tanaman perkebunan.
Kebencian rakyat terhadap para sultan dan borjuis lokal memperoleh
momentum ketika terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia setelah
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki dan
tentara pendudukan Jepang dilucuti. Rumor akan masuknya Penguasa
Belanda (yang diklasifikasikan sebagai kroni elit lokal) yang membonceng
kemenangan Sekutu, menjadi trigger terjadinya pemberontakan masyarakat.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumatra Timur, namun juga melanda
seluruh wilayah Indonesia. Contohnya adalah meletusnya kerusuhan sosial
50
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
di Jawa Tengah. Lebih dikenal sebagai “Peristiwa Tiga Daerah” yang terjadi
di Karesidenan Pekalongan (Pekalongan, Pemalang, Tegal) pada akhir
tahun 1945. Banyak elit lokal yang menjadi korban, dibunuh oleh rakyat
yang marah. Salah satu kelompok yang berada di balik kerusuhan sosial di
Sumatra Timur yaitu Kelompok Persatuan Perjuangan yang unsur-unsurnya
berasal dari simpatisan dan pengikut PKI, PNI, Gerindo, dan pemuda radikal
lainnya yang menganggap para elit feodal sebagai musuh bersama yang harus
disingkirkan. Menurut Hamdani (2012), revolusi sosial di Sumatra Timur
digerakkan oleh kalangan pergerakan yang kecewa dengan sikap elit feodal
yang kurang mendukung gerakan kemerdekaan. Peristiwa pertama terjadi
3 Maret 1946 ketika Istana Sunggal diserbu. Selanjutnya tanggal 6 Maret
Istana Maemun dikepung rakyat, namun tidak terjadi insiden karena kuatnya
pengawalan pasukan pendudukan Inggris. Penyerangan selanjutnya dialihkan
ke Langkat, Serdang, Perbaungan, Pematang Siantar, Simalungun, Tanjung
Balai, dan Asahan. Di kota-kota tersebut banyak kaum elit lokal yang terbunuh.
Di Tanjung Balai pada 3 Maret 1946 ribuan orang mengepung Istana
Sultan Asahan. Esoknya ditemukan 140 orang bangsawan mati terbunuh
oleh revolusi rakyat. Gerakan tersebut merembet ke daerah lain, seperti di
Simalungun, dimana Raja Pane ikut terbunuh. Pada tanggal 8 Maret Sultan
Bilah dan Sultan Kota Langkat juga menjadi korban. Puncaknya pada tanggal
9 Maret 1946 Penyair Amir Hamzah juga ikut menjadi korban kerusuhan
sosial. Sultan Serdang selamat karena kuatnya penjagaan oleh pasukan tentara
pusat (Tentara Republik).
Pada tahun 1950 sebanyak 700.000 buruh perkebunan di Jawa dan Sumatra
yang diprakarsai oleh SARBUPRI melakukan mogok nasional. SARBUPRI
yang berdiri 17 Februari 1947 mendapat dukungan dari SOBSI yang didirikan
pada 29 November 1946. Organisasi ini memperoleh dukungan luas dari
simpatisan komunis dengan klaim jumlah anggota pada tahun 1960 sekitar 3
juta orang. Dalam aksinya mereka banyak melakukan tindakan sabotase dan
kekerasan. Tercatat ada seorang asisten pabrik teh di Kayu Aro, Jambi yang
dibunuh oleh simpatisan SARBUPRI menjelang meletusnya G 30S/PKI.
Gerakan buruh ketika itu mendapatkan perlawanan dari SBM (Serikat Buruh
Marhaenis yang berafiliasi ke PNI) yang berdiri tahun 1952 dan SBII (Serikat
Buruh Islam Indonesia) yang berafiliasi ke Masyumi (Majlis Syura Muslimin
Indonesia). SBII selanjutnya berubah menjadi GASBIINDO (gabungan
Serikat Buruh Islam Indonesia) setelah Masyumi dibubarkan karena dituduh
51
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
52
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
53
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
RI pada Desember 1957 bahwa lebih dari 500 perkebunan Belanda atau
sekitar 75% dari seluruh perkebunan di Indonesia dikelola di bawah
pengawasan militer. Menurut Menteri Pertanian Sadjarwo, pengambilalihan
ini dimaksudkan untuk melindungi pabrik dan instalasi perkebunan lainnya
selama masa agitasi politik, sehingga proses produksi tidak sampai terhenti.
Perkebunan-perkebunan tersebut akan dikembalikan kepada para pemiliknya
jika Belanda setuju untuk menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah
Indonesia. Perusahaan yang dinasionalisasi tahun 1957 selanjutnya berada
dibawah pengawasan PPN-Baru dan Jawatan Perkebunan dan tidak
digabungkan ke dalam struktur PPN yang telah ada sebelumnya (sering
disebut PPN-Lama) (Pelzer 1991).
Cakupan perusahaan yang dinasionalisasi menurut UU No. 88 Tahun
1958 yaitu: Pertama, perusahaan yang seluruh atau sebagian merupakan
milik perseorangan warga negara Belanda dan berkedudukan dalam wilayah
Republik Indonesia. Kedua, perusahaan milik suatu badan hukum yang
seluruh atau sebagian modal perseroannya berasal dari perseorangan warga
negara Belanda dan berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia.
Ketiga, perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan
untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga negara
Belanda yang berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia. Keempat,
perusahaan yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan
milik suatu badan hukum yang berkedudukan dalam wilayah Negera Kerajaan
Belanda.
Setelah terjadinya pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan
Belanda pada tahun 1957–1958, memang ada kecenderungan kemerosotan
kinerja perusahaan. Pada masa awal nasionalisasi terjadi penurunan
produktivitas tanaman, kerusakan infrastruktur, kekurangan modal dan
hilangnya akses pasar. Hal ini disebabkan karena adanya kemunduran
pengelolaan dan kurangnya keterampilan teknis d a n m a n a j e r i a l
perusahaan perkebunan setelah ditinggalkan planters warga Eropa.
Hal itu terjadi karena eksodus tenaga ahli dan resesi ekonomi yang terjadi
pasca perang serta terputusnya hubungan dengan vendor dan jaringan mitra
dagang di luar negeri. Nasionalisasi perusahaan yang terjadi akhir tahun
1950-an dilakukan serta merta (unilateral) tanpa proses transisi yang natural
sehingga alih teknologi dan keterampilan dari pengelola bangsa Eropa
54
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
55
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
56
BAB III.
SEJARAH PERKEBUNAN DI SUMATRA UTARA
(bangsawan); (2). Lintah darat; (3). Tengkulak; (4). Tukang ijon; (5). Kapitalis
birokrat (kepala desa, pimpinan perkebunan dan tokoh lainnya); (6). Bandit
desa; dan (7). Pemungut/pengumpul zakat (pemuka agama). Adapun “Tiga
Setan Kota” terdiri dari: (1). Pejabat pemerintah; (2). Komandan ABRI; dan
(3). Pengusaha/pemilik modal. Ketika gerakan G 30 S/PKI meletus dan gagal
melakukan revolusi maka Sumatra Timur merupakan wilayah dengan korban
tewas cukup besar sebagai ekses pembersihan terhadap pengikut PKI.
Setelah Orde Baru mulai menguasai keadaan maka secara berangsur-angsur
perkebunan bisa mengkonsolidasi diri dengan menertibkan areal garapan yang
masih dapat dikembalikan. Namun demikian umumnya sebagian besar tidak
dapat diselamatkan dan diambil alih penggarap. Untuk memetakan bahaya
latent PKI di lingkungan perkebunan, maka atas kerjasama dengan TNI AD
dilakukan screening pekerja yang menjadi anggota dan simpatisan PKI. Pada
saat itu ada istilah “Lingkungan Tidak Bersih/LTB”, yaitu seseorang yang
memiliki hubungan satu tingkat keatas dan kesamping dengan anggota PKI.
Kelompok tersebut memperoleh pembinaan dari pimpinan perkebunan agar
tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan stabilitas sosial yang
sudah tercipta di perkebunan.
Masa pemerintahan Orde Baru merupakan periode yang relatif kondusif
dalam pengelolaan perkebunan sehingga bisa melakukan penanaman kembali
areal garapan yang berhasil dibebaskan serta mengembangkan kebun ke
wilayah-wilayah baru. Setelah kondisi sosial-politik-keamanan membaik
pemerintah melakukan penataan ulang perkebunan negara. Reorganisasi tahun
1968 memuat ketentuan sebagai berikut: Pertama, menciutkan jumlah PPN
dari 88 menjadi 28 PPN. Kedua, melikuidasi BPU-PPN melalui PP No. 13,
tanggal 27 Maret 1968. Ketiga, pembentukan Perusahaan Negara Perkebunan
(PNP) melalui PP No. 14, tanggal 13 April 1968. Perubahan tersebut diikuti
dengan pembentukan Badan Khusus Urusan Perusahaan Negara Perkebunan
(BKU-PNP) pada tahun 1969 yang terpisah dari Ditjenbun Kementerian
Pertanian. BKU-PNP memiliki perwakilan wilayah, yaitu:
1) BKU-PNP Wilayah I Sumatera Utara dan Aceh berkedudukan di Medan
yang membawahi PNP I s/d IX.
2) BKU-PNP Wilayah II Lampung dan Jawa Barat, berkedudukan di
Bandung yang membawahi PNP X s/d XIV.
57
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
58
BAB IV.
PERKEMBANGAN DEMOGRAFI
SUMATRA TIMUR
untuk mengeksploitasi Sumatra Timur bahkan sampai Aceh. Pada sisi lain
Inggris diberi kebebasan berinvestasi dan berdagang di Sumatra Timur.
Pemerintah Hindia Belanda diperbolehkan mendatangkan tenaga migran
dari wilayah Semenanjung Malaya yang berada dalam kekuasaan Pemerintah
Inggris (Basarshah 2006)
60
BAB IV.
PERKEMBANGAN DEMOGRAFI SUMATRA TIMUR
Tabel 4.2 Komposisi Etnis Penduduk Sumatra Timur 1930 versus 1943
Tahun 1930 Tahun 1943
Etnis
Jiwa % Urutan Jiwa % Urutan
Jawa 633.943 38,55 1 850.000 45,70 1
Batak 374.840 22,79 2 470.000 25,27 2
Melayu 334.870 20,36 3 260.000 13,98 3
Cina 192.822 11,73 4 280.000 15,05 4
Lainnya 108.004 6,57 5 - - 5
Total 1.644.479 100,00 1.860.000 100,00
Sumber: Data 1930 (Reid 1970); 1943 (Pelzer 1985)
61
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
62
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
Gambar 5.1 Pendaftaran Pekerja Migran Cina dari Straits Settlement, (1902)
(Tropen Museum)
64
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
antaranya adalah karena semakin sulitnya mencari tenaga dari Straits Settlement
dan dari daratan Cina. Sementara itu, banyak juga pekerja Cina yang justru
setelah mendapati apa yang ditemukan di Sumatra Timur tidak sesuai dengan
yang diharapkan, mereka lalu tertarik ikut agen tenaga kerja yang mengirimkan
mereka ke perkebunan tebu perusahaan Inggris di Kepulauaan Polinesia atau
ke perkebunan karet di Suriname, Amerika Selatan. Pada tahun 1897 ada 397
orang pekerja kontrak tembakau dari Tanah Deli yang pindah ke perkebunan
di Kepulauan Pasifik. Pemerintah jajahan Inggris di Straits Settlements juga
mulai memperketat ijin pengiriman tenaga dari Semenanjung ke Tanah Deli
karena kebijakan perusahaan yang kurang manusiawi memperlakukan buruh
kontraknya (Willmott 2004).
Sementara itu perubahan kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
yang mengutamakan pengusahaan komoditi gula di Jawa telah menyebabkan
berkurangnya lahan pertanian untuk budi daya padi. Tanah garapan petani
juga banyak dialihkan untuk tanaman tebu, sebagai komoditi penghasil
devisa. Kebijakan tersebut telah menyebabkan pengangguran buruh tani.
Beras sebagai makanan pokok penduduk Jawa juga semakin sulit diperoleh.
Kalaupun ada harganya mahal karena sebagian beras harus diimpor dari
Myanmar. Kehidupan yang sulit di Pulau Jawa tersebut menjadi pendorong
migrasi besar-besaran penduduk untuk mendaftar menjadi tenaga migran
(kontrak) ke Sumatra Timur. Hal itu dapat dilihat dari data demografi pekerja
perkebunan Sumatra Timur sebagaimana yang dicatat Reid (1987).
65
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
66
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
Gambar 5.3 Iklan Koran Mengabarkan Koeli Lari dari Perkebunan, (1899)
(Tropen Museum)
67
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Adapun sistem pembayaran gaji dibedakan antara pekerja (kuli) dan mandor
yang umumnya pribumi, Cina dan India, dengan level staf yang umumnya
bangsa kulit putih. Sebagai contoh, staf baru (volunteer) memperoleh gaji
200 gulden sebulan dan menjadi 400 gulden setelah bekerja 6 tahun (sebagai
asisten). Sementara upah tandil (mandor Cina) hanya 25 gulden perbulan
dan Mandor Besar (ploeg baas) suku Jawa hanya dibayar 20 gulden sebulan.
Mandor regu biasa (ploeg) hanya bergaji 11 gulden sebulan.
Adapun pekerja kontrak memperoleh gaji lebih kecil lagi. Selain dengan
upah, sistem pembayaran hasil kerja juga diberikan dalam bentuk natura
yaitu kebutuhan bahan pokok yang sering juga disebut catu atau ransum.
Pembayaran gaji pekerja diberikan dalam bentuk tunai sebulan dua kali.
Yaitu pertengahan bulan sebagai panjar gaji dan sisa gaji rampung diberikan
pada awal bulan berikutnya. Ketentuan tentang pemberian ransum bahkan
masih berlaku sampai awal tahun 1970-an dan baru dihentikan ketika akses
memperoleh kebutuhan bahan pokok sudah mudah dijangkau dengan adanya
koperasi (konsumsi) karyawan. Ada 10 komponen catu atau ransum yang
diberikan kepada setiap pekerja perkebunan sebagaimana uraian pada Tabel
5.2 berikut.
68
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
69
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 5.4 Bedeng untuk Pekerja Pria Pada Awal Pembukaan Kebun
(Tropen Museum)
70
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
Selain itu, faktor pendorong lainnya yang cukup penting adalah menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa. Populasi penduduk yang semakin
meningkat menyebabkan berkurangnya lahan pertanian dan membuat
banyak orang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi tersebut mendorong
penduduk di Jawa pedalaman memilih melakukan migrasi ke perkebunan
yang sedang tumbuh berkembang di Sumatra Timur.
Arus migrasi dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat membuka peluang
terjadinya penipuan dalam rekruitment. Para agen perekrut tenaga kerja sering
mengiming-imingi sesuatu yang tidak benar tentang fasilitas yang diterima
pekerja di Tanah Deli. Diantaranya menjanjikan upah tinggi dan kekayaan
yang melimpah. Di kalangan penduduk di Jawa muncul pameo seperti bahwa
pergi bekerja ke Tanah Deli menjamin kemudahan memperoleh kekayaan.
Pulau Sumatra juga sering disebut sebagai tanah harapan. Banyak juga kaum
buruh tani atau gelandangan dari pulau Jawa yang “dipaksa” diberangkatkan
ke Sumatra Timur.
71
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
72
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
2. Hubungan Ketenagakerjaan
Stratifikasi sosial ketenagakerjaan di perkebunan menempatkan pemilik
perusahaan pada posisi puncak piramida. Pemilik terkadang langsung
menjalankan usahanya sebagai pemimpin perusahaan. Dengan modal
keahliannya sebagai planters, mereka langsung mengelola day to day kegiatan
operasional perkebunan. Pada level dibawahnya adalah para administrateur,
hoofd opzichter, opzichter (pengawas, asisten kepala), asisten (pembantu), ploeg
baas (mandor besar), ploeg (mandor regu) dan karyawan. Pemilahan lain
adalah berdasarkan ikatannya dengan perusahaan, dikenal ada tenaga tetap
dan tenaga tidak tetap.
73
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Mereka berasal dari berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Belgia, Prancis,
Swiss, Austria, Polandia, Hongaria dan lainnya. Untuk level asisten umumnya
berpendidikan menengah atas. Jarang staf fresh graduate berpendidikan
tinggi dari Eropa berminat menjadi asisten, kecuali dari keluarga pemilik
perkebunan yang sengaja dipersiapkan sebagai generasi penerus yang kelak
akan mengambil alih pengelolaan perkebunan. Setelah diangkat, seorang staf
selama enam tahun pertama status kepegawaiannya adalah sebagai asisten
junior dan dalam posisi tersebut tidak diperbolehkan menikah. Meskipun
telah melewati waktu tersebut, tidak banyak staf muda yang membawa istrinya
dari Eropa. Hanya pejabat setingkat opzichter dan administrateur yang hidup
bersama keluarganya di Tanah Deli.
Kepada setiap staf pimpinan juga diberikan hak cuti ditambah biaya akomdasi
dan uang saku selama 3 bulan. Syaratnya telah bekerja minimal 6 tahun,
dan seterusnya, setiap 6 tahun sekali memperoleh hak yang sama. Tujuan
diberikan hak cuti adalah agar mereka bisa mengunjungi keluarganya di
Eropa atau bepergian ke tempat yang dikehendaki seperti liburan ke destinasi
wisata. Bantuan akomodasi hanya diberikan jika cuti dijalani dan tidak bisa
diuangkan.
74
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
b. Tenaga NonStaf
1) Karyawan Bulanan
Pegawai Rendah Bulanan (PRB) biasanya diangkat dari kalangan pekerja yang
telah menjalani masa pengabdian cukup lama dan dinilai mampu serta teruji
untuk dipromosikan ke jabatan lebih tinggi. Seorang pekerja yang memiliki
kecakapan memimpin bisa diangkat memperoleh jabatan lebih tinggi. Dalam
kelompok ini diantaranya para mandor regu, mandor besar, kerani dan
operator mesin atau pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Karyawan
kelompok ini digaji secara bulanan. Umumnya mereka dipersyaratkan bisa
baca tulis. Namun ada kalanya tetap bisa diangkat meskipun buta huruf atas
pertimbangan khusus.
2) Karyawan Harian
Istilah Koeli Kontrak berasal dari regulasi pemerintah jajahan untuk melindungi
pekerja yaitu diterbitkannya Coeli Ordonantie pada 13 Juli 1880. Ketentuan
tersebut mewajibkan pengusaha mengikat kontrak kepada pekerja maksimal
selama 3 tahun. Setelah ditandatangani pekerja berhak menerima voorschot
atau uang muka upah yang akan dicicil dari upah mereka kelak setelah bekerja
(sebagian cicilan ditanggung pengusaha). Coeli Ordonnantie memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja sebagai berikut:
• Hak Pekerja/Kewajiban Pengusaha: kontrak kerja ditandatangani
tanpa paksaan, jam kerja dibatasi maksimal 10 jam/hari, pekerja berhak
memperoleh cuti 12 hari setahun dan mendapatkan hak pensiun. Pemberi
kerja wajib menyiapkan perumahan dan jaminan kesehatan. Pekerja ysng
sakit tetap memperoleh upah. Pengusaha berkewajiban memberikan
kompensasi biaya pengembalian ke daerah asal setelah kontrak selesai
dijalani. Para pekerja diberi pilihan boleh kembali ke tempat asalnya di
Pulau Jawa atau (ini yang banyak terjadi) memperpanjang kontrak.
75
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
76
BAB V.
TENAGA KERJA PERKEBUNAN
tenaga migran Cina dan India yang didatangkan dari Semenanjung Malaya
(daerah jajahan Inggris). Mulai tahun 1883 tenaga migran didatangkan juga
dari Pulau Jawa yang sama-sama wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Tabel
5.4 menunjukkan adanya pergeseran kebijakan perkebunan ketika itu untuk
mulai mengalihkan sumber rekruitmen pekerja Cina dengan pekerja dari
Pulau Jawa.
Tabel 5.4 Komposisi Pekerja Cina dan Jawa di Perkebunan Sumatra Timur
1883–1930
Tahun
Uraian
1883 1893 1898 1906 1913 1920 1930
Pekerja 1.711 18.000 22.256 33.802 118.517 209.459 234.554
Jawa
Pekerja 21.136 41.700 50.846 53.106 53.617 27.715 26.037
Cina
Total 22.874 59.700 73.102 86.907 172.134 237.174 260.591
Sumber: The Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an Economic History of East
Sumatra, 1863-1942 (LEKNAS-LIPI, 1977)
Data diatas menunjukkan bahwa sejak tahun 1883 mulai didatangkan tenaga
migran dari pulau Jawa menggantikan tenaga dari Semenanjung Malaya
dan daratan Cina. Kebijakan pengalihan sumber tenaga kerja perkebunan
sebagaimana data yang ditamplilkan pada Tabel 5.4 berdampak terjadinya
perubahan komposisi etnis penduduk Sumatra Timur. Masuknya pekerja
migran dari Jawa telah meningkatkan persentase penduduk pribumi Hindia
Belanda (termasuk Jawa) di Sumatra Timur sebagaimana data Tabel 5.5.
77
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Dari data diatas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun sejak
1900 persentasi penduduk pribumi meningkat 9,12%. Sebaliknya pekerja
migran Cina berkurang 8,81%. Adapun penduduk keturunan Eropa dan
Arab jumlahnya meningkat namun persentasinya mengecil.
78
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
PERKEBUNAN
80
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
Sumatra Timur pada awal abad ke-20 merupakan wilayah baru yang
memiliki corak demografi beragam dengan komposisi penduduk didominasi
oleh pendatang. Pada Tahun 1930 dari total jumlah penduduk Tanah Deli
sebanyak 1.685.873 jiwa maka penduduk asli hanya mencapai 581 ribu
jiwa (34,5%). Komposisinya yaitu Suku Melayu 19,9%, Karo 8,6% dan
Simalungun 5,6%. Sementara itu penduduk pendatang mencapai 65,5%.
Suku Jawa menjadi mayoritas yaitu 590 ribu jiwa (35,0%). Penduduk Eropa
jumlahnya relatif sedikit hanya 11 ribu jiwa (0,7%). Sementara keturunan
Cina mencapai 193 ribu jiwa (11%) dan penduduk keturunan India sama
dengan bangsa Eropa sekitar 11 ribu jiwa (Suwirta 2000).
Pertumbuhan ekonomi perkebunan yang berkembang pesat juga
mempengaruhi tumbuhnya pusat-pusat kegiatan ekonomi di sekitar
perkebunan. Medan menjadi kota baru menggantikan Labuhan yang berada
di muara Sungai Deli. Kota Medan tumbuh secara dinamis dengan kawasan
Kesawan (sekarang Jalan Ahmad Yani) sebagai pusat perniagaan untuk
melayani komunitas perkebunan. Gambar 6.2 menampilkan kawasan bisnis
Kesawan Medan pada awal abad ke-20.
81
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
82
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
sebelum dibangun jalur kereta api Medan-Belawan. Ketika itu penduduk kota
Medan juga masih mengandalkan sungai sebagai sumber kehidupan, seperti
air minum, mencuci dan aktivitas harian lainnya. Gambar 6.3 menampilkan
aktivitas masyarakat di tepi Sungai Deli dengan posisi perumahan menghadap
ke sungai.
83
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Untuk mengusir rasa jenuh dan stress di tempat kerja, para staf muda sering
memanfaatkan semaksimal mungkin waktu libur di akhir pekan, berkumpul
dan berinteraksi dengan teman-temannya di Kota Medan. Dengan
menggunakan andong yang ditarik 2 kuda atau mobil Ford Model T mereka
bertemu di Medan Club untuk bersenang-senang mengusir rasa kesepian.
Cerita mobil Ford T berasal dari melambungnya harga karet sehingga bonus
prestasi kerja (tantiem) yang diterima staf muda pada awal abad ke-20 bisa
dibelikan mobil baru yang pertama kali dikeluarkan Ford Motor Company
dari Detroit, Amerika Serikat pada tahun 1908. Gedung societeit atau sos
yang berada di Jalan Kartini Medan (sekarang dikenal sebagai “Medan Club”)
merupakan saksi sejarah yang masih ada hingga kini. Bagi kalangan pemilik
dan pimpinan perkebunan yang lebih makmur mereka bisa menginap di
Grand Hotel (sekarang Hotel Grand Angkasa) atau Hotel de Boer (Hotel
Dharma Deli) yang terletak di Kawasan Lapangan Merdeka. Gambar 6.5
menampilkan Hotel de Boer yang masih ada dan berfungsi hingga kini.
Dampak dari tumbuhnya ekonomi perkebunan di Sumatra Timur
berpengaruh ke daerah pedalaman yang juga mulai berkembang menjadi
pusat kegiatan sosial-ekonomi baru. Kota-kota satelit tumbuh pesat seperti
Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Kisaran, dan Binjai. Di sekitar daerah
84
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
Gambar 6.5 Hotel de Boer (Sekarang Dharma Deli) Medan, (1930) (Tropen
Museum)
85
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Di sekitar Kisaran pada awal abad ke-20 merupakan pusat perkebunan karet
Uni Royal milik Amerika Serikat yang memiliki kantor pusat di Kisaran. Kota
Kisaran berada 165 km arah tenggara kota Medan. Diantara Kisaran dan
Medan, satu kota pusat perdagangan yang tumbuh merespon bergairahnya
ekonomi perkebunan yaitu Tebing Tinggi. Jarak antara Medan ke Tebing
Tinggi sekitar 60 km dan bisa ditempuh 3–4 jam dengan kereta kuda atau 1–2
jam dengan mobil. Di sekitar kota Tebing Tinggi banyak ditemui perkebunan
karet dan kelapa sawit milik perusahaan H & C, Socfin, dan Lonsum. Gambar
6.7 menampilkan pintu gerbang jalan utama Kota Tebing Tinggi sebagai
pusat perdagangan bagi komunitas perkebunan tempo dulu.
Gambar 6.7 Kawasan Pecinan KotaTebing Tinggi Awal Abad ke-20 (Tropen
Museum)
86
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
Terutama untuk wilayah yang dekat dengan kawasan Danau Toba. Suhu
udara di daerah tersebut relatif lebih nyaman karena tidak terlalu panas.
Bahkan pada beberapa perkebunan teh ketika itu masih sering dijumpai kabut
menyelimuti areal tanaman. Daerah tersebut cukup sejuk sehingga menjadi
tempat favorit bagi staf perkebunan.
Selain Kota Medan maka kota kecil Parapat yang berada di tepi Danau
Toba banyak dibangun bungalow dan tempat peristirahatan yang disediakan
perusahaan untuk tetirah pimpinan perkebunan dan keluarganya. Gambar
6.8 menampilkan kawasan perniagaan yang banyak dihuni etnis Cina di
Pematang Siantar tempo dulu. Perusahaan HVA, NHM, dan Sipef banyak
membuka perkebunan di sekitar Pematang Siantar.
Gambar 6.8 Pertokoan Cina Jalan Cipto Pematang Siantar, (1899) (Tropen
Museum)
Kota keempat yang merupakan satelit dari kota Medan adalah Binjai yang
berada di wilayah Kabupaten Langkat. Jarak kota tersebut dari Medan
sekitar 21 km. Kota satelit ini merupakan wilayah terdekat ke Kota Medan
dibandingkan tiga kota satelit lainnya yaitu Tebing Tinggi, Kisaran, dan
Pematang Siantar. Di sekitar kota ini (Kabupaten Langkat) banyak ditemui
perkebunan-perkebunan tembakau dan sebagian kecil perkebunan karet yang
diusahakan oleh Deli Maatschappij.
87
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
88
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
89
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
seorang opzichter (pengawas) perlu waktu 5–10 tahun. Posisi terakhir adalah
administrateur yang merupakan jabatan puncak karir profesional bagi staf
perkebunan. Jangka waktu untuk menjadi administrateur bagi seorang staf
muda membutuhkan 20–25 tahun. Cepat-lambatnya juga sangat ditentukan
apakah perusahaan sedang melakukan perluasan areal (menjadi lebih cepat
promosi) atau justru sebaliknya, yang harus berjalan berjenjang secara alami.
Kehidupan profesional staf (asisten) perkebunan dibangun atas nilai-nilai
disiplin yang keras. Pekerjaan dimulai pagi hari jam 05.00 atau jam 06.00
yaitu briefing harian (“lingkaran pagi”) dari hoofd opzichter untuk membahas
laporan pekerjaan satu hari sebelumnya dan rencana kerja hari berjalan. Selesai
kegiatan pagi dilanjutkan dengan perjalanan ke afdeling untuk mengelola
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi seorang asisten afdeling
(tanaman), pekerjaan baru selesai sekitar jam 16.00 sore. Pulang dari afdeling
dilanjutkan dengan olah raga tenis lapangan sore hari bersama pimpinan.
Kegiatan olah raga yang sifatnya setengah wajib tersebut dilakukan sampai
senja hari. Selesai melakukan aktivitas olahraga dilanjutkan dengan makan
malam dan istirahat di rumah masing-masing. Kegiatan harian tersebut bersifat
rutin dari senin sampai sabtu. Hari libur adalah sabtu setelah tengah hari dan
minggu. Akhir pekan biasanya digunakan staf muda yang belum berkeluarga
untuk pergi refreshing bertemu teman-teman dari perusahaan yang berbeda.
Beban dan iklim kerja yang keras membuat para staf muda cenderung stress
sehingga membutuhkan kanalisasi emosi. Mereka bertemu di societeit untuk
staf muda atau di hotel bagi staf senior. Di tempat-tempat seperti itu biasanya
disediakan minuman keras yang bisa di-bon dengan pembayaran pada saat
gajian. Kegiatan liburan akhir pekan diisi dengan minum-minum, dansa-
dansi, main kartu, bilyar, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan kejenuhan terhadap lingkungan kerja di tempat terpencil
yang berbeda dari aspek lingkungan dan budaya masyarakatnya dibandingkan
kultur Eropa.
Larangan menikah sampai enam tahun bagi staf muda juga menambah
tingkat alienasi mereka. Komposisi pria dan wanita bangsa Eropa di Tanah
Deli juga tidak seimbang. Umumnya para wanita Eropa tidak tertarik hidup
di daerah frontier. Iklim, lingkungan sosial, peradaban dan budayanya asing
bagi mereka. Pada tahun 1884, dari 688 jiwa penduduk Eropa, hanya ada
148 wanita. Pada Tahun 1990, dari total 2.075 penduduk, populasi wanita
hanya 450 jiwa. Ketidakseimbangan gender juga terjadi pada pekerja lokal.
90
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
Pada Tahun 1900, dari 62 ribu pekerja lokal hanya ada 5 ribu wanita. Pekerja
perempuan sebelumnya tidak diperhatikan namun berdampak pekerja pria
menjadi tidak betah di perkebunan serta sering timbul masalah sosial.
Sesudah Perang Dunia II berakhir ada peningkatan kedatangan wanita dari
negeri Belanda ke lingkungan perkebunan Sumatra Timur. Hal-hal yang
mendorong perubahan tersebut, yaitu karena kesejahteraan staf perkebunan
semakin meningkat. Kondisi kehidupan ekonomi di Eropa juga turun karena
terkena dampak pasca Perang Dunia II.
Migrasi pekerja wanita dari Jawa juga semakin meningkat jauh dari
sebelumnya yaitu mulai awal abad ke-20. Dibukanya perkebunan teh dan
karet di Sumatra Timur justru membutuhkan tipikal pekerjaan yang lebih
sesuai untuk pekerja wanita yaitu sebagai pemetik daun teh. Dari kalangan
pemerintah Hindia Belanda juga menyadari ekses negatif akibat kebijakan
sebelumnya yang kurang memperhatikan keseimbangan gender di masyarakat
perkebunan.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Kolonial juga
menjalankan program transmigrasi untuk mengolah lahan bagi budi daya
tanaman pangan di Sumatra Timur. Berbeda dengan pekerja migran,
keberangkatan transmigran dari daerah asal menyertakan anggota keluarga
secara lengkap (suami-istri dan anak).
91
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Di luar jam kerja interrelasi asisten hanya terbatas dengan mandor besar atau
mandor regu. Mereka sewaktu-waktu bisa dipanggil ke rumah asisten di malam
hari karena ada instruksi kerja atau ada masalah sosial yang mendesak harus
diselesaikan. Gambar 6.10 menampilkan struktur organisasi perkebunan
di unit usaha pada awal abad ke-20. Masing-masing perusahaan memiliki
bentuk modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi, ukuran, dan kebutuhan
organisasi.
92
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
putih, serta keresahan sosial yang tiada henti menjadi penyebabnya. Selain
faktor keamanan juga karena tersedianya fasilitas sepeda motor sebagai
kendaraan dinas asisten afdeling yang meningkatkan jangkauan akses
transportasi. Sebelumnya, praktis hanya mengandalkan kuda tunggangan
sebagai sarana transportasi. Ketika keadaan kemanan di perkebunan genting
selama pemberontakan PRRI pada tahun 1950-an banyak staf perkebunan
etnis Eropa atau bahkan juga pribumi yang mengungsikan keluarganya ke
kota-kota terdekat seperti di Pematang Siantar atau Tebing Tinggi.
93
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
seperti Tebing Tinggi, Kisaran, Pematang Siantar sampai Langkat. Pada awal
abad ke-20 belum ada sarana angkutan umum (feeder) dari perkebunan ke
stasiun kereta api. Dengan segala keterbatasannya maka pola kekerabatan
yang mereka bangun hanya sebatas lingkungan kerja dan lingkungan tempat
tinggal.
Ada frasa yang sering digunakan di lingkungan perkebunan yaitu kekerabatan
atas dasar persamaan nasib, seperti “saudara sekapal” atau keluarga satu
afdeling. Perumahan yang berdekatan dalam satu asrama panjang menjadi
faktor yang mendorong mereka untuk saling menjaga hubungan agar tidak
terjadi perselisihan dengan tetangga mereka. Dengan kondisi interaksi seperti
itu maka pernikahan antar keluarga satu pemukiman adalah hal yang lazim
terjadi karena lebih praktis dan realistis.
Pola hubungan antara pekerja dengan para mandor atau mandor besar di
pemukiman berlangsung dalam ikatan patronase. Seorang mandor akan
selalu dihormati baik di dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Peran
seorang mandor besar dalam struktur sosial masyarakat di perkebunan sangat
dominan. Selain sebagai pemimpin formal dia juga menjadi patron tempat
karyawan meminta pendapat atau nasehat dalam permasalahan pekerjaan
maupun dalam kaitan dengan hubungan sosial. Permasalahan rumah tangga,
perselisihan dengan tetangga atau konflik suami istri juga menjadi sesuatu
yang dikonsultasikan pemecahannya secara berjenjang dari mandor regu dan
mandor besar. Dalam keadaan tertentu ketika eskalasi permasalahan terlalu
rumit atau melibatkan banyak pihak maka seorang asisten afdeling terkadang
harus turun tangan langsung menyelesaikannya.
Dengan posisi demikian maka pengangkatan seseorang menjadi mandor
tidak bisa sembarangan. Kekuasaannya yang absolut bisa disalahgunakan jika
dipimpin oleh orang yang tidak berkarakter. Kepemimpinan mandor sebagai
role model menjadi penting dalam membangun kultur kerja di onderneming.
94
BAB VI.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PERKEBUNAN
95
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
96
BAB VII.
PERAN SUMATERA UTARA
PADA PERKEBUNAN NASIONAL
98
BAB VII.
PERAN SUMATRA UTARA PADA PERKEBUNAN NASIONAL
99
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
100
BAB VII.
PERAN SUMATRA UTARA PADA PERKEBUNAN NASIONAL
101
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG
PERKEBUNAN
1. Infrastruktur Logistik
a. Kereta Api
Jaringan kereta api DSM di Sumatra Timur dibangun atas inisiatif J.T.
Cremer, komisaris, pengelola, dan sekaligus sebagai pemegang saham
perkebunan tembakau Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij.
Tujuan utama pembangunannya untuk melayani keperluan logistik komoditi
tembakau ke pelabuhan dan angkutan penumpang. Hal itu bisa dimengerti
karena hampir seluruh komoditi perkebunan diekspor melalui kapal laut.
Kereta api merupakan moda angkutan termurah dibandingkan dengan sarana
angkutan darat lainnya yang infrastrukturnya belum tersedia seperti sekarang.
Gambar 8.1 menampilkan kereta api penumpang milik DSM.
Pembangunan kereta api pertama adalah menghubungkan Medan ke
pelabuhan lama di Labuhan Deli. Pembangunannya dimulai tahun 1883
dan mulai dioperasikan pada tahun 1886. DSM merupakan satu-satunya
104
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
perusahaan kereta api swasta diantara 11 perusahaan kereta api yang ada di
Hindia Belanda (termasuk Pulau Jawa) saat itu. Pertumbuhan DSM sejalan
dengan meningkatnya volume ekspor komoditi perkebunan, terutama
tembakau dan karet di pasar internasional pada awal abad ke-20. DSM
berdiri atas dukungan penuh Deli Maatchappij dan Nederlandsche Handel
Maatschappij (NHM) pada 25 Juli 1883. Belakangan saham DSM juga
dimiliki oleh AVROS.
105
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 8.2 Jalur Kereta Api DSM di Sumatra Timur (Tropen Museum)
106
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
Setelah selesai tahap pertama membangun jalur kereta api Medan Belawan,
selanjutnya maskapai DSM membangun trase baru jaringan kereta api
melewati kota-kota di luar Medan, seperti Tebing Tinggi, Pematang Siantar,
Asahan, dan Rantau Prapat. Kota-kota satelit tersebut merupakan simpul-
simpul kawasan perkebunan yang berada di Sumatra Timur. Jalur kereta api
yang dibangun DSM juga melewati pusat-pusat perkebunan antara lain Mata
Pao, Tanah Raja, Rambutan, Pabatu, Gunung Bayu, Pulu Raja, Air Batu,
Berangir, dan Goodyear di Simalungun serta terus ke arah tenggara berakhir
di Pematang Siantar.
Pada tahun 1889, DSM mendapatkan konsesi untuk menyambung jalur
kereta api dari Medan via Serdang ke Perbaungan dan dari Medan ke Timbang
Langkat sampai Selesai. Izin trase kereta api sampai Perbaungan diperoleh
pada tanggal 18 Februari 1890. Ongkos logistik pengangkutan komoditi
menurun tajam dengan penggunaan kereta api. Sebagai contoh, pada tahun
1882 ongkos angkut tembakau per kereta lembu dengan daya angkut 600
kg di musim kemarau dari Medan ke Labuhan (pelabuhan lama di muara
Sungai Deli) adalah 460 gulden, sedangkan dengan kereta api tidak sampai
separuhnya. Berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada tanggal
23 Januari 1883 diberikan izin konsesi pembangunan jaringan kereta api
yang menghubungkan Belawan (Labuan Deli)-Medan-Deli-Tua-Timbang
Langkat (Binjai) dan konsensi untuk pembangunan serta pengoperasian kereta
api dari Pelabuhan Deli-Belawan-Deli Tua-Medan, bercabang di Medan
untuk Timbang-Langkat di Deli. Trase kereta api pada awal pembukaannya
dibangun dengan sederhana, yaitu melewati areal perkebunan dan pinggiran
perkampungan penduduk.
Jalur Kereta Api Medan-Belawan yang berjarak sekitar 21 km. Pada saat
itu beberapa stasiun dibangun untuk tempat menaikkan dan menurunkan
barang atau manusia. Ada beberapa stasiun pemberhentian yang dilewati dari
Stasiun Utama Medan yaitu: Stasiun Glugur, Stasiun Pulubrayan, Stasiun
Mabar, Stasiun Titi Papan, Stasiun Kampung Besar, Stasiun Labuan, Stasiun
Belawan, Stasiun Pasar Belawan dan Stasiun Pelabuhan Belawan. Pada saat
pertama kali kereta api DSM beroperasi, komoditi ekspor yang diangkut
yaitu tembakau. Selanjutnya sejalan dengan perkembangan perkebunan juga
diangkut karet, CPO (Crude Palm Oil), PK (Palm Kernel), teh, BBM, dan
pupuk.
107
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Pembangunan jalur kereta api di Sumatra Timur berjalan relatif cepat. Hal
itu karena sejalan trend yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat yang
menjadikan kereta api sebagai sarana transportasi masal yang paling favorit
menghubungkan destinasi yang berbeda. Peluang tersebut mendorong
berkembangnya manufaktur industri terkait kereta api di Eropa. Akibatnya,
secara ekonomis menjadi layak mendatangkan rel, loko, dan gerbong
langsung dari Eropa. Dari sisi permintaan, perkebunan sangat membutuhkan
sarana transportasi yang aman dan murah untuk mengangkut produknya
ke pelabuhan. Saat itu hanya kereta api satu-satunya sarana yang paling
ekonomis.
Jarak tempuh awal pembangunan kereta api menghubungkan jalur-jalur
sebagai berikut: Medan-Labuhan (sepanjang 17 km; 1886), Medan–Binjai
(21 km; 1887), Medan–Delitua (11 km; 1887), Labuhan–Belawan (6 km;
1888), Medan–Serdang (20 km; 1889), Serdang–Perbaungan (18 km; 1890)
dan Binjai–Medan (11 km; 1890). Gambar 8.4 adalah pemandangan jalur
kereta api di Stasiun Merdeka Medan. Tidak banyak perubahan dibandingkan
dengan kondisi saat ini.
Pada masa kejayaan perkebunan, rangkaian kereta api DSM banyak melayani
logistik pengangkutan produk perkebunan. Hal itu dapat dilihat pada gambar
108
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
8.5 yang menampilkan Stasiun Pusat Merdeka Medan yang dipenuhi gerbong
barang padat (dry cargo) yang mengangkut karet, teh dan serat serta gerbong
tanki (liquid cargo) yang mengangkut minyak kelapa sawit.
Gambar 8.4 Jalur Rel Kereta Api Stasiun Utama Merdeka, Medan, (1910)
(Tropen Museum)
Gambar 8.5 Angkutan Barang di Stasiun Medan Era Maskapai DSM, (1945)
(Tropen Museum)
109
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
b. Jalan Raya
Pembangunan sarana jalan raya tidak secepat pembangunan rel kereta api.
Hal itu bisa dipahami semata atas pertimbangan efisiensi. Topografi Sumatra
Timur yang relatif datar sangat ideal untuk pembangunan jalan kereta api.
Iklim Sumatra Timur curah hujannya tinggi sepanjang tahun sehingga
sangat mahal untuk memelihara jalan raya yang mudah berlumpur di musim
hujan. Alasan lain adalah sifat dari komoditi perkebunan yang volumenous
dan bertonase berat sehingga akan lebih mudah diangkut melalui rel kereta
api dibandingkan dengan melalui jalan raya. Pilihan efisiensi biaya angkutan
logistik sangat menentukan dalam menyusun total biaya produksi sampai
pelabuhan (Freight on Board atau Free on Board, FOB).
Jalan-jalan penghubung yang dibangun di areal perkebunan umumnya terawat
dengan baik. Namun, jalan tersebut dibangun dengan konstruksi sederhana
sehingga hanya bisa dilalui mobil dengan tonase ringan dan tidak mampu
menampung beban berat untuk mengangkut komoditi ekspor ke pelabuhan.
Adapun jalan yang menghubungkan kawasan perkebunan ke Kota Medan
saat itu harus melewati beberapa areal perkebunan lain yang saling sambung-
menyambung. Ada kesepakatan diantara pemilik perkebunan mengizinkan
penggunaan jalan tersebut untuk trasportasi diantara masyarakat perkebunan.
Jalan tersebut perawatannya menjadi beban masing-masing perkebunan.
Patokan membuat jalan perkebunan saat itu diantaranya adalah permukaan
jalan harus membentuk “belah rotan”. Struktur permukaan jalan lebih tinggi
di bagian tengah dibandingkan tepi jalan sehingga air mudah mengalir ke parit
saat musim hujan. Parit air kiri-kanan jalan wajib dibuat dengan dilengkapi
rorak setiap radius tertentu untuk menghambat run off. Pemeliharaan
dilakukan secara rutin sehingga menjadikan jalan tanah berpasir yang
dibangun perkebunan bahkan bisa dilalui mobil sedan. Seorang mandor jalan
selalu memeriksa drainasi jalan saat hujan berlangsung sehingga tahu persis
sisi drainase mana yang bermasalah. Gambar 8.6 memperlihatkan gerobak
membawa daun tembakau yang ditarik dua ekor sapi mengalami kesulitan
melewati jalan darat yang berlumpur di musim hujan.
110
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
c. Pelabuhan
Fasilitas pelabuhan merupakan satu rangkaian prasarana yang urgen bagi
mata rantai kegiatan ekspor komoditi. Seluruh produk perkebunan dikirim
ke negara tujuan menggunakan sarana pengangkutan laut. Peran Pelabuhan
Belawan sangat penting mendukung sukses pemasaran komoditi di Sumatra
Timur pada paruh kedua abad ke-19.
Sebelum pelabuhan Belawan dibangun, kegiatan ekspor dilakukan melalui
Labuhan yang berada di muara Sungai Deli. Di sebelah utara Labuhan
mengalir Sungai Belawan yang berhadapan langsung dengan perairan Selat
Malaka. Kesultanan Deli pada awalnya juga menggunakan Labuhan sebagai
pusat pemerintahan. Pelabuhan Pantai Timur Sumatra semakin ramai setelah
dibukanya Terusan Suez pada 17 November 1869. Sejak saat itu rute kapal
dari Eropa ke Asia Tenggara dan Asia Timur lebih dekat jika melalui Selat
Malaka. Sebelumnya alur pelayaran memutar jauh melalui Tanjung Harapan
di Afrika Selatan.
Ketika arus bongkar muat barang meningkat maka fasilitas pelabuhan Labuhan
Deli dipindahkan ke Belawan pada tahun 1890. Hal itu untuk menghindari
111
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
112
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
2. Perumahan Pekerja
Pembangunan perkebunan pada pertengahan abad ke-19 di Sumatra Timur
umumnya di remote area, berada di hutan belantara yang jauh dari keramaian
dan minim fasilitas. Ketika baru dibuka, fasilitas perumahan darurat dibangun
untuk pekerja dan pimpinan di lokasi perkebunan. Barak sederhana disediakan
berdekatan untuk pekerja maupun untuk pimpinan bangsa kulit putih
(Eropa). Gambar 8.8 memperlihatkan rumah bedeng panggung sederhana
untuk menampung puluhan orang pekerja Cina di perkebunan Tanah Deli
pada awal abad ke -20.
113
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
114
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
Fungsi balai karyawan sebagai gedung serba guna juga menjadi tempat untuk
diselenggarakannya “Pasar Kaget” yang diadakan sebulan dua kali yaitu pada
saat gajian besar di awal bulan dan gajian kecil pada tengah bulan. Gambar
8.10 memperlihatkan perumahan pekerja berbentuk bedeng panjang dengan
atap dari seng. Tampak di tengah lokasi berdiri bangunan balai karyawan.
115
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
116
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
bisa dihuni oleh dua keluarga, sebagaimana tampak pada gambar 8.13. Setiap
bangunan terdiri atas rumah induk dan paviliun di bagian belakang untuk
tempat tinggal pembantu rumah tangga atau tukang kebun yang memelihara
rumah dan pekarangan.
117
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
3. Rumah Sakit
Kebutuhan melayani kesehatan para staf dan pekerja merupakan kunci
penting bagi suksesnya pembangunan perkebunan di Sumatra Timur. Kondisi
lingkungan kerja pembukaan daerah baru yang serba terbatas serta iklim tropis
yang lembap dan panas banyak menimbulkan endemi penyakit. Banyak staf
perkebunan yang karena tidak terbiasa hidup di daerah khatulistiwa rentan
terhadap serangan penyakit tropis seperti malaria dan disentri. Dengan alasan
tersebut, bisa dipahami bahwa perusahaan perkebunan sangat membutuhkan
fasilitas kesehatan dan menjadi perintis pendirian rumah sakit (RS) di
Sumatra Timur. Hanya 3 tahun sejak perusahaan berdiri Deli Maatschappij
telah membangun rumah sakit untuk melayani pekerjanya. Pada tahun 1871,
Jacobus Nienhuys membangun Rumah Sakit Tembakau Deli.
Rumah sakit tersebut dinamai Deli Maatschappij Hospitaal de Laboratoriumweg
atau kini dikenal dengan nama Rumah Sakit Tembakau Deli di jalan Puteri
Hijau Medan. Pada awal pembukaan RS tersebut, fasilitas dan pelayanan
masih terbatas sehingga pasien kategori berat dikirim ke RS yang ada di
Penang. Tenaga paramedis kesehatan seperti juru rawat dan peracik obat
pada masa awal pendirian RS berasal dari India dan Inggris yang didatangkan
melalui Penang, Malaysia. Selanjutnya, secara bertahap digantikan dokter dari
negara-negara Eropa. Pada tahun 1889 jumlah dokter Eropa sudah mencapai
12 orang. Masyarakat yang dilayani rumah sakit di Tanah Deli saat itu adalah
700 orang Eropa dan puluhan ribu pekerja perkebunan. Pada tahun 1915,
rumah sakit tersebut ditetapkan sebagai rumah sakit laboratorium penyakit
tropis.
Rumah sakit kedua dibangun di Tanjung Morawa oleh perkebunan
tembakau Senembah Maatschappij pada tahun 1882 (sekarang dikenal sebagai
RS Dr Gerhard Lumban Tobing). Rumah sakit ini hanya berjarak sekitar
20 kilometer ke arah tenggara dari rumah sakit Tembakau Deli. Meskipun
Senembah Maatschappij merupakan perusahaan yang memiliki badan hukum
sendiri, tetapi kepemilikan sahamnya dikuasai beberapa orang yang sama
sebagai pemegang saham Deli Maatschappij. Gambar 8.14 menampilkan RS
Tembakau Deli pada awal berdirinya tahun 1871.
Meskipun rumah sakit sudah dibangun oleh perkebunan dengan tenaga medis
dari dokter-dokter lulusan Eropa, namun kasus endemi penyakit tropis tetap
118
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
119
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Dari fakta diatas menunjukan bahwa perkebunan sejak awal telah memiliki
komitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerjanya.
Inisiatif tersebut dilaksanakan jauh sebelum pemerintah (dalam hal ini
Hindia Belanda) memberikan pelayanan serupa bagi masyarakat banyak.
Dengan demikian termentahkan pendapat yang menuduh perkebunan di
Sumatra Timur memperlakukan pekerjanya tidak manusiawi. Faktanya
justru perkebunan memiliki kepedulian tinggi untuk memastikan pekerjanya
memperoleh pelayanan kesehatan secara layak. Bagi perusahaan jika pekerja
tidak terjaga kesehatannya maka kegiatan operasional perkebunan bisa
terganggu.
Kedua rumah sakit yang didirikan Deli Maatschappij dan Senembah
Maatschappij merupakan pioner RS bukan hanya di Kota Medan namun
juga di seluruh Sumatra Timur. Rumah sakit lain yang dibangun pemerintah
didirikan belakangan yaitu pada awal abad ke-20. Rumah sakit milik
pemerintah kota Medan yang dahulu dikenal sebagai “Gemeente Hospitaal”
atau yang sekarang lebih dikenal sebagai RSUD “Pirngadi”, Medan baru
dibangun tahun 1928. Nama rumah sakit diambil dari nama Dokter Pirngadi
sebagai kepala rumah sakit pribumi pertama pada tahun 1939. Adapun
120
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
4. Sekolah
Senembah Maatschappij merupakan salah satu maskapai perkebunan yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan anak-anak pekerja. Bukti
komitmen tersebut di antaranya dengan didirikannya sekolah Ambasct
School (sekolah teknik) untuk anak karyawan perkebunan. Sekolah tersebut
menggunakan pengantar bahasa Jawa bagi anak pekerja yang umumnya
merupakan migran dari Pulau Jawa. PW Janssen, pemilik yang merangkap
komisaris perusahaan tersebut memiliki perhatian tinggi terhadap peningkatan
pendidikan anak pekerja. Dialah yang membujuk Tan Malaka, siswa dari
Pandan Gading, Sumatra Barat yang telah menyelesaikan sekolah di Europese
Kweekschool Harleem, Belanda untuk kembali ke Indonesia dan mengabdi
bagi pendidikan pribumi. Tan Malaka diangkat menjadi salah satu pengawas
121
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
122
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
sekolah bisa mengisi kebutuhan posisi tenaga rendah sampai menengah seperti
juru tulis (clerk, kerani) di kantor onderneming dan afdeling, operator mesin
atau sebagai mandor kebun. Untuk itu, pekerjaan praktik banyak dikaitkan
dengan aktivitas perkebunan, seperti kegiatan bercocok tanam dan praktikum
otomotive.
Kepada siswa sekolah tidak hanya diberikan pelajaran membaca, menulis dan
berhitung saja namun diberikan juga pendidikan budaya seperti kesenian.
Guru yang memahami budaya Jawa sengaja didatangkan untuk memberikan
pelajaran kesenian kepada siswa sekolah. Sebagaimana tampak pada Gambar
8.18 kepada siswa wanita juga diberikan pelajaran membatik. Padahal bagi
masyarakat di Sumatra Timur saat itu kegiatan membatik bukan merupakan
tradisi yang berasal dari kearifan lokal.
Perluasan areal perkebunan pada awal abad ke-20 sudah menjangkau daerah
Simalungun. Di Sekitar Pematang Siantar (sekarang Kabupaten Simalungun)
banyak berdiri kebun milik HVA, H & C, NHM, Sipef, Goodyear dan
beberapa perkebunan lainnya. Untuk memberikan pelayanan pendidikan
dasar bagi anak-anak staf perkebunan maka atas prakarsa pengurus perkebunan
HVA pada tahun 1925 didirikan sekolah dasar berasrama Internaat Voor
123
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 8.19 Siswa dan Guru Sekolah Internaat Voor Europese Kinderen,
Pematang Siantar (Tropen Museum)
124
BAB VIII.
INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PERKEBUNAN
Kegiatan kesenian dikaitkan dengan seni tradisi yang sesuai dengan budaya asal
usul pekerja. Hampir di kebanyakan perkebunan yang didominasi pekerja suku
Jawa pasti ada satu jenis perkumpulan kesenian seperti wayang kulit, ludrug,
ketoprak atau jaran kepang. Balai karyawan merupakan sarana pertunjukan
untuk kegiatan tersebut. Secara rutin perkebunan juga memberikan hiburan
sebulan sekali dan setiap hari raya lebaran. Dalam nomenklatur akuntansi
perkebunan biaya digunakan untuk menyelenggarakan acara kesenian dan
hiburan dikelompokkan sebagai biaya keramaian.
Adapun fasilitas olah raga dan kesenian yang khusus disediakan untuk
staf pimpinan yang tinggal di emplasemen perkebunan biasanya terdiri
atas lapangan tenis dan meja billiar. Di beberapa perusahaan tertentu juga
disediakan fasilitas gedung pertemuan (selain mess atau pesanggrahan) yang
sering juga disebut sebagai “Club”. Gedung pertemuan tersebut dilengkapi
dengan peralatan audio visual untuk pemutaran film secara berkala atau untuk
kegiatan arisan dan aktivitas sosialita lainnya yang khusus untuk melayani
keluarga staf perkebunan.
125
BAB IX.
KORPORASI BESAR
PERKEBUNAN
DI SUMATRA TIMUR
Letak geografis pantai timur Sumatra merupakan wilayah yang sangat cocok
untuk usaha perkebunan. Tanahnya subur, elevasinya relatif datar serta luas
terbentang ratusan kilometer dari pantai sampai pegunungan bukit barisan,
menjadi magnet bagi investor Eropa pada awal abad ke-20. Pertumbuhan
ekonomi dunia pasca Revolusi Industri, dan ramainya Selat Malaka menjadi
unsur pendorong laju investasi di Sumatra Timur. Dalam kurun waktu15
tahun (1913–1929), total investasi meningkat lebih tiga kali lipat seperti
tampak pada Tabel 9.1.
Tabel 9.1 Arus Investasi di Sumatra Timur 1913–1929 (dalam Juta Gulden)
Tahun Belanda Inggris Amerika Lainnya Jumlah
1913 110 57 17 23 207
1924 242 80 75 74 471
1929 361 125 53 104 643
Sumber: Suwirta (2002)
Dari data yang disajikan pada tabel diatas menunjukkan bahwa pengusaha
dari negeri Belanda sangat mendominasi besaran total investasi. Hal itu
bisa dimaklumi bahwa sebagai pemilik otoritas negara maka Pemerintah
Hindia Belanda memberikan dukungan penuh terhadap pengusaha warga
Belanda dibandingkan dengan negara lain. Bidang usaha yang mereka masuki
umumnya terkonsentrasi pada bisnis komoditi tembakau, karet, kelapa sawit,
dan teh sebagaimana data pada tabel di bawah ini.
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
128
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
1. Deli Maatschappij
Pada tanggal 28 Oktober 1869, Jacobus Nienhuys, Peter Wilhelm Janssen,
A Clemen dan Jacob Theodor Cremer, membentuk perseroan terbatas yang
kelak dikenal dengan nama NV Verenigde Deli Maatschappij dengan PW
Janssen sebagai direkturnya. Deli Maatschappij adalah perusahaan pertama
di Tanah Deli atau di Hindia Belanda yang didirikan oleh para pedagang
dan pemilik perkebunan. Perusahaan tersebut resmi berdiri pada tanggal 1
November 1869 dengan akta tanggal 12 Januari 1870, bergerak dalam bidang
usaha perkebunan tembakau. Karena wilayah usahanya semakin meluas ke
arah daratan Deli maka pada tahun 1870 kantor perusahaan dipindahkan
dari Labuan ke Putri Hijau Medan. Modal awal maskapai sebesar 300 ribu
gulden dengan sebagian saham merupakan milik NHM. Tahun 1875 modal
dinaikkan lagi menjadi 500 ribu gulden dan tahun 1876 menjadi 800 ribu
gulden. Kepemilikan saham 50% dipegang oleh NHM.
129
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
130
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
Bagi para pecinta cerutu, tembakau Deli di Sumatra Timur dikenal sebagai
pembungkus cerutu (wraffer) terbaik sedunia. Pada awal abad ke-20,
perusahaan tersebut merajai pasar tembakau pembungkus cerutu dunia.
Kekayaan yang melimpah dari ekspor tembakau telah mendorong perusahaan
untuk melakukan diversifikasi usaha memperkuat rantai bisnis (supply chains),
misalnya dengan membentuk perusahaan jasa kereta api DSM.
Pemegang saham DSM yaitu JT Cremer dan PW Janssen, dikenal sebagai
pribadi yang memiliki komitmen tinggi terhadap nasib pekerjanya. Untuk
melayani kesehatan pekerja, didirikan rumah sakit pada 1872, yakni Deli
Maatschappij Hospitaal atau kini dikenal dengan nama Rumah Sakit
Tembakau Deli, di Jalan Putri Hijau, Medan. Komitmen sosial P.W. Janssen
juga diwujudkan dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak pekerja pribumi.
Hal itu diwujudkan melalui perusahaan miliknya yang lain yaitu Senembah
Maatschappij di Tanjung Morawa.
Menurut Breman (1997), pertumbuhan kekayaan Deli Maatschappij selaras
dengan masa keemasan tembakau Deli yang berlangsung sangat cepat.
Padahal, sampai tahun 1873 jumlah perkebunan tembakau di Sumatra Timur
baru mencapai 13 perusahaan. Pada tiga tahun berikutnya perusahaan yang
terlibat meningkat menjadi 40 perkebunan. Hanya kurang lebih 15 tahun
berikutnya jumlahnya meningkat menjadi 179 perkebunan di Sumatera
Timur pada tahun 1889.
Memasuki abad ke-20, perkembangan industri tembakau di Tanah Deli mulai
menunjukkan gejala penurunan. Bahkan, pasca krisis ekonomi tahun 1929 dan
memasuki tahun 1930-an, maskapai tembakau semakin sulit meningkatkan
pangsa pasarnya karena terjadi resesi ekonomi dunia. Diberlakukannya
kebijakan penerapan tarif bea masuk tambahan terhadap tembakau yang
diekspor ke Amerika Serikat semakin mengurangi daya saing tembakau Deli.
Pemerintah Amerika menerapkan cukai tinggi untuk melindungi produksi
tembakau dalam negerinya.
Luas wilayah usaha perkebunan tembakau yang menjadi konsesi Deli
Maatschappij di Sumatra Timur pada masa keemasannya mencapai 258 ribu
hektare. Sebaran luas areal usaha dapat dilihat pada peta di bawah ini.
131
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
132
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
dan Jawa Timur serta dari Ekuador. Luas areal tembakau Deli Maatschappij
tahun 1900-an dapat dilihat pada tabel berikut ini.
133
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
134
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
Pada akhir tahun 1950-an, Deli Maatschappij menjadi salah satu perusahaan
yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Pada saat itu, perkebunan
tersebut masih membudidayakan tembakau yang dipasarkan secara reguler di
pelelangan Rotterdam. Namun, total volumenya lebih rendah dibandingkan
dengan sebelum Perang Dunia II. Sejalan dengan besarnya permasalahan
okupasi lahan secara liar maka PTP Nusantara II, perusahaan yang
melanjutkan (warisan) Deli Maatschappij sudah semakin menurun kiprahnya
sebagai penghasil tembakau pembungkus cerutu dunia.
Pada masa jayanya, Deli Maatschappij memiliki 75 perkebunan di Sumatra
Timur, sebagian merupakan take over dari perusahaan Jerman, Inggris, Swiss,
Belgia dan Amerika. Saat ini areal konsesi Deli Maatschappij dikelola oleh
BUMN yang berkantor pusat di Tanjung Morawa, Sumut.
2. Senembah Maatschappij
Perkebunan Senembah Maatschappij didirikan oleh Hermann Naeher yang
berkebangsaan Jerman dan Karl Furchtegott Grob, yang merupakan pemilik
Kebun Helvetia yang berkebangsaan Swiss. Mereka pertama kali memperoleh
konsesi lahan pada tahun 1871 seluas sekitar 5.500 hektare dan terus
bertambah menjadi sekitar 23 ribu hektare pada tahun 1889. Seluruh areal
diperuntukkan untuk budi daya tembakau.
Pada awal pendirian perusahaan Senembah Maatschappij, aspek pendanaan
investasi, teknis operasional budi daya dan pemasaran tembakau banyak
dibantu oleh Deli Maatschappij. Pertumbuhan perusahaan tersebut maju
pesat sehingga pada tahun 1939, Senembah Maatschappij telah memiliki 11
kebun tembakau, 3 kebun karet dan 1 kebun kelapa nyiur. Kebun-kebun
tembakau yang dimiliki meliputi Kebun Tanjung Morawa, Kebun Sei Bahasa,
Kebun Batang Kuis, Kebun Petumbak, Kebun Gunung Rintih, Kebun
Pagar Merbau, Kebun Two Rivers, Kebun Selayang, Kebun Kuala Namu,
dan Kebun Simpang Empat. Adapun kebun karet meliputi Kebun Tanjung
Garbus, Kebun Melati dan Kebun Limau Mungkur serta satu kebun kelapa
di Sei Tuan (Affandi 1915). Gambar 9.4 menampilkan konsesi Senembah
Maatschappij di Sumatra Timur.
135
136
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 9.4 Peta Areal Konsesi Senembah Maatschappij di Sumatra Timur (Tropen Museum)
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
137
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
putih didikan fakultas kedokteran Eropa. Sampai saat ini rumah sakit tersebut
masih berfungsi dengan nama RSU Dr GL Tobing.
Komitmen Janssen lainnya yang patut diapresiasi adalah kebijakan perusahaan
memberikan hak pensiun. Pertama kali hak tersebut diberikan kepada karyawan
staf pada tahun 1896. Pada tahun 1914 hak yang sama juga diberikan kepada
pekerja kontrak yang ada di perusahaan tersebut. Masa kebesaran Senembah
Maatschappij sangat melekat dengan figur Janssen yang memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan pekerja. Hal itu terasa setelah Janssen kembali ke negeri
Belanda pada akhir tahun 1939 dan secara berangsur tata kelola perkebunan
yang humanis semakin memudar.
Setelah diterapkan kebijakan nasionalisasi Senembah Maatschapij dikelola oleh
perusahaan yang diberi nama PPN Baru Tanjung Morawa. Perusahaan tersebut
memiliki 13 kebun, yaitu Bekalla, Batang Serangan, Tandjong Keliling, Sawit
Seberang, Bukit Melintang, Basilam, Bukit Lambasa, Bukit Lawang, Gohor
Lama, Glugur Langkat, Marijke, dan Pabrik Peti Teh “Langkat”. Selanjutnya,
pada tahun 1968 PPN Baru menjadi PNP II yang berkantor pusat di Tanjung
Morawa dan sejak tahun 1974 berubah nama menjadi PT Perkebunan II.
Pada 11 Maret tahun 1996 PT Perkebunan II yang merupakan bekas
konsesi Senembah Maatschappij digabung dengan PTP IX yang mengelola
perkebunan bekas Deli Maatschappij menjadi PTP Nusantara II. Sekarang
Kantor Pusat perkebunan Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa, Deli
Serdang menjadi Kantor Pusat dari PTP Nusantara II.
138
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
diperoleh dengan hak konsesi sendiri atau akuisisi terhadap perkebunan yang
sudah ada.
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perkebunan RCMA di Gunung Bayu
diresmikan Pada 24 Februari 1924. Sementara Pabrik Kelapa Sawit di Pulu
Raja mulai dioperasikan pada tahun 1927. Pabrik tersebut dibangun untuk
mengolah buah kelapa sawit yang telah ditanam oleh Van Leuwen Boomkamp
pada tahun 1917. Adapun tanaman kelapa sawit dalam sekala perintisan
sudah ditanam duluan pada tahun 1911 di Pulu Raja.
Pada tahun 1949, RCMA merintis ekspor karet dalam bentuk lateks pekat ke
Eropa dan bekerja sama dengan perusahaan kapal uap Belanda membangun
tangki lateks di Amsterdam. Pengapalan pertama lateks sebanyak 290 ton
dari Belawan dilakukan pada bulan November 1949. Lima tahun pertama
berkiprah di Hindia Belanda, RCMA mengelola 37.000 hektare tanaman
karet dan menjadi perusahaan perkebunan karet terbesar di Hindia Belanda.
Pada tahun 1954, RCMA bahkan mulai mengembangkan usahanya ke
Tanzania dan Amerika Selatan.
139
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Pada Tahun 1953, RCMA memiliki 3 kebun sawit (Gunung Bayu, Hengelo/
Air Batu, dan Pulu Raja), 7 kebun karet (Membang Muda, Bandar Slamat,
Sungai Dadap, Sungai Silau, Sungai Mangkei, Rambutan dan Sungai Putih).
Semua perkebunan tersebut berada di wilayah Sumatra Timur.
Pada masa jayanya kebun yang dikelola RCMA di Sumatra Timur cukup
luas, di antaranya adalah: Sungai Kukus, Galang Barat, Pulu Raja, Gunung
Bayu, Hessa Barat, Paya Nibung dan Liberia, Bandar Slamat/Bandar Pulau,
Rambutan, Sibarau, Sungei Karang, Sei Mangke, Sungai Putih, Tanjong
Purba, Pandai Raja, Pulau Bandar, Batu Nanggar, Hengelo, Hillegersberg,
Limau Manis, Suka Mulia, Sungai Dadap, Sungei Silau, Labuan Hadji,
Membang Muda, Rantau Prapat, Marijke, Pematang Tengah, Serangdjaja,
Sibarau, Batu Nanggar, Hapasong, dan Labuan Haji.
Di Pulau Jawa, RCMA memiliki kebun karet Zeelandia dan Kali Suko, serta
kebun kopi Tanah Merah/Karang Anom, Gunung Gambir/Lawang Kedaton
Jawa Timur. RCMA berkantor pusat di Amsterdam. Kantor operasional
Indonesia antara lain berada di Sungai Karang Galang (Sumatra Utara).
140
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
Gambar 9.8 Pabrik Kelapa Sawit RCMA Kebun Pulo Raja, Dibuka Tahun
(1927) (Tropen Museum)
141
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 9.9 Kantor Harrisons & Crosfield di Medan, (1909) Sekarang Kantor
Lonsum (Tropen Museum)
142
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
143
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
144
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1840 menjadi turning point masuknya
NHM ke sektor riil yaitu usaha perkebunan. Perusahaan perkebunan tebu
(gula) merupakan debitur utama NHM selain kopi, nila, lada, dan karet.
Kebangkrutan debitur perusahaan perkebunan menyebabkan kepemilikan
saham maskapai beralih ke NHM (Wijaya 2001). Adapun keterlibatan
langsung ke sektor perkebunan di Sumatra Timur pertama kali dilakukan
ketika NHM menjadi pemegang saham perusahaan Deli Maatchappij bersama
P.W. Janssen pada 1 November 1869 di Tanah Deli. Selanjutnya pada tahun
1872 NHM juga ikut mendirikan perkebunan tembakau di Langkat dan
tahun 1877 di Kwala Mancirim.
Menurut Wijaya (2001), diversifikasi total ke sektor perbankan sesungguhnya
dimulai tahun 1860, ketika NHM mulai melayani pembayaran diskonto,
hutang piutang, pembiayaan ekspor impor, dan melaksanakan pembayaran
saham. Mulai 1 September 1883, NHM melakukan diversifikasi menjadi
bank modern dengan menerima dana pihak ketiga dalam bentuk deposito,
rekening koran dan produk jasa perbankan lainnya.
Kebun Bah Butong dan Bah Birong Ulu merupakan bidang usaha perkebunan
teh yang dimiliki NHM. Perkebunan Bah Butong dibuka pada tahun 1917.
Sementara pabrik pertama didirikan tahun 1927 dan mulai beroperasi sejak
tahun 1931.
NHM merupakan perusahaan yang ikut dinasionalisasi pada akhir tahun
1950-an. Setelah nasionalisasi sektor perkebunan dikelola oleh PPN-Baru
sedangkan sektor perbankan menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI)
yang kelak dimerger dengan Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara
menjadi Bank Mandiri.
NHM banyak memiliki kebun di Pulau Jawa yang diperoleh melalui
pengambilalihan saham dari pemiliknya (debt to swap) yang disebabkan adanya
kredit macet, diantaranya pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk
perkebunan di Sumatra Timur tercatat hanya Kebun Bah Butong dan Bah
Birong Ulu yang langsung dikelola NHM. Setelah nasionalisasi kebun-kebun
di Sumatra Timur kini pengelolaannya bergabung menjadi wilayah kerja PT
Perkebunan Nusantara IV yang berkantor pusat di Medan.
145
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 9.11 Pabrik Teh NHM Kebun Bah Butong, (1930) (Tropen
Museum)
146
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
dan 1921 di Kebun Sidamanik dengan luas konsesi 2.322 hektare. Kebun
Balimbingan, Bah Tongguran dan Pagar Jawa diperoleh pada tahun 1924,
dengan total luas konsesi mencapai 14 ribu hektare. Pada tahun 1926 HVA
mulai merintis perluasan pembangunan Kebun Teh Kayu Aro di Kerinci,
Jambi (termasuk Sungai Batu dan Sungai Tanduk). Lokasinya berada di kaki
Gunung Kerinci dengan luas konsesi 10 ribu hektare. HVA juga membuka
kebun teh di dataran tinggi Dairi pada tahun 1927.
Gambar 9.12 Kantor HVA Medan (1927), Sekarang Kantor PTP Nusantara
IV (Tropen Museum)
HVA memperluas kebun serat di Dolok Ilir, Laras, Parnabolon dan Bah Jambi.
Pembukaan kebun serat Bandar Betsy dilakukan pada tahun 1928. Pabrik
serat di Bah Jambi dioperasikan pada Januari 1930 dan Dolok Sinumbah Juli
1930. Selain budi daya serat, di Kebun Bah Jambi juga mulai ditanam kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit HVA pertama kali ditanam di Tinjowan dan
Dolok Sinumbah. Adapun pabrik Dolok Sinumbah merupakan PKS pertama
yang dioperasikan pada tahun 1930. Sementara pengusahaan tanaman karet
dilakukan di Kebun Bangun dan Gohor Lama pada tahun 1927–1928. HVA
juga mengusahakan penanaman tembakau di Langkat pada kurun waktu
tahun 1920–1925.
Kebun-kebun HVA di Sumatera Utara kini dikelola PTP Nusantara IV.
Sementara kebun-kebun PTPN IV diluar eks HVA, RCMA dan NHM yaitu
diantaranya SCM (Serdang Cultuur Maathappij) di Kebun Adolina yang
147
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
pertama kali dibuka oleh bangsa Belanda pada tahun 1926, serta perusahaan
Jepang di Berangir dan Ajamu. Perusahaan Sumatra Tea Estate di Kebun
Marjandi, yang merupakan salah satu dari kelompok usaha Harrison and
Crosfield .
148
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
149
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 9.14 Pembibitan Kelapa Sawit Awal Abad ke-20 (Tropen Museum)
150
BAB IX.
KORPORASI BESAR PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR
151
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN
TEMPO DULU
c. Proses Produksi
Tanaman asli tembakau (Nicotiana tabacum L.) berasal dari Benua Amerika.
Produk daun tembakau Deli digunakan untuk pembungkus cerutu. Lahan
untuk budi daya tembakau di Sumtra Timur umumnya berasal dari areal
konsesi yang diberikan Sultan Deli berupa hutan bebas (woeste granden).
Tanaman tembakau bisa tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi,
dengan suhu udara berkisar antara 21–32 derajat celcius. Dibutuhkan media
tumbuh tanah gembur, remah serta kemampuan mengikat air yang cukup.
Drainase perlu dikelola dengan baik karena tanaman ini sangat rentan pada
tanah tergenang. Gambar 10.1 menampilkan proses pembukaan areal hutan
untuk budi daya tembakau pada akhir abad ke-19.
154
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
155
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
terik matahari langsung. Pada awal transplanting tanaman perlu disiram pagi
dan sore hari untuk mempertahankan kelembapan tanah dan menstimulasi
tumbuhnya perakaran. Gambar 10.3 memperlihatkan pekerja sedang merawat
tanaman tembakau meliputi penggemburan lahan dan pengendalian gulma
secara manual.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan gulma pengganggu sekaligus juga
penggemburan tanah, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit.
Hara diberikan untuk menstimulasi pertumbuhan dan kesehatan tanaman.
Pada masa awal budi daya tembakau di Tanah Deli paruh kedua abad ke-
19, semua pekerjaan dilakukan secara manual. Tembakau pembungkus
cerutu mensyaratkan standar mutu yang tinggi. Pemangkasan (topping dan
wiwilan) dilakukan untuk mengatur pertumbuhan daun utama dan untuk
menghentikan pertumbuhan apikal. Wiwilan tunas samping diperlukan agar
daun tumbuh jagour.
Tidak semua lahan di Tanah Deli topografinya datar, pada lokasi tanah
miring maka sistem tanam dibuat dengan pola terasering, yaitu mengatur agar
arah barisan tanaman memotong kelerengan lahan sehingga run off (aliran
permukaan air saat datang musim hujan) dapat dikendalikan. Gambar 10.4
menampilkan hamparan tanaman tembakau di lahan miring.
156
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Tembakau adalah tanaman elite yang harus dijaga mutu daunnya agar
memenuhi standar tembakau pembungkus cerutu. Syarat tersebut di
antaranya ketebalan daun, keelastisan (kelentingan), dan kelembutan daun
(bodi). Permukaan daun juga harus bersih dari bercak bekas serangan hama
dan penyakit tanaman.
Tembakau pembungkus cerutu (wrapper) memiliki syarat mutu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tembakau pengisi cerutu (filler dan binder).
Untuk pengisi cerutu tidak membutuhkan syarat harus bebas bercak daun.
Gambar 10.5 memperlihatkan tanaman tembakau tumbuh subur dan siap
panen di Perkebunan Polonia, Sumatra Timur.
2) Panen
Panen tembakau dilakukan secara bertahap dari urutan daun paling bawah
(pangkal). Pelaksanaannya disesuaikan tingkat kemasakan dan jumlah daun
yang siap dipanen. Kriteria daun yang sudah matang panen ditandai dengan
adanya perubahan warna dari hijau menjadi kuning kehijauan dan tangkai
daun juga mudah dipatahkan dari pangkal batang. Gambar 10.6 menampilkan
pekerja sedang mempersiapkan panen tembakau di Tanah Deli.
157
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Waktu panen umumnya dilakukan pagi sampai siang hari ketika embun
sudah mulai menguap sehingga daun tidak terlalu getas yang menjadikannya
mudah robek. Setelah dipanen, daun tembakau selanjutnya dikirim ke
bangsal pelayuan atau pemeraman. Sebelum diperam terlebih dahulu diseleksi
158
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
atas kesamaan ukuran dan warna. Tujuannya agar handling lebih mudah
dilaksanakan dengan mengelompokan berdasarkan sifat-sifat yang sama.
Sebelum diperam, dilayukan beberapa hari dalam bangsal khusus sampai
mencapai kadar air tertentu.
Waktu peram berbeda antara daun bagian bawah dengan daun bagian atas.
Daun bagian bawah hanya perlu waktu 1–2 hari, sedangkan daun di posisi
lebih ke atas membutuhkan waktu peram yang lebih lama. Gambar 10.7
menampilkan ilustrasi proses panen dan pengiriman daun tembakau dari
lapangan ke unit pemeraman.
159
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Daun tembakau dalam stapel dengan berat sekitar 2–2,5 ton selanjutnya
ditutup rapat agar fermentasi berlangsung optimal. Sebelum dikirim ke
pelelangan di Rotterdam, Belanda, tembakau dikemas (packaging) dengan
ukuran (80 x 60 x 40) cm dalam bungkusan anyaman tikar “welingi”. Rata-
rata berat setiap kemasan sekitar 80 kg/baal.
Proses pemasaran tembakau sejak Jacobus Nienhuys pertama kali
membudidayakan di Tanah Deli dilakukan melaui lelang (auction) di
Rotterdam, Belanda. Mulai tahun 1867 tembakau Deli menjadi salah satu
peserta lelang yang diikuti oleh pembeli dari seluruh produsen cerutu yang
ada di Eropa dan Amerika.
160
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
161
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
b. Proses Produksi
Iklim mikro yang dikehendaki tanaman karet adalah perlunya intensitas
cahaya matahari dengan lama penyinaran 5–7 jam/hari serta kelembapan
udara 75–90%. Curah hujan sedang dan dihindari penanaman pada daerah
lintasan angin yang bisa merusak tanaman.
Gambar 10.11 Pembukaan Hutan untuk Budi Daya Karet di Tanah Deli,
(1905) (KITLV)
162
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Pada awal abad ke-20, proses penanaman karet dimulai dengan membuat
penyemaian biji. Benih sebagai sumber bahan tanam dipilih dari tanaman
induk yang sehat, jagour dan memiliki karakter mutu sesuai dengan yang
dikehendaki. Untuk areal dengan kemiringan di atas 10%, sebaiknya dibuat
teras contour untuk menghambat terjadinya aliran permukaan (run off)
yang dapat mengikis kesuburan lahan. Pembuatan rorak secara zig-zag juga
membantu untuk mengurangi terjadinya run off.
163
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
164
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Gambar 10.14 Hamparan Tanaman Karet Siap Sadap Kebun Alur Jambu
(Tropen Museum)
165
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Mutu bahan olah karet berbanding lurus dengan persentase kadar karet
kering (DRC, dry rubber contain). Penanganan pascapanen dibedakan antara
bahan baku dari lateks dan lump. Lateks yang telah dikumpulkan dari setiap
mangkuk harus dijaga kebersihannya dari kotoran, sejak penyadapan sampai
pengangkutan ke pabrik. Biasanya, lateks dari mangkuk sadap dituangkan
kedalam ember dari aluminium yang bersih dan tertutup untuk menghindari
kontak dengan udara yang bisa menyebabkan lateks menggumpal.
Selanjutnya, pengangkutan lateks dari lapangan ke pabrik menggunakan tangki
berkapasitas sekitar 1.000 kg. Untuk menghindari terjadinya penggumpalan
dini selama dalam perjalanan (pengangkutan) maka ditambahkan bahan
anti koagulasi. Sementara itu, untuk karet lump diperoleh dari lateks yang
dikumpulkan dari setiap mangkuk sadap. Agar lateks dalam mangkuk cepat
menggumpal maka ditambahkan asam semut. Gambar 10.16 menampilkan
proses pengangkutan lateks dari kebun (lapangan) ke pabrik untuk diproses
di unit pengolahan.
166
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
167
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Prinsip dasar pengolahan karet ada dua pola sesuai bahan baku dan produk
yang dihasilkan. Untuk yang berasal dari lateks produk akhirnya adalah karet
jenis RSS (Ribbed Smoked Sheet). Untuk yang berasal dari lump dihasilkan
jenis karet SIR (Standard Indonesian Rubber). Produk karet yang dipasarkan
pada awal pengusahaan karet di Sumatra Timur umumnya dalam bentuk
RSS.
Proses pengolahan RSS dimulai dengan melakukan pengenceran 6 kali
terhadap lateks yang diterima dari lapangan. Selanjutnya, diberikan koagulan
selama 1–2 jam agar lateks menggumpal. Dua jam setelah proses koagulasi
selesai maka tahap selanjutnya adalah dilakukan penggilingan melalui alat
yang disebut sheeter. Hasilnya adalah bentuk lembaran karet berwarna putih.
Gambar 10.18 menunjukkan mesin pembentuk lembaran karet di pabrik
karet tempo dulu di Tanah Deli.
168
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
169
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
yang berasal dari cabang atau ranting pohon karet. Karet yang sudah terasapi
(smoked sheet) selanjutnya diperlakukan pemadatan dengan alat press.
Proses terakhir adalah pengepakan karet dalam kemasan yang siap untuk
ekspor. Ada dua ukuran kemasan yang lazim dibuat dalam perdagangan karet
internasional yaitu untuk big bale beratnya 113 kg dan small bale beratnya
33 kg untuk setiap kemasan. Masing-masing kemasan diberikan tanda kelas
mutu RSS-nya (RSS 1 s/d RSS 3) untuk selanjutnya siap dikirim ke negara
tujuan. Gambar 10.21 menampilkan proses penyusunan karet RSS di gudang
milik Senembah Maatschappij Sumatra Timur.
170
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
a. Pelaku Usaha
Perusahaan yang merintis pengembangan budi daya kelapa sawit di Sumatra
Timur pada awal abad ke-20, di antaranya RCMA, HVA, Asahan Cultuur
Mij, LCB Mayang, Deli Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Socfin dan Sipef.
c. Proses Produksi
1) Persiapan Tanam dan Pemeliharaan
Pada awal budi daya kelapa sawit tahun 1911 di Tanah Itam Ulu, maskapai
Oliepalmen Cultuur membangun kebun dari lahan hutan. Ketika itu
penumbangan pohon dalam kegiatan land clearing dilakukan secara manual.
171
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
172
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
173
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10. 25 Pekerja sedang Memanen Tandan Buah Kelapa Sawit, (1921)
(Tropen Museum)
TBS yang telah dipanen selanjutnya dibawa ke pabrik kelapa sawit (PKS,
palm mill) untuk diproses menjadi minyak sawit (crude palm oil, CPO) dan
inti sawit (palm kernel, PK). Untuk mengangkut TBS dari lapangan ke PKS,
ketika itu perkebunan lebih sering menggunakan kereta api (montik) sebagai
alat angkut. Gambar 10.26 menampilkan kereta api pengangkut TBS dari
lapangan ke PKS.
Pengangkutan TBS dari lapangan ke PKS selain dengan kereta api, juga bisa
menggunakan gandengan yang ditarik traktor (wheel tractor). Hal itu terutama
digunakan pada daerah dengan topografi curam sehingga tidak mungkin
dibangun fasilitas rel kereta api. Gambar 10.27 menunjukkan pengangkutan
TBS di Kebun Adolina, Serdang Bedagai.
174
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Gambar 10. 26 Pengangkutan TBS dengan Kereta Api ke PKS Pulu Raja,
(1925) (Tropen Museum)
175
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10.28 Stasiun Rebusan di PKS Tanah Itam Ulu, (1938) (Tropen
Museum)
176
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Proses pengolahan berikutnya setelah TBS sampai PKS diawali dengan proses
penimbangan untuk menentukan berat produksi TBS yang dihasilkan hari
itu. Selanjutnya, TBS disortir untuk menentukan mutu buah yang masuk
sebagai dasar penilaian apakah pemanen telah melaksanakan pekerjaannya
dengan benar. Tahapan berikutnya adalah memasukkan TBS yang telah
ditampung dalam lori rebusan selanjutnya ke stasiun perebusan di sterellizer.
TBS dimasukkan ke dalam satu bejana kedap udara yang dialirkan uap panas
(steam) dengan tekanan tertentu. Tujuannya menghentikan aktivitas biokimia
sehingga proses pembentukan asam lemak bebas dihentikan. Dengan proses
perebusan TBS maka kadar air juga berkurang dan buah menjadi lebih mudah
dilepaskan dari tangkainya (memberondol). Daging buah menjadi lebih lunak
sehingga mudah lepas dari biji.
Proses berikutnya adalah melalui stasiun penebahan (threshing) untuk
memisahkan buah dari janjangan dengan cara mengangkat dan membanting
pada mesin digester. Tujuannya untuk melumatkan daging buah dan
memisahkan daging buah dari biji. Biji sawit selanjutnya dipisahkan antara
cangkang dan inti sawit (palm kernel) pada alat yang dinamakan riplle mill
serta untuk memisahkan cangkang dari inti sawit pecah dengan mesin
claybath. Inti sawit mengandung minyak inti (palm kernel oil, PKO) yaitu
memiliki sifat minyak lebih baik dari CPO. Untuk menghasilkan PKO,
masih memerlukan satu proses lagi yaitu diolah pada alat yang dinamakan
palm kernel expeller. Produk yang dihasilkan adalah PKO dan palm kernel mill
(PKM). Gambar 10.29 menunjukkan proses pengemasan inti sawit untuk
diekspor. Saat itu belum belum ada pabrik di Sumatra Timur yang mampu
mengolah inti menjadi PKO.
Tahapan proses berikutnya untuk menghasilkan CPO yaitu setelah melewati
mesin digester buah masukan ke screw press untuk memisahkan minyak kasar
(crude oil) dan fiber. Selanjutnya, dimasukkan ke stasiun klarifikasi untuk
memisahkan minyak sawit dari pasir (sand trap), minyak dari serabut (vibro
separator) serta minyak dari air dan kotoran (clarifier). Minyak sawit mentah
(CPO) yang telah dihasilkan selanjutnya disimpan di tanki timbun. Dari PKS
CPO dikirim ke tangki timbun Pelabuhan Belawan. Jika sudah memenuhi
volume tertentu bisa dimuat ke kapal pengangkut. CPO terkadang bisa juga
langsung dimuat ke kapal dari tangki kereta api seperti tampak pada Gambar
10.30.
177
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10. 29 Penyimpanan Inti Sawit (Palm Kernel) di PKS Tanah Itam
Ulu, (1921) (Tropen Museum)
Gambar 10. 30 Loading CPO dari Kereta Api ke Kapal di Belawan, (1927)
(Tropen Museum)
178
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
CPO dari tangki penyimpan sementara atau langsung dari tanki kereta api.
Selanjutnya, dimuat (loading) ke kapal yang akan membawa CPO ke negara
tujuan ekspor sebagaimana tampak pada Gambar 10.31.
179
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10. 32 Boiler di PKS Tanah Itam Ulu, (1938) (Tropen Museum)
PKS Tanah Itam Ulu ketika itu sudah mampu mengembangkan industri
hilir paling sederhana dari komoditi kelapa sawit, yaitu dengan dihasilkannya
produk sabun cuci (dalam bentuk batangan) yang bahan bakunya berasal dari
minyak sawit.
Produk sabun cuci dari PKS Tanah Itam Ulu telah dijual di pasar lokal di
Sumatra Timur. Sebelum ditemukannya sabun batangan berbahan baku
minyak kelapa sawit, masyarakat umumnya hanya mengenal sabun cuci dan
sabun mandi yang bahan bakunya berasal dari minyak kelapa. Gambar 10.33
menunjukkan unit pengolahan dari CPO ke sabun batangan (sabun cuci dan
atau sabun mandi) di PKS Tanah Itam Ulu.
180
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Gambar 10. 33 Pabrik Sabun dari Kelapa Sawit Tanah Itam Ulu, (1940)
(Tropen Museum)
181
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
182
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
183
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
184
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
185
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Pada waktu yang hampir bersamaan, pengembangan teh dalam skala cukup
luas juga dimulai oleh Handels Vereeniging Amsterdam (HVA) yang membuka
Kebun Teh di Balimbingan, pada ketinggian sekitar 400 m dpl. Sebagian areal
yang digunakan untuk menanam teh merupakan konversi dari lahan tanaman
kopi. Keberhasilan penanaman teh di Balimbingan dikuti dengan perluasan
ke daerah yang lebih tinggi lagi yaitu pada altitude sekitar 800–900 m dpl di
Sidamanik (dan sebagian Tobasari sekarang) pada tahun 1918. Selanjutnya,
pada awal tahun 1920-an perusahaan perkebunan HVA yang berkantor di
Medan juga mengembangkan areal ke Kayu Aro, yaitu dataran tinggi yang
berada di kaki Gunung Kerinci, Jambi. Ketinggian areal antara 1000–1300 m
dpl dengan luasan konsesi sekitar 10.000 hektare.
Penaklukan kerajaan-kerajaan kecil Simalungun telah melempangkan jalan
bagi perluasan perkebunan teh ke dataran tinggi dekat Danau Toba. Kebun-
kebun teh lain yang dibuka di sekitar Pematang Siantar yaitu diantaranya
adalah Kebun Bah Birong Ulu yang dibangun pada tahun 1912 oleh
Perusahaan Tiedeman & Van Kerchem Batavia. Pada tahun 1917 karena
kesulitan keuangan Kebun Bah Birong Ulu diambil alih NHM. Di dekat Bah
Birong Ulu juga dibangun Kebun teh Parmanangan dan Kebun Kasinder.
Sayang belum ditemukan data dan informasi kapan dan nama perusahaan
yang membangunnya. Pada tahun 1926 NHM juga membangun kebun dan
pabrik pengolahan teh di Bah Butong yang beroperasi sejak tahun 1927.
Perusahaan besar pengelola teh di Sumatra Timur di antaranya NHM, HVA
dan perusahaan Inggris Harrisons & Crosfield (H&C). Ketiga perusahaan
tersebut memiliki sejarah perkembangan yang berbeda. NHM adalah
perusahaan milik Kerajaan Belanda, yang didirikan oleh Raja Willem I di
Den Haag pada tanggal 29 Maret tahun 1824. Maskapai tersebut bergerak
di sektor pembiayaan usaha komersial di seluruh wilayah jajahan. Setahun
setelah berdiri dibuka kantor perwakilan di Batavia pada tahun 1825.
Dalam perkembangannya, NHM juga mengambil alih atau mengakuisisi
perusahaan perkebunan yang pembangunannya didanai pinjaman NHM
karena beberapa alasan, misalnya karena kesulitan keuangan. Setelah
nasionalisasi, kegiatan perbankan NHM diteruskan oleh Bank Exim sebelum
melebur menjadi Bank Mandiri sekarang. Adapun pada bidang usaha
perkebunan diteruskan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
186
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
HVA merupakan perusahaan swasta yang berdiri pada tahun 1878, berperan
sebagai semacam induk perusahaan (holding) yang menaungi beberapa
perusahaan, diantaranya ada yang bergerak di sektor perkebunan. Perusahaan
yang semula bergerak di sektor perdagangan tersebut telah berhasil melakukan
ekspansi melalui kebijakan merger dan akuisisi. Melalui kantornya yang berada
di Surabaya (sekarang Kantor PTPN XI) dan di Medan (sekarang Kantor
PTPN IV) perusahaan tersebut berkembang pesat. Pada tahun 1922 HVA
telah mengelola 39 unit usaha dengan tujuh komoditi yaitu gula, tapioka,
serat, karet, kopi, kelapa sawit, dan teh.
Di Sumatra Timur HVA mengelola empat komoditi dengan 16 unit
produksi yaitu 4 unit komoditi serat (Dolok Ilir, Laras, Bah Djambi, Bandar
Betsy), 5 unit Kebun Kelapa Sawit (Tindjowan, Dolok Sinumbah, Pagar
Djawa, Tonduhan, dan Boeloe Blang Ara), 3 unit Kebun Teh (Balimbingan,
Sidamanik, dan Kayu Aro) dan 4 unit Kebun Karet (Bangun, Gohor Lama,
Alur Djambu, Pulau Tiga).
Perusahaan perkebunan karet milik Inggris H & C didirikan oleh Trio Daniel
Harrison, Smith Harrison and Joseph Crosfield pada tahun 1844 di Liverpool.
Perusahaan ini awalnya bergerak di bidang importir teh dan kopi. Pada akhir
abad ke 19 sebelum melonjaknya harga karet semasa Perang Dunia II, H &
C mulai tertarik untuk melakukan investasi langsung pada usaha perkebunan
karet, teh, kopi, coklat, dan kelapa sawit. Mereka mengoperasikan beberapa
perkebunan di Malaysia, Srilangka, Sumatra Timur, Papua dan India Selatan.
Di Sumatra Timur Perkebunan H&C di antaranya membuka kebun di sekitar
Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan daerah lainnya. Perusahan lain yang
bergerak dalam budi daya teh yaitu Socfin, Sipef, dan lainnya.
Masa kejayaan komoditi teh di Sumatra Timur terjadi pada dekade tahun
1920-an serta berakhir semenjak terjadinya depresi ekonomi pada tahun 1929
(zaman malaise). Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945) banyak areal
kebun teh yang dikonversi ke tanaman pangan, terlantar atau mengalami
kerusakan. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, kebun-kebun teh yang
umumnya masih diusahakan oleh perusahaan milik Belanda, menghadapi
berbagai kendala dalam pengusahaannya. Setelah Indonesia merdeka, pada
tahun 1958 dilakukan pengambilalihan perkebunan teh milik perusahaan-
perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia yang pelaksanaannya
di bawah pengawasan TNI Angkatan Darat. Selanjutnya, secara bertahap
187
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
188
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Luas areal Teh di sisi timur Danau Toba pada tahun 1920-an mencapai +/- 21 ribu
hektare, meliputi Kebun-kebun: Naga Huta, Martoba, Tanjung Pinggir, Simbolon, Pagar
Jawa, Balimbingan, Kasinder, Marjandi, Sidamanik, Parmanangan, Bah Birong Ulu, Bah
Butong dan Tobasari. Kesemuanya berada di Kabupaten Simalungun.
Gambar 10.34 Kawasan Perkebunan Teh di Sisi Timur Laut Danau Toba
(Kabupaten Simalungun)
189
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
190
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Gambar 10.36 Kebun Biji sebagai Sumber Bahan Tanam Teh di Kebun Bah
Butong, (1925) (Tropen Museum)
Kebun biji merupakan sumber benih pada perbanyakan tanaman teh sebelum
diketemukannya teknologi pembiakan vegetatif (klonal) menggunakan bahan
tanam dari stek daun pada tahun 1970-an yang menghasilkan tanaman yang
seragam secara genetik. Di hamparan kebun biji, tanaman teh sengaja ditanam
dan dibiarkan tumbuh menjadi perdu tinggi. Tujuannya agar terjadi proses
generatif yaitu menghasilan bunga, mengalami proses pembuahan dan pada
akhirnya dihasilkan biji.
Sumber tanaman penghasil biji dipilih dari hasil seleksi tanaman yang
memiliki sifat-sifat unggul sesuai keinginan pemulia tanaman (breeder).
Misalnya, dikehendaki tanaman yang memiliki potensi produktivitas tinggi
dan atau mutu istimewa (aroma, warna seduhan, dan rasa teh) serta tahan
terhadap penyakit tertentu. Biji-biji teh yang dipanen dari kebun biji
selanjutnya diseleksi antara lain dari ukuran biji dan berat jenis. Tujuannya
untuk memperoleh benih yang sehat (jagour). Benih yang terpilih selanjutnya
ditanam di lahan yang telah dipersiapkan untuk pesemaian dalam bentuk
bedengan-bedangan sebagaimana tampak pada Gambar 10.37. Perbanyakan
tanaman dengan biji sekarang sudah tidak diterapkan lagi dengan adanya
teknologi perbanyakan dengan stek daun.
191
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10.37 Pembibitan Teh Kebun Bah Birong Ulu, (1912) (Tropen
Museum)
Setelah berusia 1,5 sampai 2 tahun dalam bedengan tanaman sudah bisa
dipindahkan ke lapangan (transplanting). Sebelum bibit dipindahkan, seleksi
bibit diperlukan untuk memastikan bahan tanam cukup sehat dan kuat
beradaptasi di lapangan.
Sebelum ditanam teh lahan terlebih dahulu ditanami dengan sejenis semak
pelindung, umumnya digunakan Crotalaria, sp. atau Tephrozia candida.
Crotalaria termasuk jenis tanaman polong (leguminosae) yang berfungsi
sebagai penaung atau peneduh tanaman muda, sumber pupuk hijau dan
sekaligus sebagai penghasil unsur N-alami dari bintil akar. Sementara Teprozia
candida lebih berperan untuk mengendalikan run off karena perakarannya
cukup banyak dan juga berperan sebagai sumber pupuk hijau. Penanaman
tanaman pelindung dilakukan enam bulan sebelum bibit teh ditanam. Masa
tanam teh biasanya dilakukan pada awal musim hujan. Hal itu penting agar
tanaman yang masih lemah tersebut tidak mengalami tekanan iklim dan cepat
beradaptasi dengan kondisi tanah yang lembap. Fungsi tanaman pelindung
adalah untuk menjaga kelembapan dan iklim mikro tetap ideal untuk
perkembangan awal. Sebagaimana dimaklumi, ketika itu belum dikenal
media tanam dengan polybag sehingga teh ditanam dalam bentuk stum, yaitu
192
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Lapangan yang akan menjadi lahan tanaman teh harus benar-benar bebas
dari tanaman pengganggu (gulma). Saat itu tanaman lalang (Imperata
cylindrica) merupakan gulma yang sangat merepotkan sehingga sepertinya
menjadi musuh nomor satu bagi perkebunan. Para planter tidak pernah
membiarkan lalang tumbuh merajalela di perkebunan teh. Pola pembersihan
lalang dilakukan dengan mengambil seluruh akar (stolon) yang ada di dalam
tanah (up rooting), selanjutnya dijemur sampai kering. Jika pupulasi lalang
sporadis maka disiapkan tenaga khusus “buru lalang”, yaitu mengambil
gulma beserta seluruh akarnya agar tidak berkembang biak menjalar di tanah.
Diketemukannya herbisida sistemik dari jenis glyphosat pada awal tahun 1980-
an menjadi akhir kerisauan pekebun. Saat ini lalang mudah dikendalikan
dengan glyphosat. Gambar 10.39 menunjukkan contoh pembersihan lalang
secara up rooting.
193
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10.39 Buru Lalang di Kebun Bah Birong Ulu, (1921) (Tropen
Museum)
Pada saat transplanting bibit teh ke lapangan, akar-akar halus (akar rambut)
umumnya terputus sehingga pada masa awal penanaman merupakan periode
adaptasi yang kritis. Keberadaan tanaman pelindung menjadi penting untuk
menciptakan iklim mikro yang optimal. Barisan tanaman pohon pelindung
diatur sesuai dengan desain jarak tanam dan barisan teh yang diinginkan.
Untuk tanaman di tanah dengan kelerangan di atas 30 persen, pola tanamnya
adalah secara contour (nyabuk gunung, mengikuti kelerengan yang sama)
seperti contoh pada Gambar 10.40.
Pada tanah miring, tanaman penaung dipilih Theprozia candida karena
memiliki perdu yang lebih kuat, sekaligus berfungsi juga untuk menahan
erosi lahan. Barisan tanaman diatur mengikuti kelerengan atau secara contour.
Tahapan berikutnya adalah memelihara tanaman teh yang sudah ditanam.
Pekerjaan yang dilaksanakan di antaranya menyulam tanaman yang mati,
mengendalikan pertumbuhan gulma, serta serangan hama dan penyakit.
Pekerjaan yang bersifat khusus adalah mengatur percabangan tanaman agar
membentuk perdu yang menyebar merata disekitar batang (seperti meja)
sebagai persiapan membentuk bidan petik. Gambar 10.41 adalah contoh
barisan contour tanaman muda umur di bawah satu tahun.
194
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Gambar 10.41 Tanaman Teh Muda di Kebun Bah Birong Ulu, (1923)
(Tropen Museum)
195
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Untuk daerah tertentu yang curah hujannya rendah atau ada periode musim
kemarau yang panjang, kelembapan rendah atau di dataran rendah yang suhu
hariannya di atas 30 derajat celsius maka perlu ditanam pohon pelindung.
Fungsinya (umumnya Albizia falcata, Suren, atau Lamtorogung) adalah
untuk mengurangi intensitas matahari sehingga tidak langsung terpapar pada
perdu teh. Fungsi lainnya untuk menaikkan kelambapan udara pada musim
kemarau serta menahan hembusan angin (sebagai wind breaker). Tanpa
pohon pelindung akan terjadi transpirasi berlebihan pada daun teh. Dampak
buruknya, tanaman mengalami masa dormancy (menghentikan aktivitas
vegetatif). Hanya pucuk burung yang tumbuh sehingga produksi turun
drastis. Gambar 10.42 adalah contoh tanaman naungan pada perdu teh.
Gambar 10.42 Hamparan Teh dibawah Pohon Albizzia di Kebun Pagar Jawa
(Tropen Museum)
196
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
paling tidak harus disiapkan 2 pemetik yang bekerja rutin setiap hari. Setiap
tanaman harus dipetik dengan interval seminggu sekali. Saat ini proses panen
teh umumnya sudah menggunakan gunting petik atau bahkan mesin petik
(plucking machine) Gambar 10.43 menampilkan pekerja pemetik teh yang
sedang mengambil pucuk muda.
197
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Setiap pemetik umumnya telah mulai bekerja ketika matahari baru bersinar.
Waktu pagi hari merupakan masa paling produktif karena udara masih segar
198
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
dan daun teh masih getas sehingga mudah dipetik. Dalam dua sampai tiga
jam memetik biasanya sudah terkumpul pucuk teh antara 10–15 kilogram.
Sekitar jam 09.00 pemetik sudah menimbangkan pucuk untuk dibawa ke
pabrik. Satu hari dilakukan 2–3 kali penimbangan dan pekerjaan berakhir
pada jam 17.00 sore. Pada umumnya pemetik melakukan ritual makan
pagi (sering disebut waktu wolon) setelah timbang pertama. Gambar 10.45
menampilkan pemetik teh sedang bekerja di pagi hari.
Tidak sembarang pucuk dan daun boleh dipetik. Hanya daun yang masih
muda dan getas yang boleh dibawa ke pabrik. Daun tua tidak dibolehkan
untuk dibawa karena jika terolah akan menghasilkan teh bermutu rendah.
Gambar 10.46 menampilkan pemetik yang sedang menyeleksi daun teh
antara yang getas dengan daun tua.
Gambar 10.46 Sortasi Daun Teh di Kebun Naga Huta, (1905) (Tropen
Museum)
Pucuk segar yang telah dipetik dari lapangan harus sesegera mungkin dikirim
ke pabrik agar tidak terjadi pelayuan dini atau bahkan tidak menutup peluang
kemungkinan daun menjadi gosong (broyen, lanas). Daun yang menjadi lanas
tidak akan menghasilkan seduhan teh yang bernilai. Umumnya daun lanas
hanya akan menjadi limbah dan harus dimusnahkan. Bercampurnya pucuk
yang standar dengan pucuk broyen akan merusak mutu teh. Di pabrik teh,
perlakuan untuk mengatasi terjadinya daun lanas adalah dengan melakukan
pengadukan secara berkala di bak pelayuan (withering through).
199
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Ketika kebun teh baru pertama kali dibangun dalam skala korporasi di
dataran tinggi Simalungun pada awal abad ke-20, sarana pengangkutan
bahan baku dan hasil produksi di perkebunan masih sangat sederhana.
Ketika itu kendaraan bermotor seperti truk belum banyak diproduksi
dan digunakan di kebun. Untuk sarana transportasi barang atau manusia,
pekebun banyak mengandalkan alat angkut yang ditarik oleh kerbau, kuda
atau sapi. Pengangkutan daun teh basah dari lapangan ke pabrik umumnya
menggunakan gerobak yang ditarik oleh kerbau atau sapi.
Setiap hari paling tidak ada tiga kali proses pengangkutan pucuk teh dari
lapangan pemetikan ke unit pengolahan di pabrik. Jarak tempuh dari
pemukiman afdeling (sub kebun) sampai ke pabrik umumnya berkisar antara
4–8 kilometer. Untuk mengangkut daun basah dari lapangan ke pabrik
dengan menggunakan gerobak membutuhkan waktu tempuh antara 1–2 jam.
Gambar 10.48 menampilkan gerobak pengangkut pucuk teh dari lapangan/
afdeling ke pabrik teh di Kebun Bah Birong Ulu.
200
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Untuk menjaga agar pucuk sampai ke pabrik tidak rusak maka gerobak angkut
dibuat bertingkat sebagaimana Gambar 10.49.
201
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
202
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
dijadikan menjadi partikel kecil melalui (rotor vein) dan proses pengayakan
untuk memisahkan bubuk teh berdasarkan ukuran partikel. Ketiga, bubuk teh
yang sudah berbentuk partikel kecil dan lembut selanjutnya dimasukkan ke
tahap fermentasi yaitu bubuk teh basah dimasukkan ke fermenting unit selama
beberapa waktu akar terjadi reaksi enzimatis yang menstimulasi munculnya
warna seduhan (liquor) dan aroma teh. Kelima, yaitu pengeringan (drying),
bertujuan memghentikan reaksi enzimatis dengan cara menurunkan kadar air
teh sampai menjadi di bawah 3%.
Keenam, yaitu sortasi kering atau pemilahan partikel teh berdasarkan ukuran,
warna dan berat jenis. Output proses sortasi dihasilkan teh dengan jenis yang
berbeda. Pada umumnya dikenal teh kualitas ekspor dan kualitas lokal.
Selanjutnya, teh siap di packaging untuk dikirim ke pembeli di Eropa.
Pabrik teh tertua di Sumatera Utara di antaranya ada di Kebun Simbolon dan
Kebun Kasinder. Bentuk (lama) kedua pabrik tersebut tampak pada Gambar
10.51 dan 10.52. Pabrik tersebut saat ini sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya.
Kebun Simbolon sekarang dikelola oleh PTPN III dengan budi daya Karet,
sedangkan Kebun Kasinder saat ini dikelola oleh PTPN IV dengan budi daya
Kelapa Sawit.
203
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
204
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
selama 2 hari. Selama waktu tersebut hembusan angin dari sisi bangunan
mengenai permukaan pucuk sehingga kadar air daun secara bertahap turun
dan pucuk menjadi layu.
205
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Mulai tahun 1960-an pola bangunan pabrik vertikal sudah ditinggalkan ketika
diketemukan electromotor. Proses pengaliran udara kering digantikan oleh
angin dari kipas yang digerakkan oleh electromotor. Proses pelayuan dilakukan
di withering trough (WT) dengan ketebalan tumpukan daun lebih tebal
sehingga kapasitas pelayuannya meningkat dan dibutuhkan ruang pelayuan
yang lebih sedikit sehingga tidak perlu pabrik dibangun secara vertikal.
Dalam kondisi darurat, ketika musim panen puncak di awal musim hujan
terkadang fasilitas pelayuan tidak mencukupi. Pekebunan teh bekerja atas
dasar pertumbuhan vegetatif tanaman yang banyak ditentukan faktor eksternal
yang cepat berubah akibat adanya perubahan iklim mikro. Fluktuasi produksi
sering terjadi sehingga terkadang sulit dikendalikan. Perlakuan yang salah
misalnya dengan membiarkan rotasi petik mundur (tertunda). Dampaknya
206
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
produksi meningkat namun mutu teh turun karena pucuk kasar. Untuk
mengatasi kerusakan daun maka daun segar bisa dihamparkan pada lantai
yang bersih sebagaimana Gambar 10.56.
Untuk menghasilkan mutu teh yang prima maka daun pucuk yang telah layu
selanjutnya diolah dengan mesin penggulungan (roller) sebagaimana Gambar
10.57. Gambar tersebut menunjukkan rangkaian mesin roller model lama
di Pabrik Parmanangan yang masih menggunakan pully dan belt sebagai
sumber penggerak setiap mesin. Menurut informasi, pabrik Parmanangan,
Simalungun ditutup karena hancur dibom tentara Jepang ketika menduduki
Sumatra Timur pada tahun 1942.
Saat itu belum diketemukan electromotor yang secara otonom bisa menjadi
sumber penggerak yang berbasis tenaga listrik (merubah energi listrik ke energi
kinetik). Mesin uap hanya mampu menggerakkan as panjang sebagai sumber
penggerak seluruh mesin. Selanjutnya, daun yang sudah layu dialirkan dari
WT di lantai diatasnya ke unit penggulungan melalui talang yang berada di
atas mesin. Perlakuan penggulungan teh berlangsung sekitar 30 menit sampai
terjadi perubahan dari pucuk layu menajdi partikel teh yang terpulas atau
tergulung.
207
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
208
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
Produk dari stasiun penggulungan adalah bubuk teh basah berbentuk partikel
kecil. Selanjutnya bubuk teh dihamparkan di bak fermentasi yang berada pada
ruangan dengan suhu dibawah 22 derajat celsius dan kelembaban mendekati
jenuh dengan menyemprokan partikel air yang dikabutkan (humidifier) seperti
tampak pada Gambar 10.58. Tujuannya agar fermentasi berlangsung secara
optimal sehingga proses pembentukan aroma dan rasa seduhan teh tercapai.
Proses berikutnya dari ruangan fermentasi partikel teh basah dimasukkan ke
mesin pengeringan. Melalui proses ini reaksi enzimatis dihentikan dengan
menggoreng bubuk pada alat mesin pengering (drying machine). Caranya
dengan mengalirkan bubuk diatas plat yang dipanaskan atau dengan
mengalirkan udara panas pada hamparan bubuk teh. Selanjutnya untuk
memilah teh jadi berdasarkan jenis (grade) maka harus melewati proses sortasi
kering (grading) yang memisahkan teh berdasarkan ukuran dan berat jenis
melalui mesin ayakan sebagaimana Gambar 10.59.
209
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Teh yang telah dipilah berdasarkan jenis yang berbeda selanjutnya bisa
langsung bisa di-pack dalam peti teh yang terbuat dari tripleks seperti tampak
pada Gambar 10.60.
Teh jadi yang telah melalui proses sortasi sementara waktu dimasukkan ke
peti penyimpanan (peti miring atau tea bin ) sebelum dipack. Tea bin adalah
bangunan seperti ruangan yang berderet untuk menyimpan teh masing-
masing grade mutu seperti Gambar 10.61. Dalam gambar, tampak pekerja
sedang melakukan pengisian teh berdasarkan jenisnya ke wadah semacam peti
dengan ukuran berat tertentu.
Pengepakan teh yang akan dikirim ke pembeli di Eropa menggunakan kotak
dari kayu lapis (triplek) berbentuk kubus. Di dalamnya dilapisi aluminium foil
untuk menciptakan ruang kedap udara sehingga mutu tetap terjaga sampai
ke pembeli. Bubuk teh adalah produk hygroskopik yang mudah menyerap
kelembapan sehingga harus dijaga kadar airnya tetap dibawah 3%. Gambar
10.62 menampilkan tumpukan peti hasil pengepakan yang siap dikirimkan
ke pelabuhan Belawan Medan. Saat itu sistem penjualan teh adalah melalui
proses lelang (auction) di Amsterdam atau yang terbesar di London. Sampai
tahun 1975 sistem pelelangan teh terbesar untuk pasar Eropa ada di London.
Setelah tahun 1975, pelelangan London ditutup dan dialihkan ke negara
penghasil seperti di Sri Lanka, India, dan Indonesia (Jakarta). Jakarta tea
auction (JTA) dilaksanakan di Kantor Pemasaran Bersama Perkebunan
(sekarang lebih dikenal sebagai PT Kharisma Pemasaran Bersama perkebunan
Negara (KPBN).
Mulai tahun 1990-an teh sudah dikemas dengan papersack menggantikan
kemasan peti. Hal itu terjadi setelah pengiriman barang sudah menggunakan
peti kemas sehingga meskipun teh dikemas dalam papaersack, namun tidak
terjadi over handling dari proses di pelabuhan sampai ke prosesor (packer)
di negara tujuan ekspor. Penggunaan papaersack lebih praktis dan tidak
memboroskan triplek yang dibuat dari kayu hasil hutan. Di negara konsumen
juga timbul masalah lingkungan dari triplek bekas kemasan teh. Ketika itu teh
yang telah dikemas dalam peti teh berdasarkan grade atau mutu teh dikirim
ke Stasiun Kereta Api Pematang Siantar. Selanjutnya, dengan kereta api DSM
dikirim ke Belawan untuk dikapalkan ke negeri tujuan pasar. Gambar 10.63
menunjukkan proses pengangkutan teh dari pabrik ke stasiun kereta api
Pematang Siantar.
210
BAB X.
BUDI DAYA PERKEBUNAN TEMPO DULU
211
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
Gambar 10.63 Pengangkutan Teh dari Kebun Pagar Jawa ke Stasiun Kereta
Api Pematang Siantar, (1921) (Tropen Museum)
212
BAB XI.
KULTUR PLANTERS
PERKEBUNAN DARI MASA KE
MASA
Kultur atau budaya adalah seperangkat sarana dan prasarana sosial yang
berfungsi menjadi pedoman bagi setiap individu yang menjadi anggota
kelompok. Planters merujuk pada satu profesi, komunitas atau kelompok
masyarakat yang bekerja dan berinteraksi dalam satu kawasan atau industri
perkebunan. Meliputi para pimpinan, pekerja dan anggota keluarganya,
dimulai dari level jabatan paling tinggi di perusahaan perkebunan sampai
pemimpin lapisanl paling bawah yaitu mandor regu dan pekerja.
Masyarakat perkebunan merupakan suatu komunitas yang unik dan spesifik.
Ditandai dengan hubungan antara atasan bawahan yang bersifat patronase.
Seorang pemimpin setiap jenjang sekaligus menjadi patron bagi anak buahnya.
Sebagai orang tua, tempat bertanya, dimintai nasihat, sumber referensi serta
sebagai role model bagi anggota organisasi, dalam urusan pekerjaan maupun
dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Kultur planters dibentuk oleh para
perintis perkebunan di Indonesia sekitar 150 tahun lampau bersamaan dengan
dibangunnya korporasi perkebunan pertama kali di Indonesia. Kehidupan
kedinasan dan interaksi sosial menyatu antara pemimpin dan anak buah
dalam satu komunitas perkebunan.
Pada awal pembentukannya kultur planters dimaksudkan sebagai upaya
untuk menangkal pengaruh budaya sekitar (yang dikhawatirkan tidak
selalu kompatible dengan budaya kerja perkebunan). Ketika itu pemukiman
pekerja sengaja didesain terpisah dari kampung (masyarakat) sekitar. Untuk
mengurangi dominasi dari budaya asal-usul para pekerja maka struktur
masyarakat sengaja diisi dari etnisitas yang beragam. Dengan demikian
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
komunitas pekerja hidup bersama dalam satu tatanan baru yang selaras dengan
kultur korporasi. Nilai-nilai positif dari budaya lama sebagian menjadi unsur
pembentuk budaya (baru) melting, inklusif dan merit system. Sebagai contoh,
budaya toleransi yang menjadi ciri khas komunitas kebun disusun by design
semata untuk membentuk kultur dinamis perkebunan yang open minded.
214
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
215
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
1) Disiplin
Disiplin adalah unsur kekuatan nilai-nilai planters. Karakter industri yang
melibatkan mahluk hidup yang terus berproses tanpa henti, memerlukan
penanganan terukur, rutine dan terjadwal. Kedisiplinan adalah unsur yang
sifatnya mandatory bagi proses bisnis perkebunan. Perilaku disiplin melekat
dan terinternalisasi menjadi kebiasaan sehari-hari. Planter sejati selalu disiplin
dalam setiap aspek kehidupan. Mulai kapan bangun pagi, jam sarapan, istirahat
siang atau bahkan sampai jadwal minum pil KB (keluarga berencana) setiap jam
20.00 di malam. Penggunaan “suling” (sirine) yang mengatur aktivitas sehari-
hari adalah rutinitas kehidupan komunitas kebun. Tidak heran, masyarakat
perkebunan terbiasa selalu datang tepat waktu pada saat berinteraksi dengan
masyarakat, seperti menghadiri undangan pihak luar kebun.
3) Gigih
Atmosfer kerja di perkebunan, dengan cuaca dan iklim yang keras serta
berada pada daerah terpencil (remote area), mengasah daya tahan para pekerja
menjadi ulet, mandiri dan tidak mudah menyerah. Target capaian kinerja akan
terus dikejar, diraih dan diwujudkan sampai detik terakhir. Ruang lingkup
pekerjaan di perkebunan lebih sistematis sehingga mudah diprediksi. Kecuali
faktor alam, sumber daya lainnya relatif terukur dan traceable (mampu telusur).
Standar Operating Proscedure (SOP) telah menyediakan panduan setiap detail
pekerjaan yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.
216
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
4) Tanggung Jawab
Uraian tugas setiap orang sudah tercantum dalam job desription. Pekerjaan
di perkebunan bersifat kasat mata. Bidang tugas setiap orang di lapangan
(tanaman) maupun di pabrik (mill) jelas batas-batasnya. Kebiasaan tersebut
menular ke sikap hidupnya yang lebih bertanggung jawab. Sukses atau gagal
akan dipertanggungjawabkan kepada atasan dengan segala konsekuensinya.
Seperti kata-kata bijak: “Bahwa tidak ada prajurit yang salah melinkan
komandan (pimpinan) yang harus bertanggung jawab”.
5) Kerja Tuntas
Sifat biokimia proses produksi perkebunan hanya bisa dihentikan melalui
treatment khusus. Hal itu terbawa menjadi kebiasaan insan perkebunan
untuk menyelesaikan sesuatu secara tuntas dan tidak menunda pekerjaan.
Tugas menyelesaikan hanca panen misalnya, maka faktor penentunya bukan
jam dinas, melainkan akan berhenti jika seluruh pekerjaan telah diselesaikan.
Demikian juga di pabrik, proses tidak bisa dihentikan atau ditunda karena
akan menyebabkan kerusakan produk yang diolah. Seorang planter akan
tuntas menyelesaikan tugas yang diberikan oleh atasan dan perusahaan
(mission is accomplished).
217
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
218
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
orang lain. Untuk itu ia akan selalu menjaga tutur kata dan perilaku kepada
setiap orang. Kematangan planter telah paripurna (moksa) tatkala bawahan
merasa nyaman dan terlindungi. Karenanya, mereka antusias bekerja penuh
semangat di bawah kepemimpinan yang mengayomi.
a. Tradisi/Kebiasaan
Tradisi atau kebiasaan adalah hal-hal yang berulang-ulang dilakukan sebagai
bagian dari unsur penguat budaya perkebunan.
219
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
220
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
7) Kunjungan Simpati/Takziyah
Mendatangi anak buah yang sedang ditimpa kemalangan, misalnya sakit
atau musibah kematian (salah satu anggota keluarga) adalah hal yang sangat
diprioritaskan. Sebagai simbul yang menunjukkan perhatian dan simpati
kepada anak buah. Ikatan emosional ini menjadi penguat hubungan saling
kasih sayang diantara pimpinan dengan anak buah.
221
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
222
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
Isinya catatan tentang data aset yang menjadi tanggung jawabnya, catatan
pekerjaan harian atau hal-hal penting yang ditemui selama jam kerja. Ketika
seorang planter menemukan suatu ide maka wajib dicatat untuk ditindaklanjuti
kemudian.
Buku saku menjadi “kamus pengetahuan” ketika ada pihak lain (atasan atau
bawahan) menanyakan sesuatu tentang pekerjaan. Saat ini dengan fasilitas
gatget (smartphone) bisa menggantikan fungsi buku saku.
a. Perubahan Lingkungan
Sejak nasionalisasi perusahaan Belanda oleh Pemerintah RI tahun 1958,
perkebunan negara menikmati lingkungan pengelolaan yang monopolistik.
Terutama dalam pengusahaan komoditas gula, kelapa sawit, karet dan teh.
Sebagai kepanjangan tangan negara, diberikan mandat untuk menjalankan
“Tri Dharma Perkebunan”. Meliput peran korporasi sebagai penghasil devisa
(meraih laba), agent pembangunan (bagi masyarakat sekitar), menciptakan
lapangan kerja dan. Dikotomi dan bias penjabaran peran tersebut telah
menggerus kekuatan entrepreneurship entitas perkebunan. Dominasi cukup
lama sebagai market leader juga menghilangkan kewaspadaan. Terbentuk
iklim kerja business as usual, terjebak kepada zona nyaman serta kehilangan
kekuatan agilitas. Inovasi dan kreatifitas kurang mendapatkan perhatian
sehingga secara komparatif kinerja operasional, keuangan serta pengembangan
areal dan produk hilir tertinggal dibandingkan swasta (best practices).
223
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
224
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
b. Relasi Ketenagakerjaan
Hubungan ketenagakerjaan di BUMN perkebunan mengalami perubahan
yang evolutif sejalan dengan pertumbuhan kinerja perusahaan dan membaiknya
perlindungan pekerja. Sejak pengambilalihan perusahaan Belanda tahun 1958,
kehidupan pekerja semakin membaik dengan menjadikan budaya planters
sebagai acuan perilaku. Perubahan radikal yang berdampak merosotnya
kultur planters terjadi sejak ditetapkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Salah satu klausul UU tersebut menyatakan bahwa
pengusaha wajib membuat perjanjian dengan Serikat Pekerja yang dikenal
sebagai Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang diperbaharui setiap dua tahun
sekali. Dengan adanya ketentuan tersebut maka dalam proses perundingan
hak-hak pekerja cenderung meningkat dari waktu ke waktu sehingga
berdampak naiknya biaya produksi (labour cost). Pada sisi lain, punishment
terhadap pelanggaran disiplin tidak secara tegas diatur. Pada peraturan lama
(sebelum UU No. 13/2003) karyawan yang tidak bekerja tanpa alasan, tidak
dibayarkan tunjangan gaji hari minggunya. Bagi karyawan lima hari berturut-
turut mangkir tanpa alasan dianggap mengundurkan diri.
Turunan lain dari UU tersebut adalah dihilangkannya satu strata pekerja yaitu
semula ada Pegawai Rendah Bulanan (PRB) dan Karyawan Harian Tetap
(KHT) menjadi karyawan pelaksana yang hak-haknya sama dengan PRB.
Kenaikan upah setiap tahun terjadi atas dua sebab yaitu karena penyesuaian
(kenaikan) Upah Minimum (UMP) dan kenaikan golongan gaji setiap
karyawan.
Ketentuan tersebut mengaburkan stratifikasi pekerja. Pada peraturan lama
status PRB biasanya untuk mandor dan kerani (petugas administrasi).
Sedangkan pada aturan baru, PRB dan KHT berada pada jenjang sama.
Dampaknya, bisa jadi karyawan lapangan dengan kerja 20 tahun, golongan
gajinya lebih tinggi dari mandor yang masa kerjanya 5 tahun.
225
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
1) Runtuhnya Hierarki
Untuk mempertahankan garis komando berjalan efektif maka hierarki
jabatan dan layers strata disusun secara ketat oleh para perintis perkebunan.
Perwujudannya adalah adanya rasa hormat dan patuh kepada pimpinan.
Pimpinan juga disegani karena keteladanannya. Bangunan struktur tersebut
mengalami kemerosotan nilai. Setelah reformasi akhir 1990-an batas hierarki
nyaris tidak ada lagi akibat berkembangnya sikap asertif dan egalitarianisme
yang kebablasan. Akibatnya, wibawa pimpinan menjadi runtuh. Padahal, para
perintis mendesain kehidupan perkebunan mirip militer, yaitu menyatunya
interaksi sosial lingkungan kerja dengan lingkungan di luar jam kerja.
2) Merosotnya Disiplin
Sebagai dampak runtuhnya hierarki dan kehormatan pimpinan maka disiplin
menjadi merosot. Seseorang menjadi tidak merasa risih melanggar norma
sosial dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan sehari-hari. Sistem reward &
punishment yang semakin kabur dan dibatasi oleh PKB, menjadi instrumen
yang tumpul untuk mempertahankan kedisplinan pekerja. Tidak menjadi
tabu karyawan tidak berada ditempat pada jam kerja, mengabaikan perintah
atasan serta tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab secara profesional.
Pimpinan kebun (administrateur) tidak mampu memelihara kedisplinan anak
buahnya karena mereka juga tidak mampu menjaga komitmen dan disiplin
dirinya sendiri.
3) Merebaknya Hedonisme
Lingkungan pemukiman di unit kebun berada pada kawasan yang sama
dengan pemukiman pekerja. Tingkah laku pimpinan dimata pekerja laksana
ikan dalam akuarium. Segala tinduk tanduk dan perilaku atasan akan dilihat,
dinilai dan ditiru bawahan. Perilaku hedonis dengan mengumbar simbul-
simbul aji mumpung akan menjadi virus menular sebagaimana falsafah “Jika
guru kencing sambil berdiri maka murid akan kencing sambil berlari”. Gaya
hidup hedonis diantaranya dilakukan oknum planters dengan membuka kebun
pribadi di sekitar areal perkebunan atau menjalankan insider trading dengan
menjadi pemasok atau mitra perusahaan dengan menggunakan nama orang
lain adalah perilaku yang melanggar norma dan etika planters. Hal itu akan
ditiru bawahan dengan segala dampaknya. Dahulu, para pimpinan perintis
226
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
4) Legacy
Bahwa salah satu tugas (passion) pimpinan adalah mencetak pemimpin
berikutnya yang lebih baik dari dirinya. Alih generasi menjadi momen krusial
ketika transformasi nilai-nilai tidak tuntas. Salah satu yang diwariskan (legacy)
adalah kehendak untuk memupuk, memelihara dan menumbuh-kembangkan
kultur planters. Untuk itu setiap menerima staf baru (fresh graduate) selalu
di”titip”kan untuk dibimbing para senior (meelopen). Sayang proses tersebut
menjadi tidak efektif ketika pola rekruitmen staf tidak dilakukan rutin
sehinga pada periode tertentu diterima dalam jumlah banyak sehingga proses
“penerusan” nilai-nilai tidak tuntas. Dampaknya, staf-baru tumbuh membawa
budayanya masing-masing yang terputus dari kultur planters.
227
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
orang sibuk dengan urusannya sendiri dan pola hidup karyawan menjadi
individualistis. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi telah merubah
perilaku masyarakat perkebunan. Dahulu ketika televisi dan sepeda motor
belum sebanyak sekarang, banyak aktivitas karyawan yang dilakukan secara
bersama. Setiap sore ada kegiatan oleh raga bersama dan pada malam hari ada
kegiatan kesenian, agama atau budaya. Kegiatan arisan dan anjang sana adalah
bagian dari memupuk kebersamaan masyarakat perkebunan zaman dulu.
Saat ini ikatan sosial komunitas perkebunan menjadi semakin longgar dan
bahkan penyakit sosial seperti narkoba sudah merebak dan mulai mengganggu
ketenangan kehidupan di pemukiman perkebunan dengan segala dampak
negatifnya.
228
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
229
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
230
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
5. Kepemimpinan Perkebunan
Peran pemimpin sangat menentukan sukses organisasi mencapai tujuannya.
Pemimpin adalah teladan, guru, pembimbing dan sebagai penjaga gawang
nilai-nilai, kultur dan moralitas. Pemimpin berkarakter akan mampu
mengawal perubahan dan memberdayakan seluruh potensi sumber daya
perusahaan. Tuntutan peningkatan kapasitas kepimimpan perkebunan
menghadapi tantangan baru, paling tidak membutuhkan modalitas sebagai
berikut:
231
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
232
BAB XI.
KULTUR PLANTERS PERKEBUNAN DARI MASA KE MASA
5) Ketahanan (Endurance)
Kemampuan menghadapi tekanan dalam waktu lama merupakan salah
satu elemen yang menjadikan seseorang tangguh menghadapi rintangan
dan hambatan. Kegagalan bukan akhir dari segalanya. Untuk mencapai
keberhasilan terkadang harus melewati berbagai ujian. Pribadi yang kuat akan
mampu mengatasi tekanan internal dan eksternal dalam persaingan bisnis.
b. Strong Leadership
Yaitu memiliki kemampuan, talenta dan keberanian mengeksekusi rencana
kerja, mengerahkan dan mengendalikan organisasi bekerja sesuai dengan
arahan dan aturan organisasi serta keberanian menindak setiap pelanggaran
terhadap ketentuan yang berlaku.
c. Role Model
Seorang pemimpin adalah pembawa bendera (flag carrier) yang sering
diidentikan personalitinya dengan korporasi. Kedudukannya sebagai simbul
dari karekter perusahaan. Oleh sebab itu, ia harus mampu memerankan
dirinya sebagai tokoh panutan. Pemimpin dituntut menjadi pribadi yang
mampu memimpin perubahan (change leader).
Agar setiap anggota organisasi mampu menjalankan peran sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya maka seorang pemimpin harus mampu mengangkat
kapasitas SDM melalui peran sebagai berikut:
233
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
1) Memberdayakan (Empowerment)
Tugas pemimpin adalah meraih sasaran dan tujuan perusahaan melalui SDM
yang ada dalam kendalinya. Untuk itu kemampuan memberdayakan SDM
menjadi kunci sukses. Setiap anggota organisasi harus mampu meningkatkan
peran dan fungsinya melalui peningkatan kapasitas dan komitmen guna
mempersembahkan kinerja terbaik.
2) Membimbing (Coach)
Seorang pemimpin memiliki peran sebagai pembimbing bagi anak buah.
Tujuannya agar setiap orang dapat memperoleh arahan yang tepat dalam
menjalankan tugas sesuai sistem dan prosedur yang berlaku. Melatih dan
memastikan setiap orang dapat meningkatkan peran dan kontribusinya bagi
perusahaan.
3) Memotivasi (Motivating)
Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat dan gairah kerja
anggotanya. Menjadi tempat mengadu dan pemberi solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi serta mampu menstimulasi semangat anak buah
dari waktu ke waktu.
4) Mengarahkan (Envisioning)
Pemimpin merupakan nakhoda atau dirigen yang menjadi penunjuk jalan
bagi arah kebijakan perusahaan. Harmonisasi dan keselarasan akan tercipta
ketika setiap orang memiliki cara pandang yang sama dalam mewujudkan
tujuan perusahaan. Tugas seorang pemimpin menjadi pelita bagi seluruh
jajaran manajemen, membimbing dan mengarahkan organisasi mencapai
tujuannya.
5) Menginsipirasi (Inspiring)
Pemimpin harus bisa memberikan perspektif kepada anak buah. Setiap orang
menjadi bergairah untuk berpikir dan bermimpi melampaui (beyond) dimensi
ruang dan waktu. Melalui inspirasi pimpinan maka setiap orang tergerak
untuk menggunakan kapasitasnya, memperjuangkan mimpi-mimpinya demi
kemajuan perusahaan.
234
DAFTAR PUSTAKA
236
DAFTAR PUSTAKA
237
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
238
DAFTAR PUSTAKA
239
JEJAK PLANTERS DI TANAH DELI
Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863–1996
240
PROFIL PENULIS