Anda di halaman 1dari 2

Kaba Cinduo Mato, Karya

Sastra Popular di
Minangkabau
Kaba Cindua Mato adalah karya sastra Minangkabau yang popular dan terkenal di
Minangkabau. Karya sastra ini tergolong sastra pahlawan (sebuah cerita yang mengisahkan
perjuangan seorang tokoh untuk mencapai tujuan yang terpuji). Berbagai daerah di Indonesia
memiliki cerita semacam ini, seperti Hikayat Meukuta Alam (Abdullah, 1988) dalam sastra
Aceh.
Kaba Cindua Mato ini masih digemari sampai sekarang dan telah banyak dibicarakan oleh
para peneliti, di antaranya Esten (1992) tentang tradisi dan modernitas dalam sandiwara
Cindua Mato dalam hubungannya dengan mitos Minangkabau, dan Djamaris (1995) berupa
perbandingan kepahlawanan Hang Tuah dan Cindua Mato.
Naskah kaba ini juga banyak terdapat di berbagai perpustakaan, khususnya di Jakarta
(Juynboll, 1899) dan di Leiden (Van Ronkel, 1921) dan diterbitkan dalam beberapa edisi di
antaranya edisi Van der Toorn (1886), Gurun (1904), Saripado (1930), Madjoindo (1964),
Endah (1967), Singgih (1972), Penghulu (1980), pernah digubah dalambentuk naskah
sandiwara, di antaranya oleh Moeis (1924), Penghulu (1955), dan Hadi (1977 dan dalam
Esten, 1992), dan terakhir dipentaskan di Hotel Sangrila (Rindarineni, 1955).
Diceritakan bahwa di Pagaruyung memimpin seorang raja perempuan bernama Bundo
Kanduang, ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bergelar Dang tuanku. Dang Tuanku
memiliki seorang kepercayaan yang bernama Cindua Mato. Pada suatu ketika, Bandaharo
(salah seorang dari Dewan Empat Menteri yang berkedudukan di Sungai Tarab)
menyelenggarakan keramaian untuk mencarikan jodoh anaknya, Putri Lenggo Geni. Bundo
Kanduang menyurug Dang Tuanku untuk mengikuti keramaian itu, sekaligus melamarkan
putri Lenggo Geni untuk Cindua Mato.
Ternyata lamaran tersebut diterima oleh Bandaharo. Namun, saat berada di Sungai Tarab,
mereka mendengar kalau tunangan Dang Tuanku yang bernama Putri Bungsu akan
dikawinkan dengan Imbang Jayo karena dikabarkan Dang Tuanku telah sakit keras dan
dibuang. Sekembalinya mereka ke Pagaruyung, Bundo Kanduang mengutus Cindua Mato
untuk menghadiri pernikahan Putri Bungsu, dan Dang Tuanku secara rahasia menyuruh
Cindua Mato untuk membawa lari Putri Bungsu.
Bundo Kanduang marah atas tindakan Cindua Mato ini, namun ia mendapat pembelaan dari
Dang Tuanku. Akhirnya, diselenggarakan juga pernikahan Dang Tuanku dengan Putri Bungsu
dan Cindua Mato dengan Putri Lenggo Geni.
Sementara itu, Imbang Jayo datang ke Pagaruyung untuk menuntut tunangannya yang telah
dibawa pergi. Imbang Jayo mengamuk dan dibunuh oleh Rajo Duo Selo. Tiang Bungkuak,

ayah Imbang Jayo datang menuntut balas. Cinduo Mato bertarung menghadapi Tiang
Bangkuak dan berhasil mengalahkannya.
Akhir cerita, Cindua Mato menjadi raja di Sungai Ngiang dan Sakalawi. Ia kawin lagi
dengan Putri Linduang Bulan dan berputra Sutan Amrullah. Setelah anaknya dewasa Cindua
Mato menyerahkan kekuasaan pada anaknya dan kembali ke Pagaruyung memerintah alam
Minangkabau menggatikan Bundo Kanduang dan Dang Tuanku yang telah diangkat ke langit.

Anda mungkin juga menyukai